Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB I KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
Menurut Brown CV, Weng J, Craniotomy adalah Operasi untuk membuka
tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan
memperbaiki kerusakan otak.
Menurut Morton (2012), trauma capitis merupakan cedera yang meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada
kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak. (Brunner and Suddarth Medikal
Surgical Nursing).
B. Tujuan
Craniotomy adalah jenis operasi otak. Ini adalah operasi yang paling umum
dilakukan untuk otak pengangkatan tumor. Operasi ini juga dilakukan untuk
menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan
dari pembuluh, darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki
malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah), untuk
menguras abses otak, untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk
melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak.
C. Etiologi
Etiologi dilakukannya Craniotomy karena :
a. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang
bergerak. Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan
benda tumpul
b. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak.
Misalnya membentur tanah atau mobil.
c. Kombinasi keduanya.
d. Etiologi trauma capitis berat : Trauma tidak langsung disebabkan karena
e. tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala
akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka.
Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan
rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya.
Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh
kompresi, goresan atau tekanan.
D. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen. Jadi kekurangan
aliran darah keotak tidak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi
gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saraf otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan as. Laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan
timbulnya metabolic asidiosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF)
adalah 50 – 60 ml/ menit /100gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah
jantung (CO).
E. Mekanisme cedera
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala.
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena
terkena lemparan benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar
pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan
intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
F. Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah, dan
e. Pembenahan organ-organ intrakranial.
f. Tumor otak
g. Perdarahan (hemorrage)
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
i. Peradangan dalam otak
j. Trauma pada tengkorak
G. Teknik Operasi
Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup kurang
lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan
sebaliknya.
Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril
di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk
kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui
lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII ( kurang lebih 1/3
depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).
Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung

1) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
2) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah
tidak tertekuk (bahayanekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap
dan fiksasi pada doek.
3) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian
dan rawat perdarahan.
4) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai
gambar CT scan.
5) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudsons Brace)
kemudiandengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
6) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
7) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorholedengan kapas basah/ wetjes.
8) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde.Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan
asisten memfixir kepala penderita
9) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara
10) Tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan
elevator kemudianmiringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dansuctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat
dihentikan dengan bonewax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada
perdarahan dari tepi bawahtulang yang merembes tambahkan hitch stitch
pada daerah tersebut kalau perlutambahkan spongostan di bawah tulang.
Bila perdarahan profus dari bawah tulang(berasal dari arteri) tulang boleh
di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecualidicurigai berasal dari
sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpuldengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan denganspoeling berulang-ulang.

H. Manifestasi klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera
otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-
tiba deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan
penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala,
vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera
SSP sendiri tidak meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan
kemungkinan cedera multisistem.

1. Trauma capitis ringan


a. Cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tidak
pingsan, tidak muntah, tidak ada tanda-tanda neurology.
b. Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit,
muntah, nyeri kepala, tidak ada tanda-tanda neurology.
2. Trauma capitis sedang

Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan


tanda-tanda neurology.

3. Trauma capitis berat


a. Laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-
bulan, kelumpuhan anggota gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.
b. Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar
kemudian sadar lagi namun beberapa saat pingsan lagi, mata sembab,
pupil anisokor, bradikardi, tekanan darah dan suhu meningkat.
c. Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala,
TIK meningkat, lumpuh.

I. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien post operasi craniotomy,


antara lain :

a. Edema cerebral
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
c. Hypovolemik syok
d. Hydrocephalus
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes
Insipidus)
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut
lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah
sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.
g. Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan
aseptik dan antiseptik.
h. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka
adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup
waktu pembedahan.
i. Pemeriksaan penunjang Prosedur diagnostik praoperasi dapat
meliputi :
a. Tomografi komputer (pemindaian CT)

Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema

otak sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan

posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.


Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan

karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam

24-72 jam pasca trauma.

b. Pencitraan resonans magnetik (MRI)

Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan

pemeriksaan lesi di potongan lain.

c. Electroencephalogram (EEG)

Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya

gelombang patologis.

d. Angiografy Serebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma

e. Sinar-X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),

pergeseran struktur dari garis tengah (karena

perdarahan,edema), adanya fragmen tulang.

f. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi

korteks dan batang otak

g. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan

perubahan aktivitas metabolisme pada otak

h. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya

perdarahan subarakhnoid
i. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah

ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK

j. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang

berperan dalam meningkatkan TIK/perubahan mental

k. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin

bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran

l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk

mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi

kejang.

K. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Perawatan
Penatalaksanaan Perawatan pada pasien post operasi Craniotomy :
1) Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2) Mempercepat penyembuhan
3) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4) Mempertahankan konsep diri pasien
5) Mempersiapkan pasien pulang
b. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada pasien post craniotomy antara lain :
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringanya trauma
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi
3) Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol
5) Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak
6) Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube
(2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
7) Pembedahan.
c. Penatalaksanaan konservatif
Penatalaksanaan konservatif pada pasien post craniotomy, antara lain :
1) Bedrest total
2) Pemberian obat-obatan
3) Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
BAB II KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Primary Survey

a. Airway

1) Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan
pembedahan akibat pemberian anestesi.

2) Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung.

3) Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.

b. Breathing

1) Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,


sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

2) Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit à


depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan cardiovasculair atau rata-
rata metabolisme yang meningkat.

3) Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan


diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.

c. Circulating:

1) Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.


Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).

2) Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.

d. Disability : berfokus pada status neurologi

1) Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan
tanda-tanda vital.

2) Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan,


kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah.

e. Exposure
Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan
2. Secondary Survey : Pemeriksaan fisik
Pasien nampak tegang, wajah menahan sakit, lemah. Kesadaran somnolent,
apatis, GCS : 4-5-6, T 120/80 mmHg, N 98 x/menit, S 374 0C, RR 20 X/menit.
a. Abdomen.
- Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa tidak
membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit.
- Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus
dilakukan pada gastrointestinal.
b. Ekstremitas
Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4
dan ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat.
c. Integumen.
Kulit keriput, pucat. Turgor sedang
d. Pemeriksaan neurologis
- Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
- Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. Terjadi
penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
- Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
- Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
3. Tersiery Survey
a. Kardiovaskuler
Klien nampak lemah, kulit dan kunjungtiva pucat dan akral hangat. Tekanan
darah 120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik. Pemeriksaan
laboratorium: HB = 9,9 gr%, HCT= 32 dan PLT = 235.
b. Brain
Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah,
refleks dalam batas normal.
c. Blader
Klien terpasang doewer chateter urine tertampung 200 cc, warna kuning
kecoklatan.
B. Diagnosa
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penekanan pusat pernafasan
4. Nyeri berhubungan dengan luka insisi
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan luka post op
C. Intervensi
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan
Kriteria hasil :
a. Meningkatkan tingkat kesadaran biasa / perbaikan, ognisi dan fungsi motorik-
sensori
b. Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma/penurunana perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
Rasional : Menentukan pilihan intervensi. Penurunan tanda dan gejala
neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal
mungkin menunjukkan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan
intensif untuk memantau tekanan TIK dan atau pembedahan
b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (misalnya skala koma Glascow).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran
dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
c. Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh) membuka
hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup (koma).
Rasional : Menentukan tingkat kesadaran.
d. Kaji respon verbal ; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang, tempat
dan waktu baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/ frase yang tidak
sesuai.
Rasional : Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menunjukkan
tingkat kesadaran. Jika kerusakan (dari pembedahan/insisi) yang terjadi sangat
kecil pada korteks serebral, pasien mungkin akan bereaksi dengan baik
terhadap rangsangan verbal yang diberikan tetapi mungkin juga
memperlihatkan seperti ngantuk berat atau tidak kooperatif. Kerusakan yang
lebih luas pada korteks serebral mungkin akan berespon lambat pada perintah
atau tetap tertidur ketika tidak ada perintah, mengalami disorientasi dan stupor.
Kerusakan pada batang otak, pons dan medulla ditandai dengan adanya respon
yang tidak sesuai terhadap rangsang.
e. Pantau TD ; catat adanya hipertensi sistolik secara menerus dan tekanan nadi
yang semakin berat.
Rasional : Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh
penurunan tekanan darah diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret
Tujuan : Menunjukkan bunyi nafas yang jelas
Kriteria hasil :
a. Frekuensi nafas dalam rentang normal.
b. Bebas dipsnea.
Intervensi :
a. Awasi frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
Rasional : Perubahan sputum menunjukkan distress pernafasan
b. Auskultasi paru, perhatikan stridor dan penurunan bunyi nafas
Rasional : Deteksi adanya obstruksi
c. Lakukan suction
Rasional : Untuk mengeluarkan secret
d. Perhatikan adanya warna pucat atau merah pada luka.
Rasional : Dugaan adanya hipoksemia atau karbon monoksida.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penekanan pusat pernafasan
Tujuan : Menunjukkan pola nafas efektif
Kriteria hasil : Menunjukkn perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres
pernafasan
Intervensi :
a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat napas sesuai indikasi.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmunal
(umumnya mengikuti cedera otak postoperasi) atau menandakan lokasi/luasna
keterlibatan otak.
b. Catat kompetensi refleks gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk
melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Rasional : Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan
perlunya ventilasi mekanis.
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas
d. Lakukan perhisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau
dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya
sendiri. Penghisapan pada trakea yang lebih dalam harus dilakukan dengan
ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan
hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang padda akhirnya akan
berpengaruh cukup besar pada perfusi serebral.
e. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-
suara tambahan yang tidak normal (seperti adanya suara tambahan yang tidak
normal seperti krekels, ronki dan mengi).
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
atelektasis kongesti atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi
serebral dan menandakan terjadinya infeksi paru (umumnya merupakan
komplikasi dari craniotomy post operasi).
4. Nyeri berhubungan dengan luka insisi
Tujuan : Nyeri dapat teratasi
Kriteria hasil :
a. Melaporkan rasa nyeri hilang
b. Mengungkapkan metode pemberian menghilangkan rasa nyeri
c. Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dan aktivitas hiburan
sebagai penghilang rasa nyeri.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, skala (0-10). Selidiki dan laporkan
perubahan nyeri dengan tepat
Rasional : Berguna keefektifan penyembuhan. pada karakteristik
menunjukkan
abses.
b. Pertahankan posisi istirahat semi fowler
Rasional : Mengurangi abdomen dengan posisi
c. Dorong ambulasi dini
Rasional : Meningkatkan fungsi organ, merangsang kelancaran
menurunkan ketidaknyamanan.
d. Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan rasa nyeri.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan luka post op
Tujuan : Tidak mengalami infeksi

Kriteria hasil :
a. Mempertahankan nonmotermia, bebas tanda-tanda infeksi
b. Mencapai penyembuhan luka (craniotomi) tepat pada waktunya.
Intervensi :
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang
baik.
Rasional : Cara pertama untuk menghidari infeksi nosokomial.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan),
daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat
karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur.
Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan
segera.
d. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang
mengalami trauma (luka, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nasokomial).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol. 3.


EGC : Jakarta.

Kusuma, Amin. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosis


medis
dan NANDA NIC NOC. Penerbit : Mediaction.

Вам также может понравиться