Вы находитесь на странице: 1из 15

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/320417254

ESENSI WAJIB BELAJAR 12 TAHUN SEBAGAI


KEBIJAKAN PUBLIK

Conference Paper · November 2013

CITATIONS READS

0 276

1 author:

Utsman Utsman
Universitas Negeri Semarang
5 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

evaluasi autentik View project

UJI VALIDITAS RELIABILTAS View project

All content following this page was uploaded by Utsman Utsman on 16 October 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ESENSI WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK1

Utsman2
Utsman@mail.unnes.co.id
PENDAHULUAN
Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup
besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah yang
diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program pendidikan yang diakui cukup
sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar menjadi 95,41% persen
pada tahun 2012, dan partisipasi pada tingkat SMP meningkat menjadi 75,64 persen tahun
2012 (PDSP, 2012). Angka partisipasi Sekolah Menengah (SMA/SMK/MA) secara nasional
adalah 70,53 persen dan untuk SMA hanya 30,81%, Angka partisipasi yang terjadi di propinsi
Jawa Tengah terlihat pada tahun 2012 untuk SD sebanyak 96,04 dan SMP senyak 78,3
persen, baik SD dan SMP mencapai di atas rata-rata nasional. Angka partisipasi murni di
kabupaten Magelang pada tahun 2012 adalah pada tingkat pendidikan SD sebanyak 94,59
persen, SMP 72,9 persen, dan SMA 62,04 persen (Bappeda & BPS Magelang, 2013).
Dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena
pendidikan yang belum terselesaikan, diantaranya adalah: yaitu (1) masalah
partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, (2) masalah efisiensi pendidikan, (3) masalah
efektivitas pendidikan, dan (4) masalah relevansi pendidikan.
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan adalah rasio atau
perbandingan antara masukan pendidikan (raw input) atau jumlah penduduk yang tertampung
dalam satuan-satuan pendidikan. Masalah tersebut berhubungan dengan kesadaran orang tua
akan pentingnya pendidikan, kemampuan ekonomi orang tua, kondisi fisik dan psikis calon
peserta didik, terbatasnya daya tampung pendidikan, dan keterjangkauan lokasi pendidikan.
Masalah efisiensi pendidiikan berkenaan dengan proses pengubahan atau transformasi
masukan produk (raw input) menjadi produk (output). Salah satu cara menentukan mutu
transformasi pendidikan adalah mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian
(educational wastage), dalam arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus
sekolah, mengulang atau selesai tidak tepat waktu. Masalah efisiensi pendidikan berhubungan
dengan kualitas : tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, program belajar dan
pembelajaran, sarana/prasarana pendidikan, dan suasana sosial budaya.
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio antara tujuan pendidikan
dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh mana tingkat kesesuaian antara apa
yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas.
Masalah ini erat kaitannya dengan proses pendidikan yang diberikan pada saat melaksanakan
kegiatan pembelajaran di sekolah.
Masalah relevansi berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan
pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang
membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi
pendidikan berhubungan dengan tuntutan satuan pendidikan yang lebih atas yang terus

1
Makalah disampikan pada Seminar Kajian Jarlit pada hari Rabu, 13 November 2013 di
Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
2
Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Semarang Jawa Tengah
meningkat dalam upaya mencapai pendidikan yang lebih berkualitas, aspirasi dan tuntutan
masyarakat yang terus meningkat dalam upaya mencapai kehidupan yang berkualitas,
ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat
Munculnya hal yang memiicu masalah tersebut adalah antara lain: Pertambahan jumlah
penduduk yang cepat, kemampuan ekonomi keluarga, kesadaran akan arti pentingnya
pendidikan bagi kehidupan, terbatasnya daya tampung satuan pendidikan, kualitas tenaga
kependidikan, perkembangan ilmu dan teknologi, aspirasi masyarakat dan tuntutan dunia
pekerjaan, dan keterbelakangan budaya.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut, di
antaranya adalah dengan cara: Penambahan jumlah bangunan atau kelas lembaga pendidikan;
penambahan jumlah tenaga kependidikan; penambahan dan penggantian sejumlah
sarana/prasarana pendidikan; melaksanakan berbagai penataran baik pada guru maupun
tenaga kependidikan lainny; dan melakukan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Namun hasil yang diperoleh masih belum optimal seperti yang diharapkan. Oleh karena itu
mulai tahun anggaran 2013 Kemendikbud akan mulai menjalankan kebijakan baru terkait
upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di Tanah Air melalui beberapa program. Di
antaranya Pendidikan Menengah Universal (PMU), atau dikenal dengan Rintisan Wajib Belajar
12 tahun. Pengguliran program PMU adalah untuk menyukseskan program wajib belajar 12
tahun. (Kompas, 14/10/2013).
Konsekwensi logis dari implementasi kebijakan Kebijakan Wajar 12 Tahun, tentunya
membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Sebagai gambaran pada tahun 2011 anggaran pendidikan telah mencapai Rp 266,9 triliun.
Tahun 2012 meningkat menjadi Rp310,8 triliun dan tahun 2013 ini sebesar Rp 331,8 triliun
atau naik 6,7 persen. Dari sejumlah tersebut menurut Agung Laksono bahwa uang yang
dianggarkan untuk program rintisan wajib belajar 12 tahun sebanyak 25 trilyun hingga pada
tahun 2025. Dengan demikian pada tahun 2030 diharapkan semua angkatan kerja minimal
berpendidikan SMA sederajat (Tempo, 27/11/ 2012).

