Вы находитесь на странице: 1из 11

Di Balik Kabut Menyulam Rindu

Date: August 12, 2018Author: lakonhidup 0 Comments

1 Votes

Cerpen Karisna Mega (Pikiran Rakyat, 12 Agustus 2018)


DREAM ilustrasi Nur Istiqomah/Pikiran Rakyat

SAHABAT, ingatkah kamu pada bait kata yang menjadi sejuta makna? Pada
buku yang menjadi saksi bisu? Sesungguhnya, sejak saat itu aku sudah
menaruh rasa percayaku kepadamu. Sejatinya, kamu adalah manusia yang
baik hatinya. Maka di setiap embusan napasku, aku tak lepas bersyukur atas
kehadiranmu.

KAMU mengubah hidupku dengan cara yang tak pernah aku duga. Kamu mengajarkanku
untuk kembali hidup setelah sekian lama aku tak memiliki kehidupan. Kamu meyakinkanku
bahwa meninggalkan masa lalu adalah sebuah keniscayaan. Kamu juga membuktikan
kepadaku, bahwa aku layak atas suatu hari yang akan datang. Suatu hari yang selalu aku
impikan.

Sejak beberapa hari lalu, aku tak bisa lepas dari euforiaku tentang Alprijan. Entah apa yang
pertama kali terlintas di pikiranku sehingga aku terfokus pada namanya, pada kisah saat kami
bersama. Rasanya, persahabatan kami memiliki banyak hal manis untuk dikenang. Aku
pernah teringat kata-kata dari sebuah lagu “impianku sederhana dan hadirmulah yang
menjadikannya sempurna”. Analoginya seperti itu masa SMA yang kujalani. Berbagai
masalah keluarga, sekolah, pelajaran, dan teman menjadikanku sangat tersiksa tiga tahun
lamanya. Aku menyanggah sepenuhnya pada mereka yang mengatakan masa SMA itu indah.
Awalnya aku merasa tidak pernah ada kata indah dalam masa SMA-ku, tapi aku keliru. Masa
SMAku memang sangat menyebalkan, tapi justru kehadiran Alprijan dan persahabatan
kamilah yang menjadikannya lebih indah. Meski tidak sepenuhnya.

Aku masih ingat awal mula kami berjumpa. Dia penuh rahasia, tidak banyak bicara, dan
bergerak di balik bayang-bayang. Dia adalah hal yang semu bagiku. Aku Aurus, aku pribadi
yang teliti dan peduli. Aku seorang ekstrovert yang disukai banyak orang. Aku aktif,
produktif, dan ambisius. Aku sudah tahu orang seperti dirinya, aku punya banyak kenalan
dengan orang tipekal dia, dan kebanyakan dari mereka adalah pribadi yang sangat aku suka.
Tetapi Alprijan berbeda. Dia tidak membuatku menyukainya apalagi hanya penasaran dengan
rahasia-rahasianya, dia membuatku memahami. Memahami banyak hal dalam persahabatan
kami layaknya literasi. Tidak hanya membaca dan mengetahui, tetapi menemukan makna
besar di balik semua itu.

“Aku akan menceritakan sesuatu kepadamu,” katanya di hari pertama kami mulai dekat.

Alprijan memberitahuku sebuah rahasia yang bahkan ia sembunyikan dari hatinya sendiri.
Aku mengerti betapa sebuah luka terkadang terlalu menyakitkan hingga kita tak penah ingin
mengungkitnya lagi. Apalagi luka tersebut menyisakan bekas yang bahkan ketika kita tidak
ingin mengungkitnya, ada sebagian kecil dari hati kita yang selalu mengenangnya. Alprijan
telah mengambil sebuah langkah berani untuk bercerita kepadaku. Meski awalnya kukira
langkah tersebut sangat keliru, tapi waktu kemudian membuktikan sesuatu. Terkadang, hanya
dengan berusaha bukan berarti kita menentukan hasilnya.

