Вы находитесь на странице: 1из 16

MAKALAH

SOSIOLOGI AGAMA
” HUBUNGAN BUDAYA LOKAL DENGAN AGAMA ISLAM “

Dosen Pembimbing :
Saman Hudi, S.Ag.M.Si

Disusun Oleh :
MAHMUDIN
Nim : 1538101018

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM JEMBER


2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur tetap tercurah limpahkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“HUBUNGAN BUDAYA LOKAL DENGAN AGAMA ISLAM” ini. Tak lupa
sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah mengajarkan kepada kita agama islam yang
sempurna sebagai anugarah terbesar bagi seluruh umat manusia di dunia ini.
penyusun sangat bersyukur sekali karena dapat menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas karya ilmiah dengan judul “HUBUNGAN BUDAYA LOKAL
DENGAN AGAMA ISLAM”. Disamping itu, penyusun juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
terealisasikanlah makalah ini.Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga
makalah ini dapat menjadi manfaat bagi para pembacanya. penyusun juga
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca terhadap makalah ini agar
kedepannya dapat di perbaiki. Karena Penulis sadar, makalah ini masih terdapat
banyak kekurangannya.

Jember, 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ............................................................................................................ i


Daftar Isi ....................................................................................................................... ii
Bab I : Pendahuluan .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................... 2
Bab II : Pembahasan ........................................................................................... 2
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Tradisi Selamatan Kematian ........... 3
B. Analisis Terhadap Unsur-unsur yang Terkandung dalam Tradisi
Selamatan Kematian .......................................................................... 7
Bab III : Penutup .................................................................................................. 12
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara baik upacara yang
berkaitan dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri sejak masih dalam
kandungan ibu, lahir, kanak-kanak, remaja dewasa bahkan sampai pada
kematiannya atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas
kehidupan sehari-hari dalam memcari nafkah misalnya, khususnya bagi para
petani, pedagang dan nelayan dan ada juga upacara yang berhubungan dengan
tempat tinggal seperti membangun gedung, meresmikan rumah pindah rumah
dan lain-lain .Seperti pada kematian, orang Jawa umumnya berkeyakinan
bahwa roh nenek moyang (makhluk halus) itu lama-kelamaan akan pergi dari
tempat tinggalnya, dan pada saat-saat tertentu keluarganya akan mengadakan
slametan untuk menandai jarak yang ditempuh roh itu menuju alam roh,
tempatnya yang abadi kelak. Namun roh itu dapat dihubungi oleh kaum
kerabat serta keturunannya setiap saat bila diperlukan.Masyarakat Islam di
Desa Plosorejo pada umumnya mempunyai adat ataupun kebiasaan
mengadakan selamatan orang mati.. Selamatan kematian yang dimaksud,
berdoa bersama-sama untuk mendoakan seseorang yang sudah meninggal,
yang mana selamatan satu akar dengan Islam dan salam yaitu kedamaian atau
kesejahteraan.
Tradisi selamatan kematian merupakan salah satu hasil akulturasi
antara nilai-nilai masyarakat setempat dengan nilai-nilai Islam, di mana
tradisi ini tumbuh subur di kalangan Nahdliyyin. Sementara ormas-ormas
lainnya cenderung memusuhi bahkan berusaha mengikisnya habis-habisan.
Seakan-akan tradisi selamatan kematian menjelma sebagai tanda pembeda
apakah dia warga NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang lainnya. Terjadinya
polemik tentang tahlil tersebut, tentu bisa berdampak pada rusaknya ikatan
kekeluargaan antar muslim, seperti saling menuduh dan menyesatkan
kelompok lainnya, timbulnya rasa curiga yang berlebihan.Tradisi selamatan

1
2

kematian pada masyarakat di Desa Plosorejo ini merupakan salah satu sistem
ritualiatas yang masih dipertahankan secara eksklusif hingga kini.
Tradisi selamatan kematian ini meskipun berangkat dari kristalisasi
nilai-nilai budaya yang sedemikian tradisional, namun pengaruhnya hingga
kini masih sedemikian kuat sekaligus di desa-desa sekitarnya terutama di
Desa Plosorejo itu sendiri. Tradisi selamatan kematian ini sarat dengan
berbagai nilai- nilai atau makna mulai dari hari pertama meninggal hingga
1000 hari dan haulnya, tentu saja seluruh makna yang terkemas dalam suatu
sistem ritualitas kematian tersebut jelas mengandung nilai- nilai filosofis
tertentu yang terkait dengan karakteristik budaya dari daerah yang
bersangkutan. Permasalahan inilah yang menarik penulis untuk mengadakan
penelitian terhadap kandungan unsur-unsur islam dan budaya lokal dalam
tradisi selamtan kematian tersebut, yang akan peneliti tuangkan dalam bentuk
judul :”HUBUNGAN BUDAYHA LOKAL DAN AGAMA ISLAM”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana analisa terhadap pelakasanaan tradisi selamatan kematian?
2. Bagaimana analisa unsur-unsur islam dan budaya lokal yang terkandung
dalam pelaksanaan tradisi selamatan kematian?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Bagaimana analisa terhadap pelakasanaan tradisi
selamatan kematian.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana analisa unsur-unsur islam dan budaya lokal
yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi selamatan kematian.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Tradisi Selamatan Kematian


1. Asal –usul atau dasar orang melaksanakan selamatan kematian
Masyarakat di Desa Plosorejo memandang bahwa asal-usul atau dasar
orang melaksanakan selamatan kematian(tahlilan) berasal dari budaya Islam.
Pendapat ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh salah satu
pemuka agama desa tersebut bahwa budaya selamatan kematian ini dalam
Islam sudah ada sejak zaman dahulu (semasa kehidupan sahabat Ali) yaitu
terdapat dalam aliran muslim syi’ah yang sudah lebih dahulu melakukan
upacara keagamaan tahlilan seperti saat ini. Pendapat tersebut sesuai dengan
apa yang telah disampaikan oleh para wali yang berupa amalan-amalan
seperti: membaca ayat suci Al-Qur’an, tahlil,do’a bersama-sama, yang
kesemuanya itu adalah amalan yang dilakukan oleh orang Islam yang
merupakan hasil pengembangan budaya muslim syi’ah. Sebagian masyarakat
di Desa Plosorejo berpandangan bahwa upacara selamatan kematian berasal
dari budaya Islam dan budaya lokal (Jawa/Madura), mereka mengacu pada
sejarah masuknya Islam di Jawa yang tidak terlepas dari peran para wali,
yang terkenal dengan sebutan wali songo (wali sembilan). Dalam penyebaran
agama Islam ini para wali itu memiliki beberapa metode, salah satunya yaitu
dengan cara mengalkulturasikan agama Islam dengan budaya yang ada
(mewarnai segala bentuk perilaku yang ada). Hasil alkulturasi itu salah
satunya selamatan kematian yang sebelumnya dilakukan oleh masyarakat
Jawa yang pada masa itu kebanyakan beragama Hindu dan Budha. Mantera-
mantera diawali denganbismillah dan berakhir dengan (ucapan) la ilaha illa
Allah, ucapan sesajen diganti dengan istilah Arab sedekah atau selamatan dan
sesaji yang melengkapinya disebut berkat (dari kata barakah).
2. Tujuan mengadakan selamatan kematian
Mayoritas masyarakat di Desa Plosorejo banyak mengungkapkan,
bahwa tujuan mengadakan tahlilan atau selamatan kematian yang untuk
4

mendoakan arwah nenek moyang (keluarga). Mereka memiliki pemahaman


bahwasannya orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan
tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam sebelum
memasuki alam akhirat. Menurut Munir arwah orang yang telah meninggal
dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, dan masih mempunyai kontak
hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu
“aneghu” atau nyambangi datang ke kediamannya tersebut. Dan diyakini
bahwa mulai dari hari pertama sampai 40 hari, sukma dari orang meninggal
tersebut masih di rumah mereka (keluarga yang ditinggal) sehingga sanak
keluarga berupaya mengirim do’a agar si mati di alam arwahnya senantiasa
mendapat rahmat dari Allah SWT.
Berkaitan dengan hubungan manusia hidup dengan yang mati ini
Syekh Islam Ibnu Taimiyah berpendapat dalam kutipan badruddin Hsubky
berdasarkan hadis Nabi SAW
“Apabila anak Adam mati, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga
perkara, sodakoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang
mendoakannya”
Menurut Ibnu Taimiyah, tidak terdapat keterangan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang menjelaskan bahwa sesungguhnya do’a yang hidup
tidak bermanfaat bagi si mati. Bahkan menurut beliqau, sebenarnya bukan
hanya do’a yang bisa sampai kepada orang mati. Semua perbuatan manusia
hidup bisa berpengaruh terhadap orang mati. Para ulama telah sepakat
mengenai manfaat do’a bagi orang yang sudah mati ini, karena dalil-dalilnya
sudah sangat jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dan barang
siapa yang berbeda pandangan mengenai ini, berarti ia ahli bid’ah.
Amalan pembacaan tahlilan (selamatan kematian) atau Al-Qur’an
yang dijadikan hadiah bagi mereka yang telah meninggal, pada hakekatnya
merupakan suatu do’a atau istigfar sebagaimana dapat diketahui dalam acara
tahlilan. Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 10.
Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshar), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampunilah kami dan
5

saudara-saudara yang telah beriman lebih dahulu dari kami,(Surat al-Hasyr


ayat: 10)
3. Tempat dan waktu pelaksanaan selamatan kematian
Bagi masyarakat di Desa Plosorejo pelaksanaan selamatan kematian
merupakan suatu kewajiban perilaku yang sudah biasa terjadi di saat ada
orang meninggal dunia. Pelaksanaan selamatan kematian yang berlaku di
masyarakat Plosorejo dilaksanakan setelah kegiatan memandikan sampai
penguburan jenazah, yaitu pada hari pertama meninggalnya sampai hari
ketujuh, keempat \ puluh, keseratus, haul dan sampai hari keseribu.Waktu
pelaksanaan sering diadakan pada saat matahari telah terbenam yaitu setelah
Maghrib atau Isya’ kadang juga dilaksanakan pada waktu matahari akan
terbenam, yaitu sekitar setelah shalat Ashar, yang jelas, waktu pelaksanaan
selamatan kematian (tahlilan) tersebut bukan pada saat matahari sedang
menyengat melainkan di saat udara dalam keadaan sejuk dan tidak panas.
Pemilihan waktu paling tidak didasarkan atas suatu faktor tertentu, yaitu
ketika masyarakat sudah beristirahat dari pekerjaannya serta tempat acara
tahlilan dilaksanakan di rumah, serambi depan dengan mengosongkan suatu
ruangan yang cukup luas untuk menampung para tamu.
Upacara selamatan kematian (tahlilan) dihadiri oleh para anggota
keluarga itu sendiri dengan beberapa tamu yang biasanya adalah tetangga-
tetangga terdekat, para pria, serta selamatan tersebut dipimpin oleh seorang
mudin atau Kyai kemungkinan besar sudah berada di rumah.
4. Pelaksanaan Prosesi Ritual Selamatan Kematian
Pelaksanaan selamatan kematian, menurut Moh. Nur Kholis diawali
oleh pihak keluarga di mayat dengan mengundang tetangga dan sanak
familinya secara lisan untuk menghadiri acara itu yang akan diselenggarakan
di rumah duka. Acara tahlilan baru dimulai apabila para undangan sudah
banyak yang datang dan dianggap cukup. Yang perlu untuk diketahui adalah
bahwa kadang-kadang orang yang tidak diundangpun turut menghadiri acara
tahlilan, sebagai ekspresi penyampaian rasa ikut berduka. Acara tahlilan,
sebagaimana acara-acara lain, dimulai dengan pembukaan dan diakhiri
6

dengan pembagian makanan kepada para hadirin. Kaitannya dengan masalah


makanan dalam acara tersebut, kadang-kadang pihak keluarga si mayat ada
yang menyajikannya sampai dua kali, yaitu untuk disantap bersama di rumah
tempat mereka berkumpul dan untuk dibawa pulang ke rumah masing-
masing, yang disebut dengan istilah “berkat” (berasal dari bahasa Arab)
barakah.
Proses berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan,
dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau
ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan
kematian masyarakat di Desa Plosorejo pada umumnya melakukan
pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang
khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan
meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan
tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya
yang telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan
pembacaan surat Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan
do’a.
5. Hidangan dan Tujuannya
Suatu ciri khas masyarakat di Desa Plosorejo dalam menghadapi
keluarga yang berduka cita adalah bertakziyah dengan membawa bawaan
untuk diberikan kepada keluarga si mayat, dengan harapan dapat membantu
meringankan penderitaan mereka selama waktu berduka cita. Bentuk bawaan
menurut kebiasaan dapat berupa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Dalam
menyambut acara selamatan kematian, para ahli si mayat disamping dibantu
oleh para tetangga, bekerja keras mempersiapkan hidangan yang akan
disuguhkan kepada para hadirin. Hidangan terkadang sengaja dibuat
sendiridan terkadang diperoleh dari orang lain dengan cara membelinya. Hal
itutergantung pada kesanggupan dan kesiapan pihak keluarga.
Dalam upacara selamatan kematian pada masyarakat Plosorejo,
penyajian hidangannya selalu disediakan. Penyajian hidangan disini tidak
pernah ditentukan, tetapi pada hari-ahri ke-3 danke-7 biasanya penyajian
7

hidangan menyajikan tumpeng, jajan pasar, lauk-pauk, dan dalam jajan pasar
kadangkadang ada kue “Apem” sebagai pelengkap. Kue apem disini
mempunyai maksud dan arti tersendiri. Kata Apem dalam sejarahnya berasal
dari kata“Afwan” yang artinya maaf dari dosa. Maksud bahwa orang yang
mengadakan selamatan kematian itu adalah untuk memohon maafkan arwah
keluarga dari dosanya semasa masih hidup. Dan ketika selamatan kematian
itu menempati hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan haul pada tiap tahunnya, maka
penyajian hidangan itu sudah berbeda lagi yaitu sesuai dengan kemampuan si
punya hajat.
Masyarakat di Desa Plosorejo sebagian besar menyatakan tujuan
menyajikan hidangan pada upacara selamatan kematian adalah untuk
menjamu tamu ataumenghormati tamu undangan, karena hal itu sudah
menjadi tradisi apabila kitamengadakan selamatan kematian (tahlilan) untuk
mengucapkan rasa terimakasih itu dengan wujud memberikan hidangan pada
waktu acara sudah selesai dan untuk dibawa pulang serta juga ada yang
menyatakan bahwa tujuan penyajian hidangan adalah untuk bersodaqoh
(bersedekah). Islam tidak melarang sedekah, yang dilarang dalam Islam
adalah sedekah yang dikaitkan dengan mengharapkan pertolongan ruh si
mati, Islam bahkan selalu menuntut umatnya agar banyak melakukan
sedekah. Dengan demikian, memberi santunan atau memberi sesuatu yang
membuat orang lain senang merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji
dalam Islam.

B. Analisis Terhadap Unsur-unsur yang Terkandung dalam Tradisi


Selamatan Kematian
Selamatan kematian sebagai salah satu hasil alkulturasi islam dan
budaya jawa, pada pelaksaannya mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur Islam
Pada selamatan kematian keberadaan unsur islam sangat terlihat
jelas, antara lain :
1. Penggunaan ayat-ayat al Qur’an
8

