Вы находитесь на странице: 1из 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi merupakan tekanan darah sistolik sama dengan atau di atas
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik sama dengan atau di atas 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam
keadaan cukup istirahat/tenang (Kemenkes RI, 2014). Hipertensi yang tidak
diobati biasanya dapat dikaitkan dengan kenaikan tekanan darah yang sangat
progresif. Kerusakan pembuluh darah dan ginjal dapat menyebabkan status
pengobatan yang menjadi resisten. Resiko yang terkait adalah terjadinya
peningkatan tekanan darah secara terus menerus, dengan terjadinya
peningkatan 2 mmHg tekanan darah sistolik akan berhubungan dengan 7%
peningkatan resiko kematian akibat penyakit jantung iskemik dan 10%
peningkatan resiko kematian akibat stroke (NICE, 2011). Sampai saat ini,
hipertensi masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Karena, merupakan
kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer kesehatan.
Hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang cukup
tinggi, sebesar 25,8%,sesuai dengan data Riskesdas 2013. Di samping itu,
pengontrolan hipertensi yang belum adekuat meskipun diberikan obat-obatan
yang efektif banyak tersedia (Kemenkes RI, 2014).

2.1.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan,yaitu:
hipertensi esensial atau primer dan hipertensi sekunder atau renal.
1) Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya. Terdapat sekitar 95% kasus pada hipertensi ini. Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
6

hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam


ekskresi Na,peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti pola hidup yang tidak sehat, obesitas,
alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul
pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000).
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus.
Penyebab dari penyakit hipertensi ini secara spesifik diketahui, seperti
penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,hiperal
dosteronisme primer, sindrom cushing, feokromositoma,koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain– lain (Schrier,
2000).

2.1.3 Faktor Resiko


a. Faktor resiko yang tidak dapat diubah seperti umur, jenis kelamin, serta
keturunan.
1) Umur
Umur dapat mempengaruhi terjadinya penyakit hipertensi baik yang
primer maupun sekunder. Dengan bertambahnya umur, resiko
hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi di kalangan usia
lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan resiko kematian di atas
umur 65 tahun. Pada pasien geriatri, hipertensi yang ditemukan hanya
berupa kenaikan tekanan darah sistolik (Depkes, 2006).
2) Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami terjadinya hipertensi dari pada wanita.
Hipertensi berdasarkan jenis kelamin dapat dipengaruhi faktor
psikologis. Pada wanita seringkali dipicu oleh perilaku yang tidak
sehat seperti merokok, kelebihan berat badan, depresi, dan rendahnya
status pekerjaan sedangkan pada pria berhubungan dengan pekerjaan
dan pengangguran (Zuraidah et al.2012).
7

3) Keturunan (Genetik)
Keturunan juga dapat menyebabkan hipertensi, apabila terdapat
riwayat hipertensi pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi
essensial akan sangat besar menurun kepada anaknya. Kemudian jika
adanya kembar monozigot (satu sel telur) salah satunya adalah pasien
hipertensi. Faktor genetik timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot daripada heterozigot (berbeda sel telur) (Zuraidah et al,
2012).

b. Faktor resiko yang dapat diubah seperti obesitas, psikososial, stress,


merokok, konsumsi alkohol dan kafein serta konsumsi garam berlebihan.
1) Kegemukan (obesitas)
Resiko menderita hipertensi pada orang obesitas lima kali lebih tinggi
dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal, sedangkan
pada pasien hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat
badan yang berlebihan (Depkes, 2006).
2) Psikososial dan Stres
Stress atau ketegangan jiwa merangsang kelenjar adrenal untuk
melepaskan hormon adrenalin dan memicu jantung berdenyut lebih
cepat dan kuat, sehingga meningkatkan tekanan darah. Jika ini
berlangsung terus menerus maka tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organ atau perubahan patologis
pada tubuh (Depkes, 2006).
3) Merokok
Zat-zat kimia beracun yang ada didalam rokok seperti nikotin dan
karbon monoksida akan masuk ke dalam aliran darah sehingga dapat
menyebabkan rusaknya suatu lapisan endotel pembuluh darah arteri
serta dapat menyebabkan proses arteriosklerosis dan tekanan darah
dapat menjadi tinggi (Anggraini et al. 2008).
8

