Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
EARLY RECOVERY ASSISTANCE
BAPPENAS ‐ BAPEDA DIY ‐ UNDP
Penyusun:
Editor:
ii Bramantiyo Marjuki
Ekha Yogafanny
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
KATA PENGANTAR
Buku Profil Kebencanaan Daerah Istimewa Yogyakarta 2008 ini disusun dalam rangka
memberikan informasi dan pengetahuan mengenai kebencanaan khususnya di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Provinsi DIY memiliki karakteristik geografis dan geologis
yang cukup kompleks sehingga berbagai jenis bencana pun telah banyak terjadi di Provinsi
DIY. Dari sinilah kami berupaya untuk mengumpulkan kembali data dan informasi mengenai
bencana yang telah di Provinsi DIY agar kemudian dapat dijadikan salah satu sumber
pembelajaran mengenai penanggulangan bencana.
Kami menyadari bahwa apa yang telah kami tulis ini belum sepenuhnya sempurna, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik, masukan dan saran bagi penyempurnaan buku ini,
sehingga buku ini dapat lebih memenuhi tujuan penyusunannya sebagai salah satu media
informasi karakteristik bencana Provinsi DIY.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusinya dalam penyusunan buku ini.
Tim Penyusun
iii
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
iv
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. ix
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
3.8 Wabah Penyakit (Malaria dan DBD)............................................................ 64
3.8.1 Konsep Wabah Penyakit ................................................................ 64
3.8.2 Kejadian Malaria dan DBD di DIY ................................................... 64
3.8.3 Pemetaan Daerah Endemik Wabah Penyakit ................................. 65
3.9 Kerentanan Bencana Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ................. 66
3.9.1 Kerentanan...................................................................................... 66
3.9.2 Kerentanan Bencana Provinsi DIY ................................................. 66
3.10 Kapasitas Bencana Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .................... 71
3.10.1 Kapasitas ......................................................................................... 71
3.10.2 Kapasitas Bencana Provinsi DIY .................................................... 71
vi
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
DAFTAR GAMBAR
vii
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
viii
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1 Data Administratif Wilayah Provinsi DIY ......................................................... 6
Tabel 2.2 Perkembangan Pemanfaatan Luas Wilayah Efektif di Provinsi DIY ............... 10
Tabel 2.3 Curah Hujan Tahunan Provinsi DIY ................................................................ 13
Tabel 2.4 Periode Bulan Basah dan Bulan Kering Provinsi DIY ..................................... 13
Tabel 3.1 Daftar masa letusan, lamanya kegiatan, dan masa istirahat Gunung Merapi
sejak tahun 1871 ............................................................................................. 22
Tabel 3.2 Jumlah Korban Setiap Kejadian Letusan ........................................................ 24
Tabel 3.3 Data kerusakan bangunan akibat gempabumi 27 Mei 2006 ........................... 33
Tabel 3.4 Jumlah Penderita DBD dan Malaria Tahun 2005-2006 di Provinsi DIY ........... 64
ix
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
I PENDAHULUAN
1
Sejak adanya kejadian Tsunami Aceh Desember 2004, aspek kebencanaan di Indonesia
semakin memperoleh perhatian. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena kejadian bencana alam
yang telah terjadi selama ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian materi
yang tidak sedikit. Di Provinsi DIY, kejadian gempa Desember 2006 telah menyadarkan
semua pihak akan pentingnya pertimbangan aspek kebencanaan dalam kegiatan
Maksud dari disusunnya profil kebencanaan DIY ini adalah sebagai media informasi
kebencanaan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat DIY pada
khususnya. Diharapkan profil ini dapat membantu masyarakat dalam memahami secara
komprehensif tentang jenis bencana di DIY serta lokasi yg rawan bencana, sehingga
masyarakat dapat mempersiapkan diri ketika terjadi bencana. Oleh karena itu, secara tidak
langsung diharapkan profil ini juga dapat menjadi salah satu media pengurangan risiko
bencana (PRB).
Dalam buku ini, pembahasan kebencanaan hanya membatasi pada aspek ancaman,
kerentanan dan kapasitas bencana. Pembahasan dimulai dari penjelasan karakteristik
geografis dan geologis Provinsi DIY sebagai faktor yang mempengaruhi kerawanan terhadap
bencana pada BAB II, yang dilanjutkan dengan pembahasan kebencanaan DIY pada BAB III.
Jenis bencana yang dideskripsikan meliputi sembilan jenis bencana yang terdiri dari tujuh
bencana alam dan dua bencana non alam. Pembahasan setiap jenis bencana dirinci dalam
tiga sub bagian, yaitu karakteristik dasar dan penjelasan teoritis bencana, kejadian dan data
bencana yang pernah terjadi di DIY untuk jenis bencana yang bersangkutan, dan yang ketiga
2 adalah deskripsi spasial bencana berdasarkan peta – peta rawan bencana yang telah dibuat.
Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Kemampuan/Kapasitas adalah penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki
masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri
mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat
bencana.
Kerentanan adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia (hasil dari
proses‐proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang mengakibatkan peningkatan
kerawanan masyarakat terhadap bahaya.
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis,
geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka
waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan 3
masyarakat.
Wilayah bencana adalah wilayah tertentu yang terkena dampak bencana.
Secara astronomis Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta terletak di bagian selatan
Pulau Jawa bagian tengah yang dibatasi oleh Samudra Hindia di bagian selatan dan Provinsi
Jawa Tengah di bagian utara yang terletak pada 7o 33’ LS – 8o 12’ LS dan 110o 00’ BT –
110o 50’BT, dengan luas 3.185,80 km 2.
5
Gambar 2.1 Lokasi Provinsi DIY
Provinsi DIY dibatasi oleh Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di
bagian timur, Kabupaten Magelang di bagian barat laut dan Kabupaten Purworejo di bagian
barat. Secara administrasi Provinsi DI. Yogyakarta ini memiliki empat kabupaten, yaitu
Tabel 2.1
Data Administratif Wilayah Provinsi DIY
1. Satuan fisiografi Gunung Api Merapi. Satuan ini terbentang mulai dari bentuklahan
kerucut gunung api (Puncak Merapi) di Kabupaten Sleman bagian utara hingga
dataran fluvial gunung api (sepanjang Kota Yogya hingga Kabupaten Bantul bagian
tengah-selatan). Satuan ini termasuk juga bentang lahan vulkanik atau bentang alam
yang proses terbentuk serta karakterstik daerahnya sangat dipengaruhi oleh
Gunungapi (dalam hal ini Gunungapi Merapi. Satuan ini meliputi seluruh Kabupaten
Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul. Karakteristik lerengnya
relatif landai hingga datar. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah
hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan.
2. Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah
Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan karst
yang kritis, tandus dan kekurangan air, dengan bagian tengah merupakan cekungan
Wonosari (Wonosari Basin). Satuan ini merupakan bentang lahan solusional (bentang
lahan yang proses pembentukan dan karakteristik lahannya dipengaruhi oleh proses
pelarutan, dengan bahan batuan induk batu gamping dan mempunyai karakteristik
lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat jarang.
Gambar 2.3. Kenampakan bentanglahan Karst Gunung Sewu Gunungkidul dengan bukit-bukit
gamping berbentuk kubah yang jumlahnya konon mencapai ribuan
3. Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kulon Progo bagian utara-barat,
merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit,
kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil.
7
4. Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial yang didominasi oleh
dataran aluvial, membentang di bagian selatan DIY, mulai dari Kulon Progo sampai
Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah
yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang
belum didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo
sampai Bantul. Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul, yang
terkenal dengan gumuk pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk kajian bentang
alam pantai.
Gambar 2.5. Kenampakan Bentanglahan Pesisir Bantul Dari Puncak Perbukitan Baturagung,
termasuk dalam satuan fisiografi dataran rendah yang berasosiasi dengan pantai yang rawan
tsunami
Setiap satuan fisiografi mempunyai karakteristik tersendiri dari aspek geografis maupun
geologis sebagaimana telah diuraikan di atas. Karakteristik ini berpengaruh nyata terhadap
potensi kebencanaan pada setiap satuan fisiografi. Potensi bencana yang ada pada setiap
saluran satuan fisiografi adalah sebagai berikut:
1. Bencana alam Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara
dan wilayah-wilayah sekitar sungai yang berhulu di puncak Merapi;
2. Bencana longsor dan erosi, terutama mengancam wilayah Kabupaten Kulon Progo
bagian utara dan barat serta daerah perbukitan Kabupaten Gunungkidul bagian utara.
