Вы находитесь на странице: 1из 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi
dimana saja, kapan saja dan bisa menimpa siapa saja. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh suatu penyakit ataupun akibat kecelakaan lalu lintas,
tenggelam, keracunan, dan lain sebagainya. Keadaan ini sangat membutuhkan
pertolongan segera sejak di tempat kejadian, selama transportasi, sampai
pasien diserahkan kepada petugas kesehatan di Rumah Sakit. Sumbatan jalan
nafas hipoventilasi, henti nafas, syok, bahkan henti jantung, cepat sekali
menyebabkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan
tepat.1,2
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada seseorang
dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan
untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.1
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan
transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ
tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang
berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.1,2

Henti jantung atau sirkulasi dapat terjadi pada berbagai keadaan, baik itu
ketika pasien berada dirumah sakit ataupun diluar rumah sakit, mungkin ada
petugas medis yang terlatih ataupun tidak ada ditempat kejadian, dan mulai
dari fasilitas yang tidak tersedia hingga ketersedian fasilitas pintas
kardiopulmonar. Keberhasilan tindakan RJP tergantung pada cepatnya
tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya, walaupun dalam beberapa hal
tergantung pula pada faktor penyebabnya.2,3 Henti jantung biasanya terjadi
beberapa menit setelah henti napas. Umumnya walaupun kegagalan
pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan pembuluh darah masih dapat
berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti jantung dilatasi pupil

1
kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran
darah ke otak berhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45
detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan telah 50
kerusakan otak irreversibel. Resusitasi jantung paru dimulai ketika pasien
dalam keadaan tidak sadar, tidak bergerak, tidak bernafas.1,2

Menurut American Heart Associaton (AHA) bahwa rantai kehidupan


mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena
bagi penderita yang terkena serangan jantung dengan diberikan RJP segera
maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup
kembali.4,5 Pedoman Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dan Emergency
Cardiovascular Care (ECC) tahun 2015 adalah berdasarkan masukan 356
ahli resusitasi dari 29 negara. Pedoman ini ditinjau kembali setiap lima tahun
dan diperbarui hanya bila ada bukti jelas bahwa perubahan akan
meningkatkan kelangsungan kadar hidup.4,5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Resusitasi mempunyai arti harfiah menghidupkan kembali, dimaksudkan


untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian
biologis. Resusitasi jantung paru (RJP) adalah suatu tindakan darurat sebagai
suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas dan atau henti jantung
ke fungsi optimal untuk mencegah kematian.4,5,6

Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Jika henti nafas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung.4,5 Resusitasi jantung paru adalah kombinasi antara bantuan
pernapasan dan kompresi jantung yang dilakukan pada korban serangan
jantung.6

2.2 Indikasi

Indikasi untuk melakukan tindakan resusitasi jantung paru adalah


sebagai berikut :

1. Henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban dan merupakan kasus yang harus dilakukan
tindakan pertolongan segera. Pada awal kejadian henti nafas, oksigen
masih dapat masuk dalam darah untuk beberapa menit dan jantung juga
masih dapat menyalurkan ke otak dan organ vital lainnya.2,7 Pemberian
bantuan resusitasi dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik
sehingga mencegah terjadinya kegagalan perfusi.
Henti nafas dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya serangan
stroke, keracunan obat, tenggelam dan inhalasi asap/uap/gas, obstruksi
jalan nafas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan

3
infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffaction), dan trauma juga
dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi
pernapasan baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam
tubuh akan memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi
napas akan lebih cepat dari pada keadaan normal. Bila berlangsung lama
akan memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot
napas akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran
berupa gas CO2, kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat
napas. Keadaan inilah yang dikenal sebagai henti nafas.3
2. Henti jantung
Henti jantung adalah keadaan dimana curah jantung tidak sanggup
memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya yang terjadi
secara mendadak. Keadaan ini dapat kembali normal jika dilakukan
tindakan yang cepat, namun jika tidak dilakukan tindakan apapun, maka
akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Sebagian besar henti
jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-
90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (10%) dan terakhir oleh
disosiasi elektromekanik (5%). Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi
aktivitas jantung yang hilang sementara ventrikel asistol dan disosiasi
elektromekanik disebabkan adanya pacemaker jantung dan biasanya lebih
sulit ditanggulangi.11
Henti jantung ditandai oleh tidak terabanya denyut nadi pada pembuluh
nadi besar seperti a.carotis, femoralis, radialis disertai warna kulit kebiruan
(sianosis) atau pucat sekali, pernafasan terhenti atau satu-satu (gasping,
apnea), dilatasi pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan
keadaan pasien yang tidak sadar.9
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah
dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya
napas, maka oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga
jantung tidak dapat berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac
arrest).16

