Вы находитесь на странице: 1из 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. SKIZOFRENIA

A. Latar Belakang

Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan

kesehatan di seluruh dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa

menyatakan bahwa semakin modern dan indsutrial suatu masyarakat,

semakin besar pula stressor psikososialnya, yang pada gilirannya

menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu mengatasinya. Salah

satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.

Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau

perilaku yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-

hari. Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi

khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya

sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-

kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan

situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran

yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering.

Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup

mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau

dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada

perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-
laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun

jarang terjadi

B. Definisi

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti

“terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia

terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku.

Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu

gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan

gangguan mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau

gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa

gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda,

ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah

laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.

Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi

sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan

penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta

sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik,

fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang

fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek

yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted), kesadaran yang

jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap


terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang

kemudian.

Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik,

sering mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat

luas variasinya. Menurut Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu

gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni

atara proses pikir, perasaan, dan perbuatan.

C. Etiologi

Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti

mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak.

Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan

faktor tunggal. Untuk mengetahui penyebabnya perlu diketahui dua istilah:

1. Sebab yang memberikan predisposisi adalah faktor yang

menyebabkan seseorang menjadi rentan atau peka terhadap suatu

gangguan jiwa (genetik, fisik atau latar belakang keluarga atau sosial).

2. Sebab yang menimbulkan langsung atau pencetus adalah faktor

traumatis langsung menyebabkan gangguan jiwa (kehilangan harta

pekerjaan atau kematian, cedera berat, perceraian dan lain-lain).

Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor,

yaitu:

1. Faktor biologi

a. Keturunan
Menurut Cloninger, 1989 gangguan jiwa, terutama

gangguan persepsi sensori dan gangguan psikotik lainnya erat

sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di dalamnya

saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki

kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak

memiliki faktor herediter. Individu yang memiliki hubungan

sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari klien yang mengalami

gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10%, sedangkan

keponakan atau cucu kejadiannya 2-4%. Individu yang memiliki

hubungan sebagai kembar identik dengan klien yang mengalami

gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48%, sedangkan

kembar dizygot memiliki kecenderungan 14-17%. Faktor

genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh yang

diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh

anggota keluarga klien yang mengalami gangguan jiwa.

b. Neurobiologikal

Menurut konsep neurobiologikal gangguan jiwa sangat

berkaitan dengan keadaan struktur otak sebagai berikut

abnormalitas sruktur dari otak atau aktivitas di lokasi spesifik

dapat menyebabkan atau berkontribusi dalam gangguan jiwa.

Sebagai contoh masalah komunikasi adalah salah satu bagian

dari disfungsi secara luas. Hal ini juga diketahui

bahwa hubungan antara nukleus yang mengontrol kognitif,


perilaku, dan emosi terutama terlibat dalam gangguan psikiatrik

(Kaplan&Sadock, 2010).

1) Serebral korteks, yang sangat penting dalam

membuat keputusan dan berpikir tingkat tinggi, seperti

pemikiran abstrak.

2) Sistem limbik, yang terlibat dalam mengatur perilaku

emosional, memori, dan pembelajaran.

3) Basal ganglia, yang menkoordinasi gerakan.

4) Hipotalamus, meregulasi hormon di tubuh sepeti

kebutuhan makan, minum dan seks.

5) Locus ceruleus, yang membuat sel saraf dapat meregulasi

tidur dan terlibat dalam perilaku dan mood.

6) Substantia nigra, sel yang memproduksi dopamin dan

terlibat dalam mengontrol pergerakkan yang kompleks,

berfikir dan respon emosi.

Menurut Candel, pada klien yang mengalami gangguan

jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi

pada daerah amigdala sedangkan pada klien Skizofrenia yang

memiliki lesi pada area wernick’s dan area broca biasanya

disertai dengan afasia serta disorganisasi dalam proses berbicara

(word salad).