3. Bencana banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan Kabupaten
Kulon Progo dan Kabupaten Bantul;
4. Bencana kekeringan, biasa terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian selatan;
5. Bencana tsunami, terdapat di daerah pantai selatan Kabupaten Kulon Progo,
Kabupaten Bantul; dan Kabupaten Gunungkidul;
6. Bencana alam akibat angin, biasa terdapat di wilayah pantai selatan Kabupaten Kulon
Progo, Kabupaten Bantul, dan daerah-daerah Kabupaten Sleman bagian utara, serta
wilayah perkotaan Yogyakarta;
7. Bencana alam gempa bumi, berpotensi terjadi di wilayah DIY, baik gempa bumi 9
tektonik maupun volkanik. Gempa bumi tektonik berpotensi terjadi karena wilayah DIY
berdekatan dengan kawasan tumbukan lempeng (subduction zone), yaitu di sebelah
selatan wilayah DIY (Samudera Indonesia). Di samping itu, secara geologi di wilayah
DIY terdapat banyak patahan aktif, seperti Sesar Opak. Gempa tektonik dengan
tingkat destruktif tinggi terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Gempa bumi volkanik
Luas wilayah provinsi ini sekitar 3.185,80 km². Perkembangan pemanfaatan luas lahan di
provinsi ini untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.2. berikut.
2 Luas wilayah efektif yang dapat di- 317.798 317.808 317.898 317.905 317.905
manfaatkan (ha)
2.3 GEOLOGI
Berdasarkan peta geologi Provinsi DI. Yogyakarta skala 1:100.000 tahun 1997, kondisi
batuan dapat dibedakan atas: Aluvium (Qa), Formasi Gunungapi Merapi (Qvm), Endapan
Vulkanik Merapi Muda (Qml), Endapan Vulkanik Merapi Tua (Qmo), Formasi Kepek (Tmpk),
Formasi Wonosari – Punung (Tmwl), Formasi Oyo (Tmo), Formasi Wuni (Tmw), Formasi
Sambipitu (Tms), Formasi Nglanggran (Tmng), Formasi Kebo Butak (Tomk), dan Formasi
Mandalika (Towm), Nanggulan, Jonggrangan, Andesit Tua Bemmelen, dan Sentolo. Selain
itu juga terdapat beberapa satuan intrusi Batuan beku di beberapa daerah seperti
Pegunungan Kulonprogo dan Baturagung.
Dilihat dari struktur geologinya, Provinsi DI. Yogyakarta mempunyai struktur geologi lipatan
dan patahan. Lipatan terdiri dari antiklinal dan sinklinal, terdapat pada Formasi Semilir (Tms),
Formasi Oyo (Tms), Formasi Wonosari – Punung (Tmwl), dan Formasi Kepek (Tmpk).
Patahan berupa sesar turun yang antara lain terdapat pada terban Bantul.
A. Aluvium (Qa)
Aluvium berumur Holosen dijumapai antara lain di Ponjong, sebelah timur Wonosari dan
10 Nglabu sebelah barat Bantul, tersusun dari bahan endapan lempung, lumpur, lanau,
pasir, kerikil, kerakal, dan berangkal.
B. Formasi Gunungapi Merapi (Qvm)
Formasi ini tersusun dari breksi vulkan, lava, dan tuf sebagai hasil endapan lahar
Gunungapi Merapi yang masih aktif sampai saat ini.
2.4 IKLIM
12
Unsur cuaca dan iklim di Provinsi DI. Yogyakarta meliputi suhu, kelembapan, kecepatan
angin, keawanan dan lain sebagainya. Berdasarkan unsur-unsur tersebut kondisi cuaca di
Provinsi DI. Yogyakarta sangat spesifik, hal ini menyebabkan adanya perbedaan kondisi
hidrologi dan tanaman yang mampu beradaptasi juga sangat beragam. Pengaruh yang
paling jelas terdeteksi adalah potensi ketersediaan air tanah dan besarnya aliran permukaan
Berdasarkan curah hujannya Kabupaten Sleman merupakan daerah yang potensial untuk
ketersediaan air, namun hal itu juga harus ditinjau lebih luas dengan berdasarkan periode
kering dan periode basah. Periode ini dapat tercermin dari jumlah Bulan Basah (BB) dan
Bulan Kering (BK). Bulan Basah (BB) adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm,
sedangkan Bulan Kering (BK) merupakan bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm.
Besarnya periode basah dan periode kering di Provinsi DI. Yogyakarta disajikan dalam Tabel
2.4.
13
Pengaruh kuat dari iklim tropis basah membuat proses geomorfologis di sekitar wilayah
Provinsi DIY berlangsung secara intensif sebagaimana daerah-daerah lain di Pulau Jawa.
Proses-proses geomorfologi eksogen (denudasi, marin, eolin, fluvial) terutama terjadi pada
masa Pleistosen-Holosen hingga sekarang. Proses-proses ini bekerja pada satuan-satuan
litologi yang terendapkan pada Masa Eosen hingga Pleistosen awal dengan kondisi
lingkungan berupa lingkungan laut dalam-dangkal, yang mengalami proses struktural
(terlipat/tersesarkan) pada Miosen akhir-Pleistosen. Hasil proses diatas meninggalkan bekas-
bekas pada bentuklahan sekarang berupa sisa-sisa perbukitan struktural-denudasional-
solusional, lereng-lereng kaki endapan, dan dataran-dataran aluvial yang subur hasil
pengendapan sungai. Perbukitan sisa hasil aktivitas vulkanik tersier dan aktivitas marin
tersier tersebar di sekitar Kulonprogo dan Gunungkidul. Kedua sistem Perbukitan tersebut
mengapit suatu dataran hasil proses terban pada akhir Pliosen-awal Pleistosen yang disebut
Graben Bantul. Seiring dengan munculnya aktivitas vulkanik Kuarter (Merapi) di utara DIY
pada Pleistosen-Holosen, maka dataran ini sekarang terisi oleh material endapan vulkanik
muda hasil erupsi vulkanik dan transportasi sungai. Selain aktivitas denudasi yang demikian
intensif pada perbukitan-perbukitan, proses marin berupa gelombang laut dan eolin juga
terjadi secara intensif di selatan meninggalkan bentukan-bentukan betinggisik dan gumuk
pasir di sepanjang pesisir Bantul-Kulonprogo. Bentukan-bentukan marin dan eolin ini dapat
berkembang dengan baik karena suplai material hasil proses denudasi dan vulkanik
dilanjutkan fluvial di utara jumlahnya relatif besar, sehingga pengendapan oleh gelombang
dan transportasi oleh angin dapat terjadi secara intensif.
1. Bentuk lahan marin dan eolin, membentang di sepanjang Pantai Selatan. Bentuk lahan
ini merupakan bentuk lahan langka dan bisa terbentuk karena kondisi geomorfologi
yang unik dari Provinsi DIY. Material bentuk lahan ini berasal dari material vulkanik
Gunungapi Merapi yang terbawa dan ter-transport oleh Sungai-sungai besar di DIY
(Opak, Progo). Selama proses transportasi ini, material sedimen ini mengalami
pemilahan sehingga yang mencapai muara sungai hanya material berukuran halus
hingga sangat halus. Material ini kemudian terendapkan kembali ke darat di kanan-kiri
sungai oleh gelombang pantai selatan yang cukup kuat. Kemudian sebagai akibat
topografi yang curam di pesisir timur DIY, angin yang bertiup dari Australia mengalami
pembelokan dan akselerasi kecepatan sehingga dapat mengangkut material halus
yang terendap oleh aktivitas gelombang, dan memindahkannya ke daerah belakang
membentuk gundukan-gundukan pasir atau gumuk pasir.
2. Bentuk lahan fluvial atau bentuk lahan yang pembentukannya dipengaruhi dan
disebabkan oleh air yang mengalir (sungai), pada umumnya didominasi oleh dataran
aluvial di bagian yang rendah. Lerengnya relatif datar hingga landai, ketersediaan air
dan kondisi tanah relatif subur, sehingga daerah ini potensial untuk pengembangan
wilayah pertanian dan permukiman. Bentuklahan ini tersebar di sekitar Sungai Progo
dan Opak berupa tanggul alam, teras sungai, gosong sungai, rawa belakang tertimbun
dan dataran aluvial.