Lama kami saling bertukar cerita, aku mulai nyaman dengannya. Aku tidak hanya
mendengarkan, tapi juga membagikan segala hal yang aku rasakan. Aku mulai suka berada
terus di sampingnya dan bercerita tentang segala hal yang bahkan tak perlu diceritakan. Entah
kecanduan apa yang aku alami waktu itu, tapi aku telah berbuat hal yang salah, yang di
kemudian hari begitu kusesali telah melakukannya.

Selama liburan, kami saling mengirim surat. Ia banyak bercerita tentang manispahit masa
liburan yang ia alami. Begitu pun aku. Saat itu keadaanku sedang tidak baik. Takdir
berkonspirasi dengan keadaan untuk menjatuhkanku. Pada masa-masa tersulit itu, hanya ada
Alprijan di sisiku. Dialah yang menjadi tempat hatiku bersandar. Dia menemukan tempat
bersemayam yang indah di hatiku.

Aku hidup dalam sebuah penjara yang keluargaku ciptakan. Sebuah penjara di mana di
dalamnya pudarlah semua angan dan harapan.Tidak pernah ada impian. Tidak pernah ada
kenangan yang menjadi alasan untuk bertahan. Setiap hari aku terbelenggu dengan semua
nestapa yang menghampiriku. Terkadang, aku ingin menjerit. Berkata dengan lantang agar
orangtuaku mendengarnya.

***

KAU terlalu banyak menuntut! Kau lebih banyak merenggut daripada memberi. Aku tahu
hidup hidup memberimu banyak kekecewaan. Hanya saja, kenapa kau melampiaskannya
kepadaku? Apa aku salah bila bermimpi? Apa aku salah bila berharap? Apa aku tidak layak
menadapatkan janji untuk suatu hari yang aku impikan? Aku rindu hidup. Aku merindukan
kehidupan. Katamu aku tak layak bahagia. Katamu hidup ini tak indah. ltu semua katamu! ltu
semua hidupmu! Dan kau yang telah melakukan semua ini kepadaku. Kau yang menciptakan
penjara kehidupan yang amat mengerikan ini untukku. Aku bersumpah! Aku akan
menghancurkan jeruji nista ini. Yang telah mengurungku bertahun-tahun dengan kegelapan
dan kesunyiannya.

LALU Alprijan datang dengan sebuah cahaya di tangannya. Katanya, hidupnya juga sangat
kelam. Tetapi ia masih punya harapan yang bisa digantungkan dan memberinya arah ketika
tersesat. Jadilah kami melangkah bersama dengan satu cahaya untuk satu tujuan. Alprijan
telah memberiku harapan. Dia menjanjikan mimpi untuk hatiku yang sunyi.

Satu tahun berlalu dan hidup mulai berubah. Alprijan memulai kehidupannya dengan lebih
indah. Ia telah melupakan satu tahun masa duka-laranya. Hidupnya kembali bahagia. Ia
bahkan menemukan seorang teman perempuan yang ia suka. Yang siang dan malam tak
pemah lepas dari pikirannya. Hidupku juga berubah. Berubah menjadi lebih buruk.

Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Kini,bukan jarak kami saja yang jauh, tetapi hati
kami juga. Andaikan kabut tak pemah mengukir hidup hingga larut. Andaikan aku tidak
pemah larut dalam luka atas kepercayaanku kepadanya. Dia telah resmi mengkhianati semua
janjinya. Semuanya begitu menyakitkan bagiku. Membuatku berlayar pada kekecewaan yang
mendalam. Membuatku bertarung pada kesakitan hati tak terperi.

Semenjak Alprijan menjauh, aku kembali menyendiri. Menikmati setiap alunan kesedihan
yang diputar di hadapanku. Aku semakin jatuh.Aku menjerit tanpa suara, merintih tanpa
makna. Aku telah salah dengan percaya kepadanya. Berharap mendapatkan cahaya yang ia
janjikan. Aku terlalu berharap bahwa seorang insan dapat membebaskanku dari neraka ini.
Aku mengangankan sesuatu yang terlalu jauh di bawah ambang kenyataan. Aku memang
mendapat perhatiannya, tapi aku tidak menjadi alasan bahagianya.

