Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
INDIKASI PERMASALAHAN
DAN POSISI PENGELOLAAN SANITASI
Verifikasi
Lapangan
Penetapan Area
beresiko
Penyusunan
Bab 5 BPS
Tahap berikutnya adalah penilaian, penetapan dan pemetaan area berisiko dengan menggunakan data
EHRA 2012. Data dari studi EHRA ini memperlihatkan kondisi sanitasi dan air bersih, dan perilaku-
perilaku terkait higienitas dan sanitasi yang memiliki resiko pada kesehatan masyarakat. Proses
penilaian terhadap data EHRA, kemudian dilanjutkan dengan menggabungkan hasil analisis data
sekunder dan persepsi SKPD yang tergabung dalam pokja Kabupaten Lombok Tengah untuk
menetapkan area berisiko. Anggota pokja (kelompok kerja) memberikan persepsi atau pandangan
terhadap area-area yang berpotensi terkena risiko kesehatan masyarakat berdasarkan pengamatan,
pengetahuan praktis dan keahlian profesi yang dimiliki setiap individu. Hasil analisis kemudian
dicheck dengan melakukan observasi di lapangan. Dari hasil analisis dan gabungan dari data tersebut
didapat hasil dari 139 desa hasil dari persepsi SKPD, data sekunder, berdasarkan studi EHRA di
Kabupaten Lombok Tengah, terlihat bahwa di Kecamatan Batukliang Utara di Desa Aik Berik, Desa
Puyung, Kelurahan Praya, Kelurahan Tiwugalih, Kelurahan Semayan, dan Desa Penujak merupakan
Desa yang mempunyai resiko sanitasi tinggi sedangkan untuk Desa Barabali, Desa Peresak, Desa
Mantang, Desa Aik Darek dan lainnya (terlampir) adalah desa yang mempunyai resiko sanitasi.
Dari 21 desa dan 5 kelurahan yang masuk kategori berisiko tinggi, persoalan utama yang
menjadi penyebabnya hampir sama. Permasalahan utama yang ditemukan yakni belum teraturnya
pengelolaan, pembatasan, pemanfaatan, dan tersedianya infrastruktur penunjang persampahan
sampah rumah tangga. Masyarakat membuang sampah rumah tangga di halaman, kebun, drainase
dan sungai karena belum meratanya pengambilan sampah oleh petugas dan belum adanya regulasi
tentang pengelolaan persampahan (pembuangan, pemilihan dan pengolahan) baik dari pihak
pemerintah maupun peraturan dari wilayah desa setempat (awik-awik). Masih kurang baiknya
pengelolaan persampahan juga disebabkan karena masih kurangya sarana prasarana (infrastruktur)
tempat pembuangan sampah dan masih lemahnya tingkat kesadaran masyarakat. Hal ini berimplikasi
pada masih adanya perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan.
Buangan limbah cair baik dari rumah tangga maupun home industry seperti usaha tahu
tempe, pengerajin genteng, potong ayam dan sebagainya maupun limbah cair domestik merupakan
permasalahan yang juga ditemukan diwilayah area beresiko tinggi seperti di Kelurahan Semayan,
Tiwu Galih, Praya dan Desa Puyung. Sedangkan untuk limbah padat terdapat di RSUD Praya, RSUD
Yatofa, yang belum dikelola secara optimal. Disamping itu, di Kota Praya, pengelolaan persampahan
hanya menjadi prioritas kedua. Persoalan limbah di area beresiko tinggi disebabkan juga oleh belum
adanya system pembuangan limbah yang baik (belum menggunakan saluran pembuangan air limbah
yang baik), kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengeolaan air limbah, belum adanya regulasi
yang jelas dari pihak pemerintah mengenai mekanisme pengelolaan limbah berimplikasi pada masih
buruknya perilaku masyarakat dalam hal pengelolaan limbah.
Pada subsektor drainase permasalahannya adalah belum ada lembaga yang secara khusus
menangani persoalan drainase. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menangani drainase adalah
dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya sehingga efektivitas penanganannya masih minim.
Persoalan lainnya yaitu dokumen-dokumen perencanaan yang menjadi pijakan dalam pengelolaan
drainase belum tersedia. Disisi lain partisipasi masyarakat dan pihak swasta belum digerakkan secara
optimal sehingga berakibat pada rendahnya tingkat kesadaran masyarkat dalam pengelolaan drainase
khususnya dan sanitasi pada umumnya.