4. Bentuk lahan solusional, berasal dari bahan induk batuan batu gamping (Formasi
Wonosari dan Sentolo). Daerah ini bertopografi datar hingga berbukit dengan tanah
relatif tipis dan di bawahnya langsung mengalami kontak dengan batuan dasar
gamping yang bersifat kompak dan masif. Oleh karena itu tidak heran apabila daerah
bentuklahan solusional atas permukaan sering mengalami kekurangan air. Daerah
datar – bergelombang cukup potensial untuk tanaman semusim, perkebunan, dan
15
permukiman, sedangkan pada topografi berbukit perlu adanya usaha penghijauan.
5. Bentuk lahan vulkanik, mempunyai variasi ketinggian yang dicerminkan dengan variasi
kemiringan lereng. Variasi lereng gunungapi berkisar dari kerucut gunungapi hingga
dataran fluvio-vulkanik. Daerah berbentuklahan vulkanik di DIY merupakan tempat
16
Sesuai dengan kondisi geografis, geologis dan sosial ekonominya, Provinsi DIY mempunyai
kerawanan yang tinggi terhadap beberapa jenis bencana, baik alam maupun non alam.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, terdapat 9 jenis bencana yang harus
diwaspadai dan dikurangi risikonya, yaitu bencana alam yang meliputi bencana banjir, tanah
longsor, letusan gunungapi, kekeringan, gempa bumi, tsunami dan angin ribut, serta bencana
non alam yang meliputi endemik Penyakit Malaria dan DBD. Provinsi DIY termasuk provinsi
yang wilayahnya rawan sembilan jenis bencana tersebut. Berikut ini akan dijelaskan
karakteristik setiap jenis bencana dan bagaimana kondisi kerawanannya di wilayah Provinsi
DIY.
Secara garis besar, sejarah Merapi dapat dibagi menjadi empat periode sebagai berikut:
Pada masa ini Gunung Merapi belum terbentuk. Namun pada masa ini telah terbentuk
suatu jalur intrusi basaltik andesit di sebelah timur posisi Gunung Merapi yang
sekarang, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Bibi. Umur Gunung Bibi
diperkirakan lebih dari 700.000 tahun. Walaupun sama-sama bermateri Basaltis 19
Andesit, batuan Gunung Bibi tidak mengandung Orthopyroxen, sehingga relatif dapat
dibedakan dengan material Merapi Muda. Elevasi Gunung Bibi adalah sekitar 2050
meter dengan jarak antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekitar 2.5 kilometer.
Batuan Gunung Bibi saat ini telah mengalami alterasi karena umurnya yang sudah
cukup tua
Pada masa ini secara garis besar bentukan Merapi sudah muncul. Masa ini merupakan fase
awal dari pembentukan Merapi dengan bentuk kerucut yang masih belum sempurna. Sifat
dan produk erupsi Merapi pada masa ini bervariasi, namun diperkirakan didominasi aliran
lava basaltik. Bukit Turgo dan Plawangan diperkirakan merupakan produk dari aktivitas
Merapi pada masa ini. Batuan Merapi pada masa ini berkomposisi andesit basaltik. Selain itu
aktivitas luncuran awanpanas, breksiasi lava dan lahar sudah mulai muncul.
20
.
Jenis dan sifat aktivitas Merapi pada masa ini secara umum sama dengan Merapi Tua, yaitu
lelehan lava basaltis andesit, awanpanas, dan breksi lahar/lava. Produk yang tersisa dari
aktivitas Merapi pada masa ini adalah bukit Batulawang dan Gajahmungkur di lereng utara
Merapi. Aktivitasnya berselang-seling dari aktivitas efusif (lelehan) atau eksplosif (letusan).
Produk batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Selain itu juga
diperkirakan terjadi letusan eksplosif dengan luncuran debris, ke arah barat yang
meninggalkan morfologi tapal-kuda di lereng barat. Kawah Pasarbubar terbentuk pada
periode ini.
Periode Merapi pada masa ini ditandai dengan pembentukan kerucut puncak Merapi yang
saat ini disebut sebagai Gunung Anyar. Produk Merapi saat ini berupa aliran basalt dan
andesit lava, awanpanas serta letusan magmatik dan phreatomagmatik. Jenis aktivitas
dominan pada masa ini adalah tipe efusif berupa lelehan lavadan pembentukan kubah lava.
Gunungapi Merapi merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia. Gunung ini berlokasi di
sebelah utara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak tahun 1006 sampai Februari
2001, gunung ini diketahui telah meletus sebanyak 82 kali (Data Dasar Gunungapi Indonesia,
1979). Siklus letusan Merapi dibagi dalam siklus pendek (2-5 tahun), siklus menengah (5-7
tahun) dan siklus panjang (lebih dari 30 tahun). Berikut ini adalah rekapitulasi karakteristik
21
letusan Merapi sejak tahun 1871.
1917-1918 1 1918-1920/2
22 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir setiap 5 tahun Gunung Merapi selalu
meletus. Siklus letusan Merapi mempunyai karakterisitik yang khas yang dimulai dari
pertumbuhan kubah lava, kemudian gugur dan menghasilkan awanpanas. Urutan
Kejadiannya adalah sebagai berikut. Kubahlava yang tumbuh di puncak dalam suatu waktu
karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam mengalami runtuh yang
kemudian diikuti oleh guguran lava pijar. Runtuhan kubah lava dan guguran lava ini dalam
Gambar 3.3 Erupsi Merapi dan Awanpanas yang merupakan salah satu produknya.
Aktivitas Merapi yang sangat intensif tentunya membawa ancaman bagi penduduk di sekitar
lereng Merapi, terutama penduduk di Kecamatan Cangkringan, Turi, Pakem dan Tempel
yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kategori
bahaya letusan gunung api terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya Primer
adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya,
awanpanas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awan panas, dan lontaran
material berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara
tidak langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan
lahan pertanian/perkebunan atau rumah. Dengan kata lain, bahaya sekunder merupakan
efek samping dari produk Merapi yang merupakan bahaya primer. 23
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan sejak abad ke 15, setiap kali Merapi meletus bisa
dipastikan selalu meminta korban jiwa, walaupun kecenderungan jumlahnya semakin
menurun akhir – akhir ini. Berikut ini adalah data yang berhasil dihimpun dari setiap kejadian
letusan besar.
Sumber: ESDM
24
Gambar 3.4 Pandangan perspektif kenampakan morfologi Gunungapi Merapi saat ini dari Citra
Satelit Tiga Dimensi
Kawasan ini akan berpotensi terkena awan panas, lontaran batu pijar, gas racun dan
guguran lava pijar. Walaupun tidak terkena secara langsung dan sering, zona ini harus
mendapat perhatian dengan serius karena banyak aktivitas penduduk di kawasan ini yang
sewaktu-waktu bisa terancam jiwanya oleh aktivitas Merapi. Wilayah yang termasuk dalam
kawasan rawan bencana II adalah Kecamatan Cangkringan, Turi dan Pakem bagian tengah.
Kawasan ini dapat terkena ancaman banjir lahar dan juga perluasan dari awan panas
tergantung oleh faktor volume guguran dan arah angin pada saat itu. Wilayah yang termasuk
dalam kawasan ini adalah lembah – lembah sungai yang berhulu di Merapi seperti Sungai
Krasak, Sungai Boyong dan Sungai Gendol, yang kemudian menyambung ke Sungai Code,
Opak dan Gajahwong di Kota Yogyakarta.
25
26
3.2 GEMPABUMI
3.2.1 Pengantar Teoritis Gempabumi
Gempabumi adalah peristiwa alam yang disebabkan proses tektonik maupun vulkanik.
Gempabumi vulkanik disebabkan oleh aktivitas vulkanik seperti erupsi. Gempa vulkanik
biasanya bersifat lokal dan hanya bisa dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
gunung saja. Gempa ini disebabkan oleh pergerakan dan tekanan magma di dalam perut
gunung tersebut. Sedangkan gempabumi tektonik disebabkan aktivitas lempeng tektonik
seperti subduksi dan obduksi. Karena disebabkan aktivitas lempeng tektonik, gempa tektonik
biasanya terjadi pada area yang luas dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada
gempa vulkanik. Gempa bumi dapat didefinisikan sebagai berguncangnya bumi yang
disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau
runtuhan batuan. Gempa bumi terjadi apabila tenaga yang tersimpan dalam bumi, biasanya
di dalam bentuk geseran batu yang tiba-tiba terlepas. Tenaga gempa bumi ini disalurkan ke
permukaan bumi yang menyebabkan gelombang gempa bumi. Gempa yang dahsyat
tersebut selain menyebabkan goncangan yang kuat juga menyebabkan adanya gelombang
ombak yang sangat tinggi di lautan yang terkenal dengan nama gelombang tsunami.
