Вы находитесь на странице: 1из 30

PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu panca indra yang mempunyai fungsi yang begitu
kompleks, dengan ukuran yang kecil. Kelainan-kelainan yang terjadi pada organ ini
akan menyebabkan berbagai manifestasi klinis dan apa bila tidak dapat ditangani
dengan baik, akan mengakibatkan kebutaan ataupun gangguan yang lain yang bersifat
permanen. Kelainan tersebut tidak hanya terjadi pada bola mata, namun terjadi pada
seluruh kesatuan dari indra ini yang meliputi kelopak mata, bola mata, bahkan sampai
pada tempat di mana bola mata tersebut berada.
Trauma pada mata akan mengakibatkan kerusakan mata serta menyebabkan
timbulnya penyulit yang dapat menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan. Trauma
dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata serta rongga
orbita. Kerusakan mata akan dapat mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga
mengganggu fungsi penglihatan. Trauma pada mata memerlukan perawatan yang tepat
untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengakibatkan
kebutaan.
Trauma mata sering merupakan penyebab kebutaan unilateral pada anak dan
dewasa muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang parah.
Segala umur dapat terkena rudapaksa mata walaupun beberapa kelompok umur
tersering terkena (50 %) yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA). Dewasa muda-
terutama pria-merupakan kelompok yang kemungkinan besar mengalami cedera tembus
mata.1 Kecelakaan dirumah, kekerasan, ledakan aki, cedera akibat olahraga dan
kecelakaan lalu lintas merupakan keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan
trauma mata.

1
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI MATA
Bola mata dapat dipandang sebagai suatu sistem dua bola mata yang berlainan
volume, dimana bola yang lebih kecil terletak didalam bola yang lebih besar. Bagian
depan dari bola kecil membentuk segmen anterior mata, sedangkan sebagian besar bola
abu-abu membentuk segmen posterior mata. Segmen anterior dibatasi oleh kornea yang
jernih di depan serta lensa dan penggantung lensa di belakang. Sedangkan segmen
posterior terletak di belakang lensa. Segmen anterior terbagi dua yang terletak diantara
lensa dan iris disebut kamera okuli posterior, dan yang diantara iris dan kornea disebut
kamera okuli anterior.
Palpebra merupakan lipatan jaringan yang mudah bergerak, berfungsi melindungi
mata dari segala trauma, mencegah penguapan air mata, menjaga kelembaban mata dan
sebagai estetika. Pada tepi palpebra terdapat bulu mata yang berguna proteksi mata
terhadap sinar dan trauma minor lainnya.
Konjungtiva adalah lapisan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Bermacam – macam obat dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva
mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi
bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal
yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva
bulbi menutupi sclera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva
fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Secara anatomi,
kornea terdiri atas lima lapisan yaitu lapisan epitel kornea (bersambungan dengan epitel
konjungtiva bulbaris), membrana bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan
endotel. Epitel merupakan lapisan pertahanan kornea terhadap infeksi, sehingga apabila
terdapat jejas pada epitel maka kornea akan mudah sekali terinfeksi dan meradang.2
Lapisan-lapisan anatomis kornea :2

1. Epitel

2
 Tebalnya 50µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan mejadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
 Epitel berasal dari ektodrm permukaan.
2. Membran Bowman
 Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40 µm
5. Endotel

3
 Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40
µm. Endotel melekat pada membran Descement melalui hemidesmosom
dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Seluruh saraf epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.2
Sklera merupakan lanjutan ke belakang dari kornea, jaringan ikat yang kenyal
tersusun atas jaringan fibrosa yang padat, terdiri dari kolagen tipe 1, proteoglikan,
elastin, dan glikoprotein. dan memberikan bentuk pada mata, merupakan jaringan
terluar yang melindungi bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera.
Sklera berhubungan erat dengan kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus.
Sklera berjalan dari papil saraf optic sampai kornea. Sklera merupakan dinding bola
mata yang paling keras.
Uvea terdiri atas irirs, badan silier, dan koroid yang secara anatomis tak terpisah.
Uvea merupakan lembaran yang tersusun oleh pembuluh-pembuluh darah, serabut-
serabut saraf, jaringan ikat, otot, dan bagian depannya (iris) berlubang yang disebut
pupil. Uvea mendapat pasokan darah dari sirkulasi silier yang merupakan cabang dari
ateri oftalmika
Iris berbentuk membran datar dan merupakan kelanjutan ke depan dari badan
silier. Iris berarti pelangi, warna iris menentukan warna mata. Ditengah iris terdapat
pupil yang penting mengatur jumlah sinar yang masuk ke dalam mata. Pada iris terdapat
dua macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu musculus dilator pupillae (yang
melebarkan pipil) dan musculus sphincter pupillae (yang mengecilkan pupil). Garis
tengah pupil normal berkisar antara 3 hingga 4 mm. Pupil relatif lebar pada oarng muda
dan relatif sempit pada oarng tua dan bayi. Apa bila iris melekat pada lensa atau struktur
lain dibelakang iris maka disebut sinekia posterior, dan apabila iris melekat pada kornea
maka keadaan ini disebut sinekia anterior.

