Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
An. P DENGAN DIAGNOSA COB –SDH + ICH DENGAN TINDAKAN PEMASANGAN ICP
MONITORING
TANGGAL 25-6-2018 DI OK IRD LANTAI 5
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
OLEH:
KELOMPOK 3
A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent
(PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Hudak & Gallo, 2010).
B. Etiologi
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera
local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia (Wijaya,
2013)
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil, multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang
otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)
C. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2010) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia pasca trauma,
muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari 24
jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema
serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya
pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup)
atau pada sisi lainnya (countrecoup).
D. Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil,
sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak
ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur
kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal.
Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi
sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”.
Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke
daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan
terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak
kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan
intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak
(edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam.
Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan
hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal CO2
adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan vasodilatasi
dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi) menyebabkan
vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan bahwa dengan
menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala akan mengurangi
bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa
hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi
berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini
menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami cedera tidak mampu
mentoleransi hipoksia.
a) Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat
jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu
komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-
masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu
kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF
memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi
bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena
otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk
bertahan hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat
mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat
menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut
tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra
kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi
pada tekanan di atas 25 mmHg.
b) Sindroma herniasi
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat
diperoleh informasi yang lebih jelas tentang lokasi dan adanya pendarahan
intrakrarnial, edema, kontusi, udara, benda asing intrakrarnial, serta pergeseran
struktur didalam rongga tenggkorak (Satyanegara, 2010).
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak yang kronis, dalam
MRI mampu menunjukan gambar yang lebih jelas terutama dam memberikan
indentifikasi (Satyanegara, 2010).
3. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian
batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke
akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal
akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan
selubung setelah infus dilepaskan (Muttaqin, 2008).
4. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah.
Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi
serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien
cedera kepala dimasa yang akan dating (satyonegara, 2010).
5. EEG ( elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam
mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal
dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam
mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum
pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada
area cedera (Muttaqin, 2008).
6. Pungsi lumbal
Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli
serebral, dan TIA ( Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak
sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan
adanya hemoragik subarachnoid atau perdarahan intra cranial. Kadar protein
total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi(Muttaqin, 2008).
7. Sinar X
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis
serebral (satyanegara, 2010).
9. Analisi Gas Darah
Salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status
respirasiyang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa (Muttaqin, 2008).
F. Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema
paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat dari
sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada
otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih
bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke
dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping tempat tidur
dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap
dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan
napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera
lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot
terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral,
atau tongkat gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.
G. Penatalaksanaan
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera
setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.
Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian
system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang
dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan
hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak
sekunder.
2) Penatalaksanaan Operatif
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif
adalah adanya lesi massa intrakarnial dengan pergeseran garis tengah > 5 mm
(kecuali penderita sudah ‘mati otak’). Prinsip pertimbangan pemilihan obat
anastesi didasari oleh pemakaian obat yang tidak meningkatkan tekanan
intrakarnial. Semua obat anastesi inhalasi volatil seperti halotan, enflurane dan
isoflurane dapat meningkatkan aliran darah serebral, sehingga umumnya
dipergunakan dalam kadar rendah.
Kasus-kasus dengan lesi massa intrakarnial yang mempunyaiindikasi
operasi, berkaitan dengan predileksi lokasinya khususnya dilobus frontal bagian
inferior dan lobus temporal, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam
tindakan kraniotomi adalah bentuk “tanda tanya” mulai dari depan telinga
(traktus) pada arkus zygomatikus, melengkung keposterior diatas telinga menuju
ke garis tengah dan berakhir di anterior di belakang garis batas rambut. Bila ada
penurunan kesadaran/perburukan klinis yang progresif, perlu segera dilakukan
operasi dekompresi berupa kraniektomi untuk mengurangi tekanan batang otak
dan prevensi terjadinya herniasi tentorial (Satyanegara, 2010)
3) Obat
a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya
dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena dengan
cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan memperberat
hipovolemi.
b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK,
kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5 mg/kg
bb IV
c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak
memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi tak
diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan pada
resusitasi akut
e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya
berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang berikut,
jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.