Terjadinya gempabumi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan lempeng tektonik. Litosfer
muka bumi merupakan suatu lapisan keras yang menumpang di atas lapisan yang lebih
lunak (astenosfer). Astenosfer bergerak seperti cairan (fluid) dan terus bergerak sebagai
akibat rotasi bumi. Pergerakan Astenosfer menyebabkan Litosfer yang jauh lebih keras turut
bergerak mengikuti gerakan Astenosfer seperti gabus yang mengapung di atas air. Litosfer-
litosfer muka bumi dibagi menjadi 2 macam lempeng, yaitu lempeng benua (continental
crust) dan lempeng samudera (oceanic crust). Lempeng samudera mempunyai kepadatan
yang lebih tinggi daripada lempeng benua. Lempeng – lempeng benua dan samudera
tersebut dibagi menjadi beberapa lempeng besar sesuai dengan sifat dan arah gerakannya.
Lempeng-lempeng tersebut antara lain lempeng Eurasia, Afrika, Indo-Australia, Pasifik, India,
Philipina, Amerika Selatan, Nazka, Kokok, Karibia dan lain-lain yang jumlah totalnya ada 16
lempeng (Gambar 3.7).
Lempeng – lempeng tektonik bergerak dengan arah dan sifat gerakan yang berbeda – beda.
Sebagai akibatnya, lempeng – lempeng tersebut ada yang saling bertumbukan (konvergen),
saling menjauh (divergen) dan menggelangsar (transform). Lempeng – lempeng yang
mengalami divergensi akan mengalami penipisan lapisan pada bidang kontak dan kemudian
terbelah membentuk pematang di sepanjang batas lempeng. Igir tengah atlantik (mid atlantic
ridge) merupakan salah satu contohnya. Lempeng – lempeng yang mengalami konvergensi 27
akan saling bertumbukan kemudian salah satunya (yang kepadatannya lebih tinggi) akan
menyusup di bawah lempeng yang kepadatannya lebih rendah. Proses ini disebut subdaksi
lempeng. Jika subdaksi yang terjadi adalah lempeng samudera menunjam di bawah lempeng
benua, maka lempeng samudera akan dapat menembus astenosfer. Penembusan ini akan
menyebabkan penaikan magma ke permukaan dan menyebabkan pembentukan deretan
Gambar 3.6 Lempeng tektonik Abad 20 dan Posisi Indonesia diantara Lempeng Eurasia dan Indo-
australia (Sumber: The Dynamic Earth, USGS)
Lempeng – lempeng tektonik bergerak dengan arah dan sifat gerakan yang berbeda – beda.
28 Sebagai akibatnya, lempeng – lempeng tersebut ada yang saling bertumbukan (konvergen),
saling menjauh (divergen) dan menggelangsar (transform). Lempeng – lempeng yang
mengalami divergensi akan mengalami penipisan lapisan pada bidang kontak dan kemudian
terbelah membentuk pematang di sepanjang batas lempeng. Igir tengah atlantik (mid atlantic
ridge) merupakan salah satu contohnya. Lempeng – lempeng yang mengalami konvergensi
akan saling bertumbukan kemudian salah satunya (yang kepadatannya lebih tinggi) akan
Gambar 3.7 Jenis – jenis kontak Lempeng Tektonik (Sumber: The Dynamic Earth, USGS)
Pulau Jawa merupakan pulau yang terbentuk akibat pengaruh aktivitas tektonik berupa
subdaksi lempeng, yaitu Lempeng Australia yang menunjam di bawah Lempeng Eurasia
dengan pergerakan 5-7 cm setiap tahun (lingkaran merah pada gambar). Keberadaan jalur
gunungapi di zona tengah Pulau Jawa pun tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aktivitas
tektonik ini dimana sebagai akibat dari subduksi lempeng, magma yang berada di lapisan
astenosfer terdorong dan terangkat ke permukaan dan membentuk jalur gunungapi. Zona
subduksi tersebut berlokasi di Samudera Hindia sekarang yang dicirikan dengan terdapatnya
parit samudera yang disebut Parit Jawa
29
Gambar 3.8 Subdaksi Lempeng Samudera-Benua (A), Lempeng Samudera-Samudera (B), Lempeng
Benua – Benua (C).
Pulau Jawa merupakan pulau yang terbentuk akibat pengaruh aktivitas tektonik berupa
subdaksi lempeng, yaitu Lempeng Australia yang menunjam di bawah Lempeng Eurasia
dengan pergerakan 5-7 cm setiap tahun (lingkaran merah pada gambar). Keberadaan jalur
gunungapi di zona tengah Pulau Jawa pun tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aktivitas
tektonik ini dimana sebagai akibat dari subduksi lempeng, magma yang berada di lapisan
astenosfer terdorong dan terangkat ke permukaan dan membentuk jalur gunungapi. Zona
subduksi tersebut berlokasi di Samudera Hindia sekarang yang dicirikan dengan terdapatnya
parit samudera yang disebut Parit Jawa. Keberadaan jalur patahan di Pulau Jawa juga tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan aktivitas lempeng. Litosfer Pulau Jawa yang relatif keras
menumpang di atas lapisan magma yang relatif lunak dan cair. Ibaratnya sepotong gabus
yang mengapung di atas air, litosfer ini bergerak seiring dengan dinamika magma di perut
bumi. Dikarenakan arah pergerakan yang tidak seragam, maka lifosfer ini kemudian
mengalami lipatan atau patahan, tergantung dari sifat dan jenis batuan. Oleh karena itu di
Pulau Jawa banyak ditemui jalur patahan, salah satunya adalah patahan Opak di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang memisahkan Perbukitan Baturagung dan dataran Bantul.
Penunjaman pada jalur subdaksi berlangsung secara terus – menerus dengan kekuatan
yang bervariasi. Jika pada suatu waktu magnitudenya naik atau terjadi tunjaman yang keras,
maka akan terjadi gempa yang disebabkan oleh pelepasan energi dari batuan – batuan yang
sebelumnya tertekan kemudian terlipat atau patah. Oleh karena itu, jika terjadi peningkatan
30 magnitude tunjaman lempeng, maka jalur patahan merupakan tempat yang potensial menjadi
episentrum gempa. Hal ini dikarenakan jalur – jalur patahan biasanya merupakan lokasi
pusat tekanan batuan akibat meningkatnya tunjaman lempeng. Selain itu, tunjaman yang
keras disertai gempa dan patahan bawah laut juga dapat menyebabkan timbulnya tsunami
dan naiknya magma ke permukaan dalam jumlah yang lebih besar. Oleh karena itu jika
terjadi gempa tektonik, kemungkinan aktivitas vulkanik juga akan ikut meningkat
Wilayah Provinsi DIY dan sekitarnya terletak pada jalur subdaksi lempeng, yaitu Lempeng
Indo – Australia yang menyusup di bawah Lempeng Eurasia. Dengan demikian wilayah DIY
merupakan wilayah yang rawan gempabumi baik tektonik maupun vulkanik. Catatan sejarah
menyebutkan bahwa gempa besar sering terjadi di DIY di masa lalu. Tahun 1867 tercatat
pernah terjadi gempa besar yang menyebabkan kerusakan besar terhadap rumah – rumah
penduduk, bangunan kraton, dan kantor – kantor pemerintah kolonial. Gempa lainnya terjadi
pada 1867, 1937,1943, 1976, 1981, 2001, dan 2006. Namun gempa dengan jumlah korban 31
besar terjadi pada 1867, 1943 dan 2006.
Gempabumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006, pukul 06.50 WIB dengan kekuatan 5,8 –
6,2 pada SR (menurut BMG dan Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi)
merupakan gempabumi terbesar dengan efek kerusakan terparah dari gempa – gempa yang
selama ini pernah terjadi. Pusat Gempa diperkirakan di pinggir pantai selatan Yogyakarta
atau bagian selatan Kabupaten Bantul dengan kedalaman 17 km – 33 km di bawah
permukaan tanah. Gempa tersebut dirasakan tidak hanya di wilayah Provinsi DIY tetapi juga
beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah Bagian Selatan. Akibat gempa beberapa wilayah,
khususnya bagian Selatan Provinsi DIY mengalami kerusakan yang cukup parah baik
kerusakan bangunan maupun infrastruktur lainnya. Berdasarkan analisis yang telah
dilakukan, disimpulkan bahwa pemicu gempa adalah adanya pergerakan lempeng yang
menyebabkan patahan opak mengalami pergeseran. Pergeseran ini yang menyebabkan
litosfer berguncang sebagai mekanisme pelepasan energi atau yang dikenal dengan gempa,
sebagaimana telah diuraikan di subbab sebelumnya. Intensitas gempa tertinggi adalah di
sekitar jalur patahan opak, oleh karena itu kerusakan infrastruktur dan korban jiwa terbesar
terjadi di sepanjang jalur patahan yang meliputi beberapa kecamatan di Kabupaten Bantul
dan Klaten.
