Вы находитесь на странице: 1из 6

222. [20] Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh adalah suatu kotoran".

Oleh
karena itu, jauhilah[21] istri pada waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka
suci[22]. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan
Allah kepadamu[23]. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri[24].

[20] Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi apabila istri mereka haidh,
mereka tidak makan bersama istrinya dan tidak bergaul dengannya. Para sahabat bertanya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah menurunkan ayat, "Wayas-aluunaka 'anil
mahiidh, qul huwa adzan fa'tazilun nisaa' fil mahiidh", lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Berbuatlah apa saja selain jima'." Kemudian berita itu sampai kepada orang-orang Yahudi,
lalu mereka berkata, "Apa yang diinginkan orang ini (yakni Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam) ketika meninggalkan salah satu kebiasaan kita, lantas kemudian menyelisihi." Maka Usaid bin
Hudhair dan 'Abbad bin Bisyr datang (kepada Rasulullah) dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
orang-orang Yahudi berkata begini dan begitu. Oleh karena itu, kami tidak bergaul dengan mereka (para
istri)." Maka wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berubah (marah) sehingga kami mengira
bahwa Beliau akan marah kepada keduanya, maka keduanya keluar, lalu ketika keluar tiba-tiba ada
hadiah susu yang diberikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
kemudian mengirimkan seseorang untuk mencari mereka berdua (untuk memberikan minuman), maka
mereka pun mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak marah kepada mereka berdua.

[21] Maksudnya jangan bercampur dengan wanita di waktu haidh, adapun selain jima', maka bersenang-
senang dengan istri di waktu haidh diperbolehkan.

[22] Maksudnya sesudah mandi. Ada pula yang menafsirkan sesudah darah berhenti keluar.

[23] Yaitu di qubul, bukan di dubur.

[24] Baik dari hadats matupun dari najis. Dalam ayat ini terdapat dalil disyari'atkan bersuci secara
mutlak, karena Allah menyukai orang yang suci. Oleh karena itu, suci merupakan syarat sahnya shalat
dan thawaf . Termasuk suci pula adalah suci maknawi, dalam arti suci dari akhlak yang buruk, sifat yang
jelek dan perbuatan yang hina.

187.[13] Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri kamu[14]. Mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka[15]. Allah mengetahui bahwa kamu tidak
dapat menahan dirimu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu[16]. Makan dan minumlah hingga jelas
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar[17] [18]. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam[19]. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf[20] dalam
masjid[21]. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya[22]. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa[23].

[13] Imam Bukhari meriwayatkan dari Al Barra', ia berkata, "Para sahabat Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam, ketika berpuasa, kemudian tiba waktu berbuka, lalu seseorang tidur sebelum berbuka,
maka ia tidak makan di malam harinya dan di siang harinya sampai sore hari. Pernah suatu ketika Qais
bin Sharmah Al Anshariy berpuasa, saat tiba waktu berbuka, ia mendatangi istrinya dan berkata
kepadanya, "Apakah kamu memiliki makanan?" Istrinya menjawab, "Tidak. Akan tetapi, saya akan pergi
mencarikan untukmu." Di siang harinya, Qais bekerja sehingga membuatnya cepat mengantuk di malam
hari, lalu istrinya berkata, "Rugi sekali kamu!". Ketika di siang hari, Qais pun pingsan, lalu diberitahukan
masalah tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini, "Uhilla lakum
lailatash shiyaamur rafatsu ilaa nisaa'ikum", maka para sahabat bergembira sekali. Demikian pula ayat,
"Wa kuluu wasy rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswad"…dst.

Imam Bukhari menyebukan kembali dalam Kitabut tafsir dengan adanya perubahan pada sebagian
sanad, dan di sana disebutkan secara tegas bahwa Abu Ishaq mendengar secara langsung, lafaznya
adalah: Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, para sahabat tidak mendekati istri selama bulan Ramadhan
penuh, namun ada beberapa orang yang mengkhianati dirinya, maka Allah menurunkan ayat,
"Alimallahu annakum kuntum takhtaanuuna anfusakum fataaba 'alaikum."

Zhahir kedua hadits di atas nampak berbeda, akan tetapi tidak ada salahnya jika ayat tersebut turun
berkenaan orang ini dan itu.

[14] Ayat ini turun untuk menaskh (menghapus) larangan berjima', makan dan minum setelah 'Isya atau
setelah tidur di awal-awal Islam.

[15] Kata-kata ini merupakan kinayah yang menerangkan bahwa masing-masing saling membutuhkan.

[16] Yakni niatkanlah dalam berjima' itu untuk bertaqarrub kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala serta
memperoleh tujuan dari jima', yaitu memperoleh keturunan, menjaga farjinya, menjaga farji istri dan
memperoleh maksud daripada nikah. Termasuk "mencari apa yang ditetapkan Allah untuk kita" adalah
mencari Lailatul qadr yang bertepatan dengan malam hari bulan Ramadhan. Oleh karena itu, tidak
sepatutnya kita tetap bersenang-senang dengan istri dan membiarkan Lailatul qadr lewat begitu saja.
Bersenang-senang masih bisa dikejar, adapun Lailatul qadr jika sudah lewat, tidak bisa dikejar.