1. PENGERTIAN
Anestesi Umum Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya
yaitu inhalasi dan parenteral. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah
anestesi umum, yaitu meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat reversible. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang
akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
a. hipnotik
b. analgesia
c. relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan
kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu
dan mencegah terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum
(menggunakan zat anestesi yang mudah menguap):
a. Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran.
b. Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
6. PERSIAPAN OBAT
a. Obat Emergency
a) Lidocaine 1 – 2 mg/kg BB
7. PEMELIHARAAN
Pemeliharaan pada kasus ini menggunakan Isoflurane :
Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan pemulihannya
cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan
enfluran, Isoflurane berefek bronkhodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan
bersifat kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama
besarnya dengan halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan
menurunkan tekanan darah, terutama dengan mendepresi miokardium dan sedikit
vasodilatasi. Ethrane menurunkan tekanan darah dengan mendepresi miokardium
dan vasodilatasi perifer. Isoflurane menurunkan tekanan darah terutama dengan
vasodilatasi perifer dan hampir tidak mendepresi miokardium.
a. Indikasi
Untuk inhalasi umum inhalasi baik sebagai induksi maupun maintenance anestesi.
b. Kontra Indikasi
a) Sangat sensitive terhadap obat anestesi halogen.
b) Diketahui atau dicurigai mudah mengalami demam yang hebat (malignant
hyperthermia).
c) Pernah mendapat anestesi isoflurane atau obat halogen lainnya dan terjadi
ikterus atau gangguan fungsi hepar atau eosinophilia pada masa pasca anestesi.
d) Kasus obstetric.
e) Nonselective MAO Inhibitor.
c. Farmakologi
a) Isofluran merupakan suatu eter metil etil berhalogenasi yang tidak menyala.
b) Mempunyai tekanan uap sekitar 238 mm Hg pada 20 ºC dan mendidih pada 48,5
ºC(760 mm Hg tekanan atmofer). Dalam hal ini isoflurane serupa dengan
anestetik volatil lainnya dan dapat diberikan melalui vaporisator standar.
c) Memiliki MAC dalam oksigen sebesar 1,15% atm dan dalam 70 % oksida nitrosa
sebesar 0,5 %.
d) Koefisien partisi darah/gas adalah 1,4. Kelarutan yang menengah dalam darah ini
dikombinasi dengan potensi yang tinggi berarti suatu induksi anestesia yang
cepat.
e) Setelah pemberian 30 menit ratio konsentrasi alveoler terhadap konsentrasi yang
diinspirasi adalah 0,73.
d. Dosis
Isoflurance 1,15 % dalam oksigen murni, dan menjadi 0,5 % bila diberikan
bersama Nitrous Oxide 70 % dalam oksigen. Isoflurane harus diberikan
menggunakan vaporizer
MAC
KONSENTRASI OXYGEN KONSENTRASI N2O
UMUR 100 % 70 %
e. Maintanance
Stadium anestesi pembedahan dapat dipertahankan dengan memberikan
konsentrasi isoflurane diberikan hanya dengan oxigen 100 % atau dengan Nitrous
Oxide kurang dari 70 %.maka konsentrasinya ditambah 0,5 – 1,00 %, selama
maintenance dapat terjadi penurunan tekanan darah yang ada hubungan dengan
kedalaman anestesi, semakin lebih dalam stadium anestesi semakin besar
penurunan tekanan darahnya.
Bila tidak ada faktor lain yang menyebabkan penurunan tekanan darah, terjadi
hypotensi ini ádalah akibat dari terjadinya vasodilatasi perifer.