4
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri
rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut
kembali.17

Gambar 1. Rantai kelangsungan hidup HCA dan OHCA

2.3 Fase Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya yaitu:
1. Fase I: Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support/BLS)
Tujuan Basic Life Support adalah untuk oksigenasi darurat secara efektif
pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan
sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan

5
kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah supaya sel –sel tidak
rusak akibat kekurangan oksigen. BLS terdiri dari pengenalan awal
kegawatdaruratan medis, aktivasi sistem tanggap darurat, serta intervensi
yang dilakukan dalam respon terhadap henti jantung mendadak, serangan
jantung, stroke dan obstruksi jalan nafas akibat benda asing.4 Bantuan hidup
dasar merupakan pemeliharaan jalan nafas dan pemberian dukungan
pernafasan serta sirkulasi tanpa menggunakan peralatan selain alat bantu
nafas atau alat proteksi sederhana.10,11
Bantuan hidup dasar berupa resusitasi jantung paru yang terdiri dari:
 C (Circulation), penyediaan sirkulasi buatan melalui pijatan jantung
 A (Airway), pemeliharaan jalan nafas agar tetap terbuka
 B (Breathing), ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
Ketika American Heart Association (AHA) menetapkan pedoman
resusitasi yang pertama kali pada tahun 1966, RJP dibuat pada awalnya
dengan urutan “A-B-C” yaitu membuka jalan nafas korban (airway),
memberikan bantuan nafas (breathing) dan kemudian memberikan kompresi
dinding dada (circulation). Namun urutan ini berdampak pada penundaan
bermakna (kira-kira 30 detik) untuk memberikan kompresi dinding dada yang
dibutuhkan untuk menyediakan aliran darah yang cukup ke jantung dan otak.9
Tanpa bantuan hidup dasar (RJP) kemungkinan korban untuk bertahan
hidup berkurang antara 7 – 10 %/menit, dengan bantuan hidup dasar
kemungkinan korban untuk bertahan hidup bertambah aantara 3–4 %/menit
sampai dilakukan defibrilasi.1
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation And Emergency Care 2010, AHA menekankan fokus bantuan
hidup dasar pada:
 Pengenalan segera pada henti jantung yang terjadi tiba-tiba (immediate
recognition of sudden cardiac arrest (SCA)
 Respons Aktivasi sistem respon gawat darurat (activation of emergency
system)
 Resusitasi sedini mungkin (early cardiopulmonary resuscitation)
 Defibrilasi segera jika diindikasikan (rapid defibrillation if indicated)

6
Dalam AHA Guidelines 2010 ini, AHA mengatur ulang langkah-langkah
RJP dari “A-B-C” menjadi “C-A-B” pada dewasa dan anak, sehingga
memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada dengan segera.
Sejak tahun 2008, AHA juga melakukan rekomendasi teknik resusitasi
jantung paru sesuai dengan tingkat kemampuan penolong baik yang sudah
terlatih maupun belum terlatih.3,9

Tabel 1. Anjuran dan larangan BLS untuk CPR berkualitas tinggi pada dewasa5
Penolong harus Penolong tidak boleh
Melakukan kompresi dada pada Mengkompresi pada kecepatan lebih rendah
kecepatan 100-120/menit dari 100/menit atau lebih cepat dari
120/menit
Mengkompresi ke kedalaman minimum Mengkompresi ke kedalaman kurang dari 2
2 inchi (5cm) inchi (5cm) atau lebih dari 2,4 inchi (6cm)
Membolehkan rekoil penuh setelah Bertumpu di atas dada diantara kompresi
setiap kali kompresi yang dilakukan
Meminimalkan jeda dalam kompresi Menghentikan kompresi lebih dari 10 detik
Memberikan ventilasi yang cukup (2 Memberikan ventilasi berlebihan (misalnya,
napas buatan setelah 30 kompresi, setiap terlalu banyak napas buatan atau
napas buatan diberikan lebih dari 1 memberikan napas buatan dengan kekuatan
detik, setiap kali diberikan dada akan berlebihan)
terangkat)

Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih


dahulu dilakukan prosedur awal pada korban / pasien, yaitu :
1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.
2. Memastikan kesadaran dari korban / pasien.

