Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pembimbing :
dr. Marta Isyana Dewi, Sp.OG
Disusun Oleh :
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
I. PENDAHULUAN
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. T
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SMK
Alamat : Cibeunying RT 005/002
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Nama Suami : Tn. A
Umur : 30 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : Pegawai BUMN
Alamat : Cibeunying RT 005/002
Agama : Islam
Tanggal masuk RSMS : 29 Agustus 2017
Tanggal periksa : 29 Agustus 2017
No.CM : 00546682
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Hamil dengan myastenia gravis
2. Keluhan Tambahan
Kenceng kenceng jarang, pandangan kabur dan ganda
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RS Majenang datang ke Poliklinik Kandungan
RSMS dengan G2P1A0 28 tahun UK 37+6 minggu dengan myastenia
gravis. Saat ini pasien mengeluhkan kenceng-kenceng sudah dirasakan
namun masih jarang, belum terdapat pengeluaran air dari jalan lahir,
pandangan kabur dan ganda terutama apabila melihat ke sumber cahaya.
Pasien menderita myastenia gravis sejak September 2014 dengan keluhan
awal lemas di kedua tangan kemudian muncul keluhan di mata yaitu tidak
bisa melihat ke atas dan pandangan ganda. Pasien rutin kontrol di poliknik
saraf RSMS dan mengaku sejak hamil keluhan menjadi berkurang.
Sebelum hamil pasien dapat mengeluhkan lemas dan pandangan ganda dan
kabur hingga lima kali seminggu, namun sejak hamil keluhan berkurang
menjadi hanya dua kali selama kehamilan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Alergi : disangkal
g. Riwayat penyakit hati : disangkal
h. Riwayat asma : disangkal
i. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
j. Riwayat Penyakit kandungan : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Alergi : disangkal
g. Riwayat penyakit hati : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
i. Riwayat asma : disangkal
j. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
k. Riwayat Penyakit kandungan : disangkal
6. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 14 tahun
b. Lama haid : ± 7 hari
c. Siklus haid : teratur, 1x/bulan
d. Dismenorrhea : tidak ada
e. Jumlah darah haid : normal (sehari ganti pembalut 2-3 kali)
7. Riwayat Menikah
Pasien menikah sebanyak satu kali. Pernikahan berlangsung selama 8
tahun
8. Riwayat Obstetri
G2P1A0
a. Anak 1 : Laki-laki/ 7 tahun/ spontan/bidan/4200gr
b. Anak 2 : Hamil ini
9. Riwayat KB
Pasien pernah menggunakan KB suntik.
10. Riwayat Ginekologi
a. Riwayat Operasi : tidak ada
b. Riwayat Kuret : tidak ada
c. Riwayat Keputihan : tidak ada
d. Riwayat perdarahan pervaginam : tidak ada
11. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai
pegawai BUMN. Kesan sosial ekonomi keluarga adalah golongan
menegah ke atas. Pasien menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan (BPJS-NON PBI) dalam masalah kontrol kehamilan dan
persalinan. Pasien tidak memiliki riwayat merokok. Biasanya pasien
makan 3 kali sehari, konsumsi makanan bergizi seperti ikan, daging dan
sayuran kurang. Pasien jarang berolahraga. Riwayat konsumsi obat-obatan
terlarang disangkal.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : GCS E4M6V5 (Compos Mentis)
Vital Sign : Tekanan Darah : 110/70 mmHg,
Nadi : 98 x/menit,
Respiratori Rate : 20 x/menit
Suhu : 36.3 ºC
Tinggi Badan : 163 cm
Berat Badan : 70 kg
BB sebelum hamil : 55 kg
Status Gizi : obesitas kelas 1 (BMI: 26.3 kg/m2)
1. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks
pupil +/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm
Telinga : discharge -/- deformitas -/-
Hidung : discharge -/-, nafas cuping hidung -/-
Mulut : sianosis (-), lidah kotor -/-
b. Pemeriksaan leher
Trakea : deviasi trakea (-)
Gld Tiroid : tidak teraba
Limfonodi Colli : tidak teraba
c. Pemeriksaan Toraks
1) Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi
intercosta (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal
(-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri
Ketertinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar vesikuler +/+, SuaraTambahan -/-
2) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
Ictus cordis kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, ST -/-
d. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : Edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-
Inferior : Edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-
2. Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : cembung gravid, venektasi (-), Spider nevi (-),
striae gravidarum (+)
Palpasi : TFU 33 cm
Leopold 1: kesan lunak
Leopold 2: sebelah kanan kesan keras dan datar.
