Вы находитесь на странице: 1из 72

DISPEPSIA FUNGSIONAL

ABSTRAK

Dispepsia fungsional merupakan salah satu gangguan gastrointestinal fungsional

yang paling sering ditemukan. Dispepsia fungsional terdiri atas tiga subtipe

penyakit dengan patofisiologi dan etiologi yang berbeda, yaitu: sindrom distress

postprandial (postprandial distress syndrome [PDS]), sindrom nyeri epigastrium

(epigastric pain syndrome [EPS]), dan subtipe dengan gambaran PDS dan EPS

yang saling bertumpang-tindih (overlap). Gejala-gejala dispepsia fungsional dapat

disebabkan oleh gangguan motilitas gaster (seperti: akomodasi fundus gaster yang

tidak adekuat atau pengosongan gaster yang lambat), sensasi gaster (seperti:

sensasi yang terkait dengan hipersensitivitas terhadap gas dan kembung), atau

inflamasi pada gaster dan duodenum. Terdapat kemungkinan adanya faktor

predisposisi genetik, namun belum terdapat bukti yang cukup dibandingkan

dengan yang ditemukan pada gangguan gastrointestinal fungsional lainnya, seperti

irritable bowel syndrome (IBS). Komorbiditas psikiatri dan status psikopatologis

serta karakter pribadi seorang individu juga dapat berperan, walaupun tidak selalu

spesifik untuk dispepsia fungsional dan lebih kurang menonjol dibandingkan

dengan pada kasus IBS. Kemungkinan diagnosis banding meliputi infeksi

Helicobacter pylori dan ulkus peptikum. Terapi farmakologis sebagian besar

diberikan berdasarkan pada subtipe dispepsia fungsional, seperti obat-obatan

prokinetik dan perelaksasi-fundus untuk PDS dan obat-obatan supresor-asam

untuk EPS, sedangkan neuromodulator yang bekerja sentral dan obat-obatan

herbal hanya memainkan peran yang sangat kecil. Psikoterapi hanya efektif untuk
sebagian kecil pasien, sedangkan kualitas hidup dapat ikut terpengaruh secara

sangat signifikan pada hampir seluruh pasien. Terapi di masa yang akan datang

dapat meliputi senyawa-senyawa baru yang dapat digunakan untuk

menyembuhkan inflamasi gaster dan duodenum yang terjadi pada kasus dispepsia

fungsional ini.

ntitas penyakit dispepsia fungsional – rasa tidak nyaman atau nyeri pada

E perut bagian atas, yang seringkali berkaitan dengan asupan makanan,

namun tanpa disertai penyebab organik yang nyata – pertama kali diperkenalkan

pada saat proses pengklasifikasian gangguan-gangguan gastrointestinal fungsional

dalam konsensus Roma, yang dimulai pada tahun 1988. Sebelumnya, pasien yang

datang dengan keluhan yang menyerupai dispepsia fungsional seringkali

didiagnosis dengan dispepsia non-ulkus, irritable stomach syndrome, dispepsia

idiopatik kronik, atau dispepsia esensial. Berbagai upaya telah dilakukan untuk

membedakan antara dispepsia fungsional dari penyakit-penyakit gastrointestinal

struktural (seperti gejala yang diinduksi-ulkus gaster, gejala yang diinduksi-ulkus

duodenum, dan penyakit refluks gastro-esofageal) atau rasa mual dan muntal yang

tidak dapat dijelaskan, untuk menetapkan beberapa diagnosis diferensial1,2, namun

masalah dalam pengklasifikasian ini masih terbentur oleh luasnya spektrum gejala

dari dispepsia fungsional ini. Pada tahun 1990, sistem klasifikasi Roma yang

pertama dipublikasikan; pada tahun 1991, kriteria gastroduodenum memisahkan

dispepsia fungsional menjadi dispepsia mirip-ulkus, dispepsia mirip-dismotilitas,

dispepsia mirip-refluks, atau dispepsia fungsional yang tidak spesifik untuk

memperhitungkan fakta bahwa walaupun beberapa pasien melaporkan gejala


nyeri sebagai keluhan utama mereka, pasien lainnya melaporkan gejala-gejala

postprandial (seperti, rasa penuh, rasa cepat kenyang (ketidakmampuan untuk

menghabiskan makanan dengan besar porsi yang normal), rasa mual atau

kembung), dan banyak pasien lainnya yang mengalami kedua jenis gejala

tersebut. Pemisahan ini tetap dipertahankan dalam klasifikasi Roma I (1992) dan

Roma II (1999). Pada klasifikasi Roma III (2006), definisi dispepsia fungsional

menjadi lebih-terbatas, dan label-label subtipe di atas berubah menjadi sindrom

nyeri epigastrium (EPS) dan sindrom distress post-prandial (PDS) (Kotak 1).

Pemisahan ini juga masih dipertahankan pada klasifikasi Roma IV (2016)3 dan

bertanggung jawab untuk beberapa diskrepansi dalam epidemiologi global.

Gejala-gejala dispepsia yang terkait-Helicobacter pylori saat ini diterima sebagai

suatu entitas yang terpisah4,5; namun, hanya sebagian kecil pasien yang tetap

asimptomatik pada sesi follow-up 6-12 bulan setelah terapi eradikasi berhasil

dilakukan, yang menunjukkan bahwa infeksi H.pylori bukanlah penyebab utama

dari gejala-gejala dispepsia tersebut6,7. Karena penyakit refluks gastro-esofagus

dan dispepsia fungsional saling bertumpang-tindih sampai dengan derajat

tertentu8, pasien dengan dispepsia fungsional seringkali salah diklasifikasikan

sebagai penderita penyakit refluks gastro-esofagus9 dan diresepkan agen proton

pump inhibitor (PPI), yang merupakan terapi standar untuk penyakit refluks

gastro-esofagus. Gejala-gejala dispepsia pediatrik dikelompokkan ke dalam sistem

klasifikasi yang berbeda10. Makalah ini hanya akan membahas tentang dispepsia

fungsional yang terjadi pada orang dewasa, walaupun terkadang juga akan

menyinggung tentang dispepsia fungsional pediatrik jika terdapat kesamaan.


Kotak 1| Kriteria Gejala Roma IV untuk Dispepsia Fungsional dan
Subtipenya*
Gejala dispepsia fungsional meliputi rasa penuh postprandial yang mengganggu,
rasa cepat kenyang yang mengganggu, nyeri epigastrium yang mengganggu, dan
sensasi terbakar di epigastrum yang mengganggu. Dispepsia fungsional
didiagnosis jika pasien melaporkan mengalami ≥ 1 dari gejala-gejala ini dalam 3
bulan terakhir dengan onset setidaknya 6 bulan sebelum didiagnosis, tanpa bukti
adanya penyakit struktural yang dapat menimbulkan gejala tersebut, dan pasien
dapat diklasifikasikan menderita sindrom distress postprandial (PDS), sindrom
nyeri epigastrium (EPS), atau keduanya.
PDS didiagnosis jika pasien dengan gejala yang sesuai dengan dispepsia
fungsional mengeluhkan rasa penuh postprandial yang mengganggu dan/atau rasa
rasa cepat kenyang yang mengganggu yang cukup berat hingga dapat
mengganggu aktivitasnya sehari-hari atau hingga dapat menyebabkannya tidak
dapat menghabiskan makanannya setidaknya selama 3 hari dalam 1 minggu.
Gejala-gejala digestif lainnya juga dapat terjadi bersamaan dengan PDS.
EPDS didiagnosis jika pasien dengan gejala yang sesuai dengan dispepsia
fungsional melaporkan nyeri epigastrium yang mengganggu dan/atau sensasi
terbakar di epigastrium yang mengganggu yang cukup berat hingga dapat
mengganggu aktivitasnya sehari-hari dan terjadi setidaknya sebanyak satu kali per
minggu. Gejala digestif lainnya juga dapat terjadi bersamaan dengan EPS.

*Berdasarkan data dari referensi nomor 3.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi populasi dispepsia fungsional cukup bervariasi di seluruh belahan

dunia, dengan angka keseluruhan yang cukup tinggi (10-40%) di negara-negara

Barat dan cukup rendah (5-30%) di Asia, terlepas dari definisi dispepsia

fungsional yang berlaku di masing-masing lokasi11. Suatu survey kesehatan dan

nutrisi berskala-besar yang dilakukan di Prancis12 (yang melibatkan >35.000

orang) mengidentifikasi bahwa terdapat 15% individu yang dicurigai menderita

dispepsia fungsional, 28% individu menderita irritable bowel syndrome (IBS) dan

6% menderita kedua penyakit tersebut. Populasi pasien yang terkena IBS dan

dispepsia fungsional dilaporkan berkisar antara 10% hingga 27% pada beberapa

penelitian sebelumnya13 dan hampir mencapai 30% pada sampel populasi; angka
ini bahkan bisa lebih tinggi lagi pada beberapa populasi yang spesifik14,15. Hasil

observasi ini memunculkan suatu istilah baru, yaitu “sindrom overlap”, yang

semakin menimbulkan pertanyaan tentang tingkat sensitivitas dan spesifisitas

kriteria Roma, setidaknya untuk IBS dan dispepsia fungsional. Argumen ini juga

didukung oleh hasil observasi bahwa pasien dengan dispepsia fungsional

kemungkinan pada akhirnya nanti juga akan mengalami gejala-gejala IBS pada

saat follow-up, sedangkan pasien IBS kemungkinan juga akan mengalami

dispepsia fungsional setelah 2-10 tahun16,17. Dispepsia fungsional tidak hanya

bertumpang-tindih dengan IBS dan gangguan gastrointestinal fungsional lainnya

saja, namun juga dengan beberapa penyakit somatik dan penyakit non-intestinal

fungsional, seperti fibromialgia, kandung kemih yang overaktif, dan nyeri pelvis

kronik18-21.

Insidensi dispepsia fungsional diperkirakan mencapai 4-5% dalam periode

10 tahun22,17, dengan angka kehilangan yang hampir sama; angka kehilangan ini

dapat disebabkan oleh remisi spontan atau remisi yang diinduksi-terapi, namun

juga dapat terjadi sementara pada saat pemeriksaan dilakukan23. Prevalensi

dispepsia fungsional lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria24,

walaupun perbedaan ini lebih jelas terlihat pada IBS dibandingkan dengan

dispepsia fungsional. Korelasi ini dapat disebabkan oleh perbedaan biologis

fungsi gastrointestinal yang spesifik untuk masing-masing kelompok jenis

kelamin (sebagai contoh: perubahan yang dikenalikan oleh hormon seksual pada

motilitas intestinal) atau akibat pemprosesan nyeri (viseral) di sistem saraf pusat,

namun juga disebabkan oleh perilaku pemeliharaan kesehatan yang spesifik untuk

masing-masing kelompok jenis kelamin.


Faktor-faktor risiko yang telah diketahui dan diduga dapat menyebabkan

terjadinya dispepsia fungsional antara lain: infeksi gastrointestinal dan traveller’s

diarrhoea25, penggunaan antibiotik26, asupan OAINS27, riwayat menjadi korban

kekerasan pada masa kanak-kanak28, paparan terhadap mikrobial di lingkungan

sejak usia dini29 dan faktor-faktor lainnya dari masa kanak-kanak30, merokok31,

overweight dan obesitas32, serta stress dan status/sifat psikososial (seperti: ansietas

dan depresi; lihat faktor-faktor Psikososial dan mekanisme otak, di bawah ini).

Wanita memiliki tingkat probabilitas yang secara keseluruhan lebih tinggi untuk

mengalami dispepsia fungsional dibandingkan dengan laki-laki34, termasuk

dispepsia fungsional post-infeksius35. Namun, sebagai contohnya, pada kasus

gastroenteritis, tidak satupun dari faktor-faktor risiko di atas dapat menentukan

apakah penyakit yang dihasilkan lebih dominan terjadi di saluran gastrointestinal

bagian atas atau bawah36 atau justru di sepanjang saluran gastrointestinal21. Pada

kasus infeksi gastrointestinal, salah satu hipotesis menyatakan bahwa luasnya

inflamasi intestinal setelah infeksi dapat menentukan fenotip gangguan fungsional

yang terjadi setelahnya37.

Tingginya prevalensi komorbiditas psikiatri pada kasus dispepsia

fungsional18, yang juga dapat ditemukan pada kasus IBS, menimbulkan suatu

hipotesis bahwa penyakit ini bersumber dari faktor psikiatrik, namun data jangka-

panjang menunjukkan bahwa korelasi sebab-akibat ini dapat terjadi dalam dua

arah: ansietas dapat meningkatkan risiko terjadinya dispepsia fungsional onset-

baru di masa yang akan datang38, dan dispepsia fungsional tanpa komorbiditas

psikiatrik baseline dapat menunjukkan skor ansietas dan depresi yang lebih tinggi

pada saat follow-up22. Dalam suatu penelitian kohort yang dilakukan di Australia
terhadap 1.900 orang pasien dengan IBS dan/atau dispepsia fungsional, ditemukan

bahwa sepertiga pasien telah didiagnosis menderita depresi dan ansietas sebelum

terjadinya gangguan fungsional, sedangkan dua per tiga pasien lainnya telah

didiagnosis dengan gangguan fungsional sebelum kemudian mengalami gangguan

mood39. Sebagai konsekuensi dari rendahnya prevalensi gangguan psikiatrik

primer, penggunaan psikoterapi untuk mengobati dispepsia fungsional tidak

terlalu sering diaplikasikan (lihat Psikoterapi) dan secara umum lebih kurang

efektif dibandingkan pada kasus IBS40. Komorbiditas psikiatrik yang jauh lebih

banyak ditemukan pada dispepsia fungsional (terutama pada subtipe PDS)

dibandingkan pada IBS adalah gangguan makan (seperti: bulimia atau anorexia

nervosa)41,42 dan, dengan demikian, penting untuk terlebih dahulu

mengeksklusikan gangguan makan primer pada pasien yang mengalami gejala

dispepsia fungsional dan penurunan berat badan.

Data ekonomi kesehatan menunjukkan bahwa dispepsia fungsional

membutuhkan biaya langsung dan tidak langsung yang cukup tinggi, yang

terutama dipengaruhi oleh prevalensi komorbiditasnya yang tinggi18,43, namun

baik dispepsia organik maupun dispepsia fungsional sama-sama memiliki efek

ekonomi yang serupa44.

MEKANISME/PATOFISIOLOGI

Dispepsia fungsional dianggap sebagai suatu gangguan multifaktorial dimana

berbagai mekanisme patofisiologis yang berbeda memiliki perannya masing-

masing45,46, dan setiap mekanisme tersebut dapat berkontribusi pada seluruh

subtipe. Secara umum, dispepsia fungsional, terutama PDS, diketahui berkaitan


dengan gangguan pada fungsi motorik gaster47,48. Namun, suatu penelitian

menunjukkan bahwa gangguan fisiologis gaster tidak berkorelasi dengan gejala-

gejala dispepsia fungsional49, dan lambatnya pengosongan lambung dapat terjadi

dengan derajat yang sama pada kelompok PDS, EPS, maupun pada kelompok

overlap PDS dan EPS. Penelanan makanan secara substansial memodulasi

gejala50, dan faktor genetik juga dapat memiliki peran.

Dispepsia terkait-H.pylori dianggap sebagai suatu entitas yang berbeda.

Namun, infeksi gastrointestinal lainnya yang terjadi sebelumnya diperkirakan

dapat menjadi pencetus dispepsia fungsional, yaitu dengan menimbulkan

gangguan pada akomodasi lambung (suatu refleks yang dimediasi oleh nervus

vagal yang terjadi post-prandial dan menghasilkan suatu penurunan tomus otot

halus; lambung akan berelaksasi dan memberikan ruang yang lebih luas untuk

menyimpan makanan), kemungkinan melalui suatu mekanisme imun51-53.

Adanya komunikasi antara sistem saraf pusat dan sistem saraf enterik telah

diketahui selama lebih dari satu abad terakhir, namun fakta bahwa komunikasi

otak-usus terjadi secara dua arah baru diketahui belakangan ini54,55. Inervasi pada

traktus gastrointertinal berfungsi untuk meregulasi sekresi, kontrol sfingter,

motilitas, alirah darah, dan fungsi enteroendokrin, selain itu sistem saraf enterik

juga berkomunikasi dengan sawar intestinal via neuroendokrin dan sel-sel imun

mukosal54,56. Berbagai mekanisme patofisiologis berbeda yang diduga mendasari

dispepsia fungsional akan dibahas secara mendetail di bawah ini.


Motilitas Gastroduodenum

Perubahan respon motilitas dan patologis terhadap stimulus mekanik dan kimia

merupakan gangguan sensorimotor gastroduodenum pada pasien dengan dispepsia

fungsional57 (Gambar 1). Terdapat berbagai pola motilitas yang berbeda selama

status interdigestif dan digestif. Selama periode interdiagestif, saat usus masih

kosong, migrating motor complexes (MMC) siklik berulang terjadi di sepanjang

traktus gastrointestinal untuk menjalankan fungsi “housekeeper”. Fase yang

paling khas dari motilitas interdigestif adalah fase III, yang terdiri atas kontraksi

propagasi beramplitudo-tinggi yang bergerak ke depan secara perlahan dari

rongga oral hingga mencapai ujung anal dari usus halus. Pola motilitas yang

abnormal pada dispepsia fungsional dapat terjadi di lambung, pilorus, dan usus

halus selama periofe digestif atau interdigestif serta selama berlangsungnya

aktivitas refleks yang tercetus58-62 (Gambar 1). Sekitar 30% gejala yang terjadi

pada dispepsia fungsional berkaitan dengan aktivitas mirip-MMC, yang pada

kelompok pasien ini bersifat atipikal, karena terutama terdiri atas kontraksi-

kontraksi retrograde berkelompok atau non-propagasi62. Gangguan motilitas ini

dapat menyebabkan berbagai konsekuensi patologis, yaitu mulai dari perubahan

pengosongan lambung dan aktivitas refleks intestinal hingga peningkatan

sensitivitas-kimiawi dan mekanik.

Pasien-pasien dengan dispepsia fungsional mengalami gangguan

akomodasi lambung proksimal sebagai respon terhadap distensi balon pada

lambung selama fase berpuasa dan setelah menelan makanan63,64. Gangguan

akomodasi ini menyebabkan terjadinya distribusi volume yang tidak prporsional,

dengan volume antrum yang lebih besar dibandingkan dengan volume normal,
namun volume fundus yang lebih kecil65. Derajat distensi antrum ini berkaitan

dengan tingkat keparahan gejala-gejala dispepsia fungsional66. Selain itu, pasien-

pasien dengan dispepsia fungsional menunjukkan gangguan akomodasi fundus

sebagai respon terhadap distensi duodenum67. Gangguan akomodasi gaster ini

berkaitan dengan rasa cepat kenyang yang dialami oleh pasien dispepsia

fungsional.

Sensitivitas Gastroduodenum

Sensitivitas gastroduodenum baik terhadap stimulus mekanik maupun kimiawi

mengalami perubahan pada dispepsia fungsional. Pasien dengan dispepsia

fungsional menunjukkan hipersensitivitas fundus gaster berdistensi pada saat

berpuasa (fasted state) dan setelah menelan makanan57,68. Proporsi tingkat

hipersensitivitas pasien ini bergantung pada kriteria diagnostik dan apakah sensasi

abnormal tersebut didefinisikan sebagai suatu kondisi yang menyimpang

(aberrant), allodinia (sensitisasi nyeri terhadap stimulus yang normalnya tidak-

menyakitkan) dan/atau hiperalgesia (peningkatan sensitivitas terhadap stimulus

nyeri). Derajat hipersensitivitas viseral ini berkaitan dengan tingkat keparahan

gejala69. Bahkan pasien dengan akomodasi yang normal melaporkan keluhan rasa

tidak nyaman setelah terjadinya distensi gaster70. Beberapa pasien juga

menunjukkan hipersensitivitas terhadap distensi duodenum61, jejunum70, atau

rektum71, yang menunjukkan adanya suatu sensitisasi yang lebih umum pada

sisten saraf pusat dan otonom (vagal, spinal, dan enterik). Menariknya,

hipersensitivitas gaster tidak ditemukan pada pasien dengan IBS71.