7
Gambar 2. Cek Respon

Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak, penolong


harus melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban /
pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban
/ pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan yang
berlebihan, sambil memanggil namanya.17
3. Meminta pertolongan
Jika ternyata korban / pasien tidak memberikan respon terhadap
panggilan, segera minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!”
untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.
4. Memperbaiki posisi korban / pasien
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban / pasien harus
dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras.
Jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah
posisi korban ke posisi terlentang. Ingat ! penolong harus membalikkan
korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan
secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus
dipertahankan pada posisi horizontal dengan alas tidur yang keras dan
kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
5. Mengatur posisi penolong

8
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan
bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau
menggerakan lutut.

Gambar 3. Cek Kesadaran dan Meminta Pertolongan

9
Gambar 4. Ringkasan komponen CPR berkualitas tinggi untuk penyediaan BLS

10
Gambar 5. Penyediaan layanan kesehatan BLS algoritma serangan jantung pada
orang dewasa – pembaruan 2015

11
Gambar 6. Penyediaan layanan kesehatan BLS algoritma serangan jantung pada
pasien pediatri untuk satu penolong – pembaruan 2015

12
Gambar 7. Penyediaan layanan kesehatan BLS algoritma serangan jantung pada
pediatri untuk 2 penolong atau lebih

a. Circulation
Metode ini meliputi dua tahap :
1. Penolong memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien
Denyut jantung pasien ditentukan dengan meraba arteri karotis di
daerah leher pasien dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba
pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser kearah
penolong kira-kira 1-2 cm. raba dengan lembut selama 5-10 detik.

13
Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada
nafas berikan bantuan nafas 12 kali permenit. Bila ada nafas,
pertahankan airway pasien.
2. Memberikan bantuan sirkulasi
Jika dipastikan tidak ada denyut jantung, maka perlu diberikan
bantuan sirkulasi atau kompresi jantung luar. Kompresi dada
mendorong terjadinya aliran darah dengan meningkatkan tekanan
intratorakal (thoracic pump) atau secara langsung mengkompresi
jantung (cardiac pump). Sternum pada orang dewasa harus ditekan
dengan kedalaman 2 inchi atau 5 cm karena kompresi memberikan
aliran darah malalui peningkatan tekanan intratorakal dan kompresi
secara langsung pada jantung. Kompresi membuat aliran darah
sebagai penghantar oksigen dan energi ke jantung dan otak. Pada
RJP fase awal, aliran darah lebih banyak dipengaruhi mekanisme
pompa jantung. Selama RJP, diteruskan peranan jantung akan
semakin berkurang dan mekanisme pompa dada semakin penting.

Sesuai dengan pentingnya mempertahankan laju dan kekuatan


kompresi untuk menjaga aliran darah, perfusi efektif jantung dan otak
paling baik dicapai dengan kompresi dada yang mengkonsumsi 50%
siklus dan 50% lainnya merupakan fase relaksasi dimana aliran darah
kembali ke dada dan jantung. Pengembangan dada pada RJP yang
tidak lengkap dapat menyebabkan tekanan intratorakal yang meningkat
dan hemodinamik yang menurun secara signifikan, termasuk
penurunan perfusi koroner, indeks jantung, aliran darah miokard dan
perfusi serebral.14,15
Kompresi dada dilakukan dengan cara:
 Tiga jari penolong (telunjuk, tengah dan manis) menulusuri
tulang iga pasien yang dekat dengan sisi penolong sehingga
bertemu sternum.
 Dilakukan perabaan sepanjang costa hingga processus xipoideus,
kemudian dari sternum diukur 2-3 jari ke atas. Daerah tersebut

14
merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong. Kedua
tangan diletakkan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan satu diatas telapak tangan lainnya.

Gambar 8. Kompresi Dada


 Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien
dengan tenaga berat badannya secara teratur dimana posisi lengan
dan siku juga lurus sebanyak 30 kali dengan kedalaman
penekanan minimal 2 inchi.
 Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan
mengembang ke posisi semula setiap kali kompresi. Waktu
penekanan dan melepaskan kompresi harus sama (50% duty
cycle)
 Tangan tidak boleh berubah posisi
 Rasio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30:2 baik oleh satu
penolong maupun dua penolong. Kecepatan kompresi adalah
minimal 100 kali per menit.
Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan
sistolik 60-80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah. Selang waktu
mulai dari menemukan pasien sampai dilakukan tindakan bantuan
sirkulasi harus dilakukan tidak lebih dari 30 detik.15

15
Gambar 9. Kompresi dada

AHA Guideline 2010 merekomendasikan beberapa hal dalam metode


sirkulasi:
 Kompresi dada dilakukan cepat dan dalam (push and hard)
 Kecepatan adekuat minimal 100 kali per menit
 Kedalaman adekuat
o Dewasa: 2 inchi (5cm), rasio 30:2 (1 atau 2 penolong)
o Anak: 1/3 AP(±5 cm), rasio 30:2 (1 penolong) dan 15:2 (dua
penolong)
o Bayi: 1/3 AP (±4 cm), rasio 30:2 (1 penolong) dan 15:2 (dua
penolong)
 Memungkinkan terjadinya pengembangan dada seperti semula
setelah kompresi, sehingga waktu kompresi dada sama dengan
waktu relaksasi atau pengembangan dada kembali seperti semula.
b. Airway 2,3,9,14
Selain pemeliharaan jalan nafas, langkah awal pada airway juga
berarti penilaian awal pada pasien yang meliputi pengenalan awal
kegawatdaruratan medis serta aktivasi sistem tanggap darurat.

16
Kemudian dilakukan evaluasi jalan nafas. Jalan nafas harus dipastikan
terbuka dan bersih sehingga memungkinkan pasien dapat bernafas
secara optimal.9
Pasien diposisikan berbaring terlentang pada permukaan rata.
Biasanya jalan nafas terhalang oleh lidah atau epiglotis yang jatuh ke
arah posterior dan menyumbat laring akibat hilangnya tonus otot. Jika
tidak terdapat indikasi adanya instabilitas tulang servikal, maka
maneuver head tilt-chin lift dapat dicoba terlebih dahulu. Kepala
diekstensikan dengan memberikan tekanan satu telapak tangan pada
dahi pasien sementara mandibula ditarik ke depan dengan jari telunjuk
dan jari tengah tangan sebelahnya, untuk mengangkat lidah menjauhi
faring posterior.
Jaw trust bisa jadi menjadi cara yang lebih efektif dalam membuka
jalan nafas atau dapat dilakukan pada pasien dengan trauma leher. Jaw
trust dilakukan dengan mendorong ramus vertikal mandibula kiri dan
kanan ke depan sehingga barisan gigi bawah berada didepan barisan
gigi atas atau menggunakan ibu jari masuk ke dalam mulut korban dan
bersama dengan jari-jari yang lain menarik dagu korban ke depan,
sehingga otot-otot penahan lidah teregang dan terangakat.
AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk menggunakan
head tilt-chin lift untuk membuka jalan nafas pada pasien tanpa ada
trauma kepala dan leher. Jaw trust digunakan jika korban merupakan
suspek cedera servikal. Pada pasien suspek cedera spinal lebih
diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan satu tangan
disetiap sisi kepala pasien) dari pada menggunakan spinal
immobilization devices karena dapat mengganggu jalan nafas, tapi alat
ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama
transportasi.14

17
Gambar 10. Pembebasan jalan nafas (teknik head tilt-chin lift dan jaw
trust)

Obstruksi jalan nafas karena benda asing sering terjadi pada anak
dan dewasa. Obstruksi jalan nafas oleh benda asing dapat
dipertimbangkan pada korban yang mengalami henti nafas mendadak
dan mengalami sianosis serta penurunan kesadaran. Obstruksi jalan
nafas dapat terjadi secara total maupun sebagian. Tanda obstruksi jalan
nafas total adalah berkurangnya pergerakan dinding dada meskipun
usaha bernafas sudah ada dan ketidakmampuan korban untuk bicara
atau batuk. Obstruksi parsial jalan nafas akan menyebabkan pernafasan
dengan mengi yang diikuti dengan batuk. Jika korban sudah memiliki
pergerakan nafas yang baik dan usaha batuk yang cukup, maka tidak
diperlukan intervensi apapun. Namun jika batuk melemah atau sianosis
mulai terjadi maka pasien harus mulai dilakukan intervensi.15
Jika muntahan atau benda asing terlihat pada mulut pasien yang
tidak sadar maka benda tersebut harus dikeluarkan dengan jari
telunjuk. Benda asing harus diwaspadai agar tidak sampai terdorong ke
dalam laring. Jika pasien sadar atau benda asing tidak dapat

18
dikeluarkan dengan jari tangan, maka dapat dilakukan maneuver
Heimlich. Dorongan abdomen subdiafragmatik dapat mendorong
diafragma ke atas, mengeluarkan kumpulan udara dari paru-paru,
sehingga dapat mendorong benda asing keluar.6
Pada pasien sadar, maneuver dapat dilakukan pada posisi tegak,
penolong berdiri di belakang pasien, kemudian meletakkan satu tangan
yang mengepal di epigastrium diantara xipoid dan umbilicus. Kepalan
diganggam oleh tangan lainnya kemudian ditekan ke dalam
epigastrium dengan dorongan yang cepat kearah atas. Pada pasien
tidak sadar, penolong berlutut diantara pasien dan melakukan tekanan
dengan kedua tangan di epigastrium. Komplikasi dari maneuver
Heimlich berupa fraktur iga, trauma pada organ dalam seperti laserasi
hati dan limpa, ruptur gaster, serta terjadinya regurgitasi.9

Gambar 11. Heimlich Maneuver pada pasien sadar


Pada balita diberikan pukulan pada punggung diberikan segera
langsung pada tulang belakang bagian toraks diantara kedua scapula
dengan tekanan. Sementara itu, dorongan pada sternum sama seperti
Heimlich maneuver dilakukan dari belakang, hanya saja kepalan
tangan diletakkan pada midsternum. Dorongan pada midsternum.
Dorongan pada sternum juga bermanfaat pada orang-orang obesitas
dan wanita dengan kehamilan lanjut.14

19
Jika setelah pembukaan jalan nafas belum terdapat tanda-tanda
nafas yang cukup, penolong dapat memulai ventilasi bantuan dengan
menginflasi paru-paru melalui nafas yang diberikan dari mulut ke
mulut, mulut ke hidung, mulut ke stoma trakeostomi, atau mulut ke
mulut melalui sungkup muka. Nafas diberikan secara perlahan (waktu
inspirasi 0,5-1s) dengan volume tidal yang lebih kecil (400-600ml).18
Dengan ventilasi tekanan positif, dapat terjadi inflasi gaster yang
menyebabkan regurgitasi dan aspirasi. Oleh sebab itu, jalan nafas
harus diamankan dengan tracheal tube (TT), atau jika tidak dapat
dilakukan, jalan nafas alternatif harus dimasukkan seperti
esophageal-tracheal combinate (ETC), laryngeal mask airway
(LMA), pharyngotracheal lumen airway dan cuffed oropharyngeal
airway.7
Beberapa penyebab obstruksi jalan nafas terkadang tidak dapat di
selesaikan dengan metode konvensional, intubasi trakea terkadang juga
tidak dapat dilakukan karena beberapa alasan tertentu atau usaha
berulang yang bersifat merugikan. Pada keadaan ini krikotirotomi atau
trakeostomi mungkin diperlukan. Krikotirotomi meliputi pemasangan
kateter intravena yang besar atau melalui suatu kanula ke dalam trakea
melewati garis tengah membran krikotiroid. Lokasi yang tepat
ditentukan melalui aspirasi udara.5
c. Breathing
Tahap ini meliputi pemberian bantuan nafas sehingga terbentuk
ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat. Volume tidal yang
dibutuhkan berkisar antara 8-10ml/kg untuk menjaga oksigenasi
normal dan eliminasi karbondioksida. Selama resusitasi jantung paru,
output jantung berkisar 25% sampai 33% dari keadaan normal,
sehingga pengambilan oksigen dari paru dan penghantaran oksigen ke
paru-paru juga berkurang. Hasilnya, ventilasi dengan volume tidal
yang dibutuhkan antara 500-600 ml sudah mencukupi dan
pengembangan dada juga jelas terlihat.

20
Pasien dengan obstruksi jalan nafas atau komplians paru yang
buruk membutuhkan tekanan lebih tinggi untuk mendapatkan ventilasi
yang cukup. Pada pasien ini dibutuhkan bantuan resusitasi bag mask
untuk mendapatkan penghantaran volume tidal yang cukup.13
Ventilasi yang berlebihan tidak diperlukan karena dapat
menyebabkan inflasi gaster dan menimbulkan komplikasi seperti
regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, ventilasi yang berlebihan dapat
berbahaya karena dapat meningkatkan tekanan intratorakal,
menurunkan aliran balik vena ke jantung, dan mengurangi output
jantung, jadi penolong harus menghindari terjadinya ventilasi
berlebihan selama resusitasi jantung paru.11
Pada Guideline AHA 2015 untuk resusitasi jantung paru tidak
memiliki terlalu banyak perubahan bila dibandingkan tahun 2010:
 Nafas pertolongan diberikan setiap satu detik
 Pemberian volume tidak yang cukup untuk memproduksi
peningkatan volume dada yang terlihat
 Rasio kompresi dada : ventilasi = 30:2
 Ventilasi diberikan 1 nafas buatan setiap 6 detik (10 nafas buatan
permenit). Kompresi dada tidak diberikan untuk menunggu
pemberian ventilasi.
Bantuan nafas dapat dilakukan melalui beberapa cara :
a. Mulut ke mulut

Gambar 12. Pemberian nafas dari mulut ke mulut

21
b. Mulut ke hidung

Gambar 13. mulut ke hidung


c. Mulut ke sungkup

Gambar 14. mulut ke sungkup


d. Dengan kantung pernafasan

Gambar 15. Dengan kantung pernafasan

22
Gambar 16. Algoritma gawat darurat (dewasa) yang mengancam jiwa terkait
opioid

2. Fase II: Bantuan Hidup Lanjut (Advance Life Support)5,9,13,15


Bantuan hidup lanjut merupakan perpanjangan bantuan hidup dasar
untuk mendukung sirkulasi dan memberikan jalur nafas terbuka dengan
ventilasi adekuat. Bantuan hidup lanjut meliputi beberapa hal berikut ini:
a. Drugs
Setelah memberikan resusitasi jantung paru, akses intravena atau
intraosseus harus dilakukan untuk memberikan terapi obat-obatan

23
namun tanpa mengganggu jalannya RJP. Tujuan utama terapi
farmakologis selama henti jantung adalah untuk memfasilitasi
pengembalian dan pemeliharaan perfusi dari ritme spontan.
a. Vasopresor
Penggunaan vasopresor terbukti berhubungan dengan peningkatan
kejadian pengembalian sirkulasi spontan pada korban henti jantung.
Vasopresor yang banyak digunakan dalam resusitasi jantung paru
adalah epinefrin dan vasopresin.12
 Epinefrin
Epinefrin hidroklorida memberikan manfaat pada pasien dengan
henti jantung, terutama karena efek stimulasi reseptor alfa
adenergik yang dapat meningkatkan tekanan perfusi serebral
selama resusitasi jantung paru. Namun untuk nilai keamanan
dan efek beta adrenergik dari epinefrin masih kontrofersial
karena dapat meningkatkan kerja miokard dan menurunkan
perfusi subendokard. Pada pasien dewasa dengan henti jantung,
epinefrin diberikan dengan dosis 1 mg atau intraosessus 3-5
menit.
 Vasopresin
Vasopresin merupakan vasokonstriktor perifer non adrenergik
yang dapat menyebabkan vasokonstriksi koroner dan renal.
Dosis vasopresin 40 unit setiap pemberian melalui intravena
atau intraosseus dapat menggantikan dosis pertama atau kedua
epinefrin pada terapi henti jantung. Namun pada pembaruan
AHA 2015, perpaduan penggunaan vasopresin dan epineprin
tidak memberikan manfaat apapun dibandingkan dengan hanya
epineprin, untuk memberikan kemudahan, vasopresin dihapus
dari algoritma serangan jantung pada dewasa.

b. Antiaritmia obat anti aritmia meningkatkan tingkat keselamatan


jangka pendek pada pasien dengan henti jantung sebelum dibawa ke
rumah sakit.