sebelah kiri teraba bagian kecil
Leopold 3: kesan keras
Leopold 4: tidak bisa digerakkan
DJJ : 140-160x/menit
Perkusi : redup
Auskultasi : BU (+) Normal, regular
3. Pemeriksaan Genitalia
a. Regio Genitalia
Inspeksi :
Rambut pubis tersebar merata, Edema vulva (-), Benjolan (-), Varises
(-), Fluor (-), Perdarahan (-)
b. Vaginal toucher :
1) Fluor albus :-
2) Perdarahan pervaginam :-
3) Vagina : lunak
4) Fornix : masih teraba
5) Posisi portio : ditengah
6) Permukaan portio : licin
7) Konsistensi portio : lunak
8) OUE : pembukaan -
9) KK :+
D. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.1. Hasil pemeriksaan Laboratorium
JENIS TANGGAL NILAI RUJUKAN
30/08/2017
PEMERIKSAAN
Hb 12.2 11.7-15.5
Leukosit 15200 3600-11000
Hematokrit 36 35-47
Eritrosit 4.6 3.8-5.2
Trombosit 244000 150000-440000
PT 10.1 9.3-11.4
APTT 28.0 L 29-40.2
GDS 87 <=200
Natrium 142 134-146
Kalium 4.1 3.4-4.5
Klorida 107 96-108
E. Diagnosis
G2P1A0 Usia 28 Tahun Hamil 37 Minggu 6 Hari Janin Tunggal Hidup Intra
Uterin Presentasi Kepala Punggung Kanan Belum Inpartu dengan Myastenia
Gravis
F. Tatalaksana
1. SCTP + MOW elektif
2. PO Mestinon 2x180mg
H. Status Bayi
1. Jenis kelamin : perempuan
2. Berat Badan : 2850 gram
3. Panjang Badan : 45 cm
4. Lingkar Kepala : 34 cm
5. Lingkar Dada : 33 cm
6. Anus : berlubang
J. Diagnosis Akhir
Para 2 Abortus 0 usia 28 tahun post SCTP + MOW a.i myastenia gravis
K. Prognosis
Ibu : Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Bayi : Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Tingginya angka prevalensi myastenia gravis (MG) pada wanita usia subur,
dan karena MG tidak mempengaruhi fertilitas pada wanita, maka bukan suatu
keanehan untuk menemukan kasus kehamilan dengan MG. Efek kehamilan pada
MG bervariasi pada setiap wanita dan bahkan pada setiap kehamilan pada wanita
yang sama. Selama kehamilan, gejala dapat memburuk pada 41% wanita dengan
MG, sementara 30% tidak menunjukkan perubahan dan 29% mengalami remisi.
Perbaikan gejala selama trimester kedua dan ketiga dihubungkan dengan
perubahan imunosupresif normal pada kehamilan akhir. Eksaserbasi gejala
biasanya terjadi pada trimester pertama atau setelah persalinan. Risiko mortalitas
maternal paling tinggi terjadi saat tahun pertama setelah terdiagnosis MG,
sehingga wanita dengan MG dianjurkan untuk menunda kehamilan setidaknya 2
tahun setelah onset penyakit. Dengan berbagai pertimbangan ini, kehamilan belum
menunjukkan efek samping pada MG dalam jangka panjang (Chaudhry et al.,
2012).