Keterangan Gambar :
tangga
pelambik PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Praya Timur Bilelando PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Mujur PHBS, BABS, Air limbah, Drainase,
Genangan Air, dan Kepadatan Penduduk
Pujut Sengkol PHBS, BABS, Air limbah, Drainase,
Genangan Air, dan Kepadatan Penduduk
Tanak Awu PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Pringgarata Bagu PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Pringgarata PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Sepakek PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
2 Resiko 3
Batukliang Barabali PHBS, BABS, Air limbah, Drainase,
Genangan Air, dan Kepadatan Penduduk
Mantang PHBS, BABS, Air limbah, Drainase,
Genangan Air, dan Kepadatan Penduduk
Aik Darek PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Batukliang Utara Mas-Mas PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Karang Sidemen PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Janapria Langko PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Durian PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Pendem PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Sabe PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Jonggat Labulia PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Batu Tulis PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Jelantik PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Prina PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Pengenjek PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Kopang Darmaji PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Kopang Rembiga PHBS, BABS, Sampah dan limbah rumah
tangga
Berdasarkan hasil study Environemnt Health Risk Area (EHRA), persepsi SKPD dan analisa
data sekunder yang dilakukan oleh tim Kelompok Kerja (Pokja) PPSP Kabupaten Lombok Tengah
tahun 2012, maka dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 terdapat beberpa wilayah yang termasuk
ke dalam wilayah area beresiko sanitasi yaitu di Kecamatan Batukliang, wilayah area beresiko sanitasi
terdapat di desa Peresak. Wilayah beresiko sanitasi di Kecamatan Batukliang Utara yaitu desa Aik
Berik. Di Kecamatan Jonggat yaitu Desa Sukarara, Puyung, Gemel, Bunkate dan Nyerot. Wilayah area
beresiko sanitasi yang terdapat di wilayah Kecamatan Kopang yaitu Desa Muncan dan Kopang
Rembiga. Di Kecamatan Praya terdapat lima kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah area beresiko
sanitasi yaitu kelurahan Leneng, Praya, Prapen, Tiwu Galih dan Semayan. Di kecamatan Praya Barat
terdapat tiga desa yang termasuk ke dalam wilayah area beresiko sanitasi yaitu Desa Kateng, Penujak
dan Batujai. Sedangkan di Kecamatan Praya Barat Daya yaitu Desa Kabul dan Pelambik. Di wilayah
Kecamatan Praya Tengah tidak terdapat wilayah area beresiko sanitasi. Area beresiko sanitasi di
Kecamatan Praya Timur yaitu Desa Bilelando dan Desa Mujur. Di Kecamatan Pujut, Desa Segale
Anyar dan Tanak Awu merupakan desa yang termasuk ke dalam wilayah beresiko sanitasi. Di
Kecamatan Pringgarata terdapat tiga desa yang termasuk ke dalam wilayah beresiko sanitasi yaitu
Desa Bagu, Pringgarata dan Sepakek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wilayah area
beresiko sanitasi berada di 10 kecamatan dari 12 kecamatan yang ada. Kecamatan Janapria dan
Praya Tengah tidak memiliki area beresiko sanitasi. Sedangkan jumlah kelurahan yang termasuk ke
dalam area beresiko sanitasi sebanyak 5 kelurahan dari 12 keluarahan yang ada. Desa yang termasuk
ke dalam area beresiko sanitasi sebanyak 21 desa dari 127 desa yang ada di Kabupaten Lombok
Tengah.
Secara umum faktor penyebab persoalan sanitasi di wilayah area beresiko sanitasi di
beberapa desa/kelurahan di Kabupaten Lombok Tengah dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Persoalan sanitasi yang meliputi pengelolaan persampahan, drainase, air limbah dan
perilaku hidup bersih dan sehat disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran masyarakat
dalam hal sanitasi yang berimplikasi pada masih buruknya perilaku masyarakat terkait
sanitasi seperti membuang sampah di sembarang tempat, membuang air limbah di tempat
terbuka, membuang air besar secara sembarangan serta masih banyak masyarakat yang
belum mempraktekan cuci tangan pakai sabun (CTPS).
2. Persoalan kedua yang memperburuk sanitasi yaitu kurang tersedianya sarana prasarana
sanitasi di masyarakat, seperti ketersediaan jamban keluarga (WC/toilet), Instalasi
Pembuangan Air Limbah (IPAL) rumah tangga, tempat membuang sampah, saluran
drainase, dan bahkan akses terhadap sumber air bersih. Kondisi ini menyebabkan
masyarakat mengalami kendala (kesulitan) dalam mengaplikasikan konsep Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM) secara komprehensif.
3. Persoalan ketiga yaitu masih banyak industri, baik industri rumah tangga maupun insudtri
dalam skala besar serta fasilitas publik lainnya seperti RSUD dan Puskesmas yang
belum memiliki Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL). Hal ini berimpilikasi pada
tercemarnya lingkungan tempat tinggal masyarakat oleh limbah cair maupun padat yang
dihasilkan oleh pusat kegiatan industri dan fasilitas publik tersebut.
4. Persoalan keempat yang memperburuk kondisi sanitasi di Kabupaten Lombok Tengah
yaitu kurangnya promosi dan sosialisasi mengenai sanitasi kepada masyarakat. Di
Kabupaten Lombok Tengah, belum ada media yang fokus membahas mengenai
persoalan sanitasi. Akibat dari hal ini yaitu rendahnya pengetahuan, wawasan dan
kepedulian masyarakat terhadap sanitasi.
5. Persoalan kelima yaitu masih belum adanya regulasi yang secara khusus mengatur
mengenai persoalan sanitasi (pengelolaan persampahan, drainase, air limbah dan PHBS).
Hal ini berimplikasi pada belum adanya sanksi maupun kewajiban bagi semua pemangku
kepentingan dalam menangani persoalan sanitasi.
