Вы находитесь на странице: 1из 2

Aku, Papa, dan Piala Dunia

Saya dan Papa tidak akan seharmonis ini jika tidak ada sepak bola. Tanpa sepak bola saya dan
papa mungkin tidak pernah mengobrol. Tanpanya, kami hanya dua orang yang barusan kenal.
Tanpa si bundar, kami hanya manusia bundar bertubuh pendek. Saya menjadi yakin saya anak
papa ketika saya juga berjudi bola.

Momen piala dunia hanya 4 tahun sekali. Makanya saya heran sekali jika ada yang gak peduli
sama PD, terutama cowok-cowok tuh. Lebih geli lagi kalo pas piala dunia, tiba tiba orang jadi
fanatik bola, padahal dia bingung mana Messi, mana Ronaldo. Yaa Amppuunn…

Sebelum mulai, untuk yang belum tahu, Piala Dunia itu pertandingan sepak bola antar negara
sedunia. Jadi yang main itu nama-nama negara, bukan klub bola. Misalnya Argentina lawan
Jerman. Bukan Real Madrid lawan Manchester United. Karena itu klub, bukan negara. Kalo
Liverpool? Itu juga klub bola btw. Kalo Indonesia? Bener negara, tapi gak pernah main.

Dimulai dengan piala dunia tahun 2002, tuan rumahnya Korsel dan Jepang. Saat itu saya masih
berumur 7 tahun. Masih kelas 1 SD. Masih samar-samar ingatan tentang bola, mungkin juga
masih belum terlalu mengerti. Yang saya ingat waktu itu, saat pertandingan final papa ngajak
nonton bareng di rumah temennya, ramenya luar biasa. Ramenya bukan untuk nonton bola
kayaknya, ramenya untuk kumpul-kumpul, nongkrong, sedikit alkohol. Trus saya ketiduran,
besoknya sudah di kamar.

Nah, 4 tahun kemudian, di piala dunia Jerman, tahun 2006 saya mulai nonton
pertandingannya, tapi cuma satu pertandingan yang saya ingat, itu antara Perancis lawan
Italia. Saat itu saya sedang ikut lomba matematika tingkat provinsi di Kupang (Ibu kota
Provinsi NTT, jangan tanya Kupang ikut Piala Dunia atau tidak, Kupang aja bukan negara,
jangankan bola kaki, bola di selangkangan aja belum bisa dirawat baik.

Nah, karena masih suasana lomba tapi kepengen nonton, saya bolos malam itu, sendirian,
keluar dari karantina, nonton di rumah makan sebelah. Saat itu insiden Zidane menyundul
Materazzi. Alhasil, setelah nonton dan besoknya ada tes, saya berhasil menyundul juara ke-
2. Puji Tuhan…

4 tahun kemudian, tahun 2010, saat Piala Dunia Afrika Selatan. Shakira dengan Waka-waka
nya, Afsel dengan Vuvuzela nya menggempar dunia. Sampai sekarang itu cewek-cewek tau
lagu Piala Dunia adalah Shakira, penyanyinya waka-waka. Atau yang lain lagi, judulnya
samina-mina, penyanyinya Waka.

Pertandingan pertama, saya beritga sama temen geng dulu pas SMA keliling se kota Ruteng,
untuk nyari siaran. Waktu itu di rumah belum di pasang parabola langganan Piala dunia. Kira-
kira setengah 8 malam sudah keluar, muter-muter, lewat tengah malam, lewat jam 1,
akhirnya, kita pulang tanpa menonton pertandingan pembuka.

Masuk babak semifinal, Saya, Papa, Mama ke Bali. Jadi ceritanya, mama ini adalah atlet
badminton, dulu, dulu banget, saat uban muncul, urat kaki belakang juga ikut rapuh, dan
akhirnya putus saat coba menangkis smash, alhasil, kita ke Bali, untuk operasi. Operasi puji
tuhan berjalan lancar, lalu pemulihannya terpaksa mama sendiri, karena saya dan papa ke
Café di Kuta untuk nonton bola. Lalu malemnya, mama tanya, “Kalian ini milih bola atau
mama?”. Kami berdua jawab, “Milih Mama”, lalu berangkat meninggalkan Rumah Sakit
menuju pertandingan ke dua hari itu.

Di café, Papa dan saya dukung Brazil, pemilik café orang Belanda dan dukung Belanda,
pengunjungnya orang Belanda dukung Belanda, orang Indonesia dukung Belanda. Saat Brazil
berhasil nge gol, saya teriak senang, lalu banyak mata lapar akan darah menatap, saya pura-
pura ke toilet, gugup, akhirnya pup.

4 tahun kemudian, 2014, Piala dunia Brazil, yang paling saya ingat adalah perayaannya luar
biasa, Brazil tuan rumah yang baik banget. 2014 itu satu tahun setelah masuk FK, Liburan
semester 2 dihabiskan di Maumere bareng papa mama. Tetapi, mama marah lagi. Haduuhh…
Soalnya setelah setahun di SBY, saya pulang hanya untuk numpang nonton bola. Mulai jam 7
malam sampai jam 3 pagi. Lalu tidur siangnya, sore masih lemes, malam nonton lagi. Mama
akhirnya pengen ngusi, suruh balik SBY. Ya ampuunn. Tapi mau gimana lagi coba.

Lalu saat final, saya ikut nonton bareng di Sutos, gila tuh atmosfernya, saat gol penentu,
semua teriak seperti mau runtuh. Pertandingan berakhir sekitar jam 5 pagi, lalu harus ke
kampus karena ada yudisium akhir tahun ajaran. Saya tidur saat Yudisium.

Pada akhirnya, Piala Dunia itu mendekatkan hubungan ayah anak, dan menjauhkan ibu anak.

Вам также может понравиться