Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Apabila berbicara tentang sastra lisan tidak terlepas dengan adanya folklore. Folklore
merupakan kebudayaan tradisional yang dimiliki oleh sekelompok tertentu dan
penyebarannya secara turun temurun. Penyebaran yang turun temurun menunjukkan adanya
budaya lisan yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Adanya budaya lisan ini tentunya
berbeda dengan adanya teks tulis. Sebelum dibahas lebih lanjut tentang sastra lisan, maka
pada bab I ini dibahas konsep dasar folklor, fungsi folklor, macam-macam folklore, dan
hakikat sastra lisan.
Cerita rakyat, ungkapan rakyat, kesenian rakyat, permainan rakyat, upacara rakyat
yang masih beredar disuatu daerah tentunya masih eksis keberadaannya. Hal itu tentunya
diwariskan secara turun-temurun. Adanya tradisi lisan masih eksis atau masih hidup di
kalangan masyarakat tidak terlepas adanya dukungan tradisi penuturan lisan. Penuturan
tradisi lisan ada yang masih aktif dan adapula yang pasif. Menurut Sukatman (2012:3), Baik
folklor lisan. Sebagian lisan, maupun folkor bukan lisan, tradisi penuturannya akan
menghasilkan tradisi lisan, dan dokumen tradisi lisan juga bisa dituturkan kembali menjadi
tradisi lisan, tetapi tradisi lisan, sehingga terjadi siklus tradisi lisan. Sedangkan sastra lisan
yang tradisi penuturannya mandeg, tetap disebut tradisi lisan, tetapi tradisi lisan karena
kehadiran penutur cerita, baik cerita rakyat, kesenian rakyat, upacara rakyat, bahasa rakyat,
maupun ungkapan rakyat.
B. Fungsi Folklor
Folkor yang diwariskan oleh nenek moyang tentunya mempunyai funsi tertentu.
Apabila dikaji dapat dilihat adanya muatan nilai-nilai luhur, nilai-nilai moral dan
dedaktik. Hal itu juga dapat dijadikan sebagai kontrol sosial dalam bertingkah laku
maupun bertindak. Pada zaman dahulu, nenek moyang kita ketika menasehati anak
dapat melalui cerita maupun tembang. Termasuk ketika meninabobokkan anak juga
diiringi dengan tembang. Ada beberapa fungsi folklor yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Sebagai hiburan
Adanya dongeng sebagai bagian dari folkor yang dapat menghibur
pemiliknya. Hal ini tentunya membuat orang tertawa melihat kancil yang berbulu
seperti merak. Cerita dengong tersebut dapat menghibur pembaca atau
penikmatnya. Dongeng sebagai salah satu jenis folkor tidak terlepas dari fungsi
karya sastra, yaitu mendidik dan menghibur.
Permainan rakyat seabgai salah salu jenis folklor mempunyai fungsi sebagai
hiburan. Dalam permainan rakyat tercermin adanya kebersamaan, karena ketika
bermain tidak bisa dilakukan secara individu. Masyarakat zaman dahulu,
permainan rakyat dijadikan sebagai hiburan. Ketika bermain, mereka bisa tertawa
bersama dan saling menghibur antara yang satu dengan yang lainnya. Permainan
rakyat tersebut, seperti gobag sodor, betengan, jamuran, benthik, gedrik, dan lain-
lain. Permainan tersebut dapat dikatakan sebagai pelepas penat untuk menghibur
para pemainnya.
2. Sebagai alat pendidikan
Folklor sebagai alat pendidikan dapat melalui cerita, permainan rakyat,
maupun upacara rakyat.
Pendidikan dalam permainan rakyat, dapat dilihat dari teknik bermain. Dalam
permainan cublak-cublak suweng mengajarkan kejujuran. Kerja sama diajarkan
dalam permainan gabag sodor. Ketangkasan diajarkan dalam permainan benthik
dan gedrik. Pemahaman tentang macam-macam jamur diajarkan pada permainan
jamuran. Hal ini sebenarnya folklor sebagai sarana pendidikan nonformal yang
dapat mengajarkan nilai-nilai pendidikan.
Upacara rakyat sebagai folklor setengah lisan juga dapat dijadikan sebagai
sarana pendidikan. Dalam upacara bersih desa mengajarkan adanya kegotong-
royongan masyarakat dalam mencapai suatu tujuan. Selain itu, secara tidak
langsung juga mendidik masyarakat agar cinta terhadap lingkungan dan menjaga
lingkungan sekitar dengan baik.
