Вы находитесь на странице: 1из 39

ASUHAN KEPERAWATAN

An. P DENGAN DIAGNOSA COB –SDH + ICH DENGAN TINDAKAN PEMASANGAN ICP
MONITORING
TANGGAL 25-6-2018 DI OK IRD LANTAI 5
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

OLEH:
KELOMPOK 3

PELATIHAN ANESTESI UNTUK PERAWAT


SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent
(PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Hudak & Gallo, 2010).

B. Etiologi
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera
local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia (Wijaya,
2013)
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil, multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang
otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)
C. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2010) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia pasca trauma,
muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari 24
jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema
serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya
pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup)
atau pada sisi lainnya (countrecoup).

Sedangkan menurut Morton, dkk (2012), cedera kepala diklasifikasikan menjadi


cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah akibat cedera
awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan listrik dari sel area
tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder meliputi meliputi respon
fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral, perubahan biokomia,
dan perubahan hemodinamika serebral.

D. Patofisiologi

Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil,
sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak
ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur
kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal.
Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi
sebaliknya (contra coup).

Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”.
Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke
daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan
terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak
kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan
intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak
(edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam.
Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan
hidup.

Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal CO2
adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan vasodilatasi
dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi) menyebabkan
vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan bahwa dengan
menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala akan mengurangi
bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa
hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi
berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini
menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami cedera tidak mampu
mentoleransi hipoksia.

a) Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat
jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu
komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-
masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu
kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF
memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi
bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena
otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk
bertahan hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat
mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat
menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut
tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra
kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi
pada tekanan di atas 25 mmHg.

b) Sindroma herniasi

Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala,


peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat
mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan
tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam
hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi
koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi
kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh
berlawanan terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi
(dijelaskan berikut ini) penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan,
berhenti nafas dan meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan
subdural akut. Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana
hiperventilasi masih merupakan indikasi (Corwin, 2009).

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat
diperoleh informasi yang lebih jelas tentang lokasi dan adanya pendarahan
intrakrarnial, edema, kontusi, udara, benda asing intrakrarnial, serta pergeseran
struktur didalam rongga tenggkorak (Satyanegara, 2010).
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak yang kronis, dalam
MRI mampu menunjukan gambar yang lebih jelas terutama dam memberikan
indentifikasi (Satyanegara, 2010).
3. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian
batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke
akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal
akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan
selubung setelah infus dilepaskan (Muttaqin, 2008).
4. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah.
Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi
serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien
cedera kepala dimasa yang akan dating (satyonegara, 2010).
5. EEG ( elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam
mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal
dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam
mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum
pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada
area cedera (Muttaqin, 2008).
6. Pungsi lumbal
Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli
serebral, dan TIA ( Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak
sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan
adanya hemoragik subarachnoid atau perdarahan intra cranial. Kadar protein
total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi(Muttaqin, 2008).
7. Sinar X
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis
serebral (satyanegara, 2010).
9. Analisi Gas Darah
Salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status
respirasiyang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa (Muttaqin, 2008).

F. Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema
paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat dari
sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada
otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih
bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke
dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping tempat tidur
dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap
dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan
napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera
lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot
terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral,
atau tongkat gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.

G. Penatalaksanaan
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera
setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.
Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian
system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang
dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan
hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak
sekunder.

1) Penatalaksanaan Gawat Darurat


Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita pada
kelopok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai resiko terbesar
berkaitan dengan morbilitas dan mortalitas, di mana tindakan ‘menunggu’ (wait
and see) di sini dapat berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang
termasuk kelompok ini mencakup diantaranya yaitu :
a. Stabilisasi kardiopulmonal mencakup prinsip-prinsip ABC
(Airway,Breathing,Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi, dan
anemia akan cenderung memperberat peningkatan tekanan intrakranial dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala
berat memerlukan tindakan intubasai pada kessempatan pertama.
b. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibawah tubuh lainnya.Pemeriksaan neurologis
mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, refleks
okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bila
tekanan darah penderita masih rendah (syok)
c. Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, antikejang, dan natrium
bikarbonat.
d. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : sken tomografi komputer otak,
angiografi serebral, dan lainnya (Satyanegara, 2010).

