Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 HIV
II.1.1 Definisi HIV
HIV/AIDS disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan penderita mengalami
penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai
macam penyakit lain. Penyakit ini ditularkan melalui cairan tubuh penderita yang
terjadi melalui proses hubungan seksual, transfusi darah, penggunaan jarum suntik
yang terkontaminasi secara bergantian, dan penularan dari ibu ke anak dalam
kandungan melalui plasenta dan kegiatan menyusui. Menurut Tuti Parwati (1996),
AIDS didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan
karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan manifestasi
stadium akhir infeksi virus “HIV (Human Immunodeficiency Virus)”

II.1.2 Epidemiologi
Kasus HIV di Kabupaten Magelang pada Tahun 2016 adalah 62 orang yang terdiri
dari 55 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Jumlah kasus baru penderita HIV
di kabupaten magelang per tahun 2016 sebanyak 62 orang, dengan 55 diantaranya
pria dan 7 wanita. (Dinkes, 2016).

II.1.3 Etiologi
Penyakit HIV disebabkan oleh virus HIV1 dan HIV2, sejenis virus yang tergolong
dalam retrovirus. Pertama kali diisolasi oleh Montagnier dengan sebutan
Lymphadenpathy Associated virus untuk kemudian disepakati secara internasional
pada tahun 1986 menjadi HIV. sel target virus ini adalah sistem kekebalan tubuh
yakni sel limfosit T karena memiliki reseptor untuk virus HIV yakni CD4. Didalam
limfosit, virus akan berkembang dan merusak daya kerja dari sel limfosit T. Karena
bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus
5
sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium
hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati
diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia
jaringan otak.

Keterangan gambar 1: mikroskop elektron dari virion virus HIV1.

II.1.4 Cara Penularan HIV


HIV dapat ditularkan melalui :
- Ditularkan melalui penggunaan bersama jarum suntik untuk menyuntikkan
obat-obat IV
- Ditularkan selama hubungan seks per anal, hubungan seksual, dan
kemungkinan hubungan seks peroral dengan seseorang yang terjangkit
AIDS atau pembawa virus AIDS.
- Transfusi darah yang mengandung HIV.
- Pemindahan virus dari ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin yang
dikandungnya
AIDS tidak ditularkan karena :
a. hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan
hubungan seks.
b. Bersenggolan dengan penderita.
c. Bersentuhan dengan pakaian dan barang bekas penderita.
6
d. Berjabat tangan.
e. Penderita AIDS bersin atau batuk di dekat kita.
f. Berciuman.
g. Makan dan minum bersama dari satu piring atau gelas.
h. Gigitan nyamuk dan serangga lain.

II.1.5 Gambaran Klinis


Anamnesis harus secara hati hati dilakukan untuk memikirkan kemungkinan
penyebab terinfeksinya pasien/paparan pasien terhadap virus HIV. faktor resiko
diantaranya hubungan seksual yang tidak menggunakan kondom, bergonta ganti
pasnagan, pernah atau didahului infeksi menular seksual seperti gonorea dan infeksi
klamidia, sifilis, herpes genitalia, saling berbagi jarum suntik, mendapatkan
transfusi darah, dll. Pasien mungkin menujukkan tanda dan gejala dari berbagai
stadium infeksi HIV :
- Serokonversi akut : flu like illness, demam, malaise, kemerahan seluruh
tubuh.
- Fase asimptomatik : jinak dan tidak bergejala
- Limfadenopati generalisata
AIDS mungkin bermanifestasi sebagai suatu keganasan oportunistik/infeksi yang
mengancam jiwa, berat, dan sering kambuh. Infeksi HIV sendiri mungkin dapat
sebabkan beberapa sequele, seperti demensia/enselofato terkait AIDS, HIV wasting
syndrome (diare kronik dan kehilangan berat badan tanpa sebab yang jelas).
Pemeriksaan fisik tidak ada yang khusus untuk HIV. limfadenopati generalisata
sering terjadi. Bukti terhadap adanya faktor resiko maupun infeksi oportunistik
konkruen minor (lesi herpetik pada daerah lipat paha, kandidiasis oral yang meluas)
mungkin dapat dijadikan “clue” terhadap adanya infeksi HIV. (medscape, 2018).