Sebagai contoh, satu penelitian tentang kembar yang tidak

sama-sama menderita skizofrenia dengan menggunakan

pencitraan resonansi magnetik dan pengukuran aliran darah


serebral. Peneliti telah menentukan sebelumnya bahwa daerah

hipokampus dari hampir setiap kembar yang terkena adalah

lebih kecil daripada kembar yang tidak terkena dan bahwa

kembar yang terkena juga memiliki peningkatan aliran darah

yang lebih kecil ke korteks frontalis dorsolateral saat melakukan

prosedur aktivasi psikologis. Penelitian menemukan suatu

hubungan antara kedua kelainan tersebut, yang menyatakan

bahwa kedua temuan adalah berhubungan, walaupun suatu

faktor ketiga mungkin mempengaruhi masing-masing variabel.

c. Hipotesis Dopamin

Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin

untuk skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan

oleh meningkatnya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut

timbul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk clozapine,

khasiat dan antipsikotik berhubungan dengan kemampuannya

untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2

(D2). Kedua obat-obatan yang meningkatkan aktivitas

dopaminergik, yang paling jelas adalah amfetamin, yang

merupakan salah satu psikotomimetik. Teori dasar tidak

memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik adalah karena

terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya

reseptor dopamin atau kombinasi mekanisme tersebut. Teori

dasar juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin di otak


mungkin terlibat, walaupun jalur mesokortikal dan mesolimbik

paling sering terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur

tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron

dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral.

Ga

mba

2.4. Hipotesis dopamin di jalur mesolimbik

Sumber: www.cnsspectrums.com

d. Neurotransmiter Lainnya

Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam

penelitian skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik

atipikal mempunyai aktivitas berhubungan dengan serotonin

yang kuat (sebagai contoh clozapine, risperidone, ritanserin).

Secara spesifik, antagonis pada reseptor serotonin (5-


hydroxytryptamine) tipe 2 telah disadari untuk menurunkan

gejala psikotik dan dalam menurunkan perkembangan gangguan

pergerakan berhubungan dengan antagonisme D2.

Gambar 5. Jalur Dopamin dan Serotonin

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian

antipikotik jangka panjang menurunkan kativitas neuron

noradrenegik di lokus sereleus dan bahwa efek terapeutik dari

beberapa antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada

reseptor adrenergik-1 dan adrenergik-2. Sistem noradrenergik

memodulasi system dopaminergik dalam cara tertentu sehingga

kelainan system noradrenergik mempredisposisikan pasien

untuk sering relaps.

Neurotransmiter asam amino inhibitor gamma-

aminobutyric acid (GABA) juga telah terlibat dalam


patofisiologi skizofrenia. Beberapa pasien dengan skizofrenia

mengalami kehilangan neuron GABA-ergik di dalam

hipokampus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara

teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik

dan noradrenergik.

e. Neuropatologi

Sistem limbik terlibat dalam dasar patofisiologi

skizofrenia karena peranannya sebagai pusat emosi. Ganglia

basalis merupakan perhatian teoritis dalam skizofenia karena

sekurangnya dua alasan. Pertama banyak pasien skizofrenik

yang mempunyai pergerakan aneh, bahkan tanpa adanya

gangguan pergerakan akibat medikasi (sebagai contoh: tardive

dyskinesia). Gerakan yang aneh dapat termasuk gaya berjalan

yang kaku, menyeringaikan wajah dan streotipik.

f. Psikoneuroendokrinologi

Banyak laporan menggambarkan perbedaan

neuroendokrin antara kelompok skizofrenik dengan kelompok

subyek kontrol normal. Sebagai contoh, tes supresi

dexamethason telah dilaporkan abnormalpada berbagai

subkelompok pasien skizofrenik. Beberapa data menunjukkan

penurunan konsentrasi Luteinizing Hormone-Follicle

Stimulating Hormone (LH/FSH), kemungkinan dihubungkan

dengan onset usia dan lamanya penyakit.


g. Selain itu juga terdapat pengaruh saat di kandungan seperti

pengaruh gizi ibu, infeksi, insufisiensi plasenta, anoksia,

perdarahan dan trauma sebelum persalinan menjadi

kemungkinan penyebab skizofrenia

h. Jasmaniah

Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang

berhubungan dengan gangguan jika tertentu, Misalnya yang

bertubuh gemuk (endoform) cenderung menderita psikosa manik

defresif, sedang yang kurus (ectoform) cenderung menjadi

skizofrenia.

i. Tempramen

Orang yang terlalu peka atau sensitif biasanya mempunyai

masalah kejiwaan dan ketegangan yang memiliki

kecenderungan mengalami gangguan jiwa.

j. Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung,

kanker dan sebagainya, mungkin menyebabkan merasa murung

dan sedih. Demikian pula cedera atau cacat tubuh tertentu dapat

menyebabkan rasa rendah diri.

2. Faktor-faktor psikologik (psikogenik)

Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan

yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya

dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa dan
pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa jika

disertai dengan faktor biologi skizofrenia dapat merupakan pencetus

terjadinya skizofrenia.