Pada kasus ini, pasien mengakui selama kehamilan gejala membaik, dimana
sebelum hamil gejala dapat muncul 3 kali dalam seminggu sementara ketika hamil
hanya muncul 2 kali sepanjang kehamilan.
Secara umum, MG tidak memiliki efek samping berat pada kehamilan.
Berbagai laporan tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko abortus spontan
atau kelahiran prematur pada wanita dengan MG. Sebaliknya, kehamilan dengan
MG mungkin dapat menyebabkan terjadinya transient neonatal MG pada bayinya.
Hal ini terjadi pada 10-20% kasus akibat transfer antibodi IgG melalui plasenta
saat trimester kedua dan ketiga. Neonatus ini biasanya akan muncul gejala saat
usia 2-4 hari, dengan gejala meliputi masalah pernapasan, kelemahan otot,
menangis merintih, lemah menyedot, dan ptosis. Kondisi ini biasanya membaik
setelah 3 minggu tanpa komplikasi, akibat degradasi antibodi dari ibu (Chaudhry
et al., 2012).
Pada pasien ini tidak terjadi kelahiran prematur maupun abortus, dimana ibu
datang ke poliklinik kebidanan RSMS dengan usia kehamilan aterm atau 37+6
minggu. Kondisi bayi sesaat setelah lahir hingga pulang pada usia 3 hari pun
dalam kondisi baik dan tidak menunjukkan gejala transient neonatal MG.
Uterus terdiri dari otot halus dan tidak dipengaruhi oleh adanya antibodi
reseptor Ach, sehingga persalinan pervaginam direkomendasikan pada wanita
dengan MG. Kala II peringan seperti forsep atau vakum ekstraksi mungkin
dibutuhkan karena otot lurik terlibat pada kala II dan otot-otot ini dipengaruhi
oleh antibodi reseptor Ach. Sectio caesarea dilakukan hanya apabila terdapat
indikasi obstetri, karena operasi dapat menyebabkan stress pada wanita dengan
MG. Anestesi epidural direkomendasikan selama proses kelahiran karena obat
neuromuskular dan narkotika dapat meningkatkan efek antibodi reseptor ACh
pada neuromuscular junction (Chaudhry et al., 2012).
Pada pasien ini persalinan dilakukan secara perabdominal yaitu SCTP dan
juga dilakukan tindakan sterilisasi/ MOW.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Epidemiologi
Penelitian mengenai myasthenia gravis (MG) terlah dilakukan diseluruh
dunia selama lebih dari 60 tahun, baik dalam lingkup populasi luas maupun
populasi rumah sakit tertentu. MG merupakan penyakit neurologis yang
jarang terjadi, namun insidensi tahunan dilaporkan semakin meningkat dari
1.4 – 9.1 kasus per satu juta penduduk pada tahun 1950-1980an sampai 24.9
kasus per satu juta penduduk di tahun 2012. Hal ini terutama terjadi pada
populasi usia tua. Hal ini juga berimbas pada peningkatan angka prevalensi
yang semula kurang dari 30 per satu juta penduduk ke lebih dari 300 per satu
juta penduduk pada tahun 2014. Beberapa hal yang dapat menjelaskan tren ini
adalah kemampuan mengenali MG yang lebih baik karena alat diagnostik
yang lebih baik, peningkatan kesadaran neurologis, peningkatan usia rata-rata
populasi dan perubahan gaya hidup, faktor lingkungan atau genetik
(Andersen, 2016).
Jenis kelamin dan usia diduga mempengaruhi terjadinya myasthenia
gravis. Dibawah usia 40 tahun, rasio wanita:pria adalah 3:1, namun, diantara
usia 40 dan 50 serta usia remaja, rasionya kurang lebih sama. Berbeda halnya
dengan pada populasi dengan usia diatas 50 tahun, dimana MG lebih umum
terjadi pada laki-laki. MG masa kanak-kanak jarang terjadi di Eropa dan
Amerika Utara, yakni hanya 10 sampai 15% kasus. Sementara di negara-
negara Asia, sampai dengan 50% pasien mengalami onset kejadian pertama
dibawah usia 15 tahun, utamanya dengan gejala okular murni (Trouth et al,
2012).