2) Penatalaksanaan Operatif
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif
adalah adanya lesi massa intrakarnial dengan pergeseran garis tengah > 5 mm
(kecuali penderita sudah ‘mati otak’). Prinsip pertimbangan pemilihan obat
anastesi didasari oleh pemakaian obat yang tidak meningkatkan tekanan
intrakarnial. Semua obat anastesi inhalasi volatil seperti halotan, enflurane dan
isoflurane dapat meningkatkan aliran darah serebral, sehingga umumnya
dipergunakan dalam kadar rendah.
Kasus-kasus dengan lesi massa intrakarnial yang mempunyaiindikasi
operasi, berkaitan dengan predileksi lokasinya khususnya dilobus frontal bagian
inferior dan lobus temporal, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam
tindakan kraniotomi adalah bentuk “tanda tanya” mulai dari depan telinga
(traktus) pada arkus zygomatikus, melengkung keposterior diatas telinga menuju
ke garis tengah dan berakhir di anterior di belakang garis batas rambut. Bila ada
penurunan kesadaran/perburukan klinis yang progresif, perlu segera dilakukan
operasi dekompresi berupa kraniektomi untuk mengurangi tekanan batang otak
dan prevensi terjadinya herniasi tentorial (Satyanegara, 2010)

3) Obat
a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya
dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena dengan
cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan memperberat
hipovolemi.
b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK,
kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5 mg/kg
bb IV
c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak
memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi tak
diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan pada
resusitasi akut
e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya
berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang berikut,
jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.

H. KONSEP DASAR ANESTESI UMUM

1. PENGERTIAN
Anestesi Umum Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya
yaitu inhalasi dan parenteral. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah
anestesi umum, yaitu meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat reversible. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang
akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
a. hipnotik
b. analgesia
c. relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan
kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu
dan mencegah terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum
(menggunakan zat anestesi yang mudah menguap):
a. Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran.
b. Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.

c. Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.


Dibagi 4 plane:
a) Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya pergerakan
bola mata.
b) Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya paralisis
interkostal.
c) Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
d) Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
d. Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga cardiac
arrest.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.
2. PERSIAPAN PRA ANASTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah :
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
a) ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b) ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atauproses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
c) ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d) ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e) ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%. Untuk operasi cito, ASA
ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.
3. MACAM-MACAM TEHNIK ANESTESI YANG DAPAT DILAKUKAN:
a. Open drop method :
cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap, peralatan sangat sederhana
dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung
penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena
zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method :
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik
, digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga
dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang
tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method :
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan
kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya
dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik,
dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari
100 % kebutuhan.
d. Closed method :
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui
soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat
digunakan lagi
Pada kasus isi dipakai semi closed anestesi karena memiliki beberapa keuntungan,
yaitu:
a) Konsentrasi inspirasi relatif konstan
b) Konservasi panas dan uap
c) Menurunkan polusi kamar
d) Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar
4. PREMEDIKASI ANASTESI
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain2 :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropindan hoisin.
a.Macam-macam obat premedikasi
a) Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk mengurangi
sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Efek
lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan
spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa mual serta muntah. Obat ini juga
menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik tidak
diberikan pra anestesi local maupun regional. Dalam dosis toksik dapat
menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi
hal ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin 1–2 mg intravena.
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV
b) Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat diantagonis
dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan
pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan dimedula yang dapat ditunjukkan dengan respon turunnya CO2, mual
dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di
medula. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.
Dosis : 1 mg/ kgBB.
Pemberian : IV, IM
c) Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepindengan sifat
yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin
kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan
premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika
sebelumnya
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal
sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan di bawah
anestesi local serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini dikontra
indikasikan pada keadaan sensitive terhadap golongan benzodiazepine, pasien
dengan insufisiensi pernafasan, acut narrow-angle glaucoma.

Dosis premedikasi sebelum operasi :


Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum
tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau
analgesik. Anak - anak : 0,05 mg/ kg BB secara IM

Midazolam mempunyai efek samping :


1. Efek yang berpotensi mengancam jiwa :
Midazolam dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular,
iritabilitas pada ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut
jantung.
2. Efek yang berat dan ireversibel :
Selain depresi SSP yang berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan
efek samping yang ireversibel
3. Efek samping simtomatik :
Agitasi, involuntary movement, bingung,pandangan kabur, nyeri pada tempat
suntikan, tromboflebitis dantrombosis. Midazolam dapat berinteraksi dengan
obat alkohol, opioid, simetidin, ketamin.
5. INDUKSI
Induksi Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara cepat. Rasa
nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat,N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer dari pada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak merusak fungsi hati
dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi
pasca operasi yang minimal.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan,

apnea, brokospasme dan laringospasme. Pada system kardiovaskuler berupa

hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada susunan saraf pusat

adanya sakit kepala, pusing, euforia,kebingungan, kejang, mual dan muntah.