Hipersensitivitas terhadap distensi gaster pada dispepsia fungsional mengalami


perbaikan saat terjadi penurunan tonus kolinergik oleh blokade reseptor

muskarinik, namun tidak demikian saat relaksasi otot diinduksi oleh nitrogliserin

donor nitrat oksida72, dengan pengecualian untuk suatu penelitian dimana

pemberian sublingual tepat sebelum makan terbukti dapat memperbaiki

keseluruhan skor gejala73. Temuan ini menunjukkan adanya peran penting dari up-

regulasi jalur kolinergik (kemungkinan enterik) dalam munculnya sensasi yang

abnormal namun juga membuka jalan untuk mengembangkan strategi-strategi

untuk meningkatkan jalur inhibitor untuk otot tersebut.

Gejala-gejala dispepsia fungsional setelah masuknya asam ke duodenum74

dapat disebabkan oleh sensitisasi kanal kation potensial reseptor transien

subfamili V anggota 1 (TRPV1) atau penurunan klirens asam dari duodenum

proksimal yang disebabkan oleh gangguan aktivitas motorik duodenum puasa75.

TRPV1 diekspresikan pada ujung saraf vagal dan spinal di dinding usus dan

diaktivasi oleh pH yang rendah, suhu yang tinggi, dan stimulus nyeri. Pasien-

pasien dengan dispepsia fungsional memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi

terhadap capsaicin, suatu agonis TRPV1. Sebagai konsekuensinya, paparan

terhadap capsaicin secara akut dapat mencetuskan rasa panas dan nyeri, yang

dapat mengalami desensitisasi setelah terpapar dalam jangka waktu yang cukup

lama.

Temuan bahwa masuknya lipid ke dalam duodenum (namun tidak dengan

glukosa) dapat mensensitisasi lambung hingga mengakibatkan distensi pada

pasien dengan dispepsia fungsional, namun tidak demikian dengan kelompok

kontrol77. Hal ini menunjukkan adanya suatu sensitisasi-silang antara sensor-

mekanik dan sensor-kimiawi dan dapat menjelaskan mengapa makanan yang


berlemak dapat memperparah gejala-gejala yang berkaitan dengan pengisian

lambung. Lipid di dalam duodenum dapat mencetuskan gejala tersebut melalui

beberapa kemungkinan mekanisme yang berbeda, antara lain: stimulasi neuronal

langsung, tingkat sensitivitas terhadap lipid yang lebih tinggi pada saraf atau sel-

sel enteroendokrin, peningkatan kadar kolesistokinin sistemik atau lokal (yang

disekresikan oleh sel-sel enteroendokrin yang diaktivasi-lipid, menstimulasi

pelepasan enzim-enzim pencernaan dan empedu serta menyebabkan munculnya

rasa kenyang) dan/atau peningkatan sensitivitas terhadap kolesistokinin yang

melibatkan reseptor kolesistokinin tipe A78.

Gambar 1. Kemungkinan mekanisme munculnya gejala-gejala dispepsia


fungsional pada tingkat makroskopik dan mikroskopik. Sensor-
kimiawi epitel pada sel-sel enteroendokrin berespon terhadap isi di
dalam lumen (nutrient, empedu, asam, allergen, pathogen, dan
mikrobiota) dengan cara melepaskan hormone-hormon peptida
(seperti: histamine, kolesistokinin, dan peptida YY), yang bekerja
pada neuron enterik; kondisi ini meningkatkan pertahanan epitelium
melalui sekresi mukus dan bikarbonat serta stimulasi milieu
imun247. Namun, jumlah sel-sel enteroendokrin di dalam duodenum
secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan dispepsia
fungsional dibandingkan dengan kelompok kontrol-83-, dan
perubahan ini dapat berkontribusi terhadap gangguan fungsi sawar
mukosa. Saat sawar mukosa tidak berfungsi dengan baik, pathogen
atau allergen dapat melintasi epitel usus di dalam duodenum dan
mencetuskan respon sel T helper 2 (TH2) yang dapat menyebabkan
terjadinya aktivasi (yang dimediasi oleh eotaxin, yang disekresikan
oleh sel-sel monomuklear dalam lamina propia (tidak ditampilkan))
eosinophil residen maupun eosinophil yang baru direkrut. Eosinofil
bekerja sebagai sel penyaji antigen (antigen-presenting cells)
kepada limfosit TH2, yang mengekspresikan IL-5, suatu sitokin
yang kemudian dapat mencetuskan degranulasi eosinophil di dekat
serat saraf, sehingga menyebabkan kontraksi otot dan nyeri37.
Eosinofil (dan sel-sel glial) juga melepaskan faktor neurotropik
yang bersumber dari-lini sel glial (GDNF), yang ditermukan
mengalami peningkatan pada dispepsia fungsional dan
menunjukkan korelasi yang positif dengan gejala-gejala dispepsia
fungsional79 namun juga terlibat dalam proses perbaikan sawar
epithelial. Sel TH2 juga mengekspresikan IL-4 dan IL-13, yang
memfasilitasi umpan balik kepada lambung dan dapat
mempromosikan pergantian-kelas immunoglobulin (Ig) pada sel B
dan menginduksi ekspresi antibodi IgE pro-alergik, yang
selanjutnya dapat menstimulasi degranulasi eosinophil dan
meningkatkan permeabilitas epithelial. Sitokim pro-inflamasi tumor
necrosis factor (TNF) dan IL-1β dan sitokin anti-inflamasi IL-10
dapat dilepaskan oleh sel-sel imun ke dalam darah dan
mempromosikan, bersama dengan sel-sel T yang terdapat dalam
usus-halus (yang mengekspresikan glikoprotein permukaan sel T
CD4, integrin β7 (α4β7) dan reseptor kemokin-CC tipe 9 (CCR9)),
suatu respon ansietas atau stress yang kemudian dapat menyebabkan
gangguan motilias dan hipersensitivitas viseral pada lambung dan
duodenum37,94.

Bukti tentang adanya sensitisasi nervus perifer terlihat dari hasil observasi

bahwa gen-gen terkait-nosiseptor yang mengkode faktor pertumbuhan nervus-β,

faktor neurotropik yang berasal dari lini-sel glial (GDNF)79 dan TRPV1 (Ref.80)

mengalami upregulasi dalam sampel biopsi duodenum pasien dengan dispepsia

fungsional. Temuan ini konsisten dengan kadar GDNF yang lebih tinggi pada

pasien dengan dispepsia fungsional79. Baik sampel biopsi duodenum maupun


gaster menunjukkan hiperplasia sel mast dan peningkatan pelepasan histamine dan

triptase (yang menunjukkan adanya aktivasi sel mast)81. Sampel biopsi gaster juga

menunjukkan adanya hubungan yang lebih erat antara saraf dan sel mast81, dan

mediator-mediator imun ini diketahui dapat mengaktivasi neuron secara sinergis82.

Dalam bulbus duodenum, jumlah sel-sel enteroendokrin yang positif mengandung

kromogranin A (CGA) mengalami penurunan dalam sampel biopsi duodenum

dari pasien dispepsia fungsional, terutama pada pasien dengan EPS83. CGA

memiliki peran dalam proses pelepasan berbagai mediator dari sel-sel

enteroendokrin, aktivitas sel-sel imun dan saraf, serta proteksi terhadap stress

oksidatif. Penurunan ekspresi CGA dapat mengganggu homeostasis dan, dengan

demikian, berkontribusi terhadap perkembangan sensasi yang abnormal pada

dispepsia fungsional.

Inflamasi Gastroduodenum

Hipersensitivitas mekanis dan kimiawi dapat disebabkan oleh aktivasi imun lokal.

Berdasarkan data terkini, saat ini fokus penelitian tentang mekanisme terjadinya

dispepsia funsgional telah bergeser dari infeksi H.pylori dan perubahan motilitas

kepada peran gangguan permeabilitas sawar epithelial, eosinophilia duodenum,

dan inflamasi ringan pada mukosa di duodenum84 (Gambar 1).

Sebagian besar penelitian telah menunjukkan adanya suatu gangguan pada

fungsi sawar epithelial di duodenum baik pada pasien maupun pada sampel

biopsi. Dari pemeriksaan endoskopi, ditemukan adanya peningkatan permeabilitas

mukosa pada kasus EPS, PDS, dan dispepsia fungsional yang disertai IBS 85.

Temuan ini mengkonfrimasi hasil penelitian sebelumnya terhadap sampel biopsi


yang menunjukkan bahwa penurunan resistensi transepitelial dan peningkatan

permeabilitas paraseluler bersamaan dengan infiltrasi sel imun86. Salah satu

penelitian melaporkan adanya selisih yang lebih besar antara adheren sel-sel

epithelial pada sampel biopsi dari pasien dengan dispepsia fungsional

dibandingkan kelompok kontrol79, sedangkan penelitian lainnya menunjukkan

tampilan permukaan epithelial yang normal87 dan bahkan resistensi epithelial yang

lebih tinggi (dan, dengan demikian, permeabilitas yang lebih rendah) pada sampel

biopsi dari pasien dibandingkan dengan kelompok kontrol87. Asidifikasi lumen

duodenum dapat menstimulasi pelepasan serotonin (yang juga dikenal sebagai 5-

hidroksitriptamin (5-HT)) oleh sel-sel enteroendokrin, yang kemudian terlibat

dalam proses pemulihan keseimbangan ion. Sekresi ion duodenum yang

diinduksi-serotonin berkurang pada dispepsia fungsional87. Aktivitas sekretori, di

antara fungsi-fungsi lainnya, dipertahankan oleh masuknya bikarbonat ke dalam

lumen88; sehingga penurunan sekresi ion dapat mengindikasikan penurunan

sekresi bikarbonat, dan dengan demikian, gangguan proteksi mukosa terhadap

kandungan asam yang tinggi. Stres psikologis akut juga dapat meningkatkan

permeabilitas mukosa duodenum melalui aktivasi sel mast yang dimediasi oleh

hormon pelepas-kortikotropin89.

Eosinofilia duodenum terjadi pada pasien dispepsia fungsional pediatrik90

maupun dewasa dan kemungkinan berkaitan dengan struktur nervus submukosa

yang abnormal serta gangguan responsivitas terhadap neuron submukosa92.

Eosinofil dan sel mast yang berdegranulasi di samping neuron enterik dapat

memfasilitasi mekanisme untuk eksitasi sensori, yang dapat dipersepsikan melalui

sistem saraf enterik dan pusat54. Aktivasi imun juga masih dapat terjadi pada
kondisi tidak adanya eosinophilia; pada kasus ini, hanya terjadi peningkatan

jumlah eosinophil yang berdegranulasi3.

Kadar sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi dalam sirkulasi darah serta

sel-sel T penghuni-usus halus (Gambar 1) mengalami peningkatan pada pasien

dengan dispepsia fungsional dan berkaitan dengan intensitas gejala serta gangguan

pengosongan lambung, yang menunjukkan bahwa gangguan lambung pada

dispepsia fungsional pada kenyataannya dapat terjadi secara sekunder akibat

inflamasi duodenum94. Bersama dengan data tentang peningkatan eosinophilia

duodenum90,91,95,96, penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa inflamasi

mukosa derajat-ringan memiliki peran kunci yang sangat penting dalam

patogenesis dispepsia fungsional. Peningkatan respon sel CD4+ T helper 2 (TH2)

merupakan sumber yang potensial bagi produksi berbagai sitokin (IL-4, IL-5, dan

IL-13) yang terlibat dalam perekrutan dan aktivasi eosinophil dan sel mast97.

Jumlah eosinofil dan sel mast meningkat pada pleksus submukosa duodenum pada

pasien dengan dispepsia fungsional, dan temuan ini diikuti oleh gangguan yang

nyata pada eksitabilitas nervus di pleksus submukosa duodenum – yang berarti

penurunan respon kalsium terhadap depolarisasi dan stimulasi listrik – dan juga

dapat berimplikasi pada sistem saraf pusat54,92. Sitokin-sitokin dari usus yang

dihantarkan oleh sirkulasi darah juga dapat mengirimkan sinyalnya di otak,

sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara sistem imun, otak, dan usus54.

Mikrobiota Intestinal

Terdapat bukti ilmiah yang saling bertolak-belakang tentang peran pertumbuhan

bakteri usus halus yang berlebihan pada kasus dispepsia fungsional, yaitu suatu
kondisi dimana populasi bakteri di usus halus lebih banyak dibandingkan dengan

kondisi fisiologis dan terdiri atas berbagai spesies yang normalnya merupakan

mikrobiota kolon98,99. Suatu penelitian telah mengaitkan antara komposisi

mikrobiota feses dengan nyeri abdomen, dan enterotipe (yang merupakan tipe

populasi nikrobiota usus) dimana bakteri dari genus Prevotella lebih berkaitan

dengan nyeri berintensitas-ringan100. Selain itu, banyaknya jumlah Prevotella spp.

Dalam mikrobiota gaster menunjukkan hubungan yang bertolak-belakang dengan

tingkat keparahan gejala-gejala PDS pada suatu penelitian berskala-kecil101. Suatu

penelitian berskala-kecil lainnya menganalisis komposisi mikrobiota gaster pada

pasien dengan dispepsia fungsional dan melaporkan bahwa jumlah Dibandingkan

dengan kontrol yang sehat, jumlah bacteroidetes pada individu dengan dispepsia

fungsional lebih banyak daripada Proteobacteria, dan Acidobacteria tidak

ditemukan102, sedangkan penelitian lainnya menemukan adanya perubahan

mikrobiota duodenum yang didominasi oleh spesies yang biasanya ditemukan

dalam mikrobiota oral103. Hasil ini menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut

tentang peran mikrobiota dalam patogenesis dispepsia fungsional.

Kontribusi Genetik

Dalam suatu penelitian yang dilakukan terhadap 3000 pasangan kembar104,

pemodelan genetik menunjukkan adanya suatu efek genetik yang independen pada

IBS dan penyakit refluks gastroesofagus, namun tidak ditemukan efek apapun

pada dispepsia fungsional. Dalam penelitian ini, diperkirakan terdapat variasi

genetik sebesar 22% untuk IBS, 13% untuk penyakit refluks gastroesofagus, dan

0% untuk dispepsia fungsional. Walaupun temuan ini memperlihatkan bahwa


faktor genetik tidak memiliki peran yang relevan dalam manifestasi dispepsia

fungsional, pada pasien dengn dispepsia fungsional berat (yaitu, dengan gejala

yang cukup berat untuk mempengaruhi kualitas hidup secara negatif), gejala

dispepsia fungsional sangat sering bertumpang-tindih dengan gejala-gejala IBS

atau penyakit refluks gastroesofagus2,105. Oleh karena itu, analisis data yang

terbatas pada pasien dengan gejala dispepsia fungsional kemungkinan hanya

melibatkan subpopulasi yang tidak seimbang yang tidak mewakili sebagian besar

pasien. Tentu saja, penelitian-penelitian lainnya106,107 menemukan adanya

peningkatan risiko dispepsia fungsional pada keluarga pasien yang didiganosis

dengan dispepsia fungsional atau gejala-gejala yang sesuai dengan dispepsia

fungsional. Hasil ini jelas menunjukkan adanya komponen genetik yang

berkontribusi terhadap manifestasi gejala pada dispepsia fungsional.

Berbagai studi telah meneliti hubungan antara dispepsia fungsional dan

genotip spesifik yang berpotensi berkaitan dengan motilitas gastrointestinal,

sensitivitas (termasuk pemprosesan sentral dari input aferen) atau respon imun.

Polimorfisme pada gen protein G subunit β3 (GNB3) mempengaruhi sebagian

besar fungsi, termasuk fungsi adrenergik, serotonergik, dan fungsi imun108, yang

mana seluruhnya memiliki potensi yang penting untuk munculnya manifestasi

dispepsia fungsional. Setelah suatu penelitian pendahuluan yang menunjukkan

adanya suatu hubungan antara genotip GNB3 spesifik dan dispepsia fungsional

dengan dasar kohort pasien berbasis-populasi109, berbagai penelitian selanjutnya

juga berhasil mengkonfirmasi hubungan ini110-112. Menariknya, beberapa

penelitian menemukan hubungan ini hanya terdapat pada pasien tanpa infeksi

H.pylori112 atau dengan manifestasi gejala yang spesifik, seperti EPS110. Observasi
ini dapat menunjukkan adanya interaksi yang spesifik antara infeksi H.pylori dan

GNB3. Dalam suatu penelitian terkontrol-plasebo berskala-besar113 (yang

mentargetkan efek terapi dengan PPI terhadap gejala dispeptik pada pasien

dispepsia fungsional yang juga diterapi dengan OAINS), ditemukan adanya

hubungan yang signifikan secata statistik antara polimorfisme GNB3 dan

intensitas gejala dispeptik. Namun, genotip GNB3 tidak mempengaruhi respon

terhadap terapi114.

Serotonin memiliki peran yang sangat penting dalam meregulasi sekresi,

motilitas, dan persepsi gastrointestinal, serta fungsi sistem saraf pusat115,116, dan

beberapa obat yang digunakan untuk menangani dispepsia fungsional dengan

target reseptor 5-HT117 (lihat di bawah ini). Dalam suatu penelitian118 tentang

polimorfisme pada gen-gen kandidat untuk beberapa reseptor 5-HT yang berbeda,

reseptor kolesistokinin dan GNB3 serta pada promoter gen yang mengkode

kolesistokinin dan transporter serotonin tergantung-sodium, hanya peran GNB3

pada dispepsia fungsional yang berhasil dikonfirmasi.

Perlu dicatat bahwa suatu mutasi pada SCN5A (yang mengkode kanal

natrium teraktivasi-voltase) yang berkaitan dengan sindrom QT panjang

kongenital juga berkaitan dengan nyeri abdomen pada pasien dengan gangguan

gastrointestinal fungsional119.

Faktor Psikososial dan Mekanisme Otak

Faktor-faktor psikososial membangun komponen integral dari model

biopsikososial dispepsia fungsional sebagai suatu gangguan aksis otak-usus.

Faktor-faktor ini meliputi berbagai perubahan yang terjadi dalam jangka waktu
lama dalam fungsi psikososial seorang individu yang menghasilkan suatu

komorbiditas psikiatrik atau perubahan kepribadian dan proses psikologis jangka-

pendek yang diinduksi oleh suatu status emosi atau kognisi sesaat120,121.

Ciri Psikososial

Ciri psikososial yang paling jelas pada kasus dispepsia fungsional adalah

komorbiditas psikiatrik. Peningkatan prevalensi ansietas, depresi, somatisasi, dan

neurotisisme yang tinggi dapat ditemukan dengan jelas pada pasien dispepsia

fungsional dibandingkan dengan kohort yang sehat namun juga bisa lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien gastrointestinal organik atau pasien non-penyakit

gastrointestinal120,121,122; perbandingan dengan pasien IBS masih belum

memberikan kesimpulan yang jelas. Beberapa literatur mendukung tingginya

prevalensi riwayat kekerasan fisik dan emosional, stress terkait-kejadian hidup,

dan mekanisme coping yang disfungsional pada pasien dengan dispepsia

fungsional dibandingkand dengan kontrol yang sehat120. Walaupun psikopatologi

bisa juga merupakan suatu konsekuensi dari beban gejala gastrointestinal

kronik22,39 dan memprediksikan perilaku pasien dalam mencari bantuan

pengobatan123 dan penurunan kualitas hidup124,125 (lihat di bawah ini), perannya

dalam etiologi dan patofisiologi dispepsia fungsional jauh lebih luas33,120,121,126.

Beberapa studi spesifik22,38,39,127 mendukung adanya peran kausal dari ansietas

dan/atau depresi dalam etiologi penyakit ini, dengan temuan terkini menunjukkan

adanya perbedaan berdasarkan pada subkelompok dispepsia fungsional128.