3. Sebagai kontrol sosial
Kontrol sosial adalah cara yang atau sarana yang digunakan untuk mengendalikan
tingkah laku masyarakat supaya mematuhi nilai-nilai dan kaidah yang berlaku di
lingkungan sosial (Habib, 2012). Sedangkan menurut Suastika (2011:35), “Suatu
sikap dari seseorang atau masyarat yang peduli terhadap sesama dan
lingkungannya. Melakukan berbagai penilaian yang terkikis terhadap yang kurang
baik. Menjadi lebih baik sesuai adat dan budaya masyarakat yang bersangkutan”.
Jadi kontrol sosial tersebut terkait dengan pengendalian tingkah laku sesuai
dengan tatanan sosial budaya masyarakat.
4. Sebagai Pemersatu
Cerita rakyat yang berjudul “Keris Sempena Riau” mengandung makna
persatuan. Panglima Galang yang dipercaya raja untuk menjaga sebuah pulau,
mengemban amanat itu dengan sungguh-sungguh tanpa meminta imbalan. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“demikian kehidupan Panglima Galang, yang tak pernah brfikiran yang tidak-
tidak. Baginya mengabdi dan berbakti kepada kerajaan dan demi rakyat adalah
lebih penting dan mulia.” (KSR:13)
Panglima Galang tidak berpikiran untuk meminta imbalan atau apapun. Ia tulus
mengabdi kepada kerajaan dan raja. Dari cerita tersebut dapat dimaknai bahwa
apabila kita telah diberi sebuah kepercayaan hendaknya kita mengabdi dan
bersungguh-sungguh tanpa meminta imbalan.walaupun ia sempat difitnah oleh
seseorang yang membencinya karena telah mengalahkannya dalam sebuah
pertandingan, Panglima Galang tetap mengabdi dengan sungguh-sungguh pada
raja.
5. Sebagai pelestarian lingkungan
Folklor sebagai pelestarian lingkungan dapat dipahami adanya aturan-aturan yang
diberlakukan oleh masyarakat pemilik cerita. Hal ini biasanya dikaitkan dengan
mitos yang ada dalam cerita. Misalnya dalam cerita legenda “Rambut Monte”,
masyarakat pemilik cerita percaya bahwa ada Rambut Monte yang diyakini
sebagai petilasan Mbah Rambut Monte. Mintakat bawah berupa telaga yang
diyakini sebagai tempat mandi para dayang dan penggawa kerajaan Majapahit
sehingga dianggap suci. Telaga tersebut juga berisi ikan sengkaring yang diyakini
sebagai penjelmaan para penggawa yang menjaga kelestariannya. Ada anggapan
masyarakat bahwa ikan yang ada ditelaga tersebut merupakan penjelmaan
pengikut dari kerajaan Majapahit. Anggapan tersebut terus bredar secara turun-
temurun sehingga masyarakat pun tidak berani mengambil ikan dikolam tersebut.
Oleh karena itu adanya kepercayaan masyarakat tidak boleh mengambil ikan
tersebut adalah sebagai sarana pelestarian lingkungan.
C. Macam-macam Folklor
Menurut Jan Harold Brunvand (Danandjaja, 1991, 21-22) folklor dibagi menjadi
tiga, yaitu: (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian lisan, (3) folklor bukan lisan.
Folklor lisan disebut juga verbal folklor yang bersinonim dengan oral traditional,
folklor sebagian lisan disebut juga partly verbal, dan folklor bukan lisan disebut
juga non verbal folklore.
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk folklor
(folklore genre) yang termasuk dalam kelompok folklor lisan sebagai berikut.
(a) Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, gelar, bahasa, rahasia
(circimlotion) dan sebagainya.
(b) Ungkapan tradisional seperti pribahasa, pepatah, dan sebagainya.
(c) Pertanyaan tradisional seperti teka-teki, cangkriman (dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur) dan sebagainya.
(d) Puisi rakyat seperti pantun, syair, bidal, pemeo, dan sebagainya.
(e) Puisi prosa rakyat (prose narrative), seperti mite (myth), legenda (leg-end) dan
dongeng (folktale).
(f) Nyanyian rakyat (folksong).
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, foklor bukan
lisan dapat dikelompokkan menjadi material dan bukan material. Bentuk material
adalah sebagai berikut.
(a) Arsitektur rakyat seperti bentuk rumah asli di Tapanuli, lumbung padi di
Minangkabau dan sebagainya.
(b) Hasil kerajinan tangan seperti kain batik, patung, keris dan sebagainya.
(c) Pakaian serta perhiasan seperti pakaian adat, perhiasan tubuh dan lain
sebagainya.
(d) Obat-obatan tradisional seperti jamu dari Jawa dan sebagainya.
(e) Makanan dan minuman rakyat seperti rendang Padang, tuak Jawa dan
sebagainya.
(f) Alat-alat musik seperti gamelan Jawa Tengah, angklung Jawa Barat, sampek
Dayak dan sebagainya.
(g) Peralatan dan senjata seperti alat-alat rumah tangga, alat untuk pengkhitan,
senjata untuk berburu dan berperang.
(h) Mainan seperti boneka anak-anak.
TEORI STRUKTURAL
Teori struktural naratif sebenarnya telah berkembang di Eropa sejak akhir abad ke-19
(periksa buku Patterns in Oral Literature karangan Heda Jason dan Dimitri Segal, 1977:1).
Selanjutnya pada tahun 1910-an dan 1920-am berkembang diRusia.
Vladimir Propp merupakan perintis jalan bagi analisis struktural dongeng, melalui
bukunya Morfologi Dongeng Ajaib (Morfologija skazki) (1928) edisi bahasa inggris The
Morphology of the Folktale (1975) menemukan struktur plot berdasarkan hasil penelitiannya
mengenai dongeng Rusia.
Buku Vladimir Propp The Morphology of the Folk Tale (1975) memang dapat disebut
sebagai sebuah usaha untuk menemukan aturan yang menguasai atau menemukan susunan
plot dalam sebuah jenis dongeng Rusia yang khas. Kritik Propp terhadap mazhab Finlandia
terutama menyangkut sifat atomistik analisis tema dan motif. Propp memerlukan membuat
analisis struktur folktale yang mencoba memastikan anasir hakiki setiap dongeng yang
termasuk jenis dongeng yang akan dibicarakan (jadi dia tidak berpretensi untuk memberi
kerangka umum untuk analisis cerita rakyat seluruh dunia). Berdasarkan analisis seratus
dongeng yang disebut fairy tales Propp menemukan hasil yang cukup mengejutkan, yang
secara singkat dapat dikatakan (a)anasir yang mantap dan tak berubah dalam sebuah dongeng
bukanlah tokoh atau motifnya, melainkan fungsi, lepas dari siapa tokoh yang memenuhi
fungsi tersebut; (b) untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas; (c) urutan fungsi dalam sebuah
dongeng selalu sama; dan dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe saja
(Teeuw, 1984:291-292).
Yang dimaksud dengan fungsi yaitu tindak seorang tokoh yang dibatasi dari segi
maknanya untuk jalan lakonnya. A. Teeuw (1984:292) memberikan contoh: I seorang
anggota meninggalkan rumah (entah siapa orangnya: orangtua, raja, adik, dan lain-lain). II
tokoh utama atau pahlawan kena larangan atau pantangan tertentu (misalnya tidak boleh
berbicara lagi; tidak boleh meninggalkan rumah; tidak boleh memetik bunga atau buah
meninggalkan rumah; tidak boleh memetik bunga atau bunga tertentu dan seterusnya); III
tabu itu dilanggar. Demikianlah Propp mengembangkan semacam skema yang selalu sama
dan umum berlaku untuk jenis dongeng ini, walaupun itu tidak berarti bahwa setiap dongeng
harus memiliki semua fungsi; ada juga dongeng yang jumlah fungsinya lebih terbatas
daripada maksimum yang menurut Propp berjumlah 31 fungsi.