6. PERSIAPAN OBAT

a. Obat Emergency
a) Lidocaine 1 – 2 mg/kg BB

b) Efedrine 0,2 mg/kg BB


c) Sulfat Atropine 0,005 mg/kg BB
d) Adrenaline 0,25 – 0,3 mg/kg BB
b. Obat Induksi
a) Propofol 1 – 2,5 mg/kg BB
c. Analgesic
a) Fentanil 1 – 3 mcg kg BB
b) Pethidin 0,5 – 1 mg/kg BB
c) Morfin 0,2 – 0,3 mg/kg BB
d. Muscule Relaxan
a) Attracurium 0,2 – 0,4 mg/kg BB
b) Vecoronium 0,08 – 0,1 mg/kg BB
c) Recuronium 0,6 – 1 mg/kg BB

7. PEMELIHARAAN
Pemeliharaan pada kasus ini menggunakan Isoflurane :
Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan pemulihannya
cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan
enfluran, Isoflurane berefek bronkhodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan
bersifat kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama
besarnya dengan halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan
menurunkan tekanan darah, terutama dengan mendepresi miokardium dan sedikit
vasodilatasi. Ethrane menurunkan tekanan darah dengan mendepresi miokardium
dan vasodilatasi perifer. Isoflurane menurunkan tekanan darah terutama dengan
vasodilatasi perifer dan hampir tidak mendepresi miokardium.
a. Indikasi
Untuk inhalasi umum inhalasi baik sebagai induksi maupun maintenance anestesi.
b. Kontra Indikasi
a) Sangat sensitive terhadap obat anestesi halogen.
b) Diketahui atau dicurigai mudah mengalami demam yang hebat (malignant
hyperthermia).
c) Pernah mendapat anestesi isoflurane atau obat halogen lainnya dan terjadi
ikterus atau gangguan fungsi hepar atau eosinophilia pada masa pasca anestesi.
d) Kasus obstetric.
e) Nonselective MAO Inhibitor.
c. Farmakologi
a) Isofluran merupakan suatu eter metil etil berhalogenasi yang tidak menyala.
b) Mempunyai tekanan uap sekitar 238 mm Hg pada 20 ºC dan mendidih pada 48,5
ºC(760 mm Hg tekanan atmofer). Dalam hal ini isoflurane serupa dengan
anestetik volatil lainnya dan dapat diberikan melalui vaporisator standar.
c) Memiliki MAC dalam oksigen sebesar 1,15% atm dan dalam 70 % oksida nitrosa
sebesar 0,5 %.
d) Koefisien partisi darah/gas adalah 1,4. Kelarutan yang menengah dalam darah ini
dikombinasi dengan potensi yang tinggi berarti suatu induksi anestesia yang
cepat.
e) Setelah pemberian 30 menit ratio konsentrasi alveoler terhadap konsentrasi yang
diinspirasi adalah 0,73.
d. Dosis
Isoflurance 1,15 % dalam oksigen murni, dan menjadi 0,5 % bila diberikan
bersama Nitrous Oxide 70 % dalam oksigen. Isoflurane harus diberikan
menggunakan vaporizer
MAC
KONSENTRASI OXYGEN KONSENTRASI N2O
UMUR 100 % 70 %

Bayi s/d 12 bulan 1,60 - 1,85 % 0,49 - 0,69 %


1 s/d 5 tahun 1,50 - 1,60 % 0,49 - 0,67 %
6 s/d 10 tahun 1,40 % 0,58 %
11 s/d 15 tahun 1,16 % 0,53 %
16 s/d 20 tahun 1,25 - 1,30 % 1,49 - 0,63 %
21 s/d 40 tahun 1,10 - 1,20 % 0,43 - 0,57 %
41 s/d 60 tahun 1,00 - 1,10 % 0,33 - 0,41 %