4
Badan silier merupakan bagian uvea yang terletak diantara iris dan koroid. Batas
belakangnya adalah ora serrata. Badan silier banyak mengandung pembuluh darah
kapiler dan vena. Badan silier yang menghasilkan cairan akuous.
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak antara retina dan sklera,
terdiri atas anyaman pembuluh darah, karena banyak mengandung pembuluh darah dan
retina jernih maka terlihat di oftalmoskop tampak berwarna merah.
Retina melapisi dua pertiga bagian dalam bola mata, lapisannya transparan, dan
tebalnya kira-kira 1 mm. Retina merupakan membran tipis, bening, berbentuk seperti
jaring dan metabolisme oksigennya sangat tinggi.
Lapisan retina dari luar ke dalam :1
- Epitel pigmen retina; lebih melekat erat pada koroid, mengandung pigmen
melain sehingga makula tampak gelap pada pemeriksaan oftalmoskopi.
Berfungsi sebagai sawar jika terjadi infeksi.
- Lapisan retina sensoris; lebih tebal, lapisan ini dimulai dari saraf optik hingga
ora serrata. Bagian retina yang mengandung sel-sel epitel dan retina sensoris
disebut pars optika retina yang artinya berfungsi untuk penglihatan. Bagian
retina yang mengandung sel-sel epitel pigmen yang meluas dari ora serrata
hingga tepi belakang pupil disebut pars seka retina yang berarti bagian buta.
Makula lutea (bintikkunign)/fovea merupakan daerah pada retina yang
mempunyai serabut saraf yang sangat banyak menuju ke papil N.II, yang
terletak 3,5 mm di temporal. Retina berfungsi menerima cahaya dan merubahnya
jadi sinyal elektrokimiawi, untuk selanjutnya meneruskan sinyal tersebut ke
otak. Retina terdiri dari 3 macam sel saraf yaitu sel fotoreseptor (konus dan
basilus), sel horizontal dan sel bipolar, sert sel ganglion. Retina mendapat
vaskularisasi dari lamina koriokapilaris koroid dan arteri retina sentralis.
B. DEFINISI
Trauma okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata, dan rongga orbita. Kerusakan ini
akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat.
Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, Perlukaan yang ditimbulkan dapat
ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.3

5
C. JENIS-JENIS TRAUMA
Trauma mata berdasarkan penyebabnya dibagi ;
1) Mekanis :
 Tumpul
 Tajam
 Benda Asing
2) Bahan Kimia :
 Asam
 Basa
3) Fisik :
 Cahaya
 Ledakan
 Kebakaran
 Blow out Fraktur

1. Trauma tumpul
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh benda yang keras atau benda
yang tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras atau dengan
lambat. Tingkatan dari rudapaksa mata ini tergantung dari besar, berat, energi kinetik
dari obyek.
Gelombang tekanan akibat dari rudapaksa mata menyebabkan :2
- Tekanan yang sangat tinggi dan jelas dalam waktu yang singkat didalam
bola mata.
- Perubahan yang menyolok dari bola mata.
- Tekanan dalam bola mata akan menyebar antara cairan vitreous yang kental
dan jaringan sclera yang tidak elastis.
- Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana
ada perbedaan elastisitas, mis: daerah limbus, sudut iridocorneal,
ligamentum Zinii, corpus ciliare.
Respon dari jaringan terhadap rudapaksa mata tumpul :4

6
- Vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, sehingga terjadi iskemia dan
nekrosis lokal.
- Diikuti dengan vasodilatasi, hiperpermeabilitas, aliran darah yang menurun.
- Dinding pembuluh darah robek maka cairan jaringan dan isi sel akan
menyebar menuju jaringan sekitarnya sehingga terjadi edema dan
perdarahan.
Karena tiap-tiap jaringan mempunyai sifat-sifat dan respon khusus terhadap
trauma maka akan dibicarakan satu-persatu.
a. Kelopak Mata
 Hematoma kelopak
Hematoma merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit
kelopak akibatnya pecahnya pembuluh darah palpebral. Trauma dapat disebabkan
pukulan tinju atau benda tumpul yang keras lainnya. Bentuk hematoma kelopak yang
paling berbahaya ialah hematoma kacamata atau yang biasa disebut Racoon Eye. Pada
hematoma kacamata, arteri ophtalmica rupture dan merupakan pertanda dari fraktur
basis kranii. Pada hematoma ringan, dapat diberikan kompres air dingin untuk
menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Kompres hangat dapat
diberikan pada hematoma yang belum kunjung diabsorbsi. 2
b.Konjungtiva
 Edema konjungtiva
Edema konjungtiva disebut juga kemotik konjungtiva. Kemotik yang berat dapat
mengakibatkan palpebral tidak dapat menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap
konjungtiva. Pada keadaan kemotik ringan, dapat diberikan dekongestan untuk
mencegah pembendungan cairan didalam selaput lendir konjungtiva. 2
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibatnya pecahnya pembuluh darah yang
terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konungtiva dan arteri episklera.
Pecahnya pembuluh darah ini dapat disebabkan oleh batuk rejan, trauma tumpul pada
basis kranii, atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva adalah dengan kompres hangat.
Perdarahan subkonjungtiva akan hilang dan diabsorbsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.

c.Kornea

7
Adanya abrasi dan benda asing pada permukaan kornea akan memberikan sensasi
nyeri dan iritasi sewaktu mata dan palpebra digerakkan. Uji fluorescein akan membantu
mewarnai membrane basal yang defek dan dapat memperjelas kebocoran aquos pada
trauma tembus. Defek epitel kornea yang ringan diterapi dengan salep antibiotik dan
balut tekan untuk mengimobilisasi palpebral. Luka harus diperiksa setiap harinya untuk
mencari tanda-tanda infeksi sampai luka sembuh sempurna. Pada pengeluaran benda
asing, dapat diberikan anestetik topikal dan jarum berukuran kecil sewaktu pemeriksaan
dengan slit lamp. Bila terdapat fragmen yang tertanam dalam di kornea, tindakan
pengambilan harus dilakukan dengan teknik bedah mikro dalam kamar operasi. Jangan
pernah memberikan larutan anestetik topikal pada pasienj untuk dipakai ulang setelah
cedera kornea karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi kerusakan
lebih lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea yang
permanen.5 Pemakaian steroid harus dihindari bila masih ada defek epitel.

 Edema kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata, dapat mengakibatkan
edema kornea bahkan sampai ruptur membrane descement. Edema kornea akan
memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi disekitar cahaya yang
dilihat pasien. Pengobtan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau
larutan garam hiperrtonik 2-8%, glukosa 40%, dan larutan albumin.2

 Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Pasien akan merasa sangat kesakitan
akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensible yang banyak, mata berair,
dengan blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu akibat
media kornea yang keruh.2

d.Bilik mata depan


 Hifema
Hifema atau darah dalam bilik mata depan, dapat terjadi akibat adanya trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Pasien akan mengeluh sakit
disertai epifora dan blefarospasme. Bila apsien duduk, hidema akan terlihat berkumpul
dibagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memnuhi seluruh ruang bilik mata

8
depan. Pasien akan dirawat dengan posisi tidur dengan posisi kepala yang ditinggikan
30 derajat. Biasanyan hifema akan hilang sempurna, bila tidak demikian, pasien harus
dirujuk. 3
Respon vaskuler yang terkena adalah Arteri Ciliaris Anterior, perdarahan vena di
Schlemm kanal dan adanya hipotoni, seperti pada siklodialisis.Pada umumnya 70 %
kasus penyerapan terjadi dalam waktu 5-6 hari.
Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan akan luas dimana terjadi
gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan memperlambat penyerapan ditambah
lagi hambatan mekanis terhadap ” outflow ” humor aquos disudut iridocorneal.
Pada beberapa produk darah menempel pada bagian anterior pigmen membran
dari iris didaerah pupil dan sudut iridocorneal.Walaupun sepintas bilik mata depan
jernih, tetapi iritis cukup kuat untuk membentuk sinekia anterior dan posterior.Hifema
sekunder pada umumnya nampak antara hari ke 2 dan ke 5. biasanya diikuti dengan
ancaman iritis.6
Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder dengan meningkatnya
tekanan intraokuler. Hal ini dari adanya edema di trabekuler meshwork, sehingga terjadi
gangguan outflow humor aquos.Tekanan intraokuli kadang baru terjadi beberapa hari
setelah trauma, ini adalah akibat adanya perdarahan sekunder. Frekuensi perdarahan
sekunder tanpa kenaikan tekanan intraokuler 30%. Frekuensi perdarahan sekunder
dengan kenaikan tekanan intraokuler 50%.
PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI
 Tirah baring sempurna (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat
(diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45º. Hal ini akan mengurangi tekanan
darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah
perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sempurna
ini sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik
hifema. Bahkan Darr dan Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna
absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi
perdarahan sekunder.5
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan
perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak,

9
sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan pengawasan
dilakukan dengan sabar.
 Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara
para ahli. Edward- Layden lebih condong untuk menggunakan bebat mata pada mata
yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.
Selanjutnya dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan
penderita gelisah, cemas dan merasa tak enak, dengan akibat penderita (matanya) tidak
istirahat Akhirnya Rakusin mengatakan bahwa dalam pengamatannya tidak ditemukan
adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi,
timbuInya komplikasi maupun prognosa bagi tajam penglihatannya:5
 Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatanpada penderita dengan traumatik hifema tidaklah mutlak,
tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan
menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :
- Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona
AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C.
Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik
(Dipasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan
darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya
kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan
gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio
kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.2,5
- Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika
atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian
sendiri-sendiri: Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan
kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Gombos

10
menganjurkan pemberian midriatika bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis.
Akhirnya Rakusin membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika
bersama-samadengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan mengurangi
perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja. Darr
menentangnya dengan tanpa menggunakan kedua golongan obat tersebut pada
pengobatan hifema traumatik.1,3
- Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral
sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.
Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea,
manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan
bahwa cara ini tidak rutin.5
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox,
glyserin, nilai selama 24 jam. Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun,
tetapi tetap diatas normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran darah melalui
sayatan di korneaBila tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus
diberikan dan dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan
darahnya masih ada sampai hari ke 5-9 lakukan juga parasentesa.
- Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi
iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika. Yasuna
menganjurkan pemberian prednison 40 mg/hari secara oral segera setelah
terjadinya hifema traumatik guna mengurangi perdarahan sekunder.2
PERAWATAN OPERASI
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder,
tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea dan tidak ada pengurangan dari
tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari.
Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola
mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg
selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila tekanan
bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi

11
kornea. Untuk mencegah sinekia anterior perifer dilakukan pembedahan bila hifema
total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari.2
Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan
indikasinya adalah sebagai berikut :3
- Empat hari setelah onset hifema total
- Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
- Hifema total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari (untuk mencegah atrofi optic)
- Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
- Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
- Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan Tekanan Intra Ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam.Jika
Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatau studi mencatat atrofi optic pada 50
persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal
bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.6
e.Uvea
 Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sifingter pupi
sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan menjadi sukar untuk melihat
jarak dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya
sinar pada pupil. Pupil akan terlihat anisokor dan bentuk pupil menjadi ireguler.
Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pasien iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah kelelahan sifingter.2
 Iridodialisis
Iridodialisis terjadi pada iris yang mengalami robekan pada pangkal iris. Pupi
akan berubah bentuk akibat robekan pada pangkal iris. Pasien akan mengeluh