4) Konsumsi alkohol dan kafein


Konsumsi alkohol dan kafein yang terdapat dalam minuman kopi, teh,
soda secara berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya
hipertensi pada seseorang. Alkohol dapat meningkatkan aktivitas saraf
simpatis karena merangsang pengeluaran sekresi corticotrophin
releasing hormone (CRH) yang akan meningkatan tekanan darah.
Sedangkan kafein dapat mengakibatkan stimulasi jantung yang
bekerja lebih cepat sehingga akan mengalirkan lebih banyak cairan
pada setiap detiknya (Anggraini et al, 2008).
5) Konsumsi Garam Berlebihan
Garam yang berlebih dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
berada dalam tubuh karena dapat menarik cairan dari luar sel agar
tidak dapat dikeluarkan, sehingga terjadi peningkatan volume dan
menyebabkan tekanan darah menjadi tinggi (Irza, 2009).

2.1.4 Klasifikasi
Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi menjadi empat klasifikasi yakni
normal, pre-hipertensi, hipertensi stage satu, dan hipertensi stage dua (Tabel
1). Klasifikasi JNC 7 ini berdasarkan pada nilai rata-rata dari dua atau lebih
pengukuran tekanan darah yang pemeriksaannya dilakukan pada posisi duduk
dalam setiap kunjungan berobat (JNC 7, 2003).

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi (JNC 7, 2003)


Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistol Tekanan
(mmHg) Darah Diastol
(mmHg)

Normal <120 dan <80


Pre-Hipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi Stage 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Stage 2 ≥160 Atau ≥100


9

2.1.5 Patofisiologi
Terdapat faktor yang dapat menyebabkan konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah berhubungan dengan hipertensi. Jika seseorang mengalami
emosi yang cukup hebat, maka terjadi respon pada korteks adrenal untuk
mengekskresi epinefrin sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu,
korteks adrenal juga dapat mengekskresikan kortisol dan steroid lainnya yang
akan bersifat memperkuat dari respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan akan
mengakibatkan pelepasan renin. Renin dapat merangsang pembentukan
angiotensin I yang nantinya dapat diubah oleh enzim Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yaitu sebuah vasokonstriktor kuat yang
pada gilirannya dapat merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.
Hormon ini mengakibatkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal yang
akan menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut
cenderung sebagai pencetus terjadinya hipertensi (Tjay & Rahardja, 2002).

2.1.6 Diagnosis
Langkah awal diagnosis pasien hipertensi dengan melakukan
anamnesis. Anamnesis bertujuan untuk menilai pola hidup keseharian pasien,
mencari faktor resiko, mencari penyebab terjadinya kenaikan tekanan darah
dan menentukan adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler.
Anamnesis meliputi:
a. Lamanya pasien menderita hipertensi dan derajat tekanan darah pada
pasien.
b. Indikasi hipertensi sekunder seperti memiliki keluarga dengan riwayat
penyakit ginjal, memiliki penyakit ginjal, pemakaian obat analgetik dan
obat-obat lain.
c. Faktor resiko yaitu riwayat hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes
melitus pada keluarga, merokok, pola makan, kegemukan dan gaya hidup
pasien.
d. Pengobatan antihipertensi yang pernah di konsumsi.
10

e. Faktor pribadi dan lingkungan (Yogiantoro, 2009).


Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan selain tekanan darah,
juga dapat mengevaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ
target serta adanya kemungkinan hipertensi sekunder yang terjadi.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara pengukuran
sphygnomanometer. Pengukuran dilakukan selama dua kali, dengan
sela antara 1 sampai 5 menit, pengukuran tambahan bisa dilakukan
jika hasil kedua pengukuran sebelumnya sangat berbeda jauh
(Yogiantoro, 2009).
Pada pasien hipertensi, terdapat beberapa pemeriksaan dalam
menentukan adanya kerusakan organ target untuk itu dilakukan
pemeriksaan secara rutin, sedangkan dalam pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila terdapat kecurigaan yang didukung oleh keluhan
dan gejala pasien yang timbul. Pemeriksaan untuk kerusakan organ
target dapat meliputi:
a. Jantung, seperti pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti
foto polos dada (untuk melihat ada atau tidaknya pembesaran
jantung, kondisi pada anteri intratoraks, dan sirkulasi pulmoner),
elektrokardiografi, dan ekokardiografi.
b. Pembuluh darah, seperti pemeriksaan fisik termasuk dengan
perhitungan pulse pressure , ultrasonografi (USG) karotis, dan
fungsi endotel tetapi masih dalam penelitian.
c. Otak, seperti pemeriksaan neurologis, CT scan untuk pasien yang
merasakan keluhan gangguan neuron, kehilangan memori ingatan
atau gangguan kognitif.
d. Mata, seperti pemeriksaan mata dengan funduskopi.
e. Fungsi ginjal, seperti pemeriksaan fungsi ginjal, penentuan adanya
proteinuria dan rasio albumin keatinin rutin (Yogiantoro, 2009).
11