WAJIB BELJAR 12 SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK


Menurut Keban (2004) bahwa: ”Public Policy dapat dilihat sebagai konsep filosofis,
sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Artinya dapat
ditegaskan bahwa setiap produk kebijakan haruslah memperhatikan substansi dari keadaan
sasaran dari kebijakan, melahirkan sebuah rekomendasi yang memperhatikan berbagai
program yang dapat dijalankan dan diimplementasikan sebagaimana tujuan dari kebijakan
tersebut. Dengan kata lain, kebijakan publik merupakan kebijakan yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah dalam memecahkan suatu masalah atau merupakan seperangkat
rencana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan dan merupakan dasar dalam
pelaksanaan pekerjaan suatu organisasi. Masalah-maslah yang hendak dipecahkan dalam
katannya dengan pendidikan adalah: masalah partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan,
masalah efisiensi pendidikan, masalah efektivitas pendidikan, dan masalah relevansi
pendidikan. Salah satu cara untuk memecahkan masalah adalah dengan rintisan wajib belajar
12 tahun.
Proses pembuatan kebijakan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh lingkungan
sekitarnya. Tuntutan terhadap suatu kebijakan dapat dilahirkan karena adanya pengaruh
lingkungan yang kemudian ditransformasikan ke dalam sistem politik (Dunn, 1994). Dalam
waktu yang bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan
mempengaruhi policy makers. Kebijakan publik pasti akan dibentuk dan membentuk lingkungan
sekitarnya, dimana terjadi interaksi antara lingkungan kebijakan dan kegiatan kebijakan publik
itu sendiri yang memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.
Sistem kebijakan (policy system) menurut (Dunn, 1994). mengandung tiga elemen yang
memiliki hubungan timbal balik: (1) Kebijakan (2) Pelaku Kebijakan, dan (3) Lingkungan
kebijakan. Ketiga elemen dalam sebuah sistem kebijakan saling terkait satu sama lain,
bersinergi dalam setiap proses kebijakan. Pelaku kebijakan menunjukkan responsivitas
terhadap kebijakan yang dilahirkan, dan merealisasikannya ke dalam bentuk implementasi
program kebijakan dengan terlebih dahulu menganalisis seluruh dimensi atau komponen yang
ada, lingkup kebijakan. Arah dan tujuan yang ingin dicapai selanjutnya bergantung pada
sumberdaya institusi pelaksana kebijakan tersebut.
Proses kebijakan dilakukan untuk menciptakan dan secara kritis menilai serta mampu
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap
proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus
berlangsung yang terjadi sepanjang waktu dengan mempertimbangkan pengaruh lingkungan
kebijakan yang ada.
Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, aktor kebijakan adalah lembaga-
lembaga negara dan pemerintah yang berwenang membuat perudang-undangan atau
kebijakan. Kebijakan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang harus diataati oleh smua pihak
yang terkait dengan pertauran atau kebijakan. Seperti halnya kebijakan tentang Rintisan Wajib
Belajar 12 tahun yang dikeluarkan pemerintah, harus ditaati oleh pihak-pihak yang terkait
dengan kebijakan.
Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan
mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu menyangkut masalah konflik, keputusan dan
siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle, 1980). Oleh karena itu tidak salah
jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan
proses kebijakan.
Implementasi kebijakah adalah hal yang paling berat, karena disinilah masalah-masalah
yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan, selain ancaman utamanya yaitu
kurangnya konsistensi dalam implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan dalam konteks
manajemen berada di dalam kerangka organizing-leading-controlling (Dunn, 1994). Dengan
menelusuri model-model implementasi kebijakan publik yang dikemukan oleh para ahli, maka
dapat ditemukan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi dalam implementasi kebijakan
public, baik faktor internal mapun faktor eksternal, dan kedua faktor ini saling terkait satu sama
lain, dan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan program.
Faktor-faktor internal dalam implementasi kebijakan Rintisan Wajar 12 Tahun yang akan
terjadi adalah sebagai berikut: .(1) sumberdaya organisasi pelaksana (2) komunikasi dan
koordinasi (3) komitmen pelaksana, dan (4) dukungan struktur birokrasi, sedangkan faktor
ekternalnya meliputi: (1) pengaruh kondisi ekonomi masyarakat (2) pengaruh lingkungan
dimana masyarakat berada (3) pengaruh budaya masyarakat, dan (4) ketersediaan
jenis/jenjang satuan pendidikan.
ESENSI WAJIB BELEJAR 12 TAHAUN
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab. Pemerintah dan pemerintah daerah. Sesuai dengan kebijakan
pemerintah pusat tentang desentralisasi maka kewenangan penyelenggaraan pendidikan
dikembalikan kepada pemerintah daerah. Akan tetapi segala kewajiban yang timbul terhadap
penyelenggaran pendidikan tetap ditanggung oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat telah
mengeluarkan berbagai kebijakan menyangkut pembiayaan pendidikan seperti program Biaya
Operasinal Sekolah (BOS). Dalam penggunaanya Depdiknas mengeluarkan 5 macam
kebijakan seperti:
1. Biaya satuan BOS, termasuk BOS Buku, per siswa/tahun
2. Dengan kenaikan kesejahteraan guru PNS dan kenaikan BOS dan sebagai konsekuensinya
semua SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah,
kecuali RSBI dan SBI waktu itu.
3. Pemda wajib mengendalikan pungutan biaya operasional di SD dan SMP swasta sehingga
siswa miskin bebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan berlebihan kepada siswa
mampu.
4. Pemda wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS serta memberikan sangsi
bagi pihak yang melanggar.
5. Pemda wajib memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD bila BOS dari Depdiknas
belum mencukupi.
Bantuan pembiayaan oleh pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pendidikan
memungkinkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis untuk tingkat
pendidikan dasar (SD dan SMP, sederajat) Tiap-tiap pemerintah daerah mengeluarkan
kebijakan yang beraneka ragam sesuai kemampuan daerah, bagi daerah yang memiliki
anggaran APBD yang cukup maka pemerintah daerah akan memberikan bantuan derah yang
dapat dipergunakan untuk penyelenggaraan kegiatan siswa
Program Rintisan Wajib Belajar 12 tahun merupakan perwujudan pendidikan untuk
