Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/320417254
CITATIONS READS
0 276
1 author:
Utsman Utsman
Universitas Negeri Semarang
5 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Utsman Utsman on 16 October 2017.
Utsman2
Utsman@mail.unnes.co.id
PENDAHULUAN
Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup
besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah yang
diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program pendidikan yang diakui cukup
sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar menjadi 95,41% persen
pada tahun 2012, dan partisipasi pada tingkat SMP meningkat menjadi 75,64 persen tahun
2012 (PDSP, 2012). Angka partisipasi Sekolah Menengah (SMA/SMK/MA) secara nasional
adalah 70,53 persen dan untuk SMA hanya 30,81%, Angka partisipasi yang terjadi di propinsi
Jawa Tengah terlihat pada tahun 2012 untuk SD sebanyak 96,04 dan SMP senyak 78,3
persen, baik SD dan SMP mencapai di atas rata-rata nasional. Angka partisipasi murni di
kabupaten Magelang pada tahun 2012 adalah pada tingkat pendidikan SD sebanyak 94,59
persen, SMP 72,9 persen, dan SMA 62,04 persen (Bappeda & BPS Magelang, 2013).
Dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena
pendidikan yang belum terselesaikan, diantaranya adalah: yaitu (1) masalah
partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, (2) masalah efisiensi pendidikan, (3) masalah
efektivitas pendidikan, dan (4) masalah relevansi pendidikan.
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan adalah rasio atau
perbandingan antara masukan pendidikan (raw input) atau jumlah penduduk yang tertampung
dalam satuan-satuan pendidikan. Masalah tersebut berhubungan dengan kesadaran orang tua
akan pentingnya pendidikan, kemampuan ekonomi orang tua, kondisi fisik dan psikis calon
peserta didik, terbatasnya daya tampung pendidikan, dan keterjangkauan lokasi pendidikan.
Masalah efisiensi pendidiikan berkenaan dengan proses pengubahan atau transformasi
masukan produk (raw input) menjadi produk (output). Salah satu cara menentukan mutu
transformasi pendidikan adalah mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian
(educational wastage), dalam arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus
sekolah, mengulang atau selesai tidak tepat waktu. Masalah efisiensi pendidikan berhubungan
dengan kualitas : tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, program belajar dan
pembelajaran, sarana/prasarana pendidikan, dan suasana sosial budaya.
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio antara tujuan pendidikan
dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh mana tingkat kesesuaian antara apa
yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas.
Masalah ini erat kaitannya dengan proses pendidikan yang diberikan pada saat melaksanakan
kegiatan pembelajaran di sekolah.
Masalah relevansi berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan
pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang
membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi
pendidikan berhubungan dengan tuntutan satuan pendidikan yang lebih atas yang terus
1
Makalah disampikan pada Seminar Kajian Jarlit pada hari Rabu, 13 November 2013 di
Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
2
Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Semarang Jawa Tengah
meningkat dalam upaya mencapai pendidikan yang lebih berkualitas, aspirasi dan tuntutan
masyarakat yang terus meningkat dalam upaya mencapai kehidupan yang berkualitas,
ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat
Munculnya hal yang memiicu masalah tersebut adalah antara lain: Pertambahan jumlah
penduduk yang cepat, kemampuan ekonomi keluarga, kesadaran akan arti pentingnya
pendidikan bagi kehidupan, terbatasnya daya tampung satuan pendidikan, kualitas tenaga
kependidikan, perkembangan ilmu dan teknologi, aspirasi masyarakat dan tuntutan dunia
pekerjaan, dan keterbelakangan budaya.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut, di
antaranya adalah dengan cara: Penambahan jumlah bangunan atau kelas lembaga pendidikan;
penambahan jumlah tenaga kependidikan; penambahan dan penggantian sejumlah
sarana/prasarana pendidikan; melaksanakan berbagai penataran baik pada guru maupun
tenaga kependidikan lainny; dan melakukan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Namun hasil yang diperoleh masih belum optimal seperti yang diharapkan. Oleh karena itu
mulai tahun anggaran 2013 Kemendikbud akan mulai menjalankan kebijakan baru terkait
upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di Tanah Air melalui beberapa program. Di
antaranya Pendidikan Menengah Universal (PMU), atau dikenal dengan Rintisan Wajib Belajar
12 tahun. Pengguliran program PMU adalah untuk menyukseskan program wajib belajar 12
tahun. (Kompas, 14/10/2013).