32
Tabel 3.3 Data kerusakan bangunan akibat gempabumi 27 Mei 2006 (Sumber: 3A)
33
Selain kerusakan bangunan dan infrastruktur lainnya seperti jalan, jembatan, dan bangunan
budaya, gempa juga menyebabkan korban jiwa yang tidak sedikit. Jumlah korban jiwa
tercatat mencapai lebih dari 5000 orang, belum termasuk korban luka-luka baik luka berat
maupun ringan. Korban jiwa terbanyak di Kabupaten Bantul dan Klaten yang merupakan
pusat terjadinya gempa (di sepanjang Patahan Opak).
34 jalur patahan dan sungai – sungai besar di Provinsi DIY. Analisis dilakukan dengan
menggunakan analisis proximity melalui operasi Spatial Buffering. Tahapan analisis dan
pemetaan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.15.
Penilaian setiap parameter dan indikator menggunakan sistem pembobotan dan skoring.
Pembobotan dilakukan untuk menilai perbedaan pengaruh setiap komponen terhadap
Ketiga faktor tersebut dianggap sama pengaruhnya terhadap gempa sehingga diberi bobot
yang sama. Setiap indikator mempunyai tiga kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi
yang masing – masing diberi skor berbeda untuk mendeskripsikan besarnya pengaruh
magnitudo gempa. Skor dan bobot kemudian dijumlahkan untuk setiap komponen. Setiap
komponen kemudian diintegrasikan melalui operasi overlay (tumpang-susun) dan dihitung
total skornya. Tingkat kerawanan gempa ditentukan dari total skor setiap komponen.
Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan (gambar ), distribusi spasial area – area
yang rawan gempa dapat diketahui. Daerah – daerah di sekitar jalur patahan atau sungai –
sungai besar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan area-area yang berpotensi 35
gempa tinggi. Pemetaan dilakukan dengan mengidentifikasi faktor pemicu gempa, yaitu jalur
patahan dan sungai besar di Yogyakarta yang diasumsikan mengalir di sepanjang jalur
patahan. Potensi gempa dinilai dari jaraknya dari pusat jalur patahan dan sungai. Semakin
jauh dari jalur patahan dan sungai, potensi kegempaannya semakin berkurang. Klasifikasi
jarak yang digunakan adalah kurang dari 500 meter untuk potensi tinggi, 500 – 1000 meter
37
Gambar 3.15 Tipologi Longsor (Sumber: Landslide Types and Processes, USGS)
Debris flow adalah longsoran material dengan ukuran yang bervariasi (dari halus hingga
kasar) yang bercampur dengan air. Debris flow biasanya terjadi pada waktu hujan deras
pada lereng curam. Debris flow merupakan salah satu jenis longsor yang sering terjadi di
Indonesia. Debris avalanche merupakan debris flow yang terjadi secara cepat dan dalam
massa yang besar. Earthflow/mudflow hampir sama dengan debris flow, Cuma ukuran
materialnya relatif halus dan seragam. Earthflow/mudflow biasanya terjadi pada lahan
dengan kemiringan lereng yang tidak terlalu curam. Soil creep atau rayapan tanah adalah
pergerakan massa tanah menuruni lereng dalam waktu yang lama dan kecepatan yang relatif
pelan (tidak seperti longsor yang sifat gerakannya cepat dan dalam waktu yang singkat).
Secara visual kenampakan soil creep tidak mudah dikenali dalam waktu yang singkat karena 39
kenampakan morfologi permukaannya biasanya relatif tidak terlalu berubah. Namun ada
beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi soilcreep, antara lain
adanya pohon, tiang listik yang miring, dan retak – retak pada permukaan tanah.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, DIY mempunyai dua jalur perbukitan yang secara
genesisnya merupakan material vulkanik berumur tersier. Perbukitan tersebut adalah
perbukitan Kulonprogo dan Perbukitan Baturagung yang memanjang dari Bantul Selatan
hingga Gunungkidul utara. Jalur pegunungan tersebut merupakan hasil aktivitas vulkanik
dasar laut pada kala Oligosen akhir hingga Miosen Akhir yang kemudian mengalami
pengangkatan dan proses – proses struktural lain (lipatan dan patahan) pada kala
Pleistosen, membentuk jalur pegunungan kubah/dome Kulonprogo dan perbukitan lipatan/
patahan Baturagung. Adanya pengaruh iklim yang tropis basah menyebabkan proses
pelapukan batuan pada dua pegunungan ini berlangsung intensif untuk batuan dekat
permukaan, namun relatif lebih lambat untuk batuan yang lebih dalam. Kondisi ini dalam
jangka waktu yang lama telah menyebabkan terbentuknya susunan perlapisan batuan
berupa material lapuk bersifat lempungan yang menumpang di atas batuan vulkanik masif.
Material lapuk ini mempunyai sifat cepat menyerap air namun sukar meloloskan air.
Sedangkan batuan masif di bawahnya sama sekali tidak dapat menyerap air. Jika terjadi
hujan, material lapukan ini akan menyerap air dan dalam waktu singkat beratnya semakin
bertambah. Ketika kondisi jenuh sudah tercapai, air hujan yang tidak tertampung akan
mengalir pada bidang kontak antara material lapuk dan batuan induk sesuai dengan arah
perlapisan, dan keluar dalam bentuk rembesan. Kondisi jenuh ini yang menyebabkan
material lapukan kemudian mengalami longsor atau rayapan tanah. Karakteristik yang
spesifik tersebut yang menyebabkan Pegunungan Kulonprogo dan Baturagung merupakan
wilayah yang rawan longsor di Provinsi DIY.
Kejadian longsor di Provinsi DIY hampir selalu terjadi setiap tahun, terutama pada musim
penghujan. Longsor terutama terjadi pada daerah perbukitan dengan kemiringan lereng lebih
dari 30%. Jenis longsor yang terjadi antara lain slump, sliding, creep dan rockfall/rolling.
Longsor jenis slump, slide, dan creep biasanya terjadi pada material lapukan yang cukup
tebal. Sedangkan rockfall terjadi pada daerah yang didominasi batuan keras seperti pada
kawasan formasi jonggrangan (gamping) di Perbukitan Kulonprogo, dan perbukitan gamping
wonosari. Beberapa kejadian longsor yang memakan korban jiwa antara lain di Dusun
Kedungrong, Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo pada bulan November 2001
yang menewaskan 7 korban jiwa. Kejadian longsor lainnya adalah longsor – longsor skala
kecil yang terjadi setiap tahun di sekitar wilayah Kecamatan Samigaluh, Kokap, Kalibawang,
dan Girimulyo. Sedangkan untuk Kabupaten Gunungkidul, longsor biasanya terjadi di sekitar
Kecamatan Gedangsari.
40
41
Gambar 3.18 Beberapa kejadian Tanahlongsor yang terjadi di Kulonprogo (Foto oleh Guruh
Samodra, 2008)
Sebagaimana jenis bencana alam yang lain, tanahlongsor merupakan bencana yang sulit
diprediksi secara tepat kapan dan dimana akan terjadi. Namun dengan perkembangan ilmu
kebumian, indikator – indikator dan faktor yang mempengaruhi terjadinya tanahlongsor kini
sudah diketahui dengan baik. Dengan demikian, identifikasi dan pemetaan area – area yang
rawan longsor dapat dilakukan dengan mendasarkan pada identifikasi komponen –
komponen lahan yang berpengaruh dan berpotensi menyebabkan longsor. Analisis risiko
dapat dilakukan dengan menilai apa saja elemen – elemen risiko yang ada pada daerah
rawan longsor berapa nilai ekonominya.