***

KENAPA? Kenapa hal ini harus terjadi kepadaku? Yang berharap penuh kepadamu
sedangkan aku tahu kamu tidak mewujudkan impianku. Andai kamu mau mengerti.
Bagaimana rasa sakitnya berharap pada orang yang salah. Bagaimana rasa kecewanya
percaya pada orang yang tak tepat.

Alprijan, seandainya kamu tahu soal jeruji itu. Aku tidak pernah ingin tinggal dengan seorang
lelaki berusia 40 yang selalu memukulku setiap hari karena impianku. Yang tak pernah segan
melayangkan tangannya yang kasar ke wajahku. Seorang lelaki yang menjanjikan kehidupan
yang lebih baik ketika usiaku masih lima, Dibawanya aku dari panti asuhan dan diberikannya
aku kepada istrinya yang sakit. Namun kehidupan manis itu baru saja berlangsung dua tahun
ketika hidup merenggut ibu angkatku. Menyisakan puih-puih kekecewaan bersamaku dan dia
yang mulai mencandu minuman keras dan narkoba. Dan gadis yang kamu sukai itu, dia
adalah teman masa kecilku yang dijemput oleh sepasang suami istri yang seharusnya
menjemputku. Malang Bu Panti tidak terlalu suka padaku hingga menitipkan gadis itu kepada
orang yang benar-benar ia percaya dan menitipkanku pada lelaki yang tampangnya seram dan
meragukan itu. Sampai detik ini aku mendengki kepada gadis itu dan menyesali nasib diri
atas kehadiran lelaki kasar itu di hidupku.

lprijan, aku resmi meninggalkanmu saat itu. Aku tidak bisa menahan derai hati untuk tidak
berlayar di perahu yang sama dengan tujuanmu. Maaf soal keegoisan ini. Sebuah gelas yang
pecah akan sulit untuk disusun kembali, seberapa keras pun kita mencoba. Hendaknya di
antara kita tiadalah yang memaksa. Andainya memaksa, kita tak akan bahagia.

Sahabat, apabila sebuah gelas telah pecah. Percayalah, ia sudah kehilangan kepercayaannya.
Tak perlu lagi bicara soal memaafkan.Tentunya selalu ada maaf di antara kita. Tapi soal
kepingannya? Jangan kamu anggap hendak berbahagia. Kepingan itu akan ikhlas, tapi dengan
sebuah pengorbanan yang berat. Pengorbanan soal ketajaman yang akan melukai orang lain.

Saatnya hati yang bicara, siapa yang harusnya kecewa? Sahabat, jikalau ada yang harus
kecewa di antara kita, hendaknya kau tahu itu siapa. ***
Zikir Sunyi Perempuan yang
Merindukan Kakbah
Date: August 12, 2018Author: lakonhidup 0 Comments

1 Votes

Cerpen Yaya Marjan (Media Indonesia, 12 Agustsu 2018)


Zikir Sunyi Perempuan yang Merindukan Kakbah ilustrasi Bayu Wicaksono/Media IndonesiaEnter a
caption

SAYUP-SAYUP terdengar suara terompah dari barat laut. Terbawa angin


dan perlahan mendekat ke tenggara. Merambat pelan, seolah tak mau
mengganggu makhluk yang masih terlelap berselimut mimpi. Suaranya
semakin dekat, berhenti di depan rumah. Tepat di balik pintu, suara
terompah menghilang. Berganti suara derit pintu dari engsel berkarat tak
berminyak. Menyelinap ke gendang telinga, melipir masuk dan menyanyat
ulu hati. Pintu terbuka, Emak masuk rumah.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumussalam…” jawabku.

Sosok perempuan mendekatiku. Wajahnya teduh. Tangan kanannya menenteng terompah.


Rukuh putih yang sudah lusuh masih dikenakannya. Tangan kirinya memegangi bagian
bawah agar tak menyentuh lantai. Sajadah hijau kesayangannya tersampir di pundak kiri. Aku
berdiri menyambutnya. Membawakan terompah lalu mencium tangannya yang sudah mulai
mengurat. Emak masuk kamar, aku menuju dapur.