semua anak usia 6 – 18 tahun. Wajib belajar 12 sebenarnya diawali dari program wajib
belajar 9 tahun dan pelaksanaannya telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 2 Mei 1994. Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia
bukanlah wajib belajar dalam arti compulsory education seperti yang dilaksanakan di negara-
negara maju, dengan ciri- ciri:
1. ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah;
2. diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar;
3. tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tidak ada orang tua yang terkena sanksi,
karena telah mendorong anaknya tidak bersekolah; dan
4. ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia lebih merupakan
universal education daripada compulsory education. Universal education berusaha
membuka kesempatan belajar dengan menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua agar
anak yang telah cukup umur mengikuti pendidikan. Dengan demikian, program wajib belajar
pendidkan dasar 9 tahun di Indonesia lebih mengutamakan: pendekatan persuasif; tanggung
jawab moral orang tua dan peserta didik agar merasa terpanggil untuk mengikuti pendidikan
karena berbagai kemudahan yang disediakan; pengaturan tidak dengan undang-undang
khusus; dan penggunaan ukuran keberhasilan yang bersifat makro, yaitu peningkatan
angka partisipasi murni peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar.
Bentuk-bentuk satuan pendidikan untuk membantu menuntaskan program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia terdiri atas 10 wahana dan empat rumpun, baik pada
tingkat SD maupun SMP, yaitu:
1. Rumpun SD dan SMP yang terdiri atas SD dan SMP Biasa, SD dan SMP kecil, dan
SD dan SMP Pamong;
2. Rumpun SD dan SMP Luar Biasa yang terdiri atas SD dan SMP Luar Biasa, SDLB
dan SMPLB, serta SD dan SMP Terpadu;
3. Rumpun Pendidikan Luar Sekolah yang terdiri atas Program Kelompok Belajar Paket A dan
B (Kejar Paket A untuk setingkat SD dan Kejar Paket B untuk setingkat SMP), serta Kursus
Persamaan SD dan SMP;
4. Rumpun Sekolah Keagamaan yang terdiri atas Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Pondok Pesantren.
Bentuk satuan pendidikan dasar formal yang menyelenggarakan program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. SD/SMP Biasa, yaitu SD/SMP yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat
dalam situasi yang normal;
2. SD/SMP Kecil, yaitu SD/SMP negeri yang diselenggarakan di daerah yang
berpenduduk sedikit dan memenuhi persyaratan yang berlaku;
3. SD/SMP Pamong, yaitu SD negeri yang didirikan untuk memberikan pelayanan
pendidikan bagi anak putus SD/SMP dan/atau anak lain yang tidak dapat datang secara
teratur untuk belajar di sekolah;
4. SD/SMP Terpadu, yaitu SD/SMP negeri yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak
yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental bersama anak normal dengan
mempergunakan kurikulum yang berlaku di sekolah.
5. Madrasah Ibtidaiyah/Madrasah Tsanawiyah, yaitu SD/SMP yang berciri khas agama Islam
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat, di bawah bimbingan Departemen
Agama
6. Kelompok belajar Paket A dan Paket B yang diselenggarakan pada berbagai satuan
pendidikan seperti di PKBM dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
Upaya pemerataan dan perluasaan kesempatan pendidikan dasar di Indonesia tidak
hanya bernuansa kuantitatif melainkan juga kualitatif. Strategi perluasan dan
pemerataan kesempatan pendidikan dasar yang bermutu, termasuk pengembangan
pendidikan alternatif, dijadikan sebagai wahana untuk aktualisasi asas pendidikan
sepanjang hayat. Misalnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam diposisikan kembali
sebagai lembaga pendidikan alternatif, sehingga tidak kehilangan karakternya sebagai wahana
pendidikan yang populis dan berperan besar dalam memperkaya sistem pendidikan nasional.
Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka pengelolaan teknis
operasional penyelenggaraan pendidikan dasar di Indonesia menjadi tanggung jawab dan
kewenangan pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan RA/MI/MTs. Tanggung jawab
pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pendidikan adalah menetapkan standar-
standar penyelenggaraan pendidikan dasar, antara lain mencakup: standar isi kurikulum,
standar kompetensi lulusan, standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga
kepedidikan, standar sarana dan fasilitas belajar, standar pembiayaan, dan standar
penilaian proses dan hasil belajar peserta didik. Pembagian tugas dan kewenangan
pengelolaan pendidikan dasar ini secara rinci ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor
25 tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan dan Tanggung Jawab Pemerintah Pusat
dan Daerah Otonom.
Pada tingkat pusat, pengelolaan dan pembinaan pendidikan dasar dilakukan oleh
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam hal ini Direktorat
Pembinaan TK/SD untuk satuan pendidikan TK dan SD, dan Direktorat Pembinaan SMP
untuk satuan pendidikan SMP. Sedangkan pembinaan program Pendidikan Anak Usia Dini,
Paket A, dan Paket B dilksanakan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah. Selain itu,
pembinaan satuan pendidikan RA, MI, dan MTs dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan
Madrasah, Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam, Departemen Agama.
Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pembinaan pendidikan dasar dilaksanakan
oleh Sub Dinas Pendidikan Dasar, dan Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah di
lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing. Selain itu, Kantor
Departemen Agama tingkat provinsi dan kabupaten/kota melalui Bidang Pembinaan
Madrasah melaksanakan pembinaan satuan pendidikan Roudlatul Atfal (RA), Madrasah
Ibtidaiyah (MI), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan wajib belajar 9 mendorongnya untuk
melakukan rintisan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar belajar
12 tahun sebagai kesinambungan program wajib belajar 9 tahun, Maksud pelaksanaan wajib
belajar 12 tahun adalah: memberikan kesempatan belajar kepada anak usia sekolah dari
keluarga tidak mampu (sangat miskin, miskin, mendekati miskin) agar dapat melanjutkan ke
sekolah jenjang SMA sederajat. Sedangkan tujuaannya adalah:
1. Mencegah siswa putus sekolah pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA,SMALB,SMK, dan
MA Negeri dan Swasta) di Kabupaten madiun
