Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
KONJUNGTIVITIS GONOBLENORE
PEMBIMBING:
dr. Irma A. Pasaribu, Sp.M
Disusun Oleh:
Alexander Tonny Limono, S.Ked 2008.04.0.0083
Loelita Marcelia L, S.Ked 2008.04.0.0085
Andre Eka Putra P, S.Ked 2008.04.0.0087
Mengetahui,
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan YME karena berkat karuniaNya kami dapat
menyelesaikan referat Ilmu Kesehatan Mata tentang Konjungtivitis Gonoblenore.
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dokter muda dan juga mahasiswa
kedokteran yang lain mengenai Ambliopia, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan serta pengetahuan para dokter muda dan mahasiswa kedokteran dalam
menangani Konjungtivitis Gonoblenore.
Referat ini masih jauh dari sempurna, namun kami berharap dapat membantu
memperluas pengetahuan dokter muda dan mahasiwa kedokteran. Sekiranya ada usulan-
usulan untuk dapat meningkatkan dan memperbaiki referat ini.
Kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas bimbingan dari dr. Irma A.
Pasaribu, Sp.M sebagai pembimbing kami sehingga referat ini dapat terselesaikan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................iii
BAB 1 ANATOMI DAN HISTOLOGI KONJUNGTIVA .................................................... 1
1.1 Anatomi Konjungtiva ............................................................................................ 1
1.2 Histologi Konjungtiva ........................................................................................... 3
1.3 Kelenjar Lakrimal Asesorius ................................................................................. 5
1.4 Vaskularisasi Konjungtiva .................................................................................... 6
1.5 Sistem Limfatik Konjungtiva ................................................................................ 7
1.6 Inervasi Konjungtiva ............................................................................................. 8
BAB 2 KONJUNGTIVITIS ................................................................................................. 9
2.1 Definisi ................................................................................................................... 9
3.1 Etiologi ...................................................................................................................10
BAB 3 KONJUNGTIVITIS GONOBLENORE...................................................................11
3.1 Definisi ...................................................................................................................11
3.2 Etiologi....................................................................................................................11
3.3 Port de Entree..........................................................................................................11
3.4 Patologi ..................................................................................................................11
3.5 Klasifikasi ..............................................................................................................12
3.6 Patofisiologi............................................................................................................12
3.7 Diagnosis ................................................................................................................14
BAB 4 MANAJEMEN .........................................................................................................16
4.1 Terapi Profilaksis....................................................................................................16
4.2 Terapi Kuratif..........................................................................................................17
4.3 Pengobatan Berdasarkan ada atau tidaknya penyulit pada kornea.........................16
BAB 5 KOMPLIKASI, PROGNOSIS, DAN PREVENSI....................................................21
5.1 Komplikasi .............................................................................................................21
5.2 Prognosis ................................................................................................................21
5.3 Prevensi ..................................................................................................................21
BAB 6 KESIMPULAN .........................................................................................................22
BAB 7 PENUTUP ................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................24
iii
BAB 1
ANATOMI DAN HISTOLOGI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang melapisi bagian
posterior palpebra (konjungtiva palpebra) dan bagian anterior sklera (konjungtiva bulbi).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (Mucocutaneus junction) dan
dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu 6 :
1
1.1.3 Konjungtiva Forniks
Dari permukaan dalam palpebra, konjungtiva palpebra melanjutkan diri ke
arah bola mata membentuk dua resesus, yaitu forniks superior dan inferior. Forniks
superior terletak kira – kira 8 – 10 mm dari limbus dan forniks inferior terletak kira –
kira 8 mm dari limbus. Pada bagian medial, struktur ini menjadi karankula dan plika
semilunaris. Di sisi lateral, forniks terletak kira – kira 14 mm dari limbus. Saluran
keluar dari glandula lakrimal bermuara pada bagian lateral forniks superior.
Konjungtiva forniks superior dan inferior melekat longgar dengan pembungkus otot
rekti dan levator yang terletak di bawahnya. Kontraksi otot – otot ini akan menarik
konjungtiva sehingga ia akan ikut bergerak saat palpebra maupun bola mata bergerak.
Perlekatan yang longgar tersebut juga akan memudahkan terjadinya akumulasi cairan
6
.
2
Konjungtiva bulbar dan fornix : memiliki tiga lapisan epitel. Lapisan
superfisial adalah sel slindris, kemudian diikuti oleh sel polihedral dan lapisan
paling dalam adalah sel epitel kuboid.
b. Lapisan adenoid
Disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat halus. Lapisan adenoid ini
tidak berkembang sampai setelah bayi umur 3 atau 4 bulan. Hal ini menjelaskan
mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papilar bukan folikular 6.
c. Lapisan fibrous
Terdiri dari kolagen dan serat elastis. Dimana lapisan ini lebih tebal dibandingkan
lapisan adenoid, kecuali pada daerah tarsal dari konjungtiva (sangat tipis). Lapisan ini
mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. Menyatu dengan dasar dari
kapsul tenon (fascia bulbi) di daerah konjungtiva bulbi 6.
Substansia propia pada konjungtiva mengandung sel mast (6000/mm3), sel plasma,
limfosit dan netrofil yang memegang peranan dalam respon imun seluler. Jenis limfosit yang
paling banyak ditemukan adalah sel T, yaitu kira – kira 20 kali lebih banyak dibanding sel B.
Selain itu, ditemukan pula IgG, IgA, dan IgM yang terletak ekstraseluler 6.
Permukaan epitel konjungtiva ditutupi oleh mikrovili. Mikrovili dibentuk oleh
penonjolan sitoplasma yang menonjol ke permukaan sel epitel. Ukuran diameter dan tinggi
mikrovili kira – kira 0,5 µm dan 1µm. Fungsi mikrovili selain untuk memperluas daerah
absorbsi juga untuk menjaga stabilitas dan integritas tear film 6.
3
Sel goblet diketahui berperan dalam sekresi musin hingga 2,2 µL mukus dalam
sehari. Mukus ini penting dalam menjaga integritas permukaan okular, karena dapat
melicinkan dan melindungi sel epitel 6.
Sel goblet ditemukan pada lapisan tengah dan superfisial epitel dan merupakan
15% dari sel epitel permukaan manusia. Sel ini dapat ditemukan di forniks inferior
bagian nasal, tengah dan sedikit di daerah palpebra. Jarang ditemukan di konjungtiva
bulbi dan tidak ada di kornea. Total populasi sel goblet berkisar antara 1000 hingga
56.000 per mm2 permukaan konjungtiva, tergantung pada ada atau tidaknya proses
inflamasi pada daerah tersebut. Sebagian besar sel goblet melekat pada membrana
basalis oleh suatu tangkai sitoplasmik yang tipis. Sel goblet melekat dengan sel epitel
tetangganya oleh dermosom 6.
4
Gambar 2. Bagian – bagian konjungtiva dan kelenjarnya 6
Pembuluh darah okular berasal dari arteri oftalmika, yang merupakan cabang dari
arteri karotis interna. Arteri oftalmika bercabang menjadi arteri retina sentralis, arteri siliaris
posterior dan beberapa arteri siliaris anterior.
Vaskularisasi konjungtiva berasal dari 3 sumber, yaitu: (1) Arkade perifer dari
palpebra, (2) Arkade marginal dari palpebra, (3) arteri siliaris anterior. Konjungtiva palpebra
dan forniks di suplai oleh cabang dari arkade marginal dan perifer dari palpebra. Sedangkan
konjungtiva bulbi di suplai oleh dua pembuluh darah yaitu arteri konjungtiva posterior
(merupakan cabang dari arteri palpebra) dan arteri konjungtiva anterior (merupakan cabang
dari arteri siliaris anterior). Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior beranastomose
dengan arteri konjungtiva anterior untuk membentuk plexus pericorneal 6.
5
Vena – vena konjungtiva lebih banyak dibandingkan arteri konjungtiva. Diameter
vena – vena ini bervariasi dari 0,01 hingga 0,1 mm. Drainase utama dari konjungtiva tarsalis
dan konjungtiva bulbi langsung mengarah ke vena – vena palpebralis dan beberapa dari
sekililing kornea ke vena siliaris anterior 5.
