Вы находитесь на странице: 1из 26

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian terdahulu merupakan hasil penelitian yang sudah teruji

kebenarannya yang dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai acuan atau

pembanding. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian

ini, yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh:

1. Sri Purwatiningsi (2014) dengan judul “Penerapan Metode Penemuan

Terbimbing untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Luas

Permukaan dan Volume Balok di kelas VIII SMP Negeri 12 Palu”. Hasil

penelitiannya menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah

mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing

pada materi luas permukaan dan volume balok. Hal ini ditunjukkan dari

persentase ketuntasan klasikal berdasarkan hasil tes akhir tindakan pada

setiap siklusnya. Pada siklus I dan siklus II persentase ketuntasan belajar

klasikalnya mencapai 100%. Perbedaan penelitian Purwatiningsi dengan

penelitian ini adalah pada penelitian Purwatiningsi menggunakan metode

pembelajaran penemuan terbimbing menurut Ibrahim dan Nur, sedangkan

pada penelitian ini menggunakan tahapan model pembelajaran penemuan

terbimbing (Guided Discovery Learning) menurut Muhibbin Syah.


12

2. Pujiati Sari (2014) dengan judul “Penerapan Metode Penemuan Terbimbing

Berbantuan Alat Peraga untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa kelas VIII

B SMP Negeri 19 Palu pada Materi Luas Permukaan dan Volume Limas”.

Hasil penelitian ini menujukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa

setelah mengikuti pembelajaran dengan menerapkan metode penemuan

terbimbing pada materi luas permukaan dan volume limas. Peningkatan hasil

belajar siswa dapat dilihat dari hasil analisis tes akhir tindakan pada tiap

siklusnya. Dari 24 siswa pada kelas VIII B SMP Negeri 19 Palu, 18 siswa

mengikuti tes awal dengan 10 orang siswa yang tuntas dan 8 orang siswa tidak

tuntas. 6 orang siswa lainnya sakit. Pada siklus I, jumlah siswa yang tuntas

ada 15 orang siswa, 7 orang siswa tidak tuntas dan 2 orang siswa lainnya sakit.

Pada siklus II, jumlah siswa yang tuntas ada 16 orang siswa, 6 orang siswa

tidak tuntas dan 2 orang lainnya sakit. Dari data tersebut terlihat peningkatan

jumlah siswa yang mencapai nilai ketuntasan lebih dari atau sama dengan

nilai ketuntasan minimal. Perbedaan penelitian Sari dengan penelitian ini

adalah pada strategi pembelajaran dan materi penelitian. Penelitian Sari

menerapkan metode penemuan terbimbing pada materi luas permukaan dan

volume limas sedangkan pada penelitian ini menerapkan model pembelajaran

penemuan terbimbing pada materi luas permukaan dan volume balok.

3. Jumadi (2013) dengan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa

Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing untuk Siswa kelas

VIII-F SMP Negeri 9 Malang”. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya

peningkatan hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari peningkatan persentase
13

berdasarkan hasil tes akhir tindakan pada siklus I dan II sebesar 13.16%

dengan hasil observasi aktivitas siswa berada pada kategori baik dan hasil

observasi aktivitas guru pada kategori sangat baik. Perbedaan penelitian

Jumadi dengan penelitian ini adalah pada materi ajar dengan dan strategi

pembelajaran yang digunakan. Pada penelitian Jumadi, menggunakan metode

penemuan terbimbing pada materi Teorema Phytagoras, sedangkan pada

peneitian yang akan dilakukan menggunakan model pembelajaran penemuan

terbimbing

4. Ni Nyoman Sri Budi Satyawati (2011) dengan judul “Pengaruh Model

Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berbasis LKS terhadap Hasil Belajar

Matematika Siswa ditinjau dari Kecerdasan Logis Matematis pada Siswa

kelas X SMA Negeri 1 Bangli. Hasil penelitian menunjukkan secara

keseluruhan hasil belajar matematika siswa yang mengikuti model

pembelajaran penemuan terbimbing berbasis LKS lebih tinggi daripada siswa

yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Terdapat pengaruh

interaksi antara model pembelajaran dengan kecerdasan logis matematis

terhadap hasil belajar matematika. Perbedaan penelitian Satyawati dengan

penelitian ini adalah pada penelitian Satyawati melihat pengaruh model

pembelajaran penemuan terbimbing terhadap hasil belajar siswa yang ditinjau

dari kecerdasan logis matematis, sedangkan pada penelitian yang akan

dilakukan ini melihat peningkatan hasil belajar setelah menerapkan model

pembeajaran penemuan terbimbing.