2.2.7. Komplikasi
Heart Foundation dalam Guide to Management of
Hypertension menjelaskan pada tabel 2 terkait kondisi klinis yang
dapat disebabkan oleh hipertensi yaitu diabetes, penyakit
kardiovaskuler, jantung koroner, gagal jantung kronis, penyakit ginjal
kronis, penyakit aorta serta penyakit arteri perifer.

Tabel 2. Komplikasi Hipertensi Terkait Kondisi Klinis (Heart


Foundation ,2010).

Komplikasi Kriteria / Jenis


Diabetes  Dewasa dengan diabetes berusia> 60 tahun
 Dewasa dengan diabetes dan mikroalbuminuria (>
20 µg/menit atau albumin dalam urin: kreatinin rasio
> 2,5 mg/mmol (laki-laki), > 3,5 mg / mmol
(perempuan))
Penyakit serebrovaskular  Stroke iskemik
 Cerebral haemorrhage
 Transient ischaemic attack
Penyakit jantung koroner  Infark miokard
 Angina
 Coronary revascularization
Gagal jantung kronis
Penyakit ginjal kronis  Nefropati diabetic
 Glomerulonefritis
 Penyakit ginjal hipertensi
Penyakit aorta  Dissecting aneurysm
 Fusiform aortic aneurysm
Penyakit arteri perifer (diagnosis klinis atau ABI <0,9)
Hiperkolesterolemia Serum kolesterol total> 7,5 mmol / L
Riwayat keluarga: Penyakit kardiovaskular premature
Diagnosis sebelumnya Familial hypercholesterolaemia

Heart Foundation dalam Guide to Management of Hypertension


juga menjelaskan (tabel 3) penyakit akhir organ yang dapat disebabkan oleh
hipertensi yaitu hipertrofi ventrikel kiri, mikroalbuminuria, penyakit ginjal
kronik, dan penyakit pembuluh darah.
12

Tabel 3. Komplikasi Hipertensi pada Penyakit Organ Akhir (Heart


Foundation,2010)

Komplikasi Kriteria diagnosis


Hipertrofi ventrikel kiri (Didiagnosis dengan elektrokardiogram, ekokardiogram)
Mikroalbuminuria Ditetapkan dengan keadaan berikut:
 Albumin: rasio kreatinin ≥ 2.0 mg/mmol (laki-laki) atau
≥2,5 mg/mmol (perempuan) pada tes skrining sampel
urin
 Laju ekskresi albumin dalam urin 24 jam ≥20 mg /
menit
Penyakit ginjal kronik Mencakup salah satu kriteria berikut :
 Proteinuria dengan rasio protein/ kreatinin ≥30 mg /
mmol pada tes sampel urin atau protein urin>300
mg/hari pada sampel urin sewaktu
 Laju filtrasi glomerulus (eGFR) <60 mL/menit / 1.73m
Penyakit pembuluh darah  Plak aterosklerotik terlihat pada USG atau radiologi
 Hipertensif retinopati (grade II atau lebih besar)

2.1.8 Tatalaksana

2.1.8.1 Tatalaksana Non-Farmakologis

Tatalaksana nonfarmakologis merupakan penanganan awal


sebelum pemberian obat-obatan hipertensi, disamping itu perlu
diperhatikan pasien yang sedang dalam terapi obat antihipertensi.
Pasien hipertensi yang terkontrol, dapat dilakukan pendekatan
nonfarmakologis dengan membantu pengurangan dosis obat pada
sebagian pasien. Oleh sebab itu, dengan memodifikasi gaya hidup
merupakan hal penting diperhatikan, karena berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi. Pendekatan nonfarmakologis
dibagi menjadi beberapa hal:

a. Mengurangi faktor risiko penyebab aterosklerosis.