Emak memandangi gambar kakbah berpigura sebelum masuk kamar, seperti saat itu.
Tergantung di tembok dan ukurannya tak besar, 1 meter x 1,5 meter. Umurnya dua dekade.
Oleh-oleh Bapak ketika pulang haji. Saat aku sedang memiguranya, Bapak berkata kepada
Emak, suatu saat mereka berdua akan berangkat haji ke Mekah dan mencium Hajar Aswad,
bersama. Bapak mengatakan itu sambil menunjuk kakbah. Emak masih mengingatnya meski
sudah 7 tahun Bapak meninggal dunia. Kini, gambar kakbah dan terompah menjadi
peninggalan Bapak yang begitu lekat di hati Emak.

Sepeninggal Bapak, Emak selalu memakai terompah ke masjid. Tidak lima waktu, hanya
subuh. Seperti Bapak yang memakainya setiap jemaah salat subuh. Dan seperti Bapak pula
Emak selalu mendawamkan zikir panjang di masjid usai subuh. Menunduk dan
menengadahkan kedua telapak tangannya. Tak tahu apa yang Emak baca, panjang dan lama.
Ketika jemaah lain pulang, Emak masih betah bersimpuh. Emak pulang ketika masjid sepi.

Aku selalu lungkrah melihat Emak memandangi gambar kakbah yang tergantung di tembok
rumah. Kadang, Emak meneteskan air mata sambil menempelkan jari telunjuknya ke pigura.
Sosok perempuan perkasa yang merawatku sendirian, mendadak kalah dengan benda mati
itu. Sesekali Emak mengatakan, Bapak telah berada di Surga. Dan di pagi itu, Emak mengaku
melihat Bapak menunggunya di Mekah.

Bapak menunggu Emak, di sini,” kata Emak sambil menunjuk kakbah yang tergantung di
tembok rumah. Ain Emak berlinang, diusapnya dengan jari yang tak lagi mulus, lalu masuk
kamar.

Di dapur aku menghidupkan arang sisa angkringan semalam, persiapan menanak nasi dan
merebus air. Kami punya kompor gas, tapi Emak lebih suka arang. Alasannya, rasa
masakannya lebih enak daripada kompor gas. Tapi aku tahu, Emak ingin hemat. Biasanya,
tiga sasi sekali Emak baru mengisi tabung gas ukuran 3 kg. Arang mulai menyala. Ceret
berisi air, aku tumpangkan di atas anglo. Lalu aku pamitan Emak.

***

LONCENG gereja belum berbunyi. Langit masih gelap. Mentari belum mau bangun dari
peraduannya. Belum waktunya. Mereka punya jatah masing-masing: kapan lonceng berbunyi
dan sunyi, kapan waktunya gelap, dan sebaliknya. Tak akan bertabarakan. Sepeda ontel
warisan Bapak, aku kayuh perlahan. Biasanya, lonceng gereja baru terdengar setelah aku
mengepak beberapa koran di Kios Koran Nusantara.

Hampir 8 tahun aku menjadi Loper Koran di Kios Nusantara. Koh Kresna yang sekarang
meneruskan bisnis keluarganya, sangat baik. Dia menuruni kebaikan ayahnya, Koh Sugeng,
perintis bisnis itu. Saban sasi, harusnya upah yang aku terima di kisaran 150-200 ribu.
Tergantung jumlah koran yang aku antarkan. Kalau dihitung, jumlah pelanggan koran di Kios
Nusantara mulai menurun. Katanya, mereka lebih suka membaca berita lewat gawai atau
langganan epaper. Orang-orang menyebutnya, senjakala media cetak.

Koh Kresna tak percaya itu. Katanya, suatu saat media cetak berjaya lagi. Makanya Koh
Kresna selalu menggenapi upahku saban sasinya menjadi 250 ribu. Bagiku, upah itu sudah
layak dengan kerjaku setiap hari yang hanya 2 jam. Dari jam enam sampai jam delapan.

Lonceng gereja berbunyi. Saatnya bekerja. Aku mengayuh sepeda ontel dari rumah ke rumah.
Ada pelanggan yang menunggu di luar rumah dan tak jarang yang aku lempar karena pagar
masih terkunci. Pak Helmy, salah satu pelangganku yang baik. Dia selalu mengumpulkan
korankoran bekas setiap sasinya. Di akhir sasi, koran itu dia hibahkan padaku. Katanya,
untuk bungkus nasi kucing angkringanku. Hibah itu adalah tawaran terakhirnya. Sebelumnya,
aku selalu menolak. Emak memintaku mematuhi ajaran Bapak: mandiri dan jangan suka
menerima pemberian orang, apalagi meminta.