14

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

penerapan pembelajaran penemuan terbimbing pada materi geometri dapat

meningkatkan hasil belajar siswa. Relevansi penelitian di atas dengan penelitian

yang akan dilakukan adalah pada penerapan pembelajaran penemuan terbimbing

untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

2.1.2 Kajian Teoritis

1. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing

Model merupakan kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman

dalam melakukan suatu kegiatan. Model dapat dipahami juga sebagai gambaran

tentang keadaan sesungguhnya. Berdasarkan pemahaman tersebut, model

pembelajaran dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang melukiskan

prosedur sistematis dan terencana dalam mengorganisasikan proses pembelajaran

siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Model

pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi perancang kurikulum atau guru

dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran di kelas (Priansa,

2017: 188).

Salah satu model pembelajaran yang sering digunakan adalah model

pembelajaran penemuan. Dalam model pembelajaran penemuan, siswa didorong

untuk terlibat aktif dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru

mendorong siswa untuk melakukan kegiatan eksperimen yang memungkinkan

mereka dapat menemukan prinsip atau konsep. Pembelajaran penemuan merupakan

model pembela
11

jaran yang mengatur cara peserta didik memperoleh pengetahuan yang belum

diketahuinya dengan cara yang penuh kemandirian (Priansa, 2017: 257-258).

Menurut Jerome S. Bruner (Markaban, 2008: 9), penemuan adalah suatu

proses. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan

pemecahan masalah, praktek membentuk dan menguji hipotesis. Dalam pandangan

Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana

seseorang siswa dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil

sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.

Menurut Bruner (Dahar, 2011; 79) pembelajaran penemuan sesuai dengan

pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya

memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri mencari pemecahan masalah

serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengertahuan yang benar-

benar bermakna. Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan

menunjukkan beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama. Kedua,

hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Dengan kata lain,

konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih

mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar

penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara

bebas. Lebih lanjut, belajar penemuan membangkitkan keingintahuan siswa,

memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban.

Selain itu juga dapat mengajarkan keterampilan memecahkan masalah dan meminta

siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.

Akan tetapi, Bruner menyadari bahwa belajar penemuan murni memerlukan banyak

waktu.
12

Belajar penemuan murni bagi siswa SMP belum memungkinkan untuk

diterapkan karena pada umumnya mereka masih memerlukan bimbingan guru

dalam menemukan suatu konsep dasar yang dipelajarinya. Markaban (2008: 10)

menyatakan bahwa pembelajaran penemuan murni kurang tepat untuk siswa

sekolah dasar hingga menengah atas tanpa bimbingan guru, karena pada umumnya

sebagian besar siswa pada tingkatan tersebut masih membutuhkan konsep dasar

untuk menemukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan karakteristik pelajaran

matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya.

Disamping itu, penemuan tanpa bimbingan guru dapat memakan waktu berhari-hari

dalam pelaksanaannya atau bahkan siswa tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu

jalan penemuannya. Oleh karena itu, pembelajaran penemuan yang cocok untuk

diterapkan bagi siswa SMP yaitu suatu pembelajaran penemuan yang dipandu oleh

guru atau disebut juga pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery

learning).

Pembelajaran penemuan terbimbing dikembangkan berdasarkan pandangan

kognitif tentang pembelajaran dan prinsip konstruktivis (Holil, 2008). Prinsip

konstruktivis, yakni pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal

maupun sosial, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali

melalui keaktifan siswa sendiri untuk menalar, siswa aktif mengkonstruksi terus-

menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju kearah yang lebih

kompleks, guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses

konstruksi siswa berjalan mulus (Kartini, 2009).

Pembelajaran penemuan terbimbing merupakan salah satu bagian dari

pembelajaran penemuan yang banyak melibatkan siswa dalam kegiatan


13

pembelajaran, namun dalam proses penemuannya siswa mendapat bimbingan dari

guru, agar mereka lebih terarah dalam proses pelaksanaan pembelajaran maupun

tujuan yang ingin dicapai terlaksana dengan baik. Bimbingan guru yang dimaksud

adalah memberikan bantuan agar siswa dapat memahami tujuan kegiatan yang

dilakukan dan berupa arahan tentang prosedur kerja yang perlu dilakukan dalam

kegiatan pembelajaran. Dengan pembelajaran penemuan terbimbing, dapat

mengaktifkan siswa, tetapi tetap dengan bimbingan dan bantuan dari guru (Holil,

2008).