2. Menampung Lulusan SMP/MTs/SMPLB atau yang sederajat agar melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi
3. Membantu siswa yang mengalami kesulitan baik disebabkan oleh kondisi ekonomi,
geografis, maupun alasan sosial lainnya serta meningkatkan Angka Partisipasi Kasar
sekolah Menengah
LANDASAN YURIDIS WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
Pendidikan pada esensinya juga bertujuan untuk membantu manusia menemukan
hakekat kemanusiaannya. Proses humanisasi ini adalah proses pembebasan, yaitu
pembebasan manusia dari belenggu stuktur sosial, hegemoni kekuasaan, cara pikir yang salah,
doktrin tertentu dan sebagainya. Namun dalam kehidupannya manusia membuat rule , aturan
atau landasan hukum agar pendidikan itu berjalan sistematis dan memenuhi harapan daripada
tujuan pendidikan itu sendiri.
Dalam negara hukum seperti negara kita Indonesia ini, setiap tindakan pemerintahan baik
dalam pengaturan maupun dalam pelayanan harus berdasarkan atas hukum (peraturan
perundang-undangan), karena dalam negara-negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur
atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan
oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat
pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau
posisi hukum warga masyarakatnya.
Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang
bertingkat, mulai dari UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Ketetapan,
keputusan, sampai peraturan daerah. Kesemuanya mengandung hukum yang patut ditaati,
dimana UUD 1945 merupakan hukum yang tertinggi, sementara peraturan perundang-
undangan yang lain harus tunduk pada UUD 1945.
Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintah tersedia peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika
pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat,
terkadang peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada
pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies ermessen,
yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau
badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya
pada undang-undang. Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare
sate, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies ermessen ini tidak dapat digunakan
tanpa batas. Pendidikan sebagai salah satu bidang yang ditangani oleh pemerintah, dalam
pelaksanaannya tentunya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Begitu luas
cakupan bidang pendidikan membuat begitu banyaknya peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya.. diantaranya adalah: Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 31; Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah; Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen; PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; PP Nomor
48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan; PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru;
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.; Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.; Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaaan Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006; dan Permendiknas Nomor 6
Tahun 2007 tentang Perubahan Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006; Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi
Strategi penataan otonomi daerah yang seluas-luasnya saat ini akan mempengaruhi
penataan institusi dan berdampak pada manajemen berbagai sumber daya yang ada di
daerah. Apabila otonomi daerah dikonsentrasikan di wilayah kota atau kabupaten, maka
propinsi tidak lagi sebagai pemerintah otonom, tetapi bersifat koordinatif. Wewenang
penyelenggaraan segala urusan berada pada tingkat kota atau kabupaten. Hal ini akan
membawa dampak pada penataan sistem pendidikan, termasuk organisasi penyelenggara,
kurikulum, penataan SDM, pendanaan, sistem manajemen, sarana prasarana, dan
pengembangan pendidikan daerah.
Dalam sejarah Otonomi, sangat sulit menemukan inovasi kebijakan daerah di bidang
pendidikan yang murni lahir dari daerah. Mayoritas kebijaka atau program kabupaten/kota
merupakan turunan program nasional dan/atau provinsi. Merujuk UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib
yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, UU No 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (Rodiah, 2009).
Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu bagi
pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Kenyataanya standardisasi dan pengendalian mutu
secara nasional, tidak sedikit kebijakan teknis yang seharusnya bisa diserahkan kepada
daerah justru dimarginalkan pemerintah pusat dengan cara-cara yang cenderung
sentralistis. Contoh kebijakan yang kontroversial selama bertahun-tahun adalah
penyelenggaraan ujian nasional. Meski dikritik dan ditentang kalangan akademisi karena
dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas,
pemerintah tetap menjalankan kebijakan tersebut. Contoh lain adalah mekanisme penyaluran
dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diperuntukkan bagi pembiayaan pendidikan
dasar (SD/MI/salafiah dan SMP/MTs/salafiah). Seharusnya, pembiayaan pendidikan dasar
sebagai salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah daerah disalurkan
melalui mekanisme pembiayaan desentralisasi. Persoalan ini tampaknya dilematis, karena
banyak kasus yang berkaitan dengan dana BOS.
Memang ditengarai bahwa, keberadaan otonomi daerah saat ini dianggap membawa
dampak kemunduran pada pembangunan pendidikan nasional. Pemerintah pusat perlu
menjembatani adanya kesenjangan pemerataan mutu pendidikan antardaerah."Dampak
otonomi daerah tidak bisa dijadikan sebagai alasan terhadap terhambatnya laju
pemerataan dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun, pemerintah harus memainkan perannya secara lebih strategis lagi dengan
menjadi fasilitator dan sekaligus regulator secara benar. "Meski otonomi menghendaki
kebebasan kepada daerah, pusat bisa memainkan peran penting sebagai penjaga mutu
secara nasional. Salah satu strategi yang bisa dijalankan pemerintah, adalah dengan
melibatkan lebih banyak pihak pada dunia pendidikan. Hal itu, sebenarnya juga telah
dicantumkan dalam Pasal 31 UUD 1945, bedanya sampai sekarang belum dijalankan.
Berkaitan dengan itu, pusat bisa saja mengajukan regulasi berkaitan dengan besaran
anggaran pendidikan di tiap daerah. Dengan demikian, daerah nantinya diharapkan dapat
merangkul pihak swasta agar lebih peduli lagi di bidang pendidikan yang terkait erat
dengan peningkatan mutu sumber daya manusia.

