Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1
7,2% maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1
juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat
berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis bahkan oleh
semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak
terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup
besar, semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam
usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.
Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit
kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus
(DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai
terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan
gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan
meningkatnya jumlah populasi manusia usia lanjut.
Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta
pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian
penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang
segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian epidemiologis di
Indonesia di dapatkan prevalensi sebesar 1,5-2,3% pada penduduk usia lebih besar dari
15 tahun. Pada suatu penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1%. Penelitian di
Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan prevalensi 5,7%.
Melihat pola pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti
akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi Diabetes Mellitus sebesar 2%, akan didapatkan 3,56 juta pasien Diabetes
Mellitus, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh para ahli DM.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1
atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes di Indonesia akan meningkat
drastis. (Sudoyo, 2006).
2
BAB II
PEMBAHASAN
Defnisi
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa
Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing
gula adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa
hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. (Buku Ajar
Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood)
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yg disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin Tu
penurunan sensitivitas jaringan tehadap insulin. (Fisiologi Kedokteran, Guyton and Hall)
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (ADA. 2010)
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum
dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan
akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi yang pernah tercetus pada tahun 1965 oleh
WHO telah terjadi pada tahun 1980 dan kemudian diperbaharui pada 1985 dan 1994. Sedang
pada tahun 1997, ADA memperbaharuinya lagi.
Secara epidemiologik, diabetes sering tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan
mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa
dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena
terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara
epidemiologik diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya
obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan DM tipe 2.
3
Klasifikasi DM ( Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
4
metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan
insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau
mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat
keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah
mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan
berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka
sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-tanda/gejala yang ditemukan adalah
kegemukan, perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat
badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia
diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah.
Epidemiologi
Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus
diabetes di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita
DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini cenderung tinggi pada
negara maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup.
Dampak ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan.
Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan
penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan
karena faktor obesitas dan kehamilan.
Menurut WHO prevalensi DM diperkirakan akan meningkat dari 8,4 juta tahun 2000
menjadi 21,2 juta lebih pada tahun 2030 (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2
di Indonesia 2011)
5
superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput pankreas ini disebut
processus unsinatis pankreas. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1) Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
2) Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya
namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau langerhans
hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta dan delta.
Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak terutama ditengah
setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel beta merupakan bungkusan
insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan
yang lain. Dalam sel beta , molekul insulin membentuk polimer yang juga kompleks
dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan ini mungkin karena perbedaan
dalam ukuran polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin disintesis di dalam
retikulum endoplasma sel beta, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia
dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke dinding sel
oleh suatu proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah luar
dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel beta serta kapiler
berdekatan dan endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah. Sel alfa yang
mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel delta yang
merupakan 10 % dari seluruh sel mensekresikan somatostatin. (Fisiologi Kedokteran
Guyton and Hall, Fisiologi Manusia Lauralee Sherwood)
b. Fisiologi Pankreas
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa
hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans. Hormon-
hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang merendahkan kadar glukosa
darah yaitu insulin dan hormon yang dapat meningkatkan glukosa darah yaitu
glukagon. Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans
menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormone
lainnya, contohnya insulin menghambat sekresi glukagon, somatostatin menghambat
sekresi glukagon dan insulin. Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel
beta pulau langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah
peningkatan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal
6
adalah 80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor insulin dan
setelah berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua untuk menyebabkan
peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan dapat segera digunakan untuk
menghasilkan energi atau dapat disimpan didalam hati (Guyton & Hall, 1999)
Sintesis insulin
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin
mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin yang kemudian dihimpun dalam
gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini,sekali lagi dengan
bantuan peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang
keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel. (IPD
FKUI.2009)
Sekresi insulin
Kadar glukosa darah yang meningkat merupakan komponene utama yang memberi
rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin sekaligus sebagai tahap awal
terjadinya sekresi insulin.
Disamping glukosa,beberapa jenis
asam amino dan obat-obatan dapat
pula memiliki efek yang sama
dalam rangsangan terhadap sel
beta. Berikut tahapan sekresi
insulin:
7
- Penutupan k channel berakibat terhambatnya pengeluaran ion k dari dalam sel yang
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang diikuti oleh pembukaan ca channel.
- Masuknya ion Ca2+ ini yang merangsang terjadinya mobilisasi vesikel proinsulin ke
membran sel dan akhirnya di sekresikan dalam bentuk insulin dan peptida-C
Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin
karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan
hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria
(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan
meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk
kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan
sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II.
8
Manifestasi Klinik
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler,
aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya
akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari
dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan
seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka
produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka
reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
9
Diagnosis diabetes melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan
dalam praktek sangat jarang dilakukan.
10
(IPD FKUI.2009 dan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.
a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).
11
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
b. berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
c. diperiksa kadar glukosa darah puasa
d. diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
e. berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
f. diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
g. selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
12
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
Pilar Penatalaksanaan DM :
a. Edukasi
b. Terapi Gizi medis
c. Latihan Jasmani
d. Intervensi Farmakologi
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi
13
Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
a. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
b. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
14
Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.
c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok
teh) garam dapur.
b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan.
b. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis alternatif
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk
pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain isomalt,
lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
b. Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
c. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
d. Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose,
neotame.
e. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake / ADI )
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
15
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal
(BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh.
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT (WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:
RedefiningObesity and its Treatment):
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II >30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
a. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
b. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade
antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%,
di atas 70 tahun.
c. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,
20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50%
dengan aktivitas sangat berat.
16
d. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat kegemukan
Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan
BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang
diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus
tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM
dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
17
Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.
1. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
a. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
c. penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
18
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin
1. Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis
1. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >
1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.
2. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
19
g. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
20
h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Efek samping terapi insulin
a. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
b. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.
c. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
a. Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
b. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
c. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
d. Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa: insulin kerja cepat
(rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting),
kerja panjang (long acting) atau insulin campuran tetap (premixed insulin).
e. Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis insulin kerja cepat atau insulin
kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja menengah atau
kerja panjang untuk koreksi defisiensi insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi
dengan OHO. Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah harian.
f. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari
bila sasaran terapi belum tercapai.
21
2. Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3. Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin sampai hilangnya
efek insulin.
22
3. Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix)
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Insulin
ini mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40
23
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien
dan tepat karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah
diperiksa setiap 6 jam sekali.
Gula darah
< 60 mg % = 0 unit
< 200 mg % = 5 – 8 unit
200 – 250 mg% = 10 – 12 unit
250 - 300 mg% = 15 – 16 unit
300 – 350 mg% = 20 unit
> 350 mg% = 20 – 24 unit
Dosis :
a. Pasien DM muda 0,75-1,5 U/kgbb kerja sedang 2x/hr
b. DM dewasa kurus 8-10 U kerja sedang 20-30 m sblm mkan pagidan 4-5 U sebelum
makan malam
c. DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sblm makan malam
24
6. Setelah insulin masuk ke dalam alat suntik, periksa apakah mengandung gelembung
atau tidak. Satu atau dua ketukan pada alat suntik dalam posisi tegak akan dapat
mengurangi gelembung tersebut. Gelembung yang ada sebenarnya tidaklah terlalu
membahayakan, namun dapat mengurangi dosis insulin.
7. Penyuntikan dilakukan pada jaringan bawah kulit (subkutan). Pada umumnya
suntikan dengan sudut 90 derajad. Pada pasien kurus dan anak-anak, kulit dijepit dan
insulin disuntikkan dengan sudut 45 derajat agar tidak terjadi penyuntikkan otot (intra
muskular).
Perlu diperhatikan daerah mana saja yang dapat dijadikan tempat menyuntikkan
insulin. Bila kadar glukosa darah tinggi, sebaiknya disuntikkan di daerah perut dimana
penyerapan akan lebih cepat. Namun bila kondisi kadar glukosa pada darah rendah,
hindarilah penyuntikkan pada daerah perut.
Secara urutan, area proses penyerapan paling cepat adalah dari perut, lengan atas dan
paha. Insulin akan lebih cepat diserap apabila daerah suntikkan digerak-gerakkan.
Penyuntikkan insulin pada satu daerah yang sama dapat mengurangi variasi penyerapan.
Lakukanlah rotasi di dalam satu daerah selama satu minggu, lalu baru pindah ke
daerah yang lain.
Bila proses penyuntikkan terasa sakit atau mengalami perdarahan setelah proses
penyuntikkan, maka daerah tersebut sebaiknya ditekan selama 5-8 detik. Untuk mengurangi
rasa sakit pada waktu penyuntikkan dapat ditempuh usaha-usaha sebagai berikut:
1. Menyuntik dengan suhu kamar
2. Pastikan bahwa dalam alat suntik tidak terdapat gelembung udara
3. Tunggulah sampai alkohol kering sebelum menyuntik
4. Usahakanlah agar otot daerah yang akan disuntik tidak tegang
5. Tusuklah kulit dengan cepat
6. Jangan merubah arah suntikkan selama penyuntikkan atau mencabut suntikan
7. Jangan menggunakan jarum yang sudah tampak tumpul
25
Penyimpanan Insulin Eksogen
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75%
pasien yang diberikan insulin konvensional dapat terjadi Lipoatrofi yaitu terjadi lekukan di
bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh
reaksi imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda terutama terjadi di negara yang
memakai insulin tidak begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan jaringan lemak
subkutan di tempat suntikan akibat lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara yang
memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.
Reaksi alergi lokal terjadi 10x lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada
penggunaan sediaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat
suntikan yang terjadi dalam beberpa menit atau jam dan berlagsung.
26
Selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah
pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit
kurang baik, penggunaan antiseptiK yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan
intrakutan, reaksi ini akan hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi
kulit, angioudem, gangguan gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat jarang
ialah hipotensi dan shock yang diakhiri kematian.
Interaksi
Beberapa hormon melawan efek hipoglikemia insulin misalnya hormon pertumbuhan,
kortikosteroid, glukokortikoid, tiroid, estrogen, progestin, dan glukagon. Adrenalin
menghambat sekresi insulin dan merangsang glikogenolisis. Peningkatan hormon-hormon ini
perlu diperhitungkan dalam pengobatan insulin.
Guanetidin menurunkan gula darah dan dosis insulin perlu disesuaikan bila obat ini
ditambahkan / dihilangkan dalam pengobatan. Beberapa antibiotik (misalnya kloramfenikol,
tetrasiklin), salisilat dan fenilbutason meningkatkan kadar insulin dalam plasma dan mungkin
memperlihatkan efek hipoglikemik.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO
tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua
macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang
berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga
OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
27
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah
28
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-
180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia
lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia
dan interaksi obat.
29
kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada
pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,
gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan
makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien
dengan hipoglikemia berat
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan
penyebab menurunnya kesadaran.
Penyulit Kronik
1. Makroangiopati :
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi
- Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
- Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB)
juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati
- Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
30
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien
perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan
sedikitnya setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal,
perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk
mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik atau
gabapentin. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.
31
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafriadi, & Elysabeth. 2008. Farmakologi dan terapi. Edisi 5.
Jakarta.
Sherwood Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 21. EGC. Jakarta.
EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, & M., Setiati, S. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Jakarta.
32