Proses berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan,


dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau
ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan
kematian masyarakat di Desa Plosorejo pada umumnya melakukan
pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang
khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan
meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan
tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya
yang telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan
pembacaan surat Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan
do’a.
2. Sedekah
Makanan dan minuman yang dihidangkan di dalam berbagai bentuk
ritus, yang merupakan inti dari pelaksanaan suatu ritual. Selamatan
bermanfaat memberikan keselamatan diri dari bahaya atau siksaan. Selamatan
menurut agama Islam tidak hanya dilakukan pada saat kesedihan, seperti pada
saat meninggalnya seseorang.
Selamatan yang dilakukan di saat kematian menurut sebagian
masyarakat merupakan suatu bentuk kebajikan yang dianjurkan oleh Islam.
Kebaikan tersebut disebut sedekah, yang diharapkan pahala dari padanya
akan sampai kepada si almarhum. Selamatan yang biasa dilakukan oleh
mereka yang melakukannya berasal dari harta si mayat itu sendiri, para
keluarga si mayat dan juga dari berbagai macam bawaan mereka yang
bertakziyah (biasanya orang-orang yang bertakziyah kepada keluarga si
mayat atas musibah yang menimpa mereka selalu disertai dengan membawa
sedikit kebutuhan pokok). Sajian dalam pelaksanaan selamatan kematian di
Plosorejo tidak saja harus berupa makanan, tetapi bisa juga berupa lainnya.
Hal yang demikian itu tergantung pada kadar kemampuan dari pihak keluarga
masing-masing yang melakukannya. Bahkan tidak menutup suatu
kemungkinan selamatan hanya berupa minuman (air), untuk sebatas
9

menghilangkan rasa haus selama berada di perjalanan disamping tidak begitu


membebani atau menyibukkan keluarga si mayat.
3. Nilai ukhwah islamiyah
Dalam masyarakat Plosorejo, selamatan kematian yang memberikan
kesempatan berkumpulnya sekelompok orang berdo’a bersama, makan
bersama (selamatan) secara sederhana, merupakan suatu sikap sosial yang
mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga si mayat atas
musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota
keluarganya. Disamping itu, juga barmakna mengadakan silaturrahmi serta
memupuk ikatan persaudaraan antara mereka. Perkumpulan berduka cita yang
disertai dengan bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat Plosorejo
menurut kebiasaan yang selama ini berjalan dilaksanakan pada sore atau
malam hari. Masyarakat Plosorejo yang kehidupan sehari- harinya senantiasa
ditandai oleh kebersamaan, kegiatan yang akan dilaksanakan selalu
dipertimbangkan secara matang sehingga tidak merasa mengganggu orang
lain dalam bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, meskipun
pada dasarnya jika kegiatan tersebut dilaksanakan pada pagi atau siang hari
orang-orang (masyarakat Plosorejo) akan rela meninggalkan pekerjaannya
tanpa mempertimbangkan keuntungan materi. Perkumpulan di rumah si
mayat tidak lain untuk mengadakan do’a bersama untuk dihadiahkan kepada
si mayat atau setidaknya dengan suatu harapan pahala kebaikan yang
dilakukan orang banyak itu mampu menghapus siksa yang akan menimpa si
mayat, atau setidaknya bisa mengurangi siksaannya. Mereka menghadiahkan
kepada si mayat karena meyakini bahwa pahala yang ditujukan kepada si
mayat akan sampai kepadanya.
4. Nilai Tolong-menolong.
Dalam hal tolong-menolong pada peristiwa kematian, biasanya
dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa perhitungan akan mendapat
pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat musibah itu
rupa-rupanya berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa
makhluk manusia. Dan dasar dari tolong-menolong juga rupa-rupanya
10