12
penglihatannya menjadi ganda. Pasien iridodialisis sebaikanya dilakukan pembedahan
degan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

F.Lensa
 Subluksasi
Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah tempat.
Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada
zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh
penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa
iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic akan
menjadi cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat
cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik
mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaucoma sekunder.2
 Luksasi
Bila seluruh zonula zinn ruptur, lensa akan terdorong ke arah bilik mata depan.
Akibat lensa terletak didalam bilik mata depan ini, maka akan terjadi gangguan
pengeluaran cairan akuos dan akan menimbulkan glaukoma sekunder. Pada luksasi
lensa, sebaiknya pasien dirujuk ke dokter mata secepatnya dengan terlebih dahulu
menurunkan tekanan bola matanya.
- Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat
trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam
bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata
sehingga akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan
mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata
merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di
dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan
bola mata sangat tinggi.2,5
- Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi
luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus
posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang
pandangannya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala
mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri

13
untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada
dalam polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa
glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik.2
g. Fundus oculi
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina,
koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina, perdarahan
retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik. 1
i.Edema Retina dan Koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan akan
sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat
sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi
arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali macula, sehingga pada
keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat
trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red
spot.2
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema macula atau
edema berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus
posterior fundus okuli berwarna abu-abu.
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi
dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah macula oleh sel pigmen
epitel.
 Ablasio Retina.
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada
penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunnyai bakat untuk terjadinya ablasi
retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi
lainnya.1
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir
menganggu lapangan pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka
tajam penglihatannya akan menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat

14
pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.
 Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan
akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan
melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam
penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina
sukar
agak dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat
bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup
koroid.2

2. Trauma Tembus
Ruptur bola mata dapat terjadi akibat trauma tembus tajam atau gaya kontusif
tumpul. Trauma tumpul menyebabkan peningkatan tekanan dalam orbita dan intraokuler
yang disertai deformasi bola mata. Terjadi dekompresi cepat sewaktu dinding mata
robek atau saat isi orbita keluar. Limbus superonasal merupakan daerah yang sering
mengalami ruptur orbita, dikarenakan efek counter croup dari kuadran temporal bawah
yang merupakan daerah beresiko tinggi terjadinya trauma. Trauma tumpul memiliki
prognosis yang lebih buruk dikarenakan kemungkinan tingginya terjadi ablasio retina
pada trauma tumpul.4
Penurunan visus yang mencolok biasanya terjadi pada trauma tembus. Hal ini
sedikit berbeda pada cedera dari partikel kecil yang berkecepatan tinggi (tindakan
menggerinda & memalu), hanya akan menimbulkan perasaan nyeri dan kekaburan
penglihatan.
Gejala klinis yang dapat menyertai adalah kemosis hemoragik, laserasi
konjungtiva, bilik mata depan yang dangkal, dengan atau tanpa dilatasi pupil, hifema,
atau perdarahan vitreus.
Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing yang masuk ke dalam bola mata
maka akan terlihat:2
- Tajam penglihatan yang menurun
- Tekanan bola mata yang rendah
- Bilik mata depan yang dangkal

15
- Bentuk dan letak pupil yang berubah
- Terlihatnya ruptur kornea atau sclera
- Konjugtiva kemotis

Bila terlihat salah satu tanda diatas, dapat dicurigai adanya perforasi bola mata
dan secepatnya diberikan antibiotik topikal dan mata ditutup diengan kasa. Selanjutnya
pasien harus dirujuk ke dokter spesialis mata untuk menjalani tindakan pembedahan.
Pasien harus diberikan antibiotika sistemik secara intravena dan dipuasakan untyuk
persiapan operasi. Komplikasi yang dapat timbul adalah endoftalmitis, panoftalmitis,
ablasi retina, perdarahan intraokuler, dan ftisis bulbi.4

3. Benda asing ekstraokuler


Kasus benda asing ekstraokular banyak ditemukan pada daerah-daerah industri.
Pada kasus benda asing intraokular diperlukan anamnesis yang baik untuk mengetahuin
terjadinya riwayat trauma dengan baik. Benda asing ekstraokuler dapat tertanam pada :3
 Konjungtiva. Benda asing ini dapat tertanam pada konjungtiva tarsal, sulkus
subtarsalis, konjungtiva forniks, atau konjungtiva bulbi
 Kornea.Benda asing sering tertanam pada lapisan superfisial seperti epitelium dan
jarang sampai menembus lapisan stroma.
Gejala klinis
Gejala klinis dari benda asing di konjungtiva adalah didapatkan tanda khas berupa
blefarospasme dan injeksi konjungtiva. Dengan pemeriksaan slit lamp, benda asing di
kornea dapat terlihat sejauh mana benda itu menembus lapisan kornea.3Adanya abrasi
dan benda asing pada permukaan kornea akan memberikan sensasi nyeri dan iritasi
sewaktu mata dan palpebra digerakkan. Uji fluorescein akan membantu mewarnai
membran basal yang defek dan dapat memperjelas kebocoran aquos pada trauma
tembus.
Tatalaksana
Penatalaksanaan benda asing ekstraokuler ialah mengambil benda asing tersebut
secepatnya. Pada kasus benda asing di konjungtiva tarsal atau forniks, dapat
menggunakan swab kapas. Bila benda asing terdapat pada konjungtiva bilbi,
pengangkatan menggunakan jarum kecil dengan bantuan anestesi topikal.2