6. Persoalan keenam yaitu masih rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang
menjadi aparatur (petugas) yang bertanggung jawab terhadap persoalan sanitasi;
7. Persoalan ketujuh yaitu masih adanya persoalan gender. Dalam konteks ini partisipasi
kelompok pria dalam persoalan sanitasi (terutama di tataran rumah tangga) masih sangat
rendah.
8. Persoalan kedelapan terkait sanitasi yaitu belum optimalnya peran lembaga pemerintah
yang menangani persoalan sanitasi. Di samping itu keterlibatan pihak swasta juga masih
sangat terbatas dalam kaitannya dengan sanitasi. Hal ini berimplikasi pada rendahnya
dukungan anggaran, program dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas
sanitasi di Kabupaten Lombok Tengah.
9. Persoalan kesembilan yaitu monitoring dan evaluasi secara terintegrasi yang melibatkan
peran serta SKPD serta stakeholoder terkait lainnya dalam persoalan sanitasi masih
belum berjalan secara optimal. Koordinasi, konsolidasi serta integrasi program kegiatan
antar dinas/instansi serta stakeholder terkait lainnya dalam penanganan sanitasi juga
masih perlu ditingkatkan.
Gambar 5.1. Posisi Pengelolaan Sanitasi Saat Ini Kabupaten Lombok Tengah
SANITASI
(0.78)-(-0.84)
Mengacu kepada strategi analisis SWOT diatas maka posisi pelaksanaan sanitasi saat ini berada
pada kuadran (0.78) – (-0.84) yang berarti bahwa Kabupaten Lombok Tengah berada pada kuadran
Diversifikasi Terpusat, pada kuadran ini faktor internal kuat dan kondisi lingkungan kurang
mendukung.
Gambar 5.1. Posisi Pengelolaan Sanitasi Saat Ini Sub Sektor PHBS
PHBS
(1.45)-(0.76)
Mengacu kepada strategi analisis SWOT diatas maka posisi pelaksanaan promosy hygenes berada
pada kuadran (1.45– 0.76) yang berarti bahwa Kabupaten Lombok Tengah berada pada kuadran
pertumbuhan Cepat, pada kuadran ini faktor internal lebih kuat bila dibandingkan dengan faktor
eksternal.
regulasi terkait Program PHBS. Regulasi ini dapat berupa peraturan yang ditetapkan oleh
Kepala Daerah, yang nantinya akan dijadikan dasar bagi setiap SKPD maupun sektor terkait
dalam melakukan penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program terkait PHBS. Peraturan
ini dalam konteks yang lebih luas nantinya akan dikembangkan kea rah yang lebih tinggi yaitu
dalam bentuk Peraturam Daerah terakit Program PHBS.
f. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Terkait Program PHBS
Manusia merupakan pelaku utama dalam setiap program kegiatan. Oleh karena itu maka
peningkatan kapasitas sumber daya manusia terkait PHBS menjadi salah satu hal yang penting
untuk dilakukan. Peningkatan kualitas ini dapat dilakukan baik melalui pelaksanaan program
pelatihan, magang, seminar, workshop, maupun penyuluhan-penyuluhan secara berkala dan
terpadu yang melibatkan peran serta SKPD serta seluruh sektor terkait lainnya.
g. Peningkatan Sarana Prasarana Promosi Terkait PHBS
Ketersediaan Sarana prasarana promosi terkait PHBS memegang peranan penting dalam
upaya peningkatan kualitas program PHBS. Ketersediaan sarana prasarana promosi PHBS
akan dapat dengan lebih mudah meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengaplikasikan
konsep PHBS secara optimal. Oleh karena itu maka diharapkan setiap SKPD maupun
stakeholder terkait lainnya mendukung ketersediaan sarana prasarana terkait PHBS dalam
perencanaan program kegiatan mereka.
h. Pemberdayaan Masyarakat Terkait Program PHBS
Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu konsep peningkatan kapasitas
masyarakat untuk dapat melakukan identifikasi terhadap persoalan yang mereka hadapi dan
upaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan
memfasilitasi masyarakat untuk dapat menyusun dan mengembangkan kemampuan dalam
berorganisasi dan mengembangkan jaringan sosial terkait PHBS. Artinya dalam konteks ini
yang diperlukan tidak hanya kesadaran tetapi juga keberanian dan kepercayaan diri dalam
mengorganisasikan diri dan menyampaikan kebutuhan mereka kepada pihak-pihak terkait.
Dengan demikian maka masyarakat akan dapat bersifat mandiri (menanggulangi sendiri) dan
dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan mereka terkait PHBS.
i. Peningkatan Koordinasi Dan Konsolidasi SKPD Terkait Program PHBS
Koordinasi dan konsolidasi antar SKPD merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan
dalam rangka melakukan sinkronisasi data-data terkait pencapaian hasil implementasi program
kegiatan maupun kendala (permasalahan) yang dihadapi. Koordinasi ini juga akan dapat
membuka akses informasi yang luas antar SKPD, sehingga akan dapat menciptakan adanya
mapping (pemetaan) program kegiatan antar SKPD serta stakeholder lainnnya terkait PHBS.
j. Penguatan Jaringan Dengan Lembaga-Lembaga Non Pemerintah Dan Donator Terkait Program
PHBS
Keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah sering kali menjadi kendala dalam
perencanaan maupun implementasi program kegiatan PHBS. Dalam konteks ini, penguatan
jaringan yang melibatkan peran serta pihak luar (lembaga non pemerintah dan donatur) menjadi
hal yang penting untuk dilakukan. Oleh karena itu maka advokasi ke pihak-pihak tersebut harus
dilakukan secara kontinu, sehingga mereka nantinya akan dapat memiliki kepedulian terhadap
program kegiatan terkait PHBS, dan tentunya pada ahirnya akan menunjukan komitmen dan
dukungan mereka terhadap program PHBS.