Pemetaan kerawanan longsor dapat dilakukan secara empiris maupun fisis. Pemetaan atau
pemodelan secara empiris mendasarkan pada penilaian dan pemetaan faktor – faktor yang
42 berpengaruh terhadap longsor. Faktor – faktor ini kemudian dinilai pada setiap wilayah
pemetaan, bagaimana pengaruhnya terhadap tingkat kerawanan longsor secara
keseluruhan. Faktor – faktor ini antara lain bentuklahan, tanah, karakteristik hujan dan
tutupan vegetasi. Kombinasi dari faktor – faktor diatas akan menentukan seberapa besar
tingkat kerawanan longsor di suatu daerah. Pemerintah Provinsi DIY telah memetakan
Gambar 3.20
Pemetaan dilakukan dengan mendasarkan pada lima faktor yang dianggap berpengaruh
terhadap kerawanan longsor yaitu litologi, bentuklahan, lereng, tutupan vegetasi dan formasi
geologi. Bentuklahan merupakan faktor yang dianggap paling berpengaruh, oleh karena itu
diberi bobot paling besar. Sedangkan tutupan vegetasi pengaruhnya dianggap yang terkecil,
oleh karena itu bobotnya paling kecil. Hasil pemetaan setiap komponen kemudian
ditumpangsusunkan dan dihitung total skornya untuk memperoleh gambaran tingkat
kerawanan longsor untuk seluruh wilayah kajian.
Peta kerawanan longsor yang dibuat dapat dilihat pada gambar . Dari peta yang dihasilkan
dapat diketahui distribusi spasial daerah rawan longsor di Provinsi DIY. Daerah rawan
longsor sedang hingga tinggi di DIY tersebar di sepanjang satuan fisiografi Perbukitan
Kulonprogo dan Perbukitan Baturagung. Kecamatan yang rawan antara lain Pengasih,
Nanggulan, Kokap, Samigaluh, Girimulyo, dan Kalibawang untuk Kabupaten kulonprogo.
Sedangkan untuk Kabupaten Gunungkidul daerah yang rawan antara lain Kecamatan Patuk,
Nglipar, Gedangsari dan Ngawen. Beberapa kecamatan di Kabupaten Bantul yang sebagian
43
wilayahnya berada di satuan fisiografi Perbukitan Baturagung juga mempunyai potensi
tanahlongsor dari sedang hingga tinggi seperti Kecamatan Imogiri, Pleret dan Piyungan.
Selain Perbukitan Kulonprogo dan Baturagung, daerah di sekitar puncak Merapi juga rawan
longsor. Faktor – fator penyebabnya antara lain lereng yang curam dan tidak stabil akibat
adanya penambahan material dari puncak.
44
3.4 TSUNAMI
3.4.1 Konsep Tsunami
Istilah tsunami berasal dari kata "tsu" dalam bahasa jepang yang berarti pelabuhan dan
"nami" yang berarti gelombang laut. Penduduk jepang menggunakan istilah tsunami untuk
menyebut gelombang laut yang menghantam pelabuhan. Istilah ini kemudian digunakan
untuk menyebut gelombang laut yang besar dan bergerak dengan kecepatan lebih dari 900
km/jam yang mampu menghempaskan daratan di sekitarnya. Tsunami berbeda dengan
gelombang laut biasa yang terbentuk akibat terpaan angin. Gelombang laut biasa terbentuk
akibat terpaan angin dan sirkulasi udara/atmosfer, sehingga hanya terbentuk di permukaan
laut dan hanya bersifat naik turun biasa. Sedangkan tsunami terbentuk akibat kejadian –
kejadian di bawah laut seperti gempa bumi, letusan gunungapi bawah laut, longsor bawah
laut atau jatuhnya meteor (jarang terjadi). Gelombang ini mempunyai sifat bergerak menjalar
ke arah samping dari pusat gelombang. Bentuk gelombangnya kurang lebih sama dengan
gelombang air yang dihasilkan dari batu yang dilempar ke kolam. Pada laut dalam,
gelombang tsunami bisa bergerak hingga mencapai kecepatan 1000 km/jam, namun karena
kedalaman laut masih dalam, maka tinggi gelombangnya tidak melebihi 1 meter. Namun
seiring dengan pergerakannya ke arah darat (kedalaman semakin berkurang namun massa
air yang bergerak tetap), ketinggian gelombang akan semakin besar (walaupun
kecepatannya berkurang) dan akhirnya mencapai daratan dengan ketinggian gelombang
bisa mencapai puluhan meter serta merusak daratan.
Diantara berbagai macam penyebab tsunami, gempabumi bawah laut merupakan penyebab
tsunami yang paling sering. Gempabumi bawah laut (dangkal) terjadi akibat adanya
pergeseran jalur patahan bawah laut (zona subdaksi) secara vertikal. Pergeseran ini
45
menyebabkan terjadinya perubahan morfologi bawah laut secara tiba – tiba dan memberikan
energi potensial pada massa air laut di atasnya. Energi ini kemudian dilepaskan dalam
bentuk gelombang yang bergerak menyamping dengan periode panjang (Gambar 3.22 A).
A C
Gambar 3.23 Mekanisme terbentuknya tsunami (A), lokasi terjadinya gempa bawah laut dan lokasi
terjadinya tsunami (B). Pasific Ring of Fire (C) daerah yang dilingkari merah merupakan zona
subdaksi Samudera Hindia/Palung Jawa
(Sumber: Tsunami Glossary, UNESCO)
46
Gambar 3.24 Gelombang Tsunami menerjang pantai (Sumber: Tsunami Glossary, UNESCO)
Gambar 3.25 Kawasan pesisir DIY yang landai dan terbuka ke arah laut tanpa adanya barrier yang
efektif
Beberapa kejadian tsunami besar pernah terjadi di Pesisir Selatan Jawa. Dua diantaranya
adalah kejadian tsunami di Banyuwangi tahun 1994 yang menewaskan 377 jiwa. Tsunami ini
disebabkan gempa besar dengan magnitude 7,2 SR. Kejadian tsunami lain yang
gelombangnya sampai di Kawasan Pesisir DIY adalah tsunami Pangandaran tahun 2006
yang menewaskan 688 jiwa. Tsunami ini disebabkan gempa yang berepisentrum di
Samudera Hindia dengan magnitude 6,8 SR. Di DIY sendiri, tsunami tersebut telah
menyebabkan hancurnya puluhan rumah di kawasan Pantai Parangtritis dan memakan satu 47
korban jiwa. Kejadian tsunami lain yang perlu untuk diperhatikan adalah tsunami katastropik
Aceh Desember 2004 yang memakan 250.000 korban jiwa. Kejadian tsunami Aceh perlu
menjadi bahan perhatian dan pembelajaran karena dalam berbagai aspek, kawasan pesisir
selatan DIY mempunyai beberapa kemiripan dengan kawasan pesisir barat Aceh
DI
Palung Jawa
Gambar 3.27
Lokasi Palung Jawa yang merupakan Zona Subdaksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia
Sebagaimana telah dijelaskan pada butir 3.4.2 bahwa kawasan pesisir DIY merupakan salah
satu kawasan pesisir yang rawan terkena tsunami. Untuk dapat mengimplementasikan
kegiatan PRB di kawasan pesisir ini Pemerintah Provinsi DIY telah memetakan tingkat
ancaman tsunami pada skala provinsi (1:100.000). Metode yang digunakan adalah
pemodelan secara empiris menggunakan informasi bentuklahan daerah pesisir yang
diintegrasikan dengan analisis jarak dari garis pantai. Diagram alir pemetaannya adalah
sebagai berikut di bawah.
50
3.5 KEKERINGAN
3.5.1 Konsep Kekeringan
Kekeringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan air. Kekeringan adalah
hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan
hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Pengertian lain adalah kekurangan dari
sejumlah air yang diperlukan dimana keperluan air ini ditentukan oleh kegiatan ekonomi
masyarakat maupun tingkat sosial ekonominya. Dengan demikian, kekeringan merupakan
interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi alam dan kondisi sosial ekonomi. Untuk
memudahkan dalam memahami masalah kekeringan, berikut diuraikan klasifikasi kekeringan
baik secara alamiah ataupun karena ulah manusia (antropogenik), sebagai berikut:
1). Kekeringan Alamiah
Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi
pertama adanya kekeringan.
Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air
tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan
elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai
menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.
Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air
dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi
setelah gejala kekeringan meteorologi.
Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi
ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi,
hidrologi, dan pertanian.
