Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH :
DEWA AYU MADE IDA YATI S,Kep
14013110008
2. EPIDEMIOLOGI
CKD adalah salah satu masalah kesehatan yang penting karena insiden dan
prevalensinya terus meningkat. Saat ini diperkirakan 10-20% penduduk di dunia atau sekitar
500 juta orang menderita PGK (Davids, 2007). Di Amerika Serikat, prevalensi CKD semakin
meningkat. Pada tahun 1973 terdapat sekitar 10.000 penderita, sedangkan pada tahun 1983
meningkat menjadi 86.354 penderita. Populasi penderita CKD ditemukan meningkat secara
drastis pada akhir tahun 2008, yaitu sebanyak 547.982 orang. Jumlah penderita CKD baik
pria maupun wanita adalah setara dan jumlah kasus tertinggi ditemukan pada pasien yang
berusia menengah ke bawah.
Di propinsi Bali diperkirakan prevalensi PGK mencapai 75-100 orang /satu juta
penduduk pertahun (Widiana, 2006; Suwitra, 2006). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi
Bali tahun 2009 jumlah pasien penyakit gagal ginjal kronis yang tercatat dari Rumah Sakit
Umum Pemerintahan berjumlah 272 untuk rawat jalan dan 418 rawat inap.
3. ETIOLOGI
Penyebab gagal ginjal kronik/cronic kidney disease yang tersering dapat dibagi
menjadi delapan kelas seperti berikut ini:
a. Infeksi; pielonefritis kronis.
b. Penyakit peradangan; glomerulonefritis.
c. Penyakit vascular hipertensif; nefrosklerosis benigna dan malignan, stenosis arteri
renalis.
d. Gangguan congenital dan herediter; asidosis tubulus ginjal
e. Penyakit metabolik; diabetes mellitus, hiperparatiriodisme.
f. Nefropati toksik; penyalahgunaan analgetik, nefropati timbal.
g. Nefropati obstruktif; saluran kemih bagian atas (neoplasma, fibrosis), saluran kemih
bagian bawah (hipertropi prostat, striktur uretra).
h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
Baru-baru ini, diabetes dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi
ESRD (penyakit ginjal stadium akhir) yang paling besar, terhitung secara berturut-turut
sebesar 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonefritis adalah penyebab ESRD
tersering yang ketiga (17%), penyakit ginjal polikistik masing-masing terhitung sebanyak
3,4% dari ESRD (Price, 2006:918).
Ada beberapa faktor risiko penyakit ginjal kronik, antara lain pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi CKD terbanyak yaitu
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%), dan ginjal polikistik
(10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya
tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu
pada glomerulus.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005), diabetes
mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medulla.
4. PATOFISIOLOGI
Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi
dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan
percepatan filtrasi, beban solute, dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang terdapat
dalam ginjal turun di bawah normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal
yang rendah. Namun akhirnya bila 75% massa nefron telah hancur, maka kecepatan
filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi, sehingga keseimbangan
glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi
maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.
Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang
merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari
kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada
glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium.
Mekanisme selanjutnya berupa kerusakan progresif, ditandai adanya hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang tersisa yang diikuti dengan penurunan massa ginjal terlepas dari
penyebab yang mendasarinya. Respon dari pengurangan jumlah nefron diikuti dengan
vasoaktif hormon, sitokin dan faktor pertumbuhan. Akhirnya, adaptasi jangka pendek dari
hipertropi dan hiperfiltrasi menjadi maladaptasi berupa peningkatan tekanan dan aliran
pada nefron sehingga sebagai predisposis munculnya sklerosis dan pengurangan jumlah
nefron yang tersisa. Peningkatan aktivitas dasar renin-angiotensin-aldosteron di intrarenal
ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas
tersebut. Selanjutnya aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian menstimulasi
perubahan growth factor ß. Proses ini menjelaskan tentang penurunan massa ginjal dari
penyakit di tempat yang kecil di dalam tubuh yang dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal secara progresif selama bertahun-tahun (Skorecki & Bargman, 2010 dalam
Jameson dan Loscalzo, 2010).
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal, sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh, sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi, yang berakibat diuresis osmotik
disertai poliuri dan haus. Selanjutnya, karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak, oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala
pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-
kira fungsi ginjal telah hilang 80-90%. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka gejala akan semakin berat (Smeltzer, 2002), dari proses sindrom uremia
terjadi pruritus, perubahan warna kulit. Sindrom uremia juga bisa menyebabkan asidosis
metabolik akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan
sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia (NH3-) dan
mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan asam organik
yang terjadi,maka muntah dan muntah tidak dapat dihindarkan. Sekresi kalium
mengalami penurunan sehingga hiperkalemia, penghantaran listrik dalam jantung
terganggu akibatnya terjadi penurunan COP (cardiac output), suplai O2 dalam otak dan
jaringan terganggu. Penurunan sekresi eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi
produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin
berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh hemoglobin
(oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami keadaan lemas dan tidak
bertenaga.
Gangguan clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang
berfungsi. Penurunan laju filtrasi glomerulus di deteksi dengan memeriksa clerence
kretinin dalam darah yang menunjukkan penurunan clerence kreatinin dan peningkatan
kadar kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat mengakibatkan edema.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme. Kadar
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat
maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melaui glomerulus
ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium
menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathhormon dari
kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merespon normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan
terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang (Nurlasam, 2007).
Dalam perjalanan klinis CKD, dapat terjadi:
a. Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan
klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan menurun,
kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.
Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena
substansi ini diproduksi secara konsisten oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi
oleh penyakit renal tetapi juga oleh masukan protein dalam diet dan medikasi seperti
steroid.
b. Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah
yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Produk akhir metabolisme protein yang
normalnya dieksresikan ke dalam urine tertimbun dalam darah, sehingga terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
c. Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin
secara normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium; meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktifitas renin angiotensin aldosteron.
d. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
terjadi perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Dengan menurunnya GFR, maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu
sekresi parathormon, akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan
pada tulang dan penyakit tulang (penyakit tulang uremik/osteodistopirenal). Selain
itu, metabolisme aktif vitamin D yang secara normal dibuat ginjal menurun seiring
dengan berkembangnya gagal ginjal.
f. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
(Smeltzer, 2002)
5. KLASIFIKASI
K/DOQI merekomendasikan klasifikasi CKD menjadi lima stage/derajat yaitu:
Tabel 1 Klasifikasi CKD
Derajat Deskripsi Nilai LFG/GFR
(ml/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal disertai LFG yang normal atau ≥ 90
yang mengalami menurun.
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan nilai 60-89
LFG
3 Penurunan moderat nilai LFG 30-59
4 Penurunan berat nilai LFG 15-29
5 Gagal ginjal ≤ 15
(Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI), 2002 dalam Eknoyan, 2006)
Pada derajat 1 dan 2 didefinisikan berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan
dibedakan berdasarkan ada tidaknya penurunan nilai LFG. Derajat 3 sampai 5 hanya
berdasarkan atas nilai LFG. Sistem penderajatan memperlihatkan penurunan LFG dan secara
umum sebagai manifestasi berkurangnya fungsi ginjal seperti anemia, hiperparatiroidisme
muncul disebabkan oleh penyakit ginjal yang mendasarinya (Himmelfarb & Sayegh, 2010).
Perjalanan gagal ginjal kronis dapat dilihat dari hubungan bersihan kreatinin dan
kecepatan fitrasi glomerulus (GFR) sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap
kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) dengan rusaknya massa nefron secara
progresif oleh gagal ginjal kronis. Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT (
Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang umumnya terjadi pada pasien dengan CKD adalah penurunan GFR
dan klirens kreatinin, peningkatan kreatinin serum dan BUN (Blood Urea Nitrogen). Di
samping itu, kegagalan ginjal dalam mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit dapat menyebabkan sindrom uremik. Sindrom uremik adalah suatu
kompleks gejala yang diakibatkan oleh menumpuknya toksin uremik (seperti natrium,
kalium, magnesium, air, fosfat inorganik, hormon paratiroid, urea, kreatinin, asam urat).
Tabel 3 Tanda dan Gejala Penyakit CKD
Tipe Tanda & Gejala
Penyakit Gangguan sistem gastrointestinal; anoreksia, mual dan muntah akibat
Ginjal Kronis metabolisme bacteria usus yang mengeluarkan ammonia dan metal
guanidin, serta sembabnya mukosa usus, foetor uremik akibat ureum
berlebihan pada air liur dirubah oleh bakteri dimulut menjadi ammonia
dan dapat menimbulkan stomatitis, gastritis, ulkus peptik.
Gangguan sistem Integumen; kulit pucat akibat anemia dan kekuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksin uremia dan
pengendapan kalsium di pori-pori kulit, ekimosis akibat gangguan
hematologis, bekas garukan akibat gatal.
Gangguan sistem hematologi; anemia akibat berkurangnya produksi
eritropoetin, hemolisis karena eritrosit hidup dalam suasana uremik
toksik, defisiensi besi dan asam folat karena penurunan nafsu makan,
perdarahan disaluran cerna dan kulit, fibrosis sumsum tulang akibat
hiperparatiroidisme sekunder. Gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia serta gangguan leukosit. Anemia normokrom (MCV
78-94 CU), sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100
mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
Gangguan sistem saraf dan otot; pegal pada kaki (restless leg
syndrome), rasa semutan dan terbakar pada telapak kaki (burning feet
syndrome) ensefalopati metabolik (lemah, tidak bias tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, kejang), miopati (kelemahan dan hipertropfi otot-
otot ekstremitas proksimal). Pada sistem neuropsikiatri juga ditemukan
kelainan antara lain Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil,
dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal
kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang
dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien CKD. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau
tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
Gangguan sistem kardiovaskuler; hipertensi akibat penimbunan cairan
dan garam, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama jantung dan
edema.
Gangguan sistem endokrin; gangguan seksual (penurunan libido,
fertilitas, ereksi menurun), gangguan metabolisme glukosa, resistensi
insulin, dan gangguan sekresi insulin, gangguan metabolisme lemak dan
vitamin D.
Gangguan pada mata: Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya
dijumpai pada sebagian kecil pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan
visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan penyakit
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan
retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye
syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
Gangguan pada muskoloskeletal: terjadi (penyakit tulang
uremik/osteodistopirenal
(Sumber: Smeltzer, 2002: 1444; Suhardjono dkk, 2001:428)
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Laboratorium darah :
- Hematologi (Hb, Ht, dan RBC)
Hematokrit dan hemoglobin umumnya menurun pada pasien CKD yang
mengalami anemia (hematokrit < 36 - 46% dan hemoglobin < 12-16 gr/dL).
Jumlah sel darah merah juga menurun (< 4,5-5,9 x 106 ɥL) karena defisiensi
eritropoetin di ginjal.
- Elektrolit (Na,K, Ca, fosfat)
Natrium serum : rendah (< 135-145 mg/dL)
Kalium : meningkat (> 3,5-5,5 nMol/lt)
Kalsium : menurun (< 8,1-104 mg/dL)
Protein (albumin) : menurun (< 3,5-4,5 mg/dL)
- Pemeriksaan BUN dan kreatinin serum
Hasilnya mengalami peningkatan (BUN > 8-25 mg/dL dan kreatinin serum >
0,6-1,3 mg/dL).
b. Terapi Pengganti
Dilakukan bila terapi konservatif tidak memberi hasil dan CCT < 15 ml/menit.
Dialisis
Peritoneal dialysis merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang
bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran semi
permeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang
berlebihan dan solute yang berisi racun yang akan dibuang. Peritoneal dialisis
terdiri dari dua jenis, yaitu
- Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan metode pencucian
darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan
pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan
kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah
selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan
harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran
darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan
dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru
- Automated Peritoneal Dialysis (APD) relatif masih jarang digunakan oleh
masyarakat Indonesia.