Air Limbah
(-1.52)-(0.56)
Mengacu kepada strategi analisis SWOT di atas maka posisi Pelaksanaan Pengelolaan Air Limbah
berada pada kuadran (-1.52–0.56) yang berarti bahwa Kabupaten Lombok Tengah berada pada
kuadran berputar, pada kuadran ini faktor internal lemah dan lingkungan kurang mendukung.
Pada perencanaan program air limbah hendaknya dilaksanakan secara partisipatif dengan
melibatkan unsur-unsur tekait seperti kelompok masyarakat, LSM, pihak swasta dan tentunya
SKPD.
e. Menyusun standar operasional prosedur teknis pengelolaan air limbah.
Penyusunan standar operasional dan prosedur teknis pengelolaan air limbah juga sangat
dibutuhkan sebagai pedoman dan panduan secara teknis yang hingga saat ini belum tersedia.
Standar operasional dan prosedur teknis pengelolaan air limbah dimaksudkan untuk dapat
menjadi arahan secara teknis bagi SKPD, kelompok masyarkat dan pelaku dunia usaha dalam
perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana air limbah. Dengan
adanya standar operasional dan prosedur tersebut, maka diharapkan dapat membantu untuk
mencapai standar pelayanan minimal (SPM) pengelolaan air limbah
f. Meningkatkan sosialisasi dan komunikasi dan kepada pihak masyarakat, industry dan
pengelolaan rumah sakit/puskesmas tentang pengelolaan air limbah rumah tangga, industry dan
medis dengan memanfaatkan media yang ada serta peran kader posyandu.
Kata Kunci strategi:
Peningkatan Sosialisasi dan Komunikasi kepada masyarakat, dunia usaha industry
dan pengelola rumah sakit/puskesmas.
Memanfaatkan media yang ada dan kader posyandu.
Strategi tersebut di atas dimaksudkan untuk melakukan upaya peningkatan sosialisasi dan
komunikasi yang efektif agar pengetahuan, kesadaran dan kepedulian tentang pengelolaan air
limbah oleh masyarakat, pelaku dunia usaha industri dan pengelola rumah sakit.puskesmas
dapat terwujud.
Sampah
(0.44)-(-0.51)
Mengacu kepada strategi analisis SWOT diatas maka posisi Pelaksanaan Pengeloaan
persampahan berada pada kuadran (0,44 – (- 0,51) ). Dengan demikian posisi pengelolaan
persampahan berada pada posisi diversifikasi terpusat yang artinya secara internal kuat
sedangkan di sisi lain lingkungan kurang mendukung.
pembuat kebijakan dan pengambil keputusan menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Advokasi secara berkala dan konitinu dengan melibatkan seluruh SKPD serta stakeholder
terkait lainnya akan dapat meningkatkan komitmen dan dukungan pihak-pihak tersebut terhadap
persoalan persampahan. Jika hal ini dapat terwujud maka tentunya, pelaksanaan perencanaan
program kegiatan terkait persampahan akan dapat dilakukan secara optimal.
d. Integrasi program kegiatan antar SKPD serta stakeholder terkait lainnya dalam pengelolaan
persampahan.
Mapping (pemetaan) terhadap program kegiatan SKPD dalam hal persampahan merupakan
langkah awal yang dapat dilakukan untuk melakukan integrasi program kegiatan antar SKPD
dan stakeholder terkait lainnya. Integrasi ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kerja sama,
koordinasi dan konsolidasi antar SKPD maupun stakeholder terkait dalam melakukan
identifikasi capaian maupun kendala (permasalahan) terkait perencanaan maupun implementasi
program kegiatan terkait pengelolaan persampahan. Integrasi ini juga akan mampu mencegah
terjadinya overlapping (tumpang tindih) anggaran dan program kegiatan antar SKPD dan
stakeholder terkait lainnya.
e. Peningaktan peran serta pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat terkait pengelolaan
persampahan.
Pihak swasta merupakan pihak yang cukup potensial dalam upaya penguatan anggaran untuk
pengelolaan persampahan. Oleh karena itu maka upaya advokasi kepada pihak swasta sangat
penting dilakukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kepedulian mereka terhadap
persoalan tersebut. Sedangakan peran lembaga swadaya masyarakat akan sangat membantu
dalam melakukan mobilisasi (menggerakan) masyarakat, dalam hal perubahan pola pikir dan
perubahan pola perilaku masyarakat terkait pengelolaan persampahan. Dengan demikian maka
penguatan jaringan dengan kedua sektor ini menjadi hal yang mutlak harus dilakukan, untuk
melakukan penguatan terhadap program kegiatan pengelolaan persampahan.
f. Promosi dan sosialisasi terkait pengelolaan persampahan.