Ketigapuluh satu fungsi tersebut, yaitu: (1) seorang anggota keluarga meninggalkan
rumah (One of the members of a familyabsents himself from home (Absentation));(2) satu
larangan diucapkan kepada ksatria (An interdiction is addressed to the hero
(Interdiction));(3) larangan dilanggar (The interdiction is violated (Violation));(4)penjahat
mencoba mendatangi (The villain makes an attempt at reconnaissance(Reconnaissance));
(5)penjahat menerima pemberitahuan tentang mangsanya (The villain receives information
about his victim (Delivery));(6)penjahat mencoba memperdaya mangsanya dengan tujuan
untuk memilikinya (menjadikan istri/suami) atau merampok hartanya (The villain attemptsit
deceive his victim in order to take possession of him or of his belongings (Trickery)); (7)
Mangsa terperdaya dan dengan kesadarannya justru membantu musuhnya (The victim submits
to deception and there by unwitingly helps his enemy (Complicity);(8)Penjahat menyusahkan
atau mencederai seorang anggota keluarga(The villain causes harm or injury to a member of
a family);(8a)Seorang anggota keluarga yang sama kekurangan sesuatu atau ingin memiliki
sesuatu (On member of family either locks something or desires to have something
(Lack));(9) kecelakaan kekurangan dimaklumi, ksatria diminta atau diperintah, ia boleh pergi
atau disuruh pergi (Misfortune orlack is made known, the hero is approached with a request a
command, he is allowed to go or he is dispatched (Mediation, to connective incident));
(10)percuri bersepakat atau memutuskan untuk membalas (Theseeker agrees to or decides
upon counteraction (Beginning counterraction));(11)ksatria meninggalkan rumah (The hero
paves home (Departure));(12)ksatria diuji, ditanya, diserang, dan lain-lain yang menggiring
ksatria ke arah penerimaan yang sama ada sesuatu alat magis atau pembantu (The hero is
tested, interrogated, attackted, etc, which prepares the way for hisreceiving either a magical
agent to helper (The firs function of the Donor));(13)ksatria membalas tindakan orang yang
memberi sesuatu tersebut (The hero react to the actions of the future donor (The hero’s
reaction));(14)ksatria memperoleh agen sakti (The hero acquires the use of a magical
(Provision or receipt of a magical agent));(15)ksatria dipindahkan, diantar atau dipandu ke
tempat-tempat objek yang dicari (The hero is transferred, delivered or led to the whereabouts
of an object (Spatial transference between two kingdoms, guidance));(16)Ksatria dan
penjahat terlibat dalam pertarungan (The hero and the villain join in direct combat
(Strunggle));(17) ksatria ditandai(The hero indranded(Branding));(18)penjahat dibunuh (The
villain is defeated(victory));(19) kecelakaan atau kekurangan awal diatasi (The initial
misfortune or lack is linguidated);(20)ksatria pulang (The return(Return));(21)ksatria dikejar
(The hero is pursued (pursuit, cahese));(22)ksatria diselamatkan (Rescue of the hero from
pursuit (Rescue));(23)ksatria yang tidak dikenali, tiba dinegerinya atau negeri lain (The hero,
unrecognized, arrives home or in another country (Unrecognized arrival));(24)ksatria palsu
menyampaikan tuntutan (A false hero presents unfounded claims (Unfounded claims));
(25)Tugas berat diemban oleh ksatria (A difficult task is proposed to the hero (Difficult task));
(26)tugas dapat diselesaikan (The hero is recogbnized (Recognition));(27)ksatria dikenali
(The hero is recogbnized (Recognition));(28)ksatria palsu atau pejabat terbuka (The false
hero or villain is exposed (Exposure));(29)ksatria menjelma dengan wajahnya yang baru (The
hero is given a new appearance (Transfiguration));(30)penjahat dihukum (The villain is
punished (Punishment));(31)ksatria menikah dan naik tahta (The hero is married and ascends
the throne (Wedding) (lihat Propp, 1928; Hutomo, 1991:26-27).
Analisis dan tipologi struktural bagi Propp bukanlah tujuan utama dan terakhir. Dia
sebenarnya ingin memanfaatkan hasiltipologi struktural untuk penelitian historis.
Berdasarkan analisis struktural dasar dia berharap dapat menentukan bentuk purba dongeng
itu, selanjutnya lewat sejumlah transformasi berkembang ke berbagai arah, dengan tokoh dan
peristiwa yang bermacam-macam, tetapi dengan selalu mempertahankan kerangka struktur
fungsi yang sama. Jadi Propp ingin memadukan metode struktural dengan penelitian genetik,
penelitian asal-usul dan kemudian penyebarannya (Teeuw, 1984:292-293).
Kaidah yang dikemukakan oleh Propp ini dikenal sebagai “The Function of Dramatis
Personae” yang mengkaji asal-usul sebuah cerita, tidak mengkaji sifat watak dalam cerita-
cerita itu.