Kedalaman anestesi yang berlebihan dengan tanda-tanda penurunan tekanan
darah yang banyak dapat diatasi dengan menurunkan konsentrasi isoflurane.
f. Efek samping
Hypotensi, Depresi pernafasan, Arrythmia, Kenaikan leukosit, Menggigil, Rasa
mual dan muntah, Kenaikan denyut nadi yang ringan, Broncospasme, Gangguan
fungsi hepar
g. Penatalaksanaan
Isoflurane harus disimpan dalam kamar dengan suhu 15 – 30 ºC. waktu kadaluarsa
5 tahun.
8. OBAT PELUMPUH OTOT
Obat Pelumpuh Otot yang adalah Atracurium Sebagai pelumpuh otot dengan
struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara lain bahwa
metabolisme di dalam darah (plasma) melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi
hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak mempunyai efek
kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
Menurut Chapple DJ dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada binatang
atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada CBF, CMR O2 atau ICP.
Metabolitnya yang disebut laudanosin, menembus bloodbrain barrier dan dapat
menimbulkan kejang EEG, tetapi kadar laudanosin pada dosis klinis atracurium tidak
menimbulkan efek ini. Lanier dkk mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang
kejang dengan lidokain pada kucing yang diberikan atracurium. pancuronium,atau
vecuronium. Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan perubahan ICP.
Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dandosis pemeliharaan adalah 5-
10 ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5ml yang berisi 25 mg dan 50 mg atrakurium
besylate. Mula kerja pada dosis intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerjanya pada
dosis relaksasi 15-35 menit.
9. INTUBASI ENDOTRACHEAL
Intubasi Endotrakeal Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam
trakea,sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.Intubasi
trakea bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut .
INDIKASI INTUBASI ENDOTRACHEAL :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri
dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida
di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
f. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena
pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa
mengganggu pekerjaan ahli bedah.
g. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak
ada ketegangan.
h. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan
mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan
intra pulmonal.
i. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
j. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
k. Tracheostomni.
l. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
m. operasi dengan posisi miring/ tengkurap
n. operasi dengan resiko tinggi
o. operasi dengan lambung penuh
p. terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)
KONTRA INDIKASI INTUBASI ENDOTRACHEAL :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy
pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak
Rumus yang di pakai :
A. TERAPI CAIRAN
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yangdiberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga sepertipada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhancairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
a) Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
b) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
c) Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
ASUHAN KEPERAWATAN AN. P DENGAN CEDERA OTAK BERAT
DI RUANG OK IRD LANTAI 5
1. PENGKAJIAN:
1.1 Identitas
Nama : An. P
Umur : 15 tahun.
1.3 Keluhan Utama : Tidak bisa dikaji karena klien masih belum sadar, belum ada kontak
maupun respon
a. Keadaan Umum
Keadaan Umum jelek, Kesadaran menurun, GCS 2–x–4 .
b. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah = 119/70 mmHg
Suhu = 37,7 0C
RR = 24 x/menit.