Berhenti merokok merupakan hal penting untuk mengurangi efek
jangka panjang hipertensi karena asap rokok, karena diketahui
dapat menyebabkan aliran darah menurun ke berbagai organ dan
dapat meningkatkan beban kerja jantung berlebihan. Selain itu,
13

mengurangi makanan berlemak dapat menyebabkan risiko


aterosklerosis menurun. Pasien hipertensi sangat disarankan untuk
berhenti merokok dan mengurangi minuman beralkohol.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa
pengurangan sekitar 10 kg berat badan langsung berhubungan
dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat
badan (Basuki, 2001).
b. Olah raga dan aktivitas fisik
Olahraga yang rutin dapat menurunkan tekanan perifer sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga yang ringan dapat
juga mengurangi berat badan sehingga menurunkan tekanan
darah. Yang perlu diperhatikan bahwa olahraga saja tidak dapat
digunakan sebagai pengobatan hipertensi. Melakukan aktivitas
secara rutin seperti aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari
diketahui berpengaruh dalam mengurangi risiko terjadinya
hipertensi hingga mencapai 19% hingga 30%. Begitu juga
dengan olah raga kardio respirasi rendah pada usia paruh baya
diduga dapat menurunkan risiko terjadinya hipertensi sebesar
50% (Kaplan, 2005).
c. Perubahan pola makan
Mengurangi konsumsi garam, diet rendah lemak jenuh, serta
dengan memperbanyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan sangat berpengaruh dalam penurunan tekanan darah
(Kaplan, 2005).

2.1.8.2 Tatalaksana Farmakologis


The Seventh Report of the Joint National Committee (JNC 7)
memberikan pengobatan yang tertuang dalam algoritma pada
tatalaksana hipertensi, seperti pada (gambar 1).
14

Modifikasi Gaya Hidup

Tidak Tercapai Tekanan Darah Target (<130/80


mmHg) (<120/80 mmHg Untuk Pasien dengan
Diabetes dan Gagal Ginjal Kronik

Pilihan Obat Awal

Tanpa Faktor Resiko Dengan Faktor Resiko

Hipertensi Grade 1 Hipertensi Grade 2 Obat-obat untuk


 TDS >130-139  TDS ≥140 mmHg pasien dengan
mmHg  TDD ≥90 mmHg Faktor Resiko
 TDD >80-89  Dua obat
mmHg kombinasi untuk Obat-obat anti
 Diuretik jenis semua pasien hipertensi lainnya
Tiazide untuk (biasanya (Diuretik, ACEI,
semua pasien. Diuretik jenis ARB, BB, dan CCB)
 Bisa Tiazid dan ACEI yang diperlukan
dipertimbangkan atau ARB atau
dari kelas lain BB atau CCB)
ACEI, ARB, BB,
dan CCB

Sasaran Tekanan Darah Tidak Tercapai

Optimalkan dosis atau tambahkan obat-obatan sampai tekanan


darah tercapai. Pertimbangkan konsultasi dengan Dokter spesialis

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Hipertensi


(Sumber: The Seventh Report of the Joint National Committee tahun 2003)
15

The Seventh Report of the Joint National Committee (JNC 7)


memberikan sebuah penjelasan tentang jenis-jenis obat antihipertensi
yang terdiri dari diuretik tiazid, loop diuretik, diuretik hemat kalium,
aldosteron reseptor blocker, beta blocker, angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACEI), calcium channel blocker, dan alpha blocker.
Terdapat pemaparan nama obat serta dosis dan frekuensi penggunaan
dari masing-masing jenis-jenis obat anti hipertensi. Untuk mencapai
terapi farmakologis, berikut ini adalah golongan obat dan nama obat
berserta dosisnya yang terdapat pada (tabel 4).