3. Faktor sosio kultural

Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang

dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan

merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya

terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya

melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan

tersebut. Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut:

a. Cara-cara membesarkan anak

Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter,

hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-

anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau

pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut

yang berlebihan.

b. Sistem Nilai

Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan

yang satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang

sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula

perbedaan moral yang diajarkan dirumah atau sekolah dengan

yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.


4. Model Diatesis-Stress

Satu model untuk intergrasi faktor biologis, faktor psikososial

dan lingkungan adalah model diathesis-stress. Model ini

menggambarkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu

kerentanan spesifik (diathesis) yang bila dikenai pengaruh lingkungan

yang menimbulkan stress memungkinkan perkembangan gejala

skizofrenia. Pada model diathesis stress yang paling umum dapat

biologis atau lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan dapat

biologis (contohnya: infeksi) maupun psikologis (contoh situasi

keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat). Dasar

biologis untuk suatu diathesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh

epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stress psikologis, dan trauma.

a. Stress

Stress psikososial dan stress perkembangan yang terjadi secara

terus menerus akan mendukung timbulnya gejala psikotik

dengan manifestasi; kemiskinan, kebodohan, pengangguran,

isolasi sosial, dan perasaan kehilangan. Menurut Singgih (1989),

beberapa penyebab gangguan mental dapat ditimbulkan sebagai

berikut:

1) Prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock

yang dialami pada masa anak

2) Ketidaksanggupan memuasakan keinginan dasar dalam

pengertian kelakuan yang dapat diterima umum

3) Kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan


4) Masa-masa perubahan fisiologis yang hebat: pubertas dan

menopaus

5) Tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi,

politik dan sosial yang terganggu

6) Keadaan iklim yang mempengaruhi Exhaustion dan

Toxema

7) Penyakit kronis misalnya: sifilis, AIDS

8) Trauma kepala dan vertebra

9) Kontaminasi zat toksik

10) Shock emosional yang hebat: ketakutan, kematian tiba-

tiba orang yang dicintai

b. Penyalah gunaan obat-obatan

Peniruan yang maladaptif yang digunakan individu untuk

menghadapi strsesor melalui obat-obatan yang memiliki sifat

adiksi (efek ketergantungan) seperti Cocaine, amphetamine

menyebabkan gangguan persepsi, gangguan proses berfikir, dan

gangguan motorik.

c. Psikodinamik

Menurut Sigmund Freud adanya gangguan tugas

pekembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan

dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan

perasaan takut, respon orang tua yang maladaptif pada anak

akan meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak


percaya yang berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan

regresi dan withdrawl.

D. Patopsikologi

Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada

neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat

neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir,

perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif

dan negatif skizofrenia.

Gejala negatif Gejala positive

Alogia Halusinasi

Afek datar Delusi

Avolition – apatis Tingkah laku aneh

Anhedonia – asociality Gangguan berfikir positif formal

Gangguan attensi

Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas,

dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan

pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis.

Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian

depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).


Defek Lengan panjang krom 5, 11, dan 18, lengan pendek
Biologik krom 19 dan krom X→
Psikososial
dopaminergik →↑ kadar reseptor dopamin D2 di otak.
Diatesis
Stress

-Traktus nigrostriatal
-Traktus mesolimbik
Skizofrenia -traktus tuberoinfundibular

-Kortex cerebri→sulit membuat keputusan


& berfikir abstrak
-Sistem limbik→ggn emosional, memori,&
pembelajaran
-Basal ganglia→koordinasi gerakan
-Substantia nigra→sulit mengontrol
pergerakkan kompleks, berfikir & respon
emosi.

Gejala (+) dan (-)

Gambar 2.6. Skema Patologi Skizofrenia

Teori Psikososial pada skizofrenia:

1. Teori tentang pasien individual

a. Teori psikoanalitik

1) Freud mengatakan bahwa skizofrenia adalah hasil dari

fiksasi perkembangan yang muncul lebih awal dari

gangguan neurosis. Jika neurosis merupakan konflik

antara id dan ego, maka psikosis adalah konflik antara ego

dengan dunia luar .Menurut freud, kerusakan ego

memberikan konstribusi terhadap munculnya simptom

skizofrenia.
2) Harry stuck sullivan mengatakan bahwa gangguan

skizofrenia disebabkan oleh adanya kesulitan interpersonal

awal, khususnya berhubungan dengan pengasuhan anak

yang salah dan terlalu mencemaskan.