Dulu, aku teman karibnya Aris, anak semata wayang Pak Helmy. Semasa kuliah aku sering
menyambangi rumahnya. Kami satu angkatan dan sering mengerjakan tugas bersama. Cerita
berubah ketika aku semester empat, Bapak meninggal. Sepeninggal Bapak, Emak tidak kuat
membiayai kuliahku. Tanpa Bapak, Emak hanya bertahan dua semester. Gelar Sarjana
Ekonomi yang sangat Bapak inginkan, aku lepas. Semester enam aku keluar. Sejak itu aku
tak pernah berkunjung ke rumah Aris, malu. Sampai akhirnya aku menjadi Loper Koran dan
mengantarkan koran ke rumah Pak Helmy.

Kabar menyesakkan datang usai lonceng gereja. Pak Helmy memeluk erat. Air matanya
menetes membasahi pundakku, hanyut dalam kesedihan. Aku merasa bersalah mengapa tak
pernah berkunjung. Aris meninggal setelah setengah tahun menjalani kemoterapi karena
penyakit leukemia mielositik akut.

Awalnya Pak Helmy mau mengadopsiku, Emak tak mengijinkan. Membantu biaya kuliah,
sama. Memberiku modal usaha, Emak pun tak mengijinkannya. Terakhir, koran bekas untuk
bungkus nasi kucing angkringan yang aku jajakan setiap malam. Emak baru mengijinkan.
Pelanggan baik lainnya, Pak Muryanto. Korannya aku antarkan terakhir. Dia jurnalis senior.
Ngobrol dengannya sangat menyenangkan. Dia memberiku tips menulis dan cara mengetahui
berita hoax. Yang paling aku sukai, Pak muryanto selalu menyajikan secangkir kopi. Tapi,
sudah dua hari aku tak bertemu dengannya. Kata istrinya, dia sedang liputan investigasi soal
kuota haji. Aku jadi ingat berita di televisi sore kemarin, banyak jemaah haji Indonesia yang
berangkat menggunakan paspor Filipina. Kasihan, mereka terkatung-katung dan batal
berangkat.

Aku melirik boncengan sepeda, koran tinggal satu eksemplar. Jatah Pak Muryanto. Segera
saja aku mempercepat kayuhan sepeda. Di jalan menuju rumahnya aku berharap hari ini
bertemu Pak Muryanto. Mendapatkan cerita haji sambil menyeruput kopi. Aku bergegas. Tak
sabar. Di depan rumah berpagar putih, tepatnya di Jalan Nasution No 20, aku berhenti. Pagar
sudah terbuka, tak perlu memencet bel. Cak Anang, tukang kebun Pak Muryanto selalu
membukanya di pagi hari. Rumahnya luas, di depan ada taman dengan pohon sawo besar.
Rindang dan asri.

Cak Anang mempersilahkan. Katanya, Pak Muryanto sudah menunggu. Benar, di teras rumah
aku melihatnya. Dia melambaikan tangan. Aku mempercepat langkah sambil menuntun
sepeda. Sepertinya, harapanku bakal terkabul.

***

MALAM masih gelap. Udara dingin tak mau pergi. Suara gemericik air wudu Emak,
membangunkan tidurku. Sebentar lagi pasti azan subuh. Biasanya seperti itu. Benar, usai
Emak wudu, suara azan subuh merayap ke seluruh sudut rumah. Aku bangun dan membasuh
wajah, wudu. Di depan rumah Emak telah bersiap dengan terompahnya. Kami berangkat ke
masjid diiringi suara terompah peninggalan Bapak. Mungkin, jemaah yang sudah berada di
masjid mendengar suara terompah lirih merayap dari tenggara ke barat laut.

