Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Menyoal praktik ‘keaktoran’ terkait proses dan metode yang harus dilalui
untuk menjadi aktor yang baik dan fleksibel, tentunya hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi para aktor teater yang berbasis pada naskah drama (realisme,
surealisme dan absurd), naskah monolog atau teater yang berbasis pada gagasan
dan ‘tubuh’ sebagai teks dalam menyampaikan peristiwa di atas panggung.
Tantangan ini membutuhkan para aktor yang memiliki kesadaran kreatif, agar kita
tidak hanya mengulang kebesaran nama-nama aktor teater dekade 1980-an dan
1990-an era Bengkel Teater, Teater Kecil, Teater Populer, Teater Koma dan lain-
lain. Kesadaran keaktoran kita adalah hari ini, di mana tradisi keaktoran itu
diciptakan. Khususnya di Sumatera Barat.
Radhar Panca Dahana menyebutnya dengan istilah Tiga Kesadaran
Seorang Aktor. Dalam catatan Radhar, posisi seorang aktor di dalam pertunjukan
teater memiliki peranan yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan bahwa
seorang aktor harus mampu (1) membuat sebuah panggung menjadi hidup atau
merepresentasi kehidupan, (2) aktor harus mampu menjadi representasi terbaik
dari penonton dengan seluruh kenyataannya, dan (3) kemampuan seorang aktor di
dalam menghidupkan tubuh, pikiran dan emosi di atas panggung, sehingga
panggung (teater) tidak sekedar menjadi perkakas yang diletakkan begitu saja,
tanpa dihidupkan.
Tiga penjabaran di atas, Radhar meletakkan tiga pondasi utama yang
disebut dengan ‘kesadaran’ yang harus dimiliki seorang aktor yaitu kesadaran
tubuh, kesadaran akal dan kesadaran jiwa. Rahman Sabur menyebut kesadaran
aktor ini sebagai kepekaan aktor dalam mengeksplorasi tubuh atas ‘ketubuhan’-
nya, tubuh dengan ‘sosial’-nya, tubuh dengan lingkunganya sampai pada tahap
yang lebih sublim bagaimana eksplorasi tubuh atas Tuhannya sendiri.
Jelajah kerja keaktoran tidak pernah berhenti ditulis semenjak Constantin
Stanislavsky meletakkan pondasi kerja keaktoran sebagai metode maupun sistem
pelatihan menjadi seorang aktor melalui buku An Actor Prepare, diterjemahkan
oleh Asrul Sani (1978) dengan judul Persiapan Seorang Aktor. Begitu juga, buku
Stanislvasky selanjutnya seperti Building A Character yang diterjemahkan dengan
judul Membangun Tokoh (2008), menjadi referensi otentik dikalangan para
penggiat aktor teater di Indonesia, Asia, Amerika dan Eropa. Kerja keaktoran
tidak bisa hanya mengandalkan instingtif dan intuisi semata. Namun, praktik
keaktoran senantiasa berada pada ruang teoretik dan praktik di dalam
memperkaya ‘kesadaran’ dirinya sebagai manusia ‘aktor’ di atas panggung teater.
Pertunjukan teater atau monolog dihadapkan pada persoalan teknis tentang
bagaimana aktor ‘menyikapi’ tubuh melalui laku berupa gestur dan bisnis akting,
vokal, emosi dan keterlibatan aktor dengan elemen spektakel lainnya menjadi satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, berakting tidak hanya sekadar
mengucapkan ‘hafalan’ naskah di atas panggung, tetapi bagaimana seorang aktor
harus mampu ‘menghidupkan’ naskah itu sendiri melalui kecerdasan, kesadaran
dan kepekaan aktor yang sublim.