Namun, interaksi dua-arah antara beban gejala yang berlangsung kronik dan

faktor-faktor psikososial diperkirakan terjadi pada seluruh gangguan gastro-


intestinal funsgional serta pada seluruh kondiri medis lainnya yang berkaitan

dengan gejala-gejala fisik yang berlangsung kronik, terutama rasa nyeri. Selain

itu, faktor ciri psikososial dapat memberikan efek negatif terhadap perjalanan

klinis pasien125 dan menentukan luaran terapi pada pasien dispepsia

fungsional129,130. Terakhir, berbagai ciri yang berbeda dilaporkan berkorelasi

dengan perubahan fungsi sensori-motorik gaster pada dispepsia fungsional,

termasuk sensitivitas dan akomodasi gaster, serta retensi makanan pada antrum

dan pengosongan lambung131-134.

Ciri Psikososial

Efek mood yang negatif135,136, stress akut137, manipulasi placebo138, hipnosis139

atau distraksi140 terhadap fungsi sensorimotorik gaster dan esophagus serta

persepsi nyeri viseral terlihat jelas pada individu yang sehat. Walaupun literatur

yang membahas tentang hal ini masih sangat sedikit, faktor status emosional dan

kognitif dapat memodulasi patofisiologi dan terapi dispepsia fungsional dan dapat

mengalami perubahan pada pasien, terutama pada pasien dengan hipersensitivitas.

Sebagai contoh, ansietas sesaat pada saat pemeriksaan berkaitan dengan gangguan

akomodasi gaster133 dan berkorelasi negatif dengan rasa tidak nyaman pada gaster

serta ambang rasa nyeri dan komplians gaster pada pasien dengan dispepsia

fungsional hipersensitif141. Stres mental dapat menurunkan motilitas antrum pada

individu yang sehat, namun tidak demikian pada pasien dispepsia

fungsional142,143. Mekanisme neurobiologis yang mendasari efek-efek ini masih

belum dapat sepenuhnya dimengerti, terutama pada pasien, namun kemungkinan

melibatkan jalur neuroendokrin dan otonom atas-bawah dan dapat juga


melibatkan efek tergantung-sel mast pada permeabilitas epitel

gastrointestinal89,144,145 (Gambar 2).

Gambar 2. Model yang diajukan untuk menggambarkan interaksi berbagai


faktor yang terlibat dalam munculnya gejala dispepsia
fungsional. Berbagai polimorfisme yang berbeda pada berbagai gen
yang terlibat dalam fungsi serotoninergik, adrenergik, dan imun telah
dieksplorasi dan dari berbagai penelitian tersebut ditemukan bahwa
faktor genetik tersebut memiliki efek modulasi terhadap jalur otak-
usus dan usus-otak dalam sistem neuroendokrin dan sistem imun
serta sistem saraf otonom (yang meliputi sistem saraf simpatis,
parasimpatis, dan enterik), walaupun terdapat beberapa inkonsistensi.
Inkonsistensi tersebut kemungkinan mencerminkan perbedaan dalam
penetapan kriteria inklusi pasien dengan dispepsia fungsional dan
kontrol, serta perbedaan pada subtipe dispepsia fungsional, faktor
variasi geografis dan etnik, namun juga dapat menggambarkan besar
sampel yang tidak adekuat. Namun, studi genetik dan epigenetik
akan dapat membantu untuk membuka jalan bagi suatu paradigm
baru tentang dispepsia fungsional, dari suatu kondisi yang hanya
didefinisikan berdasarkan gejala dan abnormalitas fungsional yang
ditemukan pada pasien dengan etiologi dan relenvansi yang tidak
diketahui menjadi suatu penyakit yang bermanifestasi akibat adanya
interaksi antara berbagai faktor (risiko) endogen dan eksogen. Data
genetik dan epigenetik berpotensi memberikan kerangka konseptual
yang dapat menjelaskan kerentanan seorang individu untuk
mengalami dispepsia sebagai respon terhadap tantangan dari
lingkungannya, seperti setelah mengalami infeksi atau inflamasi pada
saluran intestinal.

Mekanisme Sistem Saraf Pusat

Baik faktor psikososial yang telah menjadi sifat/ciri khas personal maupun yang

terjadi sementara (status) dapat memodulasi pemprosesan sinyal viseral pada

sistem saraf pusat dan menentukan bagaimana gejala-gejala tersebut akan

dipersepsikan dan dilaporkan146. Sinyal viseral yang berasal dari traktus

gastrointestinal bagian atas mencapai batang otak dan area kortikal yang lebih

tinggi melalui jalur asendens spesifik144,145. Berbagai regio otak subkortikal dan

kortikal secara dinamis terlibat dalam pengalaman sadar terhadap sensasi viseral

yang tidak menyenangkan, yang tidak hanya meliputi aspek sensori-diskriminatif

namun juga aspek emosional, motivasional, dan kognitif. Studi pencitraan otak

dengan menggunakan MRI fungsional (fMRI), PET, atau teknologi pencitraan

terkini lainnya147 telah berhasil mengidentifikasi perubahan pada beberapa sirkuit

otak yang saling terkoneksi satu sama lain, termasuk sirkuit sensorimotorik,

bangkitan emosi, dan salience, pada pasien dengan gangguan gastrointestinal

fungsional145,148. Pada pasien dengan dispepsia fungsional, perubahan aktivasi

neuronal sebagai respon terhadap distensi gaster atau distensi palsu juga

ditemukan149, yang mendukung gagasan yang menyatakan bahwa perubahan

pemprosesan tidak hanya terjadi selama proses stimulasi viseral yang berbahaya

namun juga selama proses antisipasinya. Dibandingkan dengan individu yang

sehat, pasien dengan dispepsia fungsional juga menunjukkan perubahan pada

konektivitas fungsional regio-regio otak pada saat beristirahat149 dan berbagai


komponen otak struktural lainnya, termasuk volume substansia grisea regional

dan mikrostruktur substansia alba150-153. Terakhir, hasil penelitian terkini

mendukung adanya perubahan pada sistem neurotransmitter pusat, termasuk

sistem serotoninergik dan endocannabinoid, pada dispepsia fungsional154-156. Perlu

dicatat bahwa hingga saat ini, tidak ada satu penelitian pun yang membandingkan

antara dispepsia fungsional denan gangguan gastrointestinal fungsional lainnya

atau dengan kelompok kontrol psikiatrik. Oleh karena itu, spesifisitas perubahan

otak terhadap dispepsia fungsional masih belum jelas. Walaupun beberapa

parameter penyimpangan fungsi atau struktur otak secara konsisten berkorelasi

dengan gejala-gejala gastrointestinal dan/atau hipersensitivitas viseral, parameter

lainnya setidaknya sebagiannya dapat dijelaskan oleh komorbiditas psikiatrik.

Faktor-faktor status psikologis yang terjadi sesaat, seperti ansietas saat dilakukan

pemeriksaan157, juga berkontribusi terhadap perbedaan kelompok. Secara

keseluruhan, jumlah penelitian pencitraan otak yang menilai aktivasi cetusan

neural pada pasien dengan dispepsia fungsional saat ini teralu sedikit untuk

mengaplikasikan pendekatan meta-analitik yang sangat diperlukan yang dapat

memungkinkan peneliti untuk menilai reliabilitas, konsistensi, dan spesifisitas

perubahan fungsional pada regio atau sikuit otak yang spesifik dan untuk

menentukan kontribusi faktor ciri khas dan status psikososial terhadap perubahan

yang dinamis pada pemprosesan sinyal viseral di sistem saraf pusat.

Inflamasi dinding gaster dan duodenum tidak hanya dapat mensensitisasi

dinding usus lokal namun juga dapat menyebabkan terjadinya upregulasi neural

spinal, dimana neuron kornu dorsalis menjadi hipersensitif bahkan terhadap

stimulus fisiologis dan memperlihatkan allodinia. Bukti pendahuluan untuk


sensitisasi sentral ini terlihat dari hasil observasi bahwa distensi gaster dapat

mengaktivasi korteks prefrontal somatosensorik dan ventrolateral, namun tidak

demikian dengan singulata anterior pregenual157. Pola respon tersebut dapat

menunjukkan bahwa gairah dan ansietas memiliki peran dalam gangguan

modulasi rasa nyeri.

Terakhir, pada pasien dengan dispepsia fungsional, penurunan motilitas

antrum yang diinduksi-stres menjadi berkurang, hal ini kemungkinan lebih

berkaitan dengan penurunan tonus vagal, dibandingkan dengan peningkatan tonus

simpatis142. Penurunan peran anti-nosiseptif nervus vagus158, bersama dengan

peningkatan eksitabilitas neuron ganglion akar dorsalis yang diinduksi-

kortikosteron, sebagaimana yang terlihat pada tikus159, bisa saja merupakan

mekanisme yang mendasari terjadinya hipersensitivitas gaster terkait-stres.

DIAGNOSIS, SKRINING, DAN PENCEGAHAN

Kriteria Diagnosis

Sebagaimana yang ditetapkan dalam klasifikasi Roma IV, dispepsia fungsional

merupakan suatu kondisi medis yang memiliki efek yang substansial terhadap

kesejahteraan penderita penyakit tersebut3. Tiga kategori diagnostik utama

ditetapkan berdasarkan pada gejala-gejala yag dominan: PDS, yang ditandai

dengan gejala dispeptik yang diinduksi-makanan (seperti rasa penuh postprandial

dan cepat merasa kenyang, yang dialami oleh 69% pasien dispepsia fungsional);

EPS (7%), dimana nyeri epigastrium atau sensasi terbakar pada epigastrium yang

tidak selalu terjadi setelah selesai makan merupakan gejala utamanya; serta

kombinasi antara PDS dan EPS (25%), yang ditandai dengan gejala dispeptik
yang diinduksi-makanan yang disertai dengan nyeri atau sensasi terbakar di

epigastrium160 (Kotak 1). Klasifikasi PDS, EPS, atau kombinasi PDS dan EPS

akan menentukan managemen klinis yang sesuai selanjutnya.

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Diagnosis dispepsia fungsional berdasarkan pada definisi gejala klinis, baru-baru

ini direformulasikan dan diredefinisikan dalam kriteria Roma IV3. Riwayat pasien

dan pemeriksaan klinis sebaiknya difokuskan untuk mencari gejala atau tanda

bahaya (Kotak 2). Terutama, pasien dengn dispepsia fungsional, khususnya kasus-

kasus yang lebih berat yang dirujuk ke senter tersier, dapat datang dengan keluhan

penurunan berat badan yang signifikan. Suatu penelitian berskala-besar yang

dilakukan di Belgia menunjukkan bahwa 16% dari 636 orang pasien dengan

dispepsia fungsional melaporkan penurunan berat badan sebesar >10 kg. Oleh

karena itu, saat mengumpulkan data tentang riwayat medis pasien, klinisi harus

menaruh perhatian yang khusus untuk tanda ini. Selain rasa tidak nyaman di

epigastrium pada saat dilakukan pemeriksaan palpasi abdomen, pemeriksaan fisik

secara umum tidak dapat memberikan informasi lainnya yang memiliki nilai

diagnostik pada pasien dengan dispepsia fungsional. Terabanya massa pada

pemeriksaan palpasi abdomen jelas membutuhkan pemeriksaan penunjang

lanjutan untuk menegakkan diagnostik. Namun, sebagian besar gejala masih

memiliki definisi yang samar dan tidak dapat diandalkan untuk membedakan

antara dispepsia organik dan fungsional37 (Kotak 3; Gambar 3). Oleh karena itu,

pada praktik klinis, dokter seharusnya mempertimbangkan pemeriksaan

endoskopi saluran cerna bagian atas untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab


dispepsia organik, terutama pada kasus dengan faktor risiko atau tanda bahaya

(Kotak 2). Nilai diagnostik pemeriksaan pencitraan USG masih belum dapat

ditentukan dengan jelas, kecuali pada pasien dengan gambaran klinis yang

mengarah kepada kondisi patologi di kandung empedu. Pemeriksaan endoskopi

saluran cerna bagian atas menunjukkan hasil negatif pada >70% pasien yang

memiliki gejala dispepsia (baik organik maupun fungsional), sehingga penting

untuk melengkapi pemeriksaan endoskopi dengan pencitraan cross-sectional

(seperti USG), terutama pada pasien dengan penurunan berat badan, untuk

mencari ada atau tidaknya karsinoma, kolelitiasis (batu empedu), atau pankreatitis

kronik. Jika suatu penyebab organik, sistemik, atau metabolik ditemukan dan

gejala yang dialami oleh pasien menunjukkan perbaikan atau sembuh total dengan

terapi target, pasien ini didiagnosis dengan dispepsia sekunder, yang meliputi

pasien yang menunjukkan perbaikan jangka-panjang setelah eradikasi H.pylori.

Jika tidak ditemukan penjelasan yang dapat teridentifikasi untuk gejala-gejala

dispeptik, pasien dapat didiagnosis dengan dispepsia fungsional3. Gejala-gejala

digestif lainnya (seperti gejala penyakit refluks gastroesofagus atau IBS) dapat

terjadi bersamaan dengan dispepsia fungsional. Walaupun pasien dengan

dispepsia fungsional dapat mengalami muntah, namun gejala muntah yang terjadi

secara persisten dapat menunjukkan adanya gangguan lain yang mendasari

keluhan tersebut dan seharusnya mendorong dokter untuk melakukan pemeriksaan

lebih lanjut untuk mengeksklusikan penyebab organik atau metabolik. Demikian

pula, rasa nyeri yang tampaknya disebabkan oleh faktor bilier (yaitu rasa tidak

nyaman yang tumpul dan teradi secara intens di kuadran kanan atas, epigastrium,

atau (pada kasus yang lebih jarang) area substernal yang dapat menjalar ke
belakang (terutama di bagian tulang belikat kanan)) seharusnya dapat

dipertimbangkan sebagai indikasi adanya kondisi lainnya selain dispepsia

fungsional.

Kotak 2| Gejala/Tanda Bahaya*


- Onset dispepsia baru terjadi pada usia > 55 tahun
- Perdarahan gastrointestinal yang nyata, contohnya: melena (feses berwarna
hitam) atau hematemesis (muntah darah)
- Disfagia (sulit menelan), terutama jika terjadi secara progresif, atau
odinofagia (nyeri saat menelan)
- Muntah yang persisten
- Penurunan berat badan yang tidak direncanakan
- Riwayat keluarga dengan kanker gaster atau kanker esophagus
- Teraba massa abdominal atau epigastrium atau adenopati abdominal
- Bukti adanya anemia defisiensi-besi
*Berdasarkan pada data dalam referensi nomor 37.

Kotak 3| Kemungkinan Diagnosis Banding untuk Dispepsia Fungsional*


- Penyakit ulkus peptikum (dengan atau tanda infeksi Helicobacter pylori)
- Kanker gastro-esofagus
- Batu empedu, disfungsi sfingter Oddi, diskinesia bilier atau kanker batu
empedu
- Efek samping yang diinduksi-obat (contohnya: OAINS, suplemen besi,
antagonis kalsium, inhibitor enzim pengkonversi-angiotensin, metilxantin
dan glukokortikoid)
- Pankreatitis kronik atau kanker pankreas
- Infeksi parasitic (contohnya: Giardia intestinalis (yang juga dikenali sebagai
Giardia lamblia), Strongyloides spp. Dan Anisakis spp.)
- Karsinoma hepatoseluler
- Iskemia mesenterikum kronik
- Penyakit Crohn
- Penyakit infiltratif (contohnya: gastroenteritis dan sarkoidosis eosinofilik)
*Berdasarkan pada data dari referensi nomor 37
Gambar 3. Algoritma Diagnostik pada Dispepsia Fungsional. Pasien yang
datang dengan keluhan yang mengarah kepada keterlibatan
gastrointestinal harus mendapatkan pemeriksaan fisik dan dokter
harus melakukan anamnesis agar dapat memperoleh riwayat medis
secara akurat. Jika tanda bahaya (Kotak 2) ditemukan, pasien harus
menjalani pemeriksaan endoskopi gastrointestinal bagian atas. Jika
tanda bahaya tidak ditemukan, maka dokter harus
mempertimbangkan pemeriksaan untuk mendeteksi Helicobacter
pylori di daerah-daerah dengan prevalensi yang tinggi atau mulai
memberikan terapi berdasarkan pada profil gejala yang
mendominasi. Jika gejala menetap, dokter harus melakukan evaluasi
ulang dan mempertimbangkan langkah-langkah diagnostik lebih
lanjut, termasuk pemeriksaan endoskopi saluran gastrointestinal
bagian atas (dengan atau tanpa disertai pemeriksaan biopsi atau
pemeriksaan H. pylori) dan pemeriksaan USG abdomen, terutama
jika pasien mengalami episode nyeri yang berat dan terjadi secara
intermiten. Jika tidak terdeteksi abnormalitas apapun, pasien
didiagnosis dengan dispepsia fungsional dan harus diterapi dengan
terapi alternatif. Jika terdapat abnormalitas yang terdeteksi, makan
pasien didiagnosis dengan dispepsia sekunder dan harus diterapi
sesuai dengan penyebab primernya.

Gejala Terkait-Gas

Pasien dengan dispepsia fungsional seringkali mengeluhkan gas yang berlebihan

di usus162 (Kotak 4), yang dapat bermanifestasi sebagai sendawa, sensasi tekanan
abdomen yang berlebihan (kembung), rasa keroncongan di abdomen

(borborigmi), peningkatan lingkar perut (distensi), dan/atau flatus yang

berlebihan. Belum jelas apakah gejala-gejala ini benar-benar berasal dari

spektrum sindrom dispepsia fungsional murni atau apakah gejala-gejala tersebut

merefleksikan overlap yang seringkali terjadi antara dispepsia fungsional dan IBS.

Pemeriksaan terhadap gejala menunjukkan bahwa rasa kembung di abomen atas

merupakan suatu gejala dispepsia fungsional yang penting; namun, peran flatus

dalam kasus ini masih belum jelas, dan dapat dianggap termasuk ke dalam gejala

usus bagian bawah.

Kotak 4 | Peran Gas Intestinal

Jumlah gas di dalam usus ditentukan oleh suatu sistem homeostasis yang
kompleks dan diregulasi dengan baik yang melibatkan proses produksi, konsumsi,
dan difusi gas antara lumen intestinal dan darah235. Volume total gas intraluminal
pada kondisi normal adalah 100-200 mL, yang terdistribusi secara merata di
berbagai kompartemen yang berbeda: lambung, usus halus, serta kolon asendens,
transversum, desendens, dan pelvic; dan volume gas paling banyak terletak di
dalam kolon. Input gas diperoleh dari proses menelan, reaksi kinia, difusi dari
darah dan fermentasi bakterial. Output gas diperoleh melalui sendawa, adsorpsi ke
dalam darah, konsumsi bakterial, dan evakuasi anus. Pada manusia, lambung
mengandung suatu rongga kecil yang berisi gas, yang dimasuki pada saat menelan
makanan, dan kelebihan gas dalam rongga tersebut akan dieliminasi melalui
proses sendawa atau dialirkan ke dalam saluran intestinal. Peran gas gastrik dalam
patogenesis dispepsia fungsional belum diketahui.

Sendawa Berulang

Rasa penuh di epigastrium seringkali salah diinterpretasikan oleh pasien dengan

gas yang berlebihan di dalam lambung. Sebagai upaya untuk membebaskan gas

ini, pasien secara tidak sengaja menelan udara, yang selanjutnya akan

berakumulasi di hipofaring atau lambung dan akhirnya dapat dilepaskan dengan

cara bersendawa yang disertai dengan rasa lega163, yang dengan demikian semakin
menguatkan keyakinan pasien. Korelasi antara sendawa dan rasa penuh di

epigastrium didukung dengan fakta yang menyatakan bahwa sendawa lebih sering

dilaporkan oleh pasien dispepsia fungsional dengan hipersensitivitas terhadap

distensi gaster164. Sendawa yang terkait dengan dispepsia fungsional biasanya

sembuh, atau setidaknya membaik, dengan penjelasan patofisiologis yang jelas

tentang gejala tersebut, dan sendawa esophagus (yang disebut juga dengan

aerofagia) telah dihilangkan dari definisi dispepsia fungsional berdasarkan Roma

IV.