c. Body System
B1 (Breathing/Pernapasan)
Jalan nafas bebas, terintubasi, tidak ada jejas pada daerah dada, wheezing (-), Ronchi
(-),snoring (-), RR 28 x/menit (tidak teratur). SPO2 99% dengan Oksigen 10 Lpm
B2 (Bleeding/Kardiovaskuler/sirkulasi)
S1, S2 tunggal, tidak ada suara tambahan, hasil monitor EKG: irama sinus 122 x/menit,
tekanan darah: 109/70, suhu: 37,7 0C, CRT< 2 detik, terpasang infus di tangan kanan
dan kiri no.20G
B3. (Brain/Persarafan/neurosensori)
Pada kepala ada luka, tampak adanya perdarahan, Kulit wajah tampak lecet-lecet,
kelopak mata odem dan hematoma,
LAB
HB 8,7
Plt 321.00
Hct 26,5
Bun 8
SK 0,62
Ot 43pt 19
Gda 165
Na 135,7
K 3,49
Cl 99
Ppt 13,4
Aptt 27,5
a) Persiapan Anestesi
(a) Informd consent
(b) Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
(c) Persiapan alat untuk general anestesi antara lain :
1. Mesin anestesi yang siap pakai
2. Bag Valve Mask
3. Bag and mask + selang O2 dan sumber O2
4. Catheter suction dan mesin suction yang dipastikan berfungsi baik
5. Xyllocain spray
6. ETT sesuai ukuran (dewasa wanita 6,5;7;7,5)
7. Magyl forceps
8.Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran dan pastikan lampu dapat
menyala dengan terang
9. Oropharingeal tube
10. Stetoscope
11. Spuit cuff 20 cc
12. Plester untuk fiksasi ETT dan mata
13. Bantal intubasi
14. Obat Emergency :Sulfat Atropin, Lidocain 2%, Ephedrin
15. Obat Induksi : Midazolam, Fentanyl, Propofol, Rocuronium
16. Obat Inhalasi :Isofluran, Halotan, Sevofluran
17. Obat tambahan : Oxytocin, Transamin
18. Obat post operasi :Ranitidin, Ketorolac, Tramadol
19. Pastikan IV line terfiksasi dengan baik dan infuse berjalan dengan lancer
b) Penatalaksanaan Anestesi
1. Premedikasi : tanpa premedikasi
a) Pasang tensimeter, elektroda: RA - RL – LA – LL - V, Pulse oximetri.
b) Sebelum induksi, Bentuk rahang dan kondisi gigi geligi di periksa
c) Pasien di posisikan posisi supine
d) Berikan bantal kecil di bawah kepala
e) Mulai induksi, penyuntikan obat induksi yang dilanjutkan dengan oksigen murni (pre
oksigenasi), relaksasi otot harus betul-betul sempurna. Obat induksi yang digunakan:
Midazolam : 2 mg
Fentanyl : 100 mcg
Propofol : 50 mg + 30 mg
Rocuronium : 50 mg
f) Kepala dibuat extensi dan leher fleksi
g) Laringoskop di masukkan menyusuri tepi kanan rongga mulut dan tepi lidah, serta
menahan lidah supaya tidak mengganggu pandangan
h) Ujung blade ditempatkan di depan epiglottis dan epiglottis diangkat keatas, sehingga
akan nampak permukaan laring.
i) Untuk membantu visualisasi laring, asisten diminta melakukan penekanan di tulang
thyroid.
j) Pipa endotracheal dimasukkan mengikuti permukaan kurve blade laringoscop
k) Ujung endotrakeal melewati laryng sampai ujung pipa dan cuff berada dibawah
laring dan carina.
l) Cuff dikembangkan secukupnya sampai tidak ada suara kebocoran.
m) Auscultasi (suara nafas, simetris atau tidak)
n) Fiksasi.
o) Lakukan monitoring sampai dengan operasi selesai yang meliputi TTV, balance
cairan,respon pasien selama operasi.:
2. Jenis anestesi : general anestesi dengan teknik intubasi oral sleep apnea, ETT No 7, Cuff 6
cc, sudut bibir kanan 20 cm, teknik induksi intravena.
3. Obat inhalasi : Isofluran 1 Mac + O2 3lpm
5. Ventilasi : CMV dengan TV 360, Rate 16, O2 3 lpm
6. Dilakukan anasthesi GA jam 06 : 30 WIB
7. Operasi di mulai jam 06 : 45 WIB sampai jam 08.20 WIB
Balance Cairan :
INPUT OUTPUT
PZ 500 cc URINE 80 cc
Rencana Keperawatan
1. Observasi TTV dan saturasi O2 durante operasi tiap 3 menit
R/ Untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pada sistem tubuh
2. Observasi dan hitung jumlah perdarahan
R/ Untuk mengevaluasi jumlah cairan yang hilang
3. Hitung EBV dan EBL
R/ Untuk mengetahui kebutuhan cairan dan jumlah cairan yang hilang
4. Observasi perfusi dan konjungtiva pasien
R/ Mendeteksi dini terjadinya shock hipovolemik
5. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan cairan kristaloid atau cairan koloid.