SEPERTI biasa, suara terompah terdengar dari barat laut menuju tenggara. Pelan, seolah tak
mau mengganggu mahluk yang masih terlelap berselimut mimpi. Suaranya semakin dekat,
berhenti di depan rumah. Tepat di balik pintu, suara terompah menghilang. Pintu terbuka, tak
bersuara. Minggu lalu aku sudah mengolesi engsel dengan oli bekas. Emak uluk salam lalu
masuk rumah dan aku menjawabnya.

Pagi itu, aku melihat wajah Emak cerah sekali. Tangan kanannya menenteng terompah.
Masih mengenakan rukuh putih yang sudah lusuh dan tangan kirinya memegangi bagian
bawah agar tak menyentuh lantai. Di pundak kiri Emak, sajadah hijau masih tersampir. Aku
berdiri menyambutnya. Membawakan terompah lalu mencium tangannya. Tapi, pagi itu
Emak langsung masuk kamar tanpa melihat kakbah yang tergantung di tembok rumah.

“Tunggu, jangan ke belakang dulu,” kata Emak, pelan.

Aku duduk kembali. Terompah aku taruh di bawah kursi. Emak keluar kamar. Masih
mengenakan rukuh. Sajadah hijau sudah tidak di pundak kiri, tapi dipengang untuk menutupi
sesuatu. Emak duduk tepat di sebelah kananku. Membuka sajadah dan terlihat jelas apa yang
dipegangnya, kaleng bekas bikuit. Bagian tutupnya terdapat lubang memanjang. Kertas putih
menempel di tutupnya. Ada tulisan berhuruf kapital ‘CELENGAN HAJI’. Emak
memperlihatkannya, lalu tersenyum, sumringah, bungah. Aku terharu melihat Emak di pagi
itu, sumpah.

“Emak ingin membukanya,” ujarnya, pelan.


Perlahan Emak membukanya. Beberapa uang berwarna biru terhambur keluar. Emak
memintaku mengambil. Semua lembaran dikeluarkan. Warna hijau mendominasi. Hanya
beberapa lembar yang berwarna merah.

“Kita hitung bersama. Ini uang celengan haji Emak,” ujarnya penuh semangat.

Aku tak kuasa menahan air mata. Bola mataku berlinang air. Mendadak bulirannya tak mau
berhenti keluar dari sudut kanan dan kiri. Aku tak malu air mataku terus mengalir, aku
biarkan semua mengalir. Aku malu pada Emak yang rajin menabung untuk pergi ke
Baitullah. Aku bisa membayangkan bagaimana keinginan Emak yang sangat kuat untuk
menunaikan rukun Islam kelima itu. Emak menatapku, menyeka air mataku dengan
rukuhnya.

“Nang Marjan, Emak tak wajib berhaji. Seperti kata Nang Marjan kemarin malam. Uang ini
untuk menikah saja.”

Kata-kata Emak membuatku bingung, haru, dan malu. Tapi tetap saja buliran air mataku
mengalir keluar. Aku memeluk Emak, erat. Dalam pelukan, aku menyesal menceritakan
perjumpaanku dengan Pak Muryanto. Menceritakan bahwa haji telah menjadi ladang bisnis
berkedok agama. Tak sedikit biro haji yang menyalahgunakan visa dan praktik percaloan
terjadi di sana-sini. Mereka yang berkuasa dan berkoneksi bisa langsung berangkat tanpa
antre. Sementara rakyat berkantong tipis dipaksa menunggu.

“Emak ingin Nang Marjan menikah. Raih mimpimu. Jangan menyerah. Di manapun Nang
Marjan berada, Emak bisa menemukanmu.” Ujar Emak dan terus memelukku erat.

Pelukan Emak semakin kuat, hangat. Bibirrnya Emak mendekat telingaku, membisikkan
sesuatu, berkali-kali. Lirih. Tak bisa aku dengar. Aku hanya merasakan waktu yang seketika
itu berhenti, hening, tak ada detak jantung. Tenang, sunyi, sepi. []

Pujokusuman, Senin 23 Juli 2018.

Yaya Marjan kesehariannya bekerja di bidang jurnalistik. Di waktu luangnya, ia menulis


cerpen yang sudah terbit di sejumlah media massa.

Advertisements

Вам также может понравиться