Prevalensi MG berkisar antara 1 per 10.000 dan 1 per 50.000, dengan
2/3 diantaranya merupakan wanita. Pada umumnya, wanita dengan MG
berada pada dekade kedua dan ketiga hidupnya yang mana merupakan usia
produktifnya. Meskipun dapat terjadi kapan saja pada masa kehamilan,
namun umumnya terjadi sejak awal trimester atau satu bulan postpartum.
Perbaikan gejala ditemukan pada 20-40% pasien di trimester kedua dan
ketiga kehamilan (Berlit et al, 2012). Karena tingginya prevalensi MG pada
wanita usia reproduksi dan karena MG tidak mempengaruhi fertilitas wanita,
bukan merupakan suatu ketidakwajaran untuk melihat wanita hamil dengan
MG. Efek MG pada kehamilan berbeda-beda pada tiap wanita, bahkan pada
kehamilan yang berbeda pada wanita yang sama. Gejala memburuk pada 41%
wanita dengan MG, 30% tidak menunjukkan perubahan, dan 29% mengalami
remisi gejala (Chaudry et al, 2012).
Neonatal Myasthenia Gravis (NMG) atau Transient Neonatal
Myasthenia Gravis (TNMG) merupakan penyakit yang dimediasi imun, yang
berbeda dari myasthenia gravis juvenile maupun sindroma myasthenic
kongenital. NMG merupakan penyakit transien yang muncul setelah bayi
lahir dari ibu yang memiliki myasthenia gravis autoimun. Sekitar 5-30% anak
yang lahir dari ibu dengan MG autoimun menderita NMG (Peragallo, 2015).
Kejadian TNMG tidak bergantung pada ras maupun jenis kelamin bayi, serta
tidak ada korelasi antara keparahan penyakit pada ibu dengan outcome pada
bayi. Resiko terjadinya TNMG secara signifikan lebih rendah pada anak
pertama (Gomella et al, 2016).
C. Etiologi
Penyebab myastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin
(Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat
reaksi autoimun (Trouth, AJ. et all, 2012).
Secara garis besar dapat dibagi menjadi 2: (Trouth, AJ. et all, 2012).
a. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR,
atau kelebihan kolinesterase.
b. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG (neonatal myasthenia
gravis)
Sejauh ini belum diketahui secara pasti faktor risiko dari myastenia
gravis. Namun seseorang dengan riwayat keluarga myastenia gravis mungkin
memiliki risiko lebih besar untuk terkena penyakit ini. Wanita biasanya
terkena myastenia gravis antara usia 20-40 tahun dan laki-laki biasanya
setelah usia 60 tahun. Namun myastenia gravis bisa terjadi pada semua usia
(Boyd, 2016).
Sedangkan neonatal myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan
oleh wanita yang mengalami myasthenia gravis. Antibodi melawan
acetylcholine, yang beredar di dalam darah, dapat melewati plasenta dan
menuju ke janin. Pada beberapa kasus, bayi mengalami kelemahan otot yang
hilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir. Sisa 88% bayi
tidak terkena (Mervan, 2015).
D. Patogenesis
Patogenesis MG bergantung pada target dan isotype autoantibodi.