Hemodialisa
Pada prinsipnya hemodialisa menempatkan darah berdampingan dengan cairan
dialisat atau pencuci yang dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi
permeabel. Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sisa
metabolisme. Proses ini disebut dialysis yaitu proses berpindahnya air atau zat
melalui membran semi permeable. Hemodialisa dilakukan melalui tindakan
invasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan AV fistule
(menggabungkan vena dan arteri)
Gambar 3. Pasien yang menjalani hemodialisis
Transplantasi ginjal
Yaitu menggantinya dengan ginjal orang lain yang sehat (transplantasi atau
cangkok ginjal), baik fungsi eksokrin maupun endokrin dari ginjal dapat diambil
alih. Contoh fungsi eksokrin adalah pengaturan cairan dan elektrolit, atau ekskresi
sisa-sisa metabolisme protein, sedangkan contoh endokrin adalah pengaturan
tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal maupun integritas tulang
(Anonim, 2002; Gabriel M.D., 2005).
B. KONSEP DASAR HEMODIALISA
1. PENGERTIAN
Dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif
melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya.
Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam
dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke
larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu (Price and
Wilson, 2005).
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan.
Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit
akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006). Hemodialisa memiliki arti
harfiah berupa dialisa darah. Bentuk dialisa ini berbeda karena tempat dialisanya yang ada di
luar tubuh dengan aliran darah yang terus berlanjut melintasi membran dialyzer (Himmelfarb
& Sayegh, 2010: 285).
Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti
air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran
semipermiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis, dan ultra filtrasi (Smeltzer & Bare, 2002).
Jadi hemodialisa adalah terapi pengganti ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme dari peredaran darah manusia dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultra
filtrasi.
2. EPIDEMIOLOGI
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai Desember
tahun 2011 didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang tercatat dari Rumah
Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat inap dan laporan pada bulan
Januari sampai Desember tahun 2011 jumlah pasien yang mengalami rawat jalan adalah 661.
Peningkatan kasus baru hemodialisa sebesar 33% pertahun. Dialisis di Indonesia dimulai
pada tahun 1970 sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Diperkirakan telah lebih dari 100.000 pasien yang akhir-akhir ini menjalani dialisis.
3. TUJUAN
Hemodialisa dilakukan sebagai terapi pengganti ginjal yang memiliki beberapa
tujuan, antara lain:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer (asam basa) tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
4. INDIKASI
- Indikasi hemodialisa secara umum, yaitu:
a. Gagal ginjal akut
b. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
c. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
d. Ureum lebih dari 200 mg/dl
e. PH darah kurang dari 7,1
f. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
g. Intoksikasi obat dan zat kimia
h. Sindrom hepatorenal
- Pada umumnya indikasi dialisis pada Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah bila Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5ml/menit, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu hal berikut:
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum > 6 mEq/L
Ureum darah > 200mg/dL
pH darah < 7,1
Anuria berkepanjangan (>5 hari)
Fluid overload
- Hemodialisa juga dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan:
Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
Perikarditis (peradangan kantong jantung)
Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan lainnya
Gagal jantung
Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah).
- Indikasi hemodialisa berdasarkan urgent atau tidaknya :
a. Indikasi Segera: Encephalopathy, perikarditis, neouropati perifer, hiperkalemi,
asidosis metabolik, hipertensi maligna, edema paru, oligouri berat, atau anuri.
b. Indikasi dini atau profilaksis
Sindroma uremia, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan
Laboratoriun abnormal: asidosis metabolik, azotemia (kreatinin 8 – 12 mg%,
BUN 100 – 120 mg%, CCT kurang dari 5 – 10 ml/menit).
5. KONTRAINDIKASI
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah (PERNEFRI, 2003):
a. Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa.
b. Akses vaskuler sulit.
c. Instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
d. Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik (Thiser & Wilcox, 1997).
8. PERALATAN HEMODIALISA
a. Dializer
Dializer atau Ginjal Buatan terdiri dari membran semi permeabel yang
memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dializer merupakan kunci utama dalam
proses hemodialisa. Disebut sebagai ginjal buatan (artificial kidney) karena yang
dilakukan oleh dializer sebagian besar dikerjakan oleh ginjal kita yang normal.
Dializer berbentuk silinder dengan panjang rata – rata 30 cm dan diameter 7 cm dan
di dalamnya terdapat ribuan filter yang sangat kecil.
Dializer terdiri dari 2 kompartemen masing – masing untuk cairan dialysate dan
darah. Kedua kompartemen tersebut dipisahkan oleh membran semipermiabel yang
mencegah cairan dialisat dan darah bercampur jadi satu. Membran semipermiabel
mempunyai lubang – lubang sangat kecil yang hanya dapat dilihat melalui mikroskop
sehingga hanya substansi tertentu seperti racun dan kelebihan cairan dalam yang
dapat lewat. Sedangkan sel – sel darah tetap berada dalam darah.
Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi
pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Dializer ada yang memiliki
high efficiency atau high flux. Dializer high efificiency adalah dializer yang
mempunyai luas permukaan membran yang besar. Dializer high flux adalah dializer
yang mempunyai pori-pori besar yang dapat melewatkan molekul yang lebih besar,
dan mempunyai permiabilitas terhadap air yang tinggi.
Ada 3 tipe dializer yang siap pakai, steril dan bersifat disposibel yaitu bentuk
hollow-fiber (capillary) dializer, parallel flat dialyzer dan coil dialyzer. Setiap dializer
mempunyai karakteristik tersendiri untuk menjamin efektifitas proses eliminasi dan
menjaga keselamatan penderita. Dializer yang banyak beredar dipasaran adalah
bentuk hollow fiber dengan membran selulosa.
b. Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialisa dipakai sebagai pencampur dialisat pekat
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur,
yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi
standar AAMI (Association for the Advancement of Medical Instrument). Jumlah air
yang dibutuhkan untuk satu sesi hemodialisis seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
c. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu. Di
pasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate.
Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu jenis standart, free
potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga
sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni atau air water treatment sebanyak
9,5 liter dan ada yang bentuk cair (siap pakai).
Konsentrasi dialisat:
a. Konsentrasi Acetat AN No. 750 1934 001
Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat standard untuk
mengoreksi asidosis uremikum dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat secara
difusi selama HD. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang cair dan
relatif stabil. Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat asetat harganya
lebih murah tetapi efek sampingnya lebih banyak. Efek samping yang sering seperti
mual, muntah, kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan hemodinamik,
hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu, intoleransi glukosa, meningkatkan
pelepasan sitokin.
f. Tusukan Vaskuler
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ke tubuh
penderita. Untuk melakukan dialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk ke sistem vaskular penderita yang dapat diandalkan. Darah harus dapat keluar
dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-teknik akses
vaskuler utama untuk hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses
internal (Price, 2005).
a) Akses Internal (Permanen)
Arterio-Venous Fistula (AVF).
AVF dibuat dengan teknik bedah melalui anastomosis langsung dari
suatu arteri dengan vena (biasanya arteri radialis dan vena sefalika
pergelangan tangan) pada tangan yang non dominant Hubungan ke sistem
dialisis di buat dengan menempatkan satu jarum di distal (garis arteri) dan
sebuah jarum lagi di proksimal (garis vena) pada vena yang sudah di
arterialisasi tersebut. Masalah yang paling utama adalah rasa nyeri pada
pungsi vena, terbentuknya aneurisma, trombosis, kesulitan hemostasis
postdialisis, dan iskemia pada tangan (steal syndrome) (Price, 2005).
Arterio-Venous Graft (AVG).
Diciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari teflon dalam arteri
(biasanya arteri radialis atau tibialis posterior) dan sebuah vena yang
berdekatan. Ujung-ujung kanula kemudian dihubungkan dengan selang karet
silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau. Pada waktu
dilakukan dialisis, maka selang pirau eksternal dipisahkan dan dibuat
hubungan dengan dializer. Darah kemudian mengalir dari jalur arteri, melalui
dializer dan kemudian kembali ke vena. Masalah utama adalah masa
pemakaian yang pendek akibat pembekuan dan infeksi (rata-rata 9 bulan).
b) Akses eksternal atau kateter
Kateter vena subklavia
Kateter vena jugularis
Kateter vena femoralis
Kateter adalah suatu pipa berlubang yang dimasukkan ke dalam vena subklavia,
jugularis, atau vena femoralis yang memiliki akses langsung menuju jantung
kateter ini merupakan akses vaskular sementara. Akses ini digunakan jika akses
internal tidak dapat digunakan untuk pengobatan, dan pasien membutuhkan
dialisis darurat. Internal AVF and AFG lebih di pilih untuk di gunakan daripada
kateter karena AVF dan AVG menurunkan kemungkinan infeksi, yang sangat
penting bagi pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang memiliki daya
imun rendah (Kidney Dialysis Foundation, 2004).
9. PROSES HEMODIALISA
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini
memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka dibuat
suatu hubungan buatan di antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk
mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena
subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai
dengan kebijakan institusi.
Gambar 3. AV Fistula
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Pada hemodialisa, darah penderita mengalir melalui suatu selang yang
dihubungkan ke fistula arteriovenosa dan dipompa ke dalam dializer. Untuk mencegah
pembekuan darah selama berada dalam dializer maka diberikan heparin.
Di dalam dializer, suatu selaput buatan yang memiliki pori-pori memisahkan
darah dari suatu cairan (dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang menyerupai cairan
tubuh normal. Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan
di dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah
disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat. Tetapi sel darah dan protein yang
besar tidak dapat menembus pori-pori selaput buatan ini.
11. KOMPLIKASI
1. Ketidakseimbangan Cairan
a. Hipervolemia
Temuan berikut ini mengisyaratkan adanya kelebihan cairan seperti tekanan darah
naik, peningkatan nadi, dan frekuensi pernafasan, peningkatan tekanan vena
sentral, dispnea, batuk, edema, penambahan BB berlebih sejak dialysis terakhir
b. Hipovolemia
Petunjuk terhadap hipovolemia meliputi penurunan TD, peningkatan frekuensi
nadi, pernafasan, turgor kulit buruk, mulut kering, tekanan vena sentral menurun,
dan penurunan haluaran urine. Riwayat kehilangan banyak cairan melalui
lambung yang menimbulkan kehilangan BB yang nantinya mengarah ke diagnosa
keperawatan kekurangan cairan.
c. Ultra filtrasi
Gejala ultrafiltrasi berlebihan adalah mirip syok dengan gejala hipotensi, mual
muntah, berkeringat, pusing dan pingsan.
d. Rangkaian ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
Ultrafiltrasi cepat untuk tujuan menghilangkan atau mencegah hipertensi, gagal
jantung kongestif, edema paru dan komplikasi lain yang berhubungan dengan
kelebihan cairan seringkali dibatasi oleh toleransi pasien untuk memanipulasi
volume intravaskular.
e. Hipotensi
Hipotensi selama dialysis dapat disebabkan oleh hipovolemia, ultrafiltrasi
berlebihan, kehilangan darah ke dalam dialiser, inkompatibilitas membran
pendialisa, dan terapi obat antihipertensi.
f. Hipertensi
Penyebab hipertensi yang paling sering adalah kelebihan cairan, sindrom
disequilibrium, respon renin terhadap ultrafiltrasi, dan ansites.
g. Sindrome disequilibrium dialysis
Dimanifestasikan oleh sekelompok gejala yang diduga disfungsi serebral dengan
rentang dari mual muntah, sakit kepala, hipertensi sampai agitasi, kedutan,
kekacauan mental, dan kejang.
2. Ketidakseimbangan Elektrolit
Elektrolit merupakan perhatian utama dalam dialisis, yang normalnya dikoreksi
selama prosedur adalah natrium, kalium, bikarbonat, kalisum, fosfor, dan magnesium.
3. Infeksi
Pasien uremik mengalami penurunan resisten terhadap infeksi, yang diperkirakan
karena penurunan respon imunologik. Infeksi paru merupakan penyebab utama
kematian pada pasien uremik.
4. Perdarahan dan Heparinisasi
Perdarahan selama dialysis mungkin karena kondisi medik yang mendasari seperti
ulkus atau gastritis atau mungkin akibat antikoagulasi berlebihan. Heparin adalah obat
pilihan karena pemberiannya sederhana, meningkatkan masa pembekuan dengan
cepat, dimonitor dengan mudah dan mungkin berlawanan dengan protamin.
Komplikasi lain dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat dilakukan
terapi adalah :
a. Hipotensi
b. Kram otot
c. Mual atau muntah
d. Sakit kepala
e. Sakit dada
f. Gatal-gatal
g. Demam dan menggigil
h. Kejang
C. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk memperoleh
informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana
asuhan keperawatan klien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS dan respon verbal klien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan
nadi, dan kondisi patologis.
Pulse rate : dapat mengalami peningkatan (>100 x/mnt)
Respiratory rate : dapat mengalami peningkatan (> 20 x/mnt)
Suhu
c. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien yang akan menjalani hemodialisa kemungkinan akan ditemukan :
- Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus atau
gatal-gatal.
- Kuku : kuku tipis dan rapuh.
- Rambut : kering dan rapuh.
- Oral : halitosis / faktor uremic (bau nafas seperti aseton), perdarahan
gusi.
- Lambung : mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration.
- Pulmonary : Pnemonia, kemungkinan ditemukan adanya dispnea, odema
paru.
- Asam basa : asidosis metabolik.
- Neurologic : letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot : pegal
- Hematologi : perdarahan
d. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan penunjang dapat ditemukan data sebagai berikut :
- K serum > 6 mEq/L
- Ureum darah > 200mg/dL
- pH darah < 7,1
- Anuria berkepanjangan (>5 hari)
- Fluid overload
- Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 15 ml/menit, LFG kurang dari 10
ml/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 ml/menit
walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.
b. Diagnosa Intra HD
1) Risiko perdarahan berhubungan dengan efek samping pengobatan yaitu
penggunaan obat antikoagulan
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis akibat penumpukan asam
laktat ditandai dengan klien mengeluh merasa nyeri pada otot, klien mengeluh
nyeri terasa seperti kram otot, klien tampak meringis kesakitan, klien tampak
memegangi area nyeri, takikardi, peningkatan TD (> 120/80 mmHg), RR (> 20
kali/menit)
3) Nausea berhubungan dengan terapi penggunaan agen farmakologis yaitu cairan
dialisat yang bersifat asam ditandai dengan klien mengeluh merasa mual, klien
mengatakan ingin muntah, peningkatan sekresi saliva, nadi > 100 kali/menit
4) Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
akibat prosedur invasif akses vaskular
c. Diagnosa Post HD
1) PK : syok hipovolemia
2) PK : anemia
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis akibat perubahan
metabolisme ditandai dengan klien mengeluh merasa nyeri pada otot, klien
mengeluh nyeri terasa seperti kram otot, klien tampak meringis kesakitan, klien
tampak memegangi area nyeri, takikrdi, peningkatan TD (> 120/80 mmHg), RR (>
20 kali/menit)
4) Nausea berhubungan dengan iritasi lambung akibat peningkatan asam lambung
ditandai dengan klien mengeluh merasa mual, klien mengatakan ingin muntah,
peningkatan sekresi saliva, nadi > 100 kali/menit
5) PK : pruritus
3. RENCANA KEPERAWATAN
a. Pre HD
1) PK : Uremia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 4 jam, diharapkan perawat dapat
meminimalkan komplikasi uremia, dengan kriteria hasil:
Systemic toxin clearance:dyalisis
- Tekanan darah dalam batas normal (5 = not compremised)
- Kadar kreatinin serum dalam batas normal (5 = not compremised)
- BUN dalam batas normal (5 = not compremised)
- Tidak ada mual (5 = none)
- Tidak ada muntah (5 = none)
- Tidak ada pruritus (5 = none)
- Tidak ada kelemahan (5 = none)
- Tidak ada edema (5 = none)
- Tidak ada kram otot (5 = none)
Intervensi:
Hemodialysis Therapy:
a. Ukur tanda-tanda vital dasar meliputi TD, nadi, RR, suhu
Rasional: untuk mengetahui kondisi umum klien sebelum dilakukan
hemodialisis.
b. Jelaskan prosedur dan tujuan dilakukan hemodialisis kepada klien
Rasional: agar klien paham dan mengerti pentingnya dilakukan hemodialisa
c. Periksa peralatan dan larutan sesuai prosedur
Rasional: Memastikan alat dan larutan yang digunakan telah sesuai dan tepat
untuk digunakan agar menghindari terjadinya efek samping yang tidak
diinginkan
d. Gunakan teknik steril untuk memulai hemodialisis, penusukan jarum, dan
menyambungkan selang kateter
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi sekunder pada klien
e. Mulai hemodialisis sesuai prosedur
Rasional: Agar hemodialisa dapat berjalan dengan tepat dan sesuai prosdur
sehingga tujuan dilakukan hemodialisa dapat tercapai dan mencegah efek
samping yang tidak diinginkan.
f. Periksa sistem monitoring (seperti flow rate, tekanan, clots, sensor udara,
tekanan negatif untuk ultrafiltrasi, dan sensor darah) untuk menjaga keamanan
klien.
