Вы находитесь на странице: 1из 23

TINJAUAN PUSTAKA

HIV DAN PENYAKIT SEKUNDER

DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi
pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang
ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.1
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia
retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse
transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk
dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus
hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten,
mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.2

EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi melalui transfuse
darah atau komponennya yang tercemar. Makin sering transfuse dilakukan makin besar
kemungkinan terjadinya infeksi. Menurut CDC (Centers for Disease control) Amerika, 13%
kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya, 5% di antaranya
ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan pembekuan darah yang lain.
Dengan diterapkan system uji tapis yang lebih ketat terhadap donor darah, penularan melalui
transfuse ini telah berkurang, sehingga penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat
infeksi perinatal (vertical), yaitu sekitar 50-80% baik intrauterine, melalui plasenta, selama
persalinan melalui pemaparan dengan darah atau secret jalan lahir, maupun yang terjadi setelah
lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI). Penularan pasca natal terjadi melalui
pemaparan yang erat dengan darah, ekskret atau secret, masih belum dapat dipastikan oleh
karena angka kejadiannya terlampau kecil. Penularan melalui plasenata (intra natal), diduga
dapat terjadi pada periode kehamilan yang sangat dini, oleh karena pernah ditemukan adanya
antigen terhadap virus pada janin yang berusia 13-20 minggu, disamping ditemukannya
dismorfisme seperti kelainan kraniofasial, mikrosephali, dahi yang menonjol dan berbentuk

1
kotak, hipertelorisme okuler, jembatan hidung yang datar, mata yang miring, fisura palpebralis
yang panjang dan lain-lainnya.1
Sayang sekali tidak diketahui adanya factor predisposisi yang mempermudah terjadinya
penularan infeksi pada janin. Penularan melalui air susu ibu diduga dapatterjadi oleh karena
pernah ditemukan adanya virus di dalam ASI. Pada anak yang lebih besar, terutama remaja,
penularan dapat terjadi dengan cara yang sama seperti pada orang dewasa, yaitu sebagai akibat
perilaku seksual yang menyimpang (terlampau aktif, homoseksual atau biseksual),
penyalahgunaan obat dengan suntikan dan lain-lainnya.1

ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai
sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga
disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai
pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum
banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu
dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-
associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.1
Inti dari virus terdiri dari suatu protein sedangkan selubungnya terdiri dari suatu
glikoprotein. Protein dari inti terdiri dari genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah
RNA menjadi DNA pada waktu replikasi virus, yang disebut enzim reverse transcriptase. Genom
virus yang pada dasarnya terdiri dari gen, bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan
protein inti, enzim reverse transcriptase maupun glikoprotein dari selubung. Sebenarnya masih
ada gen lain yang berfungsi mengatur sintesis, kemampuan infeksi (infeksisitas), repliksi dan
fungsi yang lain dari virus. Bagian envelop yang terdriri dari glikoprotein, ternyata mempunyai
peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang besar terhadap
reseptor spesifikdari sel pejamu.

PATOFISIOLOGI
Ketika mukosa menjadi pintu masuk HIV, sel yang pertama terinfeksi adalah sel
dendritik. Sel ini merupakan sel yang bertanggungjawab dalam mengumpulkan dan mengolah

2
antigen dari luar dan mengirimnya ke jaringan lymphoid. Sebenarnya HIV tidak menginfeksi sel
dendritik, tetapi hanya mengikat molekul permukaan DC-SIGN, yang memungkikan virus
bertahan sampai jaringan lymphatic. Dalam lymph node, HIV selektif hanya berikatan dengan
sel-sel yang mengekspesikan molekul CD4 pada permukaannya. Terutama T helper lymphocytes
(CD4 cells) dan sel turunan monocyte-macrophage. Sel-sel dengan CD4 lainnya seperti
microglia, astrocytes, oligodendroglia dan jaringan plasenta yang mengandung sel vili Hofbauer
bisa terkena infeksi HIV. Biasanya CD4 lymphocytes dikerahkan dalam merespon antigen virus,
kemudian berpindah ke nodes lymph dimana mereka manjadi aktif dan berproliferasi,
menjadikannya sangat rentan terhadap infeksi HIV. Migrasi HIV pada jaringan lymphoid dimana
terdapat akumulasi sel dengan CD4 menyebabkan lemfadenopati generalisata yang merupakan
karakteristik dari sindrom retroviral akut pada dewasa maupun remaja. HIV menginfeksi sel
khusus yang meresponnya (HIV-specific memory CD4 cells), yang menyebabkan hilangnya
progresifitas dalam pengendalian replikasi HIV. Ketika replikasi HIV mencapai puncaknya (3-6
minggu dari waktu infeksi), maka akan terjadi viremia. Viremia yang intens menimbulkan gejala
seperti flu (demam, ruam, limfadenopati dan arthralgia) pada 50-70% orang dewasa yang
terinfeksi. Dengan respon imun selular dan humoral dalam waktu 2-4 bulan, akumulasi virus
dalam darah akan berkurang dan pasien memasuki karakteristik dimana berkurangnya symptoms
dan sel CD4 hanya sedikit mengalami penurunan.3
Awal replikasi HIV-1 pada anak tidak memiliki manifestasi klinis yang jelas. Jika
dilakukan uji isolasi virus atau dengan PCR untuk melihat rantai nucleic acid, kurang dari 50%
dari bayi yang menunjukan terinfeksi saat lahir, namun hampir semua bayi yang terinfeksi HIV
akan terdeteksi HIV-1 pada darah perifer dalam usia 4 bulan.3
Pada orang dewasa, masa laten klinis yang panjang (8-12 tahun) tidak menunjukan
latensi virus. Faktanya ada peningkatan jumlah virus dan CD4 lymphocytes (> 1*109/hari), yang
secara perlahan menyebabkan kerusakan pada system imunitas tubuh, dibuktikan dengan
semakin menurunnya sel CD4. Sel-sel ini dapat dihancurkan dengan beberapa mekanisme :
membunuh sel tunggal HIV-mediated, membentuk giant cells multinucleat yang terinfeksi dan
tidak terinfeksi (syncytia formation), respon imun virus spesifik, aktivasi superantigen-mediated
sel T(beresiko lebih rentan terhadap infeksi HIV) dan kematian sel terprogram (apoptosis).
Beban virus pada organ lymphoid lebih besar daripada dalam darah perifer selama periode
asymptimatic. Virion HIV dan kompleks imun bermigrasi melalui lymph nodes, mereka terjebak

3
dalam folikel dendritik. Replikasi HIV dalam sel T bergantung pada aktivasi sel, maka aktivasi
dalam lingkup mikro dari lymph nodes itu berfungsi untuk menginfeksi sel CD4 yang baru dan
kemudian terjadilah replikasi pada sel tersebut. Replikasi virus pada monosit, dimana masih
produktif sulit dibunuh, menunjukan perannya sebagai reservoir HIV dan sebagai efektor
kerusakan jaringan pada organ seperti otak.3
Respon cell-mediated dan humoral terjadi pada awal infeksi. Sel-sel CD8 T memainkan
peran penting dalam mengendalikan infeksi. Limfosit T sitotoksik (CTLs) HIV-Specific
berkembang terhadap kedua struktur (missal; ENV, POL, GAG) dan regulasi (missal; tat) protein
virus. Sel-sel CTL muncul pada akhir infeksi retrovital akut dimana replikasi virus telah
dikendalikan. Sel-sel CTL mengontrol infeksi dengan membunuh sel yang terinfeksi HIV
sebelum virus baru diproduksi dan dengan sekresi faktor antivirus potent yang bersaing dengan
virus pada reseptornya (misalnya, CCR5). Kemudian antibody muncul pada masa infeksi untuk
menekan replikasi virus selama masa latensi klinis. Setidaknya ada dua kemungkinan mekanisme
untuk mengontrol akumulasi virus yang banyak selama masa laten klinis yang kronis.
Mekanisme yang pertama dengan membatasi jumlah CD4 yang aktif untuk mencegah replikasi.
Mekanisme lainnya dengan mengontrol imun, peningkatan respon imun yang aktif (jumlahnya
tergantung antigennya sendiri) membatasi replikasi virus pada jumlah yang banyak. Tidak ada
consensus tentang yang mana dari kedua mekanisme ini yang lebih penting. Mekanisme
pembatasan sel CD4 sebagai terapi antiretroviral, sedangkan mekanisme mengontrol imun
menekankan pada modulasi imun (misal; cytokines, vaccines) untuk meningkatkan efisiensi
respon kekebalan tubuh, pada akhirnya memperlambat perkembangan penyakit.3
Grup sitokin seperti tumor necrosis factor α (TNFα), TNFβ, interleukin 1 (IL-1), IL-3,
IL-6, interferon-γ, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), dan
macrophage colony-stimulating factor, memainkan peran integral dalam pengaturan ekspresi
HIV dari keadaan infeksi inaktif menjadi replikasi virus aktif. Sitokin lain seperti interferon γ
(INFγ), INF-β, dan transforming growth factor D melakukan efek suppressive pada replikasi
HIV. Interaksi antara sitokin ini mempengaruhi konsentrasi partikel virus dalam jaringan. Jumlah
sitokin plasma tidak perlu ditingkatkan untuk meningkatkan efeknya, kareka mereka diproduksi
dan berefek local. Jadi meskipun dalam keadaan imunitas yang tenang, interaksi kompleks
sitokin menunjang tingkat ekspresi virus dalam keadaan konstan, terutama pada lymph nodes.3

4
Umumnya HIV fenotipik terisolasi selama periode laten klinis, tumbuh lambat dalam
kultur dan menghasilkan titer reverse transcriptase rendah. Keadaan ini disebut non-syncytium-
inducing (NSI) virus, yang menggunakan CCR5 sebagai co-reseptor. Pada tahap akhir laten
klinis, fenotip virus yang terisolasi berbeda. Tumbuh dengan cepat dalam kultur dan titernya
tinggi, dimana menggunakan CXCR4 sebagai co-reseptor. Peralihan dari NSI ke SI
meningkatkan kapasitas virus untuk mereplikasi, menginfeksi lebih luas sel target (CXCR4 lebih
banyak diekspresikan pada sel-sel kekebalan tubuh inaktif dan aktif), dan untuk membunuh sel-
sel T lebih cepat dan efisien. Akibatnya, tahap latency klinis berakhir dan berkembang menjadi
AIDS. Perkembangan penyakit berlajut secara fisik, bertahap dari struktur lymph node dan
degenerasi folikel dendritik, dimana sel nya kehilangan kemampuan untuk menangkap partikel
HIV. Keadaan ini membuat virus bebas terus beredar, meningkatkan viremia dan penurunan
derastis sel T CD4 pada tahap akhir dari penyakit.3
Sebelum HAART ada, ada tiga pola penyakit yang berbeda pada anak-anak. Sekitar 15-
25% bayi baru lahir terinfeksi HIV di negara maju hadir dengan perjalanan penyakit yang cepat,
dengan terjadinya AIDS dan gejala pada beberapa bulan pertama kehidupan, dan jika tidak
segera diobati waktu kelangsungan hidup rata-rata 6-9 bulan. Di negara-negara miskin >85%
bayi baru lahir yang terinfeksi HIV, perkembangan penyakitnya lebih cepat. Jika infeksi
intrauterine bertepatan dengan periode ekspansi yang cepat dari sel CD4 pada janin, secara
efektif dapat menginfeksi sebagian besar sel imunokompeten tubuh. Migrasi sel-sel ini ke
sumsum tulang, limpa dan timus akan menyebarkan HIV secara sistemik, system kekebalan
tubuh janin yang belum matang akan tak terkendali. Jadi infeksi terjadi sebelum pertumbuhan
ontogenic normal dari system kekebalan tubuh, menyebabkan penurunan system imunitas yang
lebih parah. Kebanyakan anak-anak dalam kelompok ini positif pada kultur HIV-1 dan atau virus
plasma (median 11.000 /mL) dalam 48 jam pertama kehidupan. Ini menunjukan bahwa bayi baru
lahir telah terinfeksi virus dari dalam kandungan. Pertumbuhan virus dengan cepat meningkat
dan mencapai puncaknya pada umur 2-3 bulan (median 750.000 /mL)
Dan secara perlahan akan menurun. Berbeda dengan pertumbuhan virus pada orang dewasa,
pada bayi pertumbuhan virusnya tetap tinggi setidaknya dalam 2 tahun pertama kehidupan.3
Kebanyakan bayi yang terinfeksi dalam kandungan (60-80%) mengikuti pola yang kedua,
dimana perkembangan penyakitnya lambat, dengan waktu kelangsungan hidup rata-rata 6 tahun.
Kebanyakan pasien ini jika dikultur atau PCR pada satu minggu pertama kehidupan hasilnya

5
negative, karna itu pola seperti ini dianggap infeksi intrapartum. Pada pasien yang khas,
pertumbuhan virus cepat meningkat pada umur 2-3 minggu (median 100.000 /mL) dan secara
perlahan menurun sampai umur 24 bulan. Penurunan yang lambat dari viral load ini berlawanan
dengan penurunan yang cepat setelah infeksi primer pada orang dewasa. Keadaan ini hanya
sebagian yang dapat dijelaskan berdasarkan ketidakmatangan system imunitas tubuh pada bayi
baru lahir dan bayi.3
Pola ketiga penyakit (bertahan lama) terjadi pada sebagian kecil (<5%) dari anak yang
terinfeksi dalam kandungan dengan perkembangan minimal dengan jumlah CD4 yang relative
normal dan viral load yang sangat rendah selama lebih dari 8 tahun.3
Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan dalam system imunitas tubuhnya seperti
halnya pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Penurunan sel CD4 mungkin tidak terlalu drastic
karena biasanya bayi memiliki limfositosis relative. Oleh karena itu, jika pada anak < 1th nilai
CD4 1.500 /mm3 merupakan indikasi penurunan CD4 yang parah, sebanding dengan < 200 /mm3
pada orang dewasa. Limfopenia relative jarang terjadi pada anak yang terinfeksi dalam
kandungan dan biasanya hanya terlihat pada usia yang lebih tua atau pada stadium akhir
penyakit. Meskipun anergi kulit merupakan hal umum selama infeksi HIV, tapi terjadi juga pada
bayi sehat < 1th, maka interpretasinya sulit pada bayi yang terinfeksi.3
Aktivasi sel-B terjadi pada sebagian besar anak di awal infeksi, dibuktikan dengan
hipergammaglobulinemia (> 1.750 g/L) dengan tingkatan anti-HIV-1 yang tinggi. Ini mungkin
menggambarkan disregulasi penekanan sintesis sel-T dari sisntesis sel-B dan peningkatan CD4
aktif dari respon humoral limfosit-B. pada beberapa anak tidak ditemukan pembentukan antibody
spesifik dan pada orang dengan antibody yang adekuat tetap tidak memberikan perlindungan.
Karena hipergammaglobulinemia sering terjadi pada anak yang terinfeksi HIV, bisa berfungsi
sebagai penanda infeksi pada anak daripada PCR atau kultur yang mungkin tidak tersedia atau
harganya lebih mahal. Hypogammaglobulinemia sangat jarang (< 1%). Keterlibatan sistem saraf
pusat umumnya terjadi pada pasien anak daripada orang dewasa. Makrofag dan microglia
memainkan peran penting dalam neuropathogenesis HIV, dan ada data juga menunjukan bahwa
astrosit juga mungkin terlibat. Meskipun mekanisme khusus ensefalopati pada anak belum jelas,
perkembangan otak pada bayi, dengan myelinization tertunda, akan lebih rentan terhadap infeksi
HIV.3

6
Memahami hubungan kompleks antara respon imun spesifik dan mekanisme virus untuk
bertahan hidup, sangat penting untuk strategi terapi. Meskipun replikasi virus dapat ditekan
dengan antiretroviral, penting untuk mengembangkan strategi dengan modulasi respon imun.3

TRANSMISI
1. Penularan secara horizontal
- Hubungan seksual (vagina, anal, atau orogenital)
- Kontak kulit (dari jarum yang terkontaminasi atau benda tajam lainnya)
- Pajanan selaput lendir dengan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi
2. Prnularan secara vertikal
- Dari ibu ke bayi melalui transplasenta didalam rahim, saat persalinan, atau
menyusui.4

FAKTOR RISIKO PENULARAN


Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi :

1. Faktor ibu dan bayi


a. Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar
HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu
setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh
seseorang.
b. Faktor bayi
1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi yang
meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya
2. Faktor cara penularan

a. Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi,
b. Bayi menelan darah ataupun lendir ibu,
c. Persalinan yang berlangsung lama,

7
d. Ketuban pecah lebih dari 4 jam
e. Penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan
tindakan episiotomy
f. Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada ASI4

Transmisi perinatal dapat menurun dari sekitar 25% menjadi kurang dari 8% dengan
pengobatan antiretroviral pada ibu sebelum dan selama persalinan dan pengobatan pascalahir
pada bayi. Menyusui oleh ibu yang terinfeksi HIV meningkatkan ridiko penularan sebesar 30% -
50%.

MANIFESTASI KLINIS
Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena diperlukan waktu
untuk terjadinya replikasi virus kemudian memegang peran dalam timbulnya berbagai gejala
klinis dan laboratorium. Dengan demikian ini bearti masa inkubasi infeksi HIV sangat berbeda-
beda tergantung kepada dosis infeksi dan daya tahan tubuh inang. Menurut Apradi dan Caspe
(1990), pada infeksi yang terjadi vertical, lebih dari 50% masa inkubasinya sekitar 1 tahun, 78%
sekitar 2 tahun. Pada anak yang lebih basar, masa inkubasi ini umumnya lebih panjang,
walaupun lebih pendek jika dibandingkan dengan masa inkubasi pada orang dewasa. Pada 5%
kasus, dijumpai masa inkubasi yang lebih dati 6-9 tahun,. Setelah masa inkubasi timbul gejala
prodromal yang bersifat non spesifik setelah suatu selang waktu yang berbeda-beda.

Gejala nonspesifik (prodromal) infeksi HIV:

- Demam
- Gangguan pertumbuhan
- Kehilangan berat badan (10% atau lebih)
- Hepatomegali
- Limfadenopati (diameter lebih dari 0,5 cm pada 2 tempat atau lebih)
- Splenomegali
- Parotitis
- Diare

8
Geajala spesifik infeksi HIV

- Gangguan tumbuh kembang dan fungsi intelek


- gangguan pertumbuhan otak
- deficit motoris yang progresif yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala berikut,
paresis, tonud oto yang abnormal, reflex patologis, ataksi atau gangguan
melangkah
- lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
- infeksi sekunder yang terdiri dari :

No Jenis Infeksi Contoh penyakit


1. Infeksi oportunistik - pneumonia (Pneumocytis carini,
kandidiasis, infeksi Cryptococcus, infeksi
mikrobakteria yang apatik)
2. Infeksi sekunder - Stresptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza, Neisseria meningitidis,
Salmonella enteritidis yang menimbulkan
sepsis, meningitis, pneumonia dan abases
organ interna
3. Infeksi virus - Stomatitis herpes yangkronik dan berulang,
herpes zoster multidermatomal atau luas.

- Keganasan sekunder seperti limfoma susunan saraf pusat primer, Hodgkin’s B cell dan
non Hodgkin’s lymphoma, sarcoma Kaposi (umumnya pada orang dewasa)
- Penyakit tertentu yang lain seperti kardiomiopati dengan gagal jantung atau aritmia,
beberapa kelainan hematologic (tersering anemia dan trombositopenia),
glomerulonefropati, kelainan kulit seperti eksim, seborrhoe, molluscan contagiousus
yang berat dan berjalan lama. Perlu dikemukanakan bahwa sebelum timbul gejala,
umumnya telah dapat dijumpai adanya gangguan fungsi imun.

9
Kelainan imunologik pada awal infeksi HIV

1. Hipo atau hiper gamaglobunemia


2. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun
3. Menurunnya rasio sel limfosit T-CD4 (Th): T-CD4 (Ts)
4. Limfopenia absolute
Berdasarkan gejala-gejala di atas, maka secara klinis infeksi HIV oleh Apradi dan Caspe
(1990) dianjurkan untuk dibagi atas beberapa kelas seperti tertera berikut ini.

Kalsifikasi Infeksi HIV pada Anak


KELAS P-0 = Infeksi belum jelas
KELAS P-1= Infeksi tanpa gejala
Subkelas A - fungsi imunologik normal
Subkelas B - fungsi imunologik abnormal
Subkelas C - fungsi imunologik belum diperiksa
KELAS P-2 = infeksi dengan gejala
Subklas A - gejala nonspesifik
Subklas B - gejala neurologic yang progresif
Subklas C - lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
Subklas D - penyakit infeksi sekunder
Subklas E – keganasan sekunder
Subklas F – penyakit lain yang mungkin oleh karena infeksi HIV
DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.3

Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :

1. Lahir dari ibu risiko tinggi atau terinfeksi HIV

Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap
mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon

10
antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak
yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon serokonversi positif pada
pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA), Immunofluorescent assays (IFA) atau
HIV-1 antibody western blots (WB).

2. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV


3. Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)
5. Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.3

Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian manifestasi klinis.
Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium.3
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV
harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV,
yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka
dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
 ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
 Western blot (positif)
 P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
 Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
 Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
 Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat).

11
NEC
Definisi

Enterokolitis nekrotikans adalah kelainan pada saluran pencernaan berupa bercak atau
nekrosis difus pada mukosa atau submukosa kolonyang didapat dan paling sering terjadi pada
bayi prematur dan dengan berat lahir sangat rendah.5

Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi EKN hingga saat ini belum dapat dipastikan, namun diyakini erat kaitannya
dengan terjadinya iskemik intestinal, faktor koloni bakteri dan faktor makanan. Iskemik
menyebabkan rusaknya dinding saluran cerna, sehingga rentan pada invasi bakteri. EKN jarang
terjadi sebelum tindakan pemberian makanan dan sedikit terjadi pada bayi yang mendapat ASI.
Bagaimananapun, sekali pemberian makanan dimulai, hal itu cukup untuk menyebabkan
proliferasi bakteri yang dapat menembus dinding saluran cerna yang rusak dan menghasilkan gas
hidrogen. Gastersebut bisa berkumpul dalam dinding saluran cerna (pneumotosis intestinalis)
atau memasuki vena portal.
Enterokolitis nekrotikans sering dihubungkan dengan dengan faktor resiko spesifik,
antara lain : pemberian susu formula, asfiksia, Intrauterine Growth Restriction (IUGR),
polisitemia / hiperviskositas, pemasangan kateter umbilikal, gastroskisis, penyakit jantung
bawaan, dan mielomeningokel.
Enterokolitis nekrotikan bisa timbul sebagai kumpulan penyakit atau penyakit dominan di Unit
Rawat Intensif Neonatus. Beberapa kumpulan tampaknya berhubungan dengan organisme
spesifik (misalnya Klebsiella, Escherichia coli, Staphylococcus koagulase-negatif), tetapi sering
kuman patogen spesifik tidak diketahui.

Patogenesis
Walaupun etiologi EKN masih kontroversi, analisis epidemiologi penyakit ini telah
mengidentifikasi beberapa faktor resiko utama, yaitu prematuritas, makanan enteral, iskemik
ataupun asfiksia intestinal, dan kolonisasi bakteri. Studi terakhir menunjukkan hubungan faktor
resiko ini dengan terjadinya nekrosis usus. Studi ini menggambarkan bagaimana kerusakan

12
mukosa juga berhubungan dengan terganggunya sistem imun yang mengakibatkan aktivasi
mediator inflamasi, yang pada akhirnya menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik.

1. Prematuritas
Lebih dari 90 % kasus EKN terjadi pada bayi prematur, berat badan lahir rendah,
dan telah menjadi faktor resiko utama. Walaupun banyak perbedaan antara bayi prematur
dengan bayi cukup bulan, mekanisme yang bertanggung jawab terhadap predileksi EKN
pada kondisi EKN masih belum dipahami sepenuhnya. Penelitian yang dilakukan pada
manusia dan hewan telah mengidentifikasi perubahan dalam komponen–komponen
sistem pertahanan usus, motilitas, kolonisasi bakteri, regulasi aliran darah, dan reaksi
inflamasi yang berperan dalam terjadinya kerusakan pada usus.

2. Iskemik intestinal atau asfiksia


Hasil suatu studi pada hewan baru lahir menunjukkan perbedaan sirkulasi saluran
cerna yang menjadi predisposisi terjadinya EKN. Resistensi pembuluh darah basal
saluran cerna meningkat pada fetus, dan menurun dengan signifikan segera setelah lahir,
menimbulkan peningkatan kecepatan aliran darah saluran cerna yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan saluran cerna dan somatik yang kuat. Perubahan pada resistensi vaskular
tergantung pada keseimbangan antara molekul dilator (nitrat oksida) dan konstriktor
(endotelin), dan juga respon miogenik. Studi menunjukkan bahwa bayi baru lahir
memiliki penyimpangan respon terhadap stres sirkulasi, yang menyebabkan penurunan
aliran saluran cerna atau resistensi vaskuler.5
Dalam respon terhadap hipotensi, hewan baru lahir menunjukkan defek tekanan-
autoregulasi aliran darah, menyebabkan penurunan penyediaan oksigen saluran cerna dan
oksigenasi jaringan. Sebagai tambahan, pada hipoksemia arteri, sirkulasi saluran cerna
bayi baru lahir memiliki respon yang berbeda dari hewan yang lebih tua. Walapun setelah
hipoksemia, terjadi vasodilatasi dan peningkatan perfusi saluran cerna, hipoksemia berat
akan menyebabkan vasokonstriksi dan iskemia atau hipoksia saluran cerna, dimediasi
oleh tidak adanya produksi nitrat oksida. Kebanyakan mediator kimia (nitrat oksida,
endotelin, substansi P, norepinefrin, dan angiotensin) berdampak pada vasomotor,
regulasi abnormal menghasilkan penekanan autoregulasi sirkulasi, mengarah pada
iskemia saluran cerna dan nekrosis jaringan.

13
Nekrosis dimulai di mukosa dan dapat berkembang mengenai seluruh lapisan
dinding saluran cerna, menyebabkan perforasi yang berikutnya menyebabkan peritonitis
dan udara bebas intra-abdomen. Perforasi umumnya terjadi di ileum terminal, kolon dan
lebih jarang terjadi di usus kecil bagian proksimal. Sepsis terjadi pada 33% bayi dan
kematian dapat terjadi.

3. Pemberian makanan secara enteral


Kebanyakan kasus EKN terjadi setelah pemberian makanan secara enteral yang
diberikan kepada bayi prematur. Pada beberapa kasus yang pernah dilaporkan pada
beberapa dekade yang lalu, EKN terjadi beberapa hari setelah pemberian makanan yang
pertama, tapi pada laporan kasus yang terjadi pada 1990-an EKN yang terjadi pada
BBLSR, terdiagnosis setelah beberapa minggu. Adanya perbedaan kasus diatas telah
memberikan pemahaman baru bagaimana perawatan terhadap neonatus, seperti
pemberian makanan hipokalori dengan jumlah sedikit, dan ditingkatkan secara perlahan,
sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya EKN. Walaupun hubungan antara
makanan enteral dan EKN masih belum dipahami sepenuhnya, tapi beberapa studi
membuktikan pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI), yang memang berbeda dengan
susu formula, baik dari segi jumlah, komposisi, dan osmolalitas.6
Pada penelitian secara prospektif yang pernah dilaporkan, didapatkan penurunan
50% angka kejadian EKN dengan pemberian ASI, terutama pada bayi BBLR. ASI
mengandung berbagai faktor bioaktif yang mempengaruhi imunitas, inflamasi, dan
proteksi mukosa, termasuk sekresi Immunoglobulin A (IgA), leukosit, laktoferin,
lisozim,musin, sitokin, faktor pertumbuhan, enzim, oligosakarida, dan asam lemak tak
jenuh rantai ganda, yang mana sebagaian besar tidak terkandung pada susu formula.
Sistem pertahanan mukosa saluran cerna didapatkan dari ASI, seperti faktor pertumbuhan
epidermal, asam lemak tak jenuh rantai ganda, platelet activating factor-acetylhydrolase,
IgA dan makrofag yang efektif dalam menurunkan penyakit ini pada hewan, walaupun
belum sepenuhnya terbukti efektif pada percobaan manusia.

4. Kolonisasi Bakteri
In Utero, usus janin terus dibasahi dalam cairan amnion yang steril, diperkaya
dengan nutrisi, hormon, dan faktor-faktor pertumbuhan yang membantu perkembangan

14
dari traktus intestinal. Saat lahir, bayi akan meninggalkan lingkungan yang steril
tersebut. Pemberian ASI pada bayi akan membentuk kolonisasi beberapa jenis organisme
pada minggu pertama kehidupan, termasuk spesies anaerob seperti Bifidobacteria dan
Lactobacill. Dibandingkan dengan bayi yang dirawat Rumah Sakit, saluran cerna pada
bayi yang prematur memiliki spesies bakteri yang sedikit, dan bakteri anaerob yang lebih
sedikit atau mungkin sama sekali tidak ada.7

Kolonisasi oleh bakteri komensal membuat sebuah flora usus yang stabil dan
sangat penting bagi perkembangan struktur intestinal. Bakteri komensal mampu
meningkatkan dan menjaga kesatuan sebagai mukoprotektor dengan menurunkan
produksi mukus, memperkuat Intestinal Tight Junction, memproduksi zat-zat racun yang
melawan bakteri aerobik, dan menurunkan pH intralumen.

Ketidakseimbangan kolonisasi bakteri, dimana terdapat ketidakseimbangan


antara bakteri patogen dan komensal menyebabkan dominasi dan proliferasi patologis
yang dilakukan oleh bakteri patogen. Bukti terakhir menunjukkan bahwa kontaminasi
dan kolonisasi bakteri pada pemberian makanan formula melalui Nasogastric tube (NGT)
pada bayi prematur merupakan predisposisi pada beberapa bayi untuk terjadinya EKN.
Mekanisme spesifik bagaimana inisiasi bakteri dalam kejadian EKN belum sepenuhnya
dimengerti, namun pada kebanyakan kasus ditemukan bahwa dinding sel bakteri patogen
menghasilkan endotoksin, dan beberapa komponen aktif menyerupai reseptor di epitel
usus, dan mengaktivasi mediator inflamasi yang memicu kerusakan usus.

Diagnosis
Menurut WHO (2008), tanda-tanda umum pada EKN meliputi :
a. Distensi perut atau adanya nyeri tekan.
b. Toleransi minum yang buruk.
c. Muntah kehijauan atau cairan kehijauan keluar melalui pipa lambung.
d. Darah pada feses.
e. Tanda-tanda umum gangguan sistemik :
1) Apneu
2) Terus mengantuk atau tidak sadar
3) Demam atau hipotermi

15
Pemeriksaan penunjang

a. Darah lengkap dan hitung jenis


Hitung jenis leukosit bisa normal, tetapi biasanya meningkat dengan shift to the
left, atau rendah (leukopenia), trombositopenia sering terlihat. 50 % kasus terbukti
EKN, jumlah platelet< 50.000 uL.
b. Kultur
Specimen darah, urin, feses, dan Cairan serebrospinal sebaiknya diperiksa untuk
kemungkinan adanya virus, bakteri, dan jamur yang patogen.
c. Elektrolit
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia dan hipernatremia serta hiperkalemia
sering terjadi.
d. Analisa gas darah
Asidosis metabolik, ataupun campuran asidosis metabolic dan respiratorik
mungkin terlihat.
e. Sistem koagulasi
Jika dijumpai trombositopenia ataupun perdarahan screening koagulopati lebih
lanjut harus dilakukan. Prothrombin Time memanjang, Partial Thromboplastin
time memanjang, penurunan fibrinogen dan peningkatan produk pemecah fibrin,
merupakan indikasi terjadinya disseminatedintravascular coagulation (DIC).
f. C-Reaktif protein
Mungkin tidak meningkat atau pada kasus EKN yang lanjut karena bayi tidak bisa
menghasilkan respon inflamasi yang efektif.
g. Biomarker
Dilakukan untuk mendiagnosis dan memprediksi penyebab EKN seperti gas
hydrogen, mediator inflamasi didalam darah, urin atau feses dan genetic marker,
tetapi semua kerugian membatasi kegunaannya. Penelitian lebih lanjut tentang
genomicdan proteomic marker terus diteliti.

Selain dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis


merupakan pemeriksaan rutin yang sering dilakukan oleh klinisi untuk
mendeteksi adanya kelainan. Pemeriksaan dapat dilakukan secara polos ataupun

16
dengan media kontras. Pada anak dengan EKN yang umumnya menunjukkan
gejala penyakit akut dan berat, perut kembung, muntah–muntah, menyerupai
gejala ileus, maka tidak dilakukan dengan kontras, foto polos dan tanpa persiapan.

Foto dilakukan pada posisi Anteroposterior, erek atau semierek dengan


diafragma terlihat, ataupun left lateral dekubitus (LLD). Beberapa klinisi
menyukai posisi LLD karena dapat menunjukkan fenomena anak tangga pada
ileus, distensi usus, dan adanya udara diluar rongga usus.

DIAGNOSIS BANDING
Syndrom imunodefisiensi primer
Definisi
Imunodefisiensi primer adalah sekumpulan dari lebih dari 350 penyakit kronis
yang langka dimana satu atau beberapa bagian dari sistem kekebalan tubuh tidak ada atau
tidak berfungsi dengan baik. Penyakit ini merupakan yang penyakit genetik, tidak
menular dapat ditemukan pada anak-anak maupun dewasa dan gejala yang ditunjukkan
bervariasi tergantung komponen sistem kekebalan yang terkena.8

Tanda dan gejala


The Jeffrey Modell Foundation mengembangkan sejumlah tanda waspada/warning
signs untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap imunodefisiensi primer. Seseorang
dicurigai mengalami imunodefisiensi primer bila mengalami dua atau lebih gejala berikut:
- Empat atau lebih infeksi baru pada telinga dalam satu tahun
- Dua atau lebih infeksi sinus yang serius dalam satu tahun
- Penggunaan antibiotik selama dua bulan atau lebih tanpa memberikan efek
- Dua atau lebih pneumonia dalam satu tahun
- Berat badan tidak naik-naik atau gagal tumbuh pada bayi
- Abses berulang pada organ atau jaringan kulit
- Infeksi jamur yang menetap pada kulit dan mulut
- Perlu antibiotik intravena untuk membasmi infeksi
- Dua atau lebih infeksi organ dalam atau sepsis

17
- Riwayat keluarga dengan imunodefisiensi

Diagnosis
Anak yang dicurigai imunodefisensi primer akan menjalani berbagai pemeriksaan mulai
dari penelusuran riwayat penyakit seperti penyakit infeksi, riwayat keluarga (gejala yang sama
pada keluarga dan penelusuran silsilah keluarga/pedigree, riwayat perkawinan dengan saudara),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (laboratorium, pemeriksaan radiologi dan lain-
lain).
Permeriksaan laboratorium dapat dimulai dari pemeriksaan darah lengkap dan kimia
klinik. Pemeriksaan ini umumnya tersedia di berbagai rumah sakit daerah dan rujukan di
Indonesia. Pemeriksaaan untuk menyingkirkan diagnosis lain dengan gejala yang mirip seperti
HIV, kelainan autoimun, alergi, fibrosis kistik, kelainan struktur anatomis dan kanker juga perlu
dilakukan.
Pemeriksaan selanjutnya adalah kadar immunoglobulin (IgG, IgM, IgA dan IgE) untuk
menyingkirkan defisiensi antibodi yang merupakan kelainan yang paling banyak ditemukan.
Selain itu dilakukan juga pemeriksaan-pemeriksaan tergantung klinis dan temuan laboratorium
sebelumnya seperti: respon booster immunoglobulin, subklas IgG, subpopulasi limfosit,
proliferasi limfosit, maturasi sel B, fungsi fagosit, pemeriksaan komunikasi antara limfosit
T/makrofag, dan komplemen.8

TATALAKSANA
1. Tindakan suportif
- Anak dengan infeksi HIV kerap kali harus dirawat di rumah sakit oleh karena untuk
evaluasi atau pemberian obat termasuk antibiotic
- Perlu diketahui bahwa pada pasien sering terjadi reaksi ikutan atau toksik akibat
pemberian obat terutama oleh karena trimetoprim-sulfametosazol.
- Perhatikan kebutuhan nutrisi pasien terutama jika pasien mengalami diare
- Pemberian darah dan kandungannya dipastikan tidak menimbulkan reaksi ikutan atau
yang mengandung sitomegalovirus
- Perlunya membangun pengertian dan kewaspadaaan keluarga dan masyarakat,
kepercayaan diri orang tua dan keluarga

18
2. Penanggulangan infeksi bakteri
- Berikan antibiotic sesua dengan penyebab infeksi
- Cegah terjadinya resistensi terhadap antibiotic yang diberikan
- Pemberian immunoglobulin ( dosis 200-300 mg/kgBB dua kali seminggu)
- Pemberian imunisasi dapat dipertimbangkan factor prevalens, morbiditas dan mortalitas
penyakit infeksi tersebut, kemampuan anak dengan HIV untuk membentuk antibody,
risiko pemberian vaksin virus hidup dengan defisiensi imun, kemungkinan antigen yang
diberikan dapat meningkatkan replikasi HIV.
- Edukasi saudara dan keluarga pasien yang masih sehat untuk diberikan vaksin mati
3. Penangggulangan Infeksi Opurtunistik
Organisme Manifestasi klinis Pengobatan
Pneumocystis carinii Pneumonia Kontrimoksasol/ pentamidin
isotionat
Toxoplasma gondii Abses otak Sulfadiazine dan
pirimetamin
Kandida Moniniliasis, esofagitis Nistatin, klotrimasol,
ketokonasol, amfoterisin B
Kriptosporidium Gastroenteritis Suportif
Cryptococcus neoformans Meningitis, fungemia, Amfoterisin B
pneumonia
Sitomegalovirus Koreoretinitis, pneumonia, Gansiklovir
hepatitis, colitis, esofagitis,
ensefalitis, dll.
Herpes simpleks Stomatitis, infeksi perianal Asiklovir
Varisela- Zoster Varisela primer, zoster Asiklovir
Mikobakteum avium/ intra- Infeksi tulang, hati, saluran Etambutol, isoniasid,
selular cerna, kelenjar, dll etionamid, ansamisin,
klofasimin, amikasin.

4. Pengobatan Retrovirus

19
Bayi dan anak umur <18 bulan dengan hasil tes antibodi positif dan mungkin
dilakukan uji virologik dan konfirmasi, harus diberi ARV bila secara klinis didiagnosis
HIV yang berat.9

Rekomendasi rejimen Inisiasi (first time)


Anak usia ≤3 tahun:
 Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)
 Stavudin (D4T) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)
Anak usia ≥3 tahun dan berat ≥10 kg
 Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV)
 Stavudin (D4T) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV)

Pemantauan
Setelah pemberian ARV, pasien diharapkan datang setiap 1-2 minggu untuk pemantauan
gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek samping, kepatuhan minum obat, dan kondisi
lain. Setelah 8 minggu, dilakukan pemantauan yang sama tetapi dilakukan 1 bulan sekali
Pemeriksaan laboratorium yang diulang adalah darah tepi, SGOT/SGPT, CD4 setiap 3
bulan, dapat lebih cepat bila dijumpai dengan kondisi yang mengindikasikan untuk dilakukan.5

ZDV (AZT) Pediatrik (rentang dosis 90 mg-180mg/m2


(Zidovudine, Retrovir*) LPB)
Oral 160 mg/m2 LPB tiap 12 jam 6-7
mg/kg/1xl
Adolesen 3x200 mg/200mg/ hari, atau 2x300
mg/hari
3TC Pediatrik 4 mg/kg, 2x sehari dosis terapi
(Lamivudine, Viracept*) Adolesen BB <50 kg: 2 mg/kg, 2x sehari
BB ≥50 kg: 2x150 mg/hari
NFV Pediatrik 20-30 mg/kg, dapat sampai 45
(Nevirapine, Viramune*) mg/kg, 3x sehari

20
Aldolesen 2x1250 mg/hari, 3x750 mg/hari
NVP Pediatrik
(Nevirapine, Viramune*) -14 hari pertama: inisial 5 mg/kg sekali
sehari (max.200 mg)
-14 hari kedua dosis 5 mg/kg/dosis 2 kali
sehari
-selanjutnya dosis 7 mg/kg/dosis 2 kali sehari
untuk anak <8 tahun >8 tahun-aldolesen
-dosis inisial 1x200 mg sehari selama 14 hari
kemudian naikkan menjadi 2x200 mg bila
tidak terdapat rash atau reaksi simpang obat
lain.
Stavudin (d4T/Stavir*) 1 mg/kg/dosis diberikan 2 kali sehari
Efavirenz (Sustiva*) Anak ≥3 tahun : 10-<15 kg:200mg; 15-,20
kg:250mg; 20-<25kg: 300mg; 25-32,5
kg:350mg, 32,5-<40kg:400 mg
TMP/SMX Profilaksis: 2,5 mg TMP/kg, 2x sehari, 3 kali
(Kotrimoksasol) untuk pneumocytis carinii seminggu
Pengobatan (setelah 5 mg zidovudin); 8-
10mg mg/kg/hari dalam 2 kali pemberian
setiap hari

PENCEGAHAN
1. Pemberian vaksin
Vaksin rekombinan yang dibuat dari selubung HIV
2. Pencegahan penularan vertical
Menghindarkan ibu dari infeksi HIV seperti uji tapis untuk wanita yang berisiko
tinggi, penyuluhan dan bimbingan untuk mencegah penggunaan jarum suntik bersama,
menggunakan proteksi pada waktu melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang
berisiko tinggi, dan jika perlu cegah kehamilan
3. Pencegahan Penularan horizontal

21
Uji tapis serologic bagi darah donor dan pengawasan serta perlakukan yang lebih
ketat bagi bahan-bahan yang berasal dari darah, terutama yang akan diberikan untuk anak
yang perlu mendapat transfuse atau pemberian bahan yang berasal dari darah, penyuluhan
serta pembinaan agar memahami cara dan risiko penularan HIV. Disamping itu perlu
penyebarluasan pengethauan tentang sifat HIV, cara penyebaran, cara perawatan dan
penanggulangannya dan obat-obat terbaru.

PROGNOSIS
Infeksi HIV pada umunya berjalan progresif akibat belum ditemukan cara yang efektif
untuk menanggulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan progresif hingga prognosisnya
pada umumnya buruk.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus.


Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 – 247.

2. Prof. Subowo, dr. Msc.Phd. 2010.Imunologi Klinik.CV. SAGUNG SETO. P.177.Jakarta

3. Ram Yogev, Ellen Gould Chadwick. Acquired Immunodeficiency Syndrome : Behrman


RE, Kliegman RM Jenson HB (editor). Nelson test book of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelpia: Saunders; 2004: 1109-1121

4. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko


penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan
penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16

5. Ganong, William F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC
6. Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatam: Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta: EGC
7. Sukadi, A. 2002. Pedoman Terapi Penyakit Pada Bayi Baru Lahir.Bandung:
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS

8. Cooper MA, Pommering TL, Koranyi K. Primary Immunodeficiencies. Am Acad Fam


Physicians. 2011;68:2001–8.
9. Panitia penyusun panduan pelayanan medis RSCM: panduan pelayanan medis
deparetemen ilmu penyakit anak RSCM. Jakarta: RSUP Nasional DR
Ciptomangunkusumo; 2007

23

Вам также может понравиться