Sebenarnya, ada tiga faktor yang memengaruhi pola musim di Indonesia yaitu monsun,
ENSO, Dipole Mode. Monsun adalah perilaku angin musiman yang terbentuk setiap enam
51
bulan sekali di Indonesia. ENSO atau El Nino Souther Oscillation merupakan perilaku suhu
permukaan laut di Pasifik selatan, terjadi tiap 3-7 tahun. Dipole Mode adalah perilaku suhu
permukaan laut di Samudra Hindia, berulang tiap 4-5 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa
ketiganya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pola musim di berbagai wilayah di
Indonesia. Indonesia bagian timur lebih banyak dipengaruhi oleh ENSO, karena lebih dekat
dengan Samudra Pasifik. Indonesia bagian tengah seperti D.I.Yogyakarta lebih banyak
Dampak kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam menurut lokasi.
Pengaruh El-Nino kuat pada wilayah yang pengaruh sistem monsun kuat, lemah pada
wilayah yang pengaruh sistem equatorial kuat, dan tidak jelas pada wilayah yang pengaruh
lokal kuat. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola :
Selain dari pengaruh iklim yang telah dijabarkan diatas, karakteristik batuan dan tanah sedikit
banyak juga mempengaruhi tingkat kerawanan kekeringan. Daerah dataran dengan tanah
pasiran hasil proses pengendapan sungai akan berbeda dengan daerah perbukitan
berbatuan keras dalam kemampuannya menyimpan air. Daerah dataran biasanya
merupakan daerah pengendapan material. Ciri khas pada daerah ini adalah tanahnya relatif
dalam, sehingga mampu menyimpan air dalam volume yang besar (disebut aquifer).
Sedangkan daerah perbukitan berbatuan keras biasanya tanahnya tipis sebagai akibat erosi
dan longsor yang intensif, karena itu kemampuan untuk menyimpan airnya juga relatif kecil.
Selain itu, jika batuan pada lokasi yang bersangkutan termasuk dalam kategori batuan masif
kedap air (gamping dan andesit), maka bisa dipastikan potensi kekeringannya akan lebih
besar.
3.6 BANJIR
3.6.1 Konsep Banjir
Banjir adalah aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga meluap ke
kanan kiri sungai dan menyebabkan adanya genangan di sempadan sungai tersebut. Aliran
limpasan air tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan menggenangi daerah yang
biasanya tidak dilewati aliran air. Sumber air banjir dapat dikategorikan kedalam empat
kategori yaitu banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melabihi kapasitas tampungan
sungai alamiah dan system drainase buatan manusia. Air banjir juga dapat berasal dari
pasang laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai. Banjir juga dapat disebabkan
karena air yang berasal dari kegagalan/bobolnya bangunan air buatan manusia ataupun
bendungan alamiah/penyumbatan aliran sungai akibat runtuhnya/longsornya tebing sungai.
Ketika sumbatan/bendungan tidak dapat menahan tekanan air maka bendungan akan
hancur, air sungai yang terbendung akan mengalir deras sebagai banjir bandang.
Pada umumnya banjir disebabkan karena curah hujan yang tinggi di atas normal, sehingga
sistem pengaliran air seperti sungai, anak sungai, dan saluran alamiah lainnya serta
bangunan buatan manusia seperti saluran drainase ataupun kanal, tidak dapat menampung
akumulasi air hujan tersebut sehingga air meluap menyebabkan banjir. Banjir tersebut selain
disebabkan oleh faktor alam, juga disebabkan karena ulah manusia, diantaranya karena
banyaknya sampah yang dibuang sembarangan ke dalam saluran air (selokan) dan sungai
yang menyebabkan selokan dan sungai menjadi dangkal sehingga mengurangi volume
54 tampungan sungai terhadap air. Kurangnya daya serap tanah terhadap air karena tanah
telah tertutup oleh aspal jalan raya dan bangunan-bangunan padat yang tidak tembus air
menyebabkan kecilnya jumlah air yang meresap ke dalam tanah dan meningkatkan jumlah
air limpasan permukaan sehingga dapat terjadi genangan dan juga dapat meningkatkan
aliran air yang masuk kedalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan
mengakibatkan banjir. Berkurangnya daya serap tanah juga dapat disebabkan oleh ulah
55
Garis Sempadan
DEBIT>50 TAHUNAN
BANJIR
SUNGAI
Secara umum, banjir bandang dan banjir genangan sama-sama bersifat merusak. Aliran arus
banjir yang bergolak turbulen dan cepat, dapat merusak semua yang dilaluinya, baik itu
manusia, hewan, maupun harta benda. Aliran air yang membawa material yang halus akan
mampu menyeret material yang lebih besar sehingga daya rusaknya akan semakin tinggi. Air
banjir ini dapat merusak pondasi bangunan, pondasi jembatan, dan lainnya yang dilewati
sehingga menyebabkan kerusakan parah pada bangunan tersebut. Kuatnya arus banjir juga
dapat membawa dan menghanyutkan semua yang dilaluinya seperti tumbuhan, hewan,
manusia, dan harta benda. Setelah banjir surut, bencana belum juga selesai. Material yang
terbawa oleh air banjir, akan tersedimentasi dan mengakibatkan kerusakan pada tanaman,
permukiman, serta dapat menimbulkan wabah penyakit seperti diare, penyakit kulit, dan
sebagainya.
Banjir bandang dapat menimbulkan korban jiwa yang lebih banyak daripada banjir genangan
atau luapan sungai. Hal itu disebabkan karena banjir bandang ini terjadi sangat cepat
sehingga tidak ada kesempatan bagi warga untuk mengungsi. Banjir bandang ini terjadi pada
aliran sungai yang kemiringan dasar sungainya curam. Aliran ini sangat cepat dan dapat
mencapai ketinggian lebih dari 12 meter. Limpasannya dapat membawa batu besar/bongkah
dan pepohonan serta merusak/menghanyutkan apa saja yang dilaluinya, namun cepat surut
kembali.
Untuk daerah perkotaan Yogyakarta, banjir/genangan terjadi lebih disebabkan oleh luapan
saluran/gorong-gorong kota yang tidak mampu menampung debit air hujan. Selain itu sistem
drainase yang kurang baik di kawasan padat penduduk Kota Yogyakarta dan jalan-jalan
perkotaan menyebabkan terjadinya genangan yang cukup mengganggu warga dan
pengguna jalan lainnya. Adanya konversi lahan juga menjadi penyebab meningkatnya
koefisien aliran sehingga air hujan yang turun tidak dapat meresap ke tanah namun langsung
menjadi aliran permukaan yang kemudian menjadi banjir/genangan. Keadaan tersebut
semakin diperparah oleh kesadaran yang rendah terhadap lingkungan oleh masyarakat yang
tinggal di bantaran sungai dengan membuang sampah ke sungai/saluran/gorong-gorong
sehingga dapat menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai/saluran/gorong-
gorong tersebut. Kejadian banjir di daerah perkotaan Yogyakarta yang pernah terjadi antara
lain pada bulan Februari 2005 yang diakibatkan meluapnya Sungai Code. Beberapa
kecamatan yang terendam antara lain Kecamatan Danurejan dan Gondokusuman. Kejadian
banjir di Kota Yogyakarta yang diakibatkan saluran drainase di Kota Yogyakarta tidak mampu
menampung limpasan akibat hujan deras antara lain terjadi pada Bulan Februari 2007. Banjir
ini menyebabkan beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta tergenang. Kejadian yang sama
terulang lagi pada bulan April 2008.
Tingkat kerawanan banjir dapat dilihat dari beberapa parameter seperti bentuklahan, infiltrasi,
lereng, dan tekstur. Masing-masing parameter tersebut memiliki bobot yang berbeda-beda
artinya memiliki tingkat kerentanan yang beragam terhadap suatu kejadian banjir.
Bentuklahan memiliki bobot paling besar yaitu 50, disusul dengan kemiringan lereng dengan
bobot 30, kemudian infiltrasi dan tekstur yang masing-masing memiliki bobot 10. Nilai skor
pada suatu parameter pun berbeda-beda, tergantung dari tingkat kerawanannya terhadap 57
bencana banjir. Bentuklahan yang memiliki skor tertinggi (5) yaitu dataran aluvial, dataran
banjir dan teras sungai, hal ini disebabkan karena asal usul terbentuknya bentuklahan ini
adalah dari proses banjir dimasa lalu karena letaknya yang berada di sempadan sungai dan
kondisi tersebut akan terulang lagi di masa sekarang. Bentuklahan-bentuklahan yang
memiliki skor kecil (1) antara lain adalah beting pantai, bukit terisolasi, dataran fluvial kaki
Besarnya sudut kelerengan dapat menentukan tingkat kerawanan banjir. Semakin curam
lereng (>40%), semakin kecil skornya (1) atau semakin kecil kemungkinannya untuk terjadi
banjir di daerah tersebut. Semakin datar lerengnya (0-15%), semakin besar skornya (3) atau
semakin besar kemungkinannya untuk terjadi banjir di daerah tersebut. Kondisi suatu tempat
dengan kemiringan lereng yang besar dapat memudah kan air untuk mengalir sehingga
mengurangi kesempatan air untuk menggenang didaerah tersebut. Selain itu gaya grafitasi
yang membuat air mengalir dari tempat tinggi ketempat rendah, menyebabkan tempat yang
berada di bagian bawah dengan kondisi kelerengan yang relative datar menjadi tempat
akumulasi air dan kemungkinan bisa terjadi banjir.
Tingkat kerawanan banjir dapat ditentukan pula oleh kondisi tanah yang dapat dilihat dari
parameter infiltrasi tanah. Semakin lambat tingkat infiltrasi tanah dalam melalukan air, maka
akan semakin besar kontribusinya terhadap kejadian banjir (skor tertinggi yaitu 5). Apabila
tanah memiliki tingkat infiltrasi tanah yang tinggi atau tanah tersebut dapat cepat melalukan
air, maka kondisi tersebut akan mengurangi tingkat kerawanan terhadap banjir dan memiliki
skor terendah (1).
Selain tingkat infiltrasi tanah, tekstur tanah juga penting dalam penentuan tingkat kerawanan
banjir. Tanah lempung dan liat memiliki skor terbesar (5) atau memiliki kontribusi terbesar
untuk menentukan tingkat kerawanan banjir. Hal tersebut dikarenakan tanah lempung ini
memiliki tingkat transmisivitas atau permeabilitas yang sangat kecil sehingga tanah ini tidak
dapat melalukan air dengan baik dan cepat. Air yang berada di tanah lempung, tidak dapat
berinfiltrasi dengan baik sehingga air tersebut akan menggenang di permukaan dan terjadilah
banjir. Berbeda dari itu, meterial bertekstur pasir memiliki skor terendah (1), hal itu
disebabkan karena material pasir ini sangat mudah untuk melalukan air (transmisivitas tinggi)
sehingga air yang berada diatasnya dapat meresap masuk dan tidak akan menggenang/
banjir.
58
60
3.7.2 Kejadian Angin Ribut di DIY
Kejadian angin ribut terjadi hampir setiap tahun di DIY, terutama pada musim pancaroba.
Kota Yogyakarta dan sekitarnya merupakan salah satu daerah paling rawan angin ribut di
DIY. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dan industri menyebabkan emisi gas rumah
kaca semakin bertambah dari waktu ke waktu. Emisi gas karbon yang semakin besar ini
menyebabkan potensi untuk menjadi urban heat island juga semakin besar. Selain itu,
topografi kota Yogyakarta yang datar dan dikelilingi perbukitan dan gunungapi juga turut
berperan dalam menyebabkan terjadinya pusat udara bertekanan rendah di Kota
Yogyakarta.
Beberapa kejadian angin ribut di DIY antara lain pada di Kota Yogyakarta pada tanggal 7
November 2008. Kejadian angin ribut ini terjadi di daerah Kampus Universitas Gadjah Mada
dan sekitarnya yang merusakkan sejumlah infrastruktur kampus dan beberapa pusat
pertokoan di sekitarnya. Kejadian lainnya adalah pada bulan Februari 2007 di daerah Baciro
Kota Yogyakarta. Kejadian ini juga menyebabkan rusaknya ratusan rumah dan pertokoan,
baik akibat sapuan angin maupun tertimpa pohon yang roboh. Tidak hanya Kota Yogyakarta
yang sering dilanda angin ribut, Kota Wonosari Gunungkidul dan daerah di sekitarnya yang
termasuk dalam kawasan cekungan wonosari juga sering dilandai angin ribut. Beberapa
minggu sebelum kejadian angin ribut di sekitar kawasan UGM Yogyakarta, Kota Wonosari
Kabupaten Gunungkidul diterjang angin ribut pada tanggal 19 Oktober 2008 yang
menyebabkan 150 rumah mengalami kerusakan.
61
Gambar 3.35 Angin ribut yang terjadi di Kota Yogyakarta Februari 2008 (Sumber: Detik)
63
Tabel 3.4 Jumlah Penderita DBD dan Malaria Tahun 2005-2006 di Provinsi DIY (Satuan Jiwa)
MALARIA DBD
Kabupaten/Kota 2005 2006 2005 2006
No
KLINIS (+) KLINIS (+)
1 Kota Yogyakarta 0 0 0 0 343 895
64
Contoh lainnya adalah perkembangan jumlah lahan terbangun. Lahan terbangun di DIY
dalam kurun waktu lima tahun sejak 2000 hingga 2005 telah bertambah dari 19.851,63 Ha
menjadi 20.208,27. Perkembangan ini nampak jelas terutama pada daerah perkotaan
Yogyakarta. Lahan perkotaan Yogyakarta saat ini semakin berkembang ke daerah belakang
66 yang termasuk dalam Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY). Perkembangan
dan ekspansi lahan perkotaan ke arah belakang ini mengindikasikan semakin padatnya Kota
Yogyakarta, sehingga tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan lahan penduduknya.
Dilihat dari aspek kebencanaan, hal ini akan semakin meningkatkan kerentanan terhadap
beberapa macam bencana seperti gempabumi, angin ribut, dan endemik penyakit, yang
berpotensi terjadi di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
67
PROFIL KEBENCANAAN DIY 2008
Gambar 3.39 Peta Bahaya Angin Ribut
68
Gambar 3.41 Grafik Perubahan Luas Lahan Terbangun DIY 200-2005
(Sumber: BPS dan BAPEDA DIY, 2008)
Gambar 3.42 Rumah yang dibangun dengan memotong lereng, menaikkan tingkat kerentanan
sekaligus menaikkan ancaman longsor
69
71
72
Demikianlah telah dijelaskan karakteristik bencana Provinsi DIY. Sebagai salah satu provinsi
yang luas wilayahnya cukup sempit jika dibanding provinsi lain, jenis bencana yang
mengancam Provinsi DIY cukup banyak jenisnya. Provinsi DIY sangat rawan terhadap tujuh
jenis bencana alam utama yang sering terjadi di dunia, sebagai konsekuensi dari karakteristik
geologis dan geografis bentang lahannya. Potensi ancaman bencana ini diperkirakan akan
meningkat dari waktu ke waktu mengingat berbagai fenomena alam seperti pemanasan
global dan perubahan iklim saat ini telah diketahui semakin meningkat intensitasnya.
Perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa kerentanan bencana di Provinsi DIY juga
semakin meningkat. Beberapa diantaranya telah dibahas di dalam buku ini seperti
pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan penggunaan lahan yang di monitor
menggunakan analisis digital citra satelit. Kondisi ini mengharuskan adanya penanganan
bencana yang integratif dan komprehensif di Provinsi DIY untuk mengurangi risiko
bencana—bencana yang mungkin terjadi di masa datang.
Saat ini, berbagai upaya mitigasi bencana, pengurangan kerentanan dan penguatan
kapasitas dalam berbagai sektor dan bidang di Provinsi DIY telah dilaksanakan (yang
sementara ini dikoordinir oleh BAPEDA DIY). Beberapa diantaranya telah dicontohkan dalam
buku ini. Berbagai dokumen perencanaan seperti Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko
Bencana (RAD PRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) beserta atribut
hukumnya saat ini sedang disusun dan akan segera disahkan. Masyarakat DIY sendiri telah
berkomitmen untuk mengurangi risiko bencana dalam wujud antusiasme dalam segala
bentuk kegiatan pengurangan risiko bencana yang difasilitasi oleh berbagai lembaga/
instansi. Stakeholder terkait bencana baik pemerintah, swasta, institusi akademik dan LSM/
INGO yang bekerja di DIY telah berkomitmen untuk bersinergi dan bekerjasama di bawah
satu koordinasi melalui pembentukan Forum PRB Provinsi DIY. Pembentukan BPBD (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah) sebagai perumus dan koordinator kegiatan
penanggulangan bencana sesuai dengan yang diamanatkan Undang-undang No 24 Tahun
2007 sedang dirumuskan saat ini dan akan direalisasikan pada tahun 2009. Walaupun
demikian, masih banyak yang harus dikerjakan guna menghadapi tantangan mewujudkan
Provinsi DIY yang lebih aman dan siaga bencana di masa datang.
73
75