2. Telaah Yuridis Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur Pendidikan


Dari sekian banyak peraturan perundangan yang mengatur pendidikan, bahas beberapa
peraturan perundangan yang sering banyak dibicarakan dan menjadi polemik atau issu krusial
di masyarakat, antara lain adalah :
a. Konsep Pelaksanaan Pendidikan di Indonesia
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Indonesia menganut konsep
pendidikan sepanjang hayat, artinya pendidikan berlangsung tidak hanya di sekolah tapi juga di
masyarakat dan keluarga, dalam Undang-Undang Sisdiknas disebut pendidikan formal,
nonformal, dan informasl sebagaimana disebut dalam pasal 13 ayat (1). Konsep (rumusan)
pendidikan menurut UU Sisdiknas juga sesuai dengan fitrah manusia yaitu mengaku adanya
keberagamaan atau perbedaan individu sebagai peserta didik dengan berbagai potensi yang
dimiliki baik dalam aspek fisik, psikis maupun mental. Pendidikan dirumuskan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi didiknya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (pasal 1 ayat 1)
Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa pendidikan nasional berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman dengan
tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. ini berarti teori-teori dan praktik-prakik
pendidikan yang diterapkan di Indonesia haruslah berakar pada nilai-nilai agama dan
kebudayaan nasional Indonesia. Tetapi dalam kenyataannya menunjukkan kita belum
mempunyai teori-teori pendidikan yang khas yang sesuai dengan budaya bangsa. Menurut
Pidarta (2007:43) teori-teori pendidikan beserta praktik-prakinya yang dilakukan sampai saat ini
sebagian besar berupa teori-teori yang diimpor dari luar negeri, dimana para pendidik belajar
disitulah mereka menerima teori-teori pendidikan, dimana para penguasa pendidikan
mengadakan studi banding disitulah meneraka menerima teori-teori itu, kebudian dibawa ke
Indonesia, sebagian ditatarkan kepada para pendidik lainnya, tentu sesudah direvisi penelitian-
penelitian. Sebagian besar diterapkan begitu saja. Karena teori itu banyak ragamnya, yang
diterapkan pun diterapkan sesuai dengan pandangan dan selera pendidik, terutama oleh yang
mempunyai wewenang menentukan kebijakan pendidikan.
Persoalan pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan (Agus Salim, 2007).
Selama bertahun-tahun sejak Indonesia merdeka, selalu dikenal nama Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Namun dalam perjalanannya, penggabungan kedua konsep itu dalam satu
urusan cenderung hanya sebatas penanaman. Dalam praktiknya kedua konsep tersebut sering
kali tidak “nyambung”. Akhirnya hilanglah konsep perpaduan problem pendidikan sebagai
problem budaya, yang lebih bersifat fenomenologis. Ukuran keberhasilan pembangunan
pendidikan juga ditunjukkan dari angka-angka, sementara itu ukuran-ukuran sosial seperti
tumbuh suburnya sikap individualistik serta melemahnya sikap pluralistik budaya kurang
mendapatkan perhatian yang seksama. Dengan demikian tampaknya bahwa teori pendidikan
dan praktik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi undang-undang pendidikan
kita. Oleh karena itu, kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi para pendidik kita, terutama
bagi para ahli pendidikan untuk berupaya menemukan teori-teori pendidikan yang berakar pada
nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa Indonesia.

b. Pendanaan dalam Pendidikan


Amandemen UUD RI 1945 Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa biaya untuk
pendidikan dasar menjadi tanggung jawab pemerintah. Lebih lanjut disebutkan pada pasal 31
ayat (4), bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Angka 20% tersebut tanpa
memasukkan anggaran gaji pegawai dan biaya pendidikan kedinasan sebagaimana disebutkan
dalam pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tahun 2003. namun demikian dengan berbagai alasan
dan pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%. Di daerah alokasi dana
pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif, tetapi kebanyakan belum sampai 20%
dari APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah yang menggratiskan biaya pendidikan
namun tidak dibarengi dengan penambahan anggaran di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto
(2008) keadaan seperti ini akan memperlebar disparitas mutu pendidikan antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain sehingga menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-
masalah sosial di masa depan. .
Lebih lanjut tentang biaya pendidikan diatur dalam PP Nomor 48 tahun 2008 tentang
pendanaan Pendidikan. Beberapa aturan pendaan pendidikan menurut PP Nomor 48 Tahun
2008 pada pasal 2 sebagai berikut :
(1) Biaya pendidikan meliputi: meliputi biaya pendidikan, biaya penyelenggaraan pendidika dan
atai pengelola pendidikan, dan biaya pribadi peserta didik.
2) Biaya satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas biaya
investasi, biaya operasi, bantuan biaya pendidikan, dan besiswa.
(3) Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan
(4) Biaya personalia satuan pendidikan.
c. Eksistensi dan Kompetensi Guru
Dalam Undang-undang guru dan dosen Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005
memberikan pengertian tentang Guru adalah sebagai pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi, peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Undang-undang tersebut memuat beerbagai hal terkait dengan guru, diantaranya
Kedudukan, Fungsi dan Tujuan, Prinsip Profesionalitas, Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi.
Pentingnya sertifikat dalam profesionalitas guru di tekankan dalam pasal 11 (1) UUGD
(undang-undang guru dan dosen) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada
guru yang telah memenuhi persyaratan, Jadi sertifikat diberikan setelah yang bersangkutan
diyakini memenuhi syarat kualifikasi pendidikan dan kompetensi sebagai agen pembelajaran.
diperlukan suatu mekanisme penilaian untuk membuktikan bahwa seseorang telah memenuhi
syarat tersebut.
Syarat menjadi guru menurut UUGD ada dua, yaitu latar belakang pendidikan S1/D4
dengan mata pelajaran yang diajarkan dan penguasaan kompetensi sebagai agen
pembelajaran. Sedangkan sertifikat pendidik pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap
kepemilikan dua syarat tersebut. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Undang-
Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dalam bidang
pendidikan dalam hal ini guru diwajibkan untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan
nasional kita. Persyaratan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut meliputi
persyaratan kualifikasi akademik guru dan persyaratan kemampuan seorang guru atau
kompetensi yang dibuktikan dengan bentuk penguasaan pedagogik, profesi, kepribadian dan
sosial.
d. Desentralisasi Pendidikan
Sentralisasi pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah
menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding dengan
negara-negara lain di dunia. Hal ini telah mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang lebih
demokratis dan lebih sesentralistis dalam pengelolaannya, sehingga dapat mengembangkan
potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan
potensi yang lebih luas. Dengan semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka
dalam Undang-Undang Sisdiknas nomonr 20 Tahun 2003 terdapat banyak pasal yang
menggandengkan kata pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam
pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan
kepentingan lokal daerah sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan
daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban
pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang
berkualitas, sampai hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.
Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10
disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pasal
44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan
mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen
dari APBN pada sektor dari pemerintah kepada 20 persen dari APBD. Ayat (4) dna pendidikan