Rasional: untuk memastikan alat menjalankan fungsinya dengan baik, proses
dialisis berjalan baik agar menjaga keamanan klien
g. Monitor TD, nadi, dan respon klien selama dialisis
Rasional: mengetahui respon klien terhadap pross hemodialisis
h. Kolaborasi pemberian heparin
Rasional: mencegah terbentuknya clotting selama proses hemodialisis
berlangsung.
i. Sesuaikan tekanan filtrasi untuk mengeluarkan sejumlah cairan
Rasional: proses ultrafiltrasi dapat membantu menarik cairan tubuh yang
berlebih keluar akibat perbedaan tekanan, tekanan perlu disesuaikan agar dapat
mengeluarkan kelebihan cairan dalam tubuh dengan tepat untuk menghindari
terjadinya syok hipovolemik
j. Lakukan sesuai prosedur jika klien mengalami hipotensi
Rasional: pengeluaran cairan berlebih akibat proses ultrafiltrasi dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah, maka harus segera dilakukan
penanganan yang tepat untuk mencegah syok hipovolemia
k. Hentikan hemodialisis sesuai dengan prosedur
Rasional: penghentian proses hemodialisis harus sesuai prosedur untuk
mencegah terjadinya komplikasi
l. Bandingkan TTV post dialisis dan pre dialisis
Rasional: untuk mengevaluasi serta mengetahui kondisi klien setelah dilakukan
hemodialisis.
m. Bekerjasama dengan pasien untuk menentukan pengaturan diet, pembatasan
cairan, dan pengobatan untuk meregulasi cairan dan elektrolit
Rasional: menentukan hal-hal yang harus dilakukan klien setelah hemodialisa
sehingga dapat mendukung proses hemodialisa
n. Ajarkan pasien untuk memonitor diri dari tanda dan gejala yang
mengindikasikan memerlukan pengobatan (seperti demam, perdarahan,
tromboflebitis, dan nadi tidak teratur)
Rasional: Agar klien dapat memantau kondisinya dan dapat memperoleh
tindakan segera.
o. Bekerjasama dengan pasien untuk mengurangi ketidaknyamanan dari efek
samping penyakit dan pengobatan (seperti kram otot, lemah, sakit kepala, gatal,
anemia, dimineralisasi tulang)
Rasional: Untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat efek samping
hemodialisa.
b. Intra HD
1) Risiko perdarahan berhubungan dengan efek samping pengobatan yaitu
penggunaan obat antikoagulan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x 4 jam diharapkan klien tidak
mengalami perdarahan dengan kriteria hasil:
Bleeding
- Klien tidak mengalami perdarahan gusi, ataupun pada organ tubuh lainnya (5
= none)
- Tidak terjadi penurunan kadar hemoglobin (5 = none)
- Tidak terjadi penurunan hematocrit (5 = none)
- Tidak terjadi penurunan tekanan darah (5 = none)
Intervensi:
Bleeding Precaution:
a. Monitor kemungkinan terjadinya perdarahan pada klien
Rasional: dengan menilai kerentanan terhadap perdarahan dapat
mengevaluasi kondisi klien sehingga dapat menghindari faktor risiko
perdarahan.
b. Monitor tanda-tanda vital klien
Rasional: perdarahan dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada tanda-
tanda vital
c. Lindungi klien dari kemungkinan terjadinya trauma yang dapat
mengakibatkan perdarahan
Rasional: mengindari trauma sehingga dapat menghindari terjadinya
perdarahan pada klien
Dialysis access Maintenance:
a. Monitor kateter exit site
Rasional: mengevaluasi kondisi exit site dari adanya tanda-tanda
perdarahan sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat
b. Monitor area akses penusukan dari perdarahan, hematoma, dan penurunan
sensasi
Rasional: mengevaluasi kondisi akses penusukan dari adanya tanda-tanda
perdarahan sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat
c. Hindari penekanan mekanik pada akses perifer
Rasional: mencegah terjadinya perdarahan
d. Hindari penekanan mekanik pada ekstremitas dekat sentral kateter dialisis
Rasional: mencegah terjadinya perdarahan
e. Hindari pungsi vena dan pengukuran tekanan darah pada akses perifer
ekstremitas
Rasional: mencegah terjadinya perdarahan
c. Post HD
1) PK : syok hipovolemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x 15 menit diharapkan perawat
dapat meminimalkan komplikasi syok hipovelemia dengan kriteria hasil:
a. Fluid balance
- Tekanan darah normal (120/80 mmHg) (skala 5=not compromised)
- Denyut nadi normal (60-100x/menit) (skala 5= not compromised)
- Tercapai keseimbangan intake dan output cairan (skala 5= not
compromised)
- Turgor kulit elastis (skala 5= not compromised)
- Membran mukosa lembab (skala 5= not compromised)
- Hematokrit normal (skala 5= not compromised)
- Tidak ada hipotensi orthostatik (skala 5= none)
b. Cardiopulmonary status
- Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg) (skala 5= no deviation from
normal range)
- Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg) (skala 5= no deviation from
normal range)
- Respiratory rate normal (16-20x/mnt) (skala 5= no deviation from normal
range)
- Kedalaman dari inspirasi normal (skala 5= no deviation from normal
range)
- Haluaran urine seimbang dengan input (skala 5= no deviation from normal
range)
- Tidak terjadi intoleransi aktivitas (skala 5= none)
- Tidak ada sianosis (skala 5= none)
Intervensi:
Shock Management:
a. Monitor tanda-tanda vital, tekanan darah ortostatik, status mental, urine
output
Rasional: untuk mengevaluasi kondisi klien
b. Kolaborasi pemberian cairan IV kristaloid untuk mempertahankan tekanan
darah
Rasional: memenuhi kebutuhan cairan klien sehingga tidak terjadi syok.
c. Pantau adanya takikardi, bradikardi, penurunan tekanan darah
Rasional: untuk mengevaluasi kondisi klien, syok dapat mengakibatkan
perubahan nadi dan tekanan darah
d. Monitor status cairan meliputi input dan output
Rasional: untuk mengetahui keseimbangan cairan klien
e. Lakukan pemasangan keteter urine
Rasional: untuk memantau output urine klien
2) PK : anemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x 15 menit, perawat dapat
meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
- TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, nadi: 60-100 x/menit, suhu: 36-
37,5°C, RR: 16-20 x/menit).
- Konjungtiva berwarna merah muda.
- Hb klien dalam batas normal (12-16 g/dL).
- Mukosa bibir berwarna merah muda.
- Klien tidak mengalami lemas dan lesu.
Intervensi:
Mandiri:
1. Pantau tanda dan gejala anemia yg terjadi.
Rasional: memantau gejala anemia klien penting dilakukan agar tidak terjadi
komplikasi yang lebih lanjut.