Promosi dan sosialisasi dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengetahuan, wawasan dan
kepedulian masyarakat terhadap persoalan pengelolaan persampahan. Proses ini tentunya
harus dilakukan secara berkala dan kontinu, serta dengan melibatkan peran serta seluruh
SKPD, stakeholder serta tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat seperti tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh pemuda maupun tokoh adat. Bila hal ini dilakukan maka proses promosi dan
sosialisasi yang dilakukan akan dapat berjalan secara optimal.
g. Optimalisasi peran media dalam pengelolaan persampahan.
Media (baik cetak maupun elektronik) memegang peranan penting dalam upaya
penyebarluasan isu dan informasi mengenai pengelolaan persampahan. Media yang ada di
Kabupaten Lombok Tengah tentunya dapat dimanfaatkan dalam melakukan fungsi ini.
Penyebarluasan informasi mengenai pengelolaan persampahan akan dapat menjadikan isu
persampahan menjadi isu strategis bagi semua pihak, yang pada gilirannya akan dapat
menjadikan persoalan ini sebagai persoalan prioritas di Kabupaten Lombok Tengah.
h. Peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur pengelolaan persampahan.
Ketersediaan infrastruktur pengelolaan persampahan akan sangat mendukung ke arah kualitas
pengelolaan persampahan yang baik. Tersedianya tempat pembuangan akhir dan tempat
pembuangan sampah, baik di tatanan rumah tangga maupun sekolah, akan sangat membantu
bagi setiap orang untuk dapat mengaplikasikan konsep pengelolaan sampah dengan baik dan
benar.
i. Pembentukan lembaga khusus yang menangani pengelolaan persampahan.
Lembaga ini nantinya akan menggunakan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat. Artinya
lembaga ini nantinya akan dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pihak
pemerintah daerah. Tentunya SOP pengelolaan lembaga ini akan ditentukan oleh masyarakat
sendiri. Diharapkan lembaga ini akan terbentuk baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan.
Optimalisasi lembaga ini diharapkan akan dapat membantu dalam penanganan persoalan
pengelolaan persampahan secara optimal.
Drainase
(0.37) , (-1.63)
pembuat kebijakan dan pengambil keputusan menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Advokasi secara berkala dan konitinu dengan melibatkan seluruh SKPD serta stakeholder
terkait lainnya akan dapat meningkatkan komitmen dan dukungan pihak-pihak tersebut terhadap
persoalan drainase. Jika hal ini dapat terwujud maka tentunya, pelaksanaan perencanaan
program kegiatan terkait drainase akan dapat dilakukan secara optimal.
d. Penetapan regulasi tentang pengelolaan drainase;
Regulasi yang mengatur tentang pengelolaan drainase baik dalam bentuk Peraturan Daerah,
Peraturan Desa maupun keputusan Pemerintah khususnya Bupati sangat dibutuhkan dalam
rangka menjamin kepastian penyelenggaraan sistem drainase di Kabupaten Lombok Tengah
yang benar-benar mampu mengatasi bahaya banjir yang selalu terjadi setiap tahun maupun
menciptakan lingkungan permukiman yang sehat dan nyaman. Dengan adanya regulasi tentang
pengelolaan drainase maka pengaturan-pengaturan tentang kelembagaan, sumber daya
manusia, perencanaan dan penganggaran, pembangunan dan pengawasan serta pemeliharaan
dalam hal pengelolaan drainase akan lebih terarah dan efektif serta memiliki pondasi yang
sangat kuat dalam bentuk produk hukum daerah.
e. Meningkatkan sosialisasi dan komunikasi kepada masyarakat, industri rumah tangga tentang
pengelolaan drainase lingkungan dengan memanfaatkan media yang ada.
Kata kunci strategi:
Peningkatan sosialisasi dan komunikasi kepada masyarakat, dunia usaha home
industri.
Memanfaatkan media yang ada.
Strategi tersebut di atas dimaksudkan untuk melakukan upaya peningkatan sosialisasi dan
komunikasi yang efektif agar pengetahuan, kesadaran dan kepedulian tentang pengelolaan
drainase oleh masyarakat, pelaku dunia usaha industri.
Peningkatan kegiatan sosialisasi dan komunikasi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan
media yang ada seperti media cetak, televisi dan radio yang ada pada setiap lingkungan.
Dalam sosialisasi dan komunikasi tersebut, selain menjelaskan tentang arti penting dan
manfaat akan pengelolaan air limbah yang baik juga perlu memperkenalkan mekanisme insentif
dan disinsentif dalam pengelolaan air limbah.
f. Peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur pengelolaan drainase.
Ketersediaan infrastruktur pengelolaan persampahan akan sangat mendukung ke arah kualitas
pengelolaan drainase yang baik. Tersedianya tempat pembuangan akhir dan tempat
pembuangan sampah, baik di tatanan rumah tangga maupun sekolah, akan sangat membantu
bagi setiap orang untuk dapat mengaplikasikan konsep pengelolaan drainase dengan baik dan
benar.
g. Pengalokasian dana untuk program dan kegiatan drainase.