3) Psikoanalitik umum: terdapatnya defek dalam fungsi ego

yang belum sempurna menggunakan permusuhan dan

agresi yang hebat sehingga mengganggu hubungan ibu-

bayi, yang menyebabkan seseorang memiliki kepribadian

yang rentan terhadap stress.

b. Teori psikodinamik

Teori Freud menyatakan bahwa skizofren sebagai suatu

respon regresif terhadap frustasi dan konflik yang melanda

seseorang di dalam lingkungan

c. Teori belajar

Menurut teori ini orang menjadi skizofrenia karena pada

masa kanak-kanaknya ia belajar pada model yang buruk. Ia

mempelajari reaksi dan cara pikir yang tidak rasional dengan

meniru dari orang tuanya yang juga sebenarnya memiliki

masalah emosional.

d. Teori tentang keluarga

1) Ikatan ganda

Anak-anak mendapat pesan yang bertentangan

dengan keluarga sampai menarik diri sehingga meloloskan

dari kebingunganikatan ganda


2) Keretakan dan Kecondongan keluarga

Terdapatnya dominansi salah satu orang tua

3) Emosi yang diekspresikan

Adanya kecaman permusuhan dan keterlibatan yang

berlebihan yang dapat menandai perilaku orang tua

terhadap skizofren sehingga angka relaps skizofren tinggi

E. Manifestasi Klinis

1. Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan,

terhambat, klang asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme.

2. Gangguan Isi Pikir: Waham, adalah suatu kepercayaan yang salah

yang menetap yang tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa

dikoreksi. Jenis-jenis waham antara lain:

a. Waham kejar

b. Waham kebesaran

c. Waham rujukan

d. Waham penyiaran pikiran

e. Waham penyisipan pikiran

f. Waham aneh

3. Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan

derealisasi.

4. Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan

oleh penderita skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):

a. Afek tumpul atau datar


b. Afek tak serasi

c. Afek labil

5. Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat

terlihat seperti gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku

ritual, sangat ketolol-tololan, dan agresif serta perilaku seksual

yang tak pantas.

6. Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun

atau hilang pada orang dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan

kehendak dan tidak ada aktivitas.

7. Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya

kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori

(misalnya, memori kerja, spasial dan verbal) serta fungsi eksekutif.

F. Pedoman diagnostik

Berikut adalah pedoman diagnostik skizofrenia secara umum(PPDGJ,

1993):

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan

biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam

atau kurang jelas):

(a) “thought echo”, “thought insertion or withdrawal”, dan

“thought broadcasting”;

(b) “delusion of control”, “delusion of influence”, “delusion of

passivity”, “delusion perception”;

(c) Halusinasi auditorik;


(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut

budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil,

seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik,

atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (misalnya

mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan

makhluk asing dari dunia lain).

2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada

secara jelas:

(a) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila

disertai baik oleh wahaam yang mengambang/ melayang

maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang

jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang

menetap, atau apabila terjadi setiap hariselama berminggu-

minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;

(b) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan

(intepolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang

tidak relevan, atauneologisme;

(c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),

sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea,

negativism, mutisme, dan stupor;

(d) Gejala-gejala “negatif” seperti sikap sangat masa bodo (apatis),

pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang

menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan

penarikaan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja


sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak

disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama

kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase

nonpsikotik prodromal);

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam

mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku

pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya

minat, hidup tak bertujuan,tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam

diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara

sosial.

Pedoman Diagnostik Skizofrenia Paranoid (PPDGJ III, 1993):

1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

2. Sebagai tambahan:

(a) Halusinasi dan/ atau waham harus menonjol;

(1) Suara-suara halusinasi yang mengancm pasien atau

memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk

verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung

(humming), atau bunyi tawa (laugh).

(2) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat

seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual

mungkin ada tetapi jarang menonjol;

(3) Waham dapat berupa hamper setiap jenis, tetapi waham

dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion


of influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan

keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang

paling khas;

(b) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta

gejala katatonik secara relative tifak nyata/ tidak menonjol.

Pedoman Diagnostik Skizofrenia Hebefrenik (PPDGJ III, 1993):

1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

2. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan

pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai

15-25 tahun)

3. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan

senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian

untuk menentukan diagnosis

4. Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya

diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan

lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas

berikut ini memang benar bertahan :

- Perilaku yang tidak bertanggungjawab dan tak dapat

diramalkan serta mannerisme, ada kecenderungan

untuk selalu menyendiri, dan perilaku menunjukkan

hampa tujuan dan hampa perasaan

- Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai

oleh cekikikan atau perasaan puas diri, senyum

sendiri, atau oleh sikap tinggi hati, tertawa


menyeringai, mannerisme, mengibuli secara

bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, dan

ungkapan kata yang diulang-ulang

- proses pikir mengalami disorganisasi dan

pembicaraan tak menentu serta inkoheren

5. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan

proses pikir umumnya menonjol. Perilaku penderita

memperliharkan ciri yang khas yaitu perilaku tanpa tujuan.