2. Pantau tanda-tanda vital klien.
Rasional: perubahan tanda vital menunujukkan perubahan pada kondisi klien.
3. Anjurkan klien mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak zat besi
dan vit B12.
Rasional: konsumsi makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam volat
dapat menstimulasi pemebntukan Hemoglobin.
4. Minimalkan prosedur yg bisa menyebabkan perdarahan.
Rasional: prosedur yang menyebabkan perdarahan dapat memperparah
kondisi klien yang mengalami anemia.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian tranfusi darah sesuai indikasi.
Rasional: transfusi darah diperlukan jika kondisi anemia klien buruk untuk
menambah jumlah darah dalam tubuh
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis akibat perubahan
metabolisme ditandai dengan klien mengeluh merasa nyeri pada otot, klien
mengeluh nyeri terasa seperti kram otot, klien tampak meringis kesakitan,
klien tampak memegangi area nyeri, takikrdi, peningkatan TD (> 120/80
mmHg), RR (> 20 kali/menit)
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1.x 15 menit diharapkan nyeri dapat
berkurang, dengan kriteria hasil:
Pain level (level nyeri):
- Klien tidak melaporkan adanya nyeri (skala 5 = none)
- Klien tidak merintih ataupun menangis (skala 5 = none)
- Klien tidak menunjukkan ekspresi wajah terhadap nyeri (skala 5 = none)
- Klien tidak tampak berkeringat dingin (skala 5 = none)
- RR dalam batas normal (16-20 x/mnt) (skala 5 = normal)
- Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt) (skala 5 = normal)
- Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg) (skala 5 = normal)
Pain control (kontrol nyeri):
- Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen
nyeri non farmakologis (skala 5 = consistently demonstrated)
- Klien dapat menggunakan analgesik sesuai indikasi (skala 5 = consistently
demonstrated)
- Klien melaporkan nyeri terkontrol (skala 5 = consistently demonstrated)
Intervensi:
Pain management (manajemen nyeri):
a. Lakukan pengkajian yang komprehensif terhadap nyeri, meliputi lokasi,
karasteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, serta faktor-
faktor yang dapat memicu nyeri.
Rasional: pengkajian berguna untuk mengidentifikasi nyeri yang dialami klien
meliputi lokasi, karasteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri serta
faktor-faktor yang dapat memicu nyeri klien sehinggga dapat menentukan
intervensi yang tepat.
b. Observasi tanda-tanda non verbal atau isyarat dari ketidaknyamanan.
Rasional: dengan mengetahui rasa tidak nyaman klien secara non verbal maka
dapat membantu mengetahui tingkat dan perkembangan nyeri klien.
c. Gunakan strategi komunikasi terapeutik dalam mengkaji pengalaman nyeri
dan menyampaikan penerimaan terhadap respon klien terhadap nyeri.
Rasional: membantu klien dalam menginterpretasikan nyerinya.
d. Kaji tanda-tanda vital klien.
Rasional: peningakatan tekanan darah, respirasi rate, dan denyut nadi
umumnya menandakan adanya peningkatan nyeri yang dirasakan.
e. Kontrol faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti
suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
Rasional: membantu memodifikasi dan menghindari faktor-faktor yang dapat
meningkatkan ketidaknyamanan klien.
f. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri non farmakologi, (mis: teknik terapi
musik, distraksi, guided imagery, masase dll).
Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien, serta membantu
klien untuk mengontrol nyerinya.
g. Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien.
Intervensi :
Nausea management (manajemen mual)
a. Dorong klien untuk mempelajari strategi untuk memanajemen mual
Rasional: Dengan mendorong klien untuk mempelajari strategi manajemen
mual, akan membantu klien untuk melakukan manajemen mual secara
mandiri.
b. Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan, factor frekuensi, presipitasi
yang menyebabkan mual.
Rasional: Penting untuk mengetahui karakteristik mual dan faktor-faktor
yang dapat menyebabkan atau meningkatkan mual muntah pada klien dan
membantu dalam memberikan intervensi yang tepat.
c. Kaji riwayat diet meliputi makanan yang tidak disukai, disukai, dan budaya
makan.
Rasional: Untuk mengetahui makanan yang dapat menurunkan dan
meningkatkan nafsu makan klien selama tidak ada kontra indikasi.
d. Kontrol lingkungan sekitar yang menyebabkan mual.
Rasional: Faktor-faktor seperti pemandangan dan bau yang tidak sedap saat
makan dapat meningkatkan perasaan mual pada klien.
e. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi mual (relaksasi, guide
imagery, distraksi).
Rasional: Teknik manajemen mual nonfarmakologi dapat membantu
mengurangi mual secara nonfarmakologi dan tanpa efek samping.
f. Dukung istirahat dan tidur yang adekuat untuk meringankan nausea.
Rasional: Tidur dan istirahat dapat membantu klien lebih relaks sehingga
mengurangi mual yang dirasakan.
g. Ajarkan untuk melakukan oral hygine untuk mendukung kenyaman dan
mengurangi rasa mual.
Rasional: Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan
menimbulkan mual.
h. Anjurkan untuk makan sedikit demi sedikit.
Rasional: Pemberian makan secara sedikit demi sedikit baik untuk
mengurangi rasa penuh dan enek di perut.
i. Pantau masukan nutrisi sesuai kebutuhan kalori.
Rasional: Kebutuhan kalori perlu dipertimbangkan untuk tetap
mempertahankan asupan nutrisi adekuat.
5) PK : pruritus
Setelah diberikan asuhan keerawatan selama 1 x 15 menit diharapkan perawat
dapat meminimalkan komplikasi pruritus dengan kriteria hasil:
- Klien mengatakan gatal berkurang
- Klien tidak menggaruk anggota tubuh yang gatal
- Klien dapat melakukan manajemen pruritus.
