Вы находитесь на странице: 1из 63

Dalam film, buku ataupun komik seringkali kita temukan karakter seorang pemalas, yang gemuk,

mudah tertidur, ngorok (mendengkur) dan selalu ‘absent minded’ / ‘clumsy.’ Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari pun kita sering menemui orang-orang seperti ini. Gambaran seperti ini disebut
sebagai Pickwickian Syndrome oleh beberapa ahli respirasi di tahun 1956. Ini merujuk pada karakter
Joe si gendut yang diambil dari tulisan Charles Dickens pada koran Pickwick.

Karena kurangnya perhatian pada segala sesuatu yang berkaitan dengan tidur, pemeriksaan ‘sleep
study’ pada pasien-pasien dengan Pickwickian Syndrome baru dilakukan di tahun 70-an. Dari
pemeriksaan Polysomnography (PSG,) barulah diketahui bahwa penderita Pickwickian Syndrome
mendengkur (ngorok) dan mengalami henti nafas di waktu tidur. Karakteristik PSG pada penderita
akhirnya memberikan gambaran baru bagi penderita Excessive Daytime Sleepiness (EDS) yang
sebelumnya dinyatakan sebagai penderita narcolepsy. Dan atas prakarsa Christian Guilleminault
akhirnya pemeriksaan PSG rutin akhirnya dilengkapi dengan perkaman fungsi-fungsi pernafasan1.
Pada perkembangan selanjutnya, istilah Pickwickian Synd. ditinggalkan dan diganti dengan
Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang dianggap lebih tepat.

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang terutama ditandai dengan
mendengkur dan kantuk berlebih2. Dua gejala yang mudah ditemui di sekitar namun jarang menjadi
perhatian kita. Masyarakat kita sudah terlanjur menganggap mendengkur sebagai tidur lelap yang
wajar. Akibatnya OSA seringkali tidak terdiagnosa, apalagi dirawat. Padahal OSA telah diakui sebagai
faktor resiko tunggal dari hipertensi, gangguan jantung hingga stroke.

Patofisiologi dan Presentasi Klinis

OSA disebabkan oleh menyempitnya saluran nafas atas secara periodik saat tidur. Penyempitan ini
bisa disebabkan oleh kelainan struktur anatomis atau gangguan neuromuskular3.

Saat inspirasi tekanan intraluminal akan meninggi menciptakan sebuah ‘suction reflex’ yang
direspons oleh otot-otot dilator saluran nafas yang akan mempertahankan terbukanya jalan nafas.
Namun tonus otot-otot ini melemah saat tidur. Ini menyebabkan penyempitan saluran nafas dan
meningkatnya tahanan terhadap aliran udara. Kelainan struktur anatomi yang menyempitkan
saluran nafas atas tentu akan memperberat penyempitan sehingga terjadi penyumbatan saat tidur4.

Saat terjadi sumbatan (apnea), kemoreseptor akan membaca kadar CO2 yang terlalu tinggi hingga
mengirimkan sinyal untuk membangunkan otak3. Akibatnya otak akan terbangun sejenak (micro
arousal) tanpa disadari penderita. Proses ini akan memotong-motong proses tidur. Tidur yang
terpotong dan kondisi hipoxemia dianggap menurunkan kemampuan mental dan kognitif
seseorang5.

Dua gejala utama OSA adalah mendengkur dan kantuk berlebih (EDS.) Kedua gejala ini amat nyata
namun sering kali dianggap wajar. Masyarakat tidak pernah menghubungkan rasa kantuk berlebih
dan mendengkur, sehingga ketika berkunjung ke dokter pun mereka tidak dapat mengungkapkan
keluhan secara tepat. Tak heran jika OSA menjadi penyakit yang banyak diderita namun seolah
berada di bawah pengawasan radar para pekerja kesehatan. Young dan kawan-kawan
memperkirakan terdapat 5% penderita OSA di negara-negara Barat, yang biasanya tidak terdiagnosa,
dan meningkatkan angka morbiditas akibat perubahan perilaku maupun penyakit kardiovaskular6.

Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada pasien OSA2,7:

Sakit kepala di pagi hari


Nocturia

Tersedak ataupun rasa kehabisan nafas saat tidur

Kualitas tidur yang kurang nyenyak, sleep state misperception, insomnia

Mulut terasa kering saat terbangun

Konsentrasi terganggu

Daya ingat menurun

Mudah marah, emosional

Hipertensi

Nyeri dada di waktu malam

Depresi

Kelebihan berat badan (obesitas)

Masalah seksual - Impotensi

Bentuk leher yang pendek namun besar

Kelainan cranio-facial, retrognathia

Dari sekian banyak gejala, biasanya para penderita tidak pernah mengaitkannya dengan kebiasaan
tidur. Misalkan keluhan cepat lelah dan sering berkemih di malam hari dikaitkan dengan diabetes,
padahal setelah diperiksakan hasil gula darah berada pada ambang batas normal tertinggi. Kini telah
diketahui bahwa kadar oksigen darah yang fluktuatif dan periode ‘micro arousal’ yang berulang
dapat mengganggu sistem metabolik pada pasien OSA melalui aktivasi sistem simpatis otak8.
Resnick dan kawan-kawan lebih jauh menyebutkan bahwa 58% dari penderita Diabetes juga
menderita OSA9.

Efek kardiovaskular dari OSA adalah bidang yang paling banyak menarik perhatian saat ini. Sistem
kardiovaskuler terganggu oleh beberapa faktor, antara lain hipoxemia, meningkatnya tekanan intra-
torakal, dan aktivasi sistem syaraf simpatis yang semuanya merupakan akibat dari sleep apnea10.

OSA akan meningkatkan tekanan transmural pada ventrikel kiri (LV) akibat terciptanya tekanan
negatif intratorokal (Pit) dan meningkatnya tekanan darah sistemik (Bp.)

Tekanan darah sendiri meningkat sebagai akibat dari kondisi hipoxia, micro arousal dan
meningkatnya aktivitas sistem syaraf simpatis (SNA.) Apnea juga akan menekan efek penghambat
aktivitas simpatis dari reseptor peregangan paru, sehingga lebih meningkatkan lagi SNA.

Kombinasi dari meningkatnya LV dan irama jantung (HR) akibat meningkatnya SNA, akan
meningkatkan kebutuhan O2, justru disaat suplai O2 ke otot jantung berkurang.

Keadaan ini secara akut menyebabkan iskemi jantung dan aritmia, serta secara kronis menyebabkan
hipertrofi ventrikel kiri dan akhirnya menjadi payah jantung.
Dari keterangan gambar dapat kita lihat bahwa hipertensi berkaitan erat dengan OSA secara
independen. Peppard dan kawan-kawan menyatakan bahwa sepertiga dari penderita hipertensi juga
menderita OSA11. Sementara perawatan OSA dengan CPAP terbukti efektif ikut menurunkan
tekanan darah12.

Diagnosis

Standar emas untuk mendiagnosis OSA adalah overnight Polysomnography (PSG) tipe 113,15. PSG
meliputi perekaman aliran udara nafas, gerakan nafas, EEG, EMG, EOG, ECG, saturasi oksigen dan
posisi badan. Pemeriksaan di laboratorium tidur dilakukan semalam penuh dengan hasil indeks rata-
rata jumlah henti nafas dalam satu jam atau Apnea-Hypopnea Index (AHI.)

Menurut American Academy of Sleep Medicine, AHI sama atau lebih dari lima dinyatakan positif
menderita OSA. Sementara untuk menyatakan klasifikasi derajat OSA digunakan kriteria sebagai
berikut14:

5-15/jam: Ringan

15-30/jam: Sedang

>30/jam: Berat

Namun sering kali derajat AHI tidak sesuai dengan keluhan klinis7. Misalkan seorang pria 24 tahun
dengan AHI 32/jam, ternyata tidak mengalami rasa kantuk yang berarti. Seorang pria dengan AHI
17/jam, mempunyai keluhan kantuk yang berat hingga ia tidak berani mengendara sendirian. Begitu
pula dengan seorang perempuan berusia 42 tahun yang mengeluhkan insomnia dengan sedikit
kantuk di siang hari, memiliki AHI 12/jam.

Pemeriksaan PSG terbagi dalam 4 kategori15:

Tipe1: PSG lengkap, dengan seting laboratorium dan dibawah pengawasan.

Tipe2: PSG portabel yang komprehensif.

Tipe3: Cardiorespiratory sleep studies (screening.)

Tipe4: Perekaman dua bioparameter, oxymetry dan airflow (screening.)

Perawatan

Standar emas perawatan OSA adalah dengan menggunakan Continuous Possitive Airway Pressure
(CPAP13.) CPAP memberikan udara bertekanan yang diharapkan akan membuka sumbatan pada
oropharyng dengan demikian periode apnea tidak akan terjadi2. Namun penggunaan alat ini
menghadapi tantangan tersendiri berupa proses adaptasi bagi penderita. Tidak jarang penderita
merasa risih dengan tiupan udara bertekanan maupun masker yang harus dikenakan sepanjang
malam. Belum lagi tanggapan keluarga dan lingkungan yang masih asing dengan penggunaan alat
tersebut. Akan tetapi kemajuan teknologi dan rancangan masker telah menciptakan kenyamanan
yang lebih baik bagi pasien. Untuk mengatasi kendala ini biasanya hanya diperlukan edukasi yang
tepat bagi penderita dan keluarganya16.

Pilihan terapi lainnya berupa pembedahan masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Teknik-
teknik seperti Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), jaw enhancement, glossectomy, tounge resection,
pillar implant procedure dan lain-lain, masih terus dikembangkan. Dengan kemajuan teknologi
pembedahan yang semakin non-infasif, bukannya tidak mungkin di masa depan, pembedahan
menjadi terapi primer bagi OSA17.

Dr. Andreas A. Prasadja, Sleep Technologist, Sleep Disorder Clinc – RS. Mitra Kemayoran

Dibawakan pada Seminar “Better Sleep, Better Life.”

Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Pluit, Jakarta, 14 April 2007.

Reference:

Dement W. The Promise of Sleep. London: Pan Books, 2001; page 167-193.

Sullivan CE, Issa FG. Obstructive sleep apnea in clinics. Chest Medicine Vol. 6, No. 4, December 1985;
page 633-650.

Sullivan CE, Grunstein RR, Marrone O, Berthon-Jones M. Sleep apnea - pathophysiology: upper
airway and control of breathing. In Guilleminault. C. OSAS: Clinical Research and Treatment. New
York: Raven Press, 1990; page 49-69.

Boehlecke BA. OSAHS: Epidemiology and pathogenesis. Sleep Syllabus, 2006; page 49-58.

Weaver TE, George CFP. Cognition and performance in patients with OSA. In Kryger MH, Roth T,
Dement W. Principle and Practice of Sleep Medicine 4th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2005; page 1023-
1033.

Young T, Peppard PE, Gottlieb DJ. Epidemiology of OSA: a population health perspective. Am J Respir
Crit Care Med 2002; 165:1217-1239.

Atwood CW. Obstructive sleep apnea: clinical presentation. Sleep Syllabus, 2006; page 44-48.

Punjabi NM, Beamer BA. Sleep apnea and metabolic dysfunction. In Kryger MH, Roth T, Dement W.
Principle and Practice of Sleep Medicine 4th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2005; page 1034-1039.

Resnick HE, Redline S, Shahar E, Gilpin A, Newman A, Walter R, Ewy GA, Howard BV, Punjabi NM;
Sleep Heart Health Study. Diabetes and sleep disturbances: findings from the Sleep Heart Health
Study. Diabetes Care 2003 Mar;26(3):702-9.

Bradley TD, Floras JS. Sleep apnea and heart failure: Part I: obstructive sleep apnea. Circulation.
2003, 107:1671-8.

Peppard PE, Young T, Palta M, Skatrud J. Prospective study of the association between sleep-
disordered breathing and hypertension. N Engl J Med 2000, 342:1378-1384.

Becker HF, Jerrentrup A, Ploch T, Grote L, Penzel T, Sullivan CE, Peter JH. Effect of nasal continuous
positive airway pressure treatment on blood pressure in patients with obstructive sleep apnea.
Circulation 2003, 107:68-73.
Phillips B, Kryger MH. Management of obstructive sleep apnea-hypopnea syndrome: overview. In
Kryger MH, Roth T, Dement W. Principle and Practice of Sleep Medicine 4th Ed. Philadelphia:
Elsevier, 2005; page 1109-1121.

AASM Task Force. Sleep-related breathing disorders in adults: recommendations for syndrome
definition and measurement techniques in clinical research. Sleep Vol. 22, No. 5, 1999; page 667-
689.

Kushida CA, Littner MR, Morgenthaler T, Alessi CA, et.al. Practice parameters for the indications for
polysomnography and related procedure: an update for 2005. Sleep Vol.28 No.4, 2005; page 499-
519.

Chervin RD, Theut S, Basseti C, Aldrich MS. Compliance with nasal CPAP can be improved by simple
interventions. Sleep Vol.20, No.4, 1997; page 284-289.

Powell NB, Riley RW, Guilleminault C. Surgical management of sleep-disordered breathing. In Kryger
MH, Roth T, Dement W. Principle and Practice of Sleep Medicine 4th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2005;
page 1081-1097.

http://sleepclinicjakarta.tblog.com/post/1969960699

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Manusia dewasa
memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada pria, mulai
dari sleep walking, sleep paralysis, insomnia, narkolepsi, sampai sleep apnea. Bentuk gangguan tidur
yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang
paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.1

Mendengkur merupakan masalah sosial dan masalah kesehatan. Mendengkur merupakan masalah
yang mengganggu pasangan tidur, menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya
produktivitas, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada
penderita OSA. Pendengkur berat lebih mudah menderita hipertensi, stroke dan penyakit jantung
dibandingkan orang yang tidak mendengkur dengan umur dan berat badan yang sama.2,3,4

Menurut studi yang ada, mendengkur dan OSA meningkatkan risiko hipertensi dua hingga tiga kali,
serta meningkatkan risiko dua kali lipat penyakit koroner atau serangan jantung. Pendengkur dan
penderita OSA juga berisiko terserang stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
tidak dengan OSA dan mendengkur.

Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria, usia pertengahan, dan
obesitas. Di Amerika Serikat, prevalensi OSA pada kelompok usia di bawah 40 tahun adalah 25
persen pria dan 10 hingga 15 persen perempuan. Adapun pada kelompok usia di atas 40 tahun,
prevalensinya mencapai 60 persen pada pria dan 40 persen pada perempuan.5
I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis,
komplikasi dan terapi dari obstructive sleep apnea.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Mendengkur (snoring) adalah suara bising yang disebabkan oleh aliran udara melalui sumbatan
parsial saluran nafas pada bagian belakang hidung dan mulut yang terjadi saat tidur. Gangguan tidur
dengan gelaja utamanya mendengkur adalah Obstructive Sleep Apnoea (OSA).6

Obstructive Sleep Apnea adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas saat tidur dengan
gejala utama mendengkur.7

Apnea didefinisikan sebagai ,henti nafas selama 10 detik atau lebih yang dapat mengakibatkan
penurunan aliran udara 25% dibawah normal.8

II.2 Patofisiologi Mendengkur dan OSA

Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator faring berkontraksi 50
mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen faring tidak kolaps akibat tekanan
intrafaring yang negative oleh karena kontraksi otot dinding dada dan diafragma. Pada waktu tidur
aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring
menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama
berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen
sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yang paling berperan adalah:

a. Obesitas

b. Pembesaran tonsil

c. Posisi relatif rahang atas dan bawah.9,10,11

Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas akibat sumbatan.
Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan terjadi akibat
kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur di mana
otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.6,11

Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan kerusakan pada
serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan
saluran nafas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami
obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu
mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu
tertentu.6

Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas baik
komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang (hipopnea) atau
terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga
(arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka
merasa tercekik. Lebih sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang
berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini
menyebabkan penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan
terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan peningkatan aktivitas
adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik. Banyak penderita OSA tidak merasa
mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan
suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya
bervariasi (fase apnea obstruktif).12

II.3 Epidemiologi

OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50 tahun yang
lalu13 dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di negara-negara maju
diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita.14-17 Pria lebih sering mengalami OSA
dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita obesitas.10 Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih
tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita. Prevalensi
OSA lebih rendah lagi pada wanita sebelum masa menopause dan wanita menopause yang
mendapat terapi hormonal.18

Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.19
Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat juga akibat
kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down.6 Frekuensi OSA
mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara
umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.15

Pada penelitian kesehatan kardiovaskular di Amerika Serikat yang meliputi 5000 penduduk berusia
65 tahun atau lebih, 33% pria dan 19% wanita mendengkur. Prevalensi mendengkur menurun pada
kelompok usia di atas 75 tahun.20 Linberg et al. mendapatkan hasil yang hampir sama, di mana
prevalensi mendengkur pada pria memuncak pada kelompok usia 50-60 tahun dan selanjutnya
menurun.21 Sementara peneliti lain menemukan pada usia di atas 60 tahun, prevalensi OSA
mencapai 45-62%. Di Nantes, Perancis, hampir 60% penduduk yang berusia 60-70 tahun
mendengkur.22

II.4 Gambaran Klinis

Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan
pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari,
penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar
biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada
siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko
terjadinya kecelakaan lalu lintas.4,6

Apnea pada orang dewasa didefinisikan sebagai tidak adanya aliran udara di hidung atau mulut
selama 10 detik atau lebih. Hipopnea didefinisikan sebagai berkurangnya aliran udara sebesar 30%
selama 10 detik atau lebih, dengan atau tanpa desaturasi.24 Gastaut et al. menyatakan ada 3 jenis
apnea:

1. Obstruktif, di mana aliran udara pernafasan terhenti tetapi gerakan dinding dada tetap ada.

2. Central, di mana aliran udara pernafasan dan gerakan dinding dada terhenti.

3. Campuran, merupakan kombinasi yang dimulai dengan tipe sentral diikuti dengan obstruksi.
Kemudian diketahui apnea tipe campuran pada dasarnya adalah obstruktif di mana gerak
pernafasan tidak terdeteksi pada awal terjadinya apnea.

Gambar 1. Tipe Apnea

Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya hubungan antara OSA
dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan kemungkinan adanya OSA pada
orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya sekitar 50% penderita yang didiagnosis OSA juga
menderita obesitas.

II.5 Diagnosis

Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter
hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase pre-obstruktif)
diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif). Bahkan di negara-
negara di mana OSA sudah dikenal luas, sejumlah besar individu dengan gejala OSA tetap tidak
terdiagnosis. Contohnya di Amerika Serikat, pada sebuah survei yang dilakukan di masyarakat tahun
1997 dari 4925 orang dewasa sebanyak 82% pria dan 92% wanita kemungkinan menderita OSA
sedang sampai berat yang belum terdiagnosis.26

Diagnosis OSA dibuat berdasarkan gangguan nafas yang ditemukan pada waktu tidur pada individu
yang menunjukkan gejala terutama mengantuk pada siang hari dan mendengkur. OSA paling banyak
diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep Medicine yaitu:

• ringan (AHI 5-15)

• sedang (AHI 15-30)

• berat (AHI > 30)

Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI) dan beratnya
hipoksemi seperti berikut:

RDI SaO2 (%)

· Mild 5-20 >85

· Moderate 21-40 65-84

· Severe >40 <65

Pada saat OSA baru dikenal, praktis semua pasien harus menjalani pemeriksaan polisomnografi di
rumah sakit. Pemeriksaan polisomnografi meliputi pemeriksaan EEG, elektro-okulografi,
elektromiografi, EKG, aliran nafas di hidung atau mulut, pulse oximetry, gerakan dinding dada dan
posisi tidur yang menghasilkan apnea index (AI), apnea-hypopnea index (AHI) atau respiratory
disturbance index (RDI). Cara ini kurang praktis dan tidak perlu dilakukan pada semua pasien. Saat ini
pasien diperiksa dengan cara yang lebih sederhana menggunakan 4-6 sinyal. Biasanya dilakukan
penilaian saturasi O2, aliran nafas, gerakan dada dan perut, dan kadangkadang denyut jantung dan
dengkuran, tanpa EEG. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di rumah dan memadai untuk keperluan
klinis.27,28

Teknik pemeriksaan telah dikembangkan untuk memperkirakan pasien mana yang lebih baik
menjalani operasi atau menggunakan peralatan oral daripada menggunakan nasal continuous
positive airway pressure. Untuk itu dilakukan pemeriksaan nasofaringoskopi rutin oleh ahli THT guna
mengevaluasi saluran nafas atas, baik pada waktu penderita bangun ataupun tidur.

Gambar 2. Naso-Faringo-Laringoskopi

Sleep nasoendoscopy memungkinkan penilaian dinamis faring pada waktu tidur. Tempat di mana
terjadi obstruksi dapat terlihat sehingga bisa dilakukan terapi yang spesifik, sesuai dengan tempat
terjadinya sumbatan:

• Kavum nasi

• Palatum

• Basis lidah

• Dinding lateral faring

• Epiglotis

Gambar 3. Sleep Nasoendoscopy

Sumbatan yang ditemukan pada pemeriksaan sleep nasoendoscopy menurut Pringle dan Croft
(1993) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

• Derajat 1 : hanya ditemukan vibrasi dari palatum

• Derajat 2 : hanya ditemukan obstruksi palatum

• Derajat 3 : obstruksi palatum dan perluasan ke orofaring yang intermiten

• Derajat 4 : obstruksi pada beberapa level

• Derajat 5 : hanya ditemukan obstruksi pada basis lidah


Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menilai faring secara 3 dimensi adalah CT Scan dan
MRI, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan secara rutin. Pemeriksaan cephalography
menghasilkan gambaran dua dimensi dan dapat dipergunakan untuk menilai struktur maksilofasial.

II.6 Komplikasi

OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya:

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat, sakit
kepala, depresi, epilepsi nokturnal.

2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung iskemik,
gagal jantung kongestif, stroke

3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

4. Metabolik: diabetes, obesitas.

5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.

6. Hematologis: polisitemia.17

Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan hipertensi, stroke dan
penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada penderita OSA diduga sebagai
akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada
penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan
penting pada terjadinya aterosklerosis.29

Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua komponen:

1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.

2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang berlebihan


dan disfungsi sel-sel endotel.

Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur.29 OSA dikenal sebagai faktor
risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA menyebabkan peningkatan tekanan darah
belum sepenuhnya diketahui. Ada kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan
tekanan darah pada penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah
pada penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan
aldosteron, disfungsi sel-sel endotel, dan gangguan fungsi barorefleks.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat (The Sleep Heart Study) yang dilakukan pada 6000 individu
memperlihatkan asosiasi independen yang jelas antara OSA dan hipertensi, dan prevalensi hipertensi
meningkat sesuai dengan beratnya OSA.

Penelitian lain di Amerika Serikat (The Wisconsin Cohort Study) yang dilakukan pada 1069 pasien dan
follow up-nya pada 893 pasien menemukan bahwa AHI (Apnea-Hypopnea Index) merupakan faktor
independen untuk prediksi terjadinya hipertensi. OSA sering ditemukan pada pasien-pasien
hipertensi yang refrakter terhadap pengobatan. Sebaliknya, control hipertensi dengan terapi
konvensional lebih sulit dilakukan pada penderita OSA dibandingkan pada penderita hipertensi yang
tidak mengalami OSA.30

OSA berperan penting dalam patogenesis hipertensi. Deteksi dan terapi OSA perlu dilakukan dalam
manajemen hipertensi untuk mencapai hasil yang optimal. Dokter harus mewaspadai OSA sebagai
penyebab hipertensi yang reversibel dan dapat diterapi.
OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis pada
pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek
aterosklerotik dari OSA, di antaranya:

· Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres oksidatif.

· Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam plasma, penurunan
produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-
reactive protein dan interleukin-6.31

Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan ekspresi molekul-molekul
adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada selsel endotel diduga berperan pada terjadinya disfungsi
sel endotel, pembentukan aterosklerosis dan bekuan darah.

Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan infark
miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi, aterosklerosis,
desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan koagulopati dan respons
inflamasi.

Peneliti lain memperlihatkan kemungkinan hubungan antara mendengkur, bukan dalam kerangka
OSA dengan penyakit kardiovaskuler. Jennum et al (1992 &amp; 1995) menekankan bahwa
hubungan mendengkur dan penyakit kardiovaskular berkaitan dengan faktor risiko lain seperti
misalnya obesitas. Mereka menyimpulkan bahwa mendengkur tidak secara independen
berhubungan dengan penyakit jantung iskemik. Tetapi D’Alessandro et al. (1990) menyimpulkan
bahwa orang yang mendengkur tanpa bukti adanya henti nafas mempunyai risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami infark miokard. Bahkan Hu et al. (2000) yang melakukan penelitian prospektif
dengan jumlah sampel yang besar menemukan bahwa mendengkurmerupakan faktor risiko untuk
terjadinya penyakit kardiovaskuler termasuk stroke. Koskenvuo et al. (1987), Zamarron et al. (1999)
dan Leineweber et al. (2004) berpendapat penyempitan saluran nafas yang
menyebabkanmendengkur walaupun tidak disertai dengan Obstructive Sleep Apnoea (OSA) dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan berupa hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke dan
peningkatan angka kematian.32

Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan peran OSA
dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya
perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian
tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah
akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi efeknya terhadap morbiditas dan
mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan dilakukan pada penderita
stroke.33

Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan
blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSA.
Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus
yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.

Sebagai kesimpulan, terdapat hubungan yang kompleks antara OSA dan penyakit kardiovaskuler.
Pengetahuan mengenai mekanisme tentang hubungan kedua kondisi ini masih terus berkembang.
Hubungan antara hipertensi dan OSA terlihat dengan jelas. Walaupun data belum dapat
memperlihatkan mekanisme pasti antara OSA dan penyakit jantung iskemik dan patologi
kardiovaskuler lainnya, OSA tetap merupakan salah satu factor risiko untuk terjadinya penyakit
kardiovaskuler. Terapi terhadap OSA memperbaiki efek negatif OSA pada sistem kardiovaskuler.
Dokter yang menangani penderita penyakit kardiovaskuler harus waspada akan kemungkinan
adanya OSA dan paham bahwa sebagian besar penderita OSA tidak terdiagnosis atau tidak
mendapat terapi yang adekuat. Terapi yang efektif pada penderita OSA dapat membantu
pengobatan penyakit kardiovaskuler yang menyertainya, meniadakan pemeriksaan yang tidak perlu
dan mengurangi biaya pelayanan kesehatan.

Selain mengakibatkan gangguan kesehatan, OSA juga mengakibatkan terganggunya kehidupan


sosial, produktivitas dan juga meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penelitian
epidemiologis memperlihatkan angka kejadian OSA relatif tinggi pada pengemudi truk dan terapi
OSA memperbaiki kemampuan berkendara.34

Penderita OSA menjadi beban yang berat bagi sistem pelayanan kesehatan di negara maju sebelum
diagnosis berhasil ditegakkan dan mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan bertambah besar.
Diperkirakan OSA yang belum diterapi menimbulkan tambahan biaya kesehatan sebesar 3,4 juta
dolar AS setiap tahunnya.

II.7 Terapi

A. Terapi Non-Bedah

Pada pertengahan abad yang lalu, terapi OSA hanya trakeostomi. Trakeostomi secara komplet dapat
mem-bypass bagian saluran nafas yang mengalami penyempitan atau sumbatan pada waktu tidur.
Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al. memperkenalkan nasal
Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip nCPAP sangat sederhana yaitu dengan
pemberian tekanan positif melalui hidung maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit
dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara
dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari. Efektifitas
pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.17

Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan. Perlu dilakukan
perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga, dan medikamentosa. Walaupun berat badan dapat
dikurangi, tetapi seringkali tidak dapat bertahan lama. Dapat dipertimbangkan tindakan yang lebih
radikal seperti operasi bypass lambung pada penderita obesitas berat.

Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan.
Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan
setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup (pronasi). Salah satu pendekatan terapi terbaru
adalah penggunaan alat mandibular advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang
pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga
dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat
ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang
ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap
CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula.
Gambar 6. Mandibular Splint

Pemberian oksigen sebagai terapi OSA tidak efektif. Walaupun cara ini dapat membantu mengatasi
desaturasi oksihemoglobin, tetapi tidak dapat mengatasi obstruksi. Oksigen menyebabkan frekuensi
apnea berkurang, tetapi juga mengakibatkan apnea yang terjadi bertambah lama waktunya. Terapi
oksigen mungkin dapat bermanfaat bagi pasien yang tidak dapat menerima terapi lain.

B. Terapi Bedah

Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa sebab, di
antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping seperti hidung
tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan
alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain
terapi OSA.

Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi saluran
nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat
dilakukan:

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar, tonsilektomi
dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi CPAP.

2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak sebaik CPAP pada penderita
OSA yang berat. Angka keberhasilan dengan teknik ini mencapai 10-15%.17 Morbiditas yang tinggi
akibat operasi uvulopalatofaringoplasti konvensional dapat dihindari dengan menggunakan laser
atau dengan menggunakan radiofrekuensi coblation. Hasilnya dalam jangka pendek cukup baik,
walaupun dapat terjadi rekurensi dalam jangka panjang.34

3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik fungsional dan
konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus
dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.

4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular osteotomy dan advancement).

5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan ablasi massa lidah dengan
teknik radiofrekuensi.

6. Kadang-kadang perlu dilakukan hyoid myotomy and suspension.

7. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi Celon® atau Coblation®,
dan pemasangan implan Pillar® pada palatum. Teknik radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik
pada jaringan, menginduksi nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume palatum tanpa
kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi (kaku).
Gambar 7. Teknik Radiofrekuensi (Celon atau Coblation)

`Implan Pillar® atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas
dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai
sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil
diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.

Gambar 8. Implan Pillar®

BAB III

KESIMPULAN

1. Obstructive sleep apnea adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas saat tidur dengan
gejala utama mendengkur.

2. OSA terjadi karena lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.

3. Gejala dari OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik
pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari.

4. Diagnosis OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep Medicine.

5. Komplikasi dari OSA adalah hipertensi, serangan jantung dan stroke.

6. Terapi OSA adalah terapi non bedah dan terapi bedah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pang KP. Snoring–the Silent Killer. Medical Digest 2005.

2. Engleman HM, Douglas NJ. Sleepiness, cognitive function, and quality of life ini obstructive sleep
apnoea/hypopnoea syndrome. Thorax 2004; 59: 618-22.

3. Kapur V, Blough DK, Sandblom RE et al. The medical cost of undiagnosed sleep apnea. Sleep 1999;
22: 749-55.

4. Dincer HE, O'Neill W. Deleterious effects of sleep-disordered breathing on the heart and vascular
system. Respiration 2006; 73: 124-30.

5. Yuan, 2007. Mendengkur Bisa Membunuh Diam-Diam. Diakses dari


http://www.dechacare.com/Mendengkur-Bisa-Membunuh-Diam-diam-I89.html.
6. Kotecha B, Shneerson JM. Treatment options for snoring and sleep apnoea. Journal of The Royal
Society of Medicine 2003; 96: 343– 4.

7. Prasadja A, 2009. Pencekik Ditengah Malam. Diases dari


http://sleepclinicjakarta.tblog.com/post/1970062265

8. Saimak T., 2009. Sleep Apnea. Diakses dari


http://www.emedicinehealth.com/obstructive_and_central_sleep_apnea/article_em.htm.

9. Hudgel DW, Harasick T. Fluctuation in timing of upper airway and chest wall inspiratory muscle
activity in obstructive sleep apnea. J Appl Physiol 1990; 69: 443-50.

10. White DP. The pathogenesis of obstructive sleep apnea: advances in the past 100 years. Am J
Respir Cell Mol Biol 2006; 34: 1-6.

11. Wolkove N, Elkholy O, Baltzan M, Palayew M. Sleep and aging: Sleep disorders commonly found
in older people. Can Med Assoc J2007; 176(9): 1299-303.

12. Mazza S, Pepin JL, Naegele B, Plante J, Deschaux C, Levy P. Most obstructive sleep apnoea
patients exhibit vigilance and attention deficits on an extended battery of tests. Eur Respir J 2005;
25: 75-80.

13. Bickelmann AG, Burwell CS, Robin ED, Whaley RD. Estreme obesity associated with alveolar
hypoventilation: a Pickwickian syndrome. Am J Med 1956; 21: 811-8.

14. Young T, Palta M, Dempsey J et al. The occurence of sleepdisordered breathing among middle-
aged adults. N Engl J Med 1993;328: 1230-5.

15. Young T, Peppard PE, Gottlieb DJ. Epidemiology of obstructive sleep apnoe: a population health
perspective. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 1217-39.

16. Stradling JR, Davies RJO. Obstructive sleep apnoea/hypopnoea syndrome: definitions,
epidemiology, and natural history. Thorax 2004; 59: 73-8.

17. Gibson GJ. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and undertreated. Brit Med
Bulletin 2005; 72: 49-64.

18. Bixler EO, Vgontzas AN, Lin HM et al. Prevalence of sleepdisordered breathing in women: effects
of gender. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 608-13.

19. Ali N, Pirson D, Stradling J. The prevalence of snoring, sleep disturbance and sleep related
breathing disorders and their relation to daytime sleepiness in 4-5 year old children. Am Rev Respir
Dis 1991;143: A381.

20. Lindberg E, Taube A, Janson C et al. A 10-year follow-up of snoring in men. Chest 1998; 114:
1048-55.

21. Ancoli-Israel S, Aayalon L. Diagnosis and treatment of sleep disorders in older adults. Am J
Geriatr Psychiatry 2006; 14: 95-103.

22. Dealberto MJ, Pjor N, Courbon D et al. Breathing disorders during sleep and cognitive
performance in an older community sample: the EVA study. J Am Geriatr Soc 1996; 44: 1287-94)

23. Coltman R, Taylor DR, Whyte K, Harkness M. Craniofacial form and obstructive sleep apnea in
Polynesian adn Caucasian men. Sleep 2000; 23: 943-50.
24. Meoli AL, Casey KR, Clark RW, Clinical Practice Review Committee et al. Hypopnoe in sleep-
disordered breathing in adults. Sleep 2001;24:469-70.

25. Gastaut H, Tassinari CA, Duron B. Polygraphic study of the episodic diurnal and nocturnal (hypnic
and respiratory) manifestations of the Pickwick Syndrome. Brain Res 1966; 1: 167-86.

26. Mortimore IL, Marshall I, Wraith PK et al. Neck and total body fat deposition in non-obese and
obese patients with sleep apnoea compared with that in control subjects. Am Respir Crit Care Med
1998; 157: 280-3.

27. American Academy of Sleep Medicine. Sleep related breathing disorders in adults:
recommendation for syndrome definition and measurement techniques in clinical research. Sleep
1999; 22: 667-89.

28. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of obstructive sleep


apnoea/hypopnoea syndrome in adults. 2003.

29. Shamsuzzaman AS, Gersh BJ, Somers VK. Obstructive sleep apnea: implications for cardiac and
vascular disease. JAMA 2003; 290: 1906-14.

30. Hirshkowitz M, Karaca I, Gurakar A et al. Hypertension, erectile dysfunction and occult sleep
apnea. Sleep 1989; 12: 223-32.

31. Shamsuzzaman AS, Winnicki M, Lanfranchi P et al. Elevated Creactive protein in patients with
obstructive sleep apnea syndrome. Circulation 2002;105: 2462-4.

32. Leineweber C, Kecklund G, Janazky I et al. Snoring and progression of coronary artery disease:
the Stockholm Female Coronary Angiography Study. Sleep 2004; 27: 1344-9.

33. Disler P, Hansford A, Skelton J et al. Diagnosis and treatment of obstructive sleep apnea, in a
stroke rehabilitation unit: a feasibility study. Am J Phys Med Rehabil 2002; 81: 622-5.

34. European Respiratory Task Force. Public health and medicolegal implications of sleep apnoea.
Eur Respir J 2002; 20: 1594-609.

35. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive Sleep
Apnea in Adult. Diakses dari http://www.bcguidelines.ca/gpac/pdf/apnea.pdf

http://anwarusy.multiply.com/journal/item/5

KOMPAS.com - Para peneliti dari Chicago University Amerika Serikat melaporkan hubungan penting
antara kegemukan, mendengkur dan proses kognitif pada anak usia Sekolah Dasar.

Pengaruh obesitas dan gangguan tidur pada anak ternyata penting sekali, mengingat otak tumbuh
dengan cepat di usia ini. Patut diingatkan juga bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak terjadi
dalam tidurnya! Hingga segala gangguan yang terjadi pada tidur tentu berpengaruh pada proses
tumbuh kembang anak.

Mendengkur

Mendengkur pada anak bisa menjadi tanda adanya sleep apnea, atau henti nafas saat tidur. Pada
orang dewasa, gangguan tidur ini dapat mengakibatkan hipertensi, diabetes, gangguan jantung
hingga stroke. Sedangkan pada anak, akibatnya lebih memprihatinkan, karena tampak langsung
pada kemunduran prestasi akademis dan pertumbuhan badannya.
Henti nafas saat tidur terjadi akibat menyempitnya saluran nafas saat tidur, hingga aliran udara
tersumbat. Proses henti nafas ini akan memicu otak untuk terbangun sejenak. Tapi jangan salah,
walau anak tak sampai terjaga, gelombang tidurnya sudah terganggu.

Buruknya kualitas tidur akan akibatkan anak mengalami kantuk berlebihan atau hipersomnia. Hanya
saja, untuk melawan kantuknya, anak justru menjadi hiperaktif. Efek kualitas tidur yang buruk ini
jelas mengganggu proses berpikirnya. Kemampuan konsentrasi yang buruk, kemampuan analisa
menurun juga emosi yang labil.

Pemeriksaan tidur

Berat badan berlebih jelas memperberat dengkuran anak. Tetapi, suara dengkuran tidak menjadi
patokan parahnya suatu penyakit. Henti nafaslah yang perlu diperhatikan. Untuk itu, diperlukan
pemeriksaan tidur menggunakan polisomnografi di laboratorium tidur.

Dari pemeriksaan tidur baru kita dapat memastikan adanya henti nafas, serta derajat serta karakter
henti nafas yang dialami. Keparahan gangguan nafas diukur dengan apnea hypopnea index atau AHI,
yaitu jumlah henti nafas yang terjadi tiap jamnya. Kejadian henti nafas satu kali per jam saja pada
anak sudah menunjukkan gangguan nafas serius.

Karen Spruyt, PhD dari departemen anak Pritzer School of Medicine yang memimpin penelitian
mengatakan bahwa, peningkatan jumlah anak yang mengalami obesitas akan melipat gandakan
hubungan antara gangguan tidur dan perkembangan kognitif anak. Ia juga menambahkan,
pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat penurunan berat badan bagi
kesehatan dan prestasi akademis anak.

Penelitian yang diterbitkan pada American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine,
memeriksa 351 anak usia SD. Mereka diperiksa tidur dan indeks massa tubuhnya.

Di samping itu, kemampuan kognitif mereka pun diukur. Hasilnya, anak-anak dengan sleep apnea
mengalami kemunduran fungsi kognitif. Anak-anak ini juga rata-rata mengalami kegemukan.
Sementara jika dilihat dari sisi anak-anak yang obesitas, mereka cenderung memiliki sleep apnea
yang lebih parah dan tentu saja kemampuan kognitif yang lebih buruk.

Para peneliti mengingatkan, walau penelitian ini hanya melihat masalah kegemukan dan
mendengkur, pengurangan berat badan saja belum tentu menyelesaikan masalah. Karena
penelitian-penelitian lain kini juga menunjukkan bahwa sleep apnea sendiri akan mengganggu
metabolisme hingga sulit untuk menurunkan berat badan. Apalagi anak yang mengantuk cenderung
makan lebih banyak.

Pemeriksaan fungsi-fungsi tubuh saat tidur menjadi amat penting untuk mengambil keputusan
perawatan nantinya. Penderita sleep apnea juga tak mesti gemuk. Sering dalam praktek sehari-hari
saya temukan pasien anak pendengkur yang berbadan kurus dan pendek. Ini disebabkan oleh
terganggunya tumbuh kembang anak akibat sleep apnea.

* Praktisi Kesehatan Tidur, Sleep Disorder Clinic RS Mitra Kemayoran, pendiri @IDTidurSehat ,
penulis buku Ayo Bangun! anggota American Academy of Sleep Medicine.

http://health.kompas.com/read/2011/12/12/13290175/Hubungan.Mendengkur.Kegemukan.dan.Ke
cerdasan.Anak

Info Pengapuran Sendi: Penyebab Utama Nyeri Sendi pada Wanita


Hampir semua orang pernah mengalami nyeri sendi. Masyarakat sering keliru menganggap semua
nyeri sendi disebabkan oleh asam urat atau penyakit rematik. Kedua penyakit ini memang dapat
menyebabkan nyeri sendi, tetapi sebenarnya jarang terjadi.

Penyakit lain yang sering dianggap dapat mengakibatkan nyeri sendi adalah kolesterol dan
osteoporosis. Anggapan tersebut keliru karena kolesterol dan osteoporosis tidak pernah
menyebabkan nyeri sendi.

Penyebab utama nyeri sendi pada usia di atas 45 tahun, khususnya lutut dan pinggul, adalah
pengapuran sendi. Pada usia di bawah 45 tahun, penyebab utama nyeri sendi adalah peradangan
otot akibat aktivitas fisik yang berlebihan atau karena cidera olah raga.

Pengapuran sendi atau osteoartritis adalah suatu penyakit di mana tulang rawan sendi menipis.
Tulang rawan berfungsi melapisi ujung tulang pembentuk sendi, sehingga sendi dapat bergerak
bebas tanpa rasa nyeri.

Fungsi tulang rawan sendi dapat diibaratkan seperti fungsi ban yang melapisi velg kendaraan
sehingga mobil dapat bergerak bebas tanpa hambatan. Sama seperti ban mobil yang akan menipis
karena aus akibat bergesekan dengan jalan, demikian juga tulang rawan sendi akan aus dan menipis
karena saling bergesekan setiap kali sendi bergerak.

Jika tulang rawan sendi rusak dan menipis, ujung tulang pembentuk sendi akan saling bertemu dan
bergesekan langsung tanpa pelapis tulang rawan, sehingga menimbulkan nyeri sendi.

Penyebab

Penyebab penipisan tulang rawan pada pengapuran sendi tidak diketahui secara pasti dan dianggap
sebagai bagian dari proses penuaan. Setiap orang akan mengalami pengapuran sendi dengan
derajad yang berbeda-beda.

Selain sebagai bagian dari proses penuaan, pengapuran sendi dipandang sebagai akibat dari
beberapa faktor resiko sebagai berikut: (1) wanita berusia lebih dari 45 tahun; (2) kelebihan berat
badan; (3) aktifitas fisik yang berlebihan, seperti para olah-ragawan dan pekerja kasar; (4) menderita
kelemahan otot paha; atau (5) pernah mengalami patah tulang di sekitar sendi yang tidak
mendapatkan perawatan yang tepat.

Gejala-Gejala

Gejala pengapuran sendi stadium dini biasanya berupa nyeri dan kekakuan sendi setelah lama tidak
bergerak, seperti setelah bangun tidur atau setelah duduk dalam waktu lama. Sendi lutut juga
terasa sakit jika digunakan untuk berjalan, naik-turun tangga, atau berjongkok. Sering terdengar
bunyi “krek-krek” pada saat sendi lutut digerakkan.

Pada stadium lanjut, selain rasa sakit yang semakin hebat, sendi lutut menjadi bengkok seperti
huruf O atau huruf X.

Pada foto Rontgen, celah sendi lutut yang mengalami pengapuran sendi tampak lebih sempit
dibanding celah sendi yang normal.

Derajad penyempitan celah sendi pada foto Rontgen inilah yang digunakan untuk menentukan berat
ringannya (stadium) pengapuran sendi. Ada 4 stadium pengapuran sendi, yaitu stadium 1 dan 2
dikategorikan sebagai pengapuran sendi ringan, sedangkan stadium 3 dan 4 sebagai pengapuran
sendi berat.
Pada stadium 1, celah sendi masih normal lebar, tetapi ada rasa nyeri pada sendi lutut. Celah sendi
pada stadium 2 lebih sempit dibanding normal. Sementara pada stadium 3, celah sendi sangat
sempit dan pada stadium 4, celah sendi menutup; keadaan ini disebabkan karena lapisan tulang
rawan yang melapisi ujung tulang dan “mengisi” celah sendi telah hilang sama sekali.

Pengobatan.

Pengobatan tergantung pada stadium pengapuran sendi. Pengobatan untuk pengapuran sendi
derajad ringan (yaitu stadium 1 dan 2) terdiri atas (1) menurunkan berat badan bagi yang kelebihan
berat badan, (2) latihan untuk menguatkan otot paha dan pinggul serta untuk menjaga kebugaran
tubuh, seperti berenang dan naik sepeda, (3) obat anti-radang dan anti-nyeri, (4) suplemen yang
mengandung glukosamin untuk menumbuhkan tulang rawan, serta (5) obat pelumas sendi yang
mengandung asam hialuronat dan yang perlu disuntikkan ke dalam sendi. Orang awam sering
menyebut obat yang terakhir tersebut sebagai penambah ”oli sendi”.

Suntikan obat pelumas sendi hanya bermanfaat untuk pengapuran sendi ringan (stadium 1 dan 2).
Untuk pengapuran sendi berat (stadium 3 dan 4) obat tersebut tidak bermanfaat karena tulang
rawan sendi pada umumnya tidak hanya menipis, tetapi telah hilang sama sekali sehingga tidak ada
lagi tulang rawan yang tersisa untuk dilumasi lagi.

Cukup banyak pasien yang kecewa telah mendapat suntikan obat pelumas sendi, tetapi tidak
sembuh. Banyak diantaranya mendapat suntikan 5 sampai 10 kali pada kedua lututnya, tetapi tetap
terasa nyeri. Hal ini disebabkan karena mereka telah mengalami pengapuran sendi stadium 3 atau 4
sehingga obat pelumas sendi tidak bermanfaat.

Oleh karena itu, bentuk pengobatan non-operasi tersebut di atas biasanya hanya bermanfaat untuk
pengapuran sendi ringan (stadium 1 dan 2) dan tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk
derajad yang berat. Untuk pengapuran sendi berat (yaitu, stadium 3 dan 4), pilihan pengobatan
terbaik yang tersedia adalah operasi penggantian sendi.

Operasi Penggantian Sendi

Operasi penggantian sendi adalah operasi yang dilakukan untuk mengganti sendi yang telah rusak
dengan sendi buatan yang disebut prostesis. Operasi penggantian sendi paling banyak dilakukan
pada sendi lutu dan sendi pinggul karena kedua sendi tersebut paling sering mengalami kerusakan
akibat pengapuran sendi.

Pencegahan

Karena sebagai bagian dari proses penuaan, pengapuran sendi sebenarnya tidak dapat dicegah. Yang
dapat dilakukan adalah mengurangi resiko timbulnya pengapuran sendi, dengan cara (1)
menurunkan berat badan bagi yang kelebihan berat badan, (2) tidak melakukan aktivitas fisik yang
terlalu berat, (3) segera memeriksakan diri jika menderita nyeri sendi agar pengapuran sendi
stadium ringan dapat dicegah tidak bertambah buruk menjadi stadium berat.

http://www.pantirapih.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=197:pengapuran-
sendi-penyebab-utama-nyeri-sendi-pada-wanita&catid=57:bedah&Itemid=100

MODUL II KEGEMUKAN

Modul tutorial sistem Endokrin & Metabolisme

SKENARIO
Seorang pria umur 44 tahun datang ke dokter

untuk memeriksa kesehatan rutin.

Anamnesis diketahui bahwa ibu dari penderita

tersebut menderta diabetes.Ia tidak merokok,

Pemeriksaan fisik TB 160cm,BB 78kg,LP=95cmTD150/95mmHg.

Pemeriksaan dalam batas lainnya Normal

Setelah di periksa laboratorium di dapatkan hasil sbb:GDP110mg/dl,Kol tot280mg/dl,LDL180mg/dl

TG180mg/dl,HDL32mg/dl,Asam urat 9,Lain-lain dalam, batas normal

PERTANYAAN PENTING

1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan?

2. Hormon-hormon apa saja yg mempengaruhi berat badan?

3. Etiologi dari obesitas

4. Faktor resiko apa saja yg dapat ditimbulkan pada obesitas?

5. Penyakit apa saja yang dapat menimbulkan obesitas dan jelaskan?

6. Bagaimana hubungan antar gejala?

7. Bagaimana hubungan keluarga?

8. Langkah pemeriksaan selanjutnya?

9. DD?

PEMECAHAN MASALAH

1. Interpretasi hasil pemeriksaan

• IMT = 30 kg/m2 è obes 2

• L perut = obes sentral

• GDP = Prediabetik 110-125mg/dl

• Kolestrol total= tinggi(120-220mg/dl)

• LDL-C= tinggi (80-140mg/dl)

• HDL-C= rendah(35-55mg/dl)
• Asam Urat = tinggi (3,5-7,2)

• TG = tinggi (40-160 mg/dl)

2. Hormon-hormon yg dapat mempengaruhi berat badan?

- Neuropeptid Y:meningkatkan rangsangan lapar

- Leptin : menekan rasa lapar

- Kortisol : meningkatkan nafsu makan, dan mobilisasi lemak dan protein

3. Etiologi dari obesitas

• Genetik

– Hiperlipidemia : Hiperkolesterolemia familial (terjadi pengurangan ambilan partikel LDL sehingga


terakumulasi dlm plasma)

– Hiperkolesterolemia poligenik : secara autosomal terjadi peningkatan kadar kolesterol

– Genotipe apoprotein (heterozigot 15 % populasi) : lemahnya ambilan sisa lipoprotein setelah


katabolisme

• Lingkungan

– Faktor pola hidup dan kebiasaan keluarga

• Neurohormon

– Terjadi mutasi pada pusat rasa lapar

• Sekunder (akibat penyakit)

– Hipotiroidism

– Cushing syndrome

4. Faktor resiko yg dapat ditimbulkan pada obesitas

• DM tipe 2 50%

• Gall Bladder è 37%

• Hipertensi dan PJK è 17%

• Osteoarthritis è 14%

• Ca Prostat dan Colon è 11%


5. Penyakit yg mungkin dapat terjadi dengan peningkatan berat badan disertai hipertensi adalah
Cushing syndrome. Pada penyakit ini terjadi peningkatan sekresi kortisol. Gangguan ini terjadi baik
diakibatkan oleh stimulasi yg berlebihan di hipofisis dan tumor di suprarenal yg produktif
menghasilkan kortisol. .Terjadi peingkatan glukoneogenesis yang berakibat peningggian glukosa
darah sehingga disebut diabetes adrenal. Kadar gua dalam darah dapat mencapai 200 mg /dl. Fungsi
kortisol adalah mobilisasi lemak dan protein sehingga dapat terjadi penumpukan protein dan lemak
di plasma. Hal ini dapat menimbulkan penumpukan lemak di daerah badan dan wajah ang belum
diketahui sebabnya dan terjadi peningkatan osmolalitas dalam plasma yang berujung dengan
hipertensi.

6. Dari kasus ini kita dapat menggali hubunan antar gejala dengan melakukan anamnesis. Jadi pusat
obesitas dari kelompok kami jika dilakukan anamnesis yaitu melihat pola makan sebagai penyebab
hiperuresemia dan obesitas. Hiperuresemia tidak tergantung pada obesitas namun pola makan yang
mengandung purin dan riwayat gagal gnjal. Obesitas kita dapat menarik kesimpulan bahwa obesitas
menyebabkan dislipidemia akibat rendahnya mobilisasi lipoprotien efek dari obesitas, terjadinya
hipertensi akibat resistensi perifer meningkat, dan resiko diabetes akaibat desensitasi jaringan pada
insulin.

7. Hubungan keluarga DM

Genetik: adanya penelitian menunjukkan kesamaan genetik pada keluarga penderita DM penyebab
DM tipe 2 dan gen tersebut memicu timbulnya DM tipe 2

– hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4A)

– calpain 10 (CAPN10)

- Kesamaan pola hidup è Kebiasaan keluarga yang dapat diturunkan sehingga pola hidup diterapkan
oleh generasi berikutnya

8.Langkah pemeriksaan selanjutnya

Anamnesis

bagaimana pola makan?

Apakah ada keluarga yg obesitas?

Ada riwayat penyakit sebelumnya?

Konsumsi obat?

Pemeriksaan fisis

inspeksi =Jenis obesitas (sentrifugal/sentripetal)

Adanya striae ?

fatigue?

Lab dan pemeriksaan lain

bila dicurigai Cushing Syndrome


- tes kortisol urine

- tes ACTH

- CT scan dan MRI

Bila dicurigai DM tipe 2

- Glukosa darah

- tes glukosa urine

9. DD

keywords Diabetes Melitus Cushing Syndrome

Obesity Pencetus effect

Age >40 20-40

Sex NA Wanita>Laki-laki

Hipertention ada Ada

dislipidemia ada Ada

GDP 110 ada ada

Kesimpulan kelompok kami, kami mengambil diagnosa Diabetes Melitus tipe dua. Hal ini kami
pertimbangakan karena Cushing sindrom banyak diderita oleh perempuan dan terdapat jenis
obesitas sentral yang masih perlu pemeriksaan lebih lengkap terutama kadar kortisol dalam darah.

Kesimpulan

• Dalam skneario è Dugaan diabetes melitus tipe 2

• Penanganan sementara

– Edukasi è memberikan informasi seputar diabetes dan menyemangat pasien agar melakukan
kegiatan dari rencana terapi dan pendekatan agar terapi dapat dikerjakan dan berhasil

– Recall makanan, berikan recana terapi diet è menilai pola makan pasien, melihat adanya kelainan
genetik yang dialami pasien khususnya dislipidemia, menentukan langakah diagnosa selanjutanya
dan penyusunan menu yang tepat

– Pemberian antidiabetik oral mencegah resistensi insulin, e.g Metformin


– Pemeriksaan kadar insulin è pemeriksaan kadar insulin puasa yaitu normalnya 20-60 uU/dl untuk
mengetahui lonjakan sekresi insulin pada tahap diabetes agar dapat dilihat adanya resistensi insulin
dan sekresi insulin yang melonjak lalu menurun.

http://venasaphenamagna.blogspot.com/2009/12/modul-ii-kegemukan.html

Jenis sakit nyeri sendi

Pemutakhiran Terakhir (Jumat, 03 Pebruari 2012 04:41)

Email

NYERI SENDI JARI-JARI TANGAN

Nyeri sendi jari-jari tangan dapat disebabkan oleh penyakit rematik. Namun demikian, jangan
terburu-buru menganggap semua nyeri pada sendi jari-jari dan pergelangan tangan selalu
disebabkan oleh penyakit rematik

Rematik adalah penyakit di mana terjadi peradangan bagian dalam kapsul sendi akibat adanya
antibodi tidak normal yang justru menyerang bagian tubuh sendiri, yaitu kapsul sendi. Penyakit
rematik memang terutama menyerang sendi-sendi jari-jari dan pergelangan tangan. Namun
demikian, penyakit rematik lazim menyerang lebih dari tiga sendi serta mengenai kedua tangan
kanan dan kiri secara simetris pada waktu yang bersamaan. Penyakit rematik sangat jarang
menyebabkan nyeri hanya pada satu sendi saja.

Ada beberapa penyakit lain yang lebih sering menyebabkan nyeri sendi di daerah tangan dibanding
penyakit rematik, yaitu penyakit trigger finger, penyakit de Quervain, dan carpal tunnel syndrome.
Ketiga penyakit ini lebih sering mengenai wanita dibanding laki-laki.

Penyakit trigger finger terjadi akibat terjepitnya otot jari-jari di daerah telapak tangan.. Gejala yang
khas adalah adanya nyeri pada pangkal jari tangan, terutama jika jari-jari digunakan untuk
menggenggam. Jari sering seperti ”tersangkut” pada saat dilipat dan terasa nyeri jika diluruskan
kembali.

Penyakit De Quervain timbul akibat terjepitnya otot ibu jari tangan. Nyeri terasa di daerah
pergelangan tangan di sebelah atas pangkal ibu jari. Rasa nyeri timbul pada saat tangan dipakai
menggenggam atau mengangkat sesuatu, misalnya gayung untuk mandi.

Penyebab lain nyeri jari-jari tangan adalah Carpal tunnel syndrome (CTS) yang disebabkan
terjepitnya saraf medianus di daerah pergelangan tangan. Gejala CTS yang lebih menonjol dibanding
rasa nyeri adalah rasa tebal dan kesemutan pada ibu jari, telunjuk, jari tengah dan manis; jari
kelingking tidak mengalami gejala semacam itu.

Sekali lagi, ketiga penyakit tersebut di atas jauh lebih sering mengakibatkan nyeri sendi jari-jari dan
pergelangan tangan dibanding rematik dan asam urat.

NYERI SENDI BAHU & SIKU


Nyeri bahu paling sering diakibatkan oleh penyakit shoulder impingement, yaitu suatu penyakit
akibat peradangan otot di dalam sendi bahu. Peradangan tersebut lazim disebabkan oleh robekan
serabut-serabut otot di dalam sendi bahu, yang dikenal sebagai rotator cuff.

Gejala penyakit ini adalah bahu terasa nyeri jika lengan diangkat ke arah atas atau ke arah belakang.
Penderita mengalami kesulitan melakukan gerakan tertentu, seperti menyisir, mengangkat gayung
atau memakai kaos.

Ada dua penyakit penyebab nyeri sendi siku. Penyakit tennis elbow menyebabkan nyeri di daerah
sisi luar sendi siku, sementara golfer’s elbow mengakibatkan nyeri pada sisi dalam sendi siku. Sama
seperti shoulder impingement, kedua penyakit ini disebabkan oleh peradangan otot akibat
peregangan otot secara berlebihan, bukan karena penyakit rematik atau asam urat.

NYERI DI DAERAH KAKI

Selain rematik, asam urat sering dituduh sebagai penyebab nyeri sendi. Asam urat jika menumpuk di
dalam sendi dalam bentuk kristal natrium urat memang dapat menyebabkan peradangan dan nyeri
sendi. Akan tetapi, sekitar 90% nyeri sendi yang disebabkan oleh asam urat hanya menyerang sendi
pangkal ibu jari kaki.

Dengan kata lain, nyeri sendi yang dapat dihubungkan dengan asam urat adalah nyeri sendi yang
mengenai pangkal ibu jari kaki. Asam urat jarang mengakibatkan nyeri pada sendi yang lain,
meskipun juga dapat menyerang sendi siku dan jari-jari tangan serta pergelangan kaki.

Penyebab utama nyeri di daerah kaki adalah plantar fasciitis dan Achilles tendonitis, bukan asam
urat atau rematik. Kedua penyakit ini disebabkan oleh peradangan otot di daerah kaki.

Plantar fasciitis menyebabkan nyeri pada telapak kaki (sisi bawah tumit), khususnya ketika bangun
pada pagi hari yang biasanya berkurang setelah kaki digunakan berjalan beberapa waktu. Sementara
Achilles tendonitis menyebabkan nyeri pada ujung belakang tumit. Kedua penyakit ini bukan
merupakan penyakit rematik

NYERI PINGGUL & LUTUT

Sendi pinggul dan lutut adalah dua sendi yang paling sering terasa nyeri karena paling banyak
menerima beban. Penyebab utama nyeri kedua sendi tersebut juga bukan penyakit rematik atau
asam urat.

Pada usia di bawah 45 tahun, penyebab utama nyeri kedua sendi ini adalah peradangan otot dan
kapsul pembungkus sendi akibat peregangan yang berlebihan, seperti misalnya karena olah raga
atau terpeleset. Sementara di atas umur 45 tahun, penyebab utama nyeri kedua sendi tersebut
adalah pengapuran sendi (osteoartritis), bukan penyakit rematik atau asam urat, seperti keyakinan
banyak orang

Pengapuran sendi merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh menipisnya tulang rawan sendi.
Tulang rawan berfungsi melapisi setiap ujung tulang pembentuk sendi, sehingga sendi dapat
bergerak bebas tanpa rasa sakit. Jika tulang rawan tersebut menipis, ujung tulang tidak dilapisi lagi
oleh tulang rawan dan akan saling bergesekan secara langsung sehingga mengakibatkan rasa nyeri.
GEJALA PENGAPURAN SENDI

Gejala pengapuran sendi stadium dini biasanya berupa nyeri dan kekakuan sendi setelah lama tidak
bergerak, seperti setelah bangun tidur atau duduk dalam waktu yang lama. Sendi lutut juga terasa
sakit apabila digunakan beraktivitas, seperti berjalan dalam waktu yang lama, naik-turun tangga,
atau berjongkok. Sering terdengar bunyi “krek-krek” pada saat sendi lutut digerakkan.

Pada stadium yang lebih berat, rasa sakit tidak hanya dirasakan ketika beraktivitas, tetapi juga pada
saat istirahat. Pada stadium yang lanjut, selain rasa sakit yang semakin hebat, sendi lutut menjadi
kaku dan bengkok seperti huruf O atau huruf X. Penderita pengapuran sendi yang berat lazim
berjalan pincang.

Pada foto Rontgen, celah sendi yang mengalami pengapuran sendi tampak lebih sempit dibanding
celah sendi yang normal sebagai akibat penipisan tulang rawan sendi. Hasil foto Rontgen inilah yang
lazim digunakan untuk menentukan berat ringannya (stadium) pengapuran sendi. Ada 4 stadium
pengapuran sendi; stadium 1 dan 2 dikategorikan sebagai pengapuran sendi ringan, sementara
stadium 3 dan 4 sebagai pengapuran sendi yang berat.

Pengobatan

Pengobatan pengapuran sendi berbeda-beda tergantung stadiumnya. Pengapuran sendi derajad


ringan (yaitu stadium 1 dan 2) masih dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat, seperti
menurunkan berat badan dan pemberian obat berupa (1) obat anti-radang dan anti-nyeri, (2)
suplemen yang mengandung glukosamin dan kondroitin sulfat untuk menumbuhkan tulang rawan,
(3) obat pelumas sendi yang perlu disuntikkan ke dalam sendi, serta (4) operasi dengan kamera dan
alat khusus yang dimasukkan ke dalam sendi melalui sayatan kecil untuk membersihkan permukaan
tulang rawan sendi yang berserabut dan membuang “kotoran” lain di dalam sendi. Operasi semacam
ini disebut “arthroscopic debridement”.

Injeksi pelumas sendi dan glukosamin hanya bermanfaat untuk pengapuran sendi derajad ringan
(stadium 1 dan 2). Untuk pengapuran sendi derajad berat (stadium 3 dan 4) obat tersebut tidak
bermanfaat karena tulang rawan sendi telah menipis dan bahkan hilang sama sekali sehingga tidak
ada lagi tulang rawan yang tersisa untuk dilumasi dan ditumbuhkan lagi.

Banyak pasien yang kecewa telah mendapat suntikan obat pelumas sendi, tetapi tidak sembuh.
Banyak diantaranya mendapat suntikan 5 sampai 10 kali pada kedua lututnya, tetapi tetap terasa
nyeri. Hal ini disebabkan karena mereka telah mengalami pengapuran sendi stadium 3 atau 4,
sehingga bentuk pengobatan untuk stadium 1 dan 2 tersebut tidak bermanfaat lagi.

Operasi Penggantian Sendi

Oleh karena itu, pengobatan terbaik untuk pengapuran sendi lutut dan pinggul stadium 3 dan 4
adalah operasi penggantian sendi. Operasi ini dilakukan untuk mengganti sendi yang telah rusak
akibat pengapuran sendi dengan sendi buatan (prosthesis).

Operasi penggantian sendi lutut tidak hanya menghilangkan rasa sakit sendi yang telah rusak,
tetapi juga membuat sendi lutut yang bengkok menjadi lurus kembali setelah operasi. Setelah
menjalani operasi penggantian sendi, penderita diijinkan untuk berjalan cepat, naik tangga,
berenang, naik sepeda, berdansa dan bahkan bermain golf.
Operasi penggantian sendi lutut dan pinggul tidak membutuhkan rawat inap di rumah sakit yang
lama. Tiga hari setelah operasi, pasien mulai dilatih berjalan dengan alat bantu penyangga yang
disebut walker. Lama perawatan di rumah sakit berkisar 4 sampai 5 hari. Pasien biasanya mampu
berjalan seperti orang normal tanpa bantuan walker sekitar 3-4 minggu setelah operasi.

Operasi penggantian sendi aman bagi orang tua; kenyataanya hampir semua penderita pengapuran
sendi adalah orang tua. Operasi ini juga aman bagi para penderita kencing manis, hipertensi dan
jantung sepanjang hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam batas normal.

http://www.sakitsendi.info/artikel/78-jenis-sakit-nyeri-sendi.html

Metabolisme: Obesitas, Gizi Lebih

“Analisis Metabolisme Nutrisi Berkaitan Dengan Gizi Lebih dan Obesitas”

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Obese didefinisikan dengan terlalu gemuk, sedangkan obesitas adalah peningkatan berat badan
melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh.
(Dorland, 2002). Obesitas terkait erat dengan kelebihan nutrisi dari batas yang dibutuhkan oleh
tubuh. Dalam skenario ini, metabolisme nutrisi akan dibahas lebih lanjut berkaitan dengan obesitas.

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:

Seorang remaja laki-laki obese umur 17 tahun datang dengan ibunya ke poliklinik obesitas untuk
memeriksakan anak tersebut. Menurut ibunya, anak tersebut lahir sebagai bayi berat lahir rendah
(BBLR), sekitar 2 kg. Karena lahir kecil, sejak bayi anak tersebut diberi makanan-makanan dengan
kandungan kalori tinggi. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan berat badan 96 kg, tinggi badan 150
cm. Pemeriksaan USG hepar menyatakan fatty liver dan hasil pemeriksaan laboratorium: gula darah
puasa 120 mg/dl, trigliserida 346 mg/dl, high-density lipoprotein 35 mg/dl dan asam urat 9 mg/dl.
Dokter menjelaskan anak tersebut menderita penyakit sindroma metabolik dan disarankan untuk
menurunkan berat badan. Kemudian dokter mengirim pasien ke ahli gizi untuk mendapatkan terapi
diet. Oleh ahli gizi pasien diberi daftar menu diet yang harus disiapkan setiap hari. Adapun yang
dibatasi adalah asupan karbohidrat, lemak, dan purin. Selain diet, pasien dianjurkan untuk latihan
fisik.

Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis metabolisme nutrisi dalam kaitannya dengan
manifestasi klinis obesitas dan sindroma metabolik dalam kasus diatas, serta mencari
penatalaksanaan keduanya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana mekanisme metabolisme karbohidrat, lemak, dan purin?

2. Apakah hubungan hasil pemeriksaan dengan sindroma metabolik?

3. Apakah hubungan fatty liver dengan metabolisme nutrisi?

4. Apakah hubungan hasil pemeriksaan laboratorium dengan metabolisme nutrisi?

5. Bagaimana dasar teori dalam memberi terapi yang tepat?


C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui mekanisme metabolisme karbohidrat, lemak, dan purin.

2. Mengetahui hubungan hasil pemeriksaan dengan sindroma metabolik.

3. Mengetahui hubungan fatty liver dengan metabolisme nutrisi.

4. Mengetahui hubungan hasil pemeriksaan laboratorium dengan metabolisme nutrisi.

5. Mengetahui dasar teori dalam memberi terapi yang tepat.

D. MANFAAT PENULISAN

§ Mahasiswa mengetahui dasar teori metabolisme nutrisi.

§ Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan obesitas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Metabolisme Karbohidrat, Lipid, dan Purin

Seluruh produk digesti umumnya di ”metabolisme” kan berupa asetil ko-A, yang kemudian
teroksidasikan dalam siklus asam sitrat (siklus Krebs). Kemudian ATP yang dihasilkan berasal dari
fosforilasi oksidatif dari produk siklus Krebs.

Bila konsentrasi oksaloasetat rendah, maka asetil ko-A hanya sedikit yang masuk ke dalam siklus
Krebs, sehingga yang terjadi adalah jalur pembentukan benda keton. Benda keton selanjutnya
akan dikirim ke jaringan ekstrahepatik untuk dioksidasi sehingga menghasilkan energi.

Glukosa dapat diubah menjadi glikogen (glikogenesis) dan lemak (lipogenesis). Bila tubuh sedang
tidak dalam waktu makan, maka glikogen akan diubah kembali menjadi glukosa (glikogenolisis),
dan bekerja sama dengan ginjal, mengubah metabolit nonkarbohidrat lainnya menjadi glukosa
(glukoneogenesis). (Murray et.al., 2003).

Setelah absorpsi, semua monosakarida diangkut ke dalam hati oleh aliran darah. Glikogen di
dalam otot hampir seluruhnya digunakan untuk beraktifitas, namun glikogen dalam hati disimpan,
dan dihabiskan dalam waktu 12-18 jam setelah berpuasa. (Shils, et.al., 2006). Glikogen hati
mencapai 6% berat basah sesudah makan, sedangkan glikogen otot hanya 1%-nya saja. (Murray
et.al., 2003).

Kadar glukosa dalam darah diatur oleh otak, sehingga asupan diet yang masuk sangat
mempengaruhi pengaturannya. Apabila tubuh tidak mendapatkan asupan glukosa, contohnya
pada saat lapar atau berpuasa, otak dapat menyesuaikan level glukosa darah, walaupun dapat
menggunakan badan keton dari hasil pemecahan lipid. (Shils et.al., 2006).

Lipid pada nutrisi berupa triasilgliserol kemudian dihidrolisis menjadi monoasilgliserol dan asam
lemak di dalam intestinum, kemudian di reesterifikasi dalam mukosa intestinum, yang kemudian
dibungkus dengan protein yang kemudian menuju sistem limfatik dan kemudian menuju aliran
darah.

Asam lemak bebas dalam plasma darah adalah hasil dari lipolisis triasilgliserol ke dalam jaringan
adiposa atau sebagai hasil kerja enzim lipoprotein lipase selama pengambilan triasilgliserol plasma
ke dalam jaringan tubuh. Dalam keadaan cukup makan (kenyang), asam lemak bebas dalam
plasma darah kadarnya rendah, sebaliknya dalam waktu puasa kadarnya akan tinggi di dalam
plasma darah. Sedangkan kolesterol diangkut ke jaringan oleh LDL, dan kolesterol bebas dari
jaringan diangkut oleh HDL.

Nukleoprotein dalam makanan diubah menjadi asam nukleat, yang kemudian diubah menjadi
nukleotida. Nukleotida diubah kembali menjadi purin dan pirimidin bebas. Kelebihan pirimidin
tidak mengganggu fungsi tubuh, namun kelebihan purin yang kemudian mengalami oksidasi
menjadi asam urat, dapat menyebabkan arthritis akut, pembentukan kristal natrium urat besar
(TOPHI), kerusakan sendi kronis, dan cedera pada ginjal. (Murray et.al., 2003).

B. Fatty Liver

Fatty liver, atau perlemakan hati terjadi karena dua tipe, yang pertama karena kelebihan asam
lemak bebas di dalam darah, sehingga terjadi penumpukan triasilgliserol di dalam hepar. Hal ini
salah satunya terjadi karena pemberian diet tinggi lemak. Tipe yang kedua adalah adanya
penghambat metabolik dalam produksi lipoprotein plasma, yang erat kaitannya dengan hambatan
produksi lipoprotein dalam darah. (Murray et.al, 2003).

C. Sindroma Metabolik

Sindroma metabolik merupakan kumpulan kondisi ukuran tubuh yang tidak sehat dan
ketidaknormalan hasil laboratorium yang menyebabkan individu memiliki risiko yang tinggi
terhadap penyakit kardiovaskular. Ciri-ciri dari penderita sindroma metabolik adalah:

- Lingkar pinggang >40 inci (laki-laki) atau 35 inci (perempuan).

- Hipertensi.

- Hiperglikemi (gula darah puasa lebih dari 110 mg/dl).

- Peningkatan kadar trigliserida.

- Kadar HDL (high-density lipoprotein) rendah.

Bila seseorang memiliki minimal 3 dari hal di atas berarti ia telah mengalami sindroma metabolik.
(Torpy et.al., 2006).

Hasil pemeriksaan laboratorium pada laki-laki, 17 tahun, normal:

- Glukosa puasa : 70-115 mg/dl

- Trigliserida : 10-140 mg/dl

- HDL : >40 mg/dl menurunkan risiko aterosklerosis

- Asam urat : 2,5-9,0 mg/dl

(Price and Wilson, 2005)


C. Dasar Terapi

1. Terapi Diet

Terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500-1000
kkal/hari.

2. Aktivitas Fisik

Pada penderita obesitas, terapi harus dimulai secara perlahan dan intensitasnya sebaiknya
ditingkatkan secara bertahap.

Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali
seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali
seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energy tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per
hari dapat dicapai.

3. Farmakoterapi

Sibutramine dan Orlistat merupakan obat-obatan penurun berat badan untuk penggunaan jangka
panjang untuk pasien dengan indikasi obesitas. Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan
aktivitas fisik terbukti efektif menurnkan berat badan dan mempertahankannya. Orlistat
menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. (Sudoyo et.al., 2006).

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan pemeriksaan, anak tersebut memenuhi 3 kriteria sindroma metabolik, yaitu


hiperglikemia (120 mg/dl), peningkatan kadar trigliserida (346 mg/dl, dari normal 10-140 mg/dl), dan
kadar HDL relatif rendah (35 mg/dl, dari kadar HDL yang rendah risiko aterosklerosis, >40 mg/dl).
Dari pemeriksaan lingkar pinggang juga mungkin didapatkan indikasi sindroma metabolik.

Metabolisme nutrisi anak tersebut terganggu, karena itu anak tersebut harus mengurangi asupan
karbohidrat, karena glukosa sebagai mikronutrisi dari karbohidrat berguna sebagai prekursor laktosa
di kelenjar mamae, menjadi sumber energi sistem syaraf dan eritrosit, serta menjadi sumber
gliserida dan gliserol dalam jaringan adiposa. Asupan lemak yang berlebih juga harus dikurangi,
karena akan terjadi penumpukan triasilgliserol yang akan menyebabkan perlemakan hati.
Triasilgliserol tersebut tidak dapat mengalami lipolisis agar dapat diubah menjadi asetil ko-A yang
akan berperan sebagai sumber energi, sehingga tertimbun di hati dan menyebabkan perlemakan.
Selain karbohidrat dan lemak, asupan purin juga harus dikurangi, karena kadar asam urat yang
berlebih menyebabkan penyakit Gout yang menyerang persendian dan ginjal, misalnya. Berdasarkan
gejala-gejala yang ada, anak tersebut mengalami perlemakan hati tipe pertama, yaitu karena
penumpukan triasilgliserol di dalam hepar, yang terjadi akibat pemberian makanan berkalori tinggi.

Bila sejak kecil anak tersebut diberi makanan dengan kandungan kalori yang tinggi, maka anak
tumbuh dengan gizi yang lebih. Simpanan kalori disimpan dalam bentuk trigliserid atau triasilgliserol
disimpan dalam jaringan adiposa. Karena multifikasi lemak terjadi pada saat balita dan pada wanita
pasca melahirkan, maka anak tersebut mengalami obesitas, akibat pola makan yang berlebih kalori.

Hiperglikemia terjadi karena resistensi hepar terhadap insulin akibat sindroma metabolik. Karena itu,
hepar tidak dapat mengubah glukosa darah menjadi glikogen. Demikian pula dengan trigliserida.
Kadar HDL yang rendah turun mempengaruhi pengangkutan dan penyimpanan lipid. Kadar asam
urat yang tinggi terjadi akibat kelainan pada proses metabolisme purin yang berlebih.

Sejauh ini terapi obesitas yang paling baik adalah terapi diet dan fisik. Terapi diet dan fisik terbukti
lebih efektif dalam penatalaksanaan terapi obesitas. Terapi fisik sebaiknya merupakan olahraga yang
ringan, dan tidak membebani tubuh oleh berat badan. Terapi fisik dengan berjalan kaki sepertinya
kurang cocok dengan anak tersebut, karena dengan berjalan, kaki harus menopang berat badan
yang berat, sehingga pasien cepat lelah. Terapi fisik yang baik bagi penderita obesitas contohnya
adalah bersepeda, karena bersepeda menumpukan berat badan pada sepeda. Terapi fisik ini
sebaiknya dikombinasikan dengan diet rendah karbohidrat, lemak, dan purin.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Terdapat indikasi adanya sindroma metabolik pada anak tersebut, yaitu karena hiperglikemia,
kadar trigliserid darah tinggi, dan kadar HDL relatif rendah.

2. Fatty liver pada anak tersebut terjadi akibat penumpukan triasilgliserol di dalam hepar
(perlemakan hati tipe 1).

3. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan terdapat pola makan yang berlebih.

4. Terapi yang baik bagi pasien obese adalah terapi fisik dan terapi diet.

B. Saran

Sebaiknya anak tersebut melakukan terapi diet dan terapi fisik. Terapi diet dapat dilakukan dengan
mengatur pola makan, dan terapi fisik dapat dilakukan dengan bersepeda.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.

Murray, Robert K. Granner, Daryl K. Mayes, Peter A. Rodwell, Victor W. 2003. Harper’s Illustrated
Biochemistry, Twenty-Sixth Edition. New York: Mc. Graw Hill.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta: EGC.

Shils, Maurice E. Shike, Moshe. Ross, A Catharine. Caballero, Benjamin. Cousins, Robert J. 2006.
Modern Nutrition in Health and Disease Tenth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Torpy, Janet M. Lynm, Cassio. Glass, Richard M. 2006. The Metabolic Syndrome. http://jama.ama-
assn.org/cgi/content/full/295/7/850, diterjemahkan oleh Hasan, M. dalam
http://mha5an.wordpress.com/2008/06/26/sindroma-metabolik/

http://sampahtutorial.blogspot.com/2009/07/obesitas-gizi-lebih.html
Metabolisme Karbohidrat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses metabolisme merupakan perubahan kimiawi yang terjadi dalam tubuh untuk pelaksanaan
berbagai fungsi vitalnya. Setiap sel terdiri atas protoplasma yang mempunyai kemampuan untuk
mengambil O2 dan keperluan lainnya. Di samping itu, juga menyisihkan bahan tertentu sebagai
bahan buangan termasuk CO2.

Karbohidrat merupakan satu di antara nutrien utama bagi manusia. Di dalam tubuh dijumpai
beberapa jalur oksidasi karbohidrat, misalnya :

1. Glikolisis anaerob.

Sering dikenal pula sebagai jalur Embden Meyerhof. Jalur oksidasi ini berlangsung tanda adanya
oksigen.

2. Glikolisis aerob

Jalur ini berlangsung dengan adanya oksigen.

3. Jalur Glikogenesis dan glikogenolisis

4. Jalur asam glukuronat

5. Jalur HMP-shunt

6. Jalur glukoneogenesis

B. Kajian Perpustakaan

Hidrat arang (karbohidrat) berperan sebagai hasil dari pencernaan dan absorpsi gula serta zat
tepung yang ada dalam darah berupa glukosa. Jumlah gula dalam darah normal adalah 100 mg
glukosa dalam 1 cc darah. Di dalam tubuh kita terdapat beberapa jalur oksidasi karbohidrat,
misalnya glikolisis anaerob, glikolisis aerob, glikogenesis, glikogenolisis, asam glukuronat, dan
glukoneogenesis. Penyimpanan glukosa dalam tubuh terjadi pada hati, otot, dan tulang dalam
bentuk glikogen. Glikogen dalam otot digunakan untuk aktivitas otot dan diganti kembali dengan
glukosa darah menurut kebutuhan. Glukosa paling mudah dicerna dan diasimilasikan, oleh karena
itu dijadikan sebagai makanan tambahan pengganti karbohidrat dari protein dan lemak.

1. Glikolisis : merupakan serangkaian reaksi yang berlangsung di dalam sitoplasma dimana glukosa
dipecah menjadi dua molekul piruvat dan selanjutnya diubah menjadi asetial KoA yang masuk ke
dalam siklus kreb. Fase pertama glikolisis adalah glukosa dipecah atau diurai menjadi 2 molekul
gliseraldehida, 3 fosfat dengan 3 karbon. Pada tahap awal reaksi glikolisis diperlukan 2 molekul ATP,
sedangkan pada fase kedua terbentuk 4 molekul ATP sehingga reaksi keseluruhan proses
menghasilkan 2 molekul ATP, karena 2 molekul ATP harus diberikan pada fase pertama glikolisis.

Glikolisis anaerob, dikenal juga sebagai jalur Embden Meyerhof (EM), merupakan proses oksidasi
yang berlangsung tanpa O2. Proses anabolik ini terjadi pada saat kontraksi otot, dimana glikogen
diubah menjadi piruvat atau laktat. Tahap ini akan mengahsilkan ATP yang diperlukan untuk
kontraksi otot.

Glikolisi aerob, jalur ini berlangsung dalam motikondria dengan bantuan O2 dimana akan dihasilkan
CO2 dan H2O (air).

2. Glikogenesis : merupakan jalur pembentukan glikogen dari glukosa, erat hubungannya dengan
kestabilan kadar gula darah dalam tubuh seseorang. Tahap awal glikogenesis melibatkan glukosa.
Awal reaksi dari glikogenesis yaitu reaksi pembentukan glukosa yang dikatalis oleh enzim
heksokinase atau enzim glukokinase dan reaksinya bersifat irreversible.

3. Glikogenolisis : Jalur glikogenolisis bukan merupakan jalur kebalikan dari glikogenesis yang
disebabkan kerja enzim yang bersifat reversibel melainkan masing-masing mempunyai jalur sendiri
dengan macam enzim yang berbeda. Enzim adenilat siklase mempengaruhi glikogenesis dan
glikogenosis secara tidak langsung, adenilat siklase hanya mengatalisis pembentukan AMP siklik dari
ATP yang bersifat merangsang fosforilase dan menekan glikogen sintese.

4. Glukoneogenesis : adalah reaksi pembentukan glukosa yang berasal dari senyawa-senyawa non
karbohidrat misalnya asam-asam amino, senyawa-senyawa intermediet yang dijumpai di jalur-jalur
metabolisme.

Glukoneogenesis berlangsung pada keadaan tubuh yang sedang mengalami kekurangan glukosa
untuk memenuhi enegri yang diperlukan oleh tubuh, misalnya dalam keadaan kelaparan. Jalur
glukoneogenesis terutama berlangsung di hati dan ginjal.

Pengaturan Metabolisme Karbohidrat

Faktor yang berpengaruh pada kadar gula darah adalah sebagai berikut :

1. Makanan Sehari-Hari

Sebagian besar karbohidrat makanan berbentuk glukosa, galaktosa, dan fruktosa. Setelah dicerna
dalam saluran pencernaan gula tersebut diserap dan ditransfer ke hati melalui sistem portal. Pada
hati, galaktosa dan fruktosa segera diubah menjadi glukosa. Untuk kemudian didistribusikan melalui
sirkulasi darah ke jaringan-jaringan yang memerlukannya dalam bentuk glukosa darah.

2. Senyawa glikogenik

Senyawa glikogen hati dan otot tela dijelaskan di bagian glukoneogenesis dan glikogenolisis.

5. Glikogen Hati dan Otot

Monosakarida diserap ke dalam darah dan presentase gula darah dipertahankan karena
pengendalian insulin dan aktivitas hati. Dalam jaringan terjadi oksidasi karbohidrat untuk
menyediakan panas dan energi. Kelebihan oksidasi disimpan sebagai lemak dan menjadi
penambahan berat badan. Sewaktu proses pembakaran CO2 disingkirkan sebagai produk buangan
hasil pembakaran karbohidrat di dalam jaringan yang dieksresikan oleh paru-paru berupa air dan
CO2, sedangkan pengeluaran dari kulit berupa keringat dan dalam bentuk urine.

C. Harapan

Dari pembelajaran kita mengenai Metabolisme Karbohidrat ini, maka penulis mengharapkan agar
kita semua mengetahui Apa saja metabolisme dalam karbohidrat serta hal-hal yang menyangkut
dengan hal metabolisme karbohidrat. Agar kita bisa mencegah hal-hal yang timbul akibat
kekurangan dan kelebihan karbohidrat

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Awal

Kekurangan karbohidrat dapat membuat tubuh kita tidak bertenaga dan lemah sehingga sulit untuk
menjalankan aktivitas karena karbohidrat tersusun dari karbon, hidrogen dan oksigen dan
menyebabkan Busung Lapar.

Sedangkan jika kelebihan karbohidrat itu biasanya bakal disimpan di dalam hati dan otot dalam
bentuk gula otot dan diubah menjadi lemak dan lemak ini jadi cadangan makanan, jika kelebihan
akan menyebabkan kegemukan (Obesitas).

B. Tindak Lanjut

Cara pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita obesitas yaitu dengan melakukan obesity
treatment pyramid. Dari bawah dimulai dengan modifikasi gaya hidup, yakni diet dan aktivitas fisik,
ke atas dengan farmokoterapi, dan terakhir pada lokasi yang paling tinggi dari struktur piramid tadi
adalah operasi.Diet yang dianjurkan adalah dengan mengurangi asupan lemak. Pada diet umum,
asupan lemak yang dianjurkan adalah kurang dari 30 persen. Komposisi diet yang baik adalah
setengah porsi makan karbohidrat, sepertiga lemak dan sisanya portein. Penurunan berat badan
yang aman adalah 2 – 5 kg per bulan.

Cara Mengobati Busung Lapar :

Bahan:

1. Daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L)

2. Daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus)

3. Akar pepaya jantan (Carica papaya)

4. Air

Cara pembuatan obat busung lapar:

1. Rebus 15 lembar daun belimbing wuluh, segenggam daun kumis kucing, 3 potong akar pepaya
jantan dengan air sebanyak 4 gelas.

2. Angkat rebusan jika air rebusan tersisa 2 gelas.

Cara pengobatan busung lapar:

1. Minum ramuan sehari dua kali, pagi dan sore.

2. Lakukan secara rutin.

Dengan resep ramuan di atas, busung lapar dapat di obati, namun yang lebih penting lagi adalah
menjaga kualitas makanan yang bergizi dan sehat sehingga bisa terhindar dari penyakit busung
lapar.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Karbohidrat merupakan satu di antara nutrien utama bagi manusia. Di dalam tubuh dijumpai
beberapa jalur oksidasi karbohidrat, misalnya :

1. Glikolisis anaerob.

2. Glikolisis aerob

3. Glikogenesis dan glikogenolisis

4. Asam glukuronat

5. Jalur HMP-shunt

6. Glukoneogenesis

B. Saran

Kami yakin dalam penyusunan makalah ini belum begitu sempurna karena kami dalam tahap belajar,
maka dari itu kami berharap bagi kawan-kawan semua bisa memberi saran dan usul serta kritikan
yang baik dan membangun sehingga makalah ini menjadi sederhana dan bermanfaat dan apabila
ada kesalahan dan kejanggalan kami mohon maaf karena kami hanyalah hamba yang memiliki ilmu
dan kemampuan yang terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Hardjasaamita, Pantjita. Ikhtisar Biokimia Dasar B. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1993.

Syaifuddin. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta : Salemba
Medika, 2009.

http://cerminanhatial-insan.blogspot.com/2012/06/metabolisme-karbohidrat.html

Tambah Gendut Bisa Sebabkan Nyeri Lutut

Besar Kecil Normal

TEMPO.CO , Jakarta: Orang-orang yang bertambah berat badannya ternyata lebih cenderung
mengalami nyeri lutut dibandingkan mereka yang berberat badan tetap atau malah kehilangan berat
badan. Demikian sebuah penelitian terbaru mengungkapkan. Sebaliknya, mereka yang mengalami
penurunan berat badan beberapa kilogram akan mengalami perbaikan dalam nyeri lutut yang
dialami. Temuan tersebut adalah hasil penelitian para ilmuwan di Monash University Melbourne,
Australia.
“Mencegah kenaikan berat badan, tak peduli berapa berat badan Anda sebelumnya, akan menjadi
kunci untuk mencegah masalah lutut,” kata Dr. Susan Bartlett yang melakukan penelitian tentang
tulang sendi dan obesitas di McGill University Montreal, Kanada, tapi tidak terlibat dalam penelitian
tersebut.

Nyeri lutut adalah salah satu bentuk nyeri tulang sendi yang paling umum dan menurut Centers for
Disease Control and Prevention hal tersebut dialami oleh sekitar 18 persen orang dewasa di
Amerika. Meskipun penyebabnya bervariasi--mulai dari terlalu banyak gerak atau pengulangan
gerakan yang sama pada atlet hingga kondisi kronis seperti arthritis--penelitian-penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara nyeri lutut dan penambahan berat badan.

Penelitian sebelumnya menghubungkan antara kelebihan berat badan dan risiko yang lebih tinggi
atas terjadinya penyakit tulang sendi osteoarthritis. Namun menurut para ilmuwan Australia,
penelitian ini merupakan yang pertama kali meneliti mengenai peran tambahan berat badan dalam
nyeri lutut.

Untuk riset ini para ilmuwan merekrut 250 orang berusia 25 tahun hingga 60 tahun yang tidak
pernah melakukan operasi lutut, mengalami luka atau penyakit berkenaan dengan sendi lutut. Lebih
dari tiga perempat partisipan adalah wanita dan banyak yang kelebihan berat badan.

Untuk setiap penambahan satu kilogram berat badan, skor nyeri meningkat 1,9 poin dalam skala 500
poin. Kekakuan adalah yang terburuk dengan 1,4 poin (pada skala 200 poin) dan fungsi meningkat
hingga 1,6 poin (pada skala 1.700 poin). Hasil penelitian ini dipublikasikan online di Arthritis Care and
Research.

Meski demikian, penelitian ini tidak dapat menunjukkan dengan pasti bahwa penambahan berat
badan menyebabkan nyeri meski para ilmuwan mengatakan bahwa kemungkinan hal tersebut
menjadi sebabnya.

“Perubahannya mungkin kecil. Tapi jika Anda bisa menempatkan perubahan ini bersama-sama,
hasilnya akan berbeda antara memiliki gejala yang mempengaruhi kehidupan dan menjaga mereka
tetap terkendali,” ujar Bartlett seperti dikutip Reuters. Hubungan paling kuat antara penambahan
berat badan dan nyeri terjadi pada partisipan yang gemuk, yang mengalami peningkatan 59 poin
nyeri dibandingkan dengan hanya 6,4 poin pada mereka yang kurus.

Salah satu catatan atas penelitian ini, ungkap Bartlett, banyak orang yang berhasil menurunkan
berat badan kemudian kembali lagi ke berat badan semula. Hal tersebut bisa mempengaruhi hasil
pemeriksaan.

“Kehilangan berat badan jika Anda gemuk, dan Anda memang memiliki riwayat arthritis, hal ini
kemungkinan membantu gejala dan fungsinya. Tapi Anda tidak bisa sepenuhnya menghilangkan efek
dari naiknya berat badan,” kata Bartlett.

Pengaruh Obesitas terhadap Tidur, Nyeri Lutut, dan Tekanan Darah

Posted on February 9, 2012 by jenkrisk

Pengaruh Obesitas terhadap Tidur, Nyeri Lutut, dan Tekanan Darah

Obesitas kini bukan lagi menjadi momok bagi manusia modern dalam hal penampilan semata. Kini,
momok tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah dapat mempengaruhi kesehatan manusia bahkan
dengan berbagai komplikasi menyertainya. Seperti apa dampak obesitas terhadap kesehatan kita?
Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial, yang mana terjadi akibat akumulasi jaringan lemak
berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Salah satunya adalah terdapat peningkatan
resiko berupa hipertensi, dislipidemia, penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes tipe II, penyakit
gallblader, disfungsi pernafasan, gout, osteoarthritis, dan jenis kanker tertentu. Penyakit kronik yang
paling sering menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi, dan hiperkolesterolemia. Data
dari NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) III, 1988 – 1994, memperlihatkan
bahwa dua pertiga pasien obese dan overweight dewasa (BMI 27) mengidap paling sedikit satu dari
banyak penyakit kronik tersebut dan 27% dari mereka mengidap dua atau lebih penyakit.1,2

Pengaruh Obesitas terhadap Tidur

Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk obstructive sleep apnea (OSA) gejalanya mulai dari
mengorok sampai mengompol (terutama pada anak dimana seringkali diduga akibat DM type 2 atau
diuresis osmotik). Lebih dari 75% pasien dengan OSA dilaporkan mempunyai berat badan >120%
berat badan ideal. Bukti epidemiologi dari Wisconsin Sleep Cohort Study menunjukkan bahwa risiko
apnea tidur meningkat secara signifikan dengan obesitas. Lingkar leher> 17 inci, yang berkorelasi
dengan obesitas, juga sangat berkorelasi dengan OSA. Salah satunya adalah penebalan jaringan
lemak di daerah faringeal yang seringkali diperberat oleh adanya hipertrofi adenotonsilar. Obstruksi
saluran nafas intermiten di malam hari menyebabkan tidur gelisah serta menurunkan oksigenasi.
Sebagai kompensasi, seseorang akan cenderung mengantuk keesokan harinya dan hipoventilasi.
Umumnya gejala akan berkurang seiring dengan penurunan berat badan dan/atau
adenotonsilektomi serta pemakaian CPAP (continuous positive airway pressure).2,3

Terdapat hubungan timbal balik antara pengaruh tidur dan obesitas. Tidur atau kurang tidur, dapat
menyebabkan ketidakseimbangan hormonal sehingga menyebabkan peningkatan berat badan.
Suatu penelitian yang dipublikasikan oleh Public Library of Science (2004) menunjukkan bahwa
waktu tidur yang singkat menyebabkan kadar hormon ghrelin meningkat, di samping juga
penurunan kadar leptin, yang merupakan hormon supresan selera makan. Ghrelin menstimulasi
nafsu makan dan memproduksi sel lemak. Ketidakseimbangan hormon berhubungan dengan pola
tidur yang pendek atau terganggu dikombinasikan dengan tingkat energi yang rendah karena
kurangnya waktu tidur, hal ini mungkin menjadi penyebab obesitas pada beberapa orang.4

Pengaruh Obesitas terhadap Osteoartritis (Nyeri Lutut)

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Penyakit
ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada penderitanya sehingga dapat mengganggu aktifitas
sehari-hari. OA ini menyerang penderita berusia lanjut pada sendi-sendi penopang berat badan,
terutama sendi lutut, panggul (koksa), lumbal, dan sevikal.5 Obesitas menyebabkan tekanan ekstra
pada tulang dan sendi. Akibatnya, obesitas ini meningkatkan risiko terjadinya osteoartritis. Obesitas
maupun overweight secara langsung berdampak pada ketahanan sendi, khusunya pada lutut. Suatu
studi menyebutkan bahwa osteoartritis lutut terjadi pada 4 hingga 5 kali lebih sering pada orang
dengan kelebihan berat badan dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Sewaktu
berjalan terdapat peningkatan tekanan sebesar 3 hingga 6 kali lebih banyak pada orang dengan
berat badan yang berlebih. Dengan kata lain, menjadi overweight 10 pound akan meningkatkan
tekanan pada lutut sebesar 30 hingga 60 pound pada setiap langkah selama berjalan.6 Sedangkan
efek pada anak adalah cenderung berisiko meningkatkan gangguan ortopedik, yaitu torsi tibial dan
kaki pengkar, tergelincirnya epifisis kaput femoris (slipped capital femoral epiphysis) terutama pada
anak laki-laki dan gejala tekanan berat badan pada persendian di ekstremitas bawah.7

Pengaruh Obesitas terhadap Tekanan Darah

Framingham Heart Study melakukan penelitian selama 44 tahun dan melaporkan bahwa dari seluruh
responden yang kelebihan berat badan (obesitas dan overweight) ditemukan sekitar 26% kasus
hipertensi terjadi pada laki-laki dan 28% pada wanita, dan sekitar 23% kasus penyakit jantung
koroner pada laki-laki serta 15% pada perempuan.8

Meskipun telah banyak penelitian yang dilakukan, akan tetapi patogenesis hipertensi pada obesitas
masih belum jelas benar. Beberapa ahli berpendapat peranan faktor genetik sangat menentukan
kejadian hipertensi pada obesitas, tetapi yang lainnya berpendapat bahwa faktor lingkungan
mempunyai peranan yang lebih utama. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan prevalensi
obesitas dari tahun ke tahun tanpa adanya perubahan genetik, selain itu pada beberapa populasi/
ras dengan genetik yang sama mempunyai angka prevalensi yang sangat berbeda. Mereka
berkesimpulan walaupun faktor genetik berperan tetapi faktor lingkungan mempunyai andil yang
besar. Saat ini dugaan yang mendasari timbulnya hipertensi pada obesitas adalah peningkatan
volume plasma dan peningkatan curah jantung yang terjadi pada obesitas berhubungan dengan
hiperinsulinemia, resistensi insulin dan sleep apnea syndrome, akan tetapi pada tahun-tahun
terakhir ini terjadi pergeseran konsep, dimana diduga terjadi perubahan neuro-hormonal yang
mendasari kelainan ini. Hal ini mungkin disebabkan karena kemajuan pengertian tentang obesitas
yang berkembang pada tahun-tahun terakhir ini dengan ditemukannya leptin.

Leptin sendiri merupakan asam amino yang disekresi terutama oleh jaringan adipose dan dihasilkan
oleh gen ob/ob. Fungsi utamanya adalah pengaturan nafsu makan dan pengeluaran energi tubuh
melalui pengaturan pada susunan saraf pusat, selain itu leptin juga berperan pada perangsangan
saraf simpatis, meningkatkan sensitifitas insulin, natriuresis, diuresis dan angiogenesis. Secara
normal, leptin disekresi kedalam sirkulasi darah dalam kadar yang rendah, akan tetapi pada obesitas
umumnya didapatkan peningkatan kadar leptin dan diduga peningkatan ini berhubungan dengan
hiperinsulinemia melalui aksis adipoinsular.

Pada penelitian perbandingan kadar leptin pada orang gemuk (IMT > 27) dan orang dengan berat
badan normal (IMT < 127) didapatkan kadar leptin pada orang gemuk adalah lebih tinggi
dibandingkan orang dengan berat badan normal ( 31,3 + 24,1 ng/ml versus 7,5 + 9,3 ng/ml).
Hiperleptinemia ini mungkin terjadi karena adanya resistensi leptin. Beberapa teori menjelaskan
resistensi leptin ini telah dikemukakan, diantaranya adalah karena adanya antibodi terhadap leptin,
peningkatan protein pengikat leptin sehingga leptin yang masuk ke otak berkurang, adanya
kegagalan mekanisme transport pada tingkat reseptor untuk melewati sawar darah otak dan
kegagalan mekanisme signal. Hal ini didukung oleh penelitian Villareal, dkk yang membandingkan
efek leptin pada binatang percobaan dengan berat badan normal, obesitas dan hipertensi. Dimana
didapatkan adanya kegagalan fungsi leptin pada obesitas dan hipertensi. Secara klinis efek resistensi
leptin ini tergantung dari lokasi dan derajat keparahan resistensi tersebut. Resistensi pada ginjal
akan menyebabkan gangguan diuresis dan natriuresis, menimbulkan retensi natrium dan air serta
berakibat meningkatnya volume plasma dan cardiac output, selain itu adanya vasokonstriksi
pembuluh darah ginjal perangsangan saraf simpatis akan mengaktivasi jalur RAAS dan menambah
retensi natrium dan air. Pada obesitas cenderung terjadi hal yang sama, adanya peningkatan volume
plasma akan meningkatkan curah jantung yang berakibat meningkatnya tekanan darah, sedangkan
resistensi pembuluh darah sistemik pada obesitas umumnya normal dan tidak berperan pada
peningkatan tekanan darah.9

Daftar Pustaka

1.National heart lung and blood institute. Obesity and Classification. Diunduh dari
http://www.nhlbi.nih.gov. Diakses pada 15 September 2011 pukul 05.10 WIB.

2.SDH Malnick dan H. Knobler. Association of Physicians. Oxford Journal 2006: 99; 565-79.

3.Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik.
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta; 2001. p. 236-7.
4.Taheri T, Lin L., Austin D, Young T. Obesity and hormones: hormonal imbalance, sleep and
menopause. Diunduh dari http://www.tree.com/health/obesity-causes-hormones.aspx. Diakses
pada 15 September 2011 pukul 6.32 WIB.

5.Setyohadi B. Reumatologi untuk Dokter Umum. Temu Ilmiah Reumatologi 2010. p.15

6.Eustice C. Higher joint replacement complications associated with obesity. Diunduh dari
http://osteoarthritis.about.com/od/osteoarthritis101/a/obesity.htm. Diakses pada 15 September
2011 pukul 6.30 WIB.

7.Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik.
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta; 2001. p. 236-7.

8.Delaney J. Hypertension and obesity: How weight-loss affects hyperension. Diunduh dari
http://www.obesityaction.org/magazine/oacnews14/hypertensionandobesity.php. Diakses pada 15
September 2011 20.49 WIB.

9.Aneja A, Atat FE, Farlane SIM, Sowers JR. Hypertension and obesity. Diunduh dari
rphr.endojournals.org. Diakses pada 15 September 2011 pukul 21.06 WIB.

http://jenkrisk.wordpress.com/2012/02/09/pengaruh-obesitas-terhadap-tidur-nyeri-lutut-dan-
tekanan-darah/

Kasus 1 Obesitas

September 12, 2012

Ny A, 36 Tahun

Learning Issue

Bagaimana proses metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein?

Hormon-hormon apa saja yang mempengaruhi metabolisme zat makanan?

Hormon-hormon apa saja yang mempengaruhi obesitas?

Hormon-hormon apa saja yang berperan dalam kelahiran dan kehamilan?

Bagaimana epidemiologi obesitas?

Jelaskanlah kriteria obesitas !

Apa saja faktor resiko obesitas?

Apa itu striae?

Apa saja komplikasi obesitas?

Mengapa terdapat perbedaan mula obesitas pada kakak dan Ny. A?

Bagaimana kriteria diagnosis obesitas untuk anak?

Bagaimana tatalaksana (edukasi, gizi, medika-mentosa) pada obesitas?

Bagaimana pengaturan keseimbangan energi di tubuh?

Metabolisme Karbohidrat, Lemak, dan Protein


Karbohidrat terlebih dahulu dipecah menjadi monosakarida yaitu fruktosa, galaktosa atau glukosa.
Glukosa akan menjadi piruvat di reaksi glikolisis dan menghasilkan 8 ATP pada keadaan aerob atau 2
ATP pada keadaan anaerob. Selanjutnya piruvat akan menjadi Asetil Ko-A dengan bantuan piruvat
dehidrogenase. Kemudian Asetil-KoA dapat memasuki siklus krebs.

Lemak diubah terlebih dahulu menjadi asam lemak dan gliserol. Hanya asam lemak rantai genap dan
jenuh yang dapat memasuki reaksi beta-oksidase. Reaksi beta-oksidase pada lemak analog dengan
reaksi glikolisis pada glukosa. Sebelum memasuki beta-oksidase, asam lemak harus diaktifkan
dengan mengikat Co-A dan membutuhkan 2 ATP. Mula FFA memasuki beta-oksidase adalah dengan
pengikatan FFA-CoA dengan karnitin. Setiap 2 rantai asam lemak awal yang memasuki reaksi beta-
eksidase akan diubah menjadi asetil-KoA dan menghasilkan 5 ATP. Sisa rantai asam lemak akan
kembali menjalani reaksi beta-oksidase tanpa pengaktifan dengan pengikatan Co-A. Bila tersisa 2
rantai asam lemak, dia tidak menjalani reaksi beta-oksidase lagi.

Misalkan asam lemak dengan panjang 16 rantai karbon (palmitat) akan menghasilkan energi, maka:

dibutuhkan 2 atp untuk aktifasidengan pengikatan Co-A

dihasilkan 7 x 5 = 35 ATP di reaksi beta-oksidase karena terjadi 7 kali pemutusan rantai, dengan 5
ATP setiap kali reaksi berlangsung

Dihasilkan 8 x 12 = 96 ATP di siklus kreb karena 16 asam lemak menghasilkan 8 asetil Co-A untuk
masuk ke siklus kreb dan setiap siklus menghasilkan 12 ATP.

Total 129 ATP dihasilkan

Protein diubah terlebih dahulu menjadi asam amino. Kemudian berbagai asam amino masuk ke
siklus krebs melalui zat antara amfibolik.

Semua zat makromolekul diubah menjadi asetil KoA terlebih dahulu untuk memasuki siklus krebs
untuk menghasilkan atp.

Hormon yang mempengaruhi pembentukan energi dari glukosa adalah insulin dan glukagon.

Hormon lain yang dapat mempengaruhi kebutuhan energi adalah tiroid, growth hormone, epinefrin
dan norepinefrin.

Hormon yang Mempengaruhi Kehamilan dan Kelahiran

Hormon yang berperan dalam kehamilan adalah LH, FSH.

Hormon yang meningkat saat kelahiran adalah oksitosin dan prolaktin.

Epidemiologi Obesitas

Menurut SKRT (survei kesehatan rumah tangga) Depkes RI 2004, di Indonesia, prevalensi obesitas
lebih tinggi di daerah perkotaan yaitu 12,8% dibandingkan perdesaan yang hanya 7,1 %. Sedangkan
berdasarkan jenis kelamin, prevalensi obesitas pada wanita (13,3) lebih tinggi dari pria (5,3). Pada
survei ini digunakan kriteria obesitas bila BMI > 27,00.

Hal serupa terjadi di Amerika Serikat, berdasarkan NHANES 1960-1994, prevalensi obesitas (BMI
>29,99) lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Sedangkan prevalensi overweight (BMI 25-29,9)
lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Kriteria obesitas pada data statistik ini mengacu
pada WHO 2007.

Kriteria Diagnosis dan Klasifikasi

Kriteria diagnosis obesitas menurut WHO 1997:

Underweight: BMI < 18,5

Overweight: BMI 25,0-29,0

Obesitas Class I : BMI 30,0-34,9

Obesitas Class II: BMI 35,0 – 39,9

Obesitas Class III : BMI lebih dari atau sama dengan 40

Obesitas yang diukur dengan BMI dapat diklasifikasikan menjadi obesitas perifer dan obesitas
sentral/abdominal/viseral berdasar ukuran lingkar perut. Pada obesitas viseral, distribusi lemak
terutama disekeliling organ viseral. Obesitas viseral lebih beresiko terkena penyakit hipertensi,
diabetes tipe 2, dan penyakit cardiovaskular. Bagi orang Asia, lingkar perut bagi laki-laki harus
kurang dari 90 cm sementara pada wanita kurang dari 80 cm.

(tambahan dari fotokopian)

Faktor Resiko

Penggunaan alat kontrasepsi hormonal pada wanita mempunyai resiko 2,05 kali lebih besar untuk
menjadi obesitas dibandingkan penggunaan alat kontrasepsi non hormonal.

Etiologi

Etiologi dari obesitas adalah:

Faktor internal berupa permasalahan metabolisme (hormonal) dan pencernaan (enzimatik). Faktor
genetik berperan memopengaruhi kedua faktor internal.

Faktor external berupa ketidakseimbangan antara diet dan penggunaan energi oleh tubuh.

Striae

Striae merupakan area iregular pada kulit yang terlihat seperti garis. Biasanya terjadi pada seseorang
yang berat badannya meningkat progresif. Striae bisa terjadi pada penyakit :

Cushing syndrome

Ehlers-Danlos syndrome

Pregnancy

Puberty

Obesity

Overuse of cortisone skin creams.


Pengaturan Keseimbangan Energi Tubuh

Pengaturan keseimbangan energi tubuh terkait dengan pusat kontrol kenyang dan lapar.

(tambahan dari slide)

Resiko Berpenyakit

Menurut WHO (1997), hasil pengukuran lingkar pinggang penderita obesitas bisa digunakan untuk
mengukur resiko kemunculan penyakit diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan hipertensi pada
penderita obesitas tersebut. Seseorang yang overwight atau obesitas beresiko tinggi terkena
penyakit tersebut apabila lingkar pinggangnya lebih dari 102 cm pada laki-laki dan >88 cm pada
wanita. Resiko penyakit ini meningkat seiring dengan peningakatan IMT.

Tatalaksana (Edukasi, Nutrisi, Medika-Mentosa)

Tujuan utama dalam terapi obesitas adalah untuk memberikan diet yang secara nutrisi memadai dan
menentukan asupan kalori dan pemakaian energi pada tingkat yang dapat menurunkan berat badan
secara bertahap 2-3 kg/bulan.

Terapi nutrisi pada penderita obesitas adalah rendah kalori gizi seimbang atau rendah kalori tinggi
protein.

Cara menentukan preskripsi energi untuk pasien obesitas adalah dengan menentukan kebutuhan
energi basal setiap hari kemudian dikurangi 500-700 kalori.

BEE Laki = 66 + 13,7 (w) +5(h) – 6,8(a)

BEE perempuan = 655 + 9,6(w) + 1,7(h) – 4,7(a)

w = berat badan dalam kg. h= tinggi badan dalam cm. a= usia dalam tahun.

Terapi medika mentosa untuk obesitas adalah dengan sibutramine dan orlistat. Sibutramine bekerja
dengan menghambat nafsu makan. Orlistat bekerja dengan menghambat absorpsi lemak pada
sistem gastrointestinal. Terapi medika mentsa digunakan apabila terapi nutrisi dan peningkatan
aktivitas tidak berhasil menurunkan berat badan. Terapi medika mentosa harus memperhatikan efek
samping yang mungkin muncul. Terapi medika mentosa diberikan pada seseorang dengan BMI > 30
tanpa penyakit beresiko (CV, dislipidemi, hipertensi, diabetes tipe 2, dan sleep apnea) atau dengan
BMI > 27 dengan penyakit beresiko.

Terapi pembedahan diberikan pada seseorang dengan BMI > 40. Jenis pembedahan yang dapat
dilakukan adalah vertical banded gastroplasty, Roux-en-Y gastric bypass, dan biliopancreatic bypass.
Vertical banded gastroplasty dilakukan dengan pengikatan lambung sehingga luas permukaannya
mengecil. Roux-en-Y gastric bypass dilakukan dengan pengecilan lambung dan pembuatan jalan
pintas dari lambung langsung menuju bagian tengah usus halus. Biliopancreatic bypass dilakukan
dengan pengecilan lambung dan pembuatan jalan pintas dari lambung menuju bagian bawah usus
halus.

Daftar Pustaka

Sandjaja, Sudikno. 2005. Prevalensi Gizi Lebih dan Obesitas Penduduk Dewasa di Indonesia. Jurnal
Gizi Indonesia. http://www.persagi.org/document/makalah/95_makalah.doc. Diakses pada 12
September 2012.
Wadden, Thomas., Walter, Pories., Blair, Steeven., et.al. 2000. The Practical Guide: Identification,
Evaluation, and Treatment of Overweight and Obesity in Adults. North America: NIH Publication.

Hartono, Andry. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit, edisi ke 2. Jakarta: EGC.

http://www.webmd.com/diet/weight-loss-surgery/gastric-bypass

http://www.webmd.com/diet/weight-loss-surgery/biliopancreatic-diversion-1920

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/19498.htm

PENGARUH OBESITAS TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA

11

Feb

PENGARUH OBESITAS TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA

Oleh :

ASRIANTI

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR …….…………………………………………………………………………………1

DAFTAR ISI …….…………………………………………………………………………………..2

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………3

I.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………….3

I.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………….5

I.3 Tujuan ……………………………………………………………………………….6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………………7

II. 1 Defenisi Obesitas……………………………………………………………………………….7

II.2 Gejala Klinis ……………………………………………………………………………….7

II.3 Penyebab Obesitas…………………………………………………………………………….8

II.4 Risiko Obesitas ……………………………………………………………………………….9

II.5 Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Obesitas.………………………………………………..11

II.6 Obesitas Dan Produktivitas Kerja..…………………………………………………………..12


BAB III PEMBAHASAN …………………………………………………………………….14

III.1 Penyebab Obesitas Pada Pekerja…..………………………………………………………14

III.2 Dampak Obesitas Pada Pekerja…………………………………………………………….15

III.3 Obesitas Dan Kinerja…..……………………………………………………………………..17

III.4 Obesitas Dan Absensi………………………………………………………………………..19

III.5 Pengaruh Obesitas Terhadap Produktivitas Kerja…..……………………………………19

III.6 Pengendalian Obesitas Pada Pekerja………………………………………………………20

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………………..…..21

IV.1 Kesimpulan ………………………………………………………………….……..……21

IV.2 Saran ………………………………………………………………………………………………22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………..23

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obesitas Merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Penyakit ini
merupakan salah satu kelainan metabolisme yang paling lama tercatat dalam sejarah seperti terlihat
pada sebuah patung tanah liat yang berasal dari zaman lebih kurang 22.000 tahun sebelum masehi;
patung itu menggambarkan seorang wanita setengah baya yang gemuk. Obesitas kemudian masih
selalu tercatat sepanjang sejarah, sejak zaman mesir dan Yunani purba, bahkan juga sampai
sekarang masih merupakan persoalan, baik dalam hal menjelaskan patogenesisnya, maupun dalam
upaya mendapatkan pengobatan yang berhasil. (Sukaton,U. et.al. 1996)

Obesitas dan kelebihan berat badan yang dimiliki dalam dekade terakhir menjadi masalah global –
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali pada tahun 2005 sekitar 1,6 miliar orang
dewasa di atas usia 15 tahun kelebihan berat badan, setidaknya 400 juta orang dewasa menderita
obesitas dan setidaknya 20 juta anak di bawah usia 5 tahun kelebihan berat badan. Para ahli percaya
jika kecenderungan ini terus berlangsung pada tahun 2015 sekitar 2,3 miliar orang dewasa akan
kelebihan berat badan dan lebih dari 700 juta akan obesitas. Skala masalah obesitas memiliki
sejumlah konsekuensi serius bagi individu dan sistem kesehatan pemerintah. (News medical, 2012)

Menurut laporan World Economic Forum tahun 2003-2004, daya saing dalam hal sumber daya
manusia Indonesia menduduki ranking ke-37 pada tahun 1999, turun menjadi ranking ke-44 pada
tahun 2000, menurun lagi ke urutan 49 pada tahun 2001, menurun drastis pada tahun 2002 ke
urutan 69 dan pada tahun 2003 mencapai peringkat terendah menjadi 72. Hal ini menunjukkan
bahwa produktivitas kerja di Indonesia menurun drastis terutama bila dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN. (Sumbodo DP, 2007)

Produktivitas merupakan akar penentu tingkat daya saing, baik pada tingkat individu, perusahaan,
industri, maupun pada tingkat negara. Peningkatan produktivitas terutama faktor total, baik tingkat
makro, sektoral industri, perusahaan, dan individu sangat menentukan kemampuan daya saing
perusahaan pada tingkat dalam negeri, regional, maupun global. Peningkatan produktivitas pada
tingkat individu menempati posisi yang sangat penting.(Sumbodo DP, 2007)
Faktor-faktor diet dan pola aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keseimbangan
energi dan dapat dikatakan sebagai faktor-faktor utama yang dapat diubah (modifiable factors) yang
melalui faktor-faktor tersebut banyak kekuatan luar yang memicu pertambahan berat badan itu
bekerja. Lebih jelasnya, diet tinggi lemak dan tinggi kalori dan pola hidup kurang gerak
(sedentarylifestyles) adalah dua karakteristik yang sangat berkaitan dengan peningkatan prevalensi
obesitas di seluruh dunia . (WHO. 2000)

Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah penderita kegemukan


(overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan
oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada
kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola
makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan
obesitas. ( Almatsier,S., 2004)

Saat ini terdapat bukti bahwa prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas
meningkat sangat tajam di seluruh dunia yang mencapai tingkatan yang membahayakan. Kejadian
obesitas di negara-negara maju seperti di negara-negara Eropa, USA, dan Australia telah mencapai
tingkatan epidemi.(Flegal et al, 2010) Akan tetapi hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju,
di beberapa negara berkembang obesitas justru telah menjadi masalah kesehatan yang lebih serius.
Sebagai contoh, 70% dari penduduk dewasa Polynesia di Samoa masuk kategori obes (WHO, 1998).
Prevalensi overweight dan obesitas meningkat sangat tajam di kawasan Asia-Pasifik. Sebagai contoh,
20,5% dari penduduk Korea Selatan tergolong overweight dan 1,5% tergolong obes. Di Thailand, 16%
penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obes. Di daerah perkotaan Cina, prevalensi
overweight adalah 12,% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedang di daerah pedesaan
prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 5,3% dan 9,8%. (Inoue,
2000)

Data tentang obesitas di Indonesia belum bisa menggambarkan prevalensi obesitas seluruh
penduduk, akan tetapi data obesitas pada orang dewasa yang tinggal di ibukota propinsi seluruh
Indonesia cukup untuk menjadi perhatian kita. Survei nasional yang dilakukan pada tahun
1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki
dewasa (>=18 tahun) mengalami overweight (BMI 25-27) dan 6,8% mengalami obesitas, 10,5%
penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok
umur 40-49 tahun overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4%
dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita. (Depkes RI, 2004)

Kegemukan (obesity) dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di dunia, yang
makin meningkat di negara berkembang. Review yang dilakukan Low, Chin & Deurenberg-Yap (2009)
memperlihatkan bahwa kisaran prevalensi kegemukan di negara-negara maju dan negara-negara
berkembang relatif sama. Di negara-negara maju, prevalensi kegemukan berkisar dari prevalensi
terendah (2.4%) di Korea Selatan hingga prevalensi tertinggi (32.2%) di AS, sedangkan prevalensi
kegemukan di negara-negara berkembang berkisar dari prevalensi terendah (2.4%) di Indonesia
sampai prevalensi tertinggi (35.6%) di Saudi Arabia. Namun, bila dilihat menurut kelompok umur,
prevalensi kegemukan tertinggi di negara-negara berkembang terdapat pada kelompok umur yang
lebih muda (40-50 tahun) dibandingkan dengan negara-negara maju (50-60 tahun). Hal ini dapat
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di negara-negara berkembang, yang
berpendapatan rata-rata menengah dan rendah. (Low, Chin & Deurenberg-Yap 2009).

Obesitas dapat memberikan risiko psikososial dan risiko medis. Di Amerika, orang gemuk lebih sukar
mencari pekerjaan. Hampir semua perusahaan besar di sana mempunyai persyaratan tentang berat
badan yang maksimal. Bahkan sesudah diterima, besarnya gaji dan kenaikan pangkat dapat
dipengaruhi oleh berat badan. Gadis yang gemuk lebih sukar mendapatkan tempat di perguruan
tinggi daripada yang berat badannya normal. (Sukaton,U. et.al. 1996)
Obesitas meningkatkan risiko kematian untuk semua penyebab kematian. Orang yang mempunyai
berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai risiko kematian 2 kali
lebih besar dibandingkan orang dengan berat badan rata-rata (Lew & Garfinkel, 1979). Kenaikan
mortalitas diantara penderita obes merupakan akibat dari beberapa penyakit yang mengancam
kehidupan seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, penyakit kandung kemih, kanker
gastrointestinal dan kanker yang sensitif terhadap perubahan hormon. Orang obes juga mempunyai
risiko yang lebih besar untuk menderita beberapa masalah kesehatan seperti back pain, arthritis,
infertilitas, dan fungsi psychososial yang menurun. (WHO, 2000)

Kegemukan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi kesehatan, sosial, dan ekonomi. Review yang
dilakukan Swinburn et al (2004) menunjukkan, kejadian kegemukan berhubungan dengan
peningkatan risiko diabetes tipe-2, tekanan darah dan risiko hipertensi, kadar kolesterol-total dan
kolesterol-LDL, risiko penyakit jantung koroner dan stroke, risiko penyakit kantung empedu dan
insidens gejala klinis batu empedu, risiko kanker tertentu, dan risiko gout. Dari segi sosial,
kegemukan akan berdampak terhadap perasaan rendah diri, kelambanan bergerak, kurang
fashionable, dan malu bergaul. Adapun dari segi ekonomi, kegemukan berisiko mengurangi
produktivitas kerja, hari produktif, usia produktif, dan meningkatkan pengeluaran kesehatan.
(Anonim 2011)

I.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah Apa yang dimaksud dengan obesitas, faktor
risiko, faktor penyebab obesitas, bagaimana pengaruh obesitas terhadap produktivitas kerja dan
bagaimana cara mengendalikan obesitas.

I.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui obesitas, faktor risiko, faktor penyebab
obesitas, pengaruh obesitas terhadap produktivitas kerja, dan cara mengendalikan obesitas pada
pekerja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Obesitas

Menurut Kamus Kedokteran Dorland, Obesity adalah peningkatan berat badan melebihi batas
kebutuhan rangka dan fisik, sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh.(Dorland,WA,
2002)

Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi dimana perbandingan berat badan dan tinggi badan
melebihi standar yang ditentukan. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di
seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total
lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita
karena lemak. (Ganong W.F, 2003)

Obesitas adalah penimbunan jaringan lemak secara berlebihan akibat ketidakseimbangan antara
asupan energi (energy intake) dengan pemakaian energi (energy expenditure). (Hidajat,B.
Hidayati,SN. Irawan,R. 2011) Menurut Garrow (1988), Obesitas adalah suatu akumulasi lemak dalam
jaringan adiposa yang abnormal/berlebihan hingga mencapai suatu taraf yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan. Sedangkan menurut Dariyo (2004), yang dimaksud dengan obesitas adalah
kelebihan berat badan dari ukuran normal tubuh yang sebenarnya.
Kegemukan atau obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak
dalam jaringan adiposa. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), obesitas dibagi menjadi tiga
kategori, yakni: Obesitas I, Obesitas II dan Obesitas III. Adapun berdasarkan distribusi lemak,
obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas sentral dan obesitas umum. Untuk penduduk
barat, seseorang dikatakan obesitas apabila IMT-nya _30 kg/m2 atau lingkar perut _102 cm pada
pria dan _ 88 cm pada wanita, sedangkan untuk penduduk Asia, IMTnya >25 kg/m2 atau lingkar
perut _90 cm pada pria dan _80 cm pada wanita. (WHO 2000)

II. 2 Gejala Klinis

Berdasarkan distribusi jaringan lemak, dibedakan menjadi :

Apple shape body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada dan pinggang)

Pear shape body/gynecoid (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian pinggul dan paha)
(Hidajat,B. Hidayati,SN. Irawan,R. 2011)

Secara klinis obesitas mudah dikenali dengan adanya tanda dan gejala khas, antara lain:

Wajah membulat

Pipi tembem

Dagu rangkap

Relatif pendek

Dada yang menggembung dengan payudara membesar mengandung jaringan lemak

Perut buncit dan dinding perut berlipat-lipat

genu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel
dan bergesekan yang dapat menyebabkan laserasi kulit.(Crawford et al, 2005)

II. 3 Penyebab Obesitas

Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Baik faktor lingkungan maupun genetik
berperan dalam terjadinya obesitas. Faktor lingkungan antara lain pengaruh psikologi dan budaya.
Dahulu status sosial dan ekonomi juga dikaitkan dengan obesitas. Individu yang berasal dari keluarga
sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan
status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga
dekade terakhir, hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas melemah karena
prevalensi obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok status sosial ekonomi.
Meningkatnya obesitas tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti menurunnya aktivitas fisik,
dan kebiasaan menonton televisi berjam-jam. Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan
berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga
menentukan banyak dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak tubuh. (Zhang, 2004).

Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola distribusi
lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity) dan obesitas
tubuh bagian bawah (lower body obesity). Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominansi
penimbunan lemak tubuh di trunkal . Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada trunkal,
yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal
(abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria,
oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai “android obesity”. Tipe obesitas ini
berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas
tubuh bagian bawah. Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi
lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga
sering disebut “gynoid obesity”. Tipe obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi
pada wanita. (Anonim., 2007).

Masukan makanan, keluaran energi, dan keturunan merupakan tiga faktor yang dianggap mengatur
perlemakan tubuh dalam proses terjadinya kegemukan. Menurut Soetrisno (1996), dua faktor
pertama, yaitu masukan makanan dan keluaran energi, dianggap sebagai penyebab langsung,
sedangkan keturunan sebagai penyebab tidak langsung. Penimbunan lemak tersebut terjadi karena
adanya ketidakseimbangan antara jumlah energi yang dikonsumsi dengan yang digunakan.

Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan.
Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke dewasa dan lansia.
Sementara obesitas itu merupakan salah satu faktor risiko penyakit degenaratif, seperti penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus, arthritis, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker,
gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit.(Arisman,MB.,2009)

II.4 Risiko Obesitas

Risiko Obesitas yang sudah banyak disadari oleh masyarakat adalah risiko psikosial, sedang risiko
medis masih kurang diyakini. (Sukaton,U. et.al. 1996)

Risiko Psikososial

Obesitas memberikan hambatan-hambatan fisis, sosial dan psikologis. Orang gemuk mempunyai
banyak kesulitan dalam melakukan aktivitas fisis, sehingga mengurangi kesempatan untuk mengikuti
berbagai kegiatan sosial. Pengeluaran biaya sehari-hari untuk pakaian dan makanan juga lebih
banyak pada orang gemuk.

Risiko Medis

Orang gemuk cenderung sering sakit, semakin gemuk semakin sering sakit. Untuk lebih mudah
mengerti secara keseluruhan adanya hubungan antara risiko dan obesitas, perlu diketahui kelainan
metabolik yang mungkin timbul pada obesitas. Kelainan metabolik yang terjadi pada obesitas
tampaknya berhubungan dengan besarnya lapisan lemak, dan semua gangguan metabolic yang
berhasil diperiksa dapat diterangkan dengan penambahan lapisan lemak tersebut. dan yang akan
menjadi normal kembali dengan pengurangan berat badan. Kelainan metabolic tersebut umumnya
berupa: Resistensi terhadap insulin, Hiperglikemia, Regulasi growth hormone yang abnormal,
Aktivitas lipoprotein lipase yang meningkat pada sel lemak yang hipertropik, hipertrigliseridemia,
dan Peningkatan kadar kolesterol darah. (Sukaton,U. et.al. 1996)

Banyak penyelidikan epidemiologis yang menunjukkan adanya hubungan antara berat badan dan
angka kematian, serta angka kesakitan dari berbagai penyakit tertentu. (Sukaton,U. et.al. 1996)

Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK, hipertensi, angina,
stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data
dari Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan
terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak
3,5 %.(Wannamethee, SG. Shaper,AG. Walker,M, 2005)

Banyak orang beranggapan bahwa kegemukan dapat mengurangi kemolekan tubuh, kegemukan
juga bisa mengurangi kegesitan gerak badan dan kerap lebih mudah menimbulkan kelelahan. Selain
itu kelebihan berat badan menimbulkan beragam gangguan kesehatan.

Soegih (1988) merangkum hubungan kesehatan individu dengan kegemukan, yang ringkasnya
sebagai berikut :

1. Umur rata-rata seseorang

Penelitian yang dilakukan oleh Metropolitan life Insurance terhadap 50.000 orang menunjukkan
bahwa angka kematian pria gemuk 79% lebih tinggi dari pada pria yang mempunyai berat badan
normal, sedangkan untuk wanita gemuk 61% lebih tinggi daripada wanita yang mempunyai berat
badan normal.

2. Penyakit gula (diabetes mellitus)

Dalam penelitian di Jakarta pada tahun 1982 ditemukan diabetes mellitus lebih banyak terdapat
pada orang-orang yang gemuk dibandingkan dengan orang-orang yang tidak gemuk. Pada penelitian
ini ditemukan 6,7% orang-orang gemuk tersebut menderita diabetes mellitus, sedangkan pada
orang-orang yang tidak gemuk hanya 0,95%.

3. Penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi)

Penelitian terhadap 74.000 karyawan di Amerika menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan
antara bertambah beratnya badan dengan tekanan darah tinggi. Penurunan berat badan 2 kg akan
menurunkan tekanan darah sistolik 2,5 mm Hg dan tekanan diastolic 1,5 mm Hg. Penyebab kenaikan
tekanan darah ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi beberapa ahli mengatakan bahwa pada orang
gemuk terdapat peningkatan jumlah darah yang beredar sehingga tekanan darah meningkat.

4. Penyakit jantung

Sebuah penelitian membuktikan bahwa orang dengan kelebihan berat badan lebih mudah terkena
penyakit jantung dibandingkan dengan yang berat badan normal. Jenis penyakit jantung yang sering
terjadi yaitu aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah). Pada orang gemuk kerja jantung akan
lebih besar dan akan dapat menyebabkan pembesaran jantung dan jadi lemah, keadaan yang akan
normal kembali apabila berat badan turun.

5. Penyakit-penyakit lain

Masih banyak penyakit akibat kegemukan, seperti pada wanita kelainan haid dan kemandulan,
keputihan, penyakit kulit di lipatan paha dan payudara, keracunan kehamilan, pada pria gangguan
pernapasan, rematik, varices, hernia, dan sering terjadi juga penyakit batu empedu.

II.5 Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Obesitas

Penelitian yang dilakukan oleh sudikno dkk, tentang hubungan aktivitas fisik dengan kejadian
obesitas pada orang dewasa di Indonesia menyatakan bahwa peningkatan status sosial ekonomi dan
perubahan gaya hidup, termasuk perubahan dalam kebiasaan makan dan penurunan kegiatan fisik
menyebabkan peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas. Penelitian tersebut
bertujuan untuk mempelajari hubungan antara aktivitas fisik dan obesitas dewasa di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2007 data dengan desain cross-
sectional. Populasi adalah anggota rumah tangga semua berusia ≥18 tahun, sedangkan sampel
anggota rumah tangga semua berusia ≥18, sehat jasmani dan rohani, tidak hamil, dan BMI
setidaknya 18,5 kg/m2. Aktivitas fisik dinilai dengan pertanyaan tentang jenis nya (kuat dan
moderat) dan durasinya per minggu. Regresi logistik digunakan untuk mempelajari hubungan antara
aktivitas fisik dan obesitas dewasa. Hasilnya menunjukkan bahwa prevalensi obesitas (IMT>
27kg/m2) pada orang dewasa adalah 12,47% (CI 95%: 12,28-12,66). Hasilnya menunjukkan ada
hubungan antara aktivitas fisik dan obesitas dewasa, variabel perancu (wilayah, usia, jenis kelamin,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, dan kebiasaan merokok) dikontrol. Orang yang memiliki
tingkat aktivitas fisik yang rendah memiliki risiko obesitas lebih dibandingkan dengan mereka yang
memiliki tingkat aktivitas fisik yang tinggi. Telah direkomendasikan bahwa untuk mengurangi risiko
obesitas, disarankan untuk memiliki aktivitas fisik yang cukup seperti berjalan, jogging, lari, dan
bersepeda. Terkait dengan hal ini Departemen Kesehatan perlu juga untuk mengembangkan
pedoman aktivitas fisik yang cukup. (Sudikno et al, 2011)

Beberapa data cross-sectional menunjukkan adanya hubungan negatif antara BMI dan aktivitas fisik
(Rising et al., 1994; Schulz & Schoeler, 1994), yang menunjukkan bahwa orang obes atau gemuk
mempunyai aktivitas kurang dibandingkan orang-orang yang ramping. Akan tetapi hubungan
tersebut tidak bisa menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat dan sulit untuk menentukan
apakah orang obes mempunyai aktivitas fisik kurang oleh karena obesitasnya atau aktivitas fisik yang
kurang menjadikan mereka obes. Namun demikian, beberapa hasil studi dengan rancangan
penelitian lain menunjukkan bahwa rendahnya dan menurunnya aktivitas fisik merupakan faktor
yang paling bertanggungjawab terjadinya obesitas. Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para
atlit yang aktif sedangkan para atlit yang berhenti melakukan latihan olah raga lebih sering
mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan (Williamso, 1996; Rissanen et al, 1991). Lebih
lanjut, kecenderungan sekuler (Secular trend) dalam kenaikan prevalensi obesitas paralel dengan
penurunan aktivitas fisik dan peningkatan perilaku hidup kurang gerak yang selanjutnya disebut
SEDENTARIAN (sedentary). Salah satu contoh studi yang paling baik yang menyokong hipothesis ini
ialah yang dikemukakan oleh Prentice & Jebb (Prentice & Jebb, 1995). Menggunakan taksiran kasar
tentang ketidak-aktifan seperti jumlah waktu yang digunakan untuk menonton televisi atau jumlah
mobil per-keluarga, penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan aktivitas fisik dan atau
peningkatan perilaku hidup sedentarian mempunyai peranan penting dalam peningkatan berat
badan dan terjadinya obesitas. Studi prospektif lain menunjukkan bahwa jumlah waktu yang
digunakan untuk menonton televeisi oleh anak-anak merupakan prediktor tinggi rendahnya BMI
beberapa tahun kemudian (Dietz & Gortmarker, 1985), dan tingkat aktivitas fisik yang rendah pada
orang dewasa dapat dijadikan sebagai prediktor penting penambahan berat badan yang substansial
(>5 kg) dalam 5 tahun kedepan. (Rissanen et al., 1991)

II.6 Obesitas Dan Produktivitas Kerja

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, pekerja Indonesia di bidang industri
pengolahan mencapai 7.941.301orang yang terdiri dari 63,63% pekerja laki-laki dan 36,37% pekerja
perempuan sedangkan pada tahun 2006 pekerja laki-laki yang bekerja di industri pengolahan
mencapai 44,03% dan pekerja perempuan mencapai 55,97%. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) pada perempuan juga mengalami peningkatan, yaitu dari 49,23% pada tahun 2004 menjadi
50,65% pada tahun 2005. Peningkatan jumlah pekerja ini berakibat positif pada pertambahan tenaga
produktif. Namun, status kesehatan dan gizi pekerja pada umumnya belum mendapat perhatian
yang berakibat pada penurunan produktivitas kerja dan biaya produksi menjadi tidak efisien.
(Kusriyana,R,2010)
Kalangan pekerja, sama halnya dengan masyarakat umum, tidaklah kebal terhadap berbagai
gangguan kesehatan, dan bahkan akibatnya akan lebih jauh berdampak kepada dirinya sendiri
maupun perusahaan tempatnya bekerja. Berbagai literatur telah menjelaskan dengan gamblang
bahwa obesitas berhubungan erat dengan produktivitas kerja di mana pekerja dengan obesitas
cenderung memiliki angka absensi yang lebih tinggi dan produktivitas kerja yang lebih rendah. Untuk
kondisi yang lebih berat, tanpa perlu kita hitung secara matematis, sangatlah mudah bagi kita untuk
menduga besarnya dampak yang timbul bila gangguan seperti penyakit jantung koroner ataupun
stroke tersebut dialami oleh pekerja. Mulai dari biaya pengobatan, kehilangan penghasilan sampai
kemungkinan ketidakmampuan untuk bekerja kembali merupakan hal yang sangat
mengkhawatirkan. Perusahaan juga akan mengalami kerugian besar bahwa mereka akan kehilangan
seorang tenaga produktif.(Prodia Occupational Health Institute,2011)

Kegemukan dan masalah obesitas yang terkait dengan kesehatan mereka, memiliki dampak
ekonomi yang signifikan terhadap sistem kesehatan dan biaya medis yang terkait dengan kelebihan
berat badan dan obesitas memiliki biaya baik langsung dan tidak langsung – biaya medis langsung
mungkin termasuk layanan pencegahan, diagnostik, dan pengobatan berhubungan dengan obesitas,
sementara biaya tidak langsung berhubungan dengan hilangnya pendapatan dari produktivitas
menurun, aktivitas terbatas, ketidakhadiran, hari cuti dan pendapatan hilang oleh kematian dini.
(News medical, 2012)

BAB III PEMBAHASAN

III.1 Penyebab Obesitas Pada Pekerja

Para pekerja intelektual yang banyak berpikir dan kurang aktivitas fisik, adalah sekelompok orang
yang berisiko mengalami kelebihan berat badan akibat kompensasi kalori yang dibutuhkan tubuh.
Sebagai pekerja yang dituntut untuk banyak berpikir, sebaiknya berhati-hati dengan kebiasaan
makan. Pasalnya, kegiatan berpikir dapat memacu selera makan. Belum lama ini, para peneliti
mengungkap, tekanan atau stress saat berpikir dapat menyebabkan kebiasaan makan berlebih
karena para pemikir cenderung mencari lebih banyak kalori.

Pekerjaan yang banyak berpikir lebih berpotensi terkena obesitas karena tidak membutuhkan
mobilitas tubuh untuk bergerak. Namun selain itu juga banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
obesitas pada pekerja :

a. Stress akibat pekerjaan

Pekerjaan dengan banyak berpikir akan sangat berpotensi menimbulkan stress berat yang
menimbulkan meningkatnya nafsu makan sehingga pola makan tidak terkontrol dan terkendali
akhirnya menjadi obes.

b. Aktivitas yang sedikit

Pekerjaan dengan banyak berfikir tentunya akan mengurangi aktivitas fisik di dalam pekerjaan dan
kalori dalam tubuh tidak akan terbakar dan akhirnya tertimbun sebagai lemak.

c. Pola makan abnormal

Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah
sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola
makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana
seseorang makan dalam jumlah sangat banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan
memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat
banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan
diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari.

d. Jenis makanan yang di konsumsi

Makanan yang disediakan diperusahaan yang tidak memperhatikan aspek makanan sehat sehingga
makanan tersebut banyak mengandung kolesterol yang akan menyebabkan obesitas pada pekerja.

Obesitas di tempat kerja merupakan fenomena yang berkembang, dengan dampak baik bagi pekerja
dan majikan mereka. Studi internasional telah menemukan bahwa kombinasi dari pekerjaan,
makanan, dan kebiasaan yang buruk sering menyebabkan obesitas, yang dapat menempatkan hati
pada risiko dan membuka jalan bagi timbulnya penyakit lain. Obesitas merupakan faktor risiko untuk
diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular,penyakit kandung empedu, dan beberapa kanker (Brunner
dkk. 2007). Selain itu, pekerja obesitas memiliki substansial prevalensi lebih tinggi metabolisme,
peredaran darah, muskuloskeletal, dan gangguan pernapasan (Thomson Kesehatan 2007). Obesitas
di tempat kerja dapat memiliki biaya ekonomi juga: Karyawan obesitas di Australia memiliki lebih
sering dan lebih panjang absen bekerja (Australian Institute untuk Kesehatan dan Kesejahteraan
2005), dan di Amerika Serikat, obesitas dikaitkan dengan kehilangan 39 juta hari kerja, 239 juta
Pembatasan aktivitas hari, 90 juta hari tempat tidur dan 63 juta kunjungan dokter pada tahun 1994.
(Chenoweth ,2005).

Meskipun banyak penelitian telah memandang obesitas sebagai masalah kesehatan, sedikit yang
diketahui tentang obesitas di kalangan pekerja Kanada dan implikasi ekonomi. Menggunakan Survei
Kesehatan Masyarakat Kanada (CCHS) dan Survei Kesehatan Penduduk Nasional (NPHS), penelitian
ini meneliti tren obesitas di antara pekerja dan melihat sosiodemografi dan angkatan kerja
berkorelasi dengan obesitas. Model-model multivariat membantu menyelidiki beberapa efek dengan
mengendalikan faktor-faktor kondisi kesehatan dan perilaku. Prevalensi indikator stres kerja juga
diperiksa untuk menjelaskan hubungan antara obesitas dan stress di tempat kerja . Akhirnya, hasil
penelitian ini terdapat hubungan antara obesitas dan kinerja pekerjaan seperti terbatasnya aktivitas
kerja, hari cuti, cedera kerja dan absen.(Cawley,J.,2007)

III.2 Dampak Obesitas Pada Pekerja

Berlebihnya berat badan atau obesitas bukan saja membuat penampilan menjadi tidak sedap
dipandang, tetapi menimbun penyakit. Ada banyak penyakit yang bisa ditimbulkan karenanya
seperti stroke, jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, dan gangguan kolesterol. Kita bisa
membayangkan bagaimana seandainya dalam satu perusahaan, banyak karyawannya yang
mengalami obesitas. Kegemukan atau obesitas sekarang lebih cenderung dianggap sebagai penyakit
dan bukan merupakan gejala. Karena itu, tentu saja perusahaan yang menampung karyawan dengan
berat badan berlebih pasti akan berhadapan dengan satu masalah, biaya yang bakal berlebih akibat
kegemukan yang dialami para karyawannya.

Obesitas bukan merupakan penyakit tapi dapat berdampak buruk bagi kesehatan para pekerja.
Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan
paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya
melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan
menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang
hari penderita sering merasa ngantuk. (Arena et al, 2006)

Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan
memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Sering
ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih
sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara
efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan
akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.

Obesitas bukan hanya tidak enak dipandang mata tetapi merupakan dilema kesehatan yang
mengerikan. Obesitas secara langsung berbahaya bagi kesehatan seorang pekerja. Obesitas
meningkatkan resiko terjadinya sejumlah penyakit menahun seperti:

- Diabetes tipe 2 (timbul pada masa dewasa)

- Tekanan darah tinggi (hipertensi)

- Stroke

- Serangan jantung (infark miokardium)

- Gagal jantung

- Kanker (jenis kanker tertentu, misalnya kanker prostat dan kanker usus besar)

- Batu kandung empedu dan batu kandung kemih

- Gout dan artritis gout

- Osteoartritis

- Tidur apneu (kegagalan untuk bernafas secara normal ketika sedang tidur,

menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah)

- Sindroma Pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan

ngantuk).. (Pronk,NP.,2004, Rodbark et al, 2009)

Hilangnya produktivitas karena biaya obesitas sebanyak pengeluaran medis untuk kondisi tersebut,
menurut sebuah studi baru yang pasak biaya obesitas di kalangan pekerja penuh waktu di Amerika
Serikat pada $ 73,1 milyar per tahun. Biaya tersembunyi obesitas, kata para peneliti, berasal dari
kenyataan bahwa orang gemuk cenderung kurang produktif dibandingkan dengan orang dengan
berat badan normal. Sementara di tempat kerja – hanya akuntansi untuk hari sakit tambahan yang
mereka ambil melewatkan bagian besar dari gambaran sebenarnya. Studi yang dipublikasikan dalam
Journal of Occupational and Environmental Medicine, memperhitungkan biaya medis, hari sakit dan
kesehatan yang berhubungan dengan produktivitas dan biaya yang terkait dengan obesitas. Temuan
para peneliti menunjukkan pengusaha bisa menghemat uang dengan berinvestasi dalam program
peningkatan kesehatan bagi karyawan mereka.( Arterburn et al, 2005. Goetzel et al, 2010.)

Menurut Dr. Samuel Oetoro, M.S. SpGK, karyawan obesitas lebih sering mempunyai masalah
khususnya bidang kesehatan dibanding karyawan dengan berat badan normal. Karena kesehatannya
bermasalah, otomatis tingkat absensi meningkat sehingga poduktivitas menurun. Selain masalah
absensi, perusahaan juga bakal mengeluarkan biaya tambahan karena berkewajiban memberikan
biaya kesehatan. Karenanya, perlu dicari cara untuk mengatasi masalah ini. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan cara tepat untuk menurunkan berat badan dengan tiga cara
yaitu menerapkan diet dan pola hidup sehat, olahraga, perubahan perilaku, dan
pengobatan.(Wahyuningsih, M.,2010)

Hasil Penelitian di Belanda mengatakan bahwa berat badan tampaknya menjadi faktor utama yang
menurunkan produktivitas seseorang. Mereka yang tergolong obesitas ternyata 83% nya memiliki
minimal sebuah penyakit, dibandingkan dengan pekerja dengan berat badan lebih (Overweight)
yang hanya 75% dan pekerja normal yang hanya 69%. Pekerja Obesitas cenderung mengaku sakit
atau membutuhkan istirahat selama 10-24 hari lebih banyak dibanding pekerja dengan berat badan
normal. Separuh dari mereka bahkan membutuhkan lebih dari 25 hari. (Lubis,A, 2011)

Selain berbahaya bagi kesehatan tubuh, obesitas atau kegemukan juga membuat orang lebih sulit
untuk melakukan pekerjaan. Menurut studi terbaru, pekerja yang gemuk akan menghabiskan lebih
banyak waktu untuk sakit ketimbang rekan-rekannya yang lebih ramping. Hal ini membuatnya
menjadi kurang produktif. Peneliti di Belanda mempelajari hal ini dengan menganalisa 10.674
pekerja di 49 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, seperti administrasi, industri
manufaktur dan konstruksi. Hasilnya, dibandingkan dengan rekan kerja yang memiliki berat badan
normal, pekerja obesitas dalam penelitian ini 66 persen lebih banyak izin karena mengalami sakit
dan masalah kesehatan, yaitu rata-rata selama 10 hingga 24 hari kerja. Saat sedang bekerja pun
pekerja obesitas 30 persen kurang poduktif ketimbang pekerja dengan berat badan normal. Dari
hasil studi tersebut, 83 persen dari pekerja obesitas dalam penelitian, dilaporkan memiliki
setidaknya satu penyakit kronis, termasuk penyakit jantung, diabetes, depresi, serta nyeri sendi dan
otot. (Wahyuningsih,M. 2010)

III.3 Obesitas Dan Kinerja

Obesitas dan kinerja pekerjaan yang jelas berkorelasi dalam data. Para CCHS (Community Canadian
Health Service) bertanya: “Minggu lalu, apakah Anda memiliki pekerjaan atau bisnis sehingga Anda
tidak hadir ?”. Untuk penelitian ini, mereka absen dari bekerja dan mereka menunjukkan sendiri
penyakit atau cedera sebagai alasan utama untuk tidak dianggap absen karena masalah kesehatan.
Para pekerja pria muda obesitas (18 sampai 34 tahun) kemungkinan untuk absen bekerja hampir
empat kali lebih tinggi daripada mereka dengan berat badan normal, setelah faktor sosial ekonomi
dan kesehatan yang berhubungan dikendalikan. Bagaimanapun, efek obesitas di mana tidak ada
penyakit yang tidak ditemukan di antara pria dan wanita yang lebih tua. HaI ini mungkin karena
banyak orang gemuk yang lebih tua sudah keluar dari pasar tenaga kerja dan hanya mereka yang
lebih sehat cenderung untuk terus bekerja. Penelitian telah menunjukkan bahwa obesitas, terutama
bagi perempuan, mungkin memiliki dampak negatif terhadap pekerjaan lebih sering melalui
presenteeism (yaitu, mengurangi produktivitas pada pekerjaan) daripada ketidakhadiran. (Gates dkk.
2008)

Memang, wanita obesitas usia 35 sampai 64 tahun lebih cenderung kurang produktif dibandingkan
dengan berat badan normal karena problem kesehatan jangka panjang. Seperti halnya kegiatan,
dibandingkan dengan berat badan normal rekan-rekan mereka, pria obesitas usia 55-64 tahun
memiliki risiko lebih tinggi mengurangi aktivitas bekerja mereka karena masalah kesehatan jangka
panjang. Mirip dengan temuan berkurangnya aktivitas kerja pada wanita obesitas terkait dengan
probabilitas mereka mengambil hari cuti. Hal ini mengacu pada jumlah hari setiap melewati dua
minggu di mana orang tersebut tinggal di tempat tidur setengah atau sepanjang hari (termasuk
menginap di rumah sakit), mengurangi kegiatan normal, atau upaya ekstra yang dibutuhkan dalam
kegiatan sehari-hari karena sakit atau cedera. Perempuan Obesitas usia 35 sampai 64 secara
bermakna lebih mungkin untuk mengambil hari cuti dibandingkan rekan mereka dengan berat badan
normal. Obesitas jelas terkait dengan ketidakmampuan seseorang untuk bekerja karena gangguan
kesehatan. Namun, analisis menunjukkan bahwa obesitas memiliki efek yang gigih pada kinerja
pekerjaan setelah merasa sehat. Faktor non-kesehatan lebih lanjut dapat mencegah para pekerja
obesitas untuk produktif.