Rasa Kembung Abdominal

Suatu percobaan uji gas (dimana gas eksogen dimasukkan secara langsung dalam

jumlah banyak ke dalam jejunum) menunjukkan bahwa pasien dengan dispepsia

fungsional yang mengeluhkan rasa kembung memiliki gangguan dalam

pengendalian gas intestinal, yang bermanifestasi dalam bentuk retensi gas, gejala

abdomen, atau keduanya165. Namun, penelitian dengan menggunakan CT-scan

abdomen dan MRI pada kondisi klinis tidak menunjukkan adanya hubungan

antara gejala abdomen dengan banyaknya jumlah gas intestinal pada pasien ini,

karena pada sebagian besar pasien, volume dan distribusi gas intestinal berada

dalam rentang yang normal166,167. Oleh karena itu, persepsi rasa kembung

abdominal dapat berkaitan dengan toleransi yang buruk terhadap isi usus yang

normal.
Distensi Abdominal

Terdapat sejumlah besar pasien dengan dispepsia fungsional yang melaporkan

distensi abdominal yang terlihat jelas setelah makan dan menghubungkan distensi

tersebut dengan produksi gas sebagai respon terhadap beberapa makanan

tertentu168. Distensi yang terlihat jelas seringkali berkaitan dengan sensasi

kembung, namun sensasi kembaung tidak selalu berkaitan dengan distensi. Pasien

yang mengeluhkan distensi postprandial tentu saja mengalami penambahan

lingkar abdomen selama terjadinya episode distensi dibandingkan dengan kondisi

basal, namun volume gas gastrointestinal pada umumnya berada dalam kisaran

yang normal167. Lebih jauh lagi, distensi abnormal ini dihasilkan oleh suatu

kontraksi diafragma paradoksikal, yang berkaitan dengan relaksasi dinding

abdominal anterior169. Dinding abdomen dapat beradaptasi secara aktif untuk

mengubah isi dan volume abdomen dengan cara memodulasi tonus ototnya. Pada

individu yang sehat, peningkatan isi abdomen akan diakomodasi oleh relaksasi

dan kenaikan diafragma, kontraksi otot intercostal, dan hanya disertai dengan

protrusi yang minimal pada dinding anterior. Pada pasien dengan dispepsia

fungsional, respon yang berlawanan dari diafragma dan dinding abdomen secara

eksperimental dapat diinduksi oleh konsumsi makanan pengujian (challenge

meal), contohnya, suatu cairan nutrient-campuran yang mengandung glikol

poliethilen yang diberikan secara oral dengan dosis 50 mL per menit hingga

selama dapat ditoleransi168. Menariknya, distensi abdomen yang dicetuskan oleh

konsumsi makanan dapat dipulihkan dengan menggunakan teknik perilaku,

contohnya, mengajari pasien untuk mengontrol aktivitas otot abdominothorakalis

dan memperbaiki tonus postural otot; data ini menunjukkan bahwa distensi
abdomen merupakan suatu manifestasi somatik dari gangguan gastrointestinal

fungsional170. Pada pasien ini, persepsi tentang gejala usus memicu munculnya

suatu respon somatik tertentu dengan tonus postural otot abdominothorakalis

abnormal yang menyebabkan terjadinya distensi. Walaupun distensi secara umum

dianggap sebagai suatu gejala IBS, namun tidak termasuk dalam gejala dispepsia

fungsional, pemeriksaan terhadap pasien dengan dispepsia fungsional dan

terutama kelompok fokus menunjukkan bahwa gejala ini merupakan suatu gejala

dispepsia fungsional yang sangat penting.

Pemeriksaan Laboratorium

Jika suatu penyakit organik, yang seharusnya dicurigai terutama pada kondisi

adanya gejala bahaya, telah dieksklusikan (terutama melalui pemeriksaan

endoskopi saluran cerna bagian atas), pemeriksaan tambahan lainnya terhadap

dispepsia fungsional tidak terlalu memberikan nilai diagnostik yang signifikan.

Jika prevalensi H.pylori setidaknya 10% (sebagaimana yang ditemukan pada

populasi spesifik yang berisiko, contohnya seperti lansia dan dokter)171,

direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan untuk infeksi H.pylori baik

dengan pengujian-nafas urea-13C atau dengan pengujian antigen feses. Pendekatan

ini juga dapat dipertimbangkan sebagai strategi lini-pertama, terutama karena

pemeriksaan ini tidak bersifat invasif dan akurat. Namun, subkelompok pasien

dengan dispepsia fungsional yang menderita infeksi H.pylori diharapkan secara

progresif semakin berkurang, mengingat prevalensi infeksi H.pylori saat ini terus

mengalami penurunan, dan hanya terdapat sebagian kecil pasien yang berespon

dengan perbaikan simptomatik persisten setelah terapi eradikasi H.pylori.


Karena pengosongan lambung yang lambat dianggap merupakan suatu

mekanisme patofisiologis dispepsia fungsional172,173, beberapa pakar menyarankan

agar dilakukan pemeriksaan terhadap parameter ini dalam manajemen penegakan

diagnosis pasien. Namun, korelasi antara pengosongan lambung dan gejala

dispeptik masih belum jelas hingga saat ini, dan terapi untuk pengosongan

lambung yang lambat dengan obat prokinetik tidak menunjukkan korelasi yang

signifikan dengan perbaikan gejala174. Selain itu, pengukuran terhadap

pengosongan lambung membutuhkan biaya yang cukup mahal dan tidak tersedia

secara luas sebagai suatu pemeriksaan yang terstandar. Oleh karena itu,

kuantifikasi untuk pengosongan lambung tidak terlalu disarankan dalam

manajemen klinis standar untuk dispepsia fungsional3. Pengosongan lambung

dapat dinilai dengan menggunakan pemeriksaan USG, namun pendekatan ini

membutuhkan keahlian dan cukup menyita banyak waktu; sehingga, pemeriksaan

ini hanya dipertimbangkan untuk alat bantu dalam penelitian saja. Pertimbangan

yang sama juga berlaku untuk pemeriksaan fungsional yang menilai akomodasi

atau hipersensitivitas gaster.

PENATALAKSANAAN

Penyesuaian diet dan eradikasi H.pylori (pada pasien-pasien yang terinfeksi) dapat

diaplikasikan untuk penatalaksanaan seluruh pasien dengan dispepsia fungsional.

Saat memulai manajemen farmakoterapi, direkomendasikan untuk memilik agen

berdasarkan pada subdivisi dispepsia fungsional menurut Roma IV, yaitu

kelompok EPS, PDS, dan kombinasi agar dapat mengobati gejala-gejala yang

dominan pada setiap subtipe secara spesifik (Gambar 4; Tabel 1).


Gambar 4. Algoritma Terapi pada Dispepsia Fungsional. Berdasarkan pada
literatur terkini3,175, dengan pengecualian untuk eradikasi
Helicobacter pylori, pilihan terapi yang lebih disukai bergantung
pada subtipe dispepsia fungsional (sindrom nyeri epigastrium atau
sindrom distress postprandial; pada pasien dengan gejala yang saling
bertumpang-tindih, terapi lebih ditujukan untuk gejala yang paling
dominan)3,175. Walaupun terapi farmakologis dipertimbangkan untuk
sebagian besar pasien, belum banyak obat-obatan yang memiliki
efektivitas yang mumpuni untuk pasien-pasien dengan dispepsia
fungsional secara keseluruhan3,175. Satu-satunya obat yang disetujui
penggunaannya untuk dispepsia fungsional adalah acotiamide.
Namun, beberapa obat dapat digunakan untuk membantu
pengontrolan gejala pada beberapa subkelompok pasien; temuan ini
dapat menggambarkan heterogenitas penyakit dispepsia fungsional.
Heterogenitas, kurangnya biomarker yang objektif, dan sedikitnya
titik akhir (end point) yang tervalidasi dengan baik pada berbagai uji
klinis menghambar pengembangan obat yang efektif untuk dispepsia
fungsional.
*Jika tersedia.
5HT1A, 5-hidroksitriptamin reseptor 1A
Tabel 1. Kesimpulan Terapi Farmakologis untuk Pasien dengan Dispepsia
Fungsional

Obat atau Mekanisme Target


Keunggulan Efek Samping
Kelas Obat Kerja Gejala
Agen Prokinetik
Metoklopramid Agonis reseptor 4 Mual, rasa Meningkatkan Efek ekstrapiramidal
5-HT; Antagonis penuh mitilitas gaster
(gangguan gerak),
reseptor dopamin postprandial, yang meliputi
D(2) dan gejala diskinesia tardif dan
PDS lainnya hiperprolaktinemia
Domperidone Antagonis reseptor Terutama Efek Pemanjangan interval
dopamin D(2) mual dan ekstrapiramidal QT
gejala PDS yang lebih
jarang terjadi
dibandingkan
dengan
metoklopramid
Alizapride Antagonis reseptor Terutama Sebanding Efek ekstrapiramidal
dopamin D(2) mual dan dengan dan hiperprolaktinemia
gejala PDS domperidone
Clebopride Agonis reseptor 4 Gejala PDS Meningkatkan Efek ekstrapiramidal
5-HT, antagonis dan mual motilitas gaster dan hiperprolaktinemia
reseptor 3 5-HT;
antagonis reseptor
dopamin D(2)
Cinitapride Agonis reseptor 4 Gejala PDS Meningkatkan Efek Ekstrapiramidal
5-HT dan reseptor motilitas gaster
1 5-HT; antagonis
reseptor 2 5-HT
dan reseptor
dopamine D(2)
Itopride Inhibitor Mual dan Efek tambahan Hiperprolaktinemia
asetilkolinesterase; gejala PDS terhadap efek
antagonis reseptor samping
dopamin D(2) refluks
gastroespfagus
Obat-Obatan Relaksan Fundus
Acotiamide Inhibitor Gejala PDS Memperbaiki Sebanding dengan
asetilkolinesterase; akomodasi dan placebo
antagonis auto- pengosongan
reseptor gaster
muskarinik
Buspirone Agonis reseptor Rasa cepat Meningkatkan Sedasi dan pusing
1A 5-HT kenyang dan akomodasi
gejala PDS
lainnya
Tandospirone Agonis reseptor Rasa cepat Ansiolitik; Sedasi dan pusing
1A 5-HT kenyang dan kemungkinan
gejala PDS juga
lainnya memperbaiki
akomodasi
Obat-Obatan Supresor-Asan
Proton pump Blokade H+/K+ Gejala EPS, Dapat Pada umumnya dapat
inhibitor ATPase yang pada dosis mengatasi ditoleransi dengan
irreversible standar gejala baik
heartburn
Neuromodulator Aktif yang Bekerja Sentral
Antidepresan Inhibitor reuptake Gejala EPS Dapat Sedasi, efek
trisiklik serotonin dan menurunkan antikolinergik, dan
noradrenalin; sensitivitas peningkatan berat
antagonis reseptor viseral dan badan
muskarinik; memperbaiki
berbagai afinititas ansietas dan
individual untuk depresi
reseptor-reseptor komorbid
lainnya
Levosulpiride Antagonis reseptor Mual dan Menurunkan Efek ekstrapiramidal,
dopamin D(2) gejala EPS sensitivitas sedasi, pusing,
terhadap hiperprolaktinemia
distensi gaster
Mirtazapine Antagonis reseptor Rasa cepat Membantu Sedasi dan
2 5-HT, reseptor kenyang, peningkatkan peningkatan berat
adrenergik α2A, penurunan berat badan badan
reseptor histamine berat badan,
H1, dan reseptor 3 mual, dan
5-HT gejala PDS
lainnya
5-HT, 5-hydroxytryptamine; EPS, sindrom nyeri epigastrium; PDS, sindrom distress
postprandial.

Eradikasi H. pylori

Terapi eradikasi H.pylori disarankan dalam seluruh panduan atau pedoman untuk

pasien dengan dispepsia fungsional yang terinfeksi, karena terapi ini berpotensi

untuk memperbaiki gejala dan mengontrol risiko terjadinya ulkus peptikum dan

kanker gaster5,175,176. Perbaikan gejala sebagai respon terhadap eradikasi terjadi

setelah 6-12 bulan dan lebih jelas terlihat pada pasien dengan EPS dibandingkan

dengan pada pasien dengan PDS177. Efek yang bermanfaat dari terapi ini paling
jelas terlihat dari penelitian yang dilakukan di Asia (yang kemungkinan

mencerminkan gambaran patogenisitas yang berbeda antara H.pylori di Asia

dibandingkan dengan negara-negara barat), dan jumlah yang perlu untuk diobati

(jumlah pasien dalam uji klinis yang perlu diobati agar dapat memperoleh manfaat

dibandingkan dengan kondisi kontrol) diperkirakan sebanyak 14 orang.

Berdasarkan pada laporan konsensus global Kyoto, dispepsia fungsional positif-

H.pylori dengan respon yang muncul secara bertahap (>6-12 bulan) terhadap

terapi eradikasi akan didiagnosis sebagai dispepsia terkait-H.pylori dan bukanlah

suatu dispepsia fungsional43.

Manajemen Diet

Sebagian besar pasien dengan dispepsia fungsional melaporkan bahwa konsumsi

makanan dapat menginduksi munculnya gejala tipikal yang biasa mereka rasakan,

dan faktor diet saat ini semakin diketahui berperan penting dalam munculnya

gejala pada dispepsia fungsional. Pembagian dispepsia fungsional ke dalam EPS

dan PDS46 sebagai bagian dari kriteria Roma III secara formal diakui secara resmi

untuk pertama kalinya bahwa dispepsia fungsional (terutama PDS), setidaknya

sebagiannya, merupakan suatu gangguan yang terkait dengan konsumsi makanan

itu sendiri, dimana gejala-gejala tersebut dapat diinduksi oleh makanan atau

komponen makanan yang spesifik; dengan demikian, kondisi ini bukanlah suatu

gangguan motilitas gastrointestinal postprandial. Tentu saja, sekitar 2/3 pasien

melaporkan munculnya gejala dalam 15-45 menit konsumsi makanan50,178.

Namun, pemahaman tentang bagaimana faktor diet dapat menginduksi gejala-

gejala dispeptik serta strategi terapi yang efektif masih sulit untuk dipahami.
Pola Diet

Terdapat banyak pasien dengan dispepsia fungsional yang melaporkan rasa

kenyang yang muncul dengan cepat dan bahwa gejala tipikal ini terutama dalam

dipicu oleh makanan yang berlemak; hasil obervasi ini menunjukkan bahwa

pasien dengan dispepsia fungsional dapat mengalami penurunan jumlah asupan

energi keseluruhan serta berat badan. Namun, kedua parameter tersebut masih

bervariasi secara substansial antara satu pasien dan pasien lainnya179,180;

kontribusi dari overweight terhadap gejala dispepsia fungsional perlu untuk

dipertimbangkan juga32. Walaupun belum terdapat perbedaan yang signifikan

pada besar porsi atau frekuensi makan, asupan energi atau konsumsi makronutrien

diamati antara pasien dengan dispepsia fungsional dan kontrol yang sehat,

beberapa penelitian menemukan bahwa pasien dengan dispepsia fungsional

cenderung untuk mengkonsumsi makanan utama dalam jumlah yang sedikit lebih

kecil dan mengkonsumsi makanan pendamping dan cemilan dalam jumlah yang

lebih banyak178,180-182 serta memiliki asupan energi dan lemak rata-rata yang

sedikit lebih kecil178 (walaupun beberapa pasien mengkonsumsi asupan dengan

jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan kontrol yang sehat178, 183).

Bukti menunjukkan bahwa seluruh gejala yang berkaitan dengan makanan,

rasa penuh dan kembunh berhubungan dengan asupan energi dan lemak178, dan

pada suatu penelitian berbasis-populasi, cemilan (frekuensi makan yang lebih

sering) berhubungan dengan kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami rasa

penuh postprandial dan rasa kenyang yang cepat muncul184. Terdapat

kemungkinan (namun kemungkinan ini belum diteliti lebih lanjut) bahwa

perbedaan dalam waktu munculnya onset gejala setelah konsumsi makanan dapat
berkaitan terutama dengan distensi gaster (dan, dengan demikian, dapat terjadi

lebih dini) atau dengan komponen makanan yang spesifik (contohnya: bumbu,

gluten atau lemak). Gejala-gejala yang disebabkan oleh makanan yang spesifik

dapat terjadi beberapa saat kemudian, yaitu pada saat pengosongan lambung,

pencernaan dan paparan pada usus halus diperlukan. Oleh karena itu, dengan

mempertimbangkan hubungan sementara yang terjadi antara konsumsi makanan

dan onset gejala dapat membantu untuk membedakan penyebab primer dari

gejala-gejala tersebut. Namun, penting untuk mengetahui bahwa, terutama pada

kasus makanan yang mengandung lemak, gejala-gejala tersebut dapat terjadi tepat

setelah makanan dikonsumsi185, mengingat lemak dalam jumlah yang sangat

sedikit pun telah dapat menginduksi gejala-gejala yang signifikan pada pasien

yang hipersensitif. Selain itu, tampaknya gejala rasa penuh, kembung, atau mual

seluruhnya terjadi dalam rentang waktu yang sama setelah makanan

dikonsumsi178. Diperlukan lebih banyak lagi penelitian untuk menjelaskan

hubungan antara kemunculan gejala-gejala dispepsia fungsional yang sementara

ini dengan komponen-komponen makanan yang spesifik.

Intoleransi Makanan dan Kemungkinan Mekanisme yang Mendasarinya

Selain makanan yang berlemak, terdapat kelompok makanan lainnya yang

seringkali berkaitan dengan gejala dispepsia fungsional pada pasien179-182,186,187

(Gambar 5), namun bagaimana makanan ini dapat berkontribusi terhadap

mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional masih perlu diteliti lebih lanjut.

Keanekaragaman makanan ini menggambarkan tantangan yang harus dihadapi

oleh para peneliti dan klinisi dalam upaya untuk mengidentifikasi hubungan
kausal antara faktor diet tertentu dengan gejala dispeptik, mekanisme yang

mendasarinya, dan intervensi potensial untuk menanganinya. Keluhan cepat

kenyang dan intoleransi terhadap makanan yang berlemak dapat berkaitan dengan

hipersensitivitas gastrointestinal terhadap distensi dan/atau lemak usus halus186.

Karbohidrat yang dapat difermentasikan (yaitu, oligosakarida, disakarida,

monosakarida, dan poliol yang dapat difermentasikan (FODMAP)) sulit absorbs

dan terbukti dapat menginduksi gejala-gejala pada IBS188, dan intoleransi gluten,

bahkan pada kondisi tidak adanya penyakit coeliac, perlu untuk dipertimbangkan.

Intoleransi susu sapi atau laktosa dan hipersensitivitas terhadap makanan asam,

makanan yang mensekresikan asam, atau makanan yang iritatif (seperti: sitrus,

rempah-rempah, kopi, atau alkohol) juga dapat berperan. Makanan yang kaya

akan protein (seperti daging) dapat mengandung lemak yang tersembunyi, yang

tidak dapat diidentifikasi dengan mudah oleh pasien. Terdapat juga kemungkinan

adanya respon imun yang spesifik terhadap protein makanan86.

Gambar 5. Makanan dan kelompok makanan yang seringkali dikaitkan


dengan induksi atau eksaserbasi gejala pada dispepsia
fungsional. Makanan yang dapat menginduksi gejala dispepsia
fungsional berdasarkan laporan pasien meliputi makanan yang
berlemak (contohnya: goreng-gorengan179-181,187,191), alkohol179,180,
produk olahan susu sapi179,181, kopi179-181, daging merah179,181,
minuman berkarbonasi179-181,187, sayur-sayuran (termasuk bawang
merah, kubis,, capsicum (lada) dan polong179-181,187), makanan
pedas180,181,187, makanan yang mengandung karbohidrat dan
mengandung gandum (termasuk pasta, roti, pastry, pisang, gula-
gula, dan kue179-181) serta buah sitrus, jus buah, dan acar179-181.
Angka di dalam tanda kurung menandakan persentase pasien yang
melaporkan bahwa suatu makanan tertentu tersebut berkaitan
dengan munculnya gejala.