II.1.6 Stadium Klinis Infeksi HIV menurut WHO


World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen

7
secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini
berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan.

II.1.7 Orang beresiko HIV


HIV dapat menyerang siapa saja tanpa memandang orientasi seksual, ras, etnis,
jenis kelamin maupun umur. Meskipun begitu, terdapat beberapa kelompok yang
memiliki resiko lebih besar untuk tertular HIV menurut CDC,2018 diantaranya :
- Pria gay dan biseksual dari semua ras dan etnis
- Pengguna obat obatan terlarang dengan injeksi
- Individual transgender
- Individu yang menerima produk darah
- Individu yang terjangkit penyakit menular seksual seperti klamidia,
gonorhea, sifilis, vaginosis bakterialis, dan herpes.
8
- Transmisi dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya

II.2 Ibu Hamil dan HIV


HIV dan AIDS sendiri meningkatkan resiko kematian pada ibu hamil dengan
berbagai mekanisme. Kehamilan terkait HIV meningkatkan kerentanan ibu untuk
menderita malaria maupun tuberkulosis sehingga resiko kematiannya tinggi. Kajian
terhadap 44 penelitian menemukan bahwa status HIV pada ibu hamil berkaitan
dengan tingginya resiko infeksi intrauterin, sepsis puerperal, perdarahan
anterpartum, ruptur uterin, dan partus lama. Selain itu, penilaian proaktif harus
dilakukan untuk mencegah transmisi vertikal HIV dari ibu yang terinfeksi ke bayi
nya selama kehamilan, kelahiran, dan selama menyusui. (Langer, 2018).
Risiko penularan HIV dan ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi
adalah berkisar 20-50%. Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Pada
masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun bila terjadi
peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta,
sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih
sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.

Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
i) Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama
terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin besar
kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang persalinan dan masa
menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel CD4
di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena banyak
sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding terbalik dengan
9
viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut
keduanya bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat gizi
terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu
untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam
darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah
ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara
akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.

ii) Faktor bayi.


a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi dengan
berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan
tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.

iii) Faktor tindakan obstetrik : Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak
terjadi pada saat persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa
menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi
terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan
risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut.
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar
daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak
risiko lainnya untuk ibu.

10
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/ lendir ibu
semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko penularan
HIV.

II.3 Program VCT (voluntary Counseling and Testing)


VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk
ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang berdasarkan prinsip :
- Sukarela dalam melaksanakan testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan
dan tanpa tekanan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak
ditangan klien. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak
direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah,
pekerja seksual, Injecting Drug User (IDU), rekrutmen pegawai / tenaga kerja
Indonesia dan asuransi kesehatan.
- Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua
klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya
oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar
konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam
tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk

11
penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien maka informasi kasus
dari diri klien dapat diketahui.
- Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan
mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi prilaku
beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam
menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
- Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa
diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor
lain yang disetujui oleh klien.

Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)


Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang dibutuhkan,
misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS), klinik Tuberkulosa (TB), Klinik
Tumbuh Kembang Anak dan sebagainya. Lokasi layanan VCT hendaknya perlu
petunjuk atau tanda yang jelas hingga mudah diakses dan mudah diketahui oleh
klien VCT. Namun klinik cukup mudah dimengerti sesuai dengan etika dan budaya
setempat dimana pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi.
Model layanan VCT terdiri atas :
- Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Mobile VCT adalah model layanan dengan penjangkauan dan keliling yan dapat
dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau layanan kesehatan
yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku
berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini diawali
dengan survei atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan
survei tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.
- Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Statis VCT adalah sifatnya terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana

12
kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan
yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki
kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan VCT, layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.

Tahapan layanan voluntary counseling and testing (VCT)


a. Pre-test counseling
Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan
untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien
tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi
pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan
pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari
depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan
informed consent dan konseling seks yang aman.
Gambar 1. Alur Pre-test Counseling (VCT Toolkit : HIV Voluntary
Counseling and Testing 2004)

Di klinik VCT

Klien diberi informasi mengenai prosedur termasuk pilihan untuk menunggu selama 2
jam dan menerima hasil tes pada hari yang sama

Klien diajak berdiskusi mengenai keyakinan menjalani tes


Klien menerima informasi tentang HIV/AID

Adanya biaya yang dikeluarkan Klien terdaftar tanpa


nama/rahasia

Pada beberapa setting (misalnya penyuluhan kesehatan secara umum)

Konselor memberikan penyuluhan informasi umum tentang HIV/AIDS, VCT dan


Mother to child transmission (MTCT)

13
Selama proses pemeriksaan sampel dilakukan diskusi dan demonstrasi penggunaan kondom

Melakukan penilaian tentang :

Kesiapan klien mengetahui status HIV Rencana


klien setelah mengetahui status HIV. Hambatan
untuk mengubah perilaku.
Rencana dan cara mengatasi jika klien HIV positif.
Dukungan dari keluarga dan teman

b. HIV testing
Pada umumnya, tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi antibody dalam darah
seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang, maka di dalam darah akan
terbentuk protein khusus yang disebut antibodi. Antibodi adalah suatu zat yang
dihasilkan sistem kekebalan tubuh manusia sebagai reaksi untuk membendung
serangan bibit penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi terbentuk di dalam
darah seseorang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan tetapi ada juga
sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di
dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV.
Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent Assay

14
(ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk
mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah
kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik
- Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA)
Tes ini digunakan untuk mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV.
Tes ELISA ini dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing.
Hasil positif pada ELISA belum dapat dipastikan bahwa orang yang diperiksa telah
terinfeksi HIV karena tes ini mempunyai sensitivitas tinggi tetapi spesifisitas
rendah. Oleh karena itu masih diperlukan tes pemeriksaan lain untuk
mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan
hasil positif, masih ada dua kemungkinan orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi
HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.
- Rapid test
Penggunaan dengan metode rapid test memungkinkan klien mendapatkan hasil tes
pada hari yang sama dimana pemeriksaan tes hanya membutuhkan waktu 10 menit.
Metode pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah jari dan air liur. Tes ini
mempunyai sensitivitas tinggi (mendekati 100%) dan spesifisitas (>99%). Hasil
positif pada tes ini belum dapat dipastikan apakah dia terinfeksi HIV. Oleh karena
itu diperlukan pemeriksaan tes lain untuk mengkonfirmasi hasil tes ini.
- Western Immunoblot Test
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Western blot digunakan sebagai tes konfirmasi untuk tes HIV lainnya karena
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi untuk memastikan apakah terinfeksi HIV
atau tidak.

15
Gambar 2. Alur Strategi Tes HIV ((VCT Toolkit : HIV Voluntary Counseling
and Testing 2004)

c. Post-test counseling
Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang
bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan
hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional
klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam
kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti
dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, dan membuat
perencanaan dukungan.

16
Gambar 3. Alur Post-test Counseling (VCT Toolkit : HIV Voluntary Counseling
and Testing 2004)

Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)


Menurut kamus pintar Bahasa Indonesia (1995), pemanfaatan berasal dari kata
dasar manfaat yang artinya guna atau faedah. Dengan demikian kata pemanfaatan
berarti menggunakan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan kegunaan atau
faedah dari objek tersebut.
Layanan VCT adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan
klien untuk memahami HIV/AIDS beserta resiko dan konsekuensi terhadap diri,
pasangan, keluarga dan orang di sekitarnya dengan tujuan utama adalah perubahan
perilaku ke arah perilaku yang lebih sehat dan lebih aman (Pedoman Pelayanan
VCT, 2006). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa individu dikatakan

17
memanfaatkan layanan VCT jika dia tahu informasi mengenai layanan VCT dan
mau menggunakan layanan VCT untuk tujuan yang bermanfaat. Dengan demikian
pemanfaatan layanan VCT adalah sejauh mana orang yang pernah melakukan
perilaku beresiko tinggi tertular HIV/AIDS merasa perlu menggunakan layanan
VCT untuk mengatasi masalah kesehatannya, untuk mengurangi perilaku beresiko
dan merencanakan perubahan perilaku sehat.