16
Pada kasus benda asing di kornea, mata terlebih dahulu dianestesi topikal dengan
xylocaine 2 %. Pengangkatan dapat menggunakan jarum kecil dengan bantuan slit lamp.
Defek epitel kornea yang ringan diterapi dengan salep antibiotik dan balut tekan untuk
mengimobilisasi palpebral. Luka harus diperiksa setiap harinya untuk mencari tanda-
tanda infeksi sampai luka sembuh sempurna. Pada pengeluaran benda asing, dapat
diberikan anestetik topikal dan jarum berukuran kecil sewaktu pemeriksaan dengan slit
lamp. Bila terdapat fragmen yang tertanam dalam di kornea, tindakan pengambilan
harus dilakukan dengan teknik bedah mikro dalam kamar operasi.2
Jangan pernah memberikan larutan anestetik topikal pada pasien untuk dipakai
ulang setelah cedera kornea karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan,
menutupi kerusakan lebih lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut
kornea yang permanen. Pemakaian steroid harus dihindari bila masih ada defek epitel.
Komplikasi
Konjungtivitis bacterial dapat terjadi pada kasus benda asing di konjugtiva,
sedangkan ulkus kornea dapat terjadi pada kasus benda asing di kornea.

4. Trauma Kimia
Semua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaduratan mata.
Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam
bentuk trauma asam dan trauma basa. Pembilasan dengan air yang mengalir harus
segera dilakukan sebelum pasien dirujuk.3 Semua benda asing yang terlihat juga harus
diirigasi. Di ruang gawat darurat, lakukan anamnesis dan pemeriksaan singkat sebelum
permukaan mata diirigasi. Cairan saline isotonik steril diberikan segera untuk
mengirigasi dengan selang intravena ukuran standar. Untuk menetralisir trauma asam,
dapat digunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedangkan untuk menetralisir trauma
basa, digunakan asam borat, asam asetat 0,5%, atau buffer asam asetat 4,5% untuk
menetralisir.5
Bila pasien mengalami blefarospasme, lakukan speculum palpebral dan infiltrasi
anestetik local. Analagesik, anestetik local, dan siklopegia hamper selalu diberikan pada
kasus trauma bahan kimia. Pemeriksaaan pH penting dilakukan dengan meletakkan
secarik kertas indikator di konjungtiva forniks. Irigasi diulang bila kadar pH tidak
berada di kisaran 7,3 dan 7,7. Setelah pembilasan berikan salep antibiotik dan dibalut
tekan. 4

17
Trauma basa memiliki tingkat keparahan yang lebih berat bila dibandingkan
dengan trauma cairan asam. Pada trauma basa, cairan basa akan cepat menembus
jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan. Diperlukan bilasan jangka
panjang dan pemantauan pH secara berkala. Pada trauma asam, cairan asam akan
membentuk suatu sawar presipitat jaringan nekrotik yang cenderung membatasi
penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Luka bakar alkalis akan meningkatkan tekanan
intraokular dengan cepat karena terjadi kontraksi sklera dan kerusakan anyaman
trabecular. Dalam 2-4 jam berikutnya, akan terjadi peningkatan tekanan intraokuler
sekunder akibat pelepasan prostaglandin yang berpotensi menyebabkan uveitis berat. 2
Penatalaksanaan pada trauma kimia dengan memberikan steroid topikal dalam 2
minggu pertama, siklopegikm dan antiglaukoma. Pemberian steroid topikal harus
diperhatikan karena obat ini juga akan menghambat reepitelisasi. Tetes matas vitamin C
bermanfaat untuk luka bakar alkalis derajat sedang, tapi kurang bermanfaat pada derajat
berat. Komplikasi pada luka bakar kimia adalah glaucoma sekunder, pembentukan
jaringan parut kornea, simblefaron, entropion dan keratitis sika. 5

5. Trauma Fisik
 Cahaya
Cahaya yang berasal dari matahari atau alat untuk las mengandung ultraviolet
yang dapat mengakibatkan konjungtivitis dan keratitis, sedangkan cahaya dari
pembikinan kaca (Glass Blomers) banyak mengandung infra red yang dapat
mengakibatkan katarak. Dari anamnesa didapatkan mata terasa nyeri dan epifora yang
timbul 6-12 jam sesudah melihat cahaya tersebut. Pada pemeriksaan didapatkan
hiperemi konjungtiva, flurescein test positif. Pengobatan pada konjungtiva beri
antibiotika lokal,atropine bila fluorescein luar.1,3
 Kebakaran
Dengan adanya reflek perlindungan menutup palpebra sering kornea dan
konjungtiva terhindar dari bahaya kebakaran, sehingga kelainan terbatas pada palpebra.
Pengobatannya tidak berbeda dengan kelainan akibat luka bakar pada kulit bagian tubuh
yang lain.3
 Ledakan
Ledakan yang cukup kuat dapat menimbulkan bermacam-macam kerusakan.
Pengobatan diberikan.