Pembelajaran penemuan terbimbing berusaha menciptakan situasi belajar

yang melibatkan siswa belajar secara aktif dan mandiri dalam menemukan suatu

konsep atau teori, pemahaman dan pemecahan masalah. Proses penemuan tersebut

membutuhkan guru sebagai fasilitator dan pembimbing. Pada penemuan

terbimbing, guru mengarahkan dan membimbing siswa berkenaan dengan materi

pelajaran. Bentuk bimbingan guru dapat berupa petunjuk, arahan, pertanyaan atau

dialog sehingga diharapkan siswa dapat menyimpulkan (menggeneralisasikan

sesuai dengan rancangan guru (Priansa, 2017: 264).

Hamalik menyatakan bahwa penemuan terbimbing melibatkan siswa dalam

menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Siswa melakukan penemuan, sedangkan

guru membimbing mereka ke arah yang benar/tepat. Hanafiah dan Suhana juga

menyatakan bahwa pembelajaran penemuan terbimbing merupakan pelaksanaan

penemuan yang dilakukan atas petunjuk dari guru. Pembelajarannya dimulai dari

guru mengajukan berbagai pertanyaan yang melacak, untuk mengarahkan siswa

kepada titik kesimpulan kemudian siswa melakukan percobaan untuk membuktikan

pendapat yang dikemukakan (Priansa, 2016: 265).


14

Pembelajaran penemuan terbimbing berupaya meletakkan dan

mengembangkan dasar berpikir ilmiah pada diri siswa sehingga dalam proses

pembelajaran siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas

dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang

belajar. Peranan guru dalam pembelajaran penemuan terbimbing adalah sebagai

pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu

disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Bimbingan dan

pengawasan guru masih diperlukan tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa dalam

pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2013; 196).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

penemuan terbimbing (guided discovery learning) adalah suatu kerangka

konseptual yang menggambarkan prosedur sistematis dan terencana dalam

mengorganisasikan proses pembelajaran yang melibatkan siswa belajar secara aktif

dan mandiri dalam menemukan konsep atau kesimpulan melalui bimbingan dari

guru.

Pembelajaran penemuan terbimbing ini dapat diselenggarakan secara

individu atau kelompok. Pembelajaran ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran

matematika sesuai dengan karakteristik pelajaran matematika. Guru membimbing

siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat

menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan

seberapa jauh siswa dibimbing tergantung kemampuannya dan materi yang sedang

dipelajari. Dengan pembelajaran penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan

kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan,
15

intuisi dan mencoba-coba (trial and error), hendaknya dianjurkan. Guru sebagai

penunjuk jalan dalam membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan

ketrampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru

(Markaban, 2008).

Peran siswa cukup besar dalam pembelajaran penemuan terbimbing, karena

pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai

kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa

dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi

atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting

dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan

membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan

meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena

siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan

menyelesaikan masalah (Markaban, 2008).

Muhibbin Syah (Priansa, 2017) menyatakan bahwa dalam pembelajaran

penemuan terbimbing terdapat tahapan yang harus dilakukan, yaitu:

a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan): kegiatan belajar dimulai

dengan memberikan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa dan

menganjurkan siswa untuk mengamati gambar atau membaca buku mengenai

materi. Pada tahap ini, siswa dihadapkan pada sesuatu masalah yang dapat

menimbulkan keinginan untuk menyelidiki sendiri.

b. Problem statement (identifikasi masalah): berkaitan dengan pemberian

kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi masalah yang relevan


16

dengan bahan pelajaran, kemudian memilih dan merumuskan dalam bentuk

hipotesis. Identifikasi masalah dapat dinyatakan sebagai pertanyaan atau

pernyataan biasa.

c. Data collection (pengumpulan data): berkaitan dengan pemberian kesempatan

kepada siswa mengumpulkan informasi. Pada tahap ini, siswa berfungsi

menjawab berbagai pertanyaan dan membuktikan kebenaran hipotesis.

d. Data processing (pengolahan data): kegiatan mengolah data yang telah

diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara, observasi, dll. Kemudian data

tersebut ditafsirkan. Menurut Markaban (2008) pada tahap pemrosesan data,

dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir,

dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan

sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan sebaiknya mengarahkan siswa untuk

melangkah ke arah yang hendak dituju melalui pertanyaan-pertanyaan atau

Lembar Kegiatan Siswa (LKS).

e. Verifikasi: berkaitan dengan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan

benar tidaknya hipotesis. Verifikasi bertujuan agar proses belajar mampu

berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menemukan konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-

contoh yang ia jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

f. Generalisasi: berkaitan dengan penarikan simpulan dari proses pembelajaran

yang telah dilakukan. Tahap ini merupakan proses menarik sebuah simpulan

yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau

masalah yang sama.