[17] Imam Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad ia berkata, "Telah turun ayat, "Wa kuluu wasy
rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswad" (artinya: Makan dan
minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam), namun belum turun kata-kata, "Minal
fajr" (yaitu fajar). Oleh karena itu, ada beberapa orang sahabat, ketika ingin berpuasa, salah seorang di
antara mereka mengikat benang putih dan benang hitam di kakinya. Ia senantiasa makan sampai ia jelas
melihat kedua benang itu, maka Allah menurunkan ayat, "Minal fajr", maka mereka pun mengetahui
bahwa maksudnya adalah malam dan siang.

[18] Ayat ini menerangkan waktu makan, minum dan berjima', yaitu sampai terbit fajar shadiq. Ayat ini
juga menunjukkan bahwa apabila seseorang makan atau minum dalam keadaan ragu-ragu apakah sudah
terbit fajar atau belum, maka tidak mengapa. Demikian juga menerangkan beberapa hal berikut:

- Anjuran makan sahur dan anjuran menta'khirkannya; diambil dari rukhshah dan kemudahan yang
diberikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
- Bolehnya seseorang mendapatkan waktu fajar dalam keadaan junub dari jima' yang dilakukan
sedangkan ia belum mandi, dan puasanya sah. Hal ini, karena sesuatu yang lazim dari bolehnya jima'
sampai terbit fajar adalah mendapatkan waktu fajar dalam keadaan baru selesai jima' (masih junub),
dan lazim dari yang hak (benar) adalah hak (benar) pula.

[19] Dimulai dari tenggelamnya matahari.

[20] I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Ayat ini menerangkan
larangan bagi orang yang beri'tikaf ketika keluar karena suatu keperluan, lalu ia menggauli istrinya, dan
menunjukkan bahwa I'tikaf menjadi batal karena jima'.

[21] Ayat ini menunjukkan disyari'atkannya I'tikaf, dan bahwa I'tikaf hanya sah di masjid, yakni masjid
yang mereka kenal, yaitu masjid yang dipakai shalat lima waktu.

[22] Kata-kata "jangan mendekati" lebih dalam daripada sekedar "jangan melakukan". Karena jangan
mendekati mencakup larangan mengerjakan perbuatan yang dilarang tersebut, demikian juga segala
wasilah (sarana) yang mengarah kepadanya.

[23] Karena biasanya orang-orang melakukan perbuatan maksiat, karena tidak mengetahui bahwa hal
itu merupakan maksiat, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala di ayat tersebut menerangkan hukum-
hukum-Nya agar mereka dapat menjauhinya. Dengan demikian, tidak ada lagi 'udzur dan alasan untuk
mengerjakan larangan tersebut.

223.[25] Istri-istrimu adalah ladang bagimu[26], maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja yang
kamu sukai[27]. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu[28]. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira[29] orang-orang
yang beriman.

[25] Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ia berkata, "Orang-orang Yahudi mengatakan,
bahwa jika seseorang menjima'i istrinya dari belakang, maka anaknya akan lahir dalam keadaan
matanya juling, maka turunlah ayat, "Nisaa'ukum hartsul lakum fa'tuu hartsakum annaa syi'tum."

[26] Yakni tempat kamu menaruh benih agar dapat membuahkan anak dengan kehendak Allah.

[27] Dengan tetap di qubul bagaimana pun caranya. Dalam ayat ini terdapat dalil haramnya menjima'i
istri di dubur, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak membolehkan mendatangi wanita kecuali di
tempat yang bisa membuahkan anak.

[28] Yakni siapkanlah untuk dirimu amal shalih, termasuk di dalamnya adalah menjima'i istri dengan niat
ibadah dan memperoleh pahala dan dengan berharap memperoleh keturunan yang bermanfaat.

[29] Tidak disebutkan apa kabar gembiranya untuk menunjukkan keumuman, yakni kaum mukmin
berhak mendapatkan kabar gembira di dunia dan di akhirat. Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk
memberikan kabar gembira kepada kaum mukmin, dan bahwa Allah mencintai orang-orang yang
mukmin dan mencintai hal yang menggembirakan mereka. Di ayat ini terdapat anjuran memberikan
semangat kepada kaum mukmin dengan balasan yang akan diberikan Allah kepada mereka baik di dunia
maupun akhirat.

15. [1]Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa
mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan[2], sehingga apabila dia (anak itu) telah
dewasa[3] dan umurnya mencapai empat puluh tahun, ia berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk
agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku[4] dan kepada kedua
orang tuaku[5] dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; [6]dan berilah aku kebaikan
yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau[7], dan
sungguh, aku termasuk orang muslim.”