Konjungtiva memilki sistem limfatik yang kaya anstomose. Sistem limfatik pada
konjungtiva berperan dalam reaksi imunologis yang terjadi pada penyakit okular dan pasca
pembedahan. Aliran limfatik yang berasal dari lateral akan mengarah ke kelenjar limfe
preaurikular, sementara aliran limfatik yang berasal dari medial akan mengarah ke kelenjar
limfe submandibular. Pembeluh limfe konjungtiva dibentuk oleh 2 pleksus, yaitu:
a. Pleksus Superfisial
Pleksus ini terdiri atas pembuluh – pembuluh kecil yang terletak di bawah kapiler
pembuluh darah. Pleksus ini menerima aliran limfatik dari area limbus.
b. Pleksus Profunda
Pleksus ini terdiri dari pembuluh – pembuluh yang lebih besar yang terletak di
substansia propia 6.
1.6 Inervasi konjungtiva
Inervasi sensoris konjungtiva bulbi berasal dari nervus siliaris longus, yang
merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, cabang dari divisi oftalmikus nervus trigeminus.
Inervasi dari konjungtiva palpebra superior dan konjungtiva forniks superior berasal dari
cabang frontal dan lakrimal divisi oftalmikus nervus trigeminus. Inervasi dari konjungtiva
palpebra inferior dan konjungtiva forniks inferior berasal dari cabang lakrimal divisi
6
oftalmikus nervus trigeminus pada daerah lateral dan dari nervus infraorbital dari divisi
maksila nervus trigeminus 6.
BAB 2
KONJUNGTIVITIS
7
2.1 Definisi
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian
berwarna putih padamata dan permukaan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis
terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan
biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis Konjungtivitis dapat hilang dengan
sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan 3.
Pada literatur lain disebutkan inflamasi konjungtiva atau konjungtivitis didefinisikan
sebagai hiperemi pada konjungtiva yang kadang disertai dengan sekret atau discharge cair,
mukoid, mukopurulen, atau purulen 6.
Konjungtivitis dapat mengenai pada usia bayi maupun dewasa. Konjungtivitis
pada bayi baru lahir, bisa mendapatkan infeksi gonokokus pada konjungtiva dari ibunya ketikamelewati
jalan lahir. Karena itu setiap bayi baru lahir mendapatkan tetes mata (biasanya perak nitrat,
povidin iodin) atau salep antibiotik (misalnya eritromisin) untuk membunuh bakteri yang bisa
menyebabkan konjungtivitis gonokokal. Pada usia dewasa bisamendapatkan konjungtivitis
melalui hubungan seksual (misalnya jika cairan semen yangterinfeksi masuk ke dalam mata).
Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12 sampai 48 jam setelah
infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika tidak diobati bisa terbentuk ulkus kornea,
abses, perforasi mata bahkan kebutaan. Untuk mengatasi konjungtivitis gonokokal bisa
diberikan tablet, suntikan maupun tetes mata yang mengandung antibiotik 3.
Pada referat ini akan dibahas lebih dalam mengenai konjungtivitis Gonoblenore.
Konjungtivitis Gonoblenore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang disertai
sekret purulen, yaitu Adult purulent conjungtivitis pada dewasa, Opthalmia neonatorum pada
bayi berusia 1-3 hari, dan conjungtivitis gonore infantum pada bayi berusia lebih dari 10 hari
3
.
2.2 Etiologi
2. Konjungtivitis Alergika
3. Konjungtivitis Irritattive
8
4. Keratokonjungtivitis disertai dengan penyakit kulit dan membrane mukosa
5. Konjungtiva traumatika
BAB 3
KONJUNGTIVITIS GONOBLENORE
3.1 Definisi
Konjungtivitis Gonoblenore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang
disertai sekret purulen, yaitu adult purulent conjungtivitis pada dewasa, opthalmia
neonatorum pada bayi berusia 1-3 hari, dan konjungtivitis gonore infantum pada bayi berusia
lebih dari 10 hari 3.
3.2 Etiologi
Konjungtivitis Gonoblenore kebanyakan mengenai orang dewasa terutama laki-laki,
organisme utama yang menyebabkan penyakit ini adalah Gonococcus, namun terkadang pada
beberapa kasus kuman yang ditemukan adalah Staphylococcus aureus atau Pneumococcus 6.
9
Konjungtivitis Gonoblenore menular melalui kontak genital ke mata 5
3.4 Patologi
1. Vascular respone . Hal ini dicirikan dengan adanya kongesti dan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah konjuctiva yang berhubungan denga adanya
proliferasi dari kapiler
2. Cellular response. Terdapat bentukan eksudar dari PMN dan sel-sel inflamasi
lainkedalam substantia propia dari konjungtiva
3. Conjuctival tissue response. Konjunctiva menjadi edema. Terdapat degenerasi epitel
superficial, menjadi mudah lepas dan deskuamasi. Selain itu terdapat proliferasi
lapisan basal dari conjunctiva dan peningkatan mucin yang dihasilkan oleh sel-sel
sekresi goblet
4. Conjunctival discharge. Hal ini terdiri dari air mata, mukus, sel-sel inflamasi,
deskuamasi epitel, fibrin dan bakteri. Jika inflamasinya sangat parah, diaphedesis dari
sel darah merah dapat terjadi dan discharge dapat diwarnai oleh darah 5
3.5 Klasifikasi
10
3.6 Patofisiologis
Terdapat 3 stadium
1. Stage of infiltration. Fase ini berakhir dalam 4-5 hari dan dicirikan sbb:
a. Bola mata lemah dan nyeri
b. Konjungtiva merah terang
c. Palpebra bengkak dan tegang
d. Discharge berair atau sanguinous
e. Pembesaran kelenjar limfe pre-aurikula
2. Stage of blenorrhoea. Fase ini dimulai pada hari kelima, berakhir dalam beberapa
hari dan dicirikan sbb:
a. Purulen yang jelas, discharge yang tebal, mengalir ke pipi
b. Gejala lain meningkat, kecuali tegangan palpebra menurun
3. Stage of slow healing. Selama fase ini, nyeri dan bengkak menurun. Konjungtiva
masih merah, lunak dan menebal. Discharge mulai berkurang secara perlahan 5
Penularan vertikal dari ibu merupakan rute penularan ke bayi. Kedua orang
tua, bagaimanapun, harus diskrining untuk infeksi STD. Sebenarnya permukaan
okular dilengkapi dengan fitur anatomi dan fungsional unik yang mencegah infeksi
bakteri di mata sehat, baik pada bayi dan orang dewasa. Imunoglobulin, lisozim,
complement, dan beberapa enzim antibakteri dapat ditemukan di air mata. “Tear
Film” yang terus menerus didaur ulang menciptakan lingkungan yang membuatnya
sangat sulit untuk bakteri dapat berkembang. Pada dasarnya, sulit untuk terjadinya
invasi oleh N.gonorrhea. Sayangnya, bakteri dapat invasi pada saat fungsi barier
rusak. Selain itu eksotoksin bakteri seperti yang ditemukan di Streptococcus dan
spesies Staphylococcus dapat menyebabkan nekrosis 5.
11
epitel. Hal tersebut diatas dimungkinkan oleh karena N. Gonorhea memiliki kapsul
antiphagocytic seperti permukaan dengan muatan negatif, dan hanya fimbriated
(piliated) sel (yang dikenal sebagai jenis koloni T1 & T2) yang virulen. Sifat
antiphagocytic disebabkan oleh protein membran luar (sebelumnya Protein I, II, III
&), Por (protein Porin) mencegah fusi phagolysosome atau fagositosis dan dengan
demikian mempertahankan kelangsungan hidup intraseluler. Opa (protein opacity)
memediasi pernempelan kuat ke sel epitel dan invasi selanjutnya ke dalam sel 5. Dan
Rmp (reduction-modifiable protein) melindungi antigen permukaan dari antibodi
bakterisidal (Por protein, LOS).
3.7 Diagnosis
12
3.8 Diagnosis Banding
1. Konjungtivitis karena trauma kimia akibat toksik atau reaksi alergi dari silver nitrate
atau antibiotik topikal yang diberikan sesaat setelah bayi lahir
2. Konjungtivitis viral, termasuk keratokonjungtivitis HSV
3. Obstruksi duktus nasolakrimalis
BAB 4
PENATALAKSANAAN
13
3. Evaluasi Postnatal
Berikan salep mata Tetrasiklin 1 % atau Erhytromycin 0,5 % atau
solutio Silver Nitrate 1 % (Crede’s Method) pada kedua mata bayi
segera setelah persalinan
Berikan injeksi Ceftriaxone 50 mg/kg IM atau IV (maksimal 125
mg) pada bayi lahir dari ibu penderita gonorrhea yang tidak di
terapi 6.
4.2 Terapi Kuratif
Sebelum dilakukan terapi harus dikonfirmasi infeksi yang terjadi dengan
pemeriksaan sitologi dan kultur swab dengan uji sensitivitas. Jika hasilnya didapatkan
adanya infeksi gonococcal maka dilakukan :
1. Terapi Topikal :
a. Irigasi dengan menggunakan larutan saline (saline lavage) hingga
bersih dari sekret
b. Berikan salep mata Bacitracin 4 kali/hari, karena pada banyak kasus
terjadi resistensi terhadap terapi topical dengan menggunakan
Penicillin. Namun pada kasus dengan uji sensitivitas didapatkan
sensitif terhadap Penicillin, maka dapat diberikan tetes mata Penicillin
5000 – 10000 unit /ml, diberikan setiap lima menit selama 30 menit.
c. Jika infeksi mengenai bagian kornea maka diberikan salep mata
Atrophine Sulphate
2. Terapi Sistemik :
Neonatus dengan Gonococcal Opthalmia harus diterapi selama 7 hari
dengan salah satu dari regimen pengobatan berikut :
a. Ceftriaxone 75 – 100 mg/kg/hari IV atau IM 4 kali/hari
b. Cefotaxime 100 – 150 mg/kg/hari IV atau IM, setiap 12 jam
c. Ciprofloxacin 10 – 20 mg/kg/hari atau Norfloxacin 10 mg/kg/hari
d. Jika dari hasil uji sensitivitas didapatkan sensitive terhadap Penicillin
maka dapat diberikan crystalline benzyl penicillin G 50000 unit untuk
neonatus aterm dan dengan berat normal. Untuk neonatus preterm atau
BBLR diberikan 20000 unit secara IM 2 kali/hari selama 3 hari 6.
14
1. Gonoblenore tanpa penyulit pada kornea
a. Topikal :
Sebelum diberikan salep atau tetes mata, secret harus dibersihkan terlebih dahulu
dengan larutan saline setiap 15 menit
Salep mata Tetracycline HCl 1 %, Basitrasin, atau Ciprofloxacin 0,3 % diberikan
minimal 6 kali sehari pada neonatus dan diberikan sedikitnya tiap 2 jam sekali pada
penderita dewasa, dilanjutkan 5 kali hingga terjadi resolusi.
Dapat pula dengan pemberian Penisilin tetes mata dalam bentuk larutan Penisilin G
10000 – 20000 unit/ml setiap menit selama 30 menit. Dilanjutkan pemberian salep mata
penisilin setiap 1 jam selama 3 hari.
b. Sistemik :
Pada orang dewasa diberikan Penisilin G 4,8 juta IU IM dalam dosis tunggal
ditambah dengan probenecid 1 gram peroral, atau Ampicillin dosis tunggal 3,5 gram
peroral. Pada neonatus dan anak-anak, injeksi Penicillin diberikan dengan dosis 50.000-
100.000 IU/kgBB.
Bila penderita telah resisten atau tidak tahan dengan obat-obatan derivat Penicillin
bisa diberikan Cefriakson 25-50 mg/Kg x 1 dosis, Thiamphenicol 3,5 gram dosis tunggal,
atau Tetracycline 1,5 gram dosis initial dilanjutkan dengan 4 kali 500 mg/hari selama 4
hari.
Setiap hari sekret diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui apakah masih
ditemukan diplokokus dalam secret. Pengobatan dihentikan jika pada pemeriksaan
mikroskopis yang dilakukan 3 kali berturut-turut negatif. Apabila ada komplikasi kornea,
maka biasanya sembuh setelah 5 hari. Apabila ada komplikasi kornea, konjungtivitis
gonore sembuh lebih lama.
15
Obat-obat topikal lain yang dapat diberikan ialah Vancomycin, Cephaloridin,
Gentamycin, Tobramycin, Carbenicillin dan Polymyxin B.
b. Sistemik :
Pengobatan sistemik diberikan seperti pada Gonoblenore tanpa penyulit (ulkus
kornea). Selain obat-obat spesifik untuk Neisseria gonorrhoe dapat diberikan siklopegik
(Scopolamin 0,25 %) 2-3 kali setiap hari untuk menghilangkan nyeri karena spasme siliar
dan mencegah sinekia. Apabila ada bahaya perforasi yang mengancam (descemetocele)
dapat dilakukan operasi flap konjungtiva “partial conjunctiva bridge flap”.
Literatur lain menyebutkan pengobatan konjungtivitis gonokokal terdiri dari
Penisilin G 100.000 Unit / kg/hari selama 1 minggu. N. Gonorrhea isolat yang resisten
terhadap penisilin banyak di daerah perkotaan di Amerika Serikat. Di Afrika, tingkat
produksi pencillinase N.Gonorrhea kisaran 18-57% dan banyak bagian lain dunia (50%
sampai 60%). Karena itu generasi ketiga cephalosporin digunakan selama 7 hari di daerah
di mana memproduksi pencillinase strain endemik. Sebuah dosis tunggal ceftriaxone 50
mg/kg sebagai dosis tunggal (maksimum 125 mg) adalah sangat efektif dan
direkomendasikan oleh pedoman WHO. Obat alternatif meliputi spectinomycin 25 mg/kg
(maksimum 75 mg) sebagai satu dosis dan kanamycin IM 25 mg/kg (maksimum 75 mg).
Ibu yang terinfeksi juga harus diobati dengan ceftriaxone dosis tunggal (25-50 mg/kg).
Mata bayi harus sering dialiri dengan normal saline untuk menghilangkan kotoran.10
Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksan mikroskopik yang dibuat setiap
hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif. Pada pasien yang resisten terhadap
penicillin dapat diberikan cefriaksone atau Azithromycin (Zithromax) dosis tinggi 10.
Terapi dengan pemberian kortikosteroid baik topikal maupun sistemik sangat
tidak disarankan bahkan termasuk kontraindikasi pada konjungtivitis gonoblenore.
Karena kortikosteroid memiliki efek samping utama yaitu menekan fungsi imunitas
individu terutama pada bayi yang perkembangan sistem imunnya belum sempurna dapat
mengakibatkan infeksi sekunder dikemudian hari jika kortikosteroid diberikan dalam
dosis yang besar ataupun jangka panjang. Faktor yang lain kortikosteroid dapat
menyebabkan penipisan dari lapisan kornea sehingga dapat mempercepat terjadinya
komplikasi ulkus kornea akibat N.gonorrhea. Selain itu penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dapat menyebabkan rebound phenomenon yang makin memperparah inflamasi
setelah penghentian penggunaan kortikosteroid 10.
4.4 Konseling
16
Konseling adalah hal yang sangat penting untuk semua konjungtivitis yang
bersifat menular, untuk meminimalisir penularan maka kita harus memutus rantai
penularannya, yaitu melalui cuci tangan setelah kontak dengan mata yang infeksius,
penggunaan kontrasepsi untuk kontak seksual yang beresiko, menggunakan alat
pelindung diri jika berada pada lingkungan yang infeksius, baik melalui kontak, droplet,
maupun airborne 2.
Jika konjungtivitis berkaitan dengan Penyakit Menular Seksual (PMS),
penatalaksanaan pada sexual partner juga harus dilakukan untuk meminimlisir
penyebaran penyakit. Penderita dan pasangannya harus dirujuk ke dokter spesialis yang
khusus pada penyakit tersebut. Dokter harus waspada berulangnya kejadian konjungtivitis
gonoblenore jika tidak dilakukan treatment pada orang tuanya, oleh karena itu biasanya
pasangan tidak diperbolehkan untuk hamil sampai keduanya dinyatakan benar-benar
sembuh dari infeksi N.gonorrhea2.
Pada kasus ophthalmia neonatorum karena gonococcus, harus segera dirujuk atau
dibawa ke pediatric dan dokter spesialis mata untuk memperoleh penanganan yang lebih
lanjut baik untuk kesembuhan matanya dan pencegahan terjadinya infeksi yang sistemik
pada neonatus 2.