18
 BLOW OUT FRAKTUR
Patah tulang dasar orbita tanpa kerusakan dari rima orbita akibat perubahan
mendadak dan ruang retrobulbar karena perubahan tekanan yang terjadi akibat
hantaman yang keras pada bulbus oculi. Anamnesa didapatkan adanya trauma, visus
menurun, nyeri, diplopia, mual, muntah. Pemeriksaan bisa ditemukan edema ±
hypoestesi daerah saraf intraorbita. Tanda-tanda patah tulang : Gerakan
terbatas,enoftalmus. Pengobatan secara konservatif selama 3 minggu untuk
mengevaluasi sambil menunggu oedema dan ekhimosis berkurang. Bila enoftalmus
masih tampak, keluhan diplopia sangat menganggu dilakukan operatif.3
D. Tanda dan Gejala
Gejala pada trauma okuli bergantung pada jenis trauma serta berat dan ringan
trauma, yaitu:7
- Trauma tajam selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai tertinggalnya
benda asing di dalam mata. Benda asing yang tertinggal dapat bersifat tidak
beracun dan beracun. Benda beracun contohnya logam besi, tembaga serta
bahan dari tumbuhan misalnya potongan kayu. Bahan tidak beracun seperti
pasir, kaca. Namun bahan tidak beracun dapat pula menimbulkan infeksi jika
tercemar oleh kuman.
- Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan
penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan di dalam bola mata,
terlepasnya selaput jala (retina) atau hingga terputusnya saraf penglihatan
sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
- Trauma kimia basa umumnya memperlihatkan gejala lebih berat daripada
trauma kimia asam. Mata nampak merah, bengkak, keluar air mata berlebihan
dan penderita nampak sangat kesakitan, trauma basa akan berakibat fatal
karena dapat menghancurkan jaringan mata atau kornea secara perlahan.
- Trauma Radiasi, Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi
akan menyebabkan kromatolisis sel. Reaksi pembuluh darah. Reaksi pembuluh
darah ini berupa vasoparalisa sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel
rusak, cairan keluar dari pembuluh darah maka terjadi edema. Reaksi jaringan.

19
Reaksi jaringan ini biasanya berupa robekan pada kornea, sklera dan
sebagainya).
Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan pada kejadian trauma okuli adalah
sebagai berikut: 2
- Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya. Pada trauma mata
perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak mata atau
perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian humor
akueus dapat keluar dari mata.
- Memar pada sekitar mata. Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat
hematoma pada palpebra. Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada
pasien yang mengalami fraktur basis kranii.
- Penurunan visus dalam waktu yang mendadak. Penurunan visus pada trauma
mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama terhalangnya jalur refraksi
akibat komplikasi trauma baik di segmen anterior maupun segmen posterior
bola mata, yang kedua akibat terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus
optikus.
- Penglihatan ganda. Penglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat
terjadi karena robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil
menjadi tidak bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada
pasien.
- Mata bewarna merah. Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea
dapat ditemukan pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada
daerah sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan
subkonjungtiva.
- Nyeri dan rasa menyengat pada mata. Pada trauma mata dapat terjadi nyeri
yang disebabkan edema pada palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga
dapat menyebabkan nyeri pada mata.
- Sakit kepala. Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga
menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat
menyebabkan sakit kepala.
- Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata. Pada trauma mata
dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun segmen anterior mata dapat

20
menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika terdapat benda asing hal
ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air mata sebagai salah satu
mekanisme perlindungan pada mata.
- Fotopobia. Fotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab.
Pertama adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi
kornea, benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar
yang masuk ke dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau
pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah
lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil dan
cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata
E. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis trauma okuli ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Walaupun begitu, trauma okuli jarang mengancam nyawa dan
penanganan haruslah diprioritaskan ke trauma lain yang lebih mengancam nyawa.7
 Anamnesis
Pada anamnesis perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera
atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif
atau terjadi secara tiba-tiba. Harus dicurigai adanya benda asing apabila ada
riwayat pemakaian palu, pahat, ataupun ledakan, dan harus dipertimbangkan
untuk melakukan pencitraan. Pemakaian palu dan pahat dapat melepaskan
serpihan-serpihan logam yang akan menembus bola mata, dan hanya
meninggalkan petunjuk perdarahan subkonjungtiva yang mengindikasikan adanya
penetrasi sklera dan benda asing yang tertinggal. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan
kabur merupakan gambaran umum trauma, namun gejala ringan dapat
menyamarkan benda asing intraokular yang berpotensi membutakan.7
Anamnesis tentang ketajaman visus sebelum trauma dan riwayat penyakit mata
atau operasi mata amat membantu dalam mendiagnosis suatu trauma okuli.
Riwayat penyakit sistemik, pengambilan obat-obatan, riwayat alergi, suntikan
imunisasi tetanus dan pengambilan oral terakhir perlu ditanyakan sebagai
kemungkinan persediaan operasi.
 Pemeriksaan fisis