II.4. Urutan Dalam Siklus Pemecahan Masalah


Setelah didapatkan data maka dilakukan penyelesaian masalah menggunakan
pendekatan manajemen, berikut adalah langkah-langkahnya:
1) Identifikasi masalah
Menetapkan keadaan spesifik yang diharapkan, yang ingin dicapai,
menetapkan indikator tertentu sebagai dasar pengukuran kinerja, kemudian
mempelajari keadaan yang terjadi dengan menghitung atau mengukur hasil
pencapaian. Yang terakhir membandingkan antara keadaan nyata yang
terjadi, dengan keadaan tertentu yang diinginkan atau indikator tertentu yang
sudah ditetapkan.
2) Penentuan penyebab masalah
Penentuan penyebab masalah digali berdasarkan data atau kepustakaan
dengan curah pendapat. Penentuan penyebab masalah dilakukan dengan
menggunakan fishbone. Hal ini hendaknya jangan menyimpang dari masalah
tersebut.
3) Memilih penyebab yang paling mungkin
Penyebab masalah yang paling mungkin harus dipilih dari sebab-sebab
yang didukung oleh data atau konfirmasi dan pengamatan.
4) Menentukan alternatif pemecahan masalah
Sering kali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mudah dari
penyebab yang sudah diidentifikasi. Jika penyebab sudah jelas maka dapat
langsung pada alternatif pemecahan masalah.
5) Penetapan pemecahan masalah terpilih

18
Setelah alternatif pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan
pemilihan pemecahan terpilih. Apabila ditemukan beberapa alternatif maka
digunakan metode matriks untuk menentukan/ memilih pemecahan terbaik.
6) Penyusunan rencana penerapan
Rencana penerapan pemecahan masalah dibuat dalam bentuk POA
(Plan Of Action atau rencana kegiatan).
7) Monitoring dan evaluasi
Ada dua segi pemantauan yaitu apakah kegiatan penerapan pemecahan
masalah yang sedang dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan
menyangkut masalah itu sendiri, apakah permasalahan sudah dapat
dipecahkan.(12)

Penentuan
Identifikasi
Penyebab
Masalah
Masalah

Memilih
Monitoring Penyebab
Dan Evaluasi Yang Paling
Mungkin

Menentukan
Penyusunan
Alternatif
Rencana
Pemecahan
Penerapan
Masalah

Penetapan
Pemecahan
Masalah
Terpilih

Gambar 4. Diagram Analisis Masalah

Analisis masalah dilakukan berdasarkan kerangka pemikiran pendekatan


sistem yang diawali dari input yang meliputi 5M, yaitu man, money, method,
material, machine, kemudian dilanjutkan dengan proses yang meliputi fungsi
19
manajemen (P1, P2, P3) dan manajemen mutu sehingga didapatkanlah output.
Input dan proses dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.
1. Efektivitas program
Pedoman untuk mengukur efektivitas program:
Magnitude (M) : Artinya besarnya penyebab masalah yang dapat
diselesaikan, semakin besar atau banyak penyebab masalah dapat
diselesaikan maka akan semakin efektif.
Importancy (I) : Artinya pentingnya penyelesaian masalah, semakin penting
cara penyelesaian dalam mengatasi penyebab masalah maka akan semakin
efektif.
Vulnerability (V) : Artinya sensitifitas cara penyelesaian masalah, semakin
sensitif maka akan semakin efektif.

2. Efisiensi pogram
Biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah (Cost). Kriteria cost
(C) diberi nilai 1-5. Bila cost- nya makin kecil, maka nilainya mendekati 1.
Skor :

Tabel I. Kriteria Matriks

Magnitude Importancy Vulnerability Cost


1 = Tidak 1 = Sangat
1 = Tidak penting 1 = Tidak sensitif
magnitude murah
2 = Kurang 2 = Kurang 2 = Kurang
2 = Murah
magnitude penting sensitive
3 = Cukup 3 = Cukup 3 = Cukup
3 = Cukup sensitif
magnitude penting murah
4 = Kurang
4 = Magnitude 4 = Penting 4 = Sensitif
Murah

20

Вам также может понравиться