Вы находитесь на странице: 1из 106

ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN:

KAJIAN TAFSIR TEMATIK

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin


Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

AMIR MU’MIN SOLIHIN


NIM:106034001218

JURUSAN TAFSIR HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan gelar strata 1 (S1), di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Maret 2011

Penulis,

( Amir Mu’min Solihin )

ii
ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN:

KAJIAN TAFSIR TEMATIK

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin

( S.Ud )

Oleh :

AMIR MU’MIN SOLIHIN


NIM. 106034001218

Di bawah Bimbingan :

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA


NIP. 19620624200003 1 001

JURUSAN TAFSIR HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi ini berjudul Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an: Kajian Tafsir
Tematik telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
pada Jurusan Tafsir Hadits.
Jakarta, 17 Maret 2011

SIDANG MUNAQASAH

Ketua, Sekertaris,

Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S. Th.I


NIP. 19600908 198903 1 005 NIP.

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. M. Suryadinata, M.A Dr. Yusuf Rahman, MA


NIP. 19600908 198903 1 005 NIP. 19670213 199203 1 002

Pembimbing,

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA


NIP. 19620624200003 1 001

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI1

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


tidak dilambangkan

B Be

T Te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105

v
F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

‫ﻫـ‬ H Ha

‘ Apostrof

Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


___َ___ a fathah
___ِ___ i kasrah
___ُ___ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:


Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫__َ__ي‬ ai a dan i
‫__َ__ و‬ au a dan u

vi
Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ــَﺎ‬ â a dengan topi di atas
‫ــﻲ‬ î i dengan topi di atas
‫ـــﻮ‬ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan


huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.

Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).

vii
Contoh:

no Kata Arab Alih aksara


1 ‫ﻃﺮﻳﻘﺔ‬ tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

viii
ABSTRAK

Amir Mu’min Solihin, “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an: Kajian


Tafsir Tematik”

Salah satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt, kepada manusia
adalah kemampuan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat membantu manusia
dalam memenuhi kebutuhannya secara efektif, dan mempermudah untuk
berkomunikasi dengan sesamanya. Selain itu, kemampuan komunikasi yang baik
dan benar dapat menjadi jalan untuk mengantarkan seseorang dalam meraih
kesuksesan dan akan membawa kemaslahatan bagi orang lain. Sebaliknya,
komunikasi juga bisa menjadi pemicu munculnya kemudaratan, khususnya jika
seseorang salah dalam berkomunikasi atau membuat orang lain terganggu. Apa
lagi pembicaraan yang tidak baik tersebut muncul dari seseorang di pandang
sebagai pejabat publik atau public figure, sebab pembicaraan yang kurang
terkontrol akan menimbulkan keresahan dimasyarakat atau menyebabkan
munculnya reaksi negatif terhadap dirinya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui etika komunikasi menurut
al-Qur’an, sehingga bisa dijadikan sebagai pedoman oleh setiap muslim,
khususnya dalam berkomunikasi.
Penelitian ini berpijak dari pemikiran bahwa setiap muslim harus
berpedoman kepada al-Qur’an dalam merambah kehidupan di dunia.
Berkomunikasi merupakan aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia. Agar setiap orang mampu berkomunikasi secara baik dan benar serta
mendatangkan kemaslahatan maka ia harus berpedoman pada etika komunikasi
sebagaimana digariskan dalam al-Qur”an
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsir
maudhu’i (tematik), yang secara umum menggunakan langkah-langkah:
menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengan masalah; menyusun tuntutan ayat sesuai dengan masalah
turunnya, disertai pengetahuan tentang asbabun Nuzul-nya; menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline); melengkapi bahasan
dengan hadits-hadits yang relevan; dan mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan. Selain itu, penulis juga menggunakan metode content analisis atau
analisis isi.
Data yang ditemukan menunjukkan bahwa kata komunikasi banyak di
temukan dalam al-Qur’an baik yang menggunakan kata qala takallama, dan lain-
lain. Yang secara umum berkaitan erat dengan masalah etika komunikasi lisan.
Setelah mengkaji ayat-ayat tersebut secara seksama, penulis dapat
menyimpulkan bahwa etika komunikasi lisan menurut al-Qur’an dapat
dirumuskan sebagai berikut; berkomunikasi haruslah baik; isi pembicaraan harus
benar; dalam berkomunikasi harus menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi

ix
kalimat buruk; tidak boleh berkata bohong dan salah (batil), merendahkan diri saat
berkomunikasi, larangan bersikap manja bagi wanita ketika berkomunikasi di
depan laki-laki yang bukan muhrim dan dalam berkomunikasi hendaklah berlaku
adil.

x
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ‬
Segala Puji dan syukur penulis tersanjung hanya kepada Allah Swt, yang

dengan taufiq-Nya, penelitian berjudul “ Etika Komunikasi Lisan menurut Al-

Qur’an : Kajian Tafsir Tematik ” ini, dapat diselesaikan tugas akhir penulisan

skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw,

keluarga dan para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat

manusia.

Segala karya tulis yang da’if, tentunya didalam penelitian ini masih

terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka

yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah

bukti keterebatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis

terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh

yang sangat besar dalam bidang tafsir. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian

ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu

penulis, baik moril maupun materil. Maka pada kesempatan ini, izinkanlah

penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih

M.A (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir

Hadits), dan Dr. Lilik Umi Kultsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits).

xi
2. Bapak Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA, selaku dosen pembimbing skripsi

penulis yang dengan keikhlasannya membimbing, mengarahkan dan

memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.

3. Drs. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA yang banyak memberikan masukan, arahan

dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan

Tafsir Hadits yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat

merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan.

5. Yang tercinta Ayahanda H.Ahmad Dimyati (Alm) dan Ibunda Muhinah yang

senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan

yang selalu mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan di masa depan,

semoga penulis selalu mendapat ridho mereka dan dapat berbakti kepadanya.

Papi Somad, adikku (Dede dan Nuh) serta saudara-saudaraku tercinta yang

memberikan motivasi dan membantu penulis baik materil maupun inmaterial

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Untuk teman-teman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, khususnya teman-

teman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2006/2007, khususnya kelas TH-A:

Harfa, Kholid, Ust. Ubaid, Firda, dua Hasan, Mega, Malik dll. yang dengan

ikhlas turut membantu menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman KKN 80 dan

seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian

ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan yang singkat ini.

xii
7. Teman-teman penulis di manapun berada, khususnya sahabat-sahabatku

(Bontot, Figo, Ust. Ajay). Untuk teman-teman Masyhar : Gondiel, Aki

Zarkasih, Idham, Robi, Ijunk, Jamil, Jreng, Ismail. Teman-teman kampus :

Kholiah, Inmi2takanu dan semua rekan-rekan seperjuangan yang selalu

memberi Support dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Terlebih “Sang Motivator”Iin Rosita yang selalu setia menemani langkah

penulis dan mengisi hari-hari dengan senyum dan tawa, semoga apa-apa

yang kita citakan dapat terwujud……Amin. ‘I Love you’

9. Terakhir, untuk orang yang pernah melihat saya (ra’ânî yaqazatan kâna am fi

al-manân), bertemu dengan saya (laqiyanî), belajar bersama saya (jâlasanî),

tinggal bersama saya (aqâma ma’î), pernah mendengar suara dan ocehan saya

(sami’a minnî wa akhaza ‘annî syai’an), semua orang yang mau menerima

dan memperkenankan saya untuk mengambil hikmah darinya (wa akhaztu

‘anhu al-hikam wa al-‘ulûm), dan semua orang yang hidup semasa dengan

saya (‘asaranî). Ini bukan karena saya yang istimewa, melainkan anda semua

lah yang begitu spesial bagi saya. Bolehlah saya berharap dan ber-tafa’ul

kepada nabi agar semua orang yang tersebut di atas menjadi orang yang

beruntung, sekali lagi- bukan karena saya, tetapi karena kita dianugerahkan

oleh Allah Swt untuk bisa saling berhubungan. Teriring doa, “ Tûbâ liman

ra’ânî (bifadlih), wa tubâ liman ra’â man ra’ânî (bifadlih)”. Atas semua

kebaikan tersebut, tidak ada suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali

ucapan terima kasih yang tidak terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan

xiii
kita semua diterima dan dibalas oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ,

Âmîn…..!

Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa

syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat,

khususnya bagi penulis. Amin

Jakarta, 17 Maret 2011

Ttd,

Amir Mu’min Solihin


Penulis

xiv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………... i
LEMBAR PERNYATAAN………….……………………………………... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………. iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI………………………………………….. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………… v
ABSTRAK…………………………………………………………………… ix
KATA PENGANTAR………………………………………………………. xi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. xv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8

D. Studi Terdahulu yang Relevan .......................................................... 9

E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 10

F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13

BAB II : LANDASAN TEORITIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI

LISAN

A. Pengertian Etika Komunikasi Lisan ..…………..…………………. 15

B. Jenis-jenis Etika Komunikasi ...……………………………………. 25

C. Kedudukan Komunikasi dalam Islam ...………..………………….. 28

xv
D. Etika Komunikasi Qur’ani ……………………................................ 30

BAB III : TINJAUAN UMUM TEORI KOMUNIKASI QUR’ANI

A. Al-Qur’an Sebagai Media Komunikasi ...………………………….. 35

B. Peran dan Fungsi Komunikasi dalam Kehidupan …………………. 39

C. Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an ...…………............................. 42

D. Identifikasi Ayat-ayat Tentang Komunikasi ...……………………... 52

BAB IV : ANALISIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI LISAN DALAM

AL-QUR’AN

A. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Baik atau Diam ...………... 54

B. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Benar ...…………………... 64

C. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Adil .......………………..... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...………………………………………………………. 85

B. Saran ...……………………………………………………………... 87

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 90

xvi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemampuan berbicara merupakan salah satu potensi bawaan (Fitroh) yang

diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Sebab, hanya manusialah satu-satunya

makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah

memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya, sebagaimana bisa

dipahami dari firman Allah “mengajarnya pandai berbicara”1.

Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi, berkomunikasi adalah

sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Kemampuan

berkomunikasi merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya.

Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan

strategis. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari

tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi manusia

dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara

kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban2.

1
Q.S. Ar-Rahman: 4.
2
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik(Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), Cet.1,
hal. 286.
2

Selain itu kemampuan berkomunikasi juga membantu manusia untuk dapat

memenuhi kebutuhannya secara efektif dan efisien. Sebab dengan memiliki

kemampuan berkomunikasi, manusia akan bisa meminta bantuan kepada orang lain,

atau mengutarakan maksud-maksud lainnya, atau fungsi-fungsi lainnya yang intinya

bahwa berkomunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan

manusia.

Memang benar bahwa manusia bisa menggunakan bahasa isyarat dalam

berkomunikasi atau mengekpresikan keinginan dirinya, namun ternyata bahasa

isyarat tidak seefektif bahasa lisan, baik dari cara pengungkapan maupun pengaruh

yang ditimbulkannya.

Lebih dari itu dengan memiliki kemampuan berkomunikasi juga dapat

meninggikan derajat seseorang, jika ia mampu berbicara secara baik, meyakinkan,

menyenangkan, dan menarik, yakni dengan memakai etika komunikasi. Dalam

realitas kehidupan, kemampuan berkomunikasi secara baik yang dimiliki seseorang

kerap menjadikannya sebagai panutan masyarakat, bahkan tidak sedikit yang

disegani di dunia internasional dikarenakan kemampuannya dalam berkomunikasi

lisan secara baik.

Namun dengan demikian, berkomunikasi juga bisa berakibat fatal bagi

seseorang jika salah dalam berkomunikasi juga dapat menumbuh-suburkan

perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi


3

kemajuan, dan menghambat pemikiran.3 Apalagi jika orang tersebut dipandang

sebagai pejabat public atau pablik figure, sebab pembicaraan yang kurang kontrol

akan menimbulkan keresahan di masyarakat atau menyebabkan munculnya reaksi

negatif terhadap dirinya. Misalnya yang menimpa salah seorang mantan presiden,

bahwa diantara penyebab jatuhnya dari singgasana kepresidenan karena ada

beberapa yang dinilai tidak konsisten dan sering meresahkan masyarakat, sehingga

hal itu menjadi lahan empuk bagi para lawan politiknya untuk menggulingkan dari

jabatanya.

Realitasnya, tidak sedikit perselisihan, percekcokan, permusuhan, dan

pertengkaran muncul karena perkataan yang tidak terkontrol. Bahkan tidak sedikit

pertumpahan darah mengerikan yang berawal dari pekerjaan lidah yang membabi

buta. Rosulullah Saw menegaskan sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh

Imam Bukhori:

“Diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a bahwa Rosulullah Saw. Bersabda:


“Barangsiapa yang beriman kepada Allah Swt, dan hari kiamat, maka ia hendaknya
berkata hanya perkara yang baik atau diam, dan barangsiapa yang beriman kepada

3
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik(Tafsir Al-Qur’an Tematik), hal. 286.
4
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr,
1987), Juz. 20, hal. 11.
4

Allah dan hari kiamat, maka ia hendaklah memuliakan tetangganya. Begitu pula
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah
memulaikan tetamunya”.
Dalam hadits yang lain Rosulullah menegaskan lagi tentang bahaya yang

akan menimpa seseorang jika ia berbicara salah:

“Telah menceritakan kepada saya Ibrahim kepada Ibrahim bin Hamzah, telah
menceritakan kepada saya Ibn Abi Hajim, dari Yazid, dari Muhammad bin Ibrahim,
dari Isa bin Thalhah bin Ubaidillah dari Abu Hurairoh r.a bahwa ia mendengar
Rosulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba, bisa jadi dia
mengungkapkan satu kalimat (satu kata) yang tampak dari perkataannya bahwa ia
akan tergelincir ke dalam neraka yang sangat jauh (sangat dalam) sejarak timur dan
barat”.
Berdasarkan hadits-hadits tersebut jelaslah bahwa Islam memberikan

perhatian khusus terhadap pembicaraan, bahkan dipandang salah satu perkara yang

akan menyelamatkan manusia, baik didunia dan diakhirat. Pembicaraan dimaksud

adalah pembicaraan yan beretika, sehingga proses komunikasi berjalan dengan baik

serta terjalin hubungan yang harmonis antara komunikator dengan komunikan.

5
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr,
1987), Juz. 20, hal. 118.
5

Hanya saja, etika komunikasi yang di maksud dalam kajian ini adalah etika

yang berdimensi moral dan bersumber dari ajaran suci. Berkaitan dengan etika

komunikasi tersebut, bagaimanapun juga seorang muslim harus berpedoman pada

sumber utama Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sebab akhlak Nabi

sebagimana dinyatakan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Adalah

Al-Qur’an.6

Dalam al-Qur’an Allah ternyata memberikan perhatian yang cukup besar

terhadap masalah berkomunkasi ini. Bahkan ucapan yang baik dipandang lebih baik

dari pada shadaqah yang dibarengi dengan menyakiti hati penerima:

(٢٦٣

“Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari pada sedekah yang
diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun“7 (QS. Al-
Baqarah: 263)
Dalam ayat lain Allah juga memerintahkan manusia agar berkata baik:

“Bertuturkatalah yang baik kepada manusia.8 “(QS. Al-Baqarah: 83)


Selain itu, ada perintah untuk berkata benar, sebagaimana dinyatakan dalam
Al-Qur’an:
6
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 259
7
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), Cet. Ke-3,
jilid.1, hal. 390.
8
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
jilid., hal. 140.
6

(٧٠

“Dan Ucapkanlahlah Perkataan yang benar.9 (QS. Al-Ahzab: 70)


Masih banyak ayat-ayat lainnya yang berkaitan dengan masalah etika

berkomunikasi. Hanya saja dalam kajian ini, akan dibahas ayat-ayat tentang etika

yang menggunakan Shight Fi’il amr. Hal ini disimpulkan dalam enam prinsip

komunikasi, yaitu: Qaulan Sadidan( QS 4:9, 33:70), Qaulan Balighan(QS 4:63),

Qaulan Masyuran(QS 17:28), Qaulan Layyinan(QS 20:44), Qaulan Kariman(QS

17:23), Qaulan Ma’rufan(QS 4:5).

Namun demikian, untuk memahami ayat-ayat tersebut bukanlah perkara

mudah, penulis perlukan berbagai ilmu pendukung untuk dapat mengkaji ayat tentang

komunikasi ini. Seperti Firman Allah:

(٧٠

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan


ucapkanlah Perkataan yang benar. “10(QS. Al-Ahzab: 70)
Menurut Hamka maksud ayat tersebut bahwa diantara sikap hidup karena

iman dan taqwa adalah jika kata-kata yang tepat, yaitu jitu. Dalam kata-kata yang

tepat itu terkandung kata yang benar.11 Sedangkan Hasbi Ash-Shiddiqi berpendapat

9
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
jilid.8, hal. 140.
10
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
jilid.8, hal. 46.
11
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986), hal. 109.
7

maksud ayat tersebut adalah bahwa ucapkanlah perkataan-perkataan yang benar

yang mengandung kebajikan bagimu dan jauhilah dari ucapan-ucapan yang salah,

yang menyebabkan kamu mendapat azab di akhirat kelak.12 Dengan perkataan yang

tepat atau baik yang terucapkan dengan lidah dan didengar banyak orang maka akan

tersebar luas informasi dan pengaruh yang tidak kecil bagi jiwa dan pikiran

manusia. Kalau ucapan itu baik maka baik pula pengaruhnya, dan bila buruk maka

buruk pula pengaruhnya.13

Pandangan penulis, kajian tentang etika berkomunikasi ini relevan untuk

dikaji dalam kondisi sekarang, khususnya bagi bangsa Indonesia dewasa ini yang

sedang berada era reformasi dan kebebasan, termasuk di dalamnya bebas berbicara.

Sebab, secara fenomenal tidak sedikit di antara masyarakat Indonesia tak terkecuali

kaum terpelajar yang memahami era kebebasan tersebut sebagai kebebasan yang

tanpa batas, terutama dalam berkomunikasi dan mengeluarkan pendapat. Sehingga

tidak jarang yang berkomunikasi menyuarakan ‘kebenaran’ tanpa mengindahkan

etika berkomunikasi. Padahal mereka mengaku sebagai umat Islam.

Berdasarkan deskripsi di atas, penulis akan mengadakan penelitian tentang

“ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN: KAJIAN TAFSIR

TEMATIK”

12
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 3315.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. 11, hal. 33.
8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Al-Qur’an merangkai begitu banyak pelajaran dalam hal etika yang tak

kunjung habis untuk digali, salah satunya adalah etika komunikasi lisan yang akan

akan penulis kaji. Agar tidak terlalu luas dalam pembahasan masalah dalam skripsi

ini, maka penelitian ini hanya dibatasi pada ayat-ayat yang menggunakan kata Qala

atau berbagai bentuk derivasinya. Hal ini diambil atau berdasarkan asumsi bahwa

kata tersebut adalah yang paling dekat dengan pola komunikasi verbal, sementara

dalam praktik komunikasi sangat diperlukan adanya etika yang benar. Oleh karena

itu, penulis menilai penelitian tentang kajian terhadap ayat-ayat yang difokuskan

pada etika komunikasi ini.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan beberapa hal

yang akan menjadi pertanyaan besar dalam skripsi ini adalah Bagaimana etika

komunikasi lisan dalam perspektif al-Qur’an dan bagaimana nada dan sikap yang

baik ketika berkomunikasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Ada beberapa tujuan pokok penulisan skripsi ini sebagai berikut;

1. Untuk memenuhi syarat akhir studi S1 di fakultas Ushuluddin dan Filasafat.

2. Untuk mengetahui bagaimana Al-Qur’an berbicara mengenai Etika

Komunikasi Lisan.
9

Adapun manfaat atau kegunaan penulisan skripsi ini adalah:

a. Secara akademis tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menambah

khazanah keilmuan tentang literatur, khususnya yang menyangkut etika

komunikasi (communication etic), sehingga berguna bagi menjadi setetes

pengetahuan di tengah-tengah lautan tentang komunikasi yang bermanfaat

bagi para pemikir dan praktisi yang haus akan pengetahuan komunikasi.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis,

praktisi dan aktivis Islam pada umumnya termasuk juga civitas akademika

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta.

c. Memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat luas akan arti pentingnya

komunikasi, sehingga memotivasi masyarakat, umat islam khususnya, untuk

selalu berkomunikasi yang baik.

D. Studi Terdahulu yang Relevan

Sejauh penelusuran penulis ada penelitian skripsi yang terkait dengan

masalah yang ingin dikaji: terkait dengan hal itu adalah penelitian yang dilakukan

oleh Eneng Maria Ulfah14 dalam sebuah skripsi yang diajukan kepada Jurusan

Tafsir-Hadits UIN Jakarta, skripsi ini mengkaji masalah tentang Etika Menjaga

Lisan dalam Al-Qur’an. Skripsi yang ditulis pada tahun 2006 ini hanya terbatas

pada menjaga lisan saja dan tidak luas maknanya. Sedangkan dalam kaitannya

dengan apa yang penulis kaji, skripsi tersebut mencakup juga pembahasan yang

akan penulis paparkan. Namun bedanya tulisan di atas dengan penelitian yang

14
Eneng Maria Ulfah, “Etika Menjaga Lisan dalam Al-Qur’an.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
10

hendak penulis angkat di sini adalah bahwa arti komunikasi itu sendiri luas

cakupannya dan juga skripsi ini tidak hanya tercakup pada dua surat saja sementara

itu ayat yang menjelaskan tentang etika komunikasi itu banyak dan inilah yang

penulis akan kaji dalam tulisan ini.

E. Metodologi Penelitian

Sebagai sebuah kajian yang difokuskan pada kajian tafsir tematik, yang dalam

hal ini mengenai etika komunikasi lisan, tentu studi ini tidak hanya terpaku secara

normatif terhadap konsep-konsepnya saja (ontologi). Lebih dari itu, studi tersebut

haruslah diarahkan juga kepada kajian tentang bagaimana etika komunikasi itu, apa

komunikasi dalam al-Qur’an itu. Untuk selanjutnya, studi tersebut harus dapat

diaplikasikan secara proporsional dalam sebuah kajian (aksiologi).

Oleh karena itu, studi ini akan mengikuti prosedur dan alur penelitian sebagai

berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini yang digunakan adalah menggunakan metode telaah

perpustakaan (Library research) yaitu, penelitian untuk memperoleh informasi

yang komferehensif tentang konsep Etika komunikasi lisan menurut Al-Qur’an.

2. Sumber Data

Sumber data atau bahan primer dalam penelitian ini adalah yang

berhubungan dengan etika Komunikasi, karena studinya menyangkut Al-Qur’an,

maka sumber utamanyapun adalah Tafsir. Dan buku-buku lain sebagai sumber

tambahan seperti kitab-kitab tafsir, hadits, ulumul Qur’an, kamus, dan buku-

buku yang berhubungan dengan penelitian ini.


11

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal pengumpulan data, penulis menempuh teknik survey

kepustakaan dan studi literatur, survey kepustakaan yaitu menghimpun data yang

berupa sejumlah literatur yang diperoleh diperpustakaan atau tempat lain ke

dalam sebuah daftar bahan-bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah

mempelajari, menelaah, dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan

masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Metode Pembahasan

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsir

maudu’i (tematik). Selanjutnya penulis mencoba untuk melihat beberapa ayat-

ayat yang berbicara tentang komunikasi lisan dengan menggunakan metode

maudhu’i.

Menurut Al-Faramawi metode maudhu’i (tematik) adalah menghimpun

atau mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu dari surat

al-Qur’an yang sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya

sedapat mungkin dengan masa turunnya, selaras dengan masa turunnya,

kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan dan

berhubungannya dengan ayat lain kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.15

Dengan menggunakan metdode tafsir maudhu’i ini diharapkan akan didapatkan

jawaban al-Qur’an secara komprehensif terhadap masalah komunikasi lisan.

15
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar Terj. Surya A.
Samran,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.36, Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan Al-
Qur’an,( Jakarta: Mizan, 1992), Cet. Ke-1, hal. 115.
12

Tahap-tahap penelitian yang akan dilalui penulis dalam mempelajari dan

menghasilkan Etika Komunkasi Lisan menurut Al-Qur’an adalah sebagai

berikut:

1. Menetapkan masalah tentang etika komunikasi.

2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah etika

komunikasi lisan.

3. Mengkaji sebab latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang

berkaitan dengan etika komunikasi lisan karena dengan memahami asbab

an-Nuzul suatu ayat akan sangat membantu penulis untuk memahami

makna yang tersembunyi dibaliknya.

4. Menyusun pembahasan dengan kerangka yang sempurna.

5. Melengkapi pembahasan ini akan dilengkapi dengan hadits-hadits Nabi

yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditemukan

pandangan al-Qur’an terhadap etika komunikasi lisan.

5. Pendekatan Penelitian

Dalam pembahasannya skripsi ini menggunakan pendekatan deskriptif

analitis. Pendekatan seperti ini diperlukan untuk memaparkan hadis-hadis yang

terkait dengan etika komunikasi lisan. Pendekatan analitis ini dimaksudkan

untuk membuat analisa-analisa yang konfrehensif terhadap masalah yang

dibahas. Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
13

Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang disusun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.16

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan

penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan pertama

dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab-bab selanjutnya.

Agar mempermudah memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh dan

jelas tentang isi penelitian ini, maka skripsi ini disusun secara sistematika penulisan

yang teratur, dimana skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari lima bab, sebuah bab

pendahulu dan tiga bab isi, kemudian ditutup dengan sebuah bab penutup yang

menguat kesimpulan penelitian ini. Adapun sistematika pembahasannya sebagai

berikut:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan

tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, studi terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas landasan teoritis tentang etika komunikasi lisan yang

didalamnya menjelaskan pengertian etika komunikasi lisan, jenis-jenis etika

komunikasi, kedudukan komunikasi dalam Islam, etika komunikasi Qur’ani.

Bab tiga akan di fokuskan pada pembahasan mengenai tinjauan umum teori

komunikasi Qur’ani, pada bagian ini menjelaskan tentang al-Qur’an sebagai media

16
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2.
14

komunikasi, peran dan fungsi komunikasi dalam kehidupan, prinsip komunikasi

dalam al-Qur’an, identifikasi ayat-ayat tentang komunikasi.

Kemudian pada bab keempat, merupakan bab analisis tentang etika

komunikasi dalam al-Qur’an. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang perintah untuk

berkomunikasi dengan baik dan diam, perintah untuk berkomunikasi dengan benar,

perintah untuk berkomunikasi dengan Adil.

Bab kelima, berisikan Kesimpulan dan saran.


15

BAB II

LANDASAN TEORITIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI


LISAN

A. Pengertian Etika Komunikasi Lisan

a. Etika

Etika berasal dari bahasa latin, “etthos”. Yang berarti kesusilaan atau

moral.1 Maksudnya adalah tingkah laku yang ada kaitannya dengan norma-

norma sosial, baik yang sedang berjalan maupun yang akan terjadi. Terdapat

pendapat bahwa kata etika berasal dari ethos (Yunani) yang artinya watak

kesusilaan. Sedangkan pengertian etika secara istilah telah banyak

dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

Misalnya Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti

baik dan buruk, menerangkan apa ynag harusnya di lakukan manusia,

menyatakan tujuan yang harus di tuju oleh manusia di dalam perbuatan

mereka, dan menunjukan yang seharusnya diperbuat.2

Sementara itu, pengertian etika menurut Ki Hajar Dewantara adalah

ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam kehidupan

manusia, terutama yang berkaitan dengan gerak-gerik pikiran dan rasa yang

1
Hamzah Ya’qub, Etika Pembinaan Akhlaul Karimah(Suatu Pengantar), (Bandung:
Diponegoro: 1990), cet. Ke-4, hal. 12.
2
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) terjemahan, ( Jakarta: Bulan Bintang: 1996), cet. Ke-7,
hal. 3.
16

merupakan pertimbangan dan perasaan, sehingga dapat mencapai tujuannya

dalam bentuk perbuatan.3 Selanjutnya Soegarda Poerbakawatja, sebagaimana

dikutip Abuddin Nata mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan

tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai itu sendiri.4

Dari beberapa pengertian tentang etika diatas, dapat diketahui bahwa

etika berhubungan dengan empat hal, sebagaimana diungkapkan oleh

Abuddin Nata5 yaitu:

a. Dari segi pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang

dilakukan oleh manusia.

b. Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.

c. Dilihat dari fungsinya etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan

penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu

apakah perbuatan manusia tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia,

terhormat, dan sebagainya.

d. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif, yakni berubah-ubah

sesuai dengan tantangan zaman.

Dengan demikian, pokok pembahasan etika adalah penyelidikan

tentang tingkah laku dan sifat-sifat yang dilakukan oleh manusia untuk

dikatakan baik atau buruk. Dalam bidang filsafat, perbuatan baik atau buruk

dapat dikelompokkan pada pemikiran etika, karena berdasarkan pada

pemikiran yang diarahkan untuk manusia. Sedangkan menurut Muhammad al-

3
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 88.
4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 88.
5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 90.
17

Ghozali berpendapat bahwa objek pembahasan etika adalah meliputi seluruh

aspek kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok.6

Kata-kata etika sering disebut etik saja. Karena itu etika merupakan

pencerminan dari pandangan masyarakat mengenai yang baik dan yang buruk,

serta membedakan perilaku yang dapat diterima dengan yang ditolak guna

mencapai kebaikan dalam kehidupan bersama.7

Istilah lain yang semakna dengan kata etika adalah moral, susila dan

akhlak. Ditinjau dari segi etimologi, kata moral berasal dari bahasa latin

“mores” jamak dari kata “mos” berarti adat kebiasaan.8

Selanjutnya, istilah moral menurut Abuddin Nata9 adalah suatu istilah

yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat-sifat, perangai

kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat disebut benar,

salah, baik atau buruk. Oleh karena itu, moral dapat dipahami sebagai istilah

yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan

menilai baik, buruk, benar atau salah.

Sementara itu, Hamzah Ya’qub10 mengartikan moral sebagai perkara

yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima berkaitan dengan tindakan-

tindakan manusia, yang baik dan wajar. Dengan kata lain, perbuatan manusia

6
Imam Al-Ghozali, Ihya ‘Ulumuddin, Terj. Drs. H. Moh. Zuhri, dkk, (Semarang: CV Asy
Syifa’, 1992), cet. 2, jilid. 3, hal. 197.
7
Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. 34.
8
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung:
Diponegoro), cet. Ke-4, hal. 14.
9
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 81.
10
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14.
18

yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dengan

meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.

Dengan demikian istilah moral ini jika dihubungkan dengan etika

memiliki objek sama, yakni membahas tentang aktivitas manusia, yang

selanjutnya ditentukan posisinya. Perbedaannya adalah bahwa etika banyak

bersifat teori, sedangkan moral bersifat praktis.11 Dalam sisi penggunaannya,

istilah moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika

dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.

Istilah susila memiliki makna yang senada dengan etika, moral dan

akhlak. Hal ini bisa dilihat dari pengertian susila secara etimologis. Kata

susila berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik atau

bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, dan peraturan hidup atau norma.12

Sehingga kata susila bisa diartikan sebagai aturan hidup yang lebih baik.

Dengan demikian, susila ini merupakan bimbingan kearah yang baik dengan

berdasarkan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan mengacu kepada

suatu yang dipandang baik oleh masyarakat. Selanjutnya, istilah etika, moral

dan susila ini mempunyai makna yang senada dengan akhlak ( )

sebagaimana disebutkan diatas. Dikatakan memiliki makna nada yang senada,

karena akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari kata

khulqun ( ‫ ) ﺧﻠﻖ‬yang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku dan tabiat.

Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuian dengan kata kholqun ( ‫ﺧﻠﻖ‬

11
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14.
12
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 94.
19

) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan Khaliq ( ‫ ) ﺧﺎﻟﻖ‬yang

berarti pencipta, dan makhluq ( ‫) ﻣﺨﻠﻮق‬, yang diciptakan.

Oleh karena itu, menurut Hamzah Ya’qub13 perumusan pengertian

akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik

antara Khaliq dan makhluq dan antara makhuk dengan makhluk14. Hal ini

sesuai dengan firman Allah Swt, dalam surat al-Qalam ayat 4:

“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur15”

Menurut Abuddin Nata16 kata akhlak atau khuluq secara bahasa berarti

budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau sesuai yang menjadi

tabi’at.

Sedangkan pengertiannya secara terminologi (istilah), Abuddin Nata

mengutip pendapat Ibnu Maskawaih yang menyatakan bahwa akhlak

merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan

perbuatan tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.17 Sementara Ahmad

Amin berpendapat bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang

arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh

sebagian manusia kepada yang lainnya.18

13
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14.
14
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 11.
15
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
Jilid. 10, hal. 262.
16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 3.
17
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 3.
18
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 12.
20

Definisi-definisi akhlak di atas, secara substansial tampak saling

melengkapi, sehingga menurut Abuddin Nata19 terdapat lima ciri yang ada

tentang akhlak, yaitu:

a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang yang tertanam dalam jiwa

seseorang.

b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa pemikiran.

Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang

bersangkutan tidak sadar, hilang ingatan atau gila. Pada saat

melakukan perbuataan yang bersangkutan tetap sehat akalnya dan

sadar.

c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang

yang mengajarkannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan sesungguhnya,

bukan main-main atau karena bersandiwara.

e. Sejalan dengan cirri yang keempat, perbuatan akhlak dilakukan

dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji

orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

Dengan demikian, objek pembahasan tentang akhlak berkaitan dengan

norma atau penelitian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan seseorang.

Oleh karena itu, apabila suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk, maka

ukuran yang digunakan adalah ukuran normatif.

19
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) , hal. 5.
21

Dari uraian di atas, tentang masalah etika, moral, susila, dan akhlak

secara fungsinya dapat dipahami bahwa semuanya itu sama, yaitu menentukan

hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk

ditentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan kata lain, istilah-istilah

tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik,

aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera lahir dan batiniyah.

Oleh karena itu menurut Abudin Nata20, keberadaan etika, moral, dan

susila sangat dibutuhkan dalam rangka menjabarkan dan

mengoprasionalisasikan ketentuan akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an.

Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak merupakan ilmu pengetahuan yang

menjabarkan dan mengajarkan tentang baik dan buruk, benar atau salah

menurut ajaran al-Qur’an dan as-Sunah. Sehingga etika dalam Islam sesuai

dengan fitrah dan akal yang lurus.

b. Komunikasi

Komunikasi dalam bahasa Inggris adalah communication, berasal dari

akar kata bahasa latin, yaitu comunicatio, dan bersumber dari kata communis

yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Maksudnya

orang yang menyampaikan dan orang yang menerima mempunyai persepsi

yang sama tentang apa yang disampaikan. Kalau yang menerima berkata

20
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 96
22

merah, maka yang menerima juga berpresepsi merah.21 Sedangkan kata

komunikasi dalam bahasa arab adalah “Muwaasholat.”22

Komunikasi secara umum adalah sebagai hubungan atau kegiatan-

kegiatan yang ada kaitannya dengan masalah hubungan atau diartikan sebagai

saling tukar menukar pendapat antara manusia baik individu maupun

kelompok23. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud

komunikasi adalah proses penyampaian suatau pernyataan oleh seseorang

kepada orang lain

Komunukasi bisa dipandang sebagai salah satu kemampuan khusus

kepada manusia, bahasa dan pembicaraan itu muncul, ketika manusia

mengungkapkan dan menyampaikan pikirannya kepada orang lain.

Sebenaranya, manusia juga memiliki cara lain selain dengan

berkomunikasi dalam mengungkapkan keinginan atau tujuannya, seperti

menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi atau mengekpresikan

keinginan dirinya dengan gerak gerik tubuh namun ternyata bahasa isyarat

tidak seefektif bahasa lisan, baik dari cara pengungkapan maupun pengaruh

yang ditimbulkannya. Hanya saja berkomunikasi merupakan cara paling

efektif untuk menyatakan tujuannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa

21
Jamaluddin Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, ((Jakarta: Gema Insani Press,
1996), Cet. Ke-1, hal. 17.
22
Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: (PT Bulan Bintang, 1997), hal. 276.
23
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya,
1997), hal. 9.
23

kemampuan berkomunikasi memiliki posisi sangat penting dalam kehidupan

manusia.

Sesuai dengan pemahaman mengenai etika sebagaimana dijelaskan

diatas, maka etika komunikasi adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang baik

dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral tingkah laku

manusia dalam proses proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang

kepada orang lain.

Abuddin Nata menilai etika komunikasi berusaha membahas

perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang bersumber pada akal pikiran dan

filsafat, yang berfungsi untuk menilai, menentukan, dan menetapkan terhadap

suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia (apakah perbuatan manusia

tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya) yang

berkaitan dengan proses penyampaian dan penerima pesan dari seseorang

kepada orang lain24.

c. Lisan

Kata lisan berasal dari bahsa arab jamak dari kata , lisana, wa lisanu,

alisnatu, wa lisanatu yaitu alat ucap atau dalam bahasa Indonesia disebut

lidah/lisan.25 Selain itu kata lisan juga dapat diartikan bahasa dan perkataan.

24
A.W Widjaja, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 90.
25
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hal. 395.
24

Sedangkan pengertian lidah itu sendiri ialah jenis otot yang

memanjang di rongga mulut, organ ini terdiri dari beberapa unsur yang

tersusun secara rapih, seperi otot-otot dan saraf-saraf dibagian lidah terdapat

semacam saraf sebagai alat perasa.26

Lidah termasuk organ bicara yang paling aktif, dengan gerakan-

gerakan tertentu dibagian lidah yang bertemu dengan organ lain, maka akan

terjadilah bunyi yang mempunyai ciri tersendiri. Dengan inilah manusia bisa

berkomunikasi anatara yang satu dengan yang lainnya. Namun disisi lain,

lidah juga bisa membawa manusia kepada suatu bencana.

Pengertian spesifik mengenai etika komunikasi lisan dalam al-Qur’an

aturan tentang perilaku manusia dalam menjaga lisannya dari ucapan-ucapan

yang yang tidak berarti dan akan membawa kemudaratan baginya didunia dan

diakhirat. Etika dalam Al-Qur’an mempunyai aturan yang sangat dalam, maka

hal tersebut menjadi sebuah etika yang sakral dan tidak terbantahkan. Isi al-

Qur’an mengandung seruan moral bertujuan untuk menata tatanan sosial

supaya lebih beradab dan lebih terjaga.

26
Ahmad Sayuti Ansari Nasution, Diklat Dasar-dasar ilmu Fonetik, (UIN Jakarta, 2003).
25

B. Jenis-jenis Etika Komunikasi

Di lihat dari segi bentuknya, secara umum komunikasi meliputi bentuk : (1)

Komunikasi Persona, (2) Komunikasi Kelompok, (3) Komunikasi Massa, dan (4)

Komunikasi Medio27.

1. Etika Komunikasi Persona

Komunikasi personal (personal Communication)adalah komunikasi

seputar diri seseorang, baik dalam fungsinya sebagai komunikator maupun

sebagai komunikan28. Komunikasi persona ini terbagi menjadi dua bagian,

yaitu komunikasi intrapersona dan komunikasi interpersona.

Pertama, komunikasi intrapersonal adalah komunikasi dimana

komunikator dan komunikannya diri seorang pribadi atau komunikasi dalam

bentuk“melamun/menghayal” Materi yang dilamunkan atau dihayalkan bisa

tenang diri sendiri atau orang lain, bisa melamunkan individu, kelompok

maupun umat manusia secara keseluruhan.

Dalam komunikasi intrapersonal ini harus dikendalikan oleh etika agar

komunikasi intrapersonal yang dilakukan dapat menghasilkan niat yang baik

(master plan), penilaian yang baik terhadap orang lain (positif thinking), ide-

ide yang brilian tentang sesuatu yang dianggap baik menurut aturan yang

berlaku.

27
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 7.
28
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 57.
26

Kedua, komunikasi interpersonal adalah proses dimana dua orang

yang berperan sebagai pengirim dan penerima saling bertanggungjawab dalam

menciptakan makna.

2. Etika Komunikasi Kelompok

Onong Uchjana Effendy mengartikan komunikasi kelompok adalah

komunikasi yang berlangsung antara seseorang komunikator dengan

sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang29. komunikasi

kelompok ini adalah komunikasi yang berlangsung antara komunikator

dengan sejumlah komunikan, baik antar komunikator dengan sejumlah

komunikan atau antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Lebih lanjut terdapat beberapa ciri kelompok, antara lain: (1)

Komunikasi dengan tatap muka, (2) Komunikator dengan komunikan saling

berhadapan, (3) Umpan balik bersifat langsung, dan (4) Tanggapan

komunikasi bisa diketahui langsung pada saat komunikasi berlangsung.

Untuk menentukan etika komunikasi kelompok ini, pada dasarnya

tidak sama dengan etika komunikasi yang terdapat dalam komunikasi antar

pribadi.

3. Etika Komunikasi Massa

Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media massa (mass

media communication), yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi

29
Onong Uchjana Efendy, Dimensi-dimensi Komunikasi, (Bandung: Alumni, 1986), cet. Ke-
2, hal. 5.
27

yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film

yang dipertunjukan di gedung-gedung dan bioskop30.

Dalam proses komunikasi massa, baik pimpinan redaksi, wartawan,

penulis pengisi kolom, mereka bukan atas nama pribadi tetapi atas nama

media. Oleh karena itu, mereka perlu memahami norma-norma atau etika

yang berlaku dalam komunikasi massa.

Diantara komunikasi massa, antara lain adalah: (1) beritakan informasi

yang benar dan jujur sesuai denga fakta sesungguhnya, (2) berlaku adil dalam

menyajikan informasi, (3) Gunakan bahasa yang bijak, sopan dan

menghindari kata-kata yang propokatif, dan (4) Tampilkan gambar-gambar

yang sopan dan menghindari gambar-gambar yang seronok.

4. Etika Komunikasi Medio

Komunikasi medio adalah komunikasi dengan menggunakan atau

memanfaatkan media (media communication), seperti: surat, telepon, famplet,

poster, sepanduk, dan lain-lain31.

Berdasarkan pemahaman tentang komunikasi medio yang tidak begitu

berbeda dengan jenis komunikasi massa, maka bentuk dan setandar etika yang

harus terdapat dalam komunikasi medio juga tidaklah mengalami perbedaan

sebagaimana telah dijelaskan.

30
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 79.
31
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 7.
28

C. Kedudukan Komunikasi dalam Islam

Dalam Islam, kemampuan berkomunikasi yang dimiliki manusia merupakan

keistimewaan sangat besar dan termasuk salah satu perkara yang membedakan

manusia dengan hewan, serta tidak dipisahkan dalam kehidupan manusia, sebab

berkomunikasi hampir dibutuhkan pada semua gerak dan langkah manusia. Namun

demikian, Islam memberikan rambu-rambu ketika hendak berkomunikasi. Ia harus

berkomunikasi secara islami, yakni berkomunikasi yang berakhlakul karimah atau

beretika. Berkomunikasi yang berakhlakul karimah tersebut berarti berkomunikasi

yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits.

Menurut ajaran Islam, berkomunikasi juga memiliki posisi sangat penting

dalam menentukan nasib seorang, baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang

mampu mengendalikan pembicaraannya, akan memiliki kedudukan mulia dalam

pandangan mulia dalam pandangan manusia, dan kelak akan memperoleh pahala di

akhirat. Sebaliknya, orang yang tidak mampu mengendalikan pembicaraannya, maka

ia akan mudah menciptakan permusuhan dan percekcokan di antara sesama manusia

di dunia, dan kelak akan memperoleh azab di akhirat. Hal itu secara tegas dinyatakan

dalam sabda rasulullah saw.


29

Artinya: telah bercerita kepada kami muhamad bin abu bakar al-
muqaddami,telah bercerita kepada kami umar bin ali. Ia mendngar dari abu hazm
dari sahal bin sa’ad dari rasulullah saw bahwa beliau bersabda;”barangsiapa mampu
menjaga yang ada di janggutnya (lidah), dan apa yang ada di antara dua kakinya
(kemaluan), maka aku jamin dia masuk surga”.32
Tentang pentingnya berkomunikasi dalam Islam sangatlah jelas, baik

berkaitan dengan eksistensi seorang muslim maupun aturan-aturan peribadatan yang

terdapat dalam Islam. Seorang muslim, akan diakui eksistensinya sebagai seorang

muslim apabila telah bersaksi dengan kata-katanya (bersyahadat) bahwa hanya Allah

saja Tuhannya dan mengakui bahwa Muhamad adalah utusan-Nya. Selain itu,

berkomunikasi hampir dipakai dalam setiap bentuk ibadah. Seperti dalam sholat

pada hakikatnya. Ia sedang berkomunikasi kepada Tuhannya begitu pula pada

bertransaksi, seorang muslim diharuskan untuk mengucapkan akan jual beli sebagai

salah satu syarat absahnya jual beli dan masih banyak contoh pribadatan lainya yang

melibatkan pembicaraan.

Berkomunikasi juga berperan penting dalam menyebarkan Islam, yakni

dengan berdakwah. Dimaklumi bahwa tersebut da’i atau muballig Islam telah

mendakwahkan Islam sejak masa awal perkembangan Islam sampai sekarang di

segenap penjuru dunia, dengan dakwahnya tersebut. Makan Islam semakin di kenal

luas di sebagai belahan dunia, sehingga umat Islam pun kian hari semakin bertambah

banyak di seluruh dunia. Dengan dakwah pula, ilmu setiap orang islam semakin

bertambah dan iman, mereka semakin kuat. Dakwah tersebut sangat efektif jika

32
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr,
1987), Juz. 20, hal. 115.
30

disampaikan lewat kata-kata atau pembicaraan sehingga jelaslah bahwa

berkomunikasi memiliki peranan penting dalam penyebaran islam.

Berdasarkan pembahasan tersebut. Jelaslah bahwa komunikasi memiliki

kedudukan sangat sentral dalam Islam. Hal itu di buktikan pula dengan banyaknya

ayat dan hadits yang isinya berkaitan dangan berkomunikasi.

D. Etika Komunikasi Qur’ani

Komunikasi dalam pengertian Islam adalah sistem komunikasi umat Islam,

pengertian itu menunjukan bahwa komunikasi Islam lebih fokus pada sistemnya

dengan latar belakang filosofi (teori) yang berbeda dengan perspektif komunikasi

non-Islam. Dengan kata lain sistem komunikasi Islam berdasarkan pada Al-Qur’an

dan Hadits Nabi. Dengan kata lain sistem komunikasi Islam mempunyai implikasi-

implikasi tertentu terhadap makna proses komunikasi.33

Al-Qur’an menurut al-Qardhawi dinamakan pula “al-Haq” yang memiliki

makna yang sangat luas dan mendalam, diantaranya adalah: (1) al-Haq berarti

petunjuk atas Citra tri Tunggal Yang Luhur, yaitu: kebenaran, kebajikan, dan

keindahan: dan (2) al-Haq berarti etika timbal balik antara manusia34.

33
Prof, Dr, Andi Abdul Muis, SH, Komunikasi Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2001), Cet. Ke-1, hal. 65.
34
Yusuf Qardawi, Efistimologi Al-Qur’an (Al-Haq) terj, (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti,
1996) cet. Ke-2 , hal. 3.
31

Sebagai kitab etika, didalam al-Qur’an terdapat sekitar 500 ayat yang

membicarakan tentang konsep dan ajaran etika ini35. Hal ini menunjuk betapa

pentingnya etika, Etika yang diajarkan mengacu kepada standar yang ditetapkan

oleh Allah. Figur contoh keteladanan etika adalah Rosulullah sendiri. Karena itu,

dalam persepektif islam etika tidak saja merupakan suatu ajaran yang bersifat

konseptual tetapi juga praktikal. Keberadaan Rosulullah sebagai figur keteladanan

dalam bidang tingkah laku (behavior), menunjukan metode pengajaran dan aplikasi

nilai-nilai etika yang paling akurat, sehingga dengan demikian nilai-nilai etika dapat

ditiru secara langsung oleh manusia. Rosulullah sendiri mengaku bahwa seluruh

kandungan Al-Qur’an adalah akhlaknya.

Etika Qur’ani menurut Ilyas, mempunyai ciri-ciri tersendiri yang

membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai

lima cirri utama, yaitu: (1) Rabbani, (2) Manusiawi, (3) Universal, (4)

keseimbangan, dan (5) Realistik.36 Ciri Rabbani menegaskan bahwa etika Qur’ani

adalah etika yang membimbing manusia kearah yang benar, jalan yang lurus, atau

sirathal mustaqim.37 Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani memperhatikan dan

memenuhi fitrah manusia serta menuntun manusia agar memperoleh kebahagiaan

hidup didunia dan akhirat. Ciri universal adalah etika Qur’ani membawa misi kasih

sayang kepada umat manusia diseluruh dunia menegakkan kedamaian, menciptakan

35
H.M. Darwis Hude, dkk, Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Firdaus, 2002) Cet. Ke-1, hal. 189.
36
Drs. H. Yunahar Ilyas Lc. MA, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta. LPPI UMY, 1999), hal. 12.
37
Q.S Al-An’am: 153.
32

keamanan dan ketenangan baik secara individual maupun komunal.38ciri

keseimbangan artinya etika Qur’ani mengajarkan manusia agar memperhatikan

kepentingan duniawi namun tidak melupakan kepentingan ukhrowi, memenuhi

keperluan jasmani tanpa mngabaikan keperluan rohani.39 Ciri relistik adalah etika

Qur’ani memperhatikan kenyataan hidup manusia. Al-Qur’an memberikan

kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan berkarya, memperhatikan tingkat

kemampuan manusia dalam menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan

keringanan (rukshah) bagi yang tidak mampu melakukannya.40

Menurut Abuddin Nata41 etika Komunikasi Qur’ani adalah?

a. Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan

menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.

b. Menetapkan bahwa yang menjadi sumber ajaran Allah Swt dan Rosul-Nya

(al-Qur’an dan as-Sunnah).

c. Bersifat Universal dan Komprehensif, dapat diterima oleh seluruh manusia

disegala tempat dan waktu.

d. Dengan ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrahnya dan akal

fikiran manusia, maka etika islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh

manusia.

38
Q.S Al-Imron: 104.
39
Q.S Al-Baqarah: 201 dan Q.S Al-Qashash: 77.
40
Q.S Al-Baqarah: 173 dan 286.
41
Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf , (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) . hal. 96.
33

e. Mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang jujur dan meluruskan

perbuatan manusia dibawah pancaran sinar petunjuk Allah Swt, menuju

keridhoan-Nya42.

Prinsip lain yang dijelaskan Al-Qur’an tentang komunikasi atau media massa

adalah perlunya sikap kritis dalam menerima informasi, harus dilihat sumber

informasi itu, apakah datang dari sumber yang dipercaya atau tidak. Dan salah satu

etika komunikasi yang diungkapkan dalam Al-Qur’an khususnya media massa bahwa

tidak dibenarkan menyebar luaskan suatu keburukan atau berita yang negative,

kecuali untuk penegakkan hukum, selain untuk menjaga kehormatan orang lain.

42
Q.S Al-Hujurat: 6.
35

BAB III
TINJAUAN UMUM TEORI KOMUNIKASI QUR’ANI

A. Al-Qur’an Sebagai Media Komunikasi

Al-Qur’an adalah kitab komunikasi, karena didalamnya memenuhi seluruh

komponen komunikasi. Menurut Effendi1, terdapat lima komponen komunikasi,

yaitu: (1) Komunikator (communicator), (2) Pesan (message), (3) Media (media),

(4) Komunikan (communicant). (5) Efek (efect). Dari lima komponen komunikasi

tersebut ada pendapat lain yang menambahkan konteks kedalam komponen

komunikasi, Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga

dimensi2:

1. Fisik, adalah ruang dimana komunikasi berlangsung yang nyata atau


berwujud.

2. Sosial-psikoilogis, meliputi, misalnya tata hubungan status di antara mereka


yang terlibat, peran yang dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat di
mana mereka berkomunikasi. Lingkungan atau konteks ini juga mencakup
rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau
senda gurau.

3. Temporal (waktu), mencakup waktu dalam hitungan jam, hari, atau sejarah
dimana komunikasi berlangsung.

Ketiga dimensi lingkungan ini saling berinteraksi; masing-masing

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Sebagai contoh, terlambat

1
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997) ,
hal. 6.
2
Diakses pada tanggl 15 Maret 2011 Jam 21.30,
http://www.lrckesehatan.net/modul/modul%20komunikasi%20dan%20motivasi-FINAL.doc
36

memenuhi janji dengan seseorang (dimensi temporal), dapat mengakibatkan

berubahnya suasana persahabatan-permusuhan (dimensi sosial-psikologis), yang

kemudian dapat menyebabkan perubahan kedekatan fisik dan pemilihan rumah

makan untuk makan malam (dimensi fisik). Perubahan-perubahan tersebut dapat

menimbulkan banyak perubahan lain. Proses komunikasi tidak pernah statis.

Komponen komunikasi yang dimaksud adalah: (1) Komunikator adalah Allah

Swt, (2) Komunikan adalah Nabi Muhammad, (3) Pesan Komunikasi berupa ayat,

(4) Media komunikasinya terbagi dua: media langsung melalui perantara Jibril dan

media tidak langsung melalui mimpi dan gemercing lonceng, dan (5) Efek, yaitu

terciptanya ketenangan, ketundukan, dan hidayah.

Ditinjau dari tugas nabi sebagai penerima al-Qur’an, bahwa nabi sesuai

dengan makna leksikal nabi itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari akar kata:

nabaa, jamaknya adalah anbiya, dalam bahasa inggrisnya, prophets yang berarti

pembawa berita.3 Dan berita yang disampaikan oleh nabi adalah al-Qur’an atau

ayat-ayat Allah.

Dengan asumsi seperti itu maka dapat dirumuskan komponen komunikasi

sebagai berikut (1) Komunikator adalah Nabi Muhammad Saw, (2) Komunikan

adalah Sahabat dan Umat, (3) Pesan Komunikasi adalah ayat al-Qur’an, (4) Media

Komunikasi secara langsung adalah lisan, tulisan sedangkan media tidak langsung

melalui code seperti melalui mimpi, gemercing lonceng dan Al-Qur’an yang

3
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-2, hal. 297.
37

dipraktikan oleh Muhammad Saw, dan (5) Efeknya adalah terciptanya suasana

iman, Islam, dan ihsan.

Mempertegas pembahasan tersebut, tugas utama para Nabi pada hakikatnya

mengemban perintah dari Allah agar mengkomunikasikan dan mensyi’arkan syariat

islam kepada umat manusia agar mampu dan memilah serta memilih yang baik dan

benar, serta mencegah dari kesesatan dan kedzaliman. Tujuan utamanya adalah

menuju kebahagian dunia dan akhirat.

Prinsip dasar seorang Nabi sebagai komunikator adalah seseorang yang

mempunyai kemampuan intelektual yang cerdas serta (fathonah) yang dapat

memahami pesan yang diterima, seorang yang jujur (as-shidq), dan dapat dipercaya

(amanah) sehingga benar-benar menyampaikan pesan tersebut dengan tidak dibuat-

buat, dikurangi atau ditambahi.4 Seorang Nabi dalam menjalankan tugas

menyampaikan risalah haruslah didasari perintah Allah, dengan jiwa yang tulus dan

cara-cara yang bersih serta penuh kesabaran.5

Komunitas manusia yang dihadapi sebagai komunikan yang menjadi objek

ajaran tersebut mempunyai beragam socio-cultural, adat istiadat, dan bahasa yang

berlainan. Dalam hal ini seorang nabi harus mampu memahami situasi yang

dihadapi dan menyampaikan pesan sesuai dengan karakteristik manusia. Kurun

waktu yang berbeda, situasi yang beraneka ragam, domisili yang tersebar seantero

4
Q.S. Al-Maidah: 99.
5
Q.S. Muddatsir: 1-7.
38

jagat raya, karakteristiknya pun berkembang sesuai dengan gerak kemampuan

teknologi dan budaya, kesemuanya dipersatukan kepada satu tujuan yang sama.

Dalam menunjang keberhasilan komunikasi seorang nabi khususnya dan

umat manusia umumnya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa keberhasilan komunikasi

sangat ditentukan bagaimana komunikator menerapkan strategi dan metode yang

tepat guna dan berhasil guna, berhadapan dengan komunitas komunikan yang

beragam sebagaimana dijelaskan diatas.

Dalam Al-Qur’an faktor utama dalam mencapai tujuan komunikasi ditengah-

tengah keragaman komunikan adalah dengan faktor bahasa dalam arti yang

seluasnya. Sebab bahasa merupakan media yang paling banyak dipergunakan dalam

komunikasi dan hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang

kepada orang lain. Apakah itu berbentuk idea, informasi atau opini, baik mengenai

hal yang konkrit maupun abstrak, bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi

pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan

datang.6 Dengan media bahasa itu pula kita bisa mempelajari beragam ilmu, baik

yang dituils oleh para ilmuan dahulu maupun yang akan datang. Kesamaan dalam

arti pemahamannya, strata pengetahuan komunikator dan komunikan, pola

pendekatan persuasif yang bisa diterima semua orang untuk selanjutnya berhasil

mengubah sikap dan tingkah sadar untuk mengamalkannya, semua itu menjadi

6
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997)
, hal. 11.
39

target para nabi dan rosul yang hanya bisa disampaikan melalui bahasa yng

dimengerti oleh umatnya.7

Secara praktis-aplikasi, al-Qur’an menawarkan metode yang tepat dalam

komunikasi, yaitu dengan cara bijaksana (hikmah), nasehat yang baik (al-Mauidzah

al-Hasanah) dan berdiskusi yang baik (al-Mujadalah)8. Ketiga cara ini merupakan

etika komunikasi berdasarkan al-Qur’an yang dapat diterapkan sesuai dengan

watak dan kemampuan komunikator dan Komunikan.

B. Peran Dan Fungsi Komunikasi Dalam Kehidupan

Peran dan fungsi berbicara sangatlah penting dalam berkomunikasi. Selain

itu, antara berkomunikasi dan berbicara memiliki kaitan sangat erat. Hanya saja,

komunikasi memiliki makna lebih luas dari sekedar berbicara. Dan bisa dikatakan

bahwa berbicara merupakan bagian dari komunikasi, yang bisa disebut sebagai

komunikasi lisan. Manusia berkomunikasi karena beberapa faktor:

a. Perbedaan antara pribadi.

b. Manusia meskipun merupakan makhluk yang utuh namun tetap mempunyai

kekurangan.

c. Adanya perbedaan motivasi antar manusia.

7
Syeikh Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:
Toha Putra, 1993), Jilid. V, Juz 13, hal. 126.
8
Q.S. An-Nahl: 125.
40

d. Kebutuhan akan harga diri yang harus mendapatkan pengakuan dari orang

lain.9

Senada dengan hal tersebut, orang berkomunikasi dengan orang lain karena

hal-hal berikut:10

a. Setiap orang memerlukan orang lain untuk mengisi kekurangan dan membagi

kelebihan.

b. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap.

c. Interaksi ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan membuat orang

mengantisipasi masa depan.

d. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan penghalaman yang baru.

Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa keinginan berkomunikasi antar

pribadi disebabkan karena dorongan pemenuhan kebutuhan yang belum, atau tidak

dimiliki seseorang sebelumnya atau belum layak di hadapannya.

Dalam berbicara, bahasa merupakan media yang paling banyak

dipergunakan dalam berkomunikasi, karena bahasalah yang mampu

menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu berbentuk media

informasi atau ofini; baik yang mengenai yang konkriit abstrak; bukan saja tentang

hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang melain kan juga pada waktu yang

9
Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994), hal. 48.
10
Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, hal. 48-49.
41

lalu dan masa yang akan datang.11 Dengan bahasa media itu pula kita, bisa

mempelajari beragam ilmu, baik yang di tulis oleh para ilmuwan dahulu maupun

akan datang.

Dalam komunikasi lisan yang terutama dijumpai dalam komunikasi antar

pribadi. Yang pasti unsur-unsur penting dalam komunikasi tercakup di dalam nya

yaitu: sumber saluran, pesan, kode, penerima dan kerangka rujukan. Dan setiap

unsur memberikan dukungan pada komunikasi verbal.12 Dalam berkomunikasi

secara lisan ada enam jenis yang termasuk dalam komunikasi lisan, yaitu:13

a. Emotive Speech, yaitu gaya bicara yang mementingkan aspek psikologis.

b. Phatic Speech, adalah gaya komunikasi yang verbal yang berusaha

menciptakan hubungan sosial.

c. Coginitive Speech, merupakan jenis komunikasi verbal yang mengacu

pada kerangka berfikir atau rujukan yang mengartikan suatu cara kata

secara denotative.

d. Rethorical Speech, mengacu kepada komunikasi verbalkan yang

menekankan sifat konatif, dan mendorongnya terbentuknya perilaku.

e. Metaliguan Speech, adalah komunikasi secara verbal, tema

pembicaraannya tidak mengacu pada obyek dan peristiwa dalam dunia

nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri.

11
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), hal. 11.
12
Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994), hal. 43.
13
Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994), hal. 43.
42

f. Poetic Speech, adalah komunikasi lisan secara verbal berkutat secara

struktur penggunaan “kata” yang tepat melalui perindahan pilihan “kata”,

ketepatan unkapan, menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gaya-

gaya lain yang khas.

C. Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an

Dalam proses komunikasi paling tidak terdapat tiga unsur, yaitu:

komunikator, media dan komunikan.14 Para pakar komunikasi juga menjelaskan

bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti

dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau

informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain.

komunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga

bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public

attitude).

Meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan masalah

komunikasi, namun jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum

prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini dengan melihat kata qaul dalam konteks

perintah, penulis menyimpulkan bahwa ada enam prinsip komunikasi, yaitu: Qaulan

Sadidan( QS 4:9, 33:70), Qaulan Balighan(QS 4:63), Qaulan Masyuran(QS 17:28),

Qaulan Layyinan(QS 20:44), Qaulan Kariman(QS 17:23), Qaulan Ma’rufan(QS

4:5). Yang diantaranya adalah:

14
YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta, Grasindo, 1998), hal. 69.
43

a. Prinsip Qaulan Balighan

Di dalam al-Qur'an kata qaulan baligh hanya disebutkan sekali, yaitu

surah an-Nisa': 63:

‫ﺎ‬

(٦٣
“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa
yang di dalam hatinya. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah
mereka nasehat, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada
jiwanya.”15 (QS An-Nisa: 63)
Kata baligh dalam bahasa Arab artinya sampai, mengenai sasaran, atau

mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qaul (ucapan atau komunikasi), ‘baligh’

berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki.

Karena itu, prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi

yang efektif.

Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab,

membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap baligh, antara lain:16

Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan Kalimatnya tidak

bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur Pilihan

kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar Kesesuaian kandungan dan

gaya bahasa dengan lawan bicara Kesesuaian dengan tata bahasa.

b. Prinsip Qaulan Kariman

15
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
Jilid.2, hal. 199-200.
16
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an(Jakarta:
Lentera Hati, 2000), jilid. 2, hal. 468.
44

Dalam al-Qur’an terdapat satu ayat yang memuat redaksi qaulan

kariman, yaitu pada surat al-Isra ayat 23:

(٢٣)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak keduanya dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.17”(QS. al-Isra: 23)
Dari sisi substansi ayat, firman Allah ini dalam pemahaman Hamka

merupakan ayat yang menerangkan etika (akhlak) muslim yang berusaha

menerangkan dasar budi pekerti dan kehidupan muslim. Akhlak pertama yang

dibahas adalah etika atau akhlak kepada Allah yang merupakan pokok budi

yang sejati. Sebab hanya Allah yang berjasa kepada kita, yang menganugerahi

kita hidup, memberi rezeki, memberikan perlindungan dan akal, tidak ada

yang lain hanya Allah.18

Sedangkan akhlak yang kedua adalah berbakti kepada kedua orang tua

dengan cara berkhidmat kepada ibu dan bapak, menghormati keduanya yang

telah menjadi penyebab bagi kita sehingga kita dapat hidup di dunia ini yang

merupakan kewajiban kedua setelah beribadah kepada Allah.

17
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya , (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-
3, Jilid. 5, hal. 458.
18
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz. 15, hal. 63.
45

Dalam ayat ini lebih lanjut secara teknis dijelaskan ketentuan etika

yang baik menurut al-Qur’an mengenai sikap terhadap kedua orang tua. Di

antaranya adalah “jika keduanya atau salah seorang mereka, telah tua dalam

pemeliharaan engkau, maka janganlah engkau berkata “uff” kepada

keduanya”. Perkataan uffin, menurut Hamka adalah kalimat yang

mengandung rasa bosan atau jengkel meskipun tidak keras diucapkan atau

dengan kata lain seorang anak dituntut supaya menggunakan etika dalam

berkomunikasi kepada kedua orang tuanya.

Sedangkan etika komunikasi menurut ayat ini adalah . Qaulan

Karima secara bahasa berarti perkataan yang mulia. Menurut Al-Mawardi

adalah perkataan dan ucapan-ucapan yang baik yang mencerminkan sebuah

kemuliaan.19 Sedangkan dalam Al-Qur’an dan terjemahannya20.

Diterjemahkan dengan perkataan yang baik. Al-Maraghi21, mengartikan

dengan perkataan yang mulia. Selanjutnya ucapkanlah kepada mereka

perkataan yang lemah lembut dan baik yang disertai dengan sikap sopan

santun, hormat, ramah, tamah, dan bertatakrama.

Ayat ini memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan

berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali,

19
KH. Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah tidak berbohong, (Al-Mawardi Prima: Jakarta,
2002) , hal. 35.
20
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-
3, Jilid.5, hal. 458.
21
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:
Toha Putra, 1993), Jilid. 15, hal. 51.
46

di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-

Qur'an menggunakan term Karim, yang secara kebahasaan berarti mulia.

Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang Karim, dalam

konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan

yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia

berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan

dihormati.22 Qaul karim, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik,

yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.

c. Prinsip Qaulan Maysuran

Istilah qaulan masyura hanya satu kali disebutkan dalam al-Qur’an

yang terdapat dalam surat al-Isra ayat 28:

(٢٨
“Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang engkau harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka
Ucapan yang lemah lembut.23”(Q.s. al-Isra: 28).
Menurut Hamka, qaulan masyura adalah kata-kata yang

menyenangkan. Berdasarkan konteksnya menurut Hamka qaulan masyura itu

pantas diucapkan oleh orang kaya nan dermawan, berhati mulia dan sudi

menolong kepada orang yang pantas ditolong, didalam situasi si dermawan

tersebut sedang “kering” belum mampu memberikan pertolongan. Di dalam

22
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, penerjemah: As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), juz 13, hal. 318.
23
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
Jilid.5, hal. 464-465.
47

al-Qur’an dan terjemahnya,24 qaulan masyuran diartikan dengan ucapan yang

lemah lembut. Demikian pula yang terdapat di dalam Tafsir al-Maraghi.25

Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily26 dalam tafsirnya adalah, “Maka

ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mudah dipahami, lunak dan lemah

lembut.”

Berdasarkan asbab an-Nuzulnya ayat tersebut diturunkan sebagai

perintah kepada Nabi Muhammad Saw untuk menunjukan sikap yang arif dan

bijak dalam menghadapi keluarga-keluarga dekat, orang miskin dan musafir

ucapan yang manis dan pantas kepada mereka agar tetap bersabar dalam

menghadap cemoohan dan hinaan serta bujukan harta kekayaan disamping

mereka juga tidak sungkan memberikan harta kekayaannya kepada musuh-

musuh Islam, yang karenanya bisa menghalangi dan memerangi umat Islam.27

d. Prinsip Qaulan Ma'rufan

Secara bahasa, qaulan ma’rufa berarti perkataan yang ma’ruf

(membangun). Dengan demikian, ia mengandung pengertian perkataan dan

ucapan-ucapan yang baik, santun, dan sopan. Perkataan yang baik akan

menggambarkan kearifan. Perkataan yang santun akan menggambarkan

kebijaksanaan. Dan perkataan yang sopan menggambarkan sikap terpelajar

24
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
Jilid.5, hal. 465.
25
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:
Toha Putra, 1993),, jilid 15, hal. 71.
26
Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hal. 59.
27
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:
Toha Putra, 1993), Jilid 15, hal. 71.
48

dan kedewasaan.28 Berkaitan dengan perkataan yang ma’ruf ini Allah Swt.

berfirman:

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna


akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.29” (QS. An-
Nisa: 5)
Khithab (pembicaraan) pada ayat 5 surah an-Nisa tersebut ditujukan

kepada semua umat dan larangannya mencakup setipa harta, yang intinya

perintah agar memberikan harta kepada anak yatim apabila ia telah baligh dan

memberikan mahar kepada isteri, kecuali apabila mereka termasuk orang safih

(dungu), yang tidak akan bisa menggunakan harta benda. Maka cegahlah harta

mereka agar jangan disia-siakan dan peliharalah harta mereka olehmu hingga

mereka dewasa. Kemudian hendaknya setiap wali menasehati orang yang

diasuhnya apabila ia masih kecil dengan perkataan yang enak dan

membuatnya menjadi penurut.30

Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an

mengharuskan setiap muslim untuk selektif dalam berbicara, antara lain


28
KH. Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah tidak berbohong, (Al-Mawardi Prima: Jakarta,
2002), hal. 42.
29
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), cet. Ke-1,
Jilid. 2. hal. 114.
30
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:
Toha Putra, 1993), jilid 4, hal. 333.
49

dengan menggunakan kata-kata yang baik dan menjauhi kata-kata buruk.

Kata-kata baik tersebut adalah kata-kata halus yang tidak menyinggung orang

lain. Dengan kata lain, serang muslim hendaklah menghindari kata-kata kasar

yang menyinggung lawan bicara, kata-kata tersebut diucapkan. Sebaliknya, ia

harusg memperhatikan tatakrama bicara sesuai dengan lingkungan dimana ia

hidup.

Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu QS

al-Baqarah: 235, al-Nisa: 5 dan 8, al-Ahzab: 32. Di dalam QS al-Baqarah:

235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah

ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam QS an-Nisa: 5 dan 8, qaul

ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak

yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di QS. al-

Ahzab: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.

e. Prinsip Qaulan Layyinan


Istilah qaulan layyinan hanya satu kali disebutkan dalam al-Qur’an
yang terdapat dalam surat Thaha ayat 44:

(٤٤
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, Mudah-mudahan ia sadar atau takut"31. (QS Thaha: 44)
Pada ayat di atas Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Musa dan

Nabi Harun untuk menyerukan ayat-ayat Allah kepada Fir’aun dan kaumnya.

Dikhususkan perintah berdakwah kepada Fir’aun setelah berdakwah secara

31
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirny, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
Jilid. 6, hal. 141.
50

umum, karena jika Fir’aun sebagai raja sudah mau mendengarkan dan

menerima dakwah mereka serta beriman kepada mereka, niscaya seluruh

orang Mesir akan mengikutinya, sebagaimana dikatakan dalam pepatah,

“manusia mengikuti agama raja mereka”.

Wahbah al-Zuhaily32 menafsirkan ayat tersebut dengan, “ Maka

katakanlah kepadanya (Fira’un) dengan tutur kata yang lemah lembut (penuh

persaudaraan) dan manis didengar, tidak menampakkan kekasaran dan

nasehatilah dia dengn ucapan yang lemah lembut agar ia lebih tertarik.

Karenanya ia akan merasa takut dengan siksa yang yang dijadikan oleh Allah

melalui lisanmu”. Maksudnya adalah agar Nabi Musa dan Nabi Harun

meninggalkan sikap yang kasar.

Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang

mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara

berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar

dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan

orang yang diajak bicara tersebut.

f. Prinsip Qaulan Sadidan

Di dalam al-Qur'an kata qaulan sadidan disebutkan dua kali, pertama,

QS. An-Nisa: 9:

32
Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid. 15, hal. 215.
51

(٩)
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara tutur kata yang
benar.”33(QS. an-Nisa: 9)
Ayat diatas sebagai bukti adanya dampak negative dari perlakuan

kepada anak yatim yang dapat terjadi kepada kehidupan dunia ini. Sebaliknya,

amal-amal yang soleh dilakukan seoarang ayah dapat mengantar

terpeliharanya harta dan peninggalan orang tua untuk anaknya yang menjadi

yatim.34 Muhammad Sayyid Tanthawi berpendapat bahwa ayat diatas

ditujukan kepada semua pihak, siapapun, karena semua diperintahkan untuk

berlaku adil, berucap yang benar dan tepat, dan semua khawatir akan

mengalami apa yang digambarkan diatas.35

Dan kedua, QS. al-Ahzab: 70

(٧٠
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar.”36(QS. Al-Ahzab:70)

33
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
Jilid. 2, hal. 114-115.
34
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), vol. 2, hal. 339.
35
M.Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), vol. 2, h. 338.
36
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
jilid. 8, hal. 46.
52

Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini

menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan

perkataan yang sadid. Atau dengan istilah lain, qaul sadid menduduki posisi

yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan

seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak

penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat. Perkataan yang tepat

itu terkandunglah kata yang benar,37 pembicaraan yang tepat sasaran dan

perkataan yang disampaikan haruslah baik, benar dan mendidik.38

D. Identifikasi Ayat-ayat Tentang Etika Komunikasi Lisan

Dalam al-Qur’an istilah komunikasi sebagian besar diungkapkan dengan kata

-‫ ﻗﺎل‬-‫ ﻧﻄﻖ‬, dan_‫ ﻛﻠﻢ‬atau_‫ ﺗﻜﻠﻢ‬kata ‫ ﻗﺎل‬dengan berbagai derivasinya diulang sebanyak

1722 kali, yang terdapat pada 141 ayat dalam 57 surat,39 kata ‫ ﻧﻄﻖ‬dengan berbagai

derivasinya diulang sebanyak 12 kali yang terdapat pada 16 ayat dalam 11 surat,40

dan kata -‫ ﻛﻠﻢ‬atau ‫ ﺗﻜﻠﻢ‬dengan berbagai derivasinya diulang sebanyak 75 kali, yang

terdapat pada 72 ayat dalam 35 surat.41 Dari istilah tersebut kata Qala mempunyai

beberapa tema yaitu:

1. Tema komunikasi tentang perintah ada beberapa ayat, yaitu: al-Baqarah: 263; an-

Nisa: 5, 9, 63; al-Maidah: 8; al-An’am: 152; an-Nahl: 90; al-Israa: 23, 28 53; al-

37
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1984), Juzu’: 22, hal. 109.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol.11, hal. 330.
39
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, (al-Haiah al-
Misyriyyah li al-Ta’lif wa al-Nasyr, 1975), hal. 426-444.
40
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, hal. 726-727.
41
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, hal. 520-525.
53

Mu’minu: 3; an-Nuuur: 21; al-Qashash: 55; al-Ankabut: 28; az-Zumar: 18; al-

Hujurat: 3; al-Ahzab: 70.

2. Tema komunikasi tentang tauhid ada beberapa ayat, yaitu: al-Baqarah: 83, al-

Imran: 104, al-A’raf: 33, al-Hajj: 24, an-Nuur: 15, 16, 19, Fathir: 10.

3. Tema komunikasi tentang larangan ada beberapa ayat, yaitu: an-Nahl: 105; al-

Furqan: 72; Lukman: 19; al-Ahzab: 32.

Setelah mengkaji ayat-ayat tersebut, dapat diketahui bahwa ayat yang

berkaitan dengan etika komunikasi lisan dapat diklarifikasikan sebagai berikut: QS.

al-Baqarah [2]: 83, 263; QS. Ali-Imran [3]: 104; an-Nisa [4]: 5, 9, 63, 114, 148; al-

Maidah[5]: 8; al-An’am [6]: 152; al-A’raf [7]: 33; Ibrahim [14]: 24, 25, 26; an-Nahl

[16]: 90, 105; al-Isra’ [17]: 23, 28, 53; Thaha [20]: 44; al-Hajj [22]: 24; al-Muminun

[23]: 3; an-Nuur [24]: 15, 16, 19, 21; a-Furqan [25]: 72: 165; al-Qashash [28]: 55; al-

Ankabut [29]: 28; Lukman [31]: 19; al-Ahzab [33]: 32, 70; Fathir [35]: 10; az-Zumar

[39]: 18; Dan al-Hujurat [49]: 3.


54

BAB IV
ANALISIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI DALAM AL-
QUR’AN

A. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Baik atau Diam

Berkomunikasi dengan baik adalah suatu keniscayaan bagi seorang

muslim. Namun demikian, cara berkomunikasi yang baik niscaya timbul dari

budi yang baik. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholih niscaya

perkataan yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah berkata

jelek. Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah ini terdapat pada

surat al-Isra’ ayat 53. Allah Swt. berfirman:

(٥٣
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia.”1 (QS. Al-Isra: 53)
Berdasarkan ayat tersebut, umat Islam diharuskan untuk selalu berbuat

kebaikan dalam segala kondisi agar dapat menuai hasil (pahala) kebaikan pula,

baik untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara untuk

menggapai pahala tersebut adalah dengan berkomunikasi secara baik, sebab

berkomunikasi baik kepada orang lain akan mendatangkan kemashlahatan, baik

bagi dirinya maupun bagi orang lain. Sebaliknya, cara komunikasi yang tidak

baik akan mendatangkan kemadaratan dan permusuhan, sebab bersumber dari

1
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 5, hal. 497.
55

hasutan syaitan yang selalu berusaha agar manusia selalu mengikuti jalannya

dengan berbagai cara, sehingga manusia terperangkap di pelukannya.

Menurut Ibn Katsir, dalam ayat tersebut Allah Swt. memerintahkan kepada

hamba-hamba-Nya yang beriman agar berkata baik atau menggunakan kata-kata

terbaik ketika berkomunikasi atau ketika memerintahkan sesuatu kepada sesama.

Jika mereka tidak berbuat demikian, maka di antara mereka akan terkena hasutan

syaitan yang akan berdampak pada perbuatan mereka, sehingga akan terjadi

pertengkaran dan permusuhan di antara mereka.2

Senada dengan tafsiran ayat tersebut, Imam Qurtubi berpendapat bahwa

Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. agar menyuruh

umatnya untuk berkomunikasi dengan baik, atau menggunakan kata-kata yang

terbaik ketika mereka sedang berkomunikasi atau memberikan petuah kepada

sesama mereka.3

Berdasarkan beberapa penafsiran tersebut, jelaslah bahwa berkomunikasi

dengan baik merupakan perintah dari Allah Swt. hanya saja, munculnya ucapan

baik yang dilontarkan seseorang ternyata berkaitan pula dengan keteguhan iman

seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang imannya kuat dipastikan akan selalu

berusaha untuk berbuat kebaikan, termasuk dalam berkomunikasi. Hal ini

dinyatakan dalam firman-Nya:

(٢٤

2
Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu
Katsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 59.
3
Muhammad bin Yazid bin Jarir bin Khalid at-Thabari Abu Ja’far, Tafsir al-Qurtubi,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1984), juz . 15, hal. 180.
56

“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan


ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang Terpuji.4”(QS. Al-Hajj: 24)
Menurut Hamka5, perkataan yang baik niscaya timbul dari budi yang baik

dan sopan santun. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholeh niscaya

perkataannya yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah

berkata jelek. Orang yang memberikan bimbingan untuk bisa bersikap seperti itu

tiada lain adalah utusan-utusan Allah Swt sendiri.

Pendapat tersebut bisa dipahami dikarenakan seorang hamba yang beriman

kuat, tentu saja akan terus berusaha untuk menguasai nafsunya dan

mengendalikan jiwanya, sehingga segala perkataan dan perbuataannya tidak

bertentangan dengan ketentuannya Tuhannya. Ia selalu merasa bahwa dimanapun

ia berada, Allah Swt Senantiasa mengawasi dan memperhatikannya, sehingga

tidak ada celah sendikit pun baginya untuk melakukan sesuatu yang menyimpang

dari ketentuan-Nya, termasuk dalam komunikasi.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang yang selalu berkata

baik akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhan, sebagaimana dinyatakan

dalam firman-Nya:

(١٠
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan
amal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan
bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.”6(QS.
Fathir: 10)

4
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 6, hal. 375.
5
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Cet. Ke-3, Juz. 17, hal. 156.
6
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 8, hal. 141.
57

Menurut Hamka, maksud dari “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan

yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya”. Artinya bahwasannya terlontar dari

mulutnya kata-kata yang baik, dia pun diangkat keatas, kemartabat yang lebih

tinggi oleh amal shaleh. Dan itulah izzah atau kemuliaan sejati.7

Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa siapa saja yang menginginkan

kejayaan di dunia dan di akhirat, maka hendaklah ia selalu taat kepada Allah Swt.

Ketaatanlah yang akan menjadikan seorang hamba memperoleh kejayaan, sebab

kejayaan semata-mata milik Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat. Di

antara ketaatan adalah berkata baik, sebab Allah Swt. akan menerima perkataan-

perkataan yang baik, seperti tauhid, dzikir, dan bacaan al-Qur’an.8

Oleh karena itu, umat Islam sudah semestinya memandang penting untuk

berkata baik, tidak asal bicara, apalagi mempengaruhi orang lain untuk berbuat

kejelekan. Orang yang berkata jelek, tentu saja tidak akan mendapatkan pahala,

sebab perkataan yang mengandung pahala adalah perkataan yang mengandung

kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

(١١٤
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa
yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar.9” (QS. An-Nisa: 114)

7
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Cet. Ke-3, Juz. 22 , hal. 219.
8
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1382H/1962M), Jilid. 8, hal. 112-123.
9
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 2, hal. 263.
58

Dengan demikian, selain harus berkata baik seorang muslim pun harus

selektif dalam menerima bisikan dari orang, sebab tidak semua bisikan yang

datang kepadanya layak diceritakan kembali kepada orang atau ia praktikkan

dalam perbuatan, sebab tidak menutup kemungkinan bisikan yang datang

kepadanya akan menjerumuskannya. Begitu pula bisikan jelek yang diterima

seseorang kalau disebarkan kepada orang lain tidak menutup kemungkinan hanya

akan mendatangkan kemadaratan bagi orang lain.

Menurut ayat tersebut, perkataan seseorang semestinya mengandung

ajakan untuk berbuat kebaikan agar menghasilkan kebaikan pula, baik bagi

dirinya maupun orang lain. Bahkan dalam ayat lain Allah Swt. menegaskan:

(١٠٤
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.”10 (QS. Ali-Imran: 104)
Berkaitan dengan keutamaan berkata baik, Rosulullah Saw. Bersabda:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a katanya, “ Nabi Saw telah bersabda,
pada setiap hari terdapat sedekah disetiap sendi manusia ketika matahari terbit.

10
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 2, hal. 13.
59

Kemudian Rosulullah Saw. Bersabda: “berlaku adil diantara dua orang manusia
adalah sedekah, membantu seseorang naik keatas binatang tunggangannya atau
mengangkat barang-barangnya keatas belakang tunggangannya juga adalah
sedekah”. Rosulullah Saw. Bersabda lagi: perkataan yang baik adalah sedekah,
setiap langkah menuju sembahyang adalah sedekah dan membuang sesuatu yang
berbahaya di jalan adalah sedekah.11(HR. Bukhori)
Berdasarkan hadits tersebut jelas sekali bahwa berkata baik sangat

menguntungkan orang mu’min, karena akan semakin menambah banyak pundi-

pundi amalnya untuk bekal kelak di akhirat. Dalam hal ini tentu saja lebih baik

diam dari pada berkata baik berkata tidak karuan yang memudhorotkan bagi orang

lain.

Ibnu Hajar12 berpendapat, yang dimaksud dengan penyataan bahwa

perkataan yang baik adalah sedekah, yaitu perkataan seseorang yang membuahkan

pahala dari Allah Swt. Baginya, sebagaimana Allah Swt pun telah menjanjikan

kepada orang yang mengeluarkan sedekah. Ia juga mengutip hadits dari Adi bin

Hatim yang menyatakan, “Jagalah diri kalian walaupun dengan biji kurma. Jika

kalian tidak memilikinya, maka dengan perkataan yang baik”.

Dalam hadits yang lain, Rosulullah Saw. Bersabda:

11
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn
Katsîr, 1987), Juz.10, hal. 163.
12
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Fadhl al-‘Asqalani al-Syafi’I, Fath al-Bari, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379), Juz. 10, hal. 449.
60

“Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah bercerita
kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Husain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah.
Ia berkata bahwa Rosulullah Saw, telah bersabda, “Barangsiapa yang beriman
kepada Rosulullah Saw dan hari akhirat, hendaklah berkata baik atau diam saja.
Dan telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada
kami Isa bin Yunus dari A’Masy dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah. Ia berkata
bahwa Rosulullah Saw, telah bersabda sebagaiman hadits dari Abu Hushain
tersebut. Hanya saja, beliau bersabda: Hendaklah ia berbuat baik kepada
tetangganya.”(HR. Muslim)13
Menurut Imam an-Nawawi, maksud ungkapan , bahwa

jika seseorang akan berkata sesuatu, maka hendaklah berpikir dahulu, jika

perkataannya mendatangkan pahala baginya, baik berkaitan dengan perkara wajib

maupun sunah maka katakanlah. Sebaliknya, apabila perkataannya tidak akan

mendatangkan pahala, baik secara zhahir berkaitan dengan perkara yang makruh

maupun haram, maka hendaklah ia tahan perkataannya.14

Dengan kata lain, diam adalah lebih utama dibandingkan banyak bicara

tetapi tidak bermakna dan hanya mendatangkan kemudhorotan. Menurut Yusuf

Qardhawi, banyak bicara akan membuat orang melakukan banyak kesalahan

karena lidah (lisan) tidak terlepas dari berbagai kekeliruan. Seperti yang dikatakan

Imam al-Ghazhali, lidah mempunyai dua puluh penyakit, antara lain: berdusta,

ghibah, namimat (mengadu domba), bersaksi palsu, bersumpah palsu,

13
Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî an-Naisabûri, Sahih Muslim , (Beirût:
Dar al-Fikr, 1993), Juz. 1, hal. 164.
14
Abu Zakariya Yahya bib Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim
(Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1392), Juz. 2, hal. 19.
61

memperbincangkan kesalahan orang, membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah,

mencemooh orang lain, menghina, dan lain-lain.15

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara baik

mendapat perhatian penting dalam Islam dan diperintahkan oleh Allah Swt. dan

Rasul-Nya. Bahkan seseorang dianjurkan untuk berdiam jika tidak bisa berkata

baik, sebab diam adalah lebih baik daripada berkata-kata namun tidak baik dan

juga ada ungkapan bahwa diam itu emas, dari sekian banyak petunjuk agama yang

yang mendorong agar seseorang selalu menimbang-nimbang segala apa yang di

ucapkannya, karena seperti dalam Al-Qur’an:

(١٨
"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekat
(pengucap)-nya Malaikat Pengawas yang selalu hadir (mencatat ucapan-ucapan
tersebut).16 (QS. Al-Qaaf: 18)17
Setiap orang beriman harus berusaha agar setiap perkataan yang

dilontarkannya mengandung kebaikan, sehingga akan mendatangkan pula bagi

pendengarnya. Dengan kata lain, berusaha untuk melontarkan kata-kata yang baik

dan berusaha pula untuk selalu menyimak dan mendengarkan perkataan yang

baik, maka hidupnya akan dipenuhi dengan kebaikan, dan hanya mengikuti jalan

kebaikan.

Dalam al-Qur’an juga membahas masalah berkomunikasi dengan

menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi kalimat yang buruk, ayat yang

berkenaan dengan masalah ini terdapat pada surat az-Zumar ayat 18; Ibrahim ayat

15
Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, terj. Ahmad Qasim, dkk, (Bandung
Trigenda Karya, 1996), hal. 113.
16
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 9, hal. 453.
17
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung:
Mizan, 1994), hal. 283.
62

24, 25, 26; surat an-Nur ayat 26; dan surat al-Qashash ayat 55. Allah Swt.

berfirman:

(١٨
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal.18” (QS. Az-Zumar: 18)
Sebab turunnya ayat ini : Jawaibir meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah

yang berkata, “ ketika turun ayat 44 surat al-Hijr, ‘(Jahanan itu mempunya tujuh

pintu,” datanglah seorang laki-laki dari golongan Anshar menghadap Rosulullah

seraya berkata, “Ya Rosulullah, aku mempunya tujuh orang hamab/budak yang

telah saya memerdekakan seluruhnya untuk ketunjuh pintu neraka.” Ayat ini (Q.S.

az-Zumar: 17-18) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menyatakan

bahwa orang tersebut telah mengikuti petunjuk Allah.19

Dalam al-Qur’an Allah Swt. mengumpamakan perkataan yang baik dan

buruk laksana pohon, pohon yang baik akan mendatangkan kebaikan, sebaliknya

pohon yang buruk akan mendatangkan kejelekan, sebagaimana dinyatakan dalam

firman-Nya:

٢٤)

(٢٦ ٢٥)

18
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 8, hal. 425.
19
K.H.Q Shaleh dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya Ayat-ayat Al-
Qur’an, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), Hal. 465.
63

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat


perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Tuhan-Nya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan
itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang
buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.20” (QS. Ibrahim: 24-26)
Menurut al-Maraghi, dalam ayat tersebut Allah Swt. mengumpamakan

kalimat iman (yang bersumber dari keimanan) dengan sebuah pohon yang akarnya

tetap kokoh di dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke udara, sedang

pohon itu berbuah pada setiap musim. Hal ini disebabkan apabila hidayah telah

bersemayam di dalam satu kalbu, maka akan melimpah kepada yang lain dan

memenuhi banyak kalbu, seakan sebuah pohon yang berbuah pada setiap musim,

karena buahnya tidak pernah terputus.

Sedangkan perumpamaan kalimat kufur adalah laksana pohon yang buruk,

seperti pohon paria dan sebagainya yang tidak mempunyai pokok yang tetap di

dalam tanah, bahkan akarnya pun tidak mencapai permukaan tanah, sehingga

tumbang di atas tanah karena akar-akarnya dekat kepermukaan tanah. Dengan

kata lain, pohon tersebut cepat rusak dan kurang mendatangkan manfaat bagi

manusia.21

Kemudian al-Maraghi mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa yang

dimaksud dengan kalimat yang baik adalah ucapan La ila ha illa Allah, sedangkan

pohon yang baik adalah pohon kurma.22

Hemat penulis, walaupun al-Maraghi mengartikan kalimat yang baik

tersebut dengan kalimat iman, tidak diartikan sebagai perkataan yang baik, namun

20
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 5, hal. 143.
21
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1382H/1962M), Jilid. 5, hal. 138-139
22
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid. 5, hal. 139.
64

tetap relevan dengan bahasan ini, sebab kalimat iman mencakup perkataan-

perkataan baik yang sesuai dengan ketentuan syara.

Perkataan yang baik biasanya muncul apabila seseorang terbiasa

mendengarkan perkataan-perkataan yang baik pula. Oleh karena itu, seorang

muslim hendaklah tidak memperhatikan kalimat-kalimat buruk atau kalimat-

kalimat tidak bermanfaat yang diucapkan oleh seseorang agar ia tidak terpancing

untuk berkata dengan kalimat-kalimat yang buruk pula. Allah Swt. berfirman:

(٥٥
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling daripadanya dan mereka berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan
bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil.23” (QS. Al-Qashash: 55)
Ayat tersebut menerangkan tentang sikap kaum muslimin pada zaman

Rasulullah yang tidak mempedulikan caci-maki atau ucapan-ucapan buruk dari

orang-orang kafir yang dilontarkan kepada kaum muslimin, sehingga mereka

tidak terhasut dan terpengaruh untuk berperilaku seperti mereka.24

B. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Benar

Sesuatu yang tampak baik, belum tentu benar. Begitu pula dengan

berkomunikasi, setiap orang harus berkomunikasi dengan benar. Menurut

Hamka25, orang yang mengaku sebagai orang yang beriman, supaya memupuk

jiwanya dengan takwa kepada Allah Swt.

23
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 7, hal. 309.
24
Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), cet. Ke-II,
jilid. 3, hal. 1659.
25
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986),Juz. 22, hal.109.
65

Diantara sikap hidup yang didasarkan pada iman dan takwa kepada-Nya

ialah jika berkata-kata hendaklah memilih kata-kata yang tepat, yakni kata-kata

yang benar. Selain itu tidak boleh berbelit-belit, dan kata-katanya tidak menyakiti

sesama manusia. Pendapat tersebut berdasarkan pada firman Allah dalam surat

al-Ahzab ayat 70:

(٧٠
“Hai orang- orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar.26” (QS. Al-Ahzab: 70)
Wahbah al-Zuhaily27 mengartikan qaulan sadidan pada ayat ini dengan

ucapan yang tepat dan bertanggung jawab, yakni ucapan yang tidak bertentangan

dengan ajaran agama. Selanjutnya ia berkata bahwa surah al-Ahzab ayat 70

merupakan perintah Allah terhadap dua hal: Pertama, perintah untuk

melaksanakan ketaatan dan ketaqwaan dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, Allah

memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berbicara dengan

qaulan sadidan, yaitu perkataan yang sopan tidak kurang ajar, perkataan yang

benar bukan yang batil.28

Muhammad Fakhruddin al-Razy29 mengemukakan bahwa qaulan sadidan

adalah segala sesuatu yang nampak sebagai manivestasi dari nilai ketaqwaan

seseorang yang mendalam kepada Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Berkata benar atau jujur berperan sangat penting bagi seseorang dan akan

membawa kebaikan baginya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Allah

26
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, jilid. 8, hal. 46.
27
Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid. 3, hal. 260.
2828
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1382H/1962M), Jilid 8, hal. 44-45.
29
Muhammad Fakhruddin al-Razy, Tafsir Fakhru Razy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid.
3, hal. 260.
66

Swt. mengkategorikan orang yang selalu berkata benar sebagai orang yang

bertaqwa.

(٣٣
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.30” (QS. Az-Zumar:
33)
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang

berbicara maka haruslah benar menurut standar syariat Islam. Dalam kehidupan

bermasyarakat tidak sedikit orang yang berkata manis, baik dalam tutur kata

maupun isi pembicaraan, tetapi pada kenyataannya orang tersebut berkata tidak

benar atau berbohong. Perbuatan seperti itu tidaklah dibenarkan dalam Islam,

sebagaimana telah disebutkan landasannya, baik dari al-Qur’an maupun as-

Sunnah.

Dalam ayat yang lain Allah Swt. berfirman:


“Dan hendaklah takut kepada Allah Swt. orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah Swt. dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.31”
(QS. An-Nisa: 9)
Kandungan pada ayat 9 surah an-Nisa ini berkaitan dengan ayat

sebelumnya, yaitu masih berkisar tentang para wali (penanggung jawab) dan

orang-orang yang diwarisi, yakni mereka yang dititipi anak yatim. Juga tentang

perintah agar mereka memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara

30
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 8, hal. 441.
31
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 2, hal. 114.
67

kepada mereka dengan qaulan sadidan sebagaimana mereka berbicara kepada

anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik dan sopan, lalu memanggil mereka

dengan sebutan manja, seperti anakku, sayangku, dan sebagainya.32

Walaupun kandungan ayat tersebut tampaknya dikhususkan bagi para wali

anak yatim agar berkata lembut kepada anak-anak yatim yang diurusnya, namun

tidak berarti bahwa kepada anak yang lain atau kepada orang lain diperbolehkan

untuk berkata kasar dan berbohong, sebab pada dasarnya keharusan untuk berkata

benar dan sopan adalah berlaku bagi semua umat Islam agar memperoleh

kemashlahatan, baik di dunia maupun di akhirat.

Selain perintah berkomunikasi dengan benar, dalam al-Qur’an juga

melarang orang berkomunikasi seperti:

1. Dalam Berkomunikasi Tidak Boleh Bohong dan Berkata Keji (Batil)

Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah di atas

terdapat pada surat an-Nisa: 148; al-An’am: 151; al-A’raf: 33; an-N`ahl:

90; al-Mu’minun: 3; an-Nur: 15, 16, 19, 21; al-Furqan: 72; As-Syu’ara:

165; an-Naml: 54, 55; dan al-Ankabut: 28.

1. Larangan Berkata Keji

Di antara ayat-ayat yang melarang untuk berkata keji adalah

sebagai berikut:

(١٤٨
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan
terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.”33 (QS. An-Nisa: 148)

32
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1382H/1962M), Jilid 2, hal. 193
33
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 2, hal. 299.
68

Sebab turunnya ayat ini: Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa as-

Suddi berkata, “ Ayat ini turun pada Nabi Swa. Ketika seorang kaya

dan seorang fakir berselisih dan mengadukannya kepada beliau. Dan

Rosulullah saw. Memihak orang yang fakir karena menurut beliau

orang fakir tidak menzalimi orang yang kaya. Sedangkan Allah tepat

ingin agar beliau berlaku adil kepada orang yang kaya dan fakir

tersebut.34

Dalam Tafsir Jalalain dinyatakan bahwa maksud dari ayat tersebut

adalah bahwa Allah Swt. tidak menyukai ucapan buruk, yakni ucapan

yang akan menimbulkan keburukan. Hal itu merupakan perbuatan

orang-orang zhalim. Namun demikian, tidak pula diperbolehkan untuk

menceritakan perbuatan buruk orang-orang zhalim, atau mendoakan

jelek kepada mereka.35

Larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga tatanan kehidupan

yang baik di masyarakat, sehingga tidak terjadi percekcokan dan

keributan yang disebabkan oleh ucapan buruk. Dan realitas di

masyarakat banyak sekali keributan atau perkelahian masal gara-gar

ucapan buruk. Itulah sebabnya, ucapan buruk bisa dikategorikan

sebagai perbuatan keji seperti dinyatakan dalam firman Allah Swt:

34
Jalaluddin AS-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,
2008), hal. 206.
35
Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), cet. II, jilid. 1,
hal. 401.
69

(١٥١
“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan
kepadamu supaya kamu memahami(nya).”36 (Al-An’am: 151)
Larangan untuk tidak mendekati perbuatan-perbuatan keji tersebut,

termasuk diantaranya larangan untuk mendekati perbuatan keji dalam

berbicara, baik dari segi isi pembicaraan maupun cara

pengungkapannya. Allah Swt berfirman:

(٣٣
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui.37" (Al-Araf: 33)
Sebaliknya Allah Swt menyuruh hamba-Nya agar berlaku adil dan
senantiasa berbuat kebaikan, serta menghindari berbagai kemungkinan
termasuk dalam berbicara:

36
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 3, hal. 271.
37
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, jilid. jilid.3, hal. 394.
70

(٩٠
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”38 (QS.An-Nahl: 90)
Sebaliknya, orang yang mampu menjaga ucapannya dangan baik

sehingga tidak pernah berkata kotor atau berkata keji termasuk katagori

orang yang berbahagia,sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:


“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tidak berguna.39 (QS.al-Mu’minun: 3)
Ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya yang berbicara

tentang orang-orang yangmendapat kebahagiaan dalam pandangan Allah

Swt. Bagai mana pun juga orang yang apik dalam tidak pernah menyakiti

orang lain dengan perkataannya, tentu saja tidak akan pernah dimusuhi

orang, namun sebaliknya ia akan disenangi dan disukai banyak orang.

Dalam ayat yang lain dinyatakan bahwa berbuat keji tiada lain

bersumber dari syaitan yang selalu berusaha agar manusia terjerumus pada

perbuatan keji tersebut. Oleh karena itu Allah Swt. Melarang hamba-

hamba-Nya agar tidak mengikuti perbuatan-perbuatan syaitan:

38
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, jilid. 5, hal. 372.
39
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 6, hal. 470.
71

(٢١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,
Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang
keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.40 (QS.An-Nuur: 21)
Ayat tersebut dengan tegas mengharuskan umatt islam agar tidak

mendekati perbuatan-perbuatan syaitan, agar manusia terhindar dari

kejelekan dan perbuatn keji lainnya, termasuk di dalam berkata kotor.

Namun demikian, harus diakui bahwa seseorang yang mampu

mengendalikan dirinya dari perbuatan keji tidaklah terlepas dari

pertolongan Allah Swt kepadanya. Oleh karena itu.setiap orang selalu

berdoa’ agar bernantiasa dijauhkan dari dari sebagai perbuatan keji, baik

dalam sikap, perilaku, maupun sehingga memperoleh kemaslahatan.

Di antara perkataan yang tergolong perkataan keji antara lain:

perkataan yang mengandung unsur buruk sangka, memata-matai orang,

mencaci orang, gibah, dan lain-lain.

2. Larangan Berkata Bohong

Ayat-ayat yang berkaitan dengan keharusan untuk berkata jujur,

tidak bohong cukup banyak, diantaranya:

40
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 6, hal. 581.
72

(١٠٥

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah


orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah
orang-orang pendusta.41” (QS. An-Nahl: 105)

Itulah ancaman Allah Swt. bagi orang yang suka berbuat bohong,

bahwa mereka dipandang sebagai orang yang tidak beriman. Hal itu

dikarenakan orang yang suka berbohong sama artinya dengan orang yang

tidak mengakui eksistensi Allah Swt. karena merasa tidak ada yang

mengawasi, padahal Allah Swt. selalu mengawasi gerak-geriknya.

Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa berkata bohong diantara

ciri-ciri orang munafik Rasulullah Saw berabda:

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a. ia berkata bahwa:


Rosulullah Saw pernah bersabda: ada empat perkara jika siapa saja yang
mempunyai empat perkara tersebut, maka dia merupakan orang munafik.
Barangsiapa yang bersifat dengan salah satunya berarti dia memiliki sifat
munafik, yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila membuat persetujuan
dia khianati, apabila berjanji dia menyalahi dan apabila bertikai dia
melampaui batas.42

Hal itu menunjukan bahwa berkata bohong akan menimbulkan

bahaya besar dalam kehidupan seseorang atau akan menimbulkan bencana

41
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 5, hal. 390.
42
Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî an-Naisabûri, Sahih Muslim , (Beirût:
Dar al-Fikr, 1993), Juz.1, hal. 90.
73

besar di antaranya bencana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah Saw,

akibat berita bohong adanya fitnah terhadap Siti Aisyah yang dituduh telah

berbuat selingkuh dengan salah seorang sahabat. Berita tersebut

menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam saat itu. Peristiwa tersebut

diungkapkan dalam Al-Qur’an:

١٥

(١٦

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut


ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal
Dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata,
diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi
kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah
Dusta yang besar.43"(QS An-Nur: 15-16)

Kedua ayat tersebut berkaitan dengan fitnah yang menimpa kepada

Siti Aisyah bahwa ia telah dituduh telah berbuat serong dengan laki-laki

lain, sehingga menimbulkan gejolak dikalangan umat Islam saat itu. Berita

tersebut menyebar dari mulut ke mulut yang dihembuskan oleh orang

munafik. Padahal berita tersebut bohong belaka, namun tetap dampaknya

sangat besar karena menyangkut nama istri Rosulullah Saw. Oleh karena

43
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid.6, hal. 578.
74

itu, tidak mengherankan apabila kebohongan seperti itu dipandang sebagai

dusta yang besar.44

Termasuk dalam berbohong adalah memberikan kesaksian palsu, yang

juga dilarang oleh Allah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Firman-Nya:

(٧٢

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan


apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya.45” (QS. Al-Furqan: 72)

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits diatas dapat diketahui

bahwa Islam sangat mencela umat yang suka berbohong atau berkata keji.

Oleh karena itu, setiap muslim hendaklah menjauhi perkataan bohong dan

perkataan keji. Orang yang dikenal sebagai pembohong atau suka berkata

keji, maka ia akan sulit dipercaya orang, sehingga kehidupannya akan

sempit karena orang lain tidak akan bergaul dengan pembohong. Bahkan

orang-orang akan membencinya, karena tidak sedikit yang dirugikan oleh

perbuatannya.

2. Merendahkan Suara Saat Berkomunikasi

Seseorang tidak diperbolehkan untuk bersuara keras yang tidak

sepadan dengannya atau yang lebih tua, apalagi jika bergaul dengan orang

ramai di tempat umum. Orang yang tidak tahu sopan santun lupa bahwa

44
Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu
Katsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 334.
45
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid.7, hal. 38.
75

ditemat itu bukanlah dia berdua dengan temannya itu saja yang duduk.

Oleh karena itu, orang yang bersuara keras bukan pada tempatnya

diibaratkan sebagai suara keledai yang memekakkan telinga dan sangat

tidak disukai oleh manusia. Maka tidak mengherankan jika suara keledai

dipandang sebagia suara paling buruk. Dalam al-Qur’an ayat yang

berkenaan dengan masalah di atas terdapat pada surat Luqman ayat 19 dan

al-Hujurat ayat 3. Allah Swt. berfirman:

(١٩)

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.


Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.46” (QS. Luqman:
19)

Hamka mengutip pendapat Mujahid yang berpendapat bahwa suara

keledai sangatlah jelek. Oleh karena itu. Orang-orang yang bersuara keras,

menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya,

suaranya jadi terbalik-balik, menyerupai suara keledai, tidak enak

didengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah Swt.47

Seseorang sebaiknya berkata dengan lemah lembut. Namun

demikian, ia dibolehkan untuk berbicara keras ketika seseorang sedang

mengarahkan orang banyak dalam suatu pekerjaan. Begitu seorang

komandan ketika mengarahkan pasukannya di medan perang.

46
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 7, hal. 545.
47
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1984), Juzu’:. 21, hal. 135.
76

Orang yang berusaha untuk bersuara lembut apalagi ketika

bersama Rasulullah Saw. ternyata mendapat pujian dari Allah Swt. dan

akan memperoleh pahala di sisi-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam

firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi


Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh
Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.48”
(QS. Al-Hujurat: 3)

Sebab turunnya ayat ini: Rosulullah memanggil Tsabit bin Qais

dab berkata, “ sukakah engkau hidup dalam kemulian dan nantinya

meninggal dalam keadaan syahid?’ Tsabit segera menjawab, “ Ya, saya

senang dengan kabar gembira yang saya terima dari Allah dan Rasul-Nya

ini. Saya berjanji tidak akan pernah lagi berbicara lebih keras dari suara

Rosulullah.’ Allah lalu menurunkan ayat Q.S. al-Hujurat: 3.49

Menurut al-Qurtubi, ayat tersebut merupakan larangan agar tidak

meninggikan suara ketika sedang berada di sisi Nabi. Ia juga mengutip

pendapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa dihukumi makruh

meninggikan suara di dekat kuburan Nabi. Sedangkan menurut Qadhi Abu

Bakar al-‘Arabi, bahwa keharusan untuk menghormati Nabi ketika sudah

meninggal sama dengan keharusan untuk menghormati Nabi ketika masih


48
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-1, Jilid. 9, hal. 395.
49
Jalaluddin AS-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,
2008), hal. 522.
77

hidup. Begitu pula keharusan untuk menyimak suara Nabi sama dengan

keharusan untuk mendengarkan hadits-haditsnya di tempat-tempat mencari

ilmu.50

Walaupun ayat tersebut tampaknya dikhususkan ketika seseorang

sedang berada di sisi Nabi, namun tidak berarti bahwa seseorang

dibebaskan untuk berbicara seenaknya di hadapan orang lain, sebab

menghormati orang lain termasuk perintah agama Islam, baik dalam

bersikap maupun dalam bicara.

Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an

tidak hanya mengatur isi atau materi pembicaraan, tetapi juga

memperhatikan intonasi suara. Hal tersebut dikarenakan isi pembicaraan

yang baik kalau disampaikan dengan suara keras yang memekakan tidak

akan mungkin diterima oleh pendengar dengan baik, sebaiknya bisa

menimbulkan percekcokan. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatur agar

pembicara merendahkan suaranya saat berbicara.

1. Wanita Dilarang Bersikap Manja Ketika Berkomunikasi

Wanita dikenal sebagai sosok yang memiliki daya tarik sangat

besar khusunya terhadap lawan jenis. Oleh karena itu, dalam Islam

seoarng wanita diharuskan untk menjaga sikap ketika berkomunikasi

dengan lawan jenis. Sebab, jika hal itu tidak diindahkan, maka akan

membawa kemadhartan.

50
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Juz. 16, hal. 203.
78

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Allah Swt berfirman

dalam surat al-Ahzab ayat 32:

‫ﻲ‬

(٣٢

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang


lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk (lemah gemulai)
dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”51 (QS. Al-Ahzab: 32)

Pada ayat ini Allah memperingatkan kepada istri Nabi Saw bahwa

mereka tidak dipersamakan dengan perempuan mukminat yang manapun

dalam segi keutamaan dan penghormatan, jika mereka betul-betul

bertakwa. Oleh karena itu jika mengadakan pembicaraan dengan orang

lain, maka mereka dilarang merendahkan suara yang dapat menimbulkan

perasaan kurang baik terhadap kesucian dank ehormatan mereka, terutama

jika yang dihadapi itu orang-orang fasik atau munafik yang itukad

baiknya di ragukan. 52

Maksud dari “Maka janganlah kamu berlemah gemulai dengan

perkataan”, adalah jika seorang Istri Rosulullah bercakap-cakap,

hendaklah percakapan itu yang tegas dan sopan, jangan genit. Jangan

membuat perangai yang kurang pantas sebagai istri Rosulullah.