24
 Amiodaron
Amiodaron yang diberikan secara intravena mempengaruhi
kanal natrium, kalium dan kalsium serta memiliki efek
penghambatan alfa dan beta adrenergik. Amiodaron dapat
dipertimbangkan sebagai terapi pada fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel tanpa nadi yang responsif dengan pemberian
defibrilasi, resusitasi jantung paru dan vasopresor. Dosis inisial
dari obat ini adalah 300 mg diberikan intravena atau intraosseus
diikuti dengan dosis 150 mg.
 Lidokain
Penggunaan lidokain diteliti memiliki hubungan dengan
perbaikan tingkat jumlah pasien yang mengalami henti jantung
yang dibawa ke rumah sakit. Namun belum ada bukti yang
cukup tentang efek penggunaan lidokain pada fibrilasi ventrikel
refrakter yang tidak responsive terhadap defibrilasi. Lidokain
dapat menjadi antriaritmia alternatif dengan efek samping
minimal bila dibandingkan antiaritmia lainnya meskipun belum
terbukti memiliki efek jangka pendek atau panjang terhadap
henti jantung. Lidokain dapat dipertimbangkan jika amiodaron
tidak tersedia. Dosis awal dimulai dengan 1-1,5 mg/kg dengan
pemberian inravena, jika fibrilasi ventrikel tetap terjadi, dapat
diberikan tambahan 0,50,75 mg/kg dengan interval 5-10 menit
dengan dosis maksimum 3 mg/kg.
 Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat secara intravena dibuktikan dapat
menghentikan takikardi ventrikel irregular/polimorfik dengan
pemanjangan interval QT. magnesium sulfat tidak efektif untuk
takikardi ventrikel dengan interval QT normal. Magnesium
sulfat dapat diberikan secara intravena atau intraosseus dengan
dosis 1-2 gram dilarutkan dengan 10 ml D5%.12

25
b. EKG
Aritmia merupakan abnormalitas ritme jantung yang sering
menyebabkan kematian koroner mendadak. Pemantauan melalui EKG
harus segera dilakukan sesegera mungkin pada pasien yang tiba-tiba
kolaps atau pasien yang memiliki gejala iskemia atau infark koroner.
EKG dengan 12 lead dibutuhkan untuk mengetahui diagnosis ritme
jantung yang pasti. EKG dapat dilakukan baik sebelum maupun selama
pemberian intervensi farmakologis.15

c. Fibrilasi treatment
Defibrilasi awal sangat penting dilakukan pada gagal jantung akut
karena beberapa alasan yaitu: ritme jantung awal yang paling sering
terjadi sebelum henti jantung adalah fibrilasi ventrikel, terapi untuk
fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi, kemungkinan defibrilasi berhasil
berkurang seiring berjalannya waktu, fibrilasi ventrikel sering
berkembang manjadi asistol seiring berjalannya waktu.13,15,18
Defibrilasi yang dikembangkan dengan resusitasi jantung paru
berupa kompresi dada meningkatkan angka keberhasilan dari
penyelamatan fibrilasi ventrikel. Pada onset fibrilasi ventrikel, aliran
darah mikrovaskular menurun dalam waktu 30 detik, kompresi dada
mengembalikan aliran darah mikrovaskuler. Jika penolong memberikan
RJP sesegera mungkin, banyak orang dewasa dengan fibrilasi terjadi
antara 5 menit sampai 10 menit setelah henti jantung akut. RJP
memperpanjang fibrilasi ventrikel, menunda onset asistol dan
memperpanjang waktu untuk menyiapkan defibrilasi. Tindakan RJP
saja tanpa defibrilasi tidak dapat menghentikan fibrilasi ventrikel dan
mengembalikan ritme perfusi.9
Penggunaan defibrilator untuk tindakan kejut listrik tidak
diindikasikan pada penderita dengan asistol atau pulseless electrical
activity (PEA).7

26
3. Fase III: Bantuan Hidup Jangka Panjang
a. G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-
menerus terutama sistem pernapasan, kardiovaskuler dan sistem saraf.
b. H (Head) : Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf
dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan
neurologis yang permanen.
c. H (Hypothermy) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30o-32oC.
d. H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya
berdasarkan perikemanusiaan.
e. I (intensive care) : Perawatan intensif di ICU yaitu tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernapasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang.

2.4 Keputusan untuk Mengakhiri Resusitasi Jantung Paru1,3,5,9


1. Setelah resusitasi diketahui pasien berada dalam stadium akhir suatu
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
2. Irama dan pompa jantung tidak dapat dikembalikan dan denyut jantung
tidak bertambah dengan pemberian atropin.
3. Telah terjadi kematian otak, antara lain dengan tanda-tanda hilangnya
fungsi otak pada pemeriksaan klinis selang waktu minimal 2 jam, seperti
tidak adanya napas spontan, tidak adanya reflek saraf otak dan serta pupil
tetap dilatasi selama 15-30 menit, atau dengan pemeriksaan Elektro
Ensefalografi.
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari
berikut ini:
a. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
b. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung
jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).