Konsekwensi logis dari implementasi kebijakan Kebijakan Wajar 12 Tahun, tentunya
membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Sebagai gambaran pada tahun 2011 anggaran pendidikan telah mencapai Rp 266,9 triliun.
Tahun 2012 meningkat menjadi Rp310,8 triliun dan tahun 2013 ini sebesar Rp 331,8 triliun
atau naik 6,7 persen. Dari sejumlah tersebut menurut Agung Laksono bahwa uang yang
dianggarkan untuk program rintisan wajib belajar 12 tahun sebanyak 25 trilyun hingga pada
tahun 2025. Dengan demikian pada tahun 2030 diharapkan semua angkatan kerja minimal
berpendidikan SMA sederajat (Tempo, 27/11/ 2012).
PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi
Strategi penataan otonomi daerah yang seluas-luasnya saat ini akan mempengaruhi
penataan institusi dan berdampak pada manajemen berbagai sumber daya yang ada di
daerah. Apabila otonomi daerah dikonsentrasikan di wilayah kota atau kabupaten, maka
propinsi tidak lagi sebagai pemerintah otonom, tetapi bersifat koordinatif. Wewenang
penyelenggaraan segala urusan berada pada tingkat kota atau kabupaten. Hal ini akan
membawa dampak pada penataan sistem pendidikan, termasuk organisasi penyelenggara,
kurikulum, penataan SDM, pendanaan, sistem manajemen, sarana prasarana, dan
pengembangan pendidikan daerah.
Dalam sejarah Otonomi, sangat sulit menemukan inovasi kebijakan daerah di bidang
pendidikan yang murni lahir dari daerah. Mayoritas kebijaka atau program kabupaten/kota
merupakan turunan program nasional dan/atau provinsi. Merujuk UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib
yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, UU No 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (Rodiah, 2009).
Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu bagi
pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Kenyataanya standardisasi dan pengendalian mutu
secara nasional, tidak sedikit kebijakan teknis yang seharusnya bisa diserahkan kepada
daerah justru dimarginalkan pemerintah pusat dengan cara-cara yang cenderung
sentralistis. Contoh kebijakan yang kontroversial selama bertahun-tahun adalah
penyelenggaraan ujian nasional. Meski dikritik dan ditentang kalangan akademisi karena
dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas,
pemerintah tetap menjalankan kebijakan tersebut. Contoh lain adalah mekanisme penyaluran
dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diperuntukkan bagi pembiayaan pendidikan
dasar (SD/MI/salafiah dan SMP/MTs/salafiah). Seharusnya, pembiayaan pendidikan dasar
sebagai salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah daerah disalurkan
melalui mekanisme pembiayaan desentralisasi. Persoalan ini tampaknya dilematis, karena
banyak kasus yang berkaitan dengan dana BOS.
Memang ditengarai bahwa, keberadaan otonomi daerah saat ini dianggap membawa
dampak kemunduran pada pembangunan pendidikan nasional. Pemerintah pusat perlu
menjembatani adanya kesenjangan pemerataan mutu pendidikan antardaerah."Dampak
otonomi daerah tidak bisa dijadikan sebagai alasan terhadap terhambatnya laju
pemerataan dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun, pemerintah harus memainkan perannya secara lebih strategis lagi dengan
menjadi fasilitator dan sekaligus regulator secara benar. "Meski otonomi menghendaki
kebebasan kepada daerah, pusat bisa memainkan peran penting sebagai penjaga mutu
secara nasional. Salah satu strategi yang bisa dijalankan pemerintah, adalah dengan
melibatkan lebih banyak pihak pada dunia pendidikan. Hal itu, sebenarnya juga telah
dicantumkan dalam Pasal 31 UUD 1945, bedanya sampai sekarang belum dijalankan.