Kebanyakan kasus dikarenakan oleh antibodi immunoglobulin (Ig) G1 dan
IgG3 terhadap acetylcholine receptor (AChR). Kombinasi tersebut
membentuk kerusakan yang dimediasi komplemen dan meningkatkan
turnover AChR yang menyebabkan berkurangnya AChR pada membran
postsinaps. Kelenjar timus terlibat dalam patogenesis MG di banyak pasien
namun masih diperlukan lebih banyak penelitian mengenai kegagalan
toleransi imun terhadap AChR. Sementara itu, pada pasien tanpa antibodi
AChR, ditemukan antibodi terhadap muscle-specific tyrosine kinase (MuSK),
atau protein yang berhubungan seperti agrin dan low-density receptor-related
protein 4 (LRP4). Antibodi MuSK yang dominan adalah IgG4 dan
menyembabkan pemisahan neuromuscular junction dengan cara mengganggu
fungsi fisiologis MuSK pada pemeliharaan dan adaptasi sinaps (Phillips dan
Vincent, 2016).
Terminal saraf yang menginervasi neuromuscular junction (NMJ) dari
otot rangka berasal dari arborisasi α-motor neuron cornu anterior spinal dan
batang otak. NMJ sendiri terdiri atas lekukan sinaps dan ruang setebal 20 nm
yang mengandung acetylcholinesterase (AChE) serta protein/proteoglikan
pendukung. Membran postsinaps NMJ memiliki lipatan dalam dengan AChR
yang padat menutupi bagian atas lipatan. Ketika potensial aksi mencapai
sinaps, depolarisasi membuka kanal kalsium pada membran presinaps,
memicu pengeluaran ACh ke dalam lipatan sinaps. ACh kemudian berdifusi
ke lipatan sinaps untuk mencapai reseptor di membran postsinaps yang
kemudian memicu end-plate potential (EPP) dan dihidrolisasi oleh AChE
dalam lipatan sinaps (Trouth et al, 2012).
MuSK, sebuah protein transmembran postsinaps membentuk salah satu
bagian dari reseptor untuk agrin, sebuah protein yang ada pada basal lamina
sinaps. Interaksi agrin/MuSK memicu dan mempertahankan pengelompokan
AChR dan protein postsinaps lain yang bergantung pada rapsyn. Rapsyn
merupakan protein membran perifer pada membran postsinaps yang penting
dalam pengelompokan/clustering AChR. EPP yang dibentuk pada NMJ
normal lebih besar dari ambang batas yang dibutuhkan untuk menciptakan
potensial aksi postsinaps sampai beberapa kali lipat. Faktor keamanan
transmisi neuromuscular ini berkurang pada pasien MG (Trouth et al, 2012).
Reduksi aktivitas molekul AChR pada NMJ mengurangi EPP, yang
mungkin masih cukup pada keadaan istirahat. Namun, jika pengeluaran ACh
berkurang setelah aktivitas repetitive, kadar EPP mungkin akan turun
dibawah ambang batas yang dibutuhkan untuk memicu potensial aksi. Hal
inilah yang kemudian ditranslasi sebagai kelemahan otot secara klinis. Jika
pada saat istirahat EPP secara konsisten berada dibawah ambang batas
potensial aksi, kelemahan otot yang terjadi dapat menjadi kelemahan yang
persisten (Trouth et al, 2012).
E. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi myastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita myastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Pada myastenia gravis, defek
yang mendasar adalah pengurangan dalam jumlah reseptor asetil kolin yang
tersedia pada membrane otot pasca sinaps. Perubahan ini menyebabkan
berkurangnya efisiensi transmisi neuromuscular. Karena itu, walaupun Ach
dibebaskan secara normal, akan menghasilkan potensial lempengan akhir
kecil yang mungkin gagal mencetuskan potensial aksi otot. Jumlah ACH yang
dilepaskan setiap impuls secara normal menurun pada aktivitas yang
berulang. Pada pasien miastenik transmisi neuromuscular yang berkurang
efisiensinya digabung dengan rundown normal menghasilkan aktivasi yang
lebih sedikitdan lebih sedikit serabut otot dengan impuls saraf yang berturut-
turut dan oleh karena itu kelemahan bertambah. Kelainan neuromuscular pada
MG disebabkan oleh respon autoimun yang diperantarai oleh anti body anti-
AchRyang spesifik. Antibody anti-AchR mengurangi jumlah AchR yang
tersedia pada neuromuscular junction oleh tiga mekanisme yang berbeda :
(Corwin, 2009)
2. Tempat aktif achr yakni tempat yang secara normal mengikat ach,dapat
diblok oleh antibodi
3. Membrane otot pasca sinaps dapat dirusak oleh antibodi dalam kerjasama
dengan sistem komplemen.