Pengadaan drainase lingkungan merupakan program yang sanagat strategis dalam rangka
menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, kondisi drainase saat ini masih belum memadai
sehingga masih menyebabkan bajir disana sini yang berakibat pada buruknya kesehatan
lingkungan. Dalam rangka mengatasi persoalan lingkungan ini maka pengalokasian dana untuk
pembangunan drainase perlu mendapat porsi yang cukup artinya disesuaikan dengan
kebutuhan drainase yang perlu dibangun atau direhabilitasi. Pengalokasian dana bisa dilakukan
dengan cara bertahap atau setiap tahunnya dengan mengacu pada kebutuhan sarana yang
perlu dibangun.
5.3. KAJIAN DAN OPSI PARTISIPASI MASYARAKAT DAN GENDER DI AREA PRIORITAS
Posisi masyarakat dalam pengelolaan sanitasi memegang peran penting. Akan tetapi, partisipasi
masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah dalam pengelolaan sanitasi belum ditempatkan pada
porsinya sehigga perannya dalam implementasi pembangunan terlihat belum optimal. Untuk itu, perlu
dilakukan studi untuk mengetahui peran masyarakat dan jender dalam pembangunan sanitasi. Dalam
studi ini masyarakat sebagai subyek kegiatan sehingga potret kondisi masyarakat dihasilkan secara
obyektif yang pada gilirannya akan menghasilkan strategi sistem pembangunan sanitasi yang efektif.
Untuk itu diperlukan survey dan observasi langsung yang terencana dan komprehensif terhadap
kondisi partisipasi masyarakat dan jender dalam penanganan sistem sanitasi dalam skala
kabupaten beserta prospek pengembangannya di masa depan. Masyarakat diharapkan mampu
mengenali permasalahan terkait dengan sanitasi rumah tinggal dan lingkungan mereka,
merencanakan kegiatan, melaksanakan melalui kerjasama dengan berbagai pihak, serta melakukan
evaluasi dan pengembangan kegiatan program secara mandiri.
Dengan konsep partisipasitif, pelaksanaan program sanitasi diharapkan dapat dilaksanakan
oleh semua pihak yang kompeten dengan tidak hanya menunggu perintah dari pemerintah. Sehingga
dengan demikian, masyarakat dapat merasa memiliki yang apa yang telah dibangun. Untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sanitasi, maka penilaian tentang kondisi
sanitasi masyarakat dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Metodologi survey yang
dilakukan mengadopsi Methodology for Participatory Assessment (MPA). MPA merupakan
metodologi yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi yang dikembangkan
dari metodologi partisipatif yang sudah ada sebelumnya Participatory Rural Assessment (PRA)
yang dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program, termasuk di
dalamnya program air bersih dan sanitasi, di tingkat masyarakat. MPA sangat bermanfaat untuk
pembangunan diberbagai sektor, yang mengkolaborasikan keberlanjutan pelayanan program
dengan kepekaan terhadap Gender, berpihak pada kaum miskin, pendekatan tanggap kebutuhan
(Demand Responsive Approach = DRA), hingga munculnya berbagai institusi dan pengambil
kebijakan mendukung pendekatan ini. Pendekatan dengan metode ini digunakan karena :
1. Memposisikan masyarakat sebagai subyek.
2. Lebih dapat memberikan “ruang” kepada masyarakat dari berbagai satus social untuk
menyampaikan aspirasi dan keinginannya, meskipun memiliki kemampuan artikuasi yang
berbeda.
3. Oleh karena itu, pendekatan ini juga sekaligus merupakan salah satu media pembelajaran
masyarakat pada tingkat bawah.
4. Lebih mengutamakan diskusi terfokus (FGD) dengan kelompok sasaran sehingga hasilnya lebih
mendekati obyektifitas.
Tujuan yang diharapkan dari kegiatan studi “Partisipasi Masyarakat Jender dan Kemiskinan (PMJK)”:
1. Terkumpulnya informasi sanitasi secara kuantitatif-sistematis.
2. Teridentifikasinya pengalaman masyarakat dalam kegiatan/proyek perbaikan sanitasi,
baik yang dilakukan secara swadaya atau gotong royong maupun bantuan dari instansi
lain.
3. Teridentifikasinya kebutuhan dan kesanggupan masyarakat untuk berkontribusi
dalam perbaikan sanitasi Teridentifikasinya peran perempuan pada tahap
perencanaan pembangunan sarana sanitasi dan beberapa perubahan tugas antara
perempuan dan laki-laki.
4. Teridentifikasi keberadaan, manfaat, peranan dan hubungan berbagai lembaga yang
ada di kelurahan.
Dari kegiatan Observasi & Survei PMJK di Desa-desa yang mewakili desa-desa yang ada di
Kabupaten Lombok Tengah dengan melibatkan masyarakat secara langsung diperoleh hasil
seperti yang tercantum pada Tabel 5.2. Hasil analisa data dapat digunakan dalam penyusunan
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) dan Rencana Tindak untuk desa-desa tersebut oleh Pokja AMPL-
BM Kabupaten Lombok Tengah.
Tabel 5.2
Hasil Analisa Survei Partisipasi Masyarakat & Jender di Area Beresiko
3. Media belajar bersama, khususnya bagi pokja AMPL-BM untuk kegiatan sejenis di masa
mendatang.