Sebenarnya, perintah tersebut tidak hanya ditujukan kepada para isteri

51
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 8, hal. 3.
52
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. 8, hal. 4.
79

Nabi, tetapi ditujukan pula kepada wanita-wanita lainnya.53 Hal itu

sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Katsir bahwa perintah tersebut ditujukan

kepada semua wanita, tidak hanya kepada para isteri-isteri Nabi saja, tetapi

juga kepada semua perempuan, agar mereka tidak bermanja-manja ketika

berbicara sehingga mengundang gairah kaum laki-laki.54

Ayat tersebut sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang,

dimana akhlak sebagian wanita sudah sangat mengkhawatirkan, baik

dalam segi perilaku maupun busana. Oleh karena itu, tidak mengherankan

apabila kasus-kasus perkosaan semakin merajalela dimana-mana, sebab

perilaku sebagian wanita tampak seperti menantang gairah para lelaki.

Sikap manja para wanita dalam berbicara tidak kalah berbahayanya

dari berpakaian yang mengumbar aurat, sebab gaya bicara yang diatur

sedemikian rupa agar menarik perhatian lawan jenis juga akan

mengundang gairah seks para kaum lelaki. Begitu pula dalam bernyanyi,

para wanita dilarang menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan lagu-lagu

yang manja dan mengundang gairah seks apalagi jika dilakukan dengan

pakaian seronok dan sengaja dipertontonkan kepada para lelaki.55

Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ada

ketentuan khusus untuk para wanita berkaitan dengan berbicara ini,

dimana mereka dilarang untuk bersikap manja ketika berbicara kepada

53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 11, hal. 261.
54
Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu
Katsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 583
55
Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, terj. Ahmad Qasim, dkk, (Bandung
Trigenda Karya, 1996), hal.754-755.
80

lawan jenis yang bukan suaminya ataun muhrimnya. Hal tersebut

dimaksudkan antara lain untuk menghindari fitnah. Karena wanita yang

bersikap manja dalam berbicara kepada lawan jenis akan menimbulkan

birahi kepada lak-laki yang kurang kuat iman sehingga mendorong laki-

laki tersebut untuk melakukan perbuatan tercela.

C. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Adil

Perintah untuk berkomunikasi dengan adil adalah menyangkut ucapan

karena ucapan berkaitan dengan penetapan hukum termasuk dalam

menyampaikan hasil ukuran dan timbangan. Lebih-lebih lagi karena manusia

sering kali bersikap egois dan memihak keluarganya. Untuk itu dinyatakan

bahwa:

(١٥٢

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah
kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji
Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
ingat.”56(QS. Al-An’am: 152)
Dalam ayat ini mencontohkan tentang salah satu kemungkinan

terpelesetnya manusia karena kelemahannya, kelemahan yang menjadikan

kekuatan perasaan kekerabatan seseorang mendorongnya untuk saling tolong,

56
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 3, hal. 268.
81

saling melengkapi, dan saling sambung-menyambung. Karena, manusia adalah

sosok yang lemah dan terbatas. Maka, kekuatan kerabatnya menjadi sandaran

bagi kelemahannya, keluasaan keberadaan kerabatnya itu menjadi pelengkap

baginya.

Karena itu, ia menjadi lemah terhadap kerabatnya ketika ia harus menjadi

saksi bagi mereka atau dalam memutuskan perkara yang terjadi antara

kerabatnya dengan orang lain. Dalam situasi yang seperti ini, katakanlah yang

benar dan adil, sebab dengan adil akan berdampak positif dalam segala

tindakaan. Jika selalu berkata benar, maka untuk bertindak adil dala kehidupan

aka lebih mudah lagi terbiasa.57

Islam menarik hati nurani manusia, agar ia mengucapkan perkataan yang

benar dan adil, berdasarkan petunjuk dan berpegang kepada Allah semata,

introspeksi (muraqabah) terhadap Allah semata, merasa cukup dengan-Nya

tanpa butuh bantuan terhadap kerabat, dan memperkuat dirinya agar tidak

memilih untuk memenuhi hak kerabat dengan mengalahkan hak Allah karena

Allah lebih dekat dengan seseorang dibandingkan urat lehernya.58

Dalam bahasan ini akan dikaji tentang hakikat adil yang sebenarnya. Adil

secara bahasa mustaq dari kata ‘adala, ya’dilu, dan adlan fahuwa ‘adilun.59al-

adl berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu

57
Syekh Muhammad Muatawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, Terj: Tim terjemah Safir al-
Azhar dkk, (Jakarta: Duta Azhar, 2006), cet. Ke-1, hal. 537.
58
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, penerjemah: As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), Jilid:8, hal. 94.
59
Ibrahim Anis dkk., Mu’jam al-Wasit, tt, tpn, tth, hal. 617.
82

dengan yang lain (al-musawah). Istilah lain dari al-adl adalah al-qisth, al-mitsl,

dan al-mizan.60

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, adil mengandung

banyak arti a.) Tidak berat sebelah, tidak memihak, b.) berpihak pada yang

benar, c.) berpegang kepada kebenaran, d.) sepatutnya; tidak sewenang-

wenang.61

Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain

baik dari segi nilai, maupun dari segi ukuran sehingga sesuatu itu menjadi tidak

berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Dengan kata lain adil berarti

berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Ada juga yang mengartikan dengan

“wad’u al-syai fi mahalli (meletakan sesuatu pada tempatnya).62

Keadilan didalam al-Qur’an diungkapkan dalam berbagai bentuk

diantaranya: al-‘adl, al-Qist dan al-Mizan. Kata ‘adl yang ada dalam berbagai

bentuk terulang 28 kali, kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali yakni pada QS al-

Baqarah: 48, 123, 282 (dua kali), QS an-Nisa: 58, QS al-Maidah: 95 (dua kali)

dan 106, QS al-An’am: 70, QS an-Nahl: 76 dan 90, QS al-Hujurat: 9, serta QS

at-Thalaq: 2.63

Keadilan adalah kata-kata yang paling sering dikeluhkan banyak orang

saat ini, salah satu elemen yang tak bisa diabaikan dalam penegakkan keadilan

adalah saksi. Penyebutan diri sendiri orang tua dan kerabat dalam ayat ini

60
Abdul Aziz Dahlan(ed), “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva,
1999), vol. 4, hal. 25-26.
61
Depdikbud, Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 8.
62
Abdul Aziz Dahlan (ed), vol.1, hal. 25-26.
63
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 110-127.
83

mengandung makna yang sangat dalam dan tegas. Hal itu karena tentunya tiap

orang mencintainya.

Rasa cinta dan sayang pada diri sendiri inilah yang biasanya menghalangi

seseorang mengatakan kebenaran yang jika ia katakan akan berakibat buruk

baginya. Begitu besar cinta dan sayang pada orang tua dan karib kerabat

menyebabkan seseorang enggan menegakkan keadilan terhadap mereka atau

bersaksi menentang mereka. Seseorang akan lebih mudah bersaksi terhadap

orang lain dibanding orang tua atau keluarganya. Inilah fenomena yang umum

di masyarakat kita saat ini. Banyak orang yang enggan bahkan bersaksi palsu

demi cintanya pada orang tua atau karib kerabatnya.

Di lain pihak ada juga yang enggan menegakkan keadilan atau kesaksian

karena benci terhadap seseorang atau kepada suatu kaum sehingga berlaku

curang karena kebencian pada seseorang atau kepada suatu kaum tersebut. Allah

melarang kepada hal tersebut sebagaimana Firmannya dalam surat Al-Maidah

ayat 8:

‫ﻻ‬


“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.”64(Q.S
Al-Maidah: 8)

64
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 2, hal. 364.
84

Dalam hal ini, M. Quraish Shihab65 menegaskan bahwa manusia yang

bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl dituntut untuk menegakkan

keadilan walau terhadap keluarga, ibu, bapak, dan dirinya, bahkan terhadap

musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya sendiri

dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan cara meletakkan syahwat dan

amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama.

65
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 4, hal. 337-338.
84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan bahasan di atas dapat diketahui bahwa komunikasi mendapat

perhatian sangat besar dalam agama Islam dan mengarahkannya agar setiap muslim

memakai etika islami dalam berkomunikasi. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya

ayat-ayat yang berkaitan dengan etika komunikasi, baik dalam Al-Qur’an maupun

hadits. Hanya saja, penelitian hanya memfokuskan pada etika komunikasi menurut al-

Qur’an sesuai dengan judul skripsi ini, sehingga hasilnya pun banyak didasarkan pada

ayat-ayat al-Qur’an, bukan pada hadits Nabi.

Bedasarkan kajian diatas, dapat disimpulkan bahwa rumusan etika komunikasi

menurut al-Qur’an sebagai berikut:

1. etika komunikasi lisan dalam perspektif al-Qur’an adalah aturan tentang

perilaku manusia dalam menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang yang tidak

berarti dan akan membawa kemudaratan baginya didunia dan diakhirat. Etika

dalam Al-Qur’an mempunyai aturan yang sangat dalam, maka hal tersebut

menjadi sebuah etika yang sakral dan tidak terbantahkan. Isi al-Qur’an

mengandung seruan moral bertujuan untuk menata tatanan sosial supaya lebih

beradab dan lebih terjaga.


85

2. Isi pembicaraan harus benar, tidak boleh berkata bohong dan salah (bathil,

merendahkan suara saat berkomunikasi, wanita tidak diperbolehkan berkata-kata

dengan nada manja ketika berkomunikasi, didalam berkomunikasi harus adil

meskipun itu kerabat sendiri, Keharusan untuk berkomunikasi dengan baik atau

diam, berkomunikasi dengan menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi

kalimat yang buruk, diantara perkataan yang baik adalah, Perkataan yang mulia,

Perkataan yang mudah dicerna, Perkataan yang lembut, Perkataan yang ma’ruf

(membangun).

B. Saran-saran

Semua manusia dapat dipastikan sangat menyadari tentang pentingnya etika

dalam berkomunikasi. Hanya saja, ada yang mau memakai etika tersebut dan ada yang

enggan beretika. Namun demikian, pada akhirnya kembali kepada masing-masing

komunikan itu sendiri untuk mau menggunakan kemampuannya dalam berkomunikasi,

sehingga mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.

Penelitian ini sangatlah sederhana dan belum optimal, namun diyakini akan dapat

membimbing siapa pun yang ingin mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an, khususnya

dalam berkomunikasi. Tentu saja, disarankan pula untuk membaca literatur lainnya

yang berkaitan dengan etika komunikasi, supaya pengetahuan tentang etika komunikasi

bisa maksimal, sehingga dapat mengamalkannya secara maksimal pula.


86

DAFTAR PUSTAKA

Abiddin, Djamaludin, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, Jakarta: Gema Insani Press,

1996.

Abu al-Fidâ, Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu

Katsir , Beirut: Dar al-Fikr, 1412H/1992M.

Al-Fâramawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir al-Maudhu’i: Sebuah Pengantar, Terj:

Surya A. Samran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Alkalali, Asad M, Kamus Indonesia Arab, PT Bulan Bintang, Jakarta 1997.

Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak) terjemahan, Jakarta: Bulan Bintang: 1996, cet.

Ke-7.

Amir, Mafri, Etika Komunikasi Masa dalam Pandangan Islami, Jakarta: PT Logos

Wacana Ilmu, 1994.

Amrullah, Abdul Malik Karim. (Hamka), Prof, Dr, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka

Panji Mas, 1986.

Ash-Shiddiqi, Teungku Muhammad Hasbi, M.A, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.

Ayyub, Hassan, Etika Islam Menuju Kehidupan Yang Hakiki, Trigenda Karya,

Bandung, 1994.

al-‘Arabiyah, Majma’ al-Lugah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, al-Haiah al-

Misyriyyah li al-Ta’lif wa al-Nasyr, 1975.

al-‘Asqâani, Ahmâd bin ‘Ali bin Hajar al-Fadhl, Fath al-Bari, Beirut: Dar al-

Ma’rifah, 1379.
87

--------------, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah, Sahîh Bukhâri, Beirût: Dar Ibn

Katsîr, 1407H/1987M.

al-Dzahabî, Muhammad bin Ahmad bin ‘Usmân, Tadzkiroh al-Huffaz, Beirut: Dar

al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419H/1998M.

al-Ghâzâli, Muhammad bin Muhammad Abû Hâmid, ‘Ihya ‘Ulûm al-Dîn, Terj. Drs.

H. Moh. Zuhri, dkk, Semarang: CV Asy Syifa’, 1992, cet. Ke-2.

al-Marâghi, Ahmad Mustafâ, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk,

Semarang: CV. Toha Putra, 1993.

Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, Kairo: Mushtafa al-Babi al-Halabi,


1382H/1962.
Al-Mizzî, Yûsuf bin al-Zakî Abdurrahmân Abû al-Hajjâj, Tahzhîb al-Kamâl Fî Asmâ

ar-Rijâl, Beirut: Darl Al Fikr, 1990.

al-Nawâwi, Abu Zakariyâ Yahya bîn Syâraf, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim

Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1392.

al-Qurtubî, Muhammad bin Yâzid bin Jârir, Tafsir al-Qurtubi, Beirut: Dar al-Fikr,

1405H/1984M.

al-Râzy, Muhammad Fâkhrûddin, Tafsir Fakhru Razy, Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

an-Naisâbûri, Muslim bin al-Hâjjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî, Sahih Muslim , Beirût:

Dar al-Fikr, 1993.

ar-Rifa’I, Muhammmad Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu

Katsir, Terj. Drs. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet. Ke-1,
88

Dahlan(ed), Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva,

1999.

Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1996.

Effendi, Onong Ochjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Rosda

karya, 1997.

---------, Dimensi-dimensi Komunikasi, Bandung: Alumni, 1986, cet. Ke-2.

El-Sulthani, Mawardi Labay, KH, Lidah tidak berbohong, Jakarta: Al-Mawardi

Prima, 2002.

Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, cet. Ke-1.

Gunadi, YS, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta: Grasindo, 1998.

Ibrahim Anis, dkk., Mu’jam al-Wasit, tt, tpn, tth.

Ilyas, Yunahar, Drs. Lc. MA, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta. LPPI UMY, 1999.

Jalalain, Imam, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995, cet. Ke-2.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan

Berpolitik, (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan

MushafAl-Qur’an, 2009, Cet. Ke-1.

Liliweri, Alo, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1994.

Hude, H.M. Darwis, dkk, Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penerbit

Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-1.

Muis, Andi Abdul, Prof, Dr, SH, Komunikasi Islam, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2001. Cet. Ke-1.


89

Nasution, Ahmad Sayuti Ansari, Diklat Dasar-dasar ilmu Fonetik, UIN Jakarta,

2003.

Nasuhi, Hamid, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: CeQda, 2007, cet. Ke-1.

Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawuf, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Qardhawi, Yusuf, Efistimologi Al-Qur’an (Al-Haq) terj, Surabaya: Penerbit Risalah

Gusti, 1996, Cet. Ke-2.

------------, Problematika Islam Masa Kini Qardawi Menjawab, Trigenda Karya,

Bandung. 1996.

Shihab, M. Quraish, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:

Mizan, 1994.

---------, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993.

---------, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera

Hati, 2002.

---------, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993.

Sya’rawi, Syekh Muhammad Muatawalli, Tafsir Sya’rawi, Terj. Tim terjemah Safir

al-Azhar dkk, Jakarta: Duta Azhar, 2006, cet. Ke-1.

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.

Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, Cet.

Ke-3.

Ulfah, Eneng Maria, “Etika Menjaga Lisan dalam Al-Qur’an.” Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2005.


90

Widjaja, A.W, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlaul Karimah (Suatu Pengantar),

Bandung: Diponegoro: 1996

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989.

Zuhaily, Wahbah, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

Вам также может понравиться