Tabel 4.Daftar golongan obat, nama, dosis dan frekuensi (Farmakope


1995, JNC 7 ,2003)
Golongan Nama Obat Dosis Lazim Freekuensi/Hari
mg/hari
DIURETIK
HCTZ 12,5-50 1
Klortaridon 12,5-25 1-2
Indapamida 1,25-2,5 1
Triamterene 50-100 1-2
Spironolakton 25-50 1
Amilorida 5-10 1-2
Furosemida 20-80 2
BETA-BLOCKER
Asebutolol 200-800 2
Atenolol 25-100 1
Bisoprolol 2,5-10 1
Karvedilol 12,5-50 2
Labetolol 100-200 2
Metoprolol 50-100 1-2
Nadolol 40-120 1
Pindolol 10-30 1
Propranolol 40-160 2
Timolol 20-40 2
CA CHANNEL
BLOCKER
Diltiazem 60-120 1-3
Verapamil 80 3-4
Amlodipin 2,5-10 1
Felodipin 2,5-20 1
Nikardipin 40-60 2
Nifedipin 30-60 1
Nimodipin 60 3
Nisoldipin 5-20 2
Lercanidipin 15-20 1
16

Nitrendipin 5-20 2
Cilazapril 1,25-5 1
ACE BLOCKER
Benazepril 10-40 1
Enalapril 5-40 1
Fusinopril 10-40 1
Kaptopril 25-50 1-2
Kuinapril 10-80 1
Lisinopril 10-40 1
Perindopril 4-8 1
Ramipril 2,5-10 1
AT II ANTAGONIS
Eprosartan 400-800 1-2
Irbesartan 150-300 1
Kandesartan 4-16 1
Losartan 50-100 1
Olmesartan 20-40 1
Telmisartan 40-80 1
Valsartan 80-160 1
AGONIS α2-
ADRENERG
Guanfasin 0,5-2 1
Klonidin 0,075 3
Metildopa 250-1000 2

Reserpin 0,1-0,25 1

VASODILATOR

Hidralazin 25-50 2
Dihidralazin 12,5-25 2-3

Minoksidil 5-25 1-2

a. Diuretik Tiazid
Obat ini dapat bekerja dengan meningkatkan ekskresi
natrium oleh ginjal dan memiliki beberapa efek vasodilator. Efek
samping utama obat ini yaitu hypokalemia, hiperglikemia, dan
hiperurisemia. Efek samping ini dapat dikurangi dengan
menggunakan dosis rendah (misalnya 12,5 mg atau 25 mg
hydrochlorothiazide atau chlorthalidone) atau dengan
menggabungkan diuretik ini dengan ACEI atau ARB yang telah
terbukti dapat mengurangi perubahan metabolic. Menggabungkan
17

diuretik dengan agen hemat kalium juga membantu mencegah


hipokalemia (Weber et al., 2011).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat diuretik tiazid yang
beredar di pasaran yang tercantum dalam tabel 6.

Tabel 5. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat Diuretik Tiazid


yang Beredar di Pasaran (UBM Medica Asia, 2014)
Jenis Obat Sediaan Dosis Sediaan
Klortalidone Tablet 50 mg,
Hidroklorotiazid Tablet 12,5 mg, 25 mg, 50 mg
Indapamide Tablet 1,5 mg

b. Diuretik Loop
Diuretik ini secara selektif dapat menghambat reabsorpsi
NaCl di Cabang Ascenden Tebal (CAT) karena segmen ini
memiliki kapasitas absorpsi NaCl yang besar dan efek diuretiknya
tidak dibatasi asidosis, Jenis obat yang termasuk dalam kelompok
ini adalah furosemide, asam etakrinat, bumetanid dan torsemid.
Diuretik loop cepat diabsorpsi dan dieleminasi oleh ginjal melalui
filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Diuretik loop menghambat
NKCC2 yakni transporter Na+/K+/2Cl-di lumen dalam cabang
asenden tebal ansa Henle. Dengan menghambat transporter ini,
diuretik loop menurunkan reabsorpsi NaCl dan juga mengurangi
potensial positif di lumen akibat siklus kembali K+.Penggunaan
yang berkepanjangan dapat menyebabkan hipomagnesium yang
signifikan pada beberapa pasien. Namun pada gangguan yang
menyebabkan hiperkalsemia, ekskresi Ca2+ dapat ditingkatkan
dengan pemberian kombinasi diuretik loop dan infus (Katzung,
2013).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat diuretik loop yang
beredar di pasaran yang tercantum dalam tabel 6.
18