perasaan saling butuh membutuhkan, yang ada dalam jiwa warga masyarakat.
Nilai tolong-menolong dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat
Plosorejo terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Misalnya
dalam hidangan, selama tujuh hari berturut-turut para ibu- ibu (para tetangga
dan kerabat dekat di almarhum) membantu dalam persiapan hidangan
(makan, minuman) undangan, karena dalam selamatan kematian tidak sedikit
yang hadir kadang-kadang 100-150 orang (sesuai dengan relasi seseorang
dalam bermasyarakat). Bahkan pada saat pelaksanaan kematian selesai,
mereka bersama-sama membersihkan tempat-tempat yang telah digunakan.
Dalam tolong menolong terdapat hubungan saling ketergantungan sebagai
akibat dari adanya proses pertukaran yang saling memberikan balasan atas
jasa yang diberikan orang lain kepada dirinya. “Long-nolongeh” (tolong
menolong) dalam masyarakat Plosorejo khususnya dalam selamatan
kematian terjadi secara spontan dan rela, tetapi juga ada yang didasarkan oleh
perasaan saling membutuhkan yang ada dalam jiwa masyarakat tersebut.
Kegiatan tolong-menolong ini diartikan sebagai suatu kegiatan kerja yang
melibatkan tenaga kerja dengan tujuan membantu si punya hajat dan mereka
tidak menerima imbalan berupa upah (tolong menolong pada situasi kematian
musibah cenderung rela).
b. Unsur Budaya lokal
Unsur budaya jawa pada selamatan kematian terlihat jelas
pelaksanaannya yang di tentukan oleh penanggalan jawa.
Selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa adalah :
 1-7 hari (telung dina, pitong dina)
 40 hari (matangpuluh dina)
 100 hari (nyatus dina)
 Mendhak 1
 Mendhak 2
 1000 hari (nyewu)
Orang Jawa mempunyai rumus tersendiri dalam menghitung
selamatan. Salah satunya dengan memanfaatkan Hari dan pasaran. Hari
11

adalah Senin,Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at , Sabtu dan Minggu. Sedangkan


pasaran adalah Pon, wage, Kliwon, Manis (Legi) dan Pahing. Mereka
mengkombinasikan hari dan pasaran tersebut sehingga menemukan kapan
hari selamatan tersebut. Mereka mempunyai rumus tersendiri dalam
menghitung selamatan tersebut.
Orang Jawa begitu familiar dengan penghitungan selamatan seperti
itu. Karena mereka sudah mempunyai rumus dalam menghitung selamatan
orang meninggal, maka merekapun akan dengan mudah menentukan hari apa
harus melakukan selamatan tersebut. Misal jika orang meninggal pada hari
Jum’at Kliwon, maka selamatannya adalah :
 3 hari = Minggu Pahing
 7 hari = Kamis Legi
 40 hari = Selasa Wage
 100 hari = Sabtu Wage
 Mendhak 1 = Senin Pon
 Mendhak 2 = Sabtu Pon
 1000 hari = Rabu wage
12

BAB III
PENUTUP

Upacara selamatan kematian merupakan tradisi bagi masyarakat di


Desa Plosorejo. Upacara tersebut dilaksanakan untuk menghormati dan
mendoakan orang yang telah meninggal agar diampuni oleh Allah dan
mendapatkan tempat yang baik diakhirat. Selamatan kematian merupakan salah
satu hasil alkulturasi islam dan budaya lokal sejak islam mulai masuk Desa
Plosorejo. Berkat keterbukaan masyarakat terhadap kebudayaan baru, Pada
akhirnya kedua kebudayaan tersebut dapat beralkulturasi dengan baik tanpa
menumbulkan konflik yang serius.
13

DAFTAR PUSTAKA

 Drs. M. Darori Amin, MA., Islam & Kebudayaan Jawa, (GAMA MEDIA:
Yogyakarta, 2000),
 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984),
 Moh. Nur Kholis, wawancara, Plosorejo, 5 November 2012Munir,
wawancara, Plosorejo,6 November 2012
 Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang MasalahKeimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta:
Paramadina, 2005), hal. 551
 Rudi, Studi Perbandingan Pranata Sosial, dalam
http://blogs.unpad.ac.id(Sdarwis )
 Sholeh So’an, Tahlilan: Penelitian Historis atas Makna Penelitian
Indonesia, (Bandung: Agung Ilmu),153
 behaviorurldefaultvmlo_22.html, di akses tanggal 24 november 2015

Вам также может понравиться