e. Maintanance
Stadium anestesi pembedahan dapat dipertahankan dengan memberikan
konsentrasi isoflurane diberikan hanya dengan oxigen 100 % atau dengan Nitrous
Oxide kurang dari 70 %.maka konsentrasinya ditambah 0,5 – 1,00 %, selama
maintenance dapat terjadi penurunan tekanan darah yang ada hubungan dengan
kedalaman anestesi, semakin lebih dalam stadium anestesi semakin besar
penurunan tekanan darahnya.
Bila tidak ada faktor lain yang menyebabkan penurunan tekanan darah, terjadi
hypotensi ini ádalah akibat dari terjadinya vasodilatasi perifer.
Kedalaman anestesi yang berlebihan dengan tanda-tanda penurunan tekanan
darah yang banyak dapat diatasi dengan menurunkan konsentrasi isoflurane.
f. Efek samping
Hypotensi, Depresi pernafasan, Arrythmia, Kenaikan leukosit, Menggigil, Rasa
mual dan muntah, Kenaikan denyut nadi yang ringan, Broncospasme, Gangguan
fungsi hepar
g. Penatalaksanaan
Isoflurane harus disimpan dalam kamar dengan suhu 15 – 30 ºC. waktu kadaluarsa
5 tahun.
8. OBAT PELUMPUH OTOT
Obat Pelumpuh Otot yang adalah Atracurium Sebagai pelumpuh otot dengan
struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara lain bahwa
metabolisme di dalam darah (plasma) melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi
hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak mempunyai efek
kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
Menurut Chapple DJ dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada binatang
atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada CBF, CMR O2 atau ICP.
Metabolitnya yang disebut laudanosin, menembus bloodbrain barrier dan dapat
menimbulkan kejang EEG, tetapi kadar laudanosin pada dosis klinis atracurium tidak
menimbulkan efek ini. Lanier dkk mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang
kejang dengan lidokain pada kucing yang diberikan atracurium. pancuronium,atau
vecuronium. Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan perubahan ICP.
Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dandosis pemeliharaan adalah 5-
10 ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5ml yang berisi 25 mg dan 50 mg atrakurium
besylate. Mula kerja pada dosis intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerjanya pada
dosis relaksasi 15-35 menit.

9. INTUBASI ENDOTRACHEAL
Intubasi Endotrakeal Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam
trakea,sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.Intubasi
trakea bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut .
 INDIKASI INTUBASI ENDOTRACHEAL :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri
dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida
di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
f. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena
pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa
mengganggu pekerjaan ahli bedah.
g. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak
ada ketegangan.
h. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan
mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan
intra pulmonal.
i. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
j. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
k. Tracheostomni.
l. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
m. operasi dengan posisi miring/ tengkurap
n. operasi dengan resiko tinggi
o. operasi dengan lambung penuh
p. terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)
 KONTRA INDIKASI INTUBASI ENDOTRACHEAL :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy
pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

 ALAT-ALAT YANG DI PERGUNAKAN


a. Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
a) Blade lengkung (McIntosh).  dewasa.
b) Blade lurus. (blade Magill) bayi dan anak-anak.
b. Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di
daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai
spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas,
kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa
tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas
adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan
dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 –
8,5 mm.

Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak
Rumus yang di pakai :

diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)

Rumus lain: (umur + 2)/2

Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)


Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar
dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan
melihat besarnya jari kelingkingnya.
c. Pipa orofaring atau nasofaring.  mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya
lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
d. Plester  memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
e. Stilet atau forsep intubasi. (McGill)  mengatur kelengkungan pipa endotrakheal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi
pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
f. Alat pengisap atau suction.
g. Tampong
h. Xilocain spray
i. Salep mata
j. Kasa
k. Gunting
l. Mesin anestesi yag sudah di cek kebobocorannya dan siap pakai.
 PROSEDUR TINDAKAN INTUBASI.
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup
keras atau botol infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan
laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan
lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.
Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan bentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui
sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.
Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan
tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan blade laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.
 KOMPLIKASI INTUBASI ENDOTRACHEAL
a. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a) Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi
laringeal cuff.
b) Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut,
cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c) Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat,
tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d) Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
b. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
a) Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
b) Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung.
c) Malfungsi tuba berupa obstruksi.
c. Komplikasi setelah ekstubasi.
a) Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea),
suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan
aspirasi laring.
b) Gangguan refleks berupa spasme laring.
F. SYARAT EKSTUBASI
a. insufisiensi nafas (-)
b. hipoksia (-)
c. hiperkarbia (-)
d. kelainan asam basa (-)
e. gangguan sirkulasi (TD turun, perdarahan) (-)
f. pasien sadar penuh
g. mampu bernafas bila diperintah
h. kekuatan otot sudah pulih
i. tidak ada distensi lambung

A. TERAPI CAIRAN
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yangdiberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga sepertipada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhancairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
a) Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
b) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
c) Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
ASUHAN KEPERAWATAN AN. P DENGAN CEDERA OTAK BERAT
DI RUANG OK IRD LANTAI 5

1. PENGKAJIAN:

1.1 Identitas

Nama : An. P

Umur : 15 tahun.