Studi Tantangan Diet dan Intervensi Terapeutik

Walaupun beberapa pasien dapat menyesuaikan kebiasaan dietnya dalam upaya

untuk meringankan gejala178,180, namun terdapat lebih banyak pasien yang tidak

dapat melakukannya180-183, walaupun telah dapat mengidentifikasi beberapa

makanan tertentu sebagai pemicu munculnya gejala. Dengan pengecualian untuk

makanan berlemak146,185,189, penelitian yang mengaplikasikan uji tantangan

tersamar menghasilkan luaran yang tidak konsisten190,191, dan hubungan sebab-

akibat antara makanan yang sepsifik dan induksi gejala masih harus diteliti lebih

lanjut. Ini merupakan upaya yang sanat menantang, mengingat bahwa dispepsia

fungsional merupakan suatu gangguan multifactorial dengan berbagai faktor diet

yang mempengaruhi serta berbagai potensi efek tambahan dari faktor

kognitif146,192. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya seharusnya dapat

mengevaluasi secara sistematis peran makanan pemicu yang spesifik pada suatu

kohort pasien berskala-besar, sehingga memungkinkan pengelompokan pasien

yang lebih bermakna, yang juga dapat mempertimbangkan kemungkinan

mekanisme yang mendasarinya. Luaran dari penelitian tersebut kemudian dapat

membantu penelitian intervensi diet, yang mana, jika berhasil, dapat membentuk
dasar untuk pendekatan terapi diet baru yang lebih hemat biaya dan hampir tanpa

efek samping yang berbahaya.

Terapi Farmakologis PDS

Obat Prokinetik

Obat-obatan dalam kelas yang heterogen ini dapat menstimulasi kontraksi otot

polos gaster, digunakan secara luas untuk kasus dispepsia fungsional dan

ditetapkan sebagai terapi lini pertama untuk PDS193. Agen prokinetik (Tabel 1)

meliputi agonis reseptor 5-HT (5-HT4), antagonis reseptor dopamin D(2) dan

agonis reseptor motilin, seperti eritromisin. Hanya terdapat sedikit literatur yang

memuat bukti tentang manfaat simptomatiknya, dan hanya terdapat sedikit

penelitian yang berkualitas tentang kelompok obat ini193.

Obat Perelaksasi Fundus

Gangguan akomodasi gaster dapat ditargetkan oleh agonis 5-HT1A dan antagonis

reseptor-auto muskarinik dan inhibitor asetilkolin-esterase acotiamide193.

Beberapa penelitian telah membuktikan adanya manfaat simptomatik untuk PDS

oleh agonis 5-HT1A buspirone dan tandospirone194,195 (terutama untuk gejala rasa

cepat kenyang, dimana ditemukan adanya hubungan antara perbaikan gejala

dengan status ansietas pasien) dan acotiamide196, suatu temuan yang

menyebabkan disetujuinya penggunaan acotiamide sebagai terapi dispepsia

fungsional di Jepang dan India.


Neuromodulator yang Bekerja Sentral

Terdapat banyak penelitian, yang kebanyakan berskala-kecil, telah mengevaluasi

tentang neuromodulator yang bekerja sentral pada dispepsia fungsional. Landasan

logisnya didasarkan pada seringnya frekuensi komorbiditas psikiatrik serta adanya

hipotesis yang menyatakan bahwa hipersensitivitas viseral berkontribusi terhadap

pembentukan gejala dan dapat berepson terhadap neuromodulator yang bekerja-

sentral. Obat-obatan ini kemungkinan merupakan yang paling efektif untuk EPS.

Namun, melalui efeknya terhadap motilitas gastrointestinal, obat-obatan ini juga

dapat menghasilkan efek terapeutik untuk PDS, sebagaimana yang dideskripsikan

untk agonis 5-HT1A yang bekerja pada funsgi akomodasi gaster. Antidepresan

mirtazapine, jika dikonsumsi dalam dosis rendah pada malam hari, juga terbukti

efektif untuk terapi keluhan cepat merasa kenyang dan mual pada pasien dengan

dispepsia fungsional dengan penurunan berat badan yang tidak memiliki riwayat

komorbiditas depresi atau ansietas yang relevan secara klinis197.

Terapi Farmakologis untuk EPS

Obat Pensupresi-Asam

Inhibisi terhadap sekresi asam merupakan terapi lini pertama yang paling banyak

digunakan pada dispepsia fungsional. Angka responnya paling tinggi (hingga

mencapai 45%198) pada pasien yang juga disertai dengan keluhan heartburn, suatu

temuan yang menunjukkan bahwa penyakit refluks gastro-esofagus merupakan

indikasi primernya198. Beberapa meta-analisis menunjukkan adanya manfaat yang

signifikan dari PPI, yang lebih efektif dibandingkan dengan antagonis reseptor

histamin H2 setelah 4-8 minggu pemberian terapi standar. Karena analisis ini
tidak berhasil menemukan perbaikan terkait-dosis seiring dengan meningkatnya

dosis, maka peningkatan dosis PPI pada pasien dispepsia fungsional yang tidak

responsif terhadap terapi ini tampaknya tidak terlalu dianjurkan198. Pasien dengan

EPS memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berespon dibandingkan

dengan pasien PDS199.

Neuromodulator yang Bekerja Sentral

Neuromodulator yang bekerja sentral secara keseluruhan lebih unggul

dibandingkan dengan placebo dalam memulihkan dispepsia fungsional, dan efek

ini dapat terhadi pada kondisi tidak adanya komorbiditas depresif atau ansietas

utama200. Namun, manfaat ini masih terbatas hanya untuk antipsikotik (antagonis

reseptor dopamin D2) dan antidepresan trisiklik (yang terutama efektif pada

EPS201). Inhibitor reuptake serotonin selektid dan inhibitor reuptake serotonin-

noradrenalin tampaknya tidak memiliki manfaat apapun, berdasarkan pada

beberapa penelitian,201. Bukti formal tentang adanta efek neuromodulator sentral

terhadap hipersensitivitas viseral pada dispepsia fungsional hanya tersedia untuk

agen levosulpiride202 (Tabel 1).

Terapi Lainnya

Terapi Herbal

Terapi herbal tradisional seringkali tidak memiliki mekanisme aksi yang dapat

diidentifikasi dengan jelas namun menunjukkan efek yang bermanfaat pada

beberapa uji klinis; namun, uji klinis ini seringkali memiliki kualitas metodologis

yang tidak konsisten. Preparat obat herbal STW 5 (dengan komposisi yang terdiri
atas akar garden angelica, buah milk thistle, jinten, celandine besar, bitter candy

tuft, akar manis, bunga chamomile, daun balm, dan daun peppermint) merupakan

salah satu obat yang paling banyak diteliti. Suatu meta-analisis yang melibatkan

data-data dari tiga uji klinis terkontrol acak menunjukkan bahwa STW5

menurunkan tingkat keparahan gejala gastrointestinal yang paling mengganggu

dibandingkan dengan placebo tanpa menginduksi efek samping berbahaya yang

serius203. Pada sukarelawan yang sehat, STW5 meningkatkan akomodasi gaster204

dan kontraksi fasik antrum. Perlu dicatat, suatu uji klinis acak melaporkan bahwa

STW5 memiliki tingkat efektivitas yang sebanding dengan obat prokinetik

(cisapride)205. Apakah kombinasi STW 5 dengan obat-obat lainnya juga dapat

memberikan manfaat masih perlu diteliti lebih lanjut.

Rikkunshito, suatu obat herbal Kampo Jepang, juga telah diteliti untuk

kasus dispepsia fungsional. Dua penelitian terkontrol-plasebo menunjukkan

adanya efektivitas dalam memperbaiki gejala seperti nyeri epigastrium206 dan rasa

penuh postprandial dan cepat kenyang207. Efek ini berkaitan dengan peningkatan

akomodasi dan pengosongan gaster serta meningkatkan kadar hormon yang

meregulasi-nafsu makan dalam plasma, yaitu ghrelin, yang menstimulasi asupan

makanan dan motilitas gaster208,209.

Psikoterapi

Berbanding terbalik dengan IBS, psikoterapi tidak terlalu sering diteliti untuk

kasus dispepsia fungsional dan belum terbukti efektif: hanya terdapat empat uji

klinis terkontrol210-213 yang dipublikasikan hingga tahun 2002 dan suatu analisis

Cochrane yang telah di-update ditarik kembali dari peredaran dengan alasan yang
tidak diketahui. Tiga uji klinis lainya214-216 dilakukan bersamaan dengan meliputi

keseluruhan pilihan spektrum psikoterapi, namun masing-masing tekniknya masih

diuji dalam suatu penelitian kecil tunggal (Tabel 2). Selain itu, pasien yang

dilibatkan memiliki gejala serta durasi penyakit dispepsia fungsional yang sangat

bervariasi.

Dalam tujuh penelitian, pasien yang mendapatkan psikoterapi

menunjukkan perbaikian gejala gastrointestinal dibandingkan dengan pasien yang

hanya mendapatkan pengobatan medis standar. Pasien ini menunjukkan skor

gejala total yang lebih baik, penurunan tingkat keparahan gejala, perbaikan

kualitas hidup, dan perbaikan pada gejala kondisi psikiatrik komorbidnya (seperti

ansietas, depresi, dan somatisasi)211,215. Belum jelas apakah perbaikan gejala

psikiatrik ini terjadi secara sekunder akibat mulai ringannya gejala gastrointestinal

atau justru sebaliknya. Namun, sebagian besar studi follow-up tidak dapat

mendeteksinya perbedaan apapun antara kedua kelompok pasien ini216.

Kelemahan lainnya dari aplikasi psikoterapi untuk kasus dispepsia fungsional

adalah kurangnya penelitian yang secara langsung membandingkan antara

berbagai pendekatan psikologis yang berbeda, fokus yang hanya ditujukan pada

kelompok pasien berisiko-tinggi (yaitu yang memiliki komorbiditas psikiatrik

yang substansial) atau berfokus pada masalah-masalah terkait-gender dan budaya

yang terlibat dalam proses terjadinya dan perjalanan penyakit dispepsia fungsional

serta kurangnya replikasi yang independen untuk temuan ini (contohnya: untuk

hipnoterapi).

Namun, bukti yang lemah secara empiris ini juga dapat menunjukkan

bahwa – tidak seperti pada kasus IBS40 – apakah komorbiditas psikiatrik pada
dispepsia fungsional merupakan kondisi sekunder yang dapat meningkat dan

menurun mengikuti fluktuasi gejala dispepsia fungsional (suatu hipotesis yang

berlawanan dengan beberapa temuan epidemiologis22,39) atau justru merupakan

penyebab yang mendasari terjadinya dispepsia fungsional bukanlah suatu

pembahasan yang utama, sehingga tidak terlalu responsif terhadap intervensi

dengan target sentral, termasuk psikoterapi.

Tabel 2. Terapi Psikologis untuk Dispepsia Fungsional

Desain Uji Klinis


Pendekatan Terapi
Terkontrol Acak Temuan Utama
Psikologis (Referensi)
(n; angka dropout)
Terapi kelompok dengan Tiga kelompok, dua - Pada akhir terapi: Subjek
fokus pada teknik kondisi kontrol dan terapi melaporkan terjadinya
relaksasi (Bates dkk210) (8 sesi x 90-menit) penurunan intensitas nyeri
selama 3 bulan (94; 48%) secara signifikan dan
jumlah kejadian nyeri pada
kelompok terapi
dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
- Saat di-follow-up setelah 1
tahun: Tidak ditemukan
perbedaan antara kelompok
terapi dan kelompok
kontrol.
Psikoterapi kognitif Dua kelompok, yaitu - Saat di-follow-up setelah 1
(Haug dkk211) kelompok kontrol (tanpa tahun: Ditemukan adanya
terapi) dan kelompok perbaikan pada parameter
terapi (10 sesi x 45-50 dispeptik dan psikologis
menit) selama 4 bulan pada kedua kelompok.
(100; 14%) Penurunan yang lebih besar
pada gejala dispeptik, mual,
heartburn, diare, dan
konstipasi, serta skor yang
lebih baik pada “keluhan
target” (yang didefinisikan
oleh pasien sendiri,
contohnya: ansietas, stress
hidup atau masalah
interpersonal) ditemukan
pada kelompok terapi
dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Psikoterapi interpersonal Dua kelompok, kelompok - Pada akhir terapi:
psikodinamik kontrol (terapi suportif) Ditemukan skor gejala total
(Hamilton dkk212) dan kelompok terapi (7 yang secara signifikan lebih
sesi: sesi pertama selama baik berdasarkan pada hasil
3 jam, kemudian 6 sesi x laporan ahli
50-menit) selama 4 bulan gastroenterologis maupun
(73; 19%) laporan pasien sendiri pada
kelompok terapi
dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
- Saat di-follow-up setelah 1
tahun: skor simptomatiknya
sama.
Hipnoterapi Tiga kelompok, dua - Pada akhir terapi: Skor
(Calvert dkk213) kondisi kontrol (terapi gejala dan kualitas hidup
suportif plus medikasi lebih membaik pada
pasebo atau hanya terapi kelompok terapi
medis saja) dan dibandingkan dengan kedua
kelompok terapi (12 sesi kelompok kontrol.
x 30-menit) selama 4 - Saat di-follow-up setelah 1
bulan (126; 16%) tahun: Terjadi perbaikan
gejala pada kelompok
terapi dibandingkan dengan
kedua kelompok kontrol.
Psikoterapi fleksibilitas Dua kelompok, kelompok - Saat di-follow-up setelah 1
coping kontrol (psikoterapi tahun: Partisipan pada
(Cheng dkk214) suportif) dan kelompok kedua kelompok
terapi (6 sesi x 60-menit menunjukkan perbaikan
setiap dua minggu sekali) pada fleksiilitas coping dan
selama 3 bulan (75; 15%) melaporkan adanya
penurunan tingkat gejala
dispeptik. Tingkat
keparahan gejala dispeptik
yang dinilai sendiri oleh
partisipan dari kelompok
terapi tersebut sebanding
dengan sampel dari
komunitas yang sehat.
Psikoterapi psikoanalitik Dua kelompok, kelompok - Pada saat akhir terapi:
berbasis-tema hubungan kontrol (medikasi Ditemukan perbaikan
konfliktual inti standar) dan kelompok gejala gastrointestinal,
(Faramarzi dkk215) terapi (medikasi standar termasuk heartburn, mual,
plus psikoterapi dengan rasa penuh, kembung, nyeri
sesi sekali setiap minggu abdomen atas, dan nyeri
selama 50-menit) dalam abdomen bawah pada
waktu 4 bulan (49; 12%) kelompok terapi.
- Saat di-follow-up setelah 1
tahun: Ditemukan adanya
perbaikan pada depresi,
ansietas, somatisasi,
sensitivitas interpersonal,
ide paranoid, dan skor
gejala total pada kelompok
terapi namun tidak
demikian dengan kelompok
kontrol.
Terapi perilaku kognitif, Dua kelompok, kelompok - Pada akhir terapi:
dengan fokus pada kontrol (terapi medis Ditemukan kualitas hidup
coping (Orive dkk216) saja) dan kelompok terapi terakir-dispepsia dan Skor
(terapi medis plus Keparahan Dispepsia
psikoterapi dengan 8 sesi Glasgow yang lebih baik
kelompok x 50-menit dan pada kelompok terapi
2 sesi individual x 50- dibandingkan dengan
menit) selama 10 minggu kelompok kontrol.
(76; 19%) - Saat di-follow-up setelah 6
bulan: Sama seperti pada
akhir terapi.

Terapi Pelengkap dan Alternatif

Data tentang terapi alternatif juga jarang ditemukan. Salah satu strategi terapi

pelengkap yang biasa dilakukan adalah metode akupuntur. Suatu meta-analisis

terhadap data dari dua uji klinis terkontrol acak (n = 58) melaporkan adanya

perbaikan kualitas hidup pada pasien yang mendaparkan akupuntur (n = 58)

dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan akupuntur palsu (stimulasi pada

titik-titik yang tidak spesifik)217; namun, pada suatu penelitian lainnya, gejala

dispepsia fungsional secara spesifik berkurang hanya pada kelompok terapi

saja218, sedangkan pada penelitian lainnya, kedua kelompok melaporkan

perbaikan gejala219. Meta-analisis lainnya yang juga melibatkan uji klinis

terkontrol acak dengan kualitas yang rendah (karena tingkat kerahasiaannya tidak

adekuat pada sebagian besar penelitian, penyamaran subjek tidak diaplikasikan

dengan baik, atau data tidak lengkap) menunjukkan adanya penurunan gejala
dispepsia fungsional dan perbaikan kualitas hidup setelah terapi akupuntur

dibandingkan dengan akupuntur palsu220. Selain itu, akupuntur kemungkinan lebih

unggul dibandingkan dengan terapi farmakologis strandar dalam meringankan

gejala rasa cepat kenyang dan rasa penuh postprandial220. Namun, penulis

menyadari perlunya suatu uji klinis terkontrol acak dengan metodologi yang

berkualitas tinggi220. Terakhir, suatu obat Cina tradisional juga telah diuji untuk

kasus dispepsia fungsional sebagai bagian dari ‘sindrom disharmoni hepar-

lambung’. Suatu meta-analisis yang melibatkan data dari 12 uji klinis terkontrol

acak (yang melibatkan ~1000 orang pasien secara keseluruhan) menunjukkan

bahwa obat Cina tradisional lebih bermanfaat dibandingkan dengan agen

prokinetik221. Namun, kualitas metodologis yang buruk dari penelitian-penelitian

ini dan banyaknya agen yang digunakan (contohnya: radix paeoniae, radix

bupleuri, radix glucurrhizae, rhizome cyperi, fructus aurantii immaturus, fructus

aurantii, Citrus medica var. sarcodactylis, dan pericarpium citri reticulatae)

menyulitkan peneliti untuk menarik suatu kesimpulan definitif.

KUALITAS HIDUP

Tingkat keparahan gejala dispepsia fungsional (dari ringan hingga berat) tidak

selalu berkaitan dengan suatu biomarker yang spesifik. Oleh karena itu, sulit

untuk memahami beban dispepsia fungsional yang dirasakan oleh pasien dari hari-

ke-hari atau responsivitasnya terhadap terapi. Salah satu cara untuk memahami

beban penyakit ini adalah dengan menilai kualitas hidup pasien secara sistematis

dari berbagai domain (contohnya: fisik, mental, dan sosial).