Tabel 6. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat Diuretik Loop yang
Beredar di Pasaran (UBM Medica Asia, 2014)
Jenis Obat Sediaan Dosis Sediaan
Furosemide Tablet 40 mg
Injeksi 10 mg/ ml ampul @ 2 ml
20 mg/ ml ampul @ 2 ml

c. Diuretik Hemat Kalium


Diuretik ini mencegah sekresi K+ dengan melawan efek
aldosteron pada tubulus colligens renalis kortikal dan bagian distal
akhir.Inhibisi dapat terjadi melalui antagonisme farmakologi
langsung pada reseptor mineralokortikoid (spironolakton dan
eplerenon) atau inhibisi influk Na+ melalui kanal ion di membran
lumen (amilorid, trimteren).Pasien insufiensi ginjal kronik sangat
rentan terkena dan tidak boleh sering diterapi menggunakan
diuretik ini. Penggunaan kombinasi dengan diuretik lain yang
melemahkan sistem renin-angiotensin (penyekat β atau
penghambat ACE) meningkatkan kemungkinan hiperkalemia.
Pasien penyakit hati dapat memiliki metabolism triamteren dan
spironolakton yang terganggu sehingga dosis yang diberikan harus
disesuaikan dengan hati-hati (Katzung, 2013).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat diuretik hemat kalium
yang beredar di pasaran yang tercantum dalam tabel 7.

Tabel 7. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat Diuretik Hemat


Kalium yang Beredar di Pasaran (UBM Medica Asia,
2014).
Jenis Obat Sediaan Dosis Sediaan
Amiloride Tablet 50 mg
Spironolakton Tablet 25 mg, 100 mg
19

d. Βeta-Blocker
Obat ini berkerja menghambat system syaraf simpatetik menuju
organ jantung.Direkomendasikan sebagai agen antihipertensi lini pertama
β Blocker ini juga digunakan dalam terapi hipertensi karena menurunkan
frekuensi denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan enzim renin dari
ginjal. Semuanya melibatkan penghambatan pada reseptor β1 adrenegik.
Selain itu, obat ini juga digunakan pada terapi angina pektoris, disritmia
jantung, infark miokardial, dan migrain yang pada umumnya sering
dikombinasikan dengan penggunaan diuretik. Efek samping yang
terkadang terjadi pada penggunaan obat ini adalah takikardia,
memperburuk asma dan diabetes, efek gangguan sistem saraf pusat
(kemalasan, depresi mental, insomnia, mimpi buruk), dan efek sistem
gastrointestinal (diare, sembelit, mual, dan muntah). (Bonini, 2011).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat β Blocker yang beredar di
pasaran yang tercantum dalam tabel 9.

Tabel 8. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat β Blocker yang Beredar
di Pasaran (UBM Medica Asia, 2014)
Jenis obat Sediaan Dosis Sediaan
Propanolol HCl Tablet 10 mg, 40 mg
Atenolol Tablet 50 mg, 100 mg
Bisoprolol Tablet 5 mg

e. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)


Angiotensin-converting enzyme (ACE) merupakan enzim
penting dalam sistem renin-angiotensin. Enzim ini mengubah angiotensin
I menjadi angiotensin II pada permukaan sel endotelium. Penghambatan
pada enzim ini menghasilkan vasodilatasi yang akan menurunkan
resistensi vaskuler sehingga menurunkan tekanan darah dan menurunkan
sekresi aldosteron. Kejadian tersebut akan menurunkan volume darah
sehingga menurunkan beban akhir jantung (afterload). Secara klinik,
20

ACEI digunakan dalam penanganan hipertensi, gagal jantung, infark


miokardial pasien dengan resiko iskemia jantung, diabetes nefropati, dan
gangguan ginjal progresif. Obat ini tidak mempengaruhi kadar glukosa
darah sehingga tepat bila digunakan pada pasien diabetes yang
mengalami hipertensi. Efek samping obat ini adalah sakit kepala, nyeri
lambung, kebingungan, impotensi (Nugroho, 2011).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat ACEI yang beredar di
pasaran yang tercantum dalam tabel 9.