Pada ibu dengan myastenia gravis yang sedang hamil, terdapat risiko
terjadinya transient neonatal myastenia gravis yang penyababnya adalah
antibodi anti acetylcholine reseptor dari ibu dengan karakteristik IgG yang
secara pasif melewati plasenta. Hal ini menyebabkan beberapa gejala antara
lain kesulitan minum, pernapasan yang kurang adekuat, hipotonus. Ketika
antibodi ibu perlahan digantikan oleh antibodi bayi itu sendiri,
gejala dari myastenia pada bayi akan hilang perlahan, biasanya
dalam beberapa munggu bayi dapat kembali normal.
F. Diagnosis
Diagnosis MG biasanya didasarkan pada gejala dan tanda
tipikan pada MG, tes farmakologis, antibody assay testing, pemeriksaan
elektrofisiologis dan radiologis (Ropper dan Brown, 2005; Andersen, 2016).
1. Gejala klinis meliputi:
a. Kelemahan atau fatigue yang berfluktuasi pada kelompok otot spesifik,
membaik dengan istirahat dan memburuk dengan aktivitas. Pada
anamnesis perlu digali pula mengenai variasi diurnal.
b. Kelemahan pada otot ekstra okular yang menyebabkan ptosis dan
diplopia
c. Dalam 2 tahun pertama kelemahan biasanya meliputi otot wajah,
ekstremitas, dan aksial.
2. Tanda dan pemeriksaan yang perlu dilakukan:
a. Pemeriksaan otot okular: memeriksa kemampuan pasien dalam
mempertahankan pandangan tetap kearah atas atau samping selama 30
detik (tes ptosis).
b. Pemeriksaan otot wajah, terutama kaitannya dengan menutup mata.
c. Pemeriksaan fitur bulbar: misalnya dengan berbicara dan mengunyah
d. Pemeriksaan otot aksial: misalnya dengan memeriksa ekstensi dan
fleksi leher pasien.
e. Pemeriksaan ekstremitas proksimal: misalnya dengan meminta pasien
meregangkan lengan selama 1 menit.
f. Pemeriksaan pernafasan: takipnea atau orthopnea dapat menjadi tanda
keterkaitan system respirasi dan meningkatkan resiko terjadinya krisis
myasthenia.
3. Pemeriksaan Farmakologi
Setelah ditemukan adanya kecurigaan diagnosis MG setelah pemeriksaan
klinis, respon otot yang dicurigai mengalami kelemahan terhadap obat
penghambat AChE dapat diperiksa. Pemberian pyridostigmine per oral
dapat dilakukan, namun edrophonium (tes Tensilon) yang memiliki onset
cepat dan waktu paruh pendek lebih disukai. Obat tersebut diberikan
secara intravena dan perbaikan bermakna yang dinilai secara objektif
dianggap sebagai respon positif dan spesifik tinggi MG. Tes tersebut kini
hanya digunakan untuk menilai kasus yang dicurigai MG tanpa antibodi
yang terdeteksi.
Saat ini, terdapat alat yang menggunakan radio-receptor assay (RIA
technique) dengan AChR sebagai antigen. Konsentrasi antibodi AChR
diukur dalam nmol.L dan peningkatan lebih dari batas (0.5 nmol/L)
dianggap hamper 100% spesifik MG. Antibodi AChR hanya dapat
dideteksi pada 85% pasien MG dengan gejala menyeluruh dan pada 50%
pasien dengan kelemahan murni okular. Pada pasien dengan klinis MG
namun hasil ACh-R-antibody assay yang negatife, pemeriksaan antibodi
MuSK perlu dilakukan. Sementara itu, pemeriksaan untuk identifikasi
antibodi LRP4 saat ini belum tersedia.