Akhirnya, kelebihan berat badan dapat mengurangi aktivitas kerja karena peningkatan kemungkinan
cedera. Pada pekerja wanita yang obes usia 35-54 tahun secara bermakna telah dilaporkan lebih
mungkin cedera bekerja selama satu tahun terakhir dibandingkan mereka dengan berat badan
dalam range normal. Ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa
perempuan obesitas secara signifikan lebih mungkin terluka pada saat bekerja daripada berat badan
di kisaran normal (Wilkins dan Mackenzie 2007). Hubungan antara cedera dan obesitas berhubungan
dengan kelelahan, kantuk, keterbatasan fisik dan ergonomi (Pollack et al. 2007). Penggunaan obat
oleh para pekerja obes karena kondisi kronis mereka juga dapat meningkatkan risiko cedera. Selain
itu, adalah mungkin peralatan pelindung pribadi, seperti sarung tangan dan kacamata , kemungkinan
kurang digunakan oleh karena kurangnya kenyamanan, kesesuaian atau ketersediaan untuk pekerja
obesitas.(Park,J.2009)

III.4 Obesitas Dan Absensi

Lima studi tentang ketidakhadiran, didefinisikan sebagai jumlah hari kerja per tahun tidak hadir
karena sakit atau cedera, menggunakan dataset perwakilan nasional (Cawley, 2007; Finkelstein et al,
2005;. Lightwood et al, 2009;. Ricci dan Chee, 2005; Wolf dan Colditz, 1996). Semua studi
menyimpulkan bahwa karyawan obesitas lebih mungkin absen bekerja sebagai akibat dari penyakit
atau cedera dibanding karyawan dengan berat badan normal. Finkelstein et al. (2005) adalah studi
yang memperkirakan hanya biaya obesitas yang terkait secara langsung dengan ketidakhadiran.
Dibandingkan pria dengan berat normal, pria obesitas membutuhkan tambahan dua hari kerja per
tahun. Dibandingkan dengan perempuan berat badan normal, perempuan cukup gemuk, sangat
gemuk, kelebihan berat badan, dan obesitas bertambah lima hari kerja per tahun. Biaya tidak
langsung dari obesitas termasuk absensi pekerja, yang diperkirakan biaya $ 43 milyar per tahun, dan
pekerja yang lebih rendah produktivitas, biaya $ 506 per pekerja obesitas per tahun.
(Gates,DM,2008)

Ketika mengukur biaya kehilangan produktivitas, sebagian besar analis hanya melihat pada biaya
medis langsung. Yang lain menganggap biaya tidak langsung tetapi fokus ketat pada ketidakhadiran
dan cuti. Baru “presenteeism” telah ditambahkan ke persamaan produktivitas. Ini didefinisikan
sebagai, ” kerugian produktivitas yang terjadi ketika pekerja tetap bekerja, namun tidak sepenuhnya
berfungsi. (Chenoweth, 2005)

III.5 Pengaruh Obesitas Terhadap Produktivitas Kerja

Pekerja adalah aset utama perusahaan. Tinggi rendahnya output yang dihasilkan baik berupa barang
ataupun jasa semuanya tergantung dari produktivitas pekerjanya apakah produktivitasnya tinggi
ataukah produktivitasnya rendah sedangkan baik buruknya produk yang dihasilkan tergantung dari
pada kualitas pekerja di suatu perusahaan tersebut sehingga untuk menghasilkan produktivitas yang
tinggi dan produk yang berkualitas maka kesehatan pekerja sangat penting untuk diperhatikan.

Produktivitas di kantor sering diukur sendiri -melaporkan keterbatasan di tempat kerja atau
keterbatasan dalam jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan. Hanya satu studi mengenai
produktivitas menggunakan dataset nasional representatif (Ricci dan Chee, 2005). Para penulis
menemukan bahwa orang obesitas cenderung untuk menjadi kurang produktif di tempat kerja
daripada orang dengan berat badan normal. Ricci dan Chee (2005) menjelaskan bahwa produktivitas
ini berkurang karena perbedaan status kesehatan antara obesitas dan pekerja berat badan normal.
Tiga makalah memperkirakan nilai produktivitas berkurang. Menggunakan data nasional yang
representatif, Ricci dan Chee (2005) memperkirakan bahwa setiap tahun, biaya tambahan yang
terkait dengan penurunan produktivitas adalah $ 358 per pekerja obesitas. Perkiraan lain untuk
populasi tertentu menunjukkan ada beberapa variasi antara biaya. Menggunakan data rencana
kesehatan anggota, Goetzel et al. (2010) perkiraan biaya per pekerja obesitas menjadi $ 54,
sementara Gates dkk. (2008) memperkirakan biaya akan menjadi $ 575, dengan menggunakan data
dari perusahaan-perusahaan manufaktur. (Gates,DM et al, 2008)

III. 6 Pengendalian Obesitas Pada Pekerja

Obesitas pada pekerja juga berdampak buruk bagi perusahaan sehingga perlu adanya beberapa
program pengendalian yang bisa dilakukan :

a. Penyediaan fasilitas olah raga di perusahaan

Disediakannya fasilitas olah raga diperusahaan merupakan salah satu pendukung

untuk menurunkan angka obesiatas pada pekerja diperusahaan.

b. Peningkatan kualitas pangan oleh perusahaan

Meningkatkan kualitas pangan yang mengacu pada syarat-syarat makanan sehat

rendah kolesterol yang akan mencegah obesitaas pada pekerja

c. Program traveling

Pada perusahaan dengan aktivitas yang tinggi dengan intensitas pekerjaan yang

tinggi pula sangat berpotensi menimbulkan stress pada pekerja dan dapat

menimbulkan obesitas. Sehingga program ini sangat sesuai jika banyak pekerja yang

mengalami stress akibat pekerjaannya.

d. Pelayanan Kesehatan

Penyediaan pelayanan kesehatan beserta dengan tenaga kesehatannya akan sangat

membantu dalam menurunkan angka obesitas dalam perusahaan. Karena konsultasi

tentang masalah obesitas bagi pekerja sangat diperlukan.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan rangka dan fisik, sebagai akibat
akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh.

Masukan makanan, keluaran energi, dan keturunan merupakan tiga faktor yang dianggap mengatur
perlemakan tubuh dalam proses terjadinya kegemukan. Dua faktor pertama, yaitu masukan
makanan dan keluaran energi, dianggap sebagai penyebab langsung, sedangkan keturunan sebagai
penyebab tidak langsung. Penimbunan lemak tersebut terjadi karena adanya ketidakseimbangan
antara jumlah energi yang dikonsumsi dengan yang digunakan.

Obesitas bukan merupakan penyakit tapi dapat berdampak buruk bagi kesehatan para pekerja.
Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan
paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya
melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan
menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang
hari penderita sering merasa ngantuk.

Obesitas merupakan masalah penting karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu,
juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, perlu pemantauan secara
berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau
normal. Karena dengan mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup lebih panjang.

Kalangan pekerja, sama halnya dengan masyarakat umum, tidaklah kebal terhadap berbagai
gangguan kesehatan, dan bahkan akibatnya akan lebih jauh berdampak kepada dirinya sendiri
maupun perusahaan tempatnya bekerja. Berbagai literatur telah menjelaskan dengan gamblang
bahwa obesitas berhubungan erat dengan produktivitas kerja di mana pekerja dengan obesitas
cenderung memiliki angka absensi yang lebih tinggi dan produktivitas kerja yang lebih rendah. Untuk
kondisi yang lebih berat, tanpa perlu kita hitung secara matematis, sangatlah mudah bagi kita untuk
menduga besarnya dampak yang timbul bila gangguan seperti penyakit jantung koroner ataupun
stroke tersebut dialami oleh pekerja. Mulai dari biaya pengobatan, kehilangan penghasilan sampai
kemungkinan ketidakmampuan untuk bekerja kembali merupakan hal yang sangat
mengkhawatirkan. Perusahaan juga akan mengalami kerugian besar karena mereka akan kehilangan
seorang tenaga produktif.

IV.2 Saran

1. Promosi di tempat kerja untuk mencegah obesitas, termasuk program pemeliharaan berat badan
dengan menyediakan fasilitas olah raga di perusahaan, dan peningkatan kualitas pangan oleh
perusahaan akan memberikan manfaat sosial dalam peningkatan kesehatan pribadi pekerja.

2. Program traveling oleh perusahaan untuk mencegah stres pada pekerja.

3. Modifikasi gaya hidup merupakan pilar utama dalam penatalaksanaan obesitas melalui
peningkatan kebiasaan olahraga, menghentikan kebiasaan buruk mengkonsumsi alkohol, perubahan
pola dan kebiasaan konsumsi makanan sehat. Tentu saja hal ini juga harus diikuti oleh pengontrolan
kesehatan secara berkala kepada tenaga kesehatan. Untuk itu perlu penyediaan sarana pelayanan
kesehatan oleh perusahaan.

4. Untuk mengurangi risiko obesitas, disarankan untuk memiliki aktivitas fisik yang cukup seperti
berjalan, jogging, lari, dan bersepeda. Terkait dengan hal ini Departemen Kesehatan perlu juga untuk
mengembangkan pedoman aktivitas fisik yang cukup. Para ahli merekomendasikan setidaknya 30
menit aktivitas teratur, intensitas sedang – lebih banyak aktivitas mungkin diperlukan untuk
mengendalikan berat badan. Kunci kesuksesan adalah untuk mencapai keseimbangan energi antara
kalori yang dikonsumsi dan kalori digunakan.

5. Pada tingkat yang lebih luas pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, dengan komitmen
berkelanjutan, dapat memainkan peran penting dalam membentuk lingkungan yang sehat dan
membuat pilihan diet sehat terjangkau dan mudah diakses. Hal ini terutama penting bagi yang paling
rentan dalam masyarakat – masyarakat miskin yang memiliki pilihan terbatas tentang makanan yang
mereka makan dan lingkungan di mana mereka tinggal.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anonim. 2011. Menekan Karyawan Obes di perusahaan . http://blogs.unpad.ac.id. (Online) Diakses


Tanggal 31 Desember 2011.

Anonim. 2007. Kesehatan bagi Pekerja Perempuan. (Online). Avalaible from: URL:
http//:www.depkes.go.id.

Arena, V. C. et al. 2006. The impact of body mass index on short-term disability in the workplace.
Journal of Occupational and Environmental Medicine, 48, 1118-1124.

Arisman,MB. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Ed.2. Jakarta: EGC. Hal. 78.

Arterburn, D., Maciejewski, M., & Tsevat, J. (2005). Impact of Morbid Obesity on Medical
Expenditures in Adults. International Journal of Obesity, 29, 334-339.

Cawley, J. 2007. Occupation Specific Absenteeism Costs Associated With Obesity And Morbid
Obesity. Journal of Occupational and Environmental Medicine, 49(12), 1317-1324.

Chenoweth, D California Departmentof Health Services Public Health Institute April 2005

Crawford, D et.al .2005. Obesity Prevention and Public Health. New York: Oxford University press.

Dariyo. 2004 Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Depkes RI. 2004. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta.

Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.

Flegal, K. M.et al. 2010. Prevalence And Trends In Obesity Among US Adults, 1999-2008. Journal of
American Medical Association, 303(3),235-241.

Ganong, WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong. Edisi 22, Jakarta: EGC.

Garrow,JS. 1988. Health Implications of Obesity and Related Desease. London: Churchill Livingstone.

Gates,D.M. et al. “Obesity and Presenteeism: The Impact of Body Mass Index on Workplace
Productivity” Journal of Occupational Environmental Medicine 50 (1) (2008): 39-45.

Goetzel, R. Z. et al. 2010. A Multi-Worksite Analysis Of The Relationships Among Body Mass Index,
Medical Utilization, And Worker Productivity. Journal of Occupational and Environmental Medicine /
American College of Occupational and Environmental Medicine, 52 Suppl 1, S52-8

Hidajat,B. Hidayati,SN. Irawan,R. 2011. OBESITAS. (Online) http://www.pediatrik.com. Diakses


Tanggal 31 Desember 2011.

Inoue, S, Zimmet P. and Caterson I. 2000. The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its
treatment. Health Communication, Australia.

Kusriyana,R. Helmyati, S. Budiningsari,RD. Asupan Zat Gizi, Status Gizi Dan Motivasi Serta
Hubungannya Dengan Produktivitas Pekerja Perempuan Pada Bagian Pencetakan Di Pabrik Bakpia
Pathuk 25 Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol. 7, No. 1, Juli 2010: 41-47

Low S, Chin MC, Deurenberg-Yap M. 2009. Review On Epidemic Of Obesity. Ann Acad Med
Singapore. Jan;38(1):57-9.
Lubis, A. 2011. 10 Ciri Pekerjaan Akan Membunuh Anda. (Online) http://waspada.co.id. Diakses
Tanggal 31 Desember 2011.

Wahyuningsih, M. 2010. Tubuh Gemuk dan Rokok Bikin Orang Kurang Produktif. detikHealth
(Online) http://www.detikhealth.com. Diakses Tanggal 1 Januari 2012.

News Medical. 2012. What is Obesity? (Online). http://www.news-medical.net. Diakses 1 Januari


2012.

Park,J. 2009. Obesity On The Job. Statistics Canada — Catalogue no. 75-001-X (Online).
www.statcan.gc.ca. Diakses Tanggal 31 Desember 2011.

Prodia Occupational Health Institute. 2011. (Online). http://prodiaohi.co.id. Diakses Tanggal 31


Desember 2011.

Pronk, NP. Et al. 2004. The Association Between Work Performance and Physical Activity,
Cardiorespiratory Fitness, and Obesity. Jurnal of Occupational & Environmental Medicine: January
2004 – Volume 46 – Issue 1 – pp 19-25.

Rissanen, AM. 1991 Determinants Of Weight Gain And Overweight In Adult Finns. Eur J Clin Nutr,
45:419-430.

Rodbard,HW., Fox, K,. and Grandy, S (2009) Impact of Obesity on Work Productivity and Role
Disability in Individuals With and at Risk for Diabetes Mellitus. American Journal of Health
Promotion: May/June 2009, Vol. 23, No. 5, pp. 353-360.

Sudikno, Herdayanti,M. Besral. 2011. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Obesitas Pada
Orang Dewasa di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007). Jurnal Ilmiah. (Online) http://persagi.org.
Diakses Tanggal 31 Desember 2011.

Sukaton,U. et.al. 1996. Obesitas. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal. 706-711.

Sumbodo DP. 2007. Daya Saing dan Produktivitas Indonesia dan Negara-negara ASEAN. (online).
http://didiksumbodo.blogspot.com. Diakses Tanggal 31 Desember 2011.

Wannamethee, SG. Shaper,AG. Walker,M Overweight and obesity and weight change in middle
aged men: impact on cardiovascular dsease and diabetes, J Epidemial Communit Health, 2005, 59:
134-139.

WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.

Zhang. 2004. Trends In The Association Betwen Obesity Sosioeconomic Status In US Adults. Obesity
Research. 12:1622-1632.

http://asriantidrg.wordpress.com/2012/02/11/pengaruh-obesitas-terhadap-produktivitas-kerja/

Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Obesitas

July 14th, 2010 | Add a Comment

OBESITAS atau yang biasa kita kenal sebagai kegemukan merupakan suatu masalah yang cukup
merisaukan di kalangan remaja. Pada remaja putri, kegemukan menjadi permasalahan yang cukup
berat, karena keinginan untuk tampil sempurna yang seringkali diartikan dengan memiliki tubuh
ramping/langsing dan proporsional, merupakan idaman bagi mereka.Hal ini semakin diperparah
dengan berbagai iklan di televisi, surat kabar dan media massa lain yang selalu menonjolkan figur-
figur wanita yang langsing dan iklan berbagai macam ramuan obat-obatan, makanan dan minuman
untuk merampingkan tubuh. Akibatnya jutaan rupiah uang dibelanjakan untuk diet ketat, obat-
obatan, dan perawatan-perawatan guna menurunkan berat badan.Tidak berbeda dengan remaja
putri, remaja pria pun takut menjadi gemuk. Bagi mereka, pria yang memiliki bobot berlebih
dianggap akan mengalami permasalahan yang cukup berat untuk menarik perhatian lawan
jenis.Banyak remaja pria yang berharap dapat membuat tubuhnya ideal (menjadi sedikit
berotot/kekar) dan keinginan mereka untuk itu pada sebagian remaja disalurkan melalui kegiatan
olahraga, namun sayangnya bagi mereka yang kegemukan kegiatan olah raga akan terasa sebagai
siksaan. Hal inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh para penjual produk-produk obat-obatan atau
makanan penurun berat badan dan alat olahraga ringan untuk memperlaris dagangannya.

Dengan melihat fenomena yang terjadi sekarang ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
obesitas merupakan salah masalah rumit yang seringkali dihadapi remaja dan juga termasuk orang
dewasa. Hal ini tercermin dalam banyak dana yang dikeluarkan untuk melakukan diet, membeli
obat-obatan pelangsing dan peralatan olahraga yang bertujuan untuk menurunkan berat badan.

Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan
penumpukan adipose (adipocytes: jaringan lemak khusus yang disimpan tubuh) secara berlebihan.
Jadi obesitas adalah keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang berlebih.

Dihadapkan pada obesitas, tidak jarang seorang remaja bereaksi secara berlebihan. Tidak jarang pula
mereka menjadi frustrasi karena meskipun sudah melakukan diet ketat dan mengkonsumsi ramuan
atau obat-obatan penurun berat badan, ternyata bobot tubuh tidak kunjung susut.Apa sebenarnya
yang terjadi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melihat faktor-faktor yang menjadi
penyebab obesitas. Menurut para ahli, didasarkan pada hasil penelitian, obesitas dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah faktor genetik, disfungsi salah satu
bagian otak, pola makan yang berlebih, kurang gerak/olahraga, emosi, dan faktor lingkungan.

Genetik

Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di dalam sebuah
keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-
anak yang gemuk pula.Dalam hal ini, nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam
menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang
obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal,
secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah
bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.

Kerusakan Pada Salah Satu Otak

Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada suatu bagian otak yang disebut
hipotalamus –sebuah kumpulan inti sel dalam otak yang langsung berhubungan dengan bagian-
bagian lain dari otak dan kelenjar dibawah otak. Hipotalamus mengandung lebih banyak pembuluh
darah dari daerah lain pada otak, sehingga lebih mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah.

Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang
menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan); hipotalamus ventromedial (HVM) yang
bertugas merintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat kenyang).

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak untuk makan
atau minum, dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi infus). Sedangkan
bila kerusakan terjadi pada bagian HVM maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.

Pola Makan Berlebihan


Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap
isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang
gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan
berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak
memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan.

Kurang Gerak/OlahragaTingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat
tubuh.

Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum; 2)
angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
minimal tubuh.Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang
dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki
peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga, kalori terbakar. Makin banyak berolahraga maka
semakin banyak kalori yang hilang.Kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme
basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya.
Kekurangan aktifitas gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan
olahraga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olahraga secara tidak
langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut.Jadi olahraga
sangat penting dalam penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan
juga karena dapat membantu mengatur berfungsinya metabolis normal. nggung jawab dua pertiga
dari pengeluaran energi orang normal.

Pengaruh Emosional

Sebuah pandangan populer adalah bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang tidak
teratasi. Orang-orang gemuk haus akan cinta kasih, seperti anak-anak makanan dianggap sebagai
simbol kasih sayang ibu, atau kelebihan makan adalah sebagai subtitusi untuk pengganti kepuasan
lain yang tidak tercapai dalam kehidupannya.

Walaupun penjelasan demikian cocok pada beberapa kasus, namun sebagian orang yang kelebihan
berat badan tidaklah lebih terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki
berat badan normal.

Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa 0rang gemuk biasanya tidak bahagia, namun
sebenarnya ketidakbahagiaan /tekanan batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya.

Hal tersebut karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan,
sehingga orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri
terutama dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan.

Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa bila mereka
tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak
dalam suatu situasi yang sangat mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam
situasi yang kurang mencekam (McKenna,1999).

Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih
dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan)
setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film
yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan.
Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah
menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosannkan. Sedangkan
pada orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang
tegang maupun film yang membosankan.

Lingkungan

Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseroang
dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan
maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut tidak
dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah
psikologis sehubungan dengan kegemukan.

Nah, bagi para remaja yang kebetulan memiliki berat badan berlebih dan belum berhasil mengurangi
berat badan, janganlah merasa frustrasi. Mungkin dengan mengetahui faktor-faktor penyebab
kegemukan seperti tertulis di atas, Anda akan menemukan penyebab mengapa berat badan Anda
tidak kunjung susut.

Satu hal yang paling penting untuk diingat adalah sejauh tubuh anda tidak mengidap suatu penyakit
maka tidak ada yang salah dengan tubuh yang besar (gemuk). Hal lain yang juga tidak kalah penting
adalah cobalah untuk berolahraga secara teratur dan menjaga agar emosi anda tetap terkendali.
Oke…. Semoga bermanfaat. (Sumber: resep langsing)

http://sweetspearls.com/health/faktor-yang-menyebabkan-terjadinya-obesitas/

Вам также может понравиться