Tabel 9. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat ACEI yang Beredar di
Pasaran (UBM Medica Asia, 2014)
Jenis obat Sediaan Dosis Sediaan
Kaptopril Tablet 12.5 mg, 25 mg, 50 mg
Lisinopril Tablet 5 mg, 10 mg
Ramipril Tablet 1,25 mg. 2,5 mg, 5 mg, 10 mg
Imidapril Tablet 5 mg, 10 mg
Periondopril Arginine Tablet 5 mg

f. Antagonis Reseptor Angiotensin II


Obat ini beraksi menghambat reseptor angiotensin II.Secara teori,
obat ini lebih menguntungkan dibandingkan ACEI karena tidak
menghasilkan efek samping batuk kering. Disamping itu, pembentukan
angiotensin II sebenarnya tidak hanya tergantung oleh ACE, namun juga
bisa karena kimase yang tidak dihambat oleh ACEI (Weberet al., 2011).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat Antagonis Reseptor
Angiotensin II yang beredar di pasaran yang tercantum dalam tabel 10.

Tabel 10. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat Antagonis Reseptor
Angiotensin II yang Beredar di Pasaran (UBM Medica Asia,
2014)
Jenis obat Sediaan Dosis Sediaan
Valsartan Tablet 80 mg, 160 mg
Irbesartan Tablet 150 mg, 300 mg
Telmisartan Tablet 80 mg
Candesartan Cilexetil Tablet 8 mg, 16 mg
21

g. Calcium Channel Blocker (CCB)


Obat ini menghambat influks ion kalsium pada kanal ion
kalsium (voltage-gated calcium channels) di pembuluh darah dan otot
jantung. Ada dua jenis utama dari CCB yaitu dihidropiridin
(amlodipine dan nifedipine) dan nondihydropyridines (diltiazem dan
verapamil). Efek samping utama pada CCB adalah edema perifer yang
terlihat menonjol pada dosis tinggi. Calcium channel blocker (CCB)
memiliki efek penurunan tekanan darah yang kuat, terutama bila
dikombinasikan dengan angiotensin-converting enzyme inhibitor
(ACEI) atau angiotensin receptor blockers (ARB) (Weberet al., 2011).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat CCB yang beredar di
pasaran yang tercantum dalam tabel 11.

Tabel 11. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat CCB yang Beredar di
Pasaran (UBM Medica Asia, 2014)
Jenis obat Sediaan Dosis Sediaan
Nifedipine Tablet 10 mg, 20 mg, 30 mg
Amlodipine bersilat Tablet 5 mg
Amlodipine maleat Tablet 5 mg, 10 mg
Verapamil Tablet 80 mg
Diltiazem Kapsul 100 mg, 200 mg
Injeksi 25 mg / 5ml, vial @ 5ml
50 mg, ampul @ 5 ml
Nikardipin Injeksi 10 mg / 10 ml, ampul @ 5 ml
Hidroklorida
Nimodipine Tablet 30 mg
Infus 10 mg / 50 ml, botol @ 5 ml

h. α-Blockers
Obat ini bekerja dengan memblok reseptorα adrenegik.
Persyarafan simpatetik pada pembuluh darah melibatkan reseptor α-1
adrenergik. Aktivasi pada reseptor ini mengakibatkan vasokontriksi
sehingga meningkatkan resistensi perifer yang selanjutnya akan
meningkatkan tekanan darah baik vena maupun arteri. Obat α1-blocker
22

atau antagonis reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi.Contoh obat yang


selektif menghambat reseptor α-1 adalah prasozin sedangkan fentolamin
dan fenoksibenzamin merupakan obat non-selektif α-blocker .Carvedilol
dan labetalol (α dan β blocker) merupakan obat vasodilator yang aksinya
tidak selektif pada reseptor α dan β adrenergik.Obat α-blocker digunakan
dalam terapi hipertensi, penyakit Raynaud dan skleroderma (Nugroho,
2011).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat α-Blockers yang beredar di
pasaran yang tercantum dalam tabel 12.