Pedoman Diagnostik Skizofrenia Katatonik (PPDGJ III, 1993):

1. Memenuhi kriteria umum skizofren

2. Satu atau lebih gejala dibawah ini mendominasi gambaran

klinisnya :

- Stupor (ditandai dengan penurunan respon terhadap

lingkungan dan aktivitas) atau mutisme

- Gaduh gelisah ((Aktivitas motorik yang tidak bertujuan,

tidak dipengaruhi stimulus eksternal).

- Negativisme (penolakan terhadap semua perintah tanpa

motivasi)

- Rigiditas (mempertahankan postur tubuh kaku dalam

melawan segala usaha untuk menggerakkan).

- Flexibilitas cerea (sikap lemah gemulai seperti lilin)

- Gejala lain, seperti automatisasi perintah dan perseverasi.

3. Pada pasien yang tidak komunikastif dengan manifestasi

gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia sementara harus


ditunda sampai terbukti muncul gejala lain sehingga

diagnosis lain dapat ditegakkan.

Pedoman Diagnostik Skizofrenia Tak Terinci (PPDGJ III, 1993):

1. Memenuhi kriteria umum skizofren

2. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia

paranoid, katatonik, residual, depresi pasca atau hebefrenik

3. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia

residual atau depresi pasca

Pedoman Diagnostik Depresi Pasca-Skizofrenia (PPDGJ III, 1993):

1. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau

a. Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir

ini

b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada

c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu

;memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif ,

dan telah ada dalam kurun waktu minimal 2 minggu

2. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia,

diagnosis menjadi episode Depresif. Bila skizofrenia masih

jelas dan menonjol, diagnosis tetap salah satu dari subtipe

skizofrenia yang sesuai.

Pedoman Diagnostik Skizofrenia Residual (PPDGJ III, 1993):

1. Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut

ini harus dipenuhi semua :


a. Gejala "negatif" dari skizofenia yang menunjukkan

perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang

menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan

dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-

verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak

mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan

kinerja sosial yang buruk

b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di

masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis

skizofrenia

c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun

dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti

waham dan halusinasi telah sangat berkurang, dan telah

timbul sindrom "negatif" dari skizofrenia

d. Tidak terdapat dementia atau penyakit organik lain, depresi

kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan

disabilitas negatif tersebut

Pedoman Diagnostik Skizofrenia Simpleks (PPDGJ III, 1993):

1. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan

karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang

berjalan perlahan dan progresif dari :

a. gejala "negatif" yang khas dari skizofrenia residual tanpa

didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain

dari episode psikotik


b. disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang

bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang

mencolok, tidak berbuat sesuatu , tanpa tujuan hidup, dan

penarikan diri secara sosial

2. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan sub

tipe skizofrenia lainnya.

G. Penatalaksanaan

1. Fase Akut

a. Farmakoterapi

Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai

dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak,

mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya

misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah. Langkah Pertama:

berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan. Langkah

Kedua: keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan

atau isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap

dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak

berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara

yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan.

Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk

mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya

gejala dengan segera perlu dipertimbangkan.

1) Obat Injeksi
a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus,

dapat diulang setiap 2 jam, dosis maksimum

30mg/hari.

b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal

29,25mg/hari), intramuskulus.

c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat

diulang setiap setengah jam, dosis maksimum

20mg/hari.

d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus,

dosis maksimum 30mg/hari.

2) Obat Oral

Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh

pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotika

misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek

samping, kenyamanan terhadap obat tertentu terkait cara

pemberiannya.

Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah

diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran

dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1-3

minggu, sampai dosis optimal yang dapat mengendalikan

gejala.

b. Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang

berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa


kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau

mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik,

memberikan dukungan atau harapan, menyediakan

lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan.

c. Terapi lainnya

ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada

Skizofrenia katatonik dan Skizofrenia refrakter.

2. Fase Rumatan

a. Farmakoterapi

Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh

dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan.

Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua

tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali

kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan

seumur hidup.

b. Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali

pada kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik,

misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial

dan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase

ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan

mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu

mencegah kekambuhan berikutnya.

Вам также может понравиться