No. Register : 12.57.XX.XX

Tgl.MRS : 25-6- 2018 jam: 16.10

Diagnosa Medik : Cedera Otak Berat –SDH + ICH

1.2 Alasan dirawat : Tidak sadar setelah terjatuh

1.3 Keluhan Utama : Tidak bisa dikaji karena klien masih belum sadar, belum ada kontak
maupun respon

1.4 Observasi dan pemeriksaan fisik:

a. Keadaan Umum
Keadaan Umum jelek, Kesadaran menurun, GCS 2–x–4 .

b. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah = 119/70 mmHg

Nadi = 122 x/menit

Suhu = 37,7 0C

RR = 24 x/menit.

c. Body System

B1 (Breathing/Pernapasan)

Jalan nafas bebas, terintubasi, tidak ada jejas pada daerah dada, wheezing (-), Ronchi
(-),snoring (-), RR 28 x/menit (tidak teratur). SPO2 99% dengan Oksigen 10 Lpm

B2 (Bleeding/Kardiovaskuler/sirkulasi)
S1, S2 tunggal, tidak ada suara tambahan, hasil monitor EKG: irama sinus 122 x/menit,
tekanan darah: 109/70, suhu: 37,7 0C, CRT< 2 detik, terpasang infus di tangan kanan
dan kiri no.20G

B3. (Brain/Persarafan/neurosensori)

Kesadaran coma, GCS: 2 – X – 4, sklera mata putih, conjunctiva pucat,

B4. (Bladder/Perkemihan – Eliminasi uri)

Terpasang dower kateter No 16. Terjadi inkontinensia urine ±500 cc/jam.


B5. (Bowel/Pencernaan – Eliminasi alvi

Tidak ada jejas pada daerah abdomen, bising usus (3kali/menit).


B6. (Bone)

Pada kepala ada luka, tampak adanya perdarahan, Kulit wajah tampak lecet-lecet,
kelopak mata odem dan hematoma,

1.5 Pemeriksaan Penunjang:

LAB

 HB 8,7
 Plt 321.00
 Hct 26,5
 Bun 8
 SK 0,62
 Ot 43pt 19
 Gda 165
 Na 135,7
 K 3,49
 Cl 99
 Ppt 13,4
 Aptt 27,5

CT SCAN = ICH tampak di frontal lobe (D), SDH fistel

1.6 Klasifikasi ASA dan Rencana Tindakan Anestesi

1. Pasien termasuk klasifikasi PS ASA 3 (peningkatan TIK dan COB)


1. Rencana Tindakan anestesi
Dari hasil pengkajian data diatas maka diputuskan oleh dr anestesi akan
dilakukan anestesi dengan General Anestesi (oral sleep apnoe)
Analisa Data

DATA PROBLEM ETIOLOGI


DS : - Perfusi Jaringan tekanan intrakranial
DO : tidak efektif meningkat
- TD: 129/70 mmHg
- Nadi: 132 kali/menit
- RR : 24 kali/menit
(ireguler)
- Suhu :37,70C
- GCS 2X4
- SpO2 99% dengan O2
10 Lmp (terintubasi)

Diagnosa Keperawatan Preoperatif


1. Perfusi Jaringan tidak efektif berhubungan dengan tekanan intrakranial meningkat
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Pre-op Setelah melakukan tindakan 1. Pertahankan tirah baring
Perfusi Jaringan tidak keperawatan selama 3 x 24 jam dengan posisi kepala datar
efektif berhubungan klien akan memiliki tekanan 2. Pantau/catat status
dengan tekanan perfusi serebral (CPP) minimal 50 neurologis, seperti GCS.
intrakranial meningkat lebih 60 atau adekuat dengan 3. Pantau frekuensi/irama
kriteria hasil : jantung dan denyut jantung.

DO: 4. Pantau pernapasan, catat

- - Tingkat kesadaran membaik pola, irama pernapasan dan

(GCS: E4 M6 V5). frekuensi pernapsan.

- - Tidak terjadi kejang. 5. Berikan oksigen sesuai

- - TD dalam batas normal (bayi kebutuhan

85/54 mmHg, toddler 95/65


mmHg, sekolah 105-165 mmHg,
remaja 110/65 mmHg).
-
Intervensi Evaluasi

1.Mempertahankan posisi kepala datar S :-


R : mencegah resiko trauma O:- Jalan nafas bebas, spontan respirasi
2. Pantau/catat status neurologis, seperti
(reguler), saturasi 99% O2 terintubasi
GCS.
R: Pengkajian kecenderungan adanya - GCS 2X4 disorientasi, mual (-) muntah
perubahan tingkat kesadaran dan potensial (-), kejang (-)
peningkatan TIK adalah sangat berguna
- TD 109/70 mmHg
dalam menentukan lokasi,
penyebaran/luasnya dan perkembangan dari A : Masalah teratasi sebagian
kerusakan serebral. P : Pertahankan intervensi
3. Pantau frekuensi/irama jantung dan
denyut jantung.
R : Perubahan pada frekuensi,disritmia dan
denyut jantung dapat terjadi, yang
mencerminkan trauma batang otak pada
tidak adanya penyakit jantung yang
mendasari
4. Pantau pernapasan, catat pola, irama
pernapasan dan frekuensi pernapsan.
R: Tipe dari pola pernapasan merupakan
tanda yang berat dari adanya peningkatan
TIK/daerah serebral yang terkena.
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
R: Terjadinya asidosis dapat menghambat
masuknya oksigen pada tingkat sel yang
memperburuk iskemia serebral.
Durante operasi
1. B1 (Breathing)
a. Airway: bebas dan terintubasi
b. Breating: SR 24x/menit Bunyi napas ves/ves, Ronchi (-/-), whezing (-/-), gerak
dada simetris, SpO2 99%
2. B2 (Blood)
a. Irama jantung : frekuensi nadi 125 x/menit, reguler
b. Tekanan darah: 110/80 mmhg
c. Pengisian kapiler < 2 detik
d. Perfusi: hangat, kering, merah
3. B3 (Brain)
GCS E:2 V:2 M:5
4. B4 (Bladder)
terpasang kateter no 16
5. B5 (Bowel)
Abdomen Supel, Bising usus (+) tidak tampak jejas pada abdominal
6. B6 (Bone)
Pada kepala ada luka, tampak adanya perdarahan, Kulit wajah tampak lecet-lecet,
kelopak mata odem dan hematoma,

a) Persiapan Anestesi
(a) Informd consent
(b) Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
(c) Persiapan alat untuk general anestesi antara lain :
1. Mesin anestesi yang siap pakai
2. Bag Valve Mask
3. Bag and mask + selang O2 dan sumber O2
4. Catheter suction dan mesin suction yang dipastikan berfungsi baik
5. Xyllocain spray
6. ETT sesuai ukuran (dewasa wanita 6,5;7;7,5)
7. Magyl forceps
8.Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran dan pastikan lampu dapat
menyala dengan terang
9. Oropharingeal tube
10. Stetoscope
11. Spuit cuff 20 cc
12. Plester untuk fiksasi ETT dan mata
13. Bantal intubasi
14. Obat Emergency :Sulfat Atropin, Lidocain 2%, Ephedrin
15. Obat Induksi : Midazolam, Fentanyl, Propofol, Rocuronium
16. Obat Inhalasi :Isofluran, Halotan, Sevofluran
17. Obat tambahan : Oxytocin, Transamin
18. Obat post operasi :Ranitidin, Ketorolac, Tramadol
19. Pastikan IV line terfiksasi dengan baik dan infuse berjalan dengan lancer

b) Penatalaksanaan Anestesi
1. Premedikasi : tanpa premedikasi
a) Pasang tensimeter, elektroda: RA - RL – LA – LL - V, Pulse oximetri.
b) Sebelum induksi, Bentuk rahang dan kondisi gigi geligi di periksa
c) Pasien di posisikan posisi supine
d) Berikan bantal kecil di bawah kepala
e) Mulai induksi, penyuntikan obat induksi yang dilanjutkan dengan oksigen murni (pre
oksigenasi), relaksasi otot harus betul-betul sempurna. Obat induksi yang digunakan:
Midazolam : 2 mg
Fentanyl : 100 mcg
Propofol : 50 mg + 30 mg
Rocuronium : 50 mg
f) Kepala dibuat extensi dan leher fleksi
g) Laringoskop di masukkan menyusuri tepi kanan rongga mulut dan tepi lidah, serta
menahan lidah supaya tidak mengganggu pandangan
h) Ujung blade ditempatkan di depan epiglottis dan epiglottis diangkat keatas, sehingga
akan nampak permukaan laring.
i) Untuk membantu visualisasi laring, asisten diminta melakukan penekanan di tulang
thyroid.
j) Pipa endotracheal dimasukkan mengikuti permukaan kurve blade laringoscop
k) Ujung endotrakeal melewati laryng sampai ujung pipa dan cuff berada dibawah
laring dan carina.
l) Cuff dikembangkan secukupnya sampai tidak ada suara kebocoran.
m) Auscultasi (suara nafas, simetris atau tidak)
n) Fiksasi.
o) Lakukan monitoring sampai dengan operasi selesai yang meliputi TTV, balance
cairan,respon pasien selama operasi.:

2. Jenis anestesi : general anestesi dengan teknik intubasi oral sleep apnea, ETT No 7, Cuff 6
cc, sudut bibir kanan 20 cm, teknik induksi intravena.
3. Obat inhalasi : Isofluran 1 Mac + O2 3lpm
5. Ventilasi : CMV dengan TV 360, Rate 16, O2 3 lpm
6. Dilakukan anasthesi GA jam 06 : 30 WIB
7. Operasi di mulai jam 06 : 45 WIB sampai jam 08.20 WIB

Observasi TTV durante operasi


TD sistolik : 98 - 135 mmHg
Diastolic : 54 – 82 mmHg
Nadi : 111 – 124 x/menit
Sat O2 : 99 – 100 %

Balance Cairan :

INPUT OUTPUT

PZ 500 cc URINE 80 cc

RL 500 cc DARAH 150 cc


EBV : 50 X 70 : 3500 CC HB : 8,7
EBL : 10% :350 HB : 7,83
20%: 700 HB : 7,2
30%: 1050 HB : 6,96
40%: 1400 HB : 6,09
50%: 1750 HB : 5,22
Analisa Data

DATA PROBLEM ETIOLOGI


DS : - Gangguan vasodilatasi
DO :- Pasien tersedasi hemodinamik pembuluh darah
- TD: 98/54 mmHg dampak dari obat
- Nadi: 124 kali/menit anesthesi
- Obat induksi :
Midazolam 2 mg Gangguan Perdarahan
Fentanyl 100 mcg keseimbangan
Propofol 50 + 30 mg cairan dan
Rocuronium 50 mg elektrolit
- Obat inhalasi :
Isofluran 1 Mac + O2 3lpm
- Perdarahan 150 cc
- Urine 50 cc

Diagnosa Keperawatan Durante Operatif


1. Gangguan hemodinamik berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak dari
obat anesthesi
2. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
durante operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama durante operasi, pasien tidak
mengalami gangguan hemodinamik dan tidak terjadi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit
Kriteria Hasil : 1. TTV dalam batas normal durante operasi
2. Balance cairan seimbang
3. Tidak terjadi shock hipovolemik
4. Perfusi hangat dan kering

Rencana Keperawatan
1. Observasi TTV dan saturasi O2 durante operasi tiap 3 menit
R/ Untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pada sistem tubuh
2. Observasi dan hitung jumlah perdarahan
R/ Untuk mengevaluasi jumlah cairan yang hilang
3. Hitung EBV dan EBL
R/ Untuk mengetahui kebutuhan cairan dan jumlah cairan yang hilang
4. Observasi perfusi dan konjungtiva pasien
R/ Mendeteksi dini terjadinya shock hipovolemik
5. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan cairan kristaloid atau cairan koloid.
Kalau perlu pemberian tranfusi darah
R/ Mengganti cairan tubuh yang hilang melalui perdarahan karena tindakan
pembedahan

Implementasi Keperawatan
1. Mengobservasi TTV dan saturasi oksigen selama durante operasi tiap 3menit
TD sistolik : 98 - 135 mmHg
Diastolic : 54 – 82 mmHg
Nadi : 111 – 124 x/menit
Sat O2 : 99 – 100 %
2. Mengobservasi jumlah output (perdarahan, urine) selama durante operasi
( perdarahan 150 cc Urine 80 cc )
3. Menghitung EBV dan EBL
EBV : 50 X 70 : 3500 CC HB : 8,7
EBL :
10% :350 HB : 7,83
20%: 700 HB : 7,2
30%: 1050 HB : 6,96
40%: 1400 HB : 6,09
50%: 1750 HB : 5,22
4. Mengobservasi perfusi ( Perfusi Hangat Kering Merah )
5. Kolaborasi dalam pemberian cairan kristaloid, cairan koloid, tranfusi darah
PZ 500 cc
RL 500 cc
Evaluasi Keperawatan
S:-
O:- Breathing Control Respiratori O2 juction risc 10 lpm, Saturasi O2 100 %
- Oservasi ttv : TD : 115/65 mmhg
HR : 110 x/menit
- Perpusi hangat kering merah
- IV line terpasang lancar pada tangan kanan dan kiri
- Input PZ 500cc RL 500cc,
Output darah 150 cc, urin 80 cc
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan Intervensi
Post Operasi
Kondisi post operasi di ruang kamar operasi jam 08.30
1. B1 = Airway bebas tube in
Breathing Control Respiratori O2 juction risc 10 lpm, Saturasi O2 100 %
2. B2 (Blood)
a. Irama jantung : frekuensi nadi 120 x/menit, reguler
b. Tekanan darah: 115/65 mmhg
c. Pengisian kapiler < 2 detik
d. Perfusi: hangat, kering, merah
3. B3 (Brain)
GCS tersedasi
4. B4 (Bladder)
terpasang kateter no 16

5. B5 (Bowel)
Abdomen Supel, Bising usus (+) tidak tampak jejas pada abdominal

6. B6 (Bone)
edema ( - )
Analisa Data
DATA PROBLEM ETIOLOGI
08:20 terdapat ETT Tidak efektifnya
DS : - (benda asing) bersihan jalan napas.
DO :- Pasien tersedasi
- ETT terdapat secret peningkatan
- TD: 115/65 mmHg saliva/ hiper
- Nadi: 120 kali/menit salivasi

- GCS tersedasi Pupil :


Bulat Isokor 2/2, Reflek
Penumpukan
cahaya +/+ sekret
- Control Respiratori O2
juction risc 10 lpm

Diagnosa Keperawatan Post Operatif


Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan sekret
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak terjadi obstruksi, jalan napas
bersih
Kriteria Hasil : 1. Pola napas pasien normal, suara nafas bersih
2. Frekuensi dan irama napas normal
3. Tidak terjadi sianosis
4. Vital Sign dan Saturasi O2 dalam batas normal
Rencana Keperawatan
1. Jaga jalan napas tetap bebas, Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas
R/ Mencegah terjadinya obstruksi jalan napas, Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan
sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
2. lakukan suction bila perlu, Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik
bila sputum banyak
R/ Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah
hipoksia.
3. Observasi TTV dan Saturasi O2
R/ Mendeteksi dini terjadinya gangguan pada sistem tubuh
4. Observasi pola napas pasien, frekuensi, dan kedalaman pernapasan pasien
R/ Mengevaluasi keadekuatan pernapasan pasien
5. Auskultasi suara napas pasien
R/ Mengevaluasi adanya penumpukkan sekret pada paru – paru
6. Cek pemasangan tube
R/ untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat – obat analgetik
R/ Untuk mengurangi atau mencegah terjadinya nyeri post operasi

Implementasi Keperawatan
1. Menjaga jalan nafas tetap bebas, Control Respiratori O2 juction risc 10 lpm, pasang
mayo,
2. Mensuction ETT dengan kanul suction nomor 12
3. Observasi vital sign
a. Nadi 120 x/menit, reguler
b. Tekanan darah: 115/65 mmhg
c. Pengisian kapiler < 2 detik
d. Perfusi: hangat, kering, merah
4. ETT terfiksasi dengan baik, sudut kanan bibir 20 cm
5. injeksi antrain 1gr, injeksi metoclopramid 10 mg, injeksi ranitidine 50 mg, drip
tramadol 100 mg dalam pz 100 cc

Evaluasi Keperawatan
08.30
S: -
O :- Observasi TTV : TD : 128/74 mmhg
HR : 110 x/menit
SpO2 : 99 %
- Nafas back up vent mode PSIMV FIO2 50%
- GCS 2x5
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dilanjutkandi ROI (Ruang Observasi Intensive)

Вам также может понравиться