21
Sebisa mungkin dilakukan pemeriksaan oftalmik lengkap termasuk
pemeriksaan visus, reaksi pupil, lapangan pandang, pergerakan otot-otot
ekstraokular, tekanan intraokular, pemeriksaan slit lamp, funduskopi dan lain-
lain.8
Setiap laserasi kelopak mata yang letaknya di kantus medialis hendaknya
dipertimbangkan kemungkinan terlibatnya sistem lakrimasi sehingga terbukti
tidak. Pemeriksaan tulang-tulang orbita terhadap kemungkinan terjadinya fraktur
harus dilakukan. Ruptur bola mata adalah segera ditentukan pada pemeriksaan
fisis. Namun, biasanya ini tersembunyi. Pemeriksaan mata yang mengalami
trauma harus diperiksa dengan sistematis dan hati-hati agar penatalaksanaan dapat
dilakukan dengan segera dan mengurangi trauma yang lebih lanjut.
 Pemeriksaan penunjang
- Foto polos
Foto polos orbita kurang membantu dalam menentukan kelainan berbanding
CT-scan. Tetapi foto polos masih dapat dilakukan. Antaranya foto polos 3
posisi, proyeksi Water’s, posisi Caldwelldan proyeksi lateral. Posisi-posisi
ini berfungsi untuk melihat dasar orbita, atap orbita dan sinus paranasali.2
- Ultrasonografi
USG membantu dalam melihat ada tidaknya benda asing di dalam bola mata
dan menentukan lokasi ruptur.2
- CT-scan
CT-scan adalah metode pencitraan paling sensitif untuk mendeteksi ruptur
yang tersembunyi, hal-hal yang terkait dengan kerusakan saraf optic, adanya
benda asing serta menampilkan anatomi dari bola mata dan orbita.2
- MRI
MRI sangat membantu dalam mengidentifikasi jaringan lunak bola mata dan
orbita.2
F. Rencana Terapi
1. Trauma Mata Benda Tumpul
Penanganan ditekankan pada utama yang menyertainya dan penilaian
terhadap ketajaman penglihatan. Setiap penurunan ketajaman penglihatan tanda
mutlak untuk melakukan rujukan kepada dokter ahli mata.3

22
Pemberian pertolongan pertama berupa: 2,3
a. Obat-obatan analgetik : untuk mengurangi rasa sakit. Untuk pemeriksaan
mata dapat diberikan anesteshi local: Pantokain 0,5% atau tetracain 0,5% -
1,0 %.
b. Pemberian obat-obat anti perdarahan dan pembengkakan
c. Memberikan moral support agar pasien tenang
d. Evaluasi ketajaman penglihatan mata yang sehat dan mata yang terkena
trauma
e. Dalam hal hifema ringan (adanya darah segar dala bilik mata depan) tanpa
penyulit segera ditangani dengan tindakan perawatan:
1) Tutup kedua bola mata
2) Tidur dengan posisi kepala agar lebih tinggi
3) Evaluasi ketajaman penglihatan
4) Evaluasi tekanan bola mata
f. Setiap penurunan ketajaman penglihatan atau keragu-raguan mengenai mata
penderita sebaiknya segera di rujuk ke dokter ahli mata.
2. Trauma mata benda tajam
Keadaan trauma mata ini harus segera mendapat perawatan khusus karena
dapat menimbulkan bahaya; infeksi, siderosis, kalkosis dan atlalmia dan
simpatika. Pertimbangan tindakan bertujuan untuk mempertahankan bola mata
dan mempertahankan penglihatan. Bila terdapat benda asing dalam bola mata,
maka sebaiknya dilakukan usaha untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada penderita dapat diberikan:
a. Antibiotik spectrum luas
b. Analgetik dan sedativa
c. Dilakukan tindakan pembedahan pada luka yang terbuka
3. Trauma mata benda asing
a. Ekstra Okular
1) Tetes mata
2) Bila benda asing dalam forniks bawah, angkat dengan swab.
3) Bila dalam farniks atas, lipat kelopak mata dan angkat

23
4) Bila tertanam dalam konjungtiva, gunakan anestesi local dan angkat
dengan jarum
5) Bila dalam kornea, geraka anestesi local, kemudian dengan hat-hati dan
dengan keadaan yang sangat baik termasuk cahaya yang baik, angkat
dengan jarum.
6) Pada kasus ulerasi gunakan midriatikum bersama dengan antibiotic local
selama beberapa hari.
7) Untuk benda asing logam yang terlalu dalam, diangkat dengan jarum, bisa
juga dengan menggunakan magnet.
b. Intra okuler
1) Pemberian antitetanus
2) Antibiotic
3) Benda yang intert dapat dibiarkan bila tidak menybabkan iritasi
4. Trauma Kimia (Non Mekanik)
Penatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma
ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama
dalam mengatasi kasus trauma okular adalah memperbaiki penglihatan,
mencegah terjadinya infeksi, mempertahankan struktur dan anatomi mata,
mencegah sekuele jangka panjang. Trauma kimia merupakan satu-satunya jenis
trauma yang tidak membutuhkan anamnesa dan pemeriksaan secara teliti.
Tatalaksana trauma kimia mencakup:
a. Penatalaksanaan Emergency
1) Irigasi merupakan hal yang krusial untuk meminimalkan durasi kontak
mata dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada saccus
konjungtiva yang harus dilakukan sesegera mungkin. Larutan normal
saline (atau yang setara) harus digunakan untuk mengirigasi mata selama
15-30 menit samapi pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa
hendaknya dilakukan irigasi lebih lama, paling sedikit 2000 ml dalam 30
menit. Makin lama makin baik. Jika perlu dapat diberikan anastesi topikal,
larutan natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik. Irigasi dalam waktu yang
lama lebih baik menggunakan irigasi dengan kontak lensa (lensa yang

24
terhubung dengan sebuah kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran
yang konstan.
2) Double eversi pada kelopak mata dilakukan untuk memindahkan material
yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan
terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi,
dan konjungtiva forniks.
3) Debridemen pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga
dapat terjadi re-epitelisasi pada kornea. Selanjutnya diberikan bebat
(verban) pada mata, lensa kntak lembek dan artificial tear (air mata
buatan).
b. Penatalaksanaan Medikamentosa
Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian
obat-obatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis
selama 7 hari. Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-obatan
bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan
mencegah terjadinya ulkus kornea.
1) Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil.
Namun pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma
dengan menurunkan sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas.
Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial dan di tappering off setelah
7-10 hari. Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan
setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
2) Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia
posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
3) Asam askorbat untuk mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan
meningkatkan penyembuhan luka dengan membantu pembentukan
kolagen matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10% topikal
diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2
gram.
4) Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan intra
okular dan mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan
secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.

