Вы находитесь на странице: 1из 3

Bijak dalam Menasehati

oleh Rahayu Abdullah


Nasehat dalam Al Qur’an dan Hadits
Dalam perjalanan hidup, nasehat-menasehati merupakan pilar yang sangat utama, bahkan merupakan
kewajiban bagi orang yang beriman setiap waktu. Hal ini dapat dilihat dari surah Al Ashr. Surah ini
merupakan pegangan paling kuat dalam menjalankan nasehat-manasehati. Bahkan Imam Syafiie,
seorang ulama fiqih yang masyhur itu, menyatakan bahwa, jika al-qur’an pun hanya surah al ashr, maka
cakupan maknanya sudah cukup.

Dalam surah ini Allah swt bersumpah atas nama waktu (Ashr). Secara bahasa ashr bermakna memeras
dan menekan sesuatu hingga apa yang di dalam sesuatu itu keluar. Maka ashr menjadi nama suatu
waktu dimana orang yang kerja seharian memeras keringat mulai terbit matahari, pekerjaannya itu telah
muali menampakkan hasil. Dan waktu menampakkan hasil itulah disebut waktu ashr. Dan memang
dalam kehidupan keseharian adalah demikian, dimana orang kerja dari pagi buta makan hasilnya akan
tampak maksimal di waktu ashr.

Demi waktu sesungguhnya manusia itu dalam kondisi husrin, apapun hasilnya dari memeras keringat
seharian atau sepanjang waktu hidupnya, baik itu sukses atau gagal, kaya atau pun miskin, maka sudah
disumpah oleh Allah, pasti husrin. Husrin ini biasanya diterjemahkan dalam arti merugi, padahal
sesungguhnya husrin ini adalah mencakup semua makna yang berkaitan dengan rugi yakni bangkrut,
menderita, kolaps, sedih, susah, sengsara dan semua kondisi yang serupa sesungguhnya dicakup dalam
kata husrin.
Apapun hasil kerja sepanjang hidupnya pasti dalam keadaan husrin. Namun Allah swt memberikan
kekecualian yang ditunjukkan pada ayat sesudahnya di surah al ashr ini. Kekecualian ini adalah pada
orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam al haq dan saling menasehati
dalam kesabaran.

Jika ditelaah lebih lanjut, orang yang beriman memang tidak lagi merugi tetapi belum beruntung,
karenanya ayat itu dilanjutkan dengan kata ‘wa’ yang artinya dan , yakni beramal shalih. Orang yang
beriman dan beramal shalih pun belum beruntung, karena ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa’
yakni saling menasehati dalam al haq. Dalam hal ini terjemahan al-Qur’an disebutkan saling menasehati
dalam kebenaran, namun jika ditilik lebih dalam maka Al Haq adalah salah satu dari Asma’ul husna,
artinya al Haq adalah nama Allah , sehingga watawasau bil haq dapat diartikan lebih spesifik
yakni saling menasehati agar senantiasa di jalan Allah (jalan al Haq) . Tentu dalam hal ini bermakna
dakwah, sebab saling menasehati agar senantiasa di jalan Allah adalah dakwah. Namun demikian, orang
yang berdakwah setelah beriman dan beramal shalih pun belum akan memperoleh keberuntungan,
sebab ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa” tawassau bisshabr. yang artinya adalah saling
menasehati dalam hal kesabaran. Jika dianalisa maka arti maknanya adalah saling menasehati agar
senantiasa sabar dalam menjalani hidup beriman dan beramal shalih, dan sabar dengan jalan hidup
berdakwah.
Memang kata yang digunakan dalam surah ini adalah tawasau, artinya saling memberi wasiyat . Nah
dengan demikian nasehat pun sesungguhnya identik dengan wasiyat.
Dalam Hadits
Rasulullah saw, telah bersabda yang kita semua sudah mengetahuinya yakni “addiinu nashihat” –
agama adalah nasehat . Ini menekankan bahwa nasehat merupakan jalan hidup, merupakan pilar utama
dalam islam.
Bagaimana sikap dalam menasehati.
Dalam Al-qur’an, kisah tentang bagaimana menasehati ini termaktub dalam kisah Musa as diperintah
oleh Allah untuk mendatangi Fir’aun. Musa as diperintahkan oleh Allah untuk memberikan nasehat
dakwahnya kepada Fir’aun dengan ‘’qaulan layyinan” perkataan yang lembut. Bagaimana caranya
memberi nasehat kepada manusia yang sangat tegas kekafirannya dan menjadi puncak lambang
kekafiran, pun dengan qaulan layyinan. Maka dari situlah nabi Musa as berdoa dengan Rabis rahli sadri
wayasrlii amrii………
Tersebut dalam kisah, ada seorang yang datang kepada Khalifah Al Makmun, memberikan nasehat
dengan suara lantang dan kasar, dengan nada tinggi. Maka saat itu Al Makmun memberikan jawaban
bahwa, ‘Anda tidak lebih baik dari nabi Musa, dan saya tidak lebih buruk dari Fir’aun, nabi Musa
mendatangi Fir’aun dengan perkataan lembut, sedangkan Anda dengan kata yang kasar.
Jika memberi nasehat kepada orang sesama muslim maka pedomannya adalah dengan perkataan yang
lembut dan ‘adzilatin alal mukminin” – bersikap lemah lembut kepada orang mukmin .
Bahkan dalam hadits rasulullah mengajarkan kita untuk bersuara dengan nada yang tidak lebih tinggi dari
saudara sesama muslim. Banyak keutamaan yang didapat dari merendahkan nada suaranya, dan
meninggikan nada suaranya menunjukkan mudahnya dijangkiti penyakit sombong. Bahkan suara yang
nadanya tinggi diserupakan dengan serengaian keledai.
Terkisah banyak sahabat yang sedih dan mengurungkan diri di dalam kamarnya beberapa hari setalah
turun ayat yang menyuruh ‘rendahkanlah suaramu di hadapan rasulullah” karena para sahabat merasa
selama ini menggunakan nada tinggi dihadapan rasulullah.

Bagaimana Mengkritik dalam berdakwah.


Menasehati dalam dakwah, pun tidak terlepas dari tuntunan Al Quran. Cara berdakwah disebutkan
adalah, dengan bil hikmah wal mauizatil hasanah wa jadilhum billati hiyal ahsan . Jika ditilik dari
urutan teksnya maka dalam memberikan nasehat dakwahnya yang pertama adalah dengan hikmah. Ini
adalah dakwah yang paling pertama yang hendaknya digunakan. Jika dengan hikmah orang sudah bisa
menerima dakwah maka tidak perlu sampai menggunakan mauizatil hasanah (nasehat yang baik/
bijak) apalagi dengan jidal (mengadu argument), meskipun dengan jidal yang terbaik sekalipun.
Bila dakwah dilakukan dengan cara terbaik yang mendahuluhan nasehat yang bijak sebelum hikmah,
maka sesungguhnya tidak akan efektif dan tidak methodis, disamping kurang dalam nilai etika
dakwahnya. Apalagi jika dakwah dilakukan dengan pertama kali jidal tentu tidak akan menuai hasil yang
baik. Meskipun kapan menggunakan hikmah, kapan menggunakan mauizatil hasanah dan kapan
menggunakan jidal itu tergantung situsi kondisi dan juga objek dakwahnya.

Jika ditelaah lebih lanjut, hikmah sangat bagus digunakan untuk orang yang lebih muda kepada orang
tua, mad’u yang tidak sedang melakukan khilaf, juga kepada orang yang dihormati.

terkisah ada seorang ulama yang sangat sedih dan sangat merasa kehilangan ketika putranya
meninggal, sampai berlarut-larut. Maka memberikan nasehat kepadanya adalah dengan hikmah, dengan
pertanyaan;“bagaimana pendapat Anda wahai ulama, jika seseorang dititipin emas oleh penitip dan emas
itu diambil kembali oleh yang empunya? apakah perlu sedih berlarut-larut dan tidak ikhlas?, maka sang
ulama tersadar akan pertanyaan itu atas kematian putranya dengan menjadi ikhlas. Tidak elok jika
memberikan mauizail hasanah kepada ulama itu. Di dalam mengelola taklim pun demikian, audien akan
lebih merasa dihargai jika penceramah lebih mengedepankan hikmah daripada mauizatil hasanah.
Potensi dan kegemaran menasehati perlu ditahan dalam hal ini dengan lebih melebarkan cara, topik dan
tema-tema yang masuk dalam wilayah hikmah.
Mauizatil hasanah (nasehat yang bijak) diberikan kepada orang yang sedang khilaf, kepada orang yang
lebih muda, kepada murid, kepada orang yang posisinya lebih bawah. Misal seorang ayah kepada
anaknya, atau guru kepada muridnya. Termasuk dalam kategori tidak begitu beradap jika seorang anak
meggunakan mauizatil hasanah kepada bapaknya, istri menggunakannya kepada suaminya, seorang
mutarabi kepada murobinya, seorang murid kepada ustadznya.

Jidal ahsan dilakukan jika cara hikmah dan mauizatil hasanah tidak mempan, ini pilihan terakhir. Da’i
yang gemar jidal dan menjadikan jidal sebagai cara awal untuk berdakwah, biasanya mad’u akan lari dan
tidak menerima dakwah, terkadang malah menjadi sinis. Jika pun berhasil maka akan menghasilkan dai-
dai yang suka jidal dan tidak efektif membawa masyarakat secara luas menjadi mukmin.
Di sinilah Ust Hasan Al Bana menyampaikan slogan likulli maqal maqam wa likulli maqam maqal,
setiap tempat ada perkataan yang pas dan setiap perkataan ada tempat-tepatnya yang pas.
Bagaimana dengan mengkritik ?. Maka mengkritik adalah bagian dari mauizatil hasanah, bukan bagian
dari hikmah, meskipun ada sebagian orang yang bisa mengemas kritik dengan hikmah.

Demikian juga dalam konsep bermasyarakat, ada Roin dan ada Rokyah, yang secara arti adalah
ada pemimpin dan ada rakyat, yang keduanya ada hak dan kewajiban.
Dalam hal ini roin berkewajiban mensejahterakan rakyat dan memiliki hak untuk ditaati, dan rakyat
memiliki hak untuk disejahterakan dan berkewajiban mentaati roin. Jika roin tidak mensejahterakan rakyat
maka rakyat pun menjadi tidak taat kepada roin.

Dalam hubungan nasehat, maka roin memberi perintah kepada rakyat dan rakyat bisa mengkritik
pemimpin. Tidak bisa sebaliknya misalnya pemerintah mengkeritik rakyatnya atau rakyat memerintah
roinnya, yang ada adalah rakyat mengkritik dan menuntut roinnya. Hal ini sama dengan hal dalam rumah
tangga, suami sebagai pemimpin tidak mengkritik istrinya, tetapi istrinya yang mengkritik suaminya. Jika
suami tidak siap dikritik istri maka kadar kepemimpinannya sangat rendah, demikian juga jika istri tidak
mau diperintah suami, maka juga demikian. Dalam hubungan pemerintah juga demikian, oposisi
mengekritik pemerintah dan tidak bisa sebaliknya pemerintah mengkritik oposisinya.
Dengan demikian orang yang suka mengkritik biasanya memiliki kadar kepemimpinan yang tidak tinggi
dan tidak menjadi pemegang kebijakan tetapi biasanya menjadi oposan. Oposan biasanya mengkritik dan
tidak siap dikritik. Jika seseorang siap dikritisi adalah seseorang yang siap jadi pemimpin, jika tidak siap
maka tidak siap mengelola suatu amanah. Jika seorang roin tidak siap menerima kritik rakyatnya makan
sungguh aneh dan apalagi roin mengkritik rakyatnya akan lebih aneh lagi.

Dalam mengkritisi pun tidak lepas dari kaidah qaulan layyinan, hikmah dan mauizatil hasanah serta jidal
sebagai jalan akhir. Siap menerima kritikan berarti siap menjadi pemimpin.

Terkadang dalam mengkritik yang dikritik adalam pengelolaan pemerintahan, atau suatu organisasi,
terkadang personal roinnya. Orang yang kritis biasanya ditempatkan pada posisi oposisi bukan eksekutif,
dan biasanya tidak diterima di eksekutif karana belum imbangnya dengan kesiapan untuk dikritisi. Dan
dari sana ia memberikan manfaat, sebagai penyeimbang.

Вам также может понравиться