Kualitas hidup pasien dengan dispepsia fungsional dapat dinilai dengan

parameter generik atau yang spesifik terhadap penyakit. Parameter generik yang

paling banyak digunakan, Formulir Singkat Survey Kesehatan yang terdiri atas

36-item (SF-36)222, menilai delapan dimensi kesehatan, yaitu: fungsi fisik, fungsi

sosial, keterbatasan peran akibat masalah fisik, keterbatasan peran akibat masalah

emosional, kesehatan mental, vitalitas, nyeri, dan tingkat kesehatan diri yang

dinilai oleh pasien sendiri. Berbagai penelitian telah membandingkan kualitas

hidup pasien dispepsia fungsional dengan kualitas hidup pasien dengan kondisi

medis lainnya atau dengan kontrol yang sehat223. Data dari penelitian tersebut

menunjukkan temuan yang belum dapat disimpulkan, yang sampai dengan taraf

tertentu, dapat dimengerti karena mengingat bervariasinya metodologi,

pendekatan, sampel klinis, tim investigatif, dan tingkat ketelitian. Beberapa

penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan dimensi kualitas hidup antara

pasien dengan dispepsia fungsional dan kontrol224, sedangkan penelitian lainnya

menunjukkan adanya gangguan kualitas hidup yang signifikan pada pasien

dispepsia fungsional225. Parameter kualitas hidup generik didesain untuk

memfasilitasi perbandingan antara berbagai beban penyakit di antara berbagai

kelompok dengan berfokus pada dimensi yang umum ditemukan pada berbagai

penyakit (Kotak 5). Beberapa penelitian yang menggunakan Indeks Kesejahteraan

Psikologis Umum, sebagai contohnya menemukan bahwa kualitas hidup pada

pasien dispepsia fungsional lebih rendah dibandingkan dengan kualitas hidup

pasien tanpa dispepsia fungsional serta sebanding dengan pasien dengan gagal

jantung ringan dan wanita yang telah mengalami post-menopause226. Kesimpulan

ini seharusnya diinterpretasikan secara bijaksana, karena gangguan kualitas hidup


apapun yang ditemukan berdasarkan pada parameter generik dapat disebabkan,

setidaknya sebagiannya, oleh komorbiditas dan tidak selalu oleh faktor dispepsia

fungsional itu sendiri. Selain itu, parameter generik kurang sensitif untuk

mendeteksi perubahan-perubahan kecil yang masih berperan penting bagi para

klinis dan peneliti karena tidak menilai sumber kualitas hidup yang spesifik untuk

suatu penyakit tertentu. Keterbatasan ini telah mendorong pengembangan suatu

parameter kualitas hidup yang sepsifik untuk dispepsia fungsional, yang

memperhitungkan berbagai aspek yang spesifik untuk penyakit ini yang paling

bermakna untuk pasien, contohnya termasuk masalah diet, yang tidak dinilai

dalam parameter generik.

Kotak 5 | Instrumen Kualitas Hidup untuk Dispepsia Fungsional


Parameter Kualitas Hidup Generik
- Survey Kesehatan Formulir Pendek dengan 36-Poin (SF-36)236 dan Survey
Kesehatan Formulir Pendek dengan 12-Poin237
- Indeks Kesejahteraan Umum Psikologis (PGWBI)238
- EuroQoI (EQ-5D)239
- Kuesioner Kesehatan Umum (GHQ-30)240
- Kuesioner Laporan Mandiri (SRQ-20)241

Parameter Kualitas Hidup yang Spesifik untuk Penyakit


- Penilaian Kualitas Hidup Pasien dengan Gangguan Saluran
Gastrointestinal Bagian Atas (PAGI-QOL)242
- Kuesioner Kualitas Hidup Gangguan Digestif Fungsional (FDDQL)243
- Indeks Dispepsia Nepean (NDI)227
- Skala Dampak terhadap Aktivitas Sehari-Hari224
- Skor Tingkat Keparahan Dispepsia Glasgow244
- Kuesioner Kualitas Hidup pada Refluks dan Dispepsia (QOLRAD)245
- Indeks Kualitas Hidup Gastrointestinal (GIQLI)246
*QOL, Kualitas Hidup

Fokus yang lebih sempit pada parameter kualitas hidup yang spesifik

untuk dispepsia fungsional memungkinkan kita untuk membandingkan skor

kualitas hidup pasien dispepsia fungsional dengan pasien penyakit lainnya atau
dengan kontrol yang sehat, namun parameter ini mendeskripsikan karakteristik

beban penyakit yang lebih mendetail. Sebagai contoh untuk pendekatan ini adalah

Indeks Dispepsia Nepean yang telah divalidasi227, (dan versinya yang lebih

singkat228), yang telah dievaluasi untuk berbagai perbedaan yang bermakna secara

klinis229. Terakhir, somatisasi132 (berbagai gejala terkait-stres dengan sumber yang

tidak diketahui) telah dinyatakan sebagai faktor risiko yang paling penting bagi

gangguan kualitas hidup pada pasien dengan dispepsia fungsional berat. Riwayat

menjadi korban kekerasan dan depresi yang terjadi dalam waktu dekat dapat

mempengaruhi kualitas hidup, namun efeknya dimediasi oleh somatisasi132,230.

PANDANGAN PENULIS

Pemahaman tentang dispepsia fungsional saat ini telah semakin berkembang

secara signifikan, dan perubahan dalam pendekatan terapeutik untuk kasus

dispepsia fungsional kemungkinan akan segera mengikuti. Kriteria konsensus

Roma IV, yang didukung oleh berbagai literatur, menetapkan bahwa PDS dan

EPS merupakan dua entitas yang berbeda, walaupun terdapat kasus kombinasi

keduanya dalam praktik klinis3, dan akumulasi data epidemiologis dan

patofisiologis mendukung kesimpulan ini49,231.

Dispepsia fungsional selama ini hanya telah dianggap sebagai suatu

gangguan terkait-motilitas atau terkait-asam, dan konsep ini telah mengendalikan

intervensi terapeutiknya (masing-masingnya dengan agen prokinetik atau agen

supresor-asam) dan berbagai uji klinis terkontrol acak, namun konsep tersebut saat

ini dipandang terlalu sederhana3. Infeksi H.pylori berperan sebagai faktor

penyebab dispepsia fungsional3. Pada pasien dispepsia fungsional dengan


pengosongan lambung yang lambat atau gangguan akomodasi fundus, dapat

diduga bahwa penyakit neuronal atau otot – selain infeksi yang terjadi bersamaan

atau terjadi sebelumnya atau yang berdiri sendiri – dapat menjelaskan patogenesis

dan onset yang terjadi akut232. Menariknya, terdapat informasi baru yang

mendokumentasikan adanya inflamasi duodenum ringan (terutama dalam bentuk

eosinophilia duodenum pada suatu sub-kelompok pasien dengan PDS),

peningkatan permeabilitas mukosa duodenum, gangguan mikrobiota duodenum,

gangguan refleks sistem nervus enterik, dan bukti adanya perubahan sistemik

(contohnya, peningkatan kadar sitokin dan sel T usus-halus dalam sirkulasi) telah

menggeser ketertarikan para peneliti dari gaster ke usus halus bagian atas103.

Seiring dengan semakin terakumulasinya pandangan baru ini, muncul

suatu model penyakit komprehensif baru yang mengintegrasikan berbagai hasil

observasi yang berbeda ini, dan hipotesis tersebut dapat diuji37. Model tersebut

menunjukkan bahwa pada individu yang secara genetik berisiko, infeksi enteri

akut atau antigen makanan (contohnya: gandum) dapat merusak sawar intestinal,

sehingga mencetuskan suatu respon sel TH2 yang dimediasi-imun yang

mengaktivasi perekrutan eosinophil dan, pada beberapa kasus, melepaskan

mediator-mediator sel mast. Sebaliknya, respon lokal ini dapat mengakibatkan

kerusakan lebih lanjut terhadap sawar intestinal dan menghasilkan suatu respon

imun sistemik yang juga dapat menginduksi gejala-gejala ekstra-intestinal seperti

ansietas atau kelelahan. Pada kasus lainnya, aktivasi jalur hormonal stress dapat

berkontribusi dalam aktivasi imun intestinal. Karena regio antrum-pilorus-

duodenum merupakan inti dalam pengaturan fungsi gaster yang mengontrol

jumlah chime (massa semi-liquid yang mengandung makanan yang baru sebagian
tercerna) yang mencapai usus halus bagian atas, disfungsi gastrointestinal pada

beberapa kasus bisa jadi merupakan suatu gangguan sekunder. Namun, juga

terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perubahan pada sensitivitas mekanis dan

kimiawi tidak dipicu oleh infeksi atau aktivasi imun, dan peningkatan nosisepsi

dapat terjadi secara independen terlepas dari aktivasi imun. Oleh karena itu, dapat

dinyatakan bahwa dispepsia fungsional lebih jauh lagi dapat diklasifikasikan ke

dalam beberapa golongan penyakit yang berbeda tergantung pada perbedaan

mekanisme patologis yang mendasarinya.

Saat ini telah bermunculan berbagai pilihan terapi baru berdasarkan pada

konsep ini, termasuk obat-obat anti-inflamasi (setidaknya pada dispepsia

fungsional pediatrik), montelukast (suatu antagonis reseptor sisteinil-leukotriene-