Berkaitan dengan itu, pusat bisa saja mengajukan regulasi berkaitan dengan besaran
anggaran pendidikan di tiap daerah. Dengan demikian, daerah nantinya diharapkan dapat
merangkul pihak swasta agar lebih peduli lagi di bidang pendidikan yang terkait erat
dengan peningkatan mutu sumber daya manusia.
Tabel 1
Jumlah Sekolah dan Guru di Kabupaten Magelang
JUMLAH SEKOLAH
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
SD/MI/MD Guru SD/MI/MD SMP/MTs Guru SMA/SMK Guru
MA
Negeri 564 6234 59 1672 10+3 448+164
Swasta 40+310+174 565+2554+1388 65 +71 1006+1201 25+32+18 545+858
+393
1.088 10.741 195 3.879 88 2.408
Sumber: Magelang dalam Angkat Tahun 2013
Mencermati tebal 1 tersebut, menggambarkan bahwa Pemda Kabupaten Magelang
telah menyediakan sarana prasarana yang cukup memadai untuk menyambut pelaksanaan
Wajar 12 tahun, dengan memprsiapkan sebanyak 1.088 lembaga SD dan 10.741 guru baik
negeri maupun swasta. Jumlah lembaga SMP/MTs yang dipersipakan untuk mendukung Wajar
12 Tahun sebanyak 195, dan guru negeri maupun swasta sebanyak 3.879. Demikian juga
kesiapan sarana prasarana SMA/SMK/MA yang tersedia sebnayl 88 lembaga dengan jumlah
guru sebanyak 2.408 orang.
Kesemuanya itu dipergunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang
pendidikan, karena prtisipasi masyarakat belum seperti yang diharapkan. Tabel 2
menggambarkan bahwa parstisipasi masysrakat pada pendidikan jenjang SD sederajat sudah
hampar mencapai titik maksimal, namum parstisipasi pada pendidikan SMP sederajat dan SMA
sederajat masih relative rendah yaitu masing-nasing 86,49% dan 62,96%.
Tabel 2
Angka Parsisipasi Sekolah dan Angka Partisipasi Murni
Tahun 2012
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda & Biro Pusat Statistik Kabuapaten Magelang (2013). Magelang dalan Angka.
Dunn, William. N (1994). Public policy analysis. Prentice Hall: New Jersey
Grindle, Merilee S., (ed), 1980, Politics and apolicy implementation in the third world. New
Jersey: Princetown University Press.
Keban, Yeremeas. T. (2004). Enam demensi administrasi publik: Konsep, teori, dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media.
Kompas (14/10/2013). Program Pendidikan Menengah Universal PMU, Upaya Menampung
Semua Penduduk Usia Sekolah. http://www.kopertis12.or.id/2013/10/15/program-
pmu-upaya-menampung-semua-penduduk-usia-sekolah.html
Kemenbud (2012). Pusat Data Statistik Pendidikan. http://pdsp.kemdikbud.go.id/
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DERAH
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan
Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan
Pendidikan
Rodiah (2009). Model strategi kebijakan otonomi daerah dalam percepatan pengarusutamaan
gender bidang pendidikan.. Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas
Nasional Batch Ii. Unnes.
Tampo.Co (27 November 2012). Wajib Belajar 12 Tahun Telan Dana Rp 25 Triliun.
http://id.berita.yahoo.com/wajib-belajar-12-tahun-telan-dana-rp-25-111846836.html