Tabel 12. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat α-Blockers yang
Beredar di Pasaran (UBM Medica Asia, 2014)
Jenis Obat Sediaan Dosis Sediaan
Doxazosin Tablet 1 mg
Terazosin Tablet 1 mg

i. Central Blocker
Obat ini bekerja dengan menurunkan penghantaran syaraf
simpatetik sehingga menghasilkan penurunan tekanan darah.Contoh obat
adalah klonidin, metildopa, dan guanabenz. Klonidin merupakan agonis
reseptor α2 adrenergik yang berfungsi (menghambat pelepasan
norefinefrin).Metildopa ketika dalam tubuh diambil oleh syaraf
simpatetik, lalu diubah menjadi substrat palsu α-metilnorefinefrin yang
tidak dapat dimetabolisme oleh Monoamine oxidase (MAO).
Akumulasi substrat norefinefrin palsu tersebut menyebabkan pengeluaran
norafinefrin dalam vesikel penyimpanan dan norefinefrin kemudian dapat
didegradasi oleh MAO (reaksi deaminase) (Nugroho, 2011).
Adapun jenis, dosis dan sediaan obat Central Blocker yang
beredar di pasaran yang tercantum dalam tabel 13.
23

Tabel 13. Jenis, Sediaan dan Dosis Sediaan Obat Central Bloker yang
Beredar di Pasaran (UBM Medica Asia, 2014)
Jenis Obat Sediaan Dosis Sediaan
Clonidine Tablet 0,075 mg, 0,15 mg,
Injeksi Ampul 0,15 mg/ml
Metildopa Tablet 250 mg
Reserpine Tablet 0,1 mg, 0,25 mg

2.2 Dosis
2.2.1 Definisi
Dosis adalah jumlah takaran obat yang diberikan kepada
pasien dalam satuan berat, isi (volume) atau unit. Dosis obat
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi efek
farmakologi dari obat tersebut (Jas, 2009).

2.2.2 Macam-Macam Dosis


a. Dosis minimal: dosis obat yang paling kecil diberikan kepada
pasien yang masih memberikan efek terapeutik.
b. Dosis maksimal: dosis obat yang tertinggi yang dapat diberikan
tanpa adanya efek toksik.
c. Dosis permulaan: dosis obat yang diberikan pada pasien permulaan
digunakan untuk mencapai kadar tertentu didalam darah.
d. Dosis pemeliharaan: dosis obat yang menjaga tidak kambuh
kembali.
e. Dosis terapeutik (dosis lazim, dosis medicinalis): dosis obat yang
optimal atau yang paling baik digunakan perhari.
f. Dosis toksik: dosis obat yang melibihi dari dosis maksimal.
g. Dosis letalis: dosis obat yang dapat menimbulkan kematian.
h. Dosis ganda: pemberiaan dosis obat tunggal yang berulang
mengakibatkan suatu akumulasi obat didalam tubuh, supaya MEC
(minimal effect concentration) tercapai(Jas, 2009).
24

2.3 Kerangka Teori


Untuk menjelaskan tinjuan pustaka sebagai dasar pengembangan
kerangka konsep dalam penelitian, maka dibuatlah kerangka teori yang
dijelaskan pada (gambar 2).

Hipertensi Stage 1

Gaya Hidup Sehat

Obat Tunggal

- Obat tidak
Tidak Tercapai Potensial terjadi
sesuai
Tekanan Darah Ketidak sesuaian
- Pilihan obat
Target obat
tidak sesuai

Diberikan Obat
yang Optimal Penurunan Tekanan
sesuai JNC 7 Darah
(Amlodipin : 2,5-
10mg atau
Kaptopril 25-50mg)

Gambar 2. Diagram Kerangka Teori


(Farmakope 1995, Kaplan 2005,JNC 7, 2003)
25

2.4 Kerangka Konsep


Untuk menjelaskan suatu perbedaan antara konsep satu dengan
konsep yang lainnya, atau variabel satu dengan variabel yang lain dari
masalah yang ingin diteliti, maka dibuatlah kerangka konsep yang dapat
dijelaskan pada gambar 3.

VARIABEL VARIABEL
BEBAS TERIKAT

Perbedaan obat Penurunan tekanan


Amlodipin dan darah pasien
Kaptopril

Gambar 3. Diagram Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat perbedaan obat Amlodipin dan Kaptopril dengan
Perubahan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Stage I Rawat Jalan di
Puskesmas Kemiling Bandar Lampung.
H1 : Terdapat perbedaan obat Amlodipin dan Kaptopril dengan Perubahan
Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Stage I Rawat Jalan di Puskesmas
Kemiling Bandar Lampung.

Вам также может понравиться