Вы находитесь на странице: 1из 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah sebuah Negara rawan gempa, dimana bencana tersebut harus
dihadapi dalam setiap saat maupun dalam waktu tertentu. Oleh karena itu
penanggulangan bencana harus ditangani secara integral, holistik dan komprehensif.
Beberapa tahun terakhir ini intensitas bencana (seperti: gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, dsb) sering terjadi. Bencana tersebut tidak hanya menimpa
wilayah Indonesia, tapi juga menimpa wilayah belahan bumi lainnya. Di Indonesia
sebagaimana diketahui bahwa titik-titik rawan gempa/bencana (antara lain di daerah
Aceh, Yogyakarta, Padang, Bengkulu, dan Papua), merupakan daerah titik rawan
gempa. Selain disebabkan oleh faktor alam dan atau non alam, juga oleh faktor
manusia. Bencana yang disebabkan oleh faktor alam; seperti gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, dan tanah longsor, dan lain-lain, sementara yang disebabkan
oleh faktor manusia adalah seperti konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan terror.
Untuk mengatasi permasalahan bencana tersebut, berbagai pihak telah terlibat
dalam persoalan tersebut, namun peran vital Negara tidak dapat dinafikan, dalam hal
ini Pemerintah harus bertanggung jawab dalam penanggulanggan bencana. Selain
karena bencana (baik yang disebabkan oleh faktor alam dan atau non alam, maupun
oleh faktor manusia), kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis, serta sangat berpengaruh besar terhadap kesejahteraan warga negara.
Akibat dari peristiwa tersebut dampak dari bencana juga bersifat kompleks sehingga
dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik, dan sosial.
Tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan bunyi Pembukaan Undang-Undang
Dasar RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa:
“Pemerintah atau Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem penanggulangan bencana terpadu?


2. Bagaimana aspek etik legal dalam penanggulangan bencana?
3. Apa saja kebijakan pada tahapan proses penanggulangan bencana?

1.3 Tujuan

Agar mahasiswa mengerti tentang sistem penanggulangan bencana dan dapat


menambah wawasan masyarakat secara umum sehingga dapat turut serta dalam upaya
penanggulangan bencana.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Penanggulangan Bencana


Sistem nasional penanggulangan bencana merupakan sistem pengaturan yang
menyeluruh tentang kelembagaan, penyelenggaraan, tata-kerja dan mekanisme
serta pendanaan dalam penanggulangan bencana, yang ditetapkan dalam pedoman
atau peraturan dan perundangan. Sistem nasional PENANGGULANGAN
BENCANA ini terdiri dari komponen-komponen, yaitu: hukum, peraturan dan
perundangan, kelembagaan, perencanaan, penyelenggaraan PB, pengelolaan
sumber daya, serta pendanaan sebagaimana tertera pada Gambar di bawah ini.

gambar. Sistem Nasional Penanggulangan Bencana


 Sub Sistem Legislasi:
Legislasi merupakan salah satu sub sistem dalam sistem nasional
penanggulangan bencana yang menjelaskan mengenai peraturan-peraturan
perundangan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana di Indonesia,
yang antara lain adalah sebagai berikut:
A. Nasional:
1) Undang-undang Nomor 24/2007
2) Peraturan Pemerintah:
a. Penyelenggaraan PB (PP. No. 21/2007)
b. Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP. No. 22/2007).

3
c. Peran Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah
(PP. No. 23/2007).
3) Peraturan Presiden: Pembentukan BNPB (No. Perpres 8/2008).
4) Peraturan Kepala Badan.
B. Daerah:
1) Peraturan Daerah.
2) Pembentukan BPBD.
 Sub Sistem Kelembagaan:
Kelembagaan merupakan hal yang penting bagi sebuah institusi. Dengan
adanya sub system kelembagaan dalam sistem kerja yang baik akan menciptakan
kinerja institusi yang baik pula. Salah satu unsur sub sistem kelembagaan adalah
terdapatnya bagan struktur kelembagaan.
A. Pembentukan BPBD:
Di setiap daerah Propinsi dibentuk BPBD Propinsi. BPBD Propinsi berada
di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur. Pembentukan BPBD
Kab/kota berdasarkan ancaman/bahaya yang mengancam daerahnya. BPBD
Kab/Kota berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
Dalam membentuk BPBD, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kab/Kota
berkoordinasi dengan BNPB [UU 24/2007 Pasal 19 ayat (2)].
B. Kedudukan BPBD:
Kedudukan BPBD Propinsi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur, sedangkan BPBD Kab/Kota berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota.
C. Tugas dan Fungsi BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota:
1. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan PEMDA
dan BNPB.
2. Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan PB.
3. Menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan bencana.
4. Melaksanakan penyelenggaraan PB.
5. Melaporkan penyelenggaraan PB kepada Gub/Bupati/Walikota.
6. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran.
7. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang

4
 Sub sistem Perencanaan:
Inti dari sub sistem perencanaan ini adalah pemaduan PB dalam Perencanaan
Pembangunan (Nasional / Daerah), yang terdiri dari pemaduan PB dalam RPJP
(D), RPJM (D) dan RKP (D) dan Penyusunan RAN-PRB dan RAD-PRB.
A. Pemaduan PB dalam Perencanaan Pembangunan (Nasional / Daerah)
1) PB dalam RPJP (D), RPJM (D) dan RKP (D).
2) Penyusunan RAN-PRB dan RAD-PRB.
B. Perencanaan PB:
Dalam perencanaan PB, hal yang dilakukan antara lain adalah:
1) Pembuatan Rencana PB (Disaster Management Plan).
2) Rencana Kedaruratan (Emergency Plan).
3) Rencana Kontinjensi (Contingency Plan).
4) Rencana Operasi (Operation Plan).
5) Rencana Pemulihan (Recovery Plan).
 Sub sistem Pendanaan
Dalam sub sistem pendanaan, berbagai hal yang berhubungan dengan keuangan
dalam penanggulangan bencana akan dikelola dengan sebaik-baiknya. Sumber
dana dalam penanggulangan bencana tersebut adalah sebagai berikut:
A. Dana DIPA (APBN/APBD)
1) Untuk mendukung kegiatan rutin dan operasional lembaga/departemen
terutama untuk kegiatan pengurangan risiko bencana.
2) DAK untuk pemda Provinsi/Kab/Kota diwujudkan dalam mata anggaran
kebencanaan, disesuaikan dengan tingkat kerawanan dan kemampuan
daerah.
B. Dana contingency
Dana contingency di gunakan untuk penanganan kesiapsiagaan.
a. Dana Siap Pakai (on call).
Dana ini di manfaatkan untuk bantuan kemanusiaan (relief) pada saat
terjadi bencana.
b. Dana Sosial yang berpola hibah.
c. Dana yang bersumber dari masyarakat.

5
 Sub sistem IPTEK dan Penyelenggaraan
Sub sistem ini sangat vital dalam penanggulangan bencana, sebab akan menentukan
efektivitas proses penanggulangan bencana. Kegiatan-kegiatannya adalah sebagai
berikut:
A. Pendidikan dan Pelatihan.
Memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum sekolah. Membuka
program studi “disaster management” di perguruan tinggi. Menyusun standar
modul pelatihan manajemen bencana. Melakukan pelatihan manajer dan teknis
penanggulangan bencana. Mencetak tenaga profesional dan ahli PB.
B. Penelitian dan pengembangan Iptek Kebencanaan:
Pemahaman karakteristik ancaman/hazard dan teknologi penanganannya.
C. Penerapan Teknologi Penanggulangan Bencana, contoh:
Mapping dan Tataruang (Bappenas di Nabire, Alor). Deteksi dini/EWS
(gunung api, Tsunami, Banjir, Tanah Longsor, dll) (BMG,
ESDM/Vulkanologi, PU). Rumah Tahan Gempa, pengaturan building code
(PU). Teknologi untuk penanganan darurat (Depkes, Basarnas). Teknologi
Pangan untuk bantuan darurat (BPPT, Deptan, Perguruan Tinggi)

2.2 Aspek Etik dan Legal Dalam Keperawatan Bencana


The American Medical Association telah menciptakan aturan baru yang kuat
menangani tugas dokter untuk merawat pasien sejak peristiwa 11 September 2001,
namun profesi lainnya belum mengikuti. Sampai saat ini, penyedia layanan kesehatan
akan terus dihadapkan pada pembuatan keputusan etis menantang dengan sedikit arah
(Grimaldi, 2007).
Berikut ini adalah dari kebijakan yang diadopsi oleh American Medical Association
pada tahun 2004: Bencana nasional, regional, dan tanggapan lokal untuk epidemi,
serangan teroris dan bencana lainnya memerlukan keterlibatan yang luas dari dokter.
Karena komitmen mereka untuk merawat orang sakit dan terluka, dokter individu
memiliki kewajiban untuk memberikan perawatan medis darurat selama bencana.
kewajiban etis ini berlaku bahkan dalam menghadapi risiko lebih besar dari biasanya
untuk mengutamakan keselamatan, kesehatan, atau kehidupan mereka. Tenaga kerja
dokter, bagaimanapun bukan merupakan sumber daya terbatas, karena itu, ketika