1) telah menunjukkan hasil yang menjanjikan)233 dan antibiotik yang tidak dapat

diabsorbsi ulang, seperti rifaximin234. Data baru ini mendukung peran

antidepresan trisiklik dosis-rendah pada kasus dispepsia fungsional, walaupun

mekanisme kerjanya masih belum jelas200. Walaupun gagasan tentang adanya

peran mikrobiota usus pada dispepsia fungsional mulai bermunculan, belum ada

studi klinis yang dilakukan untuk menguji konsep ini dengan terapeutik seperti

probiotik yang spesifik. Saat ini merupakan periode yang sangat mengasyikkan

dalam bidang penelitian ini, karena jawaban dari berbagai pertanyaan tampaknya

sudah hampir dapat kita dapatkan seiring dengan semakin meningkatnya

pemahaman kita.
DAFTAR PUSTAKA

1. Barbara, L. et al. Definition and investigation of dyspepsia. Consensus of


an international ad hoc working party. Dig. Dis. Sci. 34, 1272–1276 (1989).
2. Holtmann, G., Stanghellini, V. & Talley, N. J. Nomenclature of dyspepsia,
dyspepsia subgroups and functional dyspepsia: clarifying the concepts.
Baillieres Clin. Gastroenterol. 12, 417–433 (1998).
3. Stanghellini, V. et al. Gastroduodenal disorders. Gastroenterology 150,
1380–1392 (2016).
4. Rodríguez-García, J. L. & Carmona-Sánchez, R. Functional dyspepsia and
dyspepsia associated with Helicobacter pylori infection: do they have
different clinical characteristics? Rev. Gastroenterol. Mex. 81, 126–133
(2016).
5. Sugano, K. et al. Kyoto global consensus report on Helicobacter pylori
gastritis. Gut 64, 1353–1367 (2015).
6. Ford, A. C., Moayyedi, P., Jarbol, D. E., Logan, R. F. & Delaney, B. C.
Meta-analysis: Helicobacter pylori ‘test and treat’ compared with empirical
acid suppression for managing dyspepsia. Aliment. Pharmacol. Ther. 28,
534–544 (2008).
7. Ang, T. L. et al. Helicobacter pylori eradication versus prokinetics in the
treatment of functional dyspepsia: a randomized, double-blind study. J.
Gastroenterol. 41, 647–653 (2006).
8. Quigley, E. M. & Lacy, B. E. Overlap of functional dyspepsia and GERD
— diagnostic and treatment implications. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol.
10, 175–186 (2013).
9. Pleyer, C. et al. Overdiagnosis of gastro-esophageal reflux disease and
underdiagnosis of functional dyspepsia in a USA community.
Neurogastroenterol. Motil. 26, 1163–1171 (2014).
10. Friesen, C. A., Rosen, J. M. & Schurman, J. V. Prevalence of overlap
syndromes and symptoms in pediatric functional dyspepsia. BMC
Gastroenterol. 16, 75 (2016).
11. Mahadeva, S. & Ford, A. C. Clinical and epidemiological differences in
functional dyspepsia between the east and the west. Neurogastroenterol.
Motil. 28, 167–174 (2016).
12. Le Pluart, D. et al. Functional gastrointestinal disorders in 35,447 adults
and their association with body mass index. Aliment. Pharmacol. Ther. 41,
758–767 (2015).
13. Suzuki, H. & Hibi, T. Overlap syndrome of functional dyspepsia and
irritable bowel syndrome — are both diseases mutually exclusive? J.
Neurogastroenterol. Motil. 17, 360–365 (2011).
14. Rasmussen, S. et al. Overlap of symptoms of gastroesophageal reflux
disease, dyspepsia and irritable bowel syndrome in the general population.
Scand. J. Gastroenterol. 50, 162–169 (2015).
15. Yao, X. et al. The overlap of upper functional gastrointestinal disorders
with irritable bowel syndrome in Chinese outpatients: a multicenter study.
J. Gastroenterol. Hepatol. 31, 1584–1593 (2016).
16. Talley, N. J., Weaver, A. L., Zinsmeister, A. R. & Melton, L. J. 3 rd Onset
and disappearance of gastrointestinal symptoms and functional
gastrointestinal disorders. Am. J. Epidemiol. 136, 165–177 (1992).
17. Olafsdottir, L. B., Gudjonsson, H., Jonsdottir, H. H. & Thjodleifsson, B.
Natural history of functional dyspepsia: a 10-year population-based study.
Digestion 81, 53–61 (2010).
18. Brook, R. A., Kleinman, N. L., Choung, R. S., Smeeding, J. E. & Talley, N.
J. Excess comorbidity prevalence and cost associated with functional
dyspepsia in an employed population. Dig. Dis. Sci. 57, 109–118 (2012).
19. Matsuzaki, J. et al. High frequency of overlap between functional
dyspepsia and overactive bladder. Neurogastroenterol. Motil. 24, 821–827
(2012).
20. Jones, M. P., Walker, M. M., Ford, A. C. & Talley, N. J. The overlap of
atopy and functional gastrointestinal disorders among 23,471 patients in
primary care. Aliment. Pharmacol. Ther. 40, 382–391 (2014).
21. Persson, R. et al. The relationship between irritable bowel syndrome,
functional dyspepsia, chronic fatigue and overactive bladder syndrome: a
controlled study 6 years after acute gastrointestinal infection. BMC
Gastroenterol. 15, 66 (2015).
22. Koloski, N. A. et al. The brain–gut pathway in functional gastrointestinal
disorders is bidirectional: a 12-year prospective population-based study.
Gut 61, 1284–1290 (2012).
23. Choung, R. S., Locke, G. R. 3rd, Schleck, C. D., Zinsmeister, A. R. &
Talley, N. J. The effects of ageing on the onset and disappearance of
unexplained abdominal pain: a population-based study. Aliment.
Pharmacol. Ther. 39, 217–225 (2014).
24. Napthali, K., Koloski, N., Walker, M. M. & Talley, N. J. Women and
functional dyspepsia. Women’s health (Lond.) 12, 241–250 (2016).
25. Pike, B. L., Porter, C. K., Sorrell, T. J. & Riddle, M. S. Acute
gastroenteritis and the risk of functional dyspepsia: a systematic review and
meta-analysis. Am. J. Gastroenterol. 108, 1558–1563; quiz 1564 (2013).
26. Paula, H. et al. Non-enteric infections, antibiotic use, and risk of
development of functional gastrointestinal disorders. Neurogastroenterol.
Motil. 27, 1580–1586 (2015).
27. Holtmann, G., Gschossmann, J., Buenger, L., Gerken, G. & Talley, N. J.
Do changes in visceral sensory function determine the development of
dyspepsia during treatment with aspirin? Gastroenterology 123, 1451–1458
(2002).
28. Oshima, T., Fukui, H., Watari, J. & Miwa, H. Childhood abuse history is
associated with the development of dyspepsia: a population-based survey in
Japan. J. Gastroenterol. 50, 744–750 (2015).
29. Koloski, N. A. et al. Identification of early environmental risk factors for
irritable bowel syndrome and dyspepsia. Neurogastroenterol. Motil. 27,
1317–1325 (2015).
30. Jones, M. P., Oudenhove, L. V., Koloski, N., Tack, J. & Talley, N. J. Early
life factors initiate a ‘vicious circle’ of affective and gastrointestinal
symptoms: a longitudinal study. United European Gastroenterol. J. 1, 394–
402 (2013).
31. Fujiwara, Y. et al. Cigarette smoking and its association with overlapping
gastroesophageal reflux disease, functional dyspepsia, or irritable bowel
syndrome. Intern. Med. 50, 2443–2447 (2011).
32. Jung, J. G. et al. Visceral adiposity is associated with an increased risk of
functional dyspepsia. J. Gastroenterol. Hepatol. 31, 567–574 (2016).
33. Deding, U., Torp-Pedersen, C. & Boggild, H. Perceived stress as a risk
factor for dyspepsia: a register-based cohort study. Eur. J. Gastroenterol.
Hepatol. 29, 560–567 (2017).
34. Ford, A. C., Marwaha, A., Sood, R. & Moayyedi, P. Global prevalence of,
and risk factors for, uninvestigated dyspepsia: a meta-analysis. Gut 64,
1049–1057 (2015).
35. Ford, A. C. et al. Prevalence of uninvestigated dyspepsia 8 years after a
large waterborne outbreak of bacterial dysentery: a cohort study.
Gastroenterology 138, 1727–1736; quiz e1712 (2010).
36. Mearin, F. et al. Dyspepsia and irritable bowel syndrome after a Salmonella
gastroenteritis outbreak: one-year follow-up cohort study. Gastroenterology
129, 98–104 (2005).
37. Talley, N. J. & Ford, A. C. Functional dyspepsia. N. Engl. J. Med. 373,
1853–1863 (2015).
38. Aro, P., Talley, N. J., Johansson, S. E., Agreus, L. & Ronkainen, J. Anxiety
is linked to new-onset dyspepsia in the Swedish population: a 10-year
follow-up study. Gastroenterology 148, 928–937 (2015).
39. Koloski, N. A., Jones, M. & Talley, N. J. Evidence that independent
gut-to-brain and brain-to-gut pathways operate in the irritable bowel
syndrome and functional dyspepsia: a 1-year population-based prospective
study. Aliment. Pharmacol. Ther. 44, 592–600 (2016).
40. Enck, P. et al. Irritable bowel syndrome. Nat. Rev. Dis. Primers 2, 16014
(2016).
41. Porcelli, P., Leandro, G. & De Carne, M. Functional gastrointestinal
disorders and eating disorders. Relevance of the association in clinical
management. Scand. J. Gastroenterol. 33, 577–582 (1998).
42. Santonicola, A. et al. Prevalence of functional dyspepsia and its subgroups
in patients with eating disorders. World J. Gastroenterol. 18, 4379–4385
(2012).
43. Brook, R. A. et al. Functional dyspepsia impacts absenteeism and direct
and indirect costs. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 8, 498–503 (2010).
44. Sander, G. B. et al. Influence of organic and functional dyspepsia on work
productivity: the HEROES-DIP study. Value Health 14, S126–S129
(2011).
45. Tack, J., Bisschops, R. & Sarnelli, G. Pathophysiology and treatment of
functional dyspepsia. Gastroenterology 127, 1239–1255 (2004).
46. Tack, J. et al. Functional gastroduodenal disorders. Gastroenterology 130,
1466–1479 (2006).
47. Tack, J., Piessevaux, H., Coulie, B., Caenepeel, P. & Janssens, J. Role of
impaired gastric accommodation to a meal in functional dyspepsia.
Gastroenterology 115, 1346–1352 (1998).
48. Farre, R. & Tack, J. Food and symptom generation in functional
gastrointestinal disorders: physiological aspects. Am. J. Gastroenterol. 108,
698–706 (2013).
49. Vanheel, H. et al. Pathophysiological abnormalities in functional dyspepsia
subgroups according to the Rome III criteria. Am. J. Gastroenterol. 112,
132–140 (2017).
50. Bisschops, R. et al. Relationship between symptoms and ingestion of a
meal in functional dyspepsia. Gut 57, 1495–1503 (2008).
51. Kindt, S., Tertychnyy, A., de Hertogh, G., Geboes, K. & Tack, J. Intestinal
immune activation in presumed post-infectious functional dyspepsia.
Neurogastroenterol. Motil. 21, 832–e856 (2009).
52. Futagami, S. et al. Migration of eosinophils and CCR2-/CD68-double
positive cells into the duodenal mucosa of patients with postinfectious
functional dyspepsia. Am. J. Gastroenterol. 105, 1835–1842 (2010).
53. Mirbagheri, S. S. et al. Impact of microscopic duodenitis on symptomatic
response to Helicobacter pylori eradication in functional dyspepsia. Dig.
Dis. Sci. 60, 163–167 (2015).
54. Powell, N., Walker, M. M. & Talley, N. J. The mucosal immune system:
master regulator of bidirectional gut-brain communications. Nat. Rev.
Gastroenterol. Hepatol. 14, 143–159 (2017).
55. Furness, J. B. The enteric nervous system and neurogastroenterology. Nat.
Rev. Gastroenterol. Hepatol. 9, 286–294 (2012).
56. Savidge, T. C. et al. Enteric glia regulate intestinal barrier function and
inflammation via release of S-nitrosoglutathione. Gastroenterology 132,
1344–1358 (2007).
57. Oustamanolakis, P. & Tack, J. Dyspepsia: organic versus functional. J.
Clin. Gastroenterol. 46, 175–190 (2012).
58. Testoni, P. A., Bagnolo, F. & Tittobello, A. Interdigestive antro-duodenal
motor disorders in functional dyspepsia. Associated chronic gastritis
correlates with a further motor impairment. Ital. J. Gastroenterol. 24, 440–
445 (1992).
59. Kellow, J. E. Motility-like dyspepsia. Current concepts in pathogenesis,
investigation and management. Med. J. Aust. 157, 385–388 (1992).
60. Urbain, J. L. et al. Dynamic antral scintigraphy to characterize gastric
antral motility in functional dyspepsia. J. Nucl. Med. 36, 1579–1586
(1995).
61. Holtmann, G., Goebell, H. & Talley, J. Impaired small intestinal peristaltic
reflexes and sensory thresholds are independent functional disturbances in
patients with chronic unexplained dyspepsia. Am. J. Gastroenterol. 91,
485–491 (1996).
62. Jebbink, R. J., vanBerge-Henegouwen, G. P., Akkermans, L. M. & Smout,
A. J. Antroduodenal manometry: 24-hour ambulatory monitoring versus
short-term stationary manometry in patients with functional dyspepsia. Eur.
J. Gastroenterol. Hepatol. 7, 109–116 (1995).
63. Troncon, L. E., Thompson, D. G., Ahluwalia, N. K., Barlow, J. & Heggie,
L. Relations between upper abdominal symptoms and gastric distension
abnormalities in dysmotility like functional dyspepsia and after vagotomy.
Gut 37, 17–22 (1995).
64. Gilja, O. H., Hausken, T., Wilhelmsen, I. & Berstad, A. Impaired
accommodation of proximal stomach to a meal in functional dyspepsia.
Dig. Dis. Sci. 41, 689–696 (1996).
65. Kim, D. Y. et al. Noninvasive measurement of gastric accommodation in
patients with idiopathic nonulcer dyspepsia. Am. J. Gastroenterol. 96,
3099–3105 (2001).
66. Bortolotti, M. et al. Patterns of gastric emptying in dysmotility-like
dyspepsia. Scand. J. Gastroenterol. 30, 408–410 (1995).
67. Coffin, B., Azpiroz, F., Guarner, F. & Malagelada, J. R. Selective gastric
hypersensitivity and reflex hyporeactivity in functional dyspepsia.
Gastroenterology 107, 1345–1351 (1994).
68. Mertz, H., Fullerton, S., Naliboff, B. & Mayer, E. A. Symptoms and
visceral perception in severe functional and organic dyspepsia. Gut 42,
814–822 (1998).
69. Simren, M. et al. Visceral hypersensitivity is associated with GI symptom
severity in functional GI disorders: consistent findings from five different
patient cohorts. Gut http://dx.doi.org/10.1136/gutjnl-2016-312361 (2017).
70. Greydanus, M. P. et al. Neurohormonal factors in functional dyspepsia:
insights on pathophysiological mechanisms. Gastroenterology 100, 1311–
1318 (1991).
71. Bouin, M. et al. Intolerance to visceral distension in functional dyspepsia or
irritable bowel syndrome: an organ specific defect or a pan intestinal
dysregulation? Neurogastroenterol. Motil. 16, 311–314 (2004).
72. Bouin, M., Lupien, F., Riberdy-Poitras, M. & Poitras, P. Tolerance to
gastric distension in patients with functional dyspepsia: modulation by a
cholinergic and nitrergic method. Eur. J. Gastroenterol. Hepatol. 18, 63–68
(2006).
73. Gilja, O. H., Hausken, T., Bang, C. J. & Berstad, A. Effect of glyceryl
trinitrate on gastric accommodation and symptoms in functional dyspepsia.
Dig. Dis. Sci. 42, 2124–2131 (1997).
74. Lee, K. J. et al. A pilot study on duodenal acid exposure and its relationship
to symptoms in functional dyspepsia with prominent nausea. Am. J.
Gastroenterol. 99, 1765–1773 (2004).
75. Samsom, M., Verhagen, M. A., vanBerge Henegouwen, G. P. & Smout, A.
J. Abnormal clearance of exogenous acid and increased acid sensitivity of
the proximal duodenum in dyspeptic patients. Gastroenterology 116, 515–
520 (1999).
76. Hammer, J., Fuhrer, M., Pipal, L. & Matiasek, J. Hypersensitivity for
capsaicin in patients with functional dyspepsia. Neurogastroenterol. Motil.
20, 125–133 (2008).
77. Barbera, R., Feinle, C. & Read, N. W. Nutrient-specific modulation of
gastric mechanosensitivity in patients with functional dyspepsia. Dig. Dis.
Sci. 40, 1636–1641 (1995).
78. Feinle-Bisset, C. Upper gastrointestinal sensitivity to meal-related signals
in adult humans — relevance to appetite regulation and gut symptoms in
health, obesity and functional dyspepsia. Physiol. Behav. 162, 69–82
(2016).
79. Tanaka, F. et al. Concentration of glial cell line-derived neurotrophic factor
positively correlates with symptoms in functional dyspepsia. Dig. Dis. Sci.
61, 3478–3485 (2016).
80. Choi, Y. J. et al. Upregulation of vanilloid receptor-1 in functional
dyspepsia with or without Helicobacter pylori infection. Medicine
(Baltimore) 95, e3410 (2016).
81. Li, X. et al. The study on the role of inflammatory cells and mediators in
post-infectious functional dyspepsia. Scand. J. Gastroenterol. 45, 573–581
(2010).
82. Ostertag, D. et al. Tryptase potentiates enteric nerve activation by
histamine and serotonin: relevance for the effects of mucosal biopsy
supernatants from irritable bowel syndrome patients. Neurogastroenterol.
Motil. 95, e3410 (2017).
83. Witte, A. B. et al. Decreased number of duodenal endocrine cells with
unaltered serotonin-containing cells in functional dyspepsia. Am. J.
Gastroenterol. 111, 1852–1853 (2016).
84. Holtmann, G. & Talley, N. J. Functional dyspepsia. Curr. Opin.
Gastroenterol. 31, 492–498 (2015).
85. Ishigami, H. et al. Endoscopy-guided evaluation of duodenal mucosal
permeability in functional dyspepsia. Clin. Transl Gastroenterol. 8, e83
(2017).
86. Vanheel, H. et al. Impaired duodenal mucosal integrity and low-grade
inflammation in functional dyspepsia. Gut 63, 262–271 (2014).
87. Witte, A. B. et al. Duodenal epithelial transport in functional dyspepsia:
role of serotonin. World J. Gastrointest. Pathophysiol. 4, 28–36 (2013).
88. Krueger, D. et al. Neural influences on human intestinal epithelium in vitro.
J. Physiol. 594, 357–372 (2016).
89. Vanuytsel, T. et al. Psychological stress and corticotropin-releasing
hormone increase intestinal permeability in humans by a mast cell-
dependent mechanism. Gut 63, 1293–1299 (2014).
90. Wauters, L., Nightingale, S., Talley, N. J., Sulaiman, B. & Walker, M. M.
Functional dyspepsia is associated with duodenal eosinophilia in an
Australian paediatric cohort. Aliment. Pharmacol. Ther. 45, 1358–1364
(2017).
91. Talley, N. J. et al. Non-ulcer dyspepsia and duodenal eosinophilia: an adult
endoscopic population-based case-control study. Clin. Gastroenterol.
Hepatol. 5, 1175–1183 (2007).
92. Cirillo, C. et al. Evidence for neuronal and structural changes in submucous
ganglia of patients with functional dyspepsia. Am. J. Gastroenterol. 110,
1205–1215 (2015).
93. Du, L. et al. Increased duodenal eosinophil degranulation in patients with
functional dyspepsia: a prospective study. Sci. Rep. 6, 34305 (2016).
94. Liebregts, T. et al. Small bowel homing T cells are associated with
symptoms and delayed gastric emptying in functional dyspepsia. Am. J.
Gastroenterol. 106, 1089–1098 (2011).
95. Walker, M. M. et al. Duodenal eosinophilia and early satiety in functional
dyspepsia: confirmation of a positive association in an Australian cohort. J.
Gastroenterol. Hepatol. 29, 474–479 (2014).
96. Wang, X. et al. Quantitative evaluation of duodenal eosinophils and mast
cells in adult patients with functional dyspepsia. Ann. Diagn. Pathol. 19,
50–56 (2015).
97. Powell, N., Walker, M. M. & Talley, N. J. Gastrointestinal eosinophils in
health, disease and functional disorders. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol.
7, 146–156 (2010).
98. Shimura, S. et al. Small intestinal bacterial overgrowth in patients with
refractory functional gastrointestinal disorders. J. Neurogastroenterol.
Motil. 22, 60–68 (2016).
99. Costa, M. B., Azeredo, I. L. Jr, Marciano, R. D., Caldeira, L. M. & Bafutto,
M. Evaluation of small intestine bacterial overgrowth in patients with
functional dyspepsia through H2 breath test. Arq. Gastroenterol. 49, 279–
283 (2012).
100. Hadizadeh, F. et al. Faecal microbiota composition associates with
abdominal pain in the general population. Gut http://dx.doi.org/10.1136/
gutjnl-2017-314792 (2017).
101. Nakae, H., Tsuda, A., Matsuoka, T., Mine, T. & Koga, Y. Gastric
microbiota in the functional dyspepsia patients treated with probiotic
yogurt. BMJ Open Gastroenterol. 3, e000109 (2016).
102. Igarashi, M. et al. Alteration in the gastric microbiota and its restoration by
probiotics in patients with functional dyspepsia. BMJ Open Gastroenterol.
4, e000144 (2017).
103. Zhong, L. et al. Dyspepsia and the microbiome: time to focus on the small
intestine. Gut 66, 1168–1169 (2016).
104. Lembo, A., Zaman, M., Jones, M. & Talley, N. J. Influence of genetics on
irritable bowel syndrome, gastro-oesophageal reflux and dyspepsia: a twin
study. Aliment. Pharmacol. Ther. 25, 1343–1350 (2007).
105. Holtmann, G., Goebell, H. & Talley, N. J. Functional dyspepsia and
irritable bowel syndrome: is there a common pathophysiological basis? Am.
J. Gastroenterol. 92, 954–959 (1997).
106. Locke, G. R. 3 rd, Zinsmeister, A. R., Talley, N. J., Fett, S. L. & Melton, L.
J. 3 rd Familial association in adults with functional gastrointestinal
disorders. Mayo Clin. Proc. 75, 907–912 (2000).
107. Gathaiya, N. et al. Novel associations with dyspepsia: a community-based
study of familial aggregation, sleep dysfunction and somatization.
Neurogastroenterol. Motil. 21, 922–e969 (2009).
108. Holtmann, G., Liebregts, T. & Siffert, W. Molecular basis of functional
gastrointestinal disorders. Best Pract. Res. Clin. Gastroenterol. 18, 633–
640 (2004).
109. Holtmann, G. et al. G-Protein β3 subunit 825 CC genotype is associated
with unexplained (functional) dyspepsia. Gastroenterology 126, 971–979
(2004).
110. Oshima, T. et al. The G-protein β3 subunit 825 TT genotype is associated
with epigastric pain syndrome-like dyspepsia. BMC Med. Genet. 11, 13
(2010).
111. van Lelyveld, N., Linde, J. T., Schipper, M. & Samsom, M. Candidate
genotypes associated with functional dyspepsia. Neurogastroenterol. Motil.
20, 767–773 (2008).
112. Tahara, T. et al. Homozygous 825T allele of the GNB3 protein influences
the susceptibility of Japanese to dyspepsia. Dig. Dis. Sci. 53, 642–646
(2008).
113. Holtmann, G., van Rensburg, C., Schwan, T., Sander, P. & Siffert, W.
Improvement of non-steroidal anti-inflammatory drug-induced
gastrointestinal symptoms during proton pump inhibitor treatment: are
G-protein β3 subunit genotype, Helicobacter pylori status, and
environmental factors response modifiers? Digestion 84, 289–298 (2011).
114. Saito, Y. A. et al. Polymorphisms of 5-HTT LPR and GNβ3 825C>T and
response to antidepressant treatment in functional dyspepsia: a study from
the functional dyspepsia treatment trial. Am. J. Gastroenterol. 112, 903–
909 (2017).
115. Mawe, G. M. & Hoffman, J. M. Serotonin signalling in the gut —
functions, dysfunctions and therapeutic targets. Nat. Rev. Gastroenterol.
Hepatol. 10, 473–486 (2013).
116. Kerckhoffs, A. P., ter Linde, J. J., Akkermans, L. M. & Samsom, M. SERT
and TPH-1 mRNA expression are reduced in irritable bowel syndrome
patients regardless of visceral sensitivity state in large intestine. Am. J.
Physiol. Gastrointest. Liver Physiol. 302, G1053–G1060 (2012).
117. Jones, R. H. et al. Alosetron relieves pain and improves bowel function
compared with mebeverine in female nonconstipated irritable bowel
syndrome patients. Aliment. Pharmacol. Ther. 13, 1419–1427 (1999).
118. Camilleri, C. E. et al. A study of candidate genotypes associated with
dyspepsia in a U.S. community. Am. J. Gastroenterol. 101, 581–592
(2006).
119. Locke, G. R. 3 rd, Ackerman, M. J., Zinsmeister, A. R., Thapa, P. &
Farrugia, G. Gastrointestinal symptoms in families of patients with an
SCN5A-encoded cardiac channelopathy: evidence of an intestinal
channelopathy. Am. J. Gastroenterol. 101, 1299–1304 (2006).
120. Van Oudenhove, L. & Aziz, Q. The role of psychosocial factors and
psychiatric disorders in functional dyspepsia. Nat. Rev. Gastroenterol.
Hepatol. 10, 158–167 (2013).
121. Van Oudenhove, L. et al. Biopsychosocial aspects of functional