4. Elektrofisiologi
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan Single-Fiber Electromyography
(SFEMG) merupakan dua tes elektrofisiologi yang paling penting dalam
diagnosis MG. Penurunan kadar AChR dan pengurangan kanal natrium
karena alterasi morfologi membran postsinaps menyebabkan abnormalitas
elektrofisiologis. Penurunan amplitude potensial aksi otot setelah RNS
disebut decremental response. Penurunan pengeluaran ACh mencapai
maksimum setelah empat stimulasi pertama dengan frekuensi tinggi (2-5
Hz). Decremental response > 10% dianggap abnormal dan hasil abnormal
pada RNS memiliki spesifisitas 95% terhadap MG, bergantung pada
operator dan otot yang diuji, sementara sensitivitasnya mencapai 75% pada
MG umum dan 50% pada MG okular.
Waktu yang dibutuhkan EPP untuk mencapai ambang batas potensial aksi
otot bervariasi. Variasi ini dapat diukur dengan iregularitas neuromuscular
dengan SFEMG. Iregularitas atau jitters tersebut terjadi karena adanya
perbedaan waktu pergerakan dua serat otot. Pada MG, jitters tersebut
meningkat pada 95-99% kasus jika otot yang sesuai diuji. Nilai prediksi
SFEMG cukup tinggi namun spesifisitasnya berada dibawah tes repetitif.
Kedua tes tersebut bersifat krusial untuk mendeteksi MG dengan antibodi
negatif, namun tidak diperlukan bila antibodi AChR atau MuSK telah
ditemukan.
5. Radiologi
Patologi timus umum terjadi pada MG dan semua pasien yang
dikonfirmasi atau dicurigai MG perlu diperiksa dengan CT thorax atau
MRI untuk mengeksklusi adanya thymoma. Hyperplasia timus dan
thymoma mungkin masih sulit dibedakan pada gambaran radiologi, namun
thymoma digambarkan sebagai masa lobular homogeny pada mediastinum
anterior. Kelenjal timus berukuran normal tidak menyingkirkan
kemungkinan hyperplasia, yang mana sulit didiagnosa melalui gambaran
radiologi biasa.
Sementara itu, MG sering diklasifikasikan secara umum dan berdasar
klasifikasi klinisnya (Robles dan Villamizar, 2009; Trouth et al, 2012;
Wendell dan Levine, 2011).
1. MG secara umum
a. Early onset MG: usia saat onset < 50 tahun, hyperplasia timus, biasanya
wanita
b. Late onset MG: usia saat onset > 50 tahun, atrofi timus, terutama laki-
laki
c. Thymoma-associated MG
d. MG dengan antibodi anti-MUsK
e. MG okular (oMG): gejala hanya pada otot ekstaokular
f. MG tanpa antibodi AChR dan MuSK yang terdeteksi
5) Myasthenia crisis
Komplikasi myasthenia gravis yang ditandai dengan kelemahan otot
yang memburuk, menyebabkan kegagalan respirasi dan
membutuhkan intubasi atau ventilasi mekanik.
Beberapa tanda dari TNMG diantaranya adalah kesulitan menyusu,
respiratory distress, menangis lemah, dan ekspresi wajah yang kurang, serta
bisa terdapat kelemahan otot ekstraokular dan ptosis. Bantuan pernafasan
mungkin pula diperlukan. Setelah antibody bersih dari tubuh bayi, efek
samping atau tanda dan gejala myasthenia mungkin tidak lagi terlihat, tidak
seperti pada sindroma myasthenic kongenital dimana gejala akan menetap.