6
berpartisipasi dalam respon bencana, dokter harus menyeimbangkan manfaat langsung
kepada pasien individu dengan kemampuan untuk merawat pasien di masa depan.
Pernyataan terkait pemberian pelayanan keperawatan: Perawat mempromosikan,
menganjurkan dan berusaha untuk melindungi kesehatan, keselamatan, dan hak-hak
pasien". Dipihak lain perawat berkewajiban menjaga dirinya sendiri. "Perawat
berutang tugas yang sama untuk dirinya sebelum merawat orang lain, termasuk
tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keselamatan, untuk mempertahankan
kompetensi dan untuk melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional. Perlu
penyamaan persepsi lebih lanjut terkait pernyataan yang sedikit berlawanan di atas
yang menyatakan bahwa perawat memiliki kewajiban untuk memberikan perawatan
bagi pasien dan pernyataan bahwa perawat diwajibkan untuk menjaga keselamatan
diri.
Wynia mendaftar tantangan utama etika yang dihadapi penyedia layanan kesehatan
dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat yaitu penjatahan, pembatasan, dan
tanggung jawab. Penjatahan merupakan penawaran khusus dengan alokasi sumber
daya. Triage dapat menimbulkan dilema etika karena mungkin ada sumber daya yang
terbatas dalam kaitannya dengan sejumlah besar orang yang membutuhkan
pengobatan. Beberapa mungkin mempertanyakan apakah triase itu etis.
Pembatasan dapat membatasi kebebasan dan kemerdekaan di kedua pasien dan
pekerja kesehatan. Tantangan ketiga adalah tanggung jawab etis. Ini mungkin
merupakan tantangan terbesar karena sulit untuk memprediksi apa yang akan
dilakukan selama masa crisis. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kode etik untuk
sebagian besar profesi kesehatan hanya menyarankan bahwa penyedia layanan
melaksanakan kewajiban kepada pasien mereka, sementara pada saat yang sama
mereka ambigu dengan menyatakan bahwa ada juga ada kewajiban untuk mengurus
diri sendiri (Grimaldi, 2007).
1. Etik dalam Keperawatan Bencana
Menurut ANA, Etik dalam Keperawatan Bencana adalah:
a. Perawat, dalam semua hubungan profesional, praktek dengan kasih sayang dan
rasa hormat terhadap martabat yang melekat, nilai, dan keunikan setiap
individu, dibatasi oleh pertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut pribadi,
atau sifat masalah kesehatan

7
b. Perawat komitmen utama adalah untuk pasien, baik individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat
c. Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan berusaha untuk melindungi
kesehatan, keselamatan, dan hak pasien
d. Perawat bertanggung jawab dan akuntabel untuk praktek keperawatan individu
dan menentukan delegasi yang sesuai tugas sesuai dengan kewajiban perawat
untuk memberikan perawatan pasien yang optimal.
e. Perawat bertanggung jawab untuk dirinya dan untuk lainnya, termasuk
tanggung jawab untuk menjaga integritas dan keamanan, untuk menjaga
kompetensi, dan melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional.
f. Perawat berpartisipasi dalam membangun, memelihara, dan meningkatkan
lingkungan perawatan kesehatan dan kondisi kerja yang kondusif bagi
penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan konsisten dengan nilai-
nilai profesi melalui aksi individu dan kolektif
g. Perawat berpartisipasi dalam kemajuan profesi melalui kontribusi untuk
berlatih, pendidikan, administrasi, dan pengembangan pengetahuan
h. Perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan masyarakat
dalam mempromosikan masyarakat, nasional, dan upaya internasional hanya
untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
i. Profesi keperawatan, yang diwakili oleh asosiasi dan anggotanya, bertanggung
jawab untuk mengartikulasikan nilai keperawatan, untuk menjaga integritas
profesi dan praktek, dan untuk membentuk kebijakan social.
2. Aspek legal
a. SAMARITAN LAW: menolong karena kerelaan menolong yang membutuhkan
b. UU PENANGGