Вы находитесь на странице: 1из 3

Tong Tji

Jadi ceritanya saya lagi di Tong Tji, itu loh, tempat minum teh, Tong Tji nya di Food Festival,
Surabaya. Ceritanya saya lagi pengen kerjain skripsi di sini, tapi ceritanya jadi lain, ceritanya
jadi begini, saya lihat banyak orang, berbagai macam orang, jadi saya pengen deskripsi
mereka dari yang apa saya lihat.

Yang perlu kita tahu dulu bahwa, minuman Tong Tji murah, jadi yang datang juga pengen
cari yang murah (seperti saya), kenapa gak starbucks? Karena saya tidak mampu beli,
snacknya agak mahal tapi porsi besar, saya duduk di dekat kasir menghadap ke pintu masuk.
Semoga ini jadi Hot Spot. Lalu tulisan ini akan menjadi seperti novel-novel, bahasanya agak
njelimet, saya usahakan akan tetap lucu, walaupun mungkin kita hanya tersenyum nantinya,
tidak ada foto, biar kita bayang-bayang aja, bayang lebih baik, dari pada nyata tapi palsu.

Let’s judge books by its cover.

Malam menjemput, jemputan belum datang, saya paksa kaki ini terus melangkah mencari
tempat istirahat untuk pantat yang sudah remuk ini. Ya, di situ, di Tong Tji, kursi rotannya
seakan tahu bagaimana bentuk pantat saya ketika ditindih, dia tahu pantat ini perlu sesuatu
atau seseorang yang mengerti keadaannya. Hari ini, pantat sudah menemukan jodohnya,
kursi rotan.

Tak jauh di sana yang sudah merajai tempat ini duluan, sepasang remaja tanggung -
tanggung dibilang anak-anak, tanggung dibilang dewasa, tapi cowoknya udah bisa tanggung
jawab kalo ceweknya hamil, yang pasti kita tidak bisa tanggung apa yang telah mereka
perbuat, apalagi jawab- sedang duduk bersama, berhadapan, mata bertemu mata. Jari si
cowok terus menekan layar handphone walau mata tetap tertumbuk pada mata yang
dicintai. Mereka minum teh yang saya yakin adalah jasmine karena ukurannya yang besar
dengan camilan yang sudah tandas. Tangan cowok sudah lepas dari handpone, walau
diperberat dengan jam tangan, tangan kirinya mencubit manja pipi cewek, apakah manja?
Apakah malu? Apakah kurang? Siapa yang tahu. Tawa cowok menggema menembus langit
malam, tawa untuk pasangannya? Tawa tulus? Atau tawa latihan untuk kekasih lain? Siapa
yang tahu.

Tak seperti pasangan pertama, pasangan sebelah kiri bermain game mesra duduk
berdampingan, tertawa bersama saat hero nya melewati level yang susah, berteriak ngeri
saat hero jatuh dalam jurang, lalu bersama menangis saat handphone nya jatuh dari tangan
dengan bunyi bak nyanyian neraka. Mereka cuma minum, satu gelas plastik, kecil, yang pasti
murah. Mama sering meledek orang-orang yang berpacaran dengan modal minim, dia tak
mengira, anaknya juga sering melakukan itu. Mengapa? Kiriman tak memadai. Si cowok
tetap memperhatikan ceweknya bermain game di handphonenya, apakah dia juga ikut
menikmati? Dia ikut senang? Dia bahagia melewati waktu bersama? Atau, dia takut
ceweknya membuka chat handphonenya, yang berisi daftar calon selingkuhan atau pacar
berikutnya? Siapa yang tahu.

Melenggang lembut dengan betis kencang oleh highheels, tas mahal mahal bermerk, baju
selembut sutra, jaket indah terbawa angin, sayang wajahnya tak mengikuti keindahan
semua itu. Ada yang kurang dari wajahnya sehingga membuat dia seperti itu. Saya ingat-
ingat dulu apa yang hilang. Oh yah, cantik. Cantik yang hilang dari wajahnya. Apakah dia
menyadari itu? Apakah dia sadar tapi pura-pura tak tahu? Apakah dia tak sadar apa lagi
tahu? Siapa yang tahu.

Duduk tak di bawah atap, di bawah bintang, bukan lagi sepasang remaja tanggung. Mereka
sudah penuh tanggungan, tanggungan cicilan rumah, tanggungan token listrik, tanggungan
isi perut, dan tanggungan seekor nyawa. Ya, mereka sudah punya anak. Suami dan istri itu
duduk berdampingan dan anaknya yang saya yakin baru saja belajar duduk berada di
samping kanan suami dengan sudut 90. Mengapa tidak 360? Karena nanti anak dan orang
tuanya akan saling membelakangi. Orang tuanya masih sibuk memijat layar handphone yang
menurut saya isinya tidak penting. Membiarkan yang penting, membiarkan si buah hati itu
mengoceh sembarangan tak tahu situasi. Dengan keadaan ini, mau jadi apa anaknya nanti?
Asal bicara tanpa tahu keadaan seperti pemimpin kita selama ini? Atau menjadi pendiam
karena diam itu emas? Tidak, dia hanya akan sama warnanya dengan emas, kuning, dia
kuning tahi. Atau dia menjadi penemu vaksin dan obat HIV? Siapa yang tahu.

Antrian makin panjang, saya tahu yang membuat itu panjang, si bapak berkumis dengan
dandanan parlente memesan satu minum ukuran besar dengan tiga snack. Memilih cukup
lama, membolak-balik daftar menu sampai hampir sobek. Setelah siap membayar dan
melihat tagihan, dia membatalkan pesanan tiga snack itu dan mengganti minum dengan
yang ukuran kecil. Apa dia tidak punya uang? Apakah dia punya uang tapi sedikit? Apakah
dia benci dengan dunia yang begitu mahal dan tak adil bagi dompetnya? Apakah dia
menyalahkan Tuhan yang tak memberi rezeki seperti harapannya? Siapa yang tahu. Dia
pergi dengan langkah besar menjauh malu dari kasir.

Tepat di depan pintu, tepat di depan pintu utama itu, berdiri kokoh kaki seputih awan,
miring menara pisa, indah taman eden. Leher menawan hati, rambut air terjun surga, wajah
yang tak lupa membawa cantik dari rumah. Tangan memangku dagu seindah eiffel
memangku langit sore. Mata berkedip pelan mengusir hantu pencari jiwa yang kosong. Bibir
merah jambu air segar di indomart. Heeeiii… kemari, masuklah, kamu punya keajaiban
dunia. Biarkan saya memanjakan mata. Dia tetap berdiri di sana, tak beranjak, tetap seperti
pintu surga yang tetap terbuka untuk siapa saja. Lima menit seperti itu, tapi dia pergi
setelah tangan kanan lelaki brengsek itu melingkari pinggang keajaiban dunia dan akhirat
itu, menuntunnya pergi sambil memberi teh murahan yang tak cocok untuk cewek itu.
Apakah cewek itu benar-benar sayang pada cowoknya yang aku tahu pasti dia tak pernah
tahu artinya ganteng? Apakah cewek akan mendapat yang pantas untuknya? Apakah cewek
perlu mencari bersusah payah untuk bertemu jodoh? Mungkin dompet cowoknya tebal,
mungkin rumah cowok itu besar. Siapa yang tahu.

Di salah satu pojok terlihat pemuda, mahasiswa rupanya, tak ganteng rupa-rupanya, atau
hanya pura-pura tak ganteng. Tak ada yang tahu pasti. Matanya melekat pada layar laptop,
kelihatan mengerjakan yang penting, sangat. Sesekali membuka kunci handphone nya,
matikan, kembali mengetik, mengecek handphone lagi, mengetik lagi. Wajah mengkerut
akibat kekurangan atau kebanyakan tidur, dua gelas minum yang sudah kosong, satu
mangkok berisi tahu yang masih banyak, satu lotion anti nyamuk merk terkenal, headphone
tak terpakai, dengan mata berisi kesepian. Mata yang sipit tak terisi penuh, atau terlalu
penuh sehingga harus ditutup agar tak tumpah. Saya tahu wajah seperti itu, wajah yang
menunggu, wajah yang menunggu chat dari dia. Wajah yang penuh khawatir besok tak
terbit matahari. Tangannya berotot tapi terlalu lemah menggandeng cewek, rambut awut-
awutan tak peduli rambutan yang tak lebih awut. Apakah dia sedang mencari cewek?
Apakah dia telah bertemu cewek dan menunggu berlabuh? Apakah dia ingin menjalani
dunia sendirian? Apakah dia tahu dirinya tak pantas untuk kekasih yang ia tunggu? Apakah
dia ingin mencari jalan pintas menuju bahagia? Apakah dia ingin warna dalam hatinya selain
hitam kecoklatan?

Siapa yang tahu… Saya tahu, dia perlu cinta. Karena dia itu adalah saya.

Sekian.
LR Susilo.

Вам также может понравиться