25
5) Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.
Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas
netrofil dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan
antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100 mg).
6) Asam hyaluronik untuk membantu proses re-epitelisasi kornea dan
menstabilkan barier fisiologis.
7) Asam Sitrat untuk menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi respon
inflamasi. Natrium sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam selama 10
hari. Tujuannya untuk mengeliminasi fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari
setelah trauma.
c. Pembedahan
1) Pembedahan Segera yang sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi
limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan mengembalikan
kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan:9
a) Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan
ulkus kornea.
b) Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft)
atau dari donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel
kornea menjadi normal.
c) Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan
fibrosis
2) Pembedahan Lanjut pada tahap lanjut dapat menggunakan metode
berikut:9
a) Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands
dan simblefaron.
b) Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
c) Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
d) Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal
ini untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
e) Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat
dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk.

26
5. Trauma Kimia Basa
Dengan secepat mungkin melakukan irigasi dengan garam fisiologik.
Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan
paling sedikit 60 menit segera setelah trauma.Penderita diberi sikloplegia,
antibiotika, EDTA (ethylene Diamine Tetracetic Acid) untuk mengikat basa.
EDTA di berikan setelah satu minggu trauma basa diperlukan untuk menetralisir
kolagenase yang terbentuk pada hari ke tujuh.2,3
G. Prognosis
Prognosis asam baik apabila konsentrasi asam tidak terlalu tinggi sehingga
hanya terjadi kerusakan pada superficial. Prognosis trauma karena zat basa
ditentukan berdasarkan klasifikasi Hughes atau klasifikasi Thoft dan tergantung
derajat kerusakan.
1. Klasifikasi Huges
a. Ringan :
1) Prognosis baik
2) Terdapat erosi epitel kornea
3) Pada kornea tedaat kekeruhan yang ringan
4) Tidak terdapat iskemia dan nekrosis kornea ataupun konjungtiva
b. Sedang :
1) Prognosis baik
2) Terdapat kekeruhan kornea sehingga sulit melihat iris dan pupil secara
terperinci
3) Terdapat iskemia dan nekrosis enteng pada kornea dan konjungtiva
c. Sangat berat :
1) Prognosis buruk
2) Akibat kekeruhan kornea upil tidak dapat dilihat
3) Konjungtiva dan sclera pucat
2. Klasifikasi Thoft
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi:10
a. Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
b. Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea

27
c. Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
epitel kornea
d. Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Prognosis trauma tembus okuli bergantung pada banyak faktor, yaitu:10
1. Besarnya luka tembus, makin kecil makin baik
2. Tempat luka pada bola mata
3. Bentuk trauma apakah dengan atau tanpa benda asing
4. Benda asing megnetik atau non megnetik
5. Dalamnya luka tembus, apakah tumpul atau luka ganda
6. Sudah/belum terdapat penyulit akibat luka tembus
Prognosis trauma tumpul okuli adalah mata akan sembuh dengan baik setelah
trauma minor dan jarang terjadi sekuele jangka panjang, jarang dikaitkan dengan
kerusakan penglihatan berat dan butuh pembedahan ekstensif.10

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Komplikasi Trauma Tembus Okuli:
a. Infeksi
b. Iritis
c. Katarak
2. Komplikasi Trauma Tumpul okuli:
a. Midriasis
b. Glaukoma
c. Katarak
d. Dislokasi lensa
e. Vitreous haemorrhage
f.Atrofi N. Opticus
3. Komplikasi Trauma Okuli karena Zat Kimia
a. Zat Kimia Asam:
1) Jaringan parut pada konjungtiva dan kornea
2) Vaskularisasi kornea
3) Glaucoma
4) uveitis

28
b. Zat Kimia Basa:
1) Simblefaron
2) Kornea keruh, edema, neovaskular
3) Mata kering
4) Katarak traumatik
5) Glaucoma sudut tertutup
6) Entropion
7) Phtisis bulbi

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku ilmu kesehatan mata edisi ke 3. Dapertemen ilmu kesehatan mata universitas
gajah mada. Yogyakarta:2017.hal.402-18.
2. Augsburger, Correa ZM. Ophthalmic Trauma. In: Riordan-Eva P, Cunningham ET
[editor]. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. 18th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies, 2011: 588-94.
3. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Ed. 4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2013: 276-7.
4. Asbury T, Sanitato JJ. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya Medika
5. Rao NK, Goldstein MH. Trauma Ocular. In: Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology. 4 th
Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2014: 296-8.
6. Kuckelkorn R, Schrage N, Keller G, Redbrake C. Emergency treatment of chemical
and thermal eye burns. Acta Ophthalmol Scand. 2002;4-10.
7. Dal A. Mechanisms of Corneal Wound Healing and Its Modulation. 2009;22(2):169–
78.
8. James B, Chew C, Bron A. 2005. Trauma. In: Lecture Notes on Ophthalmology. 9th
Edition. Oxford: Blackwell Publishing
9. Lang GK. 2006. Ocular Trauma. In: Ophtalmology. 2nd Edition. Stuttgart. New York:
Thieme
10. Kanski, JJ. Chemical Injuries. Clinical Opthalmology. Philadelphia: Elseiver Limited.
2000.

30

Вам также может понравиться