27
c. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter
sebelumnya).
d. Penolong terlalu capek sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi.
e. Pasien dinyatakan mati
f. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien
berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat
disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak
akan pulih (yaitu sesudah 30-60 menit terbukti tidak adanya denyut
nadi).4,5,7

28
BAB III

KESIMPULAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu prosedur emergensi


yang penting yang bertujuan untuk mengembalikan sirkulasi dan nafas
spontan pada keadaan henti jantung dan henti nafas. Resusitasi jantung paru
berfungsi memenuhi kebutuhan oksigen dan sirkulasi darah ke sistem tubuh
terutama yang dapat mengakibatkan kemampuan koordinasi otak untuk
menggerakkan organ otonom menjadi terganggu, seperti gerakan denyut
jantung dan pernafasan sehingga dapat menimbulkan kematian
biologis.organ yang sangat vital dan sensitif jika kekurangan oksigen seperti
otak dan jantung. Berhentinya sirkulasi beberapa detik sampai beberapa
menit dapat menyebabkan hipoksia otak.1,3,7
Masing-masing dari bantuan hidup terdapat beberapa fase salah
satunya yaitu bantuan hidup dasar yang mana awalnya A-B-C sekarang C-
A-B, Resusitasi jantung paru sekrang ini menekankan pada pemberian
bantuan kompresi dada untuk memberikan sirkulasi buatan untuk
mengalirkan oksigen keseluruh organ tubuh kemudian baru ditambah
dengan pemberian bantuan terbukanya jalan nafas yang paten. Dengan
adanya urutan CAB ini, diharapkan angka harapan hidup pada kasus henti
jantung dan henti nafas semakin besar.5,14
Resusitasi jantung paru dapat diakhiri apabila diketahui bahwa pasien
berada dalam stadium terakhir dari suatu penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, irama dan pompa jantung tidak dapat dikembalikan dan
denyut jantung tidak bertambah dengan pemberian atropin, dan kemudian
telah terjadi kematian otak, antara lain tanda-tanda hilangnya fungsi otak
dalam pemeriksaan klinis selang waktu minimal 2 jam seperti tidak adanya
nafas spontan dan serta pupil tetap berdilatasi selama 15-30 menit.17,18

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, SA. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed ke-2. Jakarta:


Penerbit FKUI
2. American Heart Association. 2015. Cardiopulmonary resuscitation disitasi
dari http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479.
3. Travers AH, et al. 2010. Part 4: CPR Overview 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resusciatation dan
Emergency Cardiovascular Care.
4. Mangku, G. Senopathi, Agung. 2010. Buku Ilmu Anastesi & Reanimasi.
Jakarta: Penerbit FKUI.
5. American Heart Association. 2015. Pembaruan Pedoman American Heart
Association 2015 untuk CPR dan ECC.
6. Subagjo, Agus, dkk. 2011. Bantuan Hidup Dasar dan Lanjutan. BCLS
(Basic Cardiac Life Support). Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia.
7. Neumar RW, et al. 2010. Part 8: Adult Advanced Cardiac Life Support
2010 American Heart Association guideline for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care.
8. Berg, RA, et al. 2010.Part 5: Adult Basic Life Support 2010 American
Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care.
9. Morgan GE, et al. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw-
Hill Companies.
10. Barash PG, et al. 2009. Clinical Anesthesia. 6th ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
11. Sanief E. 2010. Metode Brau Resusitasi Jantung Paru. Disitasi dari
http://www.jantunghipertensi.com/index.php?option=com.content&task=v
iew.com&id/=206&itemid29.
12. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1. Ed ke-4. Jakarta: FKUI; 2007.

30
13. Stoppler M.C. 2010. The Importance of CPR. Disitasi dari
http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonaryresuscitation
CPR/article ern.htm.
14. Miller, RD et al. 2009. Miller’s anesthesia, 7th ed. USA: Elsevier.
15. Aubrey, dkk. 2008. Lecture Notes Kardiologi. Edisi ke 4. Jakarta:
Erlangga.
16. Soenarjo. Jatmiko. 2010. Anastesiologi. Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif. Semarang: FK UNDIP.
17. Link MS, et al. 2010. Part 6: Electrical Therapies Automated External
Defibrilators, Defibrillation, Cardioversion, and Pacing 2010 American
Heart Association Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care.
18. Michael B. Dawson. 2012. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta: EGC.

31

Вам также может понравиться