dari pemerintah kepada pemerintah provinsi / kabupaten / kota diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah
daerah, namun dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan
hak dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.
d. Ujian Nasional
Ujian nasional merupakan penilaian eksternal yang digunakan oleh pemerintah untuk
mengumpulkan data pencapaian prestasi belajar peserta didik secara nasional. Tanpa Ujian
Nasional, sulit untuk mengukur pencapaian hasil belajar anak secara objektif, karena penilaian
internasl yang dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan menggunakan standar yang
berbeda.
Ujian naasional memegang peranan strategis menjaga mutu pendidikan secara nasional,
meskipun diakui sampai kini masih banyak masalah yang muncul, seperti masalah distribusi
soal, masalah kecurangan dalam proses ujian, dan masalah ketidak adilan. Berbagai studi yang
banyak dilakukan, diantaranya oleh Bank Dunia, yang menyimpulkan bahwa ujian pada akhir
satuan pendidikan merupakan strategi peningkatan mutu pendidikan yang banyak dipilih dan
digunakan oleh Negara-negara berkembang yang sumber dayanya relative terbatas.
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah
dengan mengadakan ujian nasional yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran yang dalam
pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Standar Nasional Pendidikan sebagaimana
termaktub dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pelaksanaan
ujian nasional didasarkan atas beberapa peraturan perundang-undangan.
3. Wajib Belajar 12 tahun
Wajib belajar 12 tidak dapat dipisahkan dari rangkaian wajib belajar sebelumnya, yaitu
wajib belajar 6 tahun, dan wajib belajar 9 tahun. Keberhasilan wajib belajar tersebut sebagai
satu pendorong pemerintah untuk melakukan wajib belajar 12 tahun. Wajib belajar adalah
program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung
jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Wajib belajar 12 tahun saat ini sudah menajdi
kebutuhan bangsa Indonesia, termasuk kebutuhan semua masyarakat di kabupaten Magelang.
Menyadari hal ini pemerintah kabupaten Magelang merespon secara positif yang
dibuktikan dengan mengeluarkan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor
1 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pada pasal 19 secara tegas menyatakan:
Pemerintah Daerah berkewajiban untuk: a. menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan; b. menjamin terselenggaranya pendidikan dasar dan menengah yang bermutu bagi
setiap warga sesuai kewenangannya tanpa diskriminasi dan memperhatikan kesetaraan
gender; c. menjamin terselenggaranya program wajib belajar 12 tahun secara
berkelanjutan sesuai kewenangannya; d memberikan layanan dan kemudahan sesuai
wewenangnya dalam pelaksanaan program pendidikan kepada masyarakat.
Sebagai bukti awal bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang akan menjamin
terseleggaranya program wajib belajar 12 tahun adalah Pemerintah telah mempersiapkan
sarana dan prasarana yang diperlukan untuk kegiatan Wajar 12 tahun, antara lain berupa
sarana sekolah dan menyiapkan jumlah guru serta peangkat lainnya. Tabel berikut sebagai
gambaran jumlah sekolah dan guru yang tersedia di kabupaten Magelang.

Tabel 1
Jumlah Sekolah dan Guru di Kabupaten Magelang

JUMLAH SEKOLAH
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
SD/MI/MD Guru SD/MI/MD SMP/MTs Guru SMA/SMK Guru
MA
Negeri 564 6234 59 1672 10+3 448+164
Swasta 40+310+174 565+2554+1388 65 +71 1006+1201 25+32+18 545+858
+393
1.088 10.741 195 3.879 88 2.408
Sumber: Magelang dalam Angkat Tahun 2013
Mencermati tebal 1 tersebut, menggambarkan bahwa Pemda Kabupaten Magelang
telah menyediakan sarana prasarana yang cukup memadai untuk menyambut pelaksanaan
Wajar 12 tahun, dengan memprsiapkan sebanyak 1.088 lembaga SD dan 10.741 guru baik
negeri maupun swasta. Jumlah lembaga SMP/MTs yang dipersipakan untuk mendukung Wajar
12 Tahun sebanyak 195, dan guru negeri maupun swasta sebanyak 3.879. Demikian juga
kesiapan sarana prasarana SMA/SMK/MA yang tersedia sebnayl 88 lembaga dengan jumlah
guru sebanyak 2.408 orang.
Kesemuanya itu dipergunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang
pendidikan, karena prtisipasi masyarakat belum seperti yang diharapkan. Tabel 2
menggambarkan bahwa parstisipasi masysrakat pada pendidikan jenjang SD sederajat sudah
hampar mencapai titik maksimal, namum parstisipasi pada pendidikan SMP sederajat dan SMA
sederajat masih relative rendah yaitu masing-nasing 86,49% dan 62,96%.
Tabel 2
Angka Parsisipasi Sekolah dan Angka Partisipasi Murni
Tahun 2012

Angka Partisipasi Angka Partsisipasi Ket.