Acetylcholine receptor (AchR) antibody testing tersedia di pasaran dan perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita MG, termasuk TNMG. Uji
lain yang dilakukan untuk mendeteksi MG pada pasien dewasa dapat pula
dilakukan untuk mendiagnosis MG pada anak-anak. Salah satu alternative
lain untuk membantu diagnosis yaitu ice test, dimana kantung es dilekatkan
pada salah satu atau kedua mata selama dua menit, kemudian dilepas. Jika
ptosis membaik sebanyak 2 mm atau lebih maka dianggap hasilnya positif
dan tingkat sensitivitasnya adalah 80% (Peragallo, 2015).
G. Penatalaksanaan
Berikut adalah beberapa terapi yang dapat digunakan pada myastenia
gravis: (Gold R, 2008):
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 1545 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya
bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang
menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan
secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0
mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase
sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot
dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan
daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat
pada myastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk
konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi,
dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-
pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu
banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi
untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling
mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih
dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk myastenia
gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days)
untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari
eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi.
Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120
mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan
memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan
preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan
secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis
minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak
harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan
hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid
dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8
minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan
azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca
operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan.
Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak
bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda
adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi
dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan
dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam
waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat
imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun
demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat
memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di
rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena
kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi
tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
Uterus terbentuk dari otot polos yang tidak berkaitan dengan antibodi
reseptor Ach dan melahirkan dengan pervaginam direkomendasikan untuk
pasien dengan Miastenia Gravis. pada kala II mungkin diperlukan tindakan
forcep atau vakum ekstraksi , karena otot rangka selama kala II diperlukan
saat persalinan yang bisa berpengaruh pada antibodi reseptor Ach. Sectio
secaria hanya boleh dilakukan apabila ada indikasi ostetrik karena operasi
bisa menyebabkan keadaan ‘stress’ pada wanita dengan Miastenia Gravis.
Anestesi epidural direkomendasikan selama persalinan karena obat
neuromuskular dan narkotika dapat memicu antibosi reseptor Ach pada neuro
muskular junction (Chaudry SA, 2012).
H. Prognosis
Prognosis myasthenia gravis bervariasi pada masing-masing individu.
Meskipun remisi spontan jarang terjadi, outcome jangka panjang secara
umum baik dan angka harapan hidup serupa dengan orang normal. Kematian
karena eksaserbasi MG atau krisis MG termasuk sangat jarang. Faktor
prognostik MG diantaranya adalah usia saat onset dan waktu diagnosis dari
onset. Tingkat keparahan MG kemungkinan dapat ditentukan dalam 2-3 tahun
pertama setelah onset dengan 70% pasien mencapai tingkat keparahan
maksimal pada 1 tahun pertama dan 85% pada 3 tahun pertama. Setelah itu,
gejala klinis biasanya akan membaik atau mencapai titik stabil. Pada MG
okular, jika dalam dua tahun pertama tidak berkembang menjadi MG umum
maka kemungkinan besar akan tetap menjadi MG okular murni (Andersen,
2016).
Menurut Berlit et al (20120), prognosis MG pada kehamilan dan juga
pengaruhnya pada outcome kehamilan sampai saat ini masih belum
terprediksi. Beberapa penelitian menunjukkan 31% pasien memiliki gejala
klinis yang stabil saat hamil, 29% mengalami perbaikan gejala sementara
40% mengalami eksaserbasi atau perburukan gejala. Kejadian yang berkaitan
dengan MG pada kehamilan pertama tidak sepenuhnya memprediksi kejadian
yang sama pada kehamilan-kehamilan selanjutnya. Sementara menurut
Chaudry et al (2012), tidak ada bukti yang menunjukkan MG dapat
memperburuk outcome kehamilan dan kebanyakan medikasi yang digunakan
untuk mengontrol gejala MG relatif aman digunakan saat hamil. Namun
demikian, bayi yang dilahirkan perlu diawasi dengan hati-hati terutama dalam
12-48 jam postpartum untuk mengetahui ada atau tidaknya MG neonatal.
Perlu dicatat bahwa tidak ada korelasi antara keparahan MG maternal dengan
kejadian MG neonatal.
V. KESIMPULAN