[1] Ini termasuk kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya dan syukur-Nya
kepada mereka; Dia memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua mereka baik
dengan berkata yang lembut dan halus, memberi nafkah dan perbuatan lainnya yang termasuk ihsan.
Selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan sebab yang mengharuskan demikian, yaitu
karena ibunya mengandungnya dengan merasakan penderitaan saat mengandung, lalu penderitaan saat
melahirkan dan penderitaan saat menyusui dan mengasuhnya, dan waktunya tidak sebentar; tidak satu
jam atau dua jam; bahkan dalam waktu yang cukup lama, yaitu 30 bulan; untuk hamilnya sembilan bulan
dan sisanya untuk menyusui, ini menurut rata-rata.

[2] Ulama berdalil dengan ayat ini, bahwa masa kehamilan paling sedikit adalah enam bulan, karena
masa menyusui selama dua tahun, sehingga 30 bulan dikurang 24 bulan sama dengan 6 bulan.

[3] Yakni telah sempurna kekuatannya, akalnya, dan pandangannya, dimana paling sedikitnya adalah 30
atau 33 tahun.

[4] Baik nikmat agama maupun nikmat dunia. Mensyukurinya adalah dengan menggunakan nikmat-
nikmat itu untuk menaati pemberi nikmat, mengakuinya dan merasa dirinya kurang bersyukur serta
bersungguh-sungguh dalam memuji Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

[5] Nikmat yang Allah berikan kepada orang tua kita merupakan nikmat bagi kita. Di antara sekian
nikmat yang Allah limpahkan kepada orang tua kita yang paling besarnya adalah nikmat beragama Islam
dan mengamalkannya sehingga kita dapat mengikutinya.

[6] Setelah ia berdoa kepada Allah untuk kebaikan dirinya, maka dia berdoa kepada Allah untuk
kebaikan anak cucunya, yaitu agar Allah memperbaiki keadaan mereka, dan bahwa kesalihan mereka
manfaatnya kembali juga kepada kedua orang tua mereka.

[7] Dari dosa dan maksiat serta kembali menaati-Mu.

14. [8]Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. [9]Ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah[10], dan menyapihnya dalam usia
dua tahun[11]. Bersyukurlah kepada-Ku[12] dan kepada kedua orang tuamu[13]. Hanya kepada Aku
kembalimu[14].
[8] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk memenuhi hak-Nya, yaitu dengan
mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirk, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk
memenuhi hak kedua orang tua, yaitu dengan berbakti kepada keduanya.

[9] Selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan sebab yang mengharuskan berbakti kepada
kedua orang tua, terutama ibu.

[10] Ibu merasakan berbagai derita. Sejak calon bakal anak sebagai mani, si ibu merasakan ngidam dan
kurang nafsu makan, merasakan sakit, lemah, dan semakin bertambah lemah ketika janin semakin
membesar, kelemahan pun bertambah ketika hendak melahirkan dan ketika melahirkan.

[11] Maksudnya, waktu menyapih yang paling lambat ialah setelah anak berumur dua tahun.

[12] Yaitu dengan beribadah kepada-Nya dan memenuhi hak-hak-Nya, serta tidak menggunakan nikmat-
nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya.

[13] Yaitu dengan berbuat ihsan kepada keduanya baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Misalnya adalah mengucapkan kata-kata yang lembut dan halus, sedangkan dengan perbuatan adalah
dengan merendahkan diri, menghormati, memuliakan, dan memikul bebannya, serta menjauhi sikap
yang menyakitkannya, baik bentuknya ucapan maupun perbuatan.

[14] Yakni kamu wahai manusia akan dikembalikan kepada Tuhan yang memerintahkan dan
membebanimu demikian, Dia akan bertanya kepadamu, “Apakah kamu telah melaksanakannya sehingga
kamu akan diberi pahala, atau kamu malah melalaikannya sehingga kamu memperoleh siksa?”

233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian[1] kepada para ibu
dengan cara ma'ruf[2]. Seorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita karena anaknya[3] dan jangan pula seorang ayah menderita karena anaknya[4]. Ahli waris
pun berkewajiban seperti itu pula[5]. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya[6], maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kamu[7] ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.

[1] Yakni upah menyusui.

[2] Yakni dengan cara yang dianggap baik oleh syara' maupun 'uruf. Ada pula yang mengartikan "sesuai
kesanggupannya".

[3] Misalnya ibu dipaksa menyusukan anaknya tanpa diberi nafkah dan pakaian atau upah.

[4] Misalnya dibebani melebihi kesanggupannya.

[5] Jika bapak meninggal, maka ahli waris berkewajiban seperti bapak sebelum wafatnya, yaitu memberi
makan dan pakaian.
[6] Yakni apakah menyapih terdapat maslahat bagi anak atau tidak.

[7] Yakni jika bapak mencari wanita lain yang akan menyusukan anaknya.

Вам также может понравиться