No USIA Sekolah Murni
1 7 -12 tahun 99.36 94,59
2 13-15 tahun 86,49 72.97
3 16-17 tahun 62,96 62,04
Sumber: Magelang dalam Angkat Tahun 2013
Demikian juga tingkat partisipasi murni masyarakat terutama pada jenjang SMP
sederajat dan SMA sederajat masih belum sesuai harapan, karena masing-masing baru
mencapai 72,97% dan 62,04%.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI


a. Simpulan
1. Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun adalah merupakan kebijakan publik yang memiliki
makna strategis bagi pembangunan sumber daya mansia yang harus diapresiasi
secara positif oleh semua pihak, baik individu, masyarakat, maupun pemerintah, dengan
demikian nantinya bangsa Indonesia diharapkan mampu bersaing di era gelobal.
2. Ukuran keberhasilan pembangunan pendidikan sering ditunjukkan dari angka-angka,
sementara itu ukuran-ukuran sosial seperti tumbuh suburnya sikap individualistik serta
melemahnya sikap pluralistik budaya kurang mendapatkan perhatian yang seksama.
Dengan demikian tampaknya bahwa teori pendidikan dan praktik pendidikan di
Indonesia belum sepenuhnya memenuhi undang-undang pendidikan kita. Oleh karena
itu, kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi para pendidik kita, terutama bagi para
ahli pendidikan untuk berupaya menemukan teori-teori pendidikan yang berakar pada
nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa Indonesia.
3. Rintisan Wajar 12 Tahun akan menghadapi berbagai persoalan yang krusial di masa
mendatang. Selain persoalan dana dan pengelolaanya juga maslah sumber daya
manusia sebagai pendukung gerakan Wajar 12 tahun. Di samping itu banyaknya aturan
serta otonomi daerah akan bisa terjadi ketimpangan antara daerah satu dengan
lainnya.
4. Untuk menyambut Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun Kabupaten Magelang sudah
mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang wajib belajar
12 tahun, terutama sarana lambaga dan sumber daya manusianyany (guru), walupun di
tengarai untuk pada jenjang pendidikan tertentu masih memiliki kekurangan yang cukup
signifikan dibandingkan dengan kebutuhan yang ada.
b. Rekomendasi
1. Rintisan Wajib Belajar 12 yang digagas pemerintah bukanlah tanggung jawab satu
pihak, oleh karena karena semua unsur terkait harus bergerak secara sinergi untuk
mendukung pelaksaan wajib belajar 12 tahun.
2. Otonomi daerah seringkali dituding sebagai sumber keresahan penerapan kebijakan,
hendaknya melalui rintisan wajib belajar 12 tahun ini benar-benar menunjukkan
eksistensinya untuk menjadi pahlawan dalam gerakan rintisan wajib belaajar 12 tahun.
3. Bagi Pemerintah Daerah kabupaten Magelang, perlu melakukan kerja ektra keras untuk
mensukseskan program rintisan wajar 12 tahun, karena angka partsisipasi murni
pendidikan SMA sederajat masih relative rendah yaitu 62,04%.

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda & Biro Pusat Statistik Kabuapaten Magelang (2013). Magelang dalan Angka.
Dunn, William. N (1994). Public policy analysis. Prentice Hall: New Jersey
Grindle, Merilee S., (ed), 1980, Politics and apolicy implementation in the third world. New
Jersey: Princetown University Press.
Keban, Yeremeas. T. (2004). Enam demensi administrasi publik: Konsep, teori, dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media.
Kompas (14/10/2013). Program Pendidikan Menengah Universal PMU, Upaya Menampung
Semua Penduduk Usia Sekolah. http://www.kopertis12.or.id/2013/10/15/program-
pmu-upaya-menampung-semua-penduduk-usia-sekolah.html
Kemenbud (2012). Pusat Data Statistik Pendidikan. http://pdsp.kemdikbud.go.id/
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DERAH
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan
Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan
Pendidikan
Rodiah (2009). Model strategi kebijakan otonomi daerah dalam percepatan pengarusutamaan
gender bidang pendidikan.. Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas
Nasional Batch Ii. Unnes.
Tampo.Co (27 November 2012). Wajib Belajar 12 Tahun Telan Dana Rp 25 Triliun.
http://id.berita.yahoo.com/wajib-belajar-12-tahun-telan-dana-rp-25-111846836.html

View publication stats

Вам также может понравиться