17
BAB 5
KOMPLIKASI, PROGNOSIS, DAN PREVENSI
5.1 Komplikasi
Ulkus kornea marginal di bagian atas, dimulai dengan infiltrate, kemudian pecah
menjadi ulkus. Ulkus ini mudah perforasi akibat adanya daya lisis kuman
gonococcal (enzim proteolitik). Ulkus kornea marginal dapat terjadi pada stadium I
atau II.
Blefarospasme akibat pembentukan sekret yang banyak
Keratitis yang terjadi tanpa didahului kerusakan epitel kornea akibat penumpukan
sekret dibawah konjungtiva palpebra yang merusak kornea
Ulkus yang mengalami perforasi dapat menyebabkan terjadinya endoftalmitis,
panoftalmitis, dan dapat berakhir dengan kebutaan total
Pada dewasa disebabkan infeksi sendiri dengan penyulit keratitis, ulkus kornea,
arthritis, meningitis, dan sepsis 3,4
5.2 Prognosis
Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis yang cukup, gonoblenore
akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan terlambat atau kurang intensif
maka kesembuhan mungkin dapat disertai dengan sikatriks kornea dan penurunan tajam
pengelihatan yang menetap atau bahkan terjadi kebutaan 3,4.
5.3 Prevensi
1. Skrining dan terapi pada perempuan hamil dengan penyakit menular seksual
2. Secara klasik diberikan obat tetes mata
3. Cara lain yang lebih aman adalah pembersihan mata dengan solusio borisi dan
pemberian salep mata kloramfenikol
4. Operasi Caesar direkomendasikan bila si ibu menderita infeksi vagina berat saat
menjelang kelahiran bayinya
5. Pemberian antibiotik baik Intravena maupun Intramuskular, bisa diberikan pada
neonatus yang lahir dari ibu dengan gonore yang tidak diterapi 3,4.
18
BAB 6
KESIMPULAN
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang melapisi bagian
posterior palpebra (konjungtiva palpebra) dan bagian anterior sklera (konjungtiva bulbi).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (Mucocutaneus junction) dan
dengan epitel kornea di limbus. Infeksi pada konjungtiva dapat menyebabkan terjadinya mata
merah atau pink eye yang menimbulkan berbagai komplikasi.
Konjungtivitis Gonoblenore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang
disertai sekret purulen, yaitu Adult purulent conjungtivitis pada dewasa, Opthalmia
neonatorum pada bayi berusia 1-3 hari, dan conjungtivitis gonore infantum pada bayi berusia
lebih dari 10 hari. Konjungtivitis Gonoblenore kebanyakan mengenai orang dewasa terutama
laki-laki, organisme utama yang menyebabkan penyakit ini adalah Gonococcus, namun
terkadang pada beberapa kasus kuman yang ditemukan adalah Staphylococcus aureus atau
Pneumococcus. Konjungtivitis Gonoblenore menular melalui kontak genital ke mata.
Diagnosis detegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan bakteorologis. Pada
pewarnaan gram menunjukan gram negative, diplococcus “kidney-shapped”. Pengobatan
dilakukan bila ditemukan diplokokus batang intraseluler pada pewarnaan gram dan sangat
dicurigai konjungtivitis gonoblenore.
Pasien harus dirawat dan di isolasi serta diberikan pengobatan dengan sebaik-baiknya.
Pengobatan dibagi menjadi terapi profilaksis dan terapi kuratif. Hasil pengobatan lebih baik
bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis yang cukup, gonoblenore akan sembuh
tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan terlambat atau kurang intensif maka
kesembuhan mungkin dapat disertai dengan sikatriks kornea dan penurunan tajam
pengelihatan yang menetap atau bahkan terjadi kebutaan. Skrining dan terapi pada
perempuan hamil dengan penyakit menular seksual dapat mencegah terjadinya konjungtivitis
gonoblenore.
19
BAB 7
PENUTUP
20
DAFTAR PUSTAKA
3. Ilyas, S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
4. Ilyas, S. 2010. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Edisi 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Kanski, J. 2007. Clinical Ophthalmology a Systemic Approach. 6th ed. Elsevier Ltd.
21