gastrointestinal disorders. Gastroenterology
http://dx.doi.org/10.1053/j.gastro.2016.02.027 (2016).
122. Padhy, S. K., Mishra, S., Sarkar, S., Bang, L. G. & Panigrahi, M.
Comparison of psychiatric morbidity in patients with irritable bowel
syndrome and non-ulcer dyspepsia. Ind. Psychiatry J. 25, 29–34 (2016).
123. Koloski, N. A., Talley, N. J. & Boyce, P. M. Predictors of health care
seeking for irritable bowel syndrome and nonulcer dyspepsia: a critical
review of the literature on symptom and psychosocial factors. Am. J.
Gastroenterol. 96, 1340–1349 (2001).
124. Koloski, N. A., Talley, N. J. & Boyce, P. M. The impact of functional
gastrointestinal disorders on quality of life. Am. J. Gastroenterol. 95, 67–71
(2000).
125. Kindt, S. et al. Longitudinal and cross-sectional factors associated with
long-term clinical course in functional dyspepsia: a 5-year follow-up study.
Am. J. Gastroenterol. 106, 340–348 (2011).
126. Wouters, M. M. & Boeckxstaens, G. E. Is there a causal link between
psychological disorders and functional gastrointestinal disorders? Expert
Rev. Gastroenterol. Hepatol. 10, 5–8 (2016).
127. Jones, M. P. et al. Mood and anxiety disorders precede development of
functional gastrointestinal disorders in patients but not in the population.
Clin. Gastroenterol. Hepatol. 15, 1014–1020 (2017).
128. Fang, Y. J. et al. Distinct aetiopathogenesis in subgroups of functional
dyspepsia according to the Rome III criteria. Gut 64, 1517–1528 (2015).
129. Holtmann, G. et al. Clinical presentation and personality factors are
predictors of the response to treatment in patients with functional
dyspepsia; a randomized, double-blind placebo-controlled crossover study.
Dig. Dis. Sci. 49, 672–679 (2004).
130. Wu, C. Y. et al. Effect of fluoxetine on symptoms and gastric dysrhythmia
in patients with functional dyspepsia. Hepatogastroenterology 50, 278–283
(2003).
131. Geeraerts, B. et al. Influence of abuse history on gastric sensorimotor
function in functional dyspepsia. Neurogastroenterol. Motil. 21, 33–41
(2009).
132. Van Oudenhove, L. et al. Abuse history, depression, and somatization are
associated with gastric sensitivity and gastric emptying in functional
dyspepsia. Psychosom. Med. 73, 648–655 (2011).
133. Ly, H. G., Weltens, N., Tack, J. & Van Oudenhove, L. Acute anxiety and
anxiety disorders are associated with impaired gastric accommodation in
patients with functional dyspepsia. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 13, 1584–
1591.e3 (2015).
134. Lorena, S. L., Tinois, E., Brunetto, S. Q., Camargo, E. E. & Mesquita, M.
A. Gastric emptying and intragastric distribution of a solid meal in
functional dyspepsia: influence of gender and anxiety. J. Clin.
Gastroenterol. 38, 230–236 (2004).
135. Geeraerts, B. et al. Influence of experimentally induced anxiety on gastric
sensorimotor function in humans. Gastroenterology 129, 1437–1444
(2005).
136. Sharma, A., Van Oudenhove, L., Paine, P., Gregory, L. & Aziz, Q. Anxiety
increases acid-induced esophageal hyperalgesia. Psychosom. Med. 72, 802–
809 (2010).
137. Lee, H. S., An, Y. S., Kang, J., Yoo, J. H. & Lee, K. J. Effect of acute
auditory stress on gastric motor responses to a meal in healthy volunteers.
J. Gastroenterol. Hepatol. 28, 1699–1704 (2013).
138. Lu, H. C. et al. Neuronal correlates in the modulation of placebo analgesia
in experimentally-induced esophageal pain: a 3T-fMRI study. Pain 148,
75–83 (2010).
139. Chiarioni, G., Vantini, I., De Iorio, F. & Benini, L. Prokinetic effect of gut-
oriented hypnosis on gastric emptying. Aliment. Pharmacol. Ther. 23,
1241–1249 (2006).
140. Coen, S. J. et al. Effects of attention on visceral stimulus intensity encoding
in the male human brain. Gastroenterology 135, 2065–2074.e1 (2008).
141. Van Oudenhove, L. et al. Relationship between anxiety and gastric
sensorimotor function in functional dyspepsia. Psychosom. Med. 69, 455–
463 (2007).
142. Hausken, T. et al. Low vagal tone and antral dysmotility in patients with
functional dyspepsia. Psychosom. Med. 55, 12–22 (1993).
143. Hveem, K., Hausken, T., Svebak, S. & Berstad, A. Gastric antral motility in
functional dyspepsia. Effect of mental stress and cisapride. Scand. J.
Gastroenterol. 31, 452–457 (1996).
144. Vanner, S. et al. Fundamentals of neurogastroenterology: basic science.
Gastroenterology http://dx.doi.org/10.1053/ j.gastro.2016.02.018 (2016).
145. Boeckxstaens, G. et al. Fundamentals of neurogastroenterology:
physiology/motility — sensation. Gastroenterology http://dx.doi.org/
10.1053/j.gastro.2016.02.030 (2016).
146. Feinle-Bisset, C., Meier, B., Fried, M. & Beglinger, C. Role of cognitive
factors in symptom induction following high and low fat meals in patients
with functional dyspepsia. Gut 52, 1414–1418 (2003).
147. Al Omran, Y. & Aziz, Q. Functional brain imaging in gastroenterology: to
new beginnings. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 11, 565–576 (2014).
148. Mayer, E. A., Gupta, A., Kilpatrick, L. A. & Hong, J. Y. Imaging brain
mechanisms in chronic visceral pain. Pain 156, S50–S63 (2015).
149. Lee, I. S., Wang, H., Chae, Y., Preissl, H. & Enck, P. Functional
neuroimaging studies in functional dyspepsia patients: a systematic review.
Neurogastroenterol. Motil. 28, 793–805 (2016).
150. Nan, J. et al. Anatomically related gray and white matter alterations in the
brains of functional dyspepsia patients. Neurogastroenterol. Motil. 27, 856–
864 (2015).
151. Zeng, F. et al. Regional brain structural abnormality in meal-related
functional dyspepsia patients: a voxel-based morphometry study. PLoS
ONE 8, e68383 (2013).
152. Liu, P. et al. Altered structural covariance of the striatum in functional
dyspepsia patients. Neurogastroenterol. Motil. 26, 1144–1154 (2014).
153. Zhou, G. et al. White-matter microstructural changes in functional
dyspepsia: a diffusion tensor imaging study. Am. J. Gastroenterol. 108,
260–269 (2013).
154. Ly, H. G. et al. Increased cerebral cannabinoid-1 receptor availability is a
stable feature of functional dyspepsia: a [F]MK-9470 PET study.
Psychother. Psychosom. 84, 149–158 (2015).
155. Ceccarini, J. et al. Association between cerebral cannabinoid 1 receptor
availability and body mass index in patients with food intake disorders and
healthy subjects: a [(18)F]MK-9470 PET study. Transl Psychiatry 6, e853
(2016).
156. Tominaga, K. et al. Regional brain disorders of serotonin
neurotransmission are associated with functional dyspepsia. Life Sci. 137,
150–157 (2015).
157. Van Oudenhove, L. et al. Abnormal regional brain activity during rest and
(anticipated) gastric distension in functional dyspepsia and the role of
anxiety: a H(2)(15)O-PET study. Am. J. Gastroenterol. 105, 913–924
(2010).
158. Holtmann, G., Goebell, H., Jockenhoevel, F. & Talley, N. J. Altered vagal
and intestinal mechanosensory function in chronic unexplained dyspepsia.
Gut 42, 501–506 (1998).
159. Li, M. et al. Protein kinase C mediates the corticosterone-induced
sensitization of dorsal root ganglion neurons innervating the rat stomach. J.
Neurogastroenterol. Motil. 23, 464–476 (2017).
160. Carbone, F., Vandenberghe, A., Holvoet, T., Vanuytsel, T. & Tack, J. The
impact of Rome IV criteria on functional dyspepsia subgroups in secondary
care. Gastroenterology 152, S304 (2017).
161. Tack, J., Jones, M. P., Karamanolis, G., Coulie, B. & Dubois, D. Symptom
pattern and pathophysiological correlates of weight loss in tertiary-referred
functional dyspepsia. Neurogastroenterol. Motil. 22, 29–35; e4-5 (2010).
162. Azpiroz, F. & Malagelada, J. R. Abdominal bloating. Gastroenterology
129, 1060–1078 (2005).
163. Bredenoord, A. J. & Smout, A. J. Physiologic and pathologic belching.
Clin. Gastroenterol. Hepatol. 5, 772–775 (2007).
164. Tack, J., Caenepeel, P., Fischler, B., Piessevaux, H. & Janssens, J.
Symptoms associated with hypersensitivity to gastric distention in
functional dyspepsia. Gastroenterology 121, 526–535 (2001).
165. Lobo, B. et al. Effect of selective CCK1 receptor antagonism on
accommodation and tolerance of intestinal gas in functional gut disorders.
J. Gastroenterol. Hepatol. 31, 288–293 (2016).
166. Bendezu, R. A. et al. Colonic content in health and its relation to functional
gut symptoms. Neurogastroenterol. Motil. 28, 849–854 (2016).
167. Bendezu, R. A. et al. Intestinal gas content and distribution in health and in
patients with functional gut symptoms. Neurogastroenterol. Motil. 27,
1249–1257 (2015).
168. Burri, E. et al. Mechanisms of postprandial abdominal bloating and
distension in functional dyspepsia. Gut 63, 395–400 (2014).
169. Barba, E. et al. Abdominothoracic mechanisms of functional abdominal
distension and correction by biofeedback. Gastroenterology 148, 732–739
(2015).
170. Barba, E., Accarino, A., Soldevilla, A., Malagelada, J. R. & Azpiroz, F.
Randomized, placebo-controlled trial of biofeedback for the treatment of
rumination. Am. J. Gastroenterol. 111, 1007–1013 (2016).
171. Talley, N. J., Vakil, N. & Practice Parameters Committee of the American
College of Gastroenterology. Guidelines for the management of dyspepsia.
Am. J. Gastroenterol. 100, 2324–2337 (2005).
172. Talley, N. J., Walker, M. M. & Holtmann, G. Functional dyspepsia. Curr.
Opin. Gastroenterol. 32, 467–473 (2016).
173. Stanghellini, V. et al. Risk indicators of delayed gastric emptying of solids
in patients with functional dyspepsia. Gastroenterology 110, 1036–1042
(1996).
174. Stanghellini, V. & Cogliandro, R. Review article: adherence to Rome
criteria in therapeutic trials in functional dyspepsia. Aliment. Pharmacol.
Ther. 40, 435–466 (2014).
175. Camilleri, M. & Stanghellini, V. Current management strategies and
emerging treatments for functional dyspepsia. Nat. Rev. Gastroenterol.
Hepatol. 10, 187–194 (2013).
176. Du, L. J. et al. Helicobacter pylori eradication therapy for functional
dyspepsia: systematic review and meta-analysis. World J. Gastroenterol.
22, 3486–3495 (2016).
177. Xu, S. et al. Symptom improvement after helicobacter pylori eradication in
patients with functional dyspepsia — a multicenter, randomized,
prospective cohort study. Int. J. Clin. Exp. Med. 6, 747–756 (2013).
178. Pilichiewicz, A. N., Horowitz, M., Holtmann, G. J., Talley, N. J. & Feinle-
Bisset, C. Relationship between symptoms and dietary patterns in patients
with functional dyspepsia. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 7, 317–322
(2009).
179. Filipovic, B. F. et al. Laboratory parameters and nutritional status in
patients with functional dyspepsia. Eur. J. Intern. Med. 22, 300–304
(2011).
180. Mullan, A. et al. Food and nutrient intakes and eating patterns in functional
and organic dyspepsia. Eur. J. Clin. Nutr. 48, 97–105 (1994).
181. Carvalho, R. V., Lorena, S. L., Almeida, J. R. & Mesquita, M. A. Food
intolerance, diet composition, and eating patterns in functional dyspepsia
patients. Dig. Dis. Sci. 55, 60–65 (2010).
182. Cuperus, P., Keeling, P. W. & Gibney, M. J. Eating patterns in functional
dyspepsia: a case control study. Eur. J. Clin. Nutr. 50, 520–523 (1996).
183. Saito, Y. A., Locke, G. R. 3rd, Weaver, A. L., Zinsmeister, A. R. & Talley,
N. J. Diet and functional gastrointestinal disorders: a population-based
case-control study. Am. J. Gastroenterol. 100, 2743–2748 (2005).
184. Hassanzadeh, S. et al. Meal frequency in relation to prevalence of
functional dyspepsia among Iranian adults. Nutrition 32, 242–248 (2016).
185. Pilichiewicz, A. N. et al. Functional dyspepsia is associated with a greater
symptomatic response to fat but not carbohydrate, increased fasting and
postprandial CCK, and diminished PYY. Am. J. Gastroenterol. 103, 2613–
2623 (2008).
186. Feinle-Bisset, C. & Azpiroz, F. Dietary and lifestyle factors in functional
dyspepsia. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 10, 150–157 (2013).
187. Goktas, Z. et al. Nutritional habits in functional dyspepsia and its
subgroups: a comparative study. Scand. J. Gastroenterol. 51, 903–907
(2016).
188. Gibson, P. R. & Shepherd, S. J. Evidence-based dietary management of
functional gastrointestinal symptoms: the FODMAP approach. J.
Gastroenterol. Hepatol. 25, 252–258 (2010).
189. Houghton, L. A., Mangall, Y. F., Dwivedi, A. & Read, N. W. Sensitivity to
nutrients in patients waith non-ulcer dyspepsia. Eur. J. Gastroenterol. 5,
109–114 (1993).
190. Suarez, F. L., Savaiano, D. A. & Levitt, M. D. A comparison of symptoms
after the consumption of milk or lactose-hydrolyzed milk by people with
self-reported severe lactose intolerance. N. Engl. J. Med. 333, 1–4 (1995).
191. Taggart, D. & Billington, B. P. Fatty foods and dyspersia. Lancet 2, 465–
466 (1966).
192. Accarino, A. M., Azpiroz, F. & Malagelada, J. R. Attention and distraction:
effects on gut perception. Gastroenterology 113, 415–422 (1997).
193. Tack, J. Prokinetics and fundic relaxants in upper functional GI disorders.
Curr. Opin. Pharmacol. 8, 690–696 (2008).
194. Tack, J., Janssen, P., Masaoka, T., Farre, R. & Van Oudenhove, L. Efficacy
of buspirone, a fundus-relaxing drug, in patients with functional dyspepsia.
Clin. Gastroenterol. Hepatol. 10, 1239–1245 (2012).
195. Miwa, H. et al. Efficacy of the 5-HT1A agonist tandospirone citrate in
improving symptoms of patients with functional dyspepsia: a randomized
controlled trial. Am. J. Gastroenterol. 104, 2779–2787 (2009).
196. Matsueda, K., Hongo, M., Tack, J., Saito, Y. & Kato, H. A placebo-
controlled trial of acotiamide for meal-related symptoms of functional
dyspepsia. Gut 61, 821–828 (2012).
197. Tack, J. et al. Efficacy of mirtazapine in patients with functional dyspepsia
and weight loss. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 14, 385–392.e4 (2016).
198. Moayyedi, P., Delaney, B. C., Vakil, N., Forman, D. & Talley, N. J. The
efficacy of proton pump inhibitors in nonulcer dyspepsia: a systematic
review and economic analysis. Gastroenterology 127, 1329–1337 (2004).
199. Suzuki, H. et al. Effect of lansoprazole on the epigastric symptoms of
functional dyspepsia (ELF study): a multicentre, prospective, randomized,
double-blind, placebo-controlled clinical trial. United European
Gastroenterol. J. 1, 445–452 (2013).
200. Ford, A. C. et al. Efficacy of psychotropic drugs in functional dyspepsia:
systematic review and meta-analysis. Gut 66, 411–420 (2015).
201. Talley, N. J. et al. Effect of amitriptyline and escitalopram on functional
dyspepsia: a multicenter, randomized controlled study. Gastroenterology
149, 340–349.e2 (2015).
202. Distrutti, E. et al. Effect of acute and chronic levosulpiride administration
on gastric tone and perception in functional dyspepsia. Aliment. Pharmacol.
Ther. 16, 613–622 (2002).
203. Melzer, J., Rosch, W., Reichling, J., Brignoli, R. & Saller, R. Meta-
analysis: phytotherapy of functional dyspepsia with the herbal drug
preparation STW 5 (Iberogast). Aliment. Pharmacol. Ther. 20, 1279–1287
(2004).
204. Pilichiewicz, A. N. et al. Effects of Iberogast on proximal gastric volume,
antropyloroduodenal motility and gastric emptying in healthy men. Am. J.
Gastroenterol. 102, 1276–1283 (2007).
205. Rosch, W., Vinson, B. & Sassin, I. A randomised clinical trial comparing
the efficacy of a herbal preparation STW 5 with the prokinetic drug
cisapride in patients with dysmotility type of functional dyspepsia. Z.
Gastroenterol. 40, 401–408 (2002).
206. Suzuki, H. et al. Randomized clinical trial: rikkunshito in the treatment of
functional dyspepsia — a multicenter, double-blind, randomized, placebo-
controlled study. Neurogastroenterol. Motil. 26, 950–961 (2014).
207. Sakata, Y. et al. A randomized, placebo-controlled, double-blind clinical
trial of the Japanese herbal medicine rikkunshito for patients with
functional dyspepsia: the dream study. Gastroenterology 152, S120–S121
(2017).
208. Kusunoki, H. et al. Efficacy of rikkunshito, a traditional Japanese medicine
(Kampo), in treating functional dyspepsia. Intern. Med. 49, 2195–2202
(2010).
209. Togawa, K. et al. Association of baseline plasma des-acyl ghrelin level
with the response to rikkunshito in patients with functional dyspepsia. J.
Gastroenterol. Hepatol. 31, 334–341 (2016).
210. Bates, S., Sjoden, P.-O. & Nyren, O. Behavioral treatment of non-ulcer
dyspepsia. Scand. J. Behav. Ther. 17, 155–165 (1988).
211. Haug, T. T., Wilhelmsen, I., Svebak, S., Berstad, A. & Ursin, H.
Psychotherapy in functional dyspepsia. J. Psychosom. Res. 38, 735–744
(1994).
212. Hamilton, J. et al. A randomized controlled trial of psychotherapy in
patients with chronic functional dyspepsia. Gastroenterology 119, 661–669
(2000).
213. Calvert, E. L., Houghton, L. A., Cooper, P., Morris, J. & Whorwell, P. J.
Long-term improvement in functional dyspepsia using hypnotherapy.
Gastroenterology 123, 1778–1785 (2002).
214. Cheng, C., Yang, F. C., Jun, S. & Hutton, J. M. Flexible coping
psychotherapy for functional dyspeptic patients: a randomized, controlled
trial. Psychosom. Med. 69, 81–88 (2007).
215. Faramarzi, M. et al. The effect of psychotherapy in improving physical and
psychiatric symptoms in patients with functional dyspepsia. Iran. J.
Psychiatry 10, 43–49 (2015).
216. Orive, M. et al. A randomized controlled trial of a 10 week group
psychotherapeutic treatment added to standard medical treatment in patients
with functional dyspepsia. J. Psychosom. Res. 78, 563–568 (2015).
217. Lan, L. et al. Acupuncture for functional dyspepsia. Cochrane Database
Syst. Rev. 10, CD008487 (2014).
218. Chang, X. R., Lan, L., Yan, J., Wang, X. J. & Chen, H. M. Efficacy of
acupuncture at Foot- Yangming Meridian in the treatment of patients with
functional dyspepsia: an analysis of 30 cases. World Chinese J. Digestol.
18, 839–844 (2010).
219. Park, Y. C., Kang, W., Choi, S. M. & Son, C. G. Evaluation of manual
acupuncture at classical and nondefined points for treatment of functional
dyspepsia: a randomized-controlled trial. J. Altern Complement Med. 15,
879–884 (2009).
220. Pang, B. et al. Acupuncture for functional dyspepsia: what strength does it
have? A systematic review and meta-analysis of randomized controlled
trials. Evid. Based Complement. Alternat. Med. 2016, 3862916 (2016).
221. Wang, C., Zhu, M., Xia, W., Jiang, W. & Li, Y. Meta-analysis of traditional
Chinese medicine in treating functional dyspepsia of liver-stomach
disharmony syndrome. J. Tradit. Chin. Med. 32, 515–522 (2012).
222. Ware, J. E., Snow, K. K. & Kosinski, M. SF-36 Health Survey and
Interpretation Guide. (QualityMetric Inc., 2000).
223. Talley, N. J., Weaver, A. L. & Zinsmeister, A. R. Impact of functional
dyspepsia on quality of life. Dig. Dis. Sci. 40, 584–589 (1995).
224. Wiklund, I., Glise, H., Jerndal, P., Carlsson, J. & Talley, N. J. Does
endoscopy have a positive impact on quality of life in dyspepsia?
Gastrointest. Endosc. 47, 449–454 (1998).
225. Mones, J. et al. Quality of life in functional dyspepsia. Dig. Dis. Sci. 47,
20–26 (2002).
226. Moayyedi, P. & Mason, J. Clinical and economic consequences of
dyspepsia in the community. Gut 50 (Suppl. 4), 10–12 (2002).
227. Talley, N. J. et al. Development of a new dyspepsia impact scale: the
Nepean Dyspepsia Index. Aliment. Pharmacol. Ther. 13, 225–235 (1999).
228. Talley, N. J., Verlinden, M. & Jones, M. Quality of life in functional
dyspepsia: responsiveness of the Nepean Dyspepsia Index and development
of a new 10-item short form. Aliment. Pharmacol. Ther. 15, 207–216
(2001).
229. Jones, M. & Talley, N. J. Minimum clinically important difference for the
Nepean Dyspepsia Index, a validated quality of life scale for functional
dyspepsia. Am. J. Gastroenterol. 104, 1483–1488 (2009).
230. Lackner, J. M. et al. The impact of physical complaints, social
environment, and psychological functioning on IBS patients’ health
perceptions: looking beyond GI symptom severity. Am. J. Gastroenterol.
109, 224–233 (2014).
231. Van Oudenhove, L. et al. The latent structure of the functional dyspepsia
symptom complex: a taxometric analysis. Neurogastroenterol. Motil. 28,
985–993 (2016).
232. Grover, M. et al. Diabetic and idiopathic gastroparesis is associated with
loss of CD206-positive macrophages in the gastric antrum.
Neurogastroenterol. Motil. http://dx.doi.org/10.1111/ nmo.13018 (2017).
233. Friesen, C. A. et al. Montelukast in the treatment of duodenal eosinophilia
in children with dyspepsia: effect on eosinophil density and activation in
relation to pharmacokinetics. BMC Gastroenterol. 9, 32 (2009).
234. Tan, V. P. et al. Randomised clinical trial: rifaximin versus placebo for the
treatment of functional dyspepsia. Aliment. Pharmacol. Ther. 45, 767–776
(2017).
235. Azpiroz, F. in Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and Liver
Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management Vol. 2 (eds. Feldmann,
M., Friedman, L. S. & Brand, L. J.) 242–250 (Elsevier, 2015).
236. Ware, J. E. Jr & Sherbourne, C. D. The MOS 36-item short-form health
survey (SF-36). I. Conceptual framework and item selection. Med. Care 30,
473–483 (1992).
237. Ware, J. Jr, Kosinski, M. & Keller, S. D. A 12-item short-form health
survey: construction of scales and preliminary tests of reliability and
validity. Med. Care 34, 220–233 (1996).
238. Dupuy, H. in Assessment of Quality of Life in Clinical Trials of
Cardiovascular Therapies (eds Wenger, N. K., Mattson, M. E., Furberg, C.
D. & Elinson, J.) 170–183 (Le Jacq Publishing, 1984).
239. EuroQol Group. EuroQol — a new facility for the measurement of health-
related quality of life. Health Policy 16, 199–208 (1990).
240. Goldberg, D. Manual of the General Health Questionnaire. (NFER-Nelson,
1978).
241. Beusenberg, M. & Orley, J. A. User’s guide to the self reporting
questionnaire (SRQ). World Health Organization http://www.who.int/iris/
handle/10665/61113 (1994).
242. de la Loge, C. et al. Cross-cultural development and validation of a patient
self-administered questionnaire to assess quality of life in upper
gastrointestinal disorders: the PAGI-QOL. Qual. Life Res. 13, 1751–1762
(2004).
243. Chassany, O. et al. Validation of a specific quality of life questionnaire for
functional digestive disorders. Gut 44, 527–533 (1999).
244. el-Omar, E. M., Banerjee, S., Wirz, A. & McColl, K. E. The Glasgow
Dyspepsia Severity Score — a tool for the global measurement of
dyspepsia. Eur. J. Gastroenterol. Hepatol. 8, 967–971 (1996).
245. Wiklund, I. K. et al. Quality of Life in Reflux and Dyspepsia patients.
Psychometric documentation of a new disease-specific questionnaire
(QOLRAD). Eur. J. Surg. Suppl. 1998, 41–49 (1998).
246. Eypasch, E. et al. Gastrointestinal Quality of Life Index: development,
validation and application of a new instrument. Br. J. Surg. 82, 216–222
(1995).
247. Walker, M. M. & Talley, N. J. The role of duodenal inflammation in
functional dyspepsia. J. Clin. Gastroenterol. 51, 12–18 (2017).

Вам также может понравиться