Kalau perlu pemberian tranfusi darah
R/ Mengganti cairan tubuh yang hilang melalui perdarahan karena tindakan
pembedahan
Implementasi Keperawatan
1. Mengobservasi TTV dan saturasi oksigen selama durante operasi tiap 3menit
TD sistolik : 98 - 135 mmHg
Diastolic : 54 – 82 mmHg
Nadi : 111 – 124 x/menit
Sat O2 : 99 – 100 %
2. Mengobservasi jumlah output (perdarahan, urine) selama durante operasi
( perdarahan 150 cc Urine 80 cc )
3. Menghitung EBV dan EBL
EBV : 50 X 70 : 3500 CC HB : 8,7
EBL :
10% :350 HB : 7,83
20%: 700 HB : 7,2
30%: 1050 HB : 6,96
40%: 1400 HB : 6,09
50%: 1750 HB : 5,22
4. Mengobservasi perfusi ( Perfusi Hangat Kering Merah )
5. Kolaborasi dalam pemberian cairan kristaloid, cairan koloid, tranfusi darah
PZ 500 cc
RL 500 cc
Evaluasi Keperawatan
S:-
O:- Breathing Control Respiratori O2 juction risc 10 lpm, Saturasi O2 100 %
- Oservasi ttv : TD : 115/65 mmhg
HR : 110 x/menit
- Perpusi hangat kering merah
- IV line terpasang lancar pada tangan kanan dan kiri
- Input PZ 500cc RL 500cc,
Output darah 150 cc, urin 80 cc
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan Intervensi
Post Operasi
Kondisi post operasi di ruang kamar operasi jam 08.30
1. B1 = Airway bebas tube in
Breathing Control Respiratori O2 juction risc 10 lpm, Saturasi O2 100 %
2. B2 (Blood)
a. Irama jantung : frekuensi nadi 120 x/menit, reguler
b. Tekanan darah: 115/65 mmhg
c. Pengisian kapiler < 2 detik
d. Perfusi: hangat, kering, merah
3. B3 (Brain)
GCS tersedasi
4. B4 (Bladder)
terpasang kateter no 16
5. B5 (Bowel)
Abdomen Supel, Bising usus (+) tidak tampak jejas pada abdominal
6. B6 (Bone)
edema ( - )
Analisa Data
DATA PROBLEM ETIOLOGI
08:20 terdapat ETT Tidak efektifnya
DS : - (benda asing) bersihan jalan napas.
DO :- Pasien tersedasi
- ETT terdapat secret peningkatan
- TD: 115/65 mmHg saliva/ hiper
- Nadi: 120 kali/menit salivasi
Implementasi Keperawatan
1. Menjaga jalan nafas tetap bebas, Control Respiratori O2 juction risc 10 lpm, pasang
mayo,
2. Mensuction ETT dengan kanul suction nomor 12
3. Observasi vital sign
a. Nadi 120 x/menit, reguler
b. Tekanan darah: 115/65 mmhg
c. Pengisian kapiler < 2 detik
d. Perfusi: hangat, kering, merah
4. ETT terfiksasi dengan baik, sudut kanan bibir 20 cm
5. injeksi antrain 1gr, injeksi metoclopramid 10 mg, injeksi ranitidine 50 mg, drip
tramadol 100 mg dalam pz 100 cc
Evaluasi Keperawatan
08.30
S: -
O :- Observasi TTV : TD : 128/74 mmhg
HR : 110 x/menit
SpO2 : 99 %
- Nafas back up vent mode PSIMV FIO2 50%
- GCS 2x5
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dilanjutkandi ROI (Ruang Observasi Intensive)