Intervensi:
Pruritus Management:
a. Kaji penyebab pruritus
Rasional: agar dapat menentukan penanganan yang tepat dalam mengatasi
pruritus.
b. Lakukan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kerusakan kulit (seperli
lesi, blister, abrasi, dan ulkus)
Rasional: untk mengevaluasi adanya kerusakan kulit akibat garukan
c. Aplikasikan balutan pada tangan atau siku selama tidur untuk membatasi
garukan yang tidak terkontrol
Rasional: mencegah garukan tidak terkontrol sehingga mencegah
kerusakan kulit
d. Gunakan lotion sesuai indikasi
Rasional: untuk melembabkan kulit sehingga mengurangi gatal
e. Kolaborasi pemberian antipruritus
Rasional: mengurangi gatal
f. Kolaborasi pemberian antihistamin
Rasional: mencegah pembentukan histamin sehingga dapat mengurangi
gatal
g. Instruksikan pada klien untuk menghindari penggunaan sabun yang
menggunakan parfum atau minyak
Rasional: mencegah iritasi pada kulit
h. Instruksikan klien untuk menggunakan pakaian yang dapat menyerap
keringat
Rasional: mengurangi gatal akibat keringat berlebih
i. Instruksikan pasien untuk mempertahankan kuku tetap pendek
Rasional: mencegah timbulnya luka dan infeksi akibat garukan
j. Instruksikan klien untuk mengurangi hal-hal yang dapat menyebabkan
keringat berlebih.
Rasional: mengurangi gatal akibat keringat berlebih
k. Intruksikan klien agar tidak menggaruk bagian tubuh yang gatal, klien
hanya boleh menggunakan telapak tangan untuk menggosok secara halus
area sekitar.
Rasional: mencegah timbulnya luka dan infeksi akibat garukan
4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai intervensi
5. EVALUASI
Pre HD
Diagnosa Evaluasi
Keperawatan
PK : Uremia Perawat dapat meminimalkan komplikasi uremia, dengan kriteria
hasil:
- Tekanan darah dalam batas normal
- Kadar kreatinin serum dalam batas normal
- BUN dalam batas normal
- Tidak ada mual
- Tidak ada muntah
- Tidak ada pruritus
- Tidak ada kelemahan
- Tidak ada edema
- Tidak ada kram otot
Ansietas Ansietas berkurang, dengan kriteria hasil:
berhubungan Tidak ada kecemasan
dengan krisis Tidak ada ketakutan
situasional Tidak ada kepanikan
akibat prosedur Mampu mengurangi penyebab cemas
terapi Mengontrol respon cemas
Intra HD
Diagnosa Evaluasi
Keperawatan
Risiko perdarahan Tidk terjadi perdarahan, dengan kriteria hasil:
berhubungan - Klien tidak mengalami perdarahan gusi, ataupun pada
dengan efek organ tubuh lainnya
samping pengobatan - Tidak terjadi penurunan kadar hemoglobin
yaitu penggunaan - Tidak terjadi penurunan hematokrit
obat antikoagulan - Tidak terjadi penurunan tekanan darah
Post HD
Diagnosa Evaluasi
Keperawatan
PK : syok Perawat dapat meminimalkan komplikasi syok hipovolemia, dengan
hipovolemia kriteria hasil:
- Tekanan darah normal (120/80 mmHg)
- Denyut nadi normal (60-100x/menit)
- Tercapai keseimbangan intake dan output cairan
- Turgor kulit elastis
- Membran mukosa lembab
- Hematokrit normal
- Tidak ada hipotensi orthostatik
- Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg)
- Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg)
- Respiratory rate normal (16-20x/mnt)
- Kedalaman dari inspirasi normal
- Haluaran urine seimbang dengan input
- Tidak terjadi intoleransi aktivitas
- Tidak ada sianosis
PK : anemia Perawat dapat meminimalkan komplikasi anemia, dengan kriteria
hasil:
- TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, nadi: 60-100
x/menit, suhu: 36-37,5°C, RR: 16-20 x/menit).
- Konjungtiva berwarna merah muda.
- Hb klien dalam batas normal (12-16 g/dL).
- Mukosa bibir berwarna merah muda.
- Klien tidak mengalami lemas dan lesu
Nyeri akut Nyeri berkurang, dengan kriteria hasil:
berhubungan - Klien tidak melaporkan adanya nyeri
dengan agen - Klien tidak merintih ataupun menangis
injury biologis - Klien tidak menunjukkan ekspresi wajah terhadap nyeri
akibat - Klien tidak tampak berkeringat dingin
perubahan - RR dalam batas normal (16-20 x/mnt)
metabolisme - Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt)
- Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)
- Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik
manajemen nyeri non farmakologis
- Klien dapat menggunakan analgesik sesuai indikasi
- Klien melaporkan nyeri terkontrol
Nausea Nausea berkurang, dengan kriteria hasil:
berhubungan - Klien mengatakan tidak ada mual
dengan - Klien mengatakan tidak muntah
peningkatan - Tidak ada peningkatan sekresi saliva
asam lambung - Keinginan klien untuk makan meningkat
akibat - Intake makanan adekuat (porsi makan yang disediakan habis)
perubahan - Intake cairan adekuat
metabolisme
PK : pruritus - Klien mengatakan gatal berkurang
- Klien tidak menggaruk anggota tubuh yang gatal
- Klien dapat melakukan manajemen pruritus
DAFTAR PUSTAKA
Davids, M.R.,2007, Chronic Kidney Disease the Silent Epidemic, CME, vol 25, no 28,
(online) (availabl: http://www.sabinet.co.za/abstracts/m_cme/m_cme_v25_n8_a6.xml,
diakses 13 Februari 2015)
Himmelfarb dan Sayegh. 2010. Chronic Kidney Disease, Dialysis, and Transplantation: A
Companion to Brenner and Rector’s The Kidney. USA: Saunders
Johnson, Marion, dkk. 2008. IOWA Intervention Project Nursing Outcomes Classifcation
(NOC), Fourth edition. USA : Mosby
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4. Jakarta.
EGC. 1995.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Suwitra, K., 2006. Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo,A.W., editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK-UI
Tisher, C. C. & Wilcox, C. S., 1997, Buku saku nefrologi. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Widiana R.I.G., 2006, Prevalence of Chronic Renal Disease in Bali: Rural and Urban
Distribution, (Abstrak), Denpasar: Universitas Udayana