17

Menurut Suwangsih dan Tiurlina (Karim, 2011) menyatakan belajar melalui

penemuan itu penting, sebab: (1) pada kenyataan ilmu-ilmu itu diperoleh melalui

penemuan, (2) matematika adalah bahasa yang abstrak, konsep dan lain-lainnya itu

akan melekat bila melalui penemuan dengan jalan memanipulasi dan

berpengalaman dengan benda-benda konkret, (3) generalisasi itu penting; melalui

penemuan generalisasi yang diperoleh akan mantap, (4) dapat meningkatkan

kemampuan memecahkan masalah, (5) setiap anak adalah makhluk kreatif, (6)

menemukan sesuatu sendiri dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap diri sendiri,

dapat meningkatkan motivasi (termasuk motivasi intrinsik), melalui pengkajian

lebih lanjut, pada umumnya bersikap positif terhadap matematika.

Kelebihan pembelajaran penemuan terbimbing menurut Marzano (Markaban,

2008) adalah siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan,

menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan),

mendukung kemampuan problem solving siswa, memberikan wahana interaksi

antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta materi yang dipelajari

dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena

siswa dilibatkan dalam proses menemukannya.

Adapun kekurangannya adalah sebagai berikut:

1) Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama

2) Tidak semua materi cocok disajikan dengan model ini.

Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa solusi yang dapat dilakukan

adalah kegiatan pembelajaran dilakukan berkelompok sehingga dapat


18

mengefisienkan waktu terutama pada saat memberikan bimbingan. Selain itu,

pengelompokkan siswa harus diatur sedemikian rupa agar proses pembelajaran

berjalan dengan baik (Markaban, 2008).

Berdasarkan uraian model pembelajaran penemuan terbimbing, maka

langkah-langkah pembelajarannya di kelas adalah sebagai berikut:

a) Stimulasi

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan membangkitkan motivasi

siswa dengan memberikan contoh benda nyata dalam kehidupan sehari-hari

kemudian mengaitkan contoh benda tersebut ke dalam materi pembelajaran

luas permukaan dan volume balok.

b) Identifikasi Masalah

Guru menguraikan permasalahan yang berkaitan dengan materi luas

permukaan dan volume balok. Guru memancing siswa untuk mencari tahu hal-

hal yang harus diketahui siswa mengenai materi tersebut untuk dapat

melanjutkan ke proses pembelajaran berikutnya.

c) Pengumpulan Data

Siswa mengumpulkan data mengenai materi luas permukaan dan volume

balok bersama dengan kelompok dibantu LKS dan bimbingan dari guru.

d) Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah sesuai langkah pada LKS

sehingga memperoleh hasil yang diinginkan dan selanjutnya dipresentasikan di

depan kelas.
19

e) Verifikasi

Setelah dilakukan presentasi, guru dan siswa bersama-sama

mendiskusikan hasil presentasi dari siswa yang telah maju di depan kelas. Guru

memberikan penjelasan mengenai materi tersebut untuk memperdalam

pengetahuan siswa.

f) Generalisasi

Guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan materi pembelajaran yang

telah dilaksanakan.

2. Hasil Belajar

Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh

pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap dan

mengokohkan kepribadian. Beberapa ahli psikologi memberikan definisi dan

batasan yang berbeda mengenai belajar diantaranya, Witherington menyatakan

bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan

sebagai pola-pola respon yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,

pengetahuan dan kecakapan. Pendapat yang hampir sama oleh Crow dan Crow,

menyatakan belajar merupakan diperolehnya kebiasaan, pengetahuan dan sikap

baru. Menurut Hilgard, belajar adalah suatu proses dimana suatu perilaku muncul

atau berubah karena adanya respon terhadap suatu situasi. Selanjutnya Marquis dan

Hilgard memperbarui definisi belajar dengan menyatakan bahwa belajar

merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan,

pembelajaran, dan lain-lain sehingga terjadi perubahan dalam diri. Yang intinya
20

belajar adalah adanya perubahan perilaku (behavior) karena pengalaman atau

latihan (Suyono, 2015: 9)

Berkaitan dengan pengaruh pengalaman dalam belajar, Gage mendefinisikan

belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai

akibat dari pengalaman. Definisi belajar dalam Oxford Advanced Learner’s

Dictionary adalah sebagai kegiatan memperoleh pengetahuan atau keterampilan

melalui studi, pengalaman atau karena diajar. Gagne menyatakan bahwa belajar

adalah sebuah proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan

kecenderungan manusia, seperti sikap, minat atau nilai dan perubahan

kemampuannya, yaitu peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai kinerja

(Suyono, 2015: 12).

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu

proses perubahan perilaku (nilai, kemampuan, sikap, dan lainnya) melalui

pengalaman atau latihan. Belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan

kemampuan dalam diri siswa setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran.

Sehingga, hasil belajar dalam penelitian ini didefinisikan dengan kemampuan yang

dimiliki siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan menerapkan

metode penemuan terbimbing. Hasil belajar dapat diukur menggunakan tes disetiap

akhir tindakan. Hasil belajar merupakan suatu tolak ukur berhasil tidaknya

pembelajaran yang dilakukan.

3. Teori yang Mendukung Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing

Pembelajaran penemuan terbimbing dikembangkan berdasarkan pandangan

kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Menurut prinsip

ini siswa dilatih dan didorong untuk dapat belajar secara mandiri. Dengan kata lain,
21

belajar secara konstruktivis lebih menekankan belajar berpusat pada siswa

sedangkan peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau

prinsip untuk diri mereka sendiri bukan memberikan ceramah atau mengendalikan

seluruh kegiatan kelas (Holil, 2008). Adapun teori pendukungnya yaitu sebagai

berikut:

a. Teori Belajar Konstruktivis

Konstruktivis melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu

yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan

merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan

bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu merupakan

akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Asumsi

dasar dari konstruktivis seperti yang diungkapkan oleh Meril diantaranya belajar

adalah sebuah proses aktif dimana makna dikembangkan berlandaskan

pengalaman. Pengetahuan dikonstruksi melalui pengalaman (Suyono, 2015: 105)

Driver dan Bell mengemukakan karakteristik pembelajaran konstruktivis

sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan

memiliki tujuan, (2) belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses

keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dari luar

melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi

pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan belajar, (5)

kurikulum bukanlah sekedar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat

pembelajaran, materi dan sumber (Suyono, 2015: 106).

Menurut teori konstruktivis (Suyono, 2015: 108) pengetahuan tidak ditransfer

begitu saja dari pikiran guru ke siswa. Artinya, siswa harus aktif secara mental
22

membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang

dimilikinya. Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar

konstruktivis. Pertama, peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan

secara bermakna. Kedua, pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam

pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga, mengaitkan antara gagasan dengan

informasi baru yang diterima.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam

teori belajar konstruktivis, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam

kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuannya

dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi

lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa sendiri lebih bernilai, dan

(4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pikiran dan

pengetahuan dengan temannya (Suyono, 2015: 108).

Tytler (Suyono, 2015: 109) mengajukan beberapa saran berkaitan dengan

rancangan pembelajaran dalam upaya implementasi teori belajar konstruktivis,,

antara lain:

1. memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dalam

bahasanya sendiri

2. memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya

sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif

3. memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan yang baru

4. memberikan pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah

dimiliki siswa

5. mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka

6. menciptakan lingkungan yang kondusif.


23

b. Teori Belajar Kognitif

Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil

belajar. Menurut teori belajar kognitif, tingkah laku seseorang ditentukan oleh

persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan

belajarnya. Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman

yang tidak selalu dapat terlihat sebagai perilaku yang nampak (Budiningsih, 2012).

Teori kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal

yang mencakup ingatan, retensi, pengelolaan informasi, emosi, dan aspek-aspek

kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir

yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan

stimulus yang diterima dan menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah

dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan

pengalaman-pengalaman sebelumnya (Budiningsih, 2012).

Beberapa ahli yang mendukung teori kognitif ini diantaranya:

1) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Teori perkembangan kognitif disebut pula teori perkembangan intelektual

atau teori perkembangan mental. Teori ini berkenaan dengan kesiapan anak untuk

belajar yang dikemas dalam tahap-tahap perkembangan intelektual sejak lahir

sampai dewasa (Suyono, 2015: 83). Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan

mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya serta

melalui proses asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi merupakan proses

pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang

telah dimiliki oleh individu. Akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur

kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan ekuilibrasi adalah penyesuaian


24

berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Pola dan tahap-tahap ini

bersifat hirarkis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang

tidak dapat belajar sesuatu yang berada diluar tahap kognitifnya (Budiningsih,

2012).

Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan

semakin teratur dan semakin abstrak pemikirannya. Guru seharusnya memahami

tahap-tahap perkembangan kognitif siswa agar dalam merancang dan

melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai dengan kemampuan

dan karakteristik siswa tidak akan bermakna bagi siswa (Budiningsih, 2012).

Belajar akan lebih berhasil jika disesuaikan dengan tahap perkembangan

kognitif siswa. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen

dengan objek fisik yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu

oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan ransangan

kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari,

mengamati, dan menemukan (Suyono, 2015: 86).

2) Teori Discovery Learning Jerome S. Bruner

Dasar dari teori Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa

anak harus berperan secara aktif saat belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar

dengan menemukan (discovery learning), siswamengorganisasikan bahan

pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan

tingkat kemajuan berpikir anak. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses

penemuan personal (personal discovery), oleh setiap individu siswa (Suyono,

2015: 88).
25

Bruner (Suyono, 2015: 89) mengatakan proses belajar akan berjalan dengan

baik dan kreatif jika guru meberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan

suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia

jumpai dalam kehidupannya. Seiring dengan terjadinya pertumbuhan kognitif,

seorang anak harus melalui tiga tahapan pembelajaran, meliputi:

a) Tahap enaktif, seseorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi-aksi

terhadap suatu objek. Dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan

keterampilan dan pengetahuan motorik seperti meraba, memegang,

mencengkeram, menyentuh, menggigit dan sebagainya. Anak-anak harus

diberi kesempatan bermain dengan berbagai bahan/alat pembelajaran tertentu

agar dapat memahami bagaimana bahan/alat itu bekerja.

b) Tahap ikonik, pembelajaran terjadi melalui penggunaan model, gambar dan

visualisasi verbal. Anak-anak mencoba memahami dunia sekitar melalui

bentuk-bentuk perbandingan (komparasi) dan perumpamaan (tamsil), dan tidak

lagi memerlukan manipulasi objek-objek secara langsung.

c) Tahap simbolik, siswa sudah mampu menggambarkan kapasitas berpikir dalam

istilah-istilahyang abstrak. Dalam memahami dunia sekitarnya anak beajar

melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasi dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Huruf dan

lambang bilangan merupakan contoh sistem simbol. Fase simbolik merupakan

tahap final dalam pembelajaran.

Bruner selanjutnya menegaskan bahwa guru yang efektif harus membantu

siswa dan membimbingnya untuk melewati ketiga tahap tersebut dengan suatu

proses yang disebut scaffolding. Inilah cara siswa membangun pemahaman. Pada

akhirnya melalui scaffolding ini, siswa dibimbing menjadi pembelajar yang


26

mandiri. Tujuan pokok pendidikan menurut Bruner adalah bahwa guru harus

memandu para siswanya sehingga mereka dapat membangun basis

pengetahuannya sendiri dan bukan karena diajari melalui memorisasi hafalan.

Informasi-informasi baru dipahami siswa dengan cara mengklasifikasikannya

berdasarkan pengetahuan terdahulu yang telah dimilikinya (Suyono, 2015: 89).

Penekanannya adalah pada pandangan bahwa mengetahui itu suatu proses

dan bukan suatu produk. Dalam kaitannya dengan tahapan belajar, Bruner

berpendapat bahwa proses belajar meliputi, (i) fase penerimaan

informasi/penerimaan materi, (ii) fase transformasi, dan (iii) fase penilaian materi.

Maksudnya, belajar itu merupakan proses aktif dengan cara mana siswa

mengkonstruksi gagasan baru atau konsep baru berlandaskan pengetahuan awal

yang telah dimilikinya. Siswa memilih dan mengolah informasi, membangun

hipotesis, dan membuat keputusan yang berlangsung dalam struktur kognitifnya

(Suyono, 2015: 90).

4. Tinjauan Materi Luas Permukaan dan Volume Balok

a. Luas Permukaan Balok

Luas permukaan balok adalah banyaknya persegi satuan yang menutupi

seluruh permukaan balok.

H G

E F t

D C
l
A B
p

Gambar 2.1 Balok ABCD.EFGH


27

H p G

t
H D p C G H

l l l l
p t
E A B F E
t
p
E F
Gambar 2.2 Jaring-Jaring Balok ABCD.EFGH

Gambar 2.1 di atas adalah sebuah balok ABCD.EFGH dengan ukuran

panjang p, lebar l, dan tinggi t. Gambar 2.2 adalah jaring-jaring balok yang terdiri

tiga pasang sisi berbentuk persegi panjang. Setiap sisi dan pasangannya saling

berhadapan sejajar, dan kongruen (sama bentuk dan ukurannya). Ketiga pasang sisi

tersebut adalah sisi ABCD sejajar dan kongruen dengan sisi EFGH, sisi ABFE

sejajar dan kongruen dengan DCGH, dan sisi ADHE sejajar dan kongruen dengan

sisi BCGF.

Misalkan, rusuk-rusuk pada balok diberi nama p (panjang), l (lebar) dan t

(tinggi) seperti pada gambar. Luas permukaan balok dapat ditentukan dengan cara

menjumlahkan luas seluruh bidang balok. Dengan demikian, luas permukaan balok

tersebut adalah luas persegi panjang 1 + luas persegi panjang 2 + luas persegi

panjang 3 + luas persegi panjang 4 + luas persegi panjang 5 + luas persegi panjang

6 = (𝑝 × 𝑙) + (𝑝 × 𝑡) + (𝑝 × 𝑙) + (𝑙 × 𝑡) + (𝑝 × 𝑡) + (𝑙 × 𝑡)

= (𝑝 × 𝑙) + (𝑝 × 𝑙) + (𝑙 × 𝑡) + (𝑙 × 𝑡) + (𝑝 × 𝑡) + (𝑝 × 𝑡)
28

= 2(𝑝 × 𝑙) + 2(𝑙 × 𝑡) + 2(𝑝 × 𝑡)

= 2[(𝑝 × 𝑙) + (𝑙 × 𝑡) + (𝑝 × 𝑡)]

= 2(𝑝𝑙 + 𝑙𝑡 + 𝑝𝑡)

Jadi, luas permukaan balok dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:

Luas permukaan balok = 2(pl + lt + pt)

Contoh:

Hitunglah luas permukaan balok yang memiliki panjang 60 𝑐𝑚, lebar 50 𝑐𝑚

dan tinggi 40 𝑐𝑚.

Jawab:

Diketahui: 𝑝 = 60 𝑐𝑚

𝑙 = 50 𝑐𝑚

𝑡 = 40 𝑐𝑚

Ditanya: Luas permukaan balok (L) = ...?

Penyelesaian:

𝐿 = 2 (𝑝𝑙 + 𝑙𝑡 + 𝑝𝑡)

= 2 [(60 𝑐𝑚 × 50 𝑐𝑚) + (50 𝑐𝑚 × 40 𝑐𝑚) + (60 𝑐𝑚 × 40 𝑐𝑚)]

= 2 (3000 𝑐𝑚2 + 2000𝑐𝑚2 + 2400𝑐𝑚2 )

= 2 (7400 𝑐𝑚2 )

= 14.800 𝑐𝑚2

Jadi, luas permukaan balok tersebut adalah 14.800 𝑐𝑚2


29

b. Volume balok

Volume balok adalah banyaknya satuan volum atau kubus satuan yang dapat

mengisi balok hingga penuh. Untuk menemukan volume balok, dapat

menggunakan model-model kubus satuan.

Gambar 2.3 Balok satuan Gambar 2.4 Balok dengan isi kubus satuan

Gambar 2.3 adalah sebuah balok yang satuan volumenya berupa kubus

satuan. Balok tersebut akan tepat terisi penuh jika diisi dengan 20 kubus satuan

(gambar 2.4) maka dikatakan bahwa volume balok tersebut adalah 20 kubus satuan.

Volume balok adalah 20 kubus satuan yang terdiri atas dua lapisan dan setiap

lapisan memuat 10 kubus satuan. Setiap lapisan memuat kubus satuan sebanyak 10

= 5 x 2 (5 baris kubus ke arah samping dan 2 baris kubus ke belakang). Balok

tersebut tersusun atas dua lapisan (2 baris kubus ke atas) maka volume balok

tersebut adalah (5 x 2 x 2) kubus satuan. Jika banyaknya kubus ke arah samping

merupakan panjang balok, banyaknya barisan ke belakang merupakan lebar balok

dan banyaknya lapisan merupakan tinggi balok, maka secara umum suatu balok

dengan ukuran panjang = p, lebar = l, dan tinggi = t mempunyai volume (V) yaitu:

𝑉 =𝑝 ×𝑙 ×𝑡

Contoh:

Sebuah balok memiliki panjang 16 𝑐𝑚, lebar 9 𝑐𝑚 dan tinggi 40 𝑐𝑚.

Hitunglah volume balok tersebut.


30

Jawab:

Diketahui: 𝑝 = 16 𝑐𝑚, 𝑙 = 9 𝑐𝑚, 𝑡 = 40 𝑐𝑚

Ditanya: Volume balok (V) = ...?

Penyelesaian:

𝑉 =𝑝 ×𝑙 ×𝑡

= 16 𝑐𝑚 × 9 𝑐𝑚 × 40 𝑐𝑚

= 5.760 𝑐𝑚3

Jadi, volume balok tersebut adalah 5.760 𝑐𝑚3

2.2 Kerangka Pemikiran

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting untuk

dipelajari di sekolah karena matematika sangat erat kaitannya dengan kehidupan

sehari-hari. Salah satu materi matematika yang berhubungan erat dengan kehidupan

adalah luas permukaan dan volume balok.

Hasil wawancara dengan salah seorang guru kelas VIII SMP IT Al-Fahmi,

diperoleh informasi bahwa guru kesulitan menanamkan konsep luas permukaan dan

volume balok pada siswa. Kesulitan guru dikarenakan rendahnya pemahaman siswa

terhadap materi prasyarat. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk dengan

memadukan beberapa metode pembelajaran, namun hasil belum memuaskan.

Pemahaman konsep siswa masih rendah yang menyebabkan siswa kesulitan dalam

menyelesaikan soal. Siswa sering keliru dalam menggunakan rumus untuk

menyelesaikan soal matematika terkait luas permukaan dan volume balok. Hal ini

dikarenakan kebiasaan siswa yang hanya menghapalkan rumus, mendengarkan dan

mencatat apa yang disampaikan guru tanpa terlibat langsung secara aktif dalam
31

mengkonstruksi pengetahuannya. Selain itu, siswa cenderung merasa bosan karena

pembelajaran di kelas lebih sering menggunakan pembelajaran konvensional

dimana pembelajaran didominasi oleh guru. Dalam hal ini, guru menjadi pusat dan

sumber belajar, sehingga siswa menjadi tidak aktif dalam pembelajaran. Hal inilah

yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, dibutuhkan suatu alternatif

pembelajaran yang dapat mengkondisikan siswa untuk terlibat aktif dalam

pembelajaran sehingga memungkinnya untuk mengkonstruksi sendiri

pengetahuannya. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat diterapkan adalah

model pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery). Penerapan model

pembelajaran penemuan terbimbing diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar

siswa karena model pembelajaran ini merupakan suatu alternatif pembelajaran yang

memberikan kesempatan kepada siswa terlibat langsung secara aktif dalam

mengkonstruksi pengetahuannya dengan bimbingan dari guru.


32

Pembelajaran Luas Permukaan


dan Volume Balok Kelas VIII
SMP IT Al-Fahmi Palu

Realita
1. Rendahnya pemahaman konsep siswa terhadap materi luas permukaan
dan volume balok dikarenakan lemahnya materi prasyarat siswa
2. Kebiasaan siswa yang hanya menghapalkan rumus tanpa terlibat secara
aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya untuk menemukan
konsep luas permukaan dan volume balok sehingga apa yang dipelajari
mudah terlupakan
3. Pembelajaran matematika di kelas cenderung didominasi oleh guru
dimana guru menjadi pusat dan sumber belajar, sehingga siswa
menjaadi pasif

Akibat
Rendahnya hasil belajar siswa pada materi luas
permukaan dan volume balok

Solusi
Penerepan model pembelajaran penemuan
terbimbing (guided discovery)

Hasil yang diharapkan


1. Meningkatnya pemahaman konsep siswa terhadap materi luas permukaan
dan volume balok
2. Siswa dapat menemukan sendiri rumus luas permukaan dan volume balok
sehingga apa yang dipelajarinya tersimpan lama dalam ingatan
3. Siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran

Gambar 2.5 Alur Kerangka Pemikiran

Вам также может понравиться