Selain itu, manfaat lain dari studi ini adalah terinformasikannya program pembangunan
sanitasi kabupaten, pokja AMPL-BM kabupaten kepada nara sumber yang diwawancarai (instansi
pemerintah dan media massa). Mengingat studi media memerlukan update sebelum kampanye
dilakukan, metode yang digunakan adalah metode pemantauan cepat (rapid appraisal methods).
Penggunaan metode ini karena pelaksanaannya cepat dan murah untuk mengumpulkan
informasi mengenai pandangan dan masukan dari populasi sasaran dan stakeholders lainnya
mengenai media komunikasi. Metode yang dipergunakan meliputi :
1. Wawancara informan kunci (key informant interview). Wawancara ini terdiri dari rangkaian
pertanyaan terbuka yang dilakukan terhadap individu-individu tertentu yang sudah diseleksi
karena dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai topik atau keadaan di
wilayahnya. Wawancara bersifat kualitatif, mendalam dan semi-terstruktur.
2. Pengamatan langsung (Direct Observation). Melakukan kunjungan lapangan atau
pengamatan langsung terhadap media komunikasi. Data yang dikumpulkan dapat berupa
informasi mengenai sumber-sumber informasi yang tersedia, kegiatan program pemasaran
sosial yang sedang dan telah berlangsung, pemanfaatan media formal dan informal,
kerjasama dengan media massa dll.
3. Survei kecil (mini-survey). Survey ini dilakukan bersama-sama dengan survei EHRA
(Environmental Health Risk Assessment) Penerapan kuesioner terstruktur (daftar pertanyaan
tertutup) terhadap sejumlah sample 40 orang per desa. Narasumber menggunakan random
sampling yaitu sampel acak. Di Kabupaten Lombok Tengah, sampel merupakan penduduk di 139
Desa yang terpilih menjadi lokasi Survei EHRA.
Dari data sekunder Humas Kabupaten Lombok Tengah kegiatan terkait sanitasi pada 2012 dapat
diidentifikasi sebagaimana tertera pada Tabel 5.3.
Dari study primer EHRA dari pertanyaan terkait sumber media komunikasi, diperoleh
gambaran bahwa 45% masyarakat Lombok Tengah memperoleh informasi dari televisi, 20% dari radio
dan 35 % dari koran. Untuk Koran yang sering di baca oleh responden adalah koran Inti Rakyat 45 %,
koran harian Bimeks 25% , Suara Mandiri 30%, sementara radio lokal yang paling sering didengarkan
oleh responden adalah Lombok Tengah FM sebanyak 35%. Dari survey lapangan juga diperoleh
gambaran, untuk sumber Informasi (informan) sebanyak 45% responden menjawab informasi sanitasi
diperoleh dari Kelurahan yang diteruskan ke RW dan RT. Dan prosentase tingkat kepercayaan
informasi dari kelurahan sebanyak 35%. Untuk jenis sosialisasi yang pernah diikuti oleh responden,
sebanyak 55 % menjawab sosialisasi yang diikuti terkait masalah sampah dan kebersihan lingkungan,
air bersih 15%, air limbah/jamban keluarga 10%, drainase 10% dan lainnya 10%.
Mengingat pentingnya peran media dalam penguatan program sanitasi di Kabupaten Lombok
Tengah, maka pihak media menjadi salah satu mitra yang sangat potensial dalam penyebarluasan
informasi mengenai sanitasi. Di samping itu juga pihak media dapat berperan dalam menjadi media
sosialisasi yang cukup efektif mengenai sanitasi ke seluruh komponen masyarakat. Oleh karena itu
maka menjadi sangat penting bagi pihak pemerintah maupun swasta untuk dapat melakukan kerja
sama dan memberikan dukungan secara optimal kepada pihak media, terutama dalam bentuk
dukungan anggaran agar pihak media dapat berperan secara optimal dalam menyebarluaskan
informasi mengenai sanitasi.
Studi dilakukan di dua kecamatan yaitu di Kecamatan Praya dan Kecamatan Jonggat dengan
masing-masing 10 responden setiap kecamatan. Rata-rata usia responden dalam studi komunikasi
yang dilakukan berkisar antara 19 – 65 tahun. Sedangkan kalau dilihat dari jenis kelamin maka
responden yang paling dominan adalah kaum ibu-ibu yaitu sebanyak 18 orang dan 2 orang laki-laki;
karena hal ini berkaitan dengan responden pada saat studi EHRA yaitu kaum ibu-ibu. Status
perkawinan responden rata- rata dalam posisi kawain yaitu sebanyak 17 orang dan 3 orang janda.
Dilihat dari segi tingkat pendidikan maka pendidikan responden sebahagian besar hanaya
berpendidikan dasar (SD) sebanyak 12 orang selebihnya 2 orang tamat SMP, 2 orang tamat SMA, 1
orang tamat SMK, 2 orang tamat perguruan tinggi dan hanya 1 orang yang tidak sekolah formal.
Kegiatan atau pekerjaan sehari hari dari responden adalah sebahagian besar berprofesi
sebagai Ibu rumah tangga yaitu sebanyak 10 orang, 4 orang sebagai petani, 3 orang berwira usaha
dan masing-masing 1 orang sebagai pedagang,PNS dan karyawan.
Pengeluaran rata-rata untuk setiap bulannya sngat berpariasi hal ini dikarenakan oleh kondisi
social ekonomi yang berbeda-beda, namun demikian sebahagian besar pengeluarannya adalah antara
Rp. 500.000 – 750.000 yaitu sebanyak 8 orang, 5 orang antara Rp. 750.000 – 1000.000, 4 orang
antara Rp. 250.000 – 5000.000, dan hanya 3 orang yang pengeluarannya antara Rp.100.000 –
250.000,-
Dari 20 orang responden hanya 3 orang yang pernah mendapatkan pelatihan dalam kurun
waktu lima tahun terakhir sementara 17 orang lainnya belum pernah mendapatkan pelatihan; hal ini
menggambarkan bagai mana minimnya upaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas /
keterampilan kaum ibu di pedesaan.
Ketersediaan media massa dirumah dalam tiga bulan terahir ini didominasi oleh media
televisi sebanyak 19 orang, sedangkan radio 11 orang, yang membaca surat kabar ada 4 orang dan
majalah 1 orang.
Khusus mengenai radio responden mengaku mengikuti siaran radio dalam tiga bulan terakhir
adalah sebagai berikut : yang rutin mengikuti siaran radio setiap hari hanya 4 orang, sementara yang
lainnya ada 5 orang yang mengikuti beberapa kali dalam seminggu, 1 orang yang mengikuti sekali
sebulan dan selebihnya (10 orang) menjawab tidak tahu. Sedangkan dari sisi waktu mendengarkan
siaran paling banyak adalah dipagi hari, sebanyak 7 orang, malam hari 5 orang, siang hari 2 orang dan
sore hari 1 orang, dengan rata-rata lama mengikuti siaran radio yang paling banyak antara 1 – 2 jam
sebanyak 7 orang dan kurang dari 1 jam sebanyak 4 orang. Dari jenis acara siaran yang disuguhkan
yang paling sering diikuti adah acara lagu dangdut sebanyak 5 orang, keagamaan dan lagu pop
masing-masing 3 orang.
Sementara untuk siaran televisi nampaknya lebih diminati dibandingkan dengan siaran radio
mengingat tayangan televisi lebih menarik hal ini dapat kita lihat dari hasil wawaancara dengan
responden yang mengikuti siaran televisi dalam tiga bulan terakhir ini yang mengikuti setiap hari
sebanyak 14 orang dan hanya 1 orang yang mengikuti beberapa kali dalan satu mingu. Waktu
menonton televisi yang paling sering adalah pada malam hari sebanyak 19 orang hal ini menurut ibu-
ibu malah hari kegiatan sudah tidak terlalu banyak atau malam hari adalah waktu istirahat, selain pada
malam hari ada 13 yang menonton pada pagi hari sebelum beraktifitas, 11 orang menonton di siang
hari dan hanya 4 orang di sore hari karena biasanya sore hari juga waktu yang masih sibuk bagi
sebahagian besar ibu-ibu di desa.
Kalau kita meliat dari lama waktu yang dihabiskan untuk mengikuti acara televisi maka dapat
kita lihat sebagai berikut : antara 1 – 2 jam sebanyak 9 orang, kurang dari 1 jam 6 orang, dan yang
lebih dari 3 jam sebanyak 4 orang. Jenis acara yang paling diminati adalah Warta berita sebanyak 9
orang, keagamaan,Kesenian,Sandiwara, masing-masing 3 orang, dan hanya 1 orang yang senang
mengikuti acara penyuluhan.
Untuk media cetak dalam tiga bulan terakhir yang paling banyak dibaca adalah surat kabar ini
pun hanya 4 orang yang membacanya hal ini dipengaruhi oleh biaya dan ketersediaan surat kabar di
desa, sementara majalah dan tabloid tidak ada yang membacanya. Dari 4 orang yang menyatakan diri
membaca surat kabat tersebut hanya 1 orang yang membaca setiap hari, 2 orang beberapa kali dalam
seminggu dan 1 orang membaca selakali dalam sebulan. Mengenai berita yang diikuti 1 orang lebih
suka masalah Kriminal dan olah raga, 2 orang masalah kesehatan dan keluarga, dan 1 orang tidak
tahu. Sedangkan dari segi waktu yang diluangkan untuk membaca surat kabar adalah pagi hari dan
yang paling banyak di siang hari.
Hubungan antara masyarakat khususnya ibu-ibu dengan beberapa orang yang berkaitan
dengan maslah kesehatan lingkungan dan sanitasi, mereka sering/pernah bertemu/berkomunikasi
dengan : dokter 9 orang, dengan penyuluh kesehatan 5 orang, dengan bidan desa 6 orang, dengan
Kader Posyandu 15 orang. Informasi-informasi esehatan dalam tiga bulan terakhir ini seperti
brosur/booklet/poster tentang kesehatan hanya 4 orang pernah mendapat dan sekali dalam sebulan,
dan dari 4 orang tersebut 3 orang yang mengerti isi brosur tesebut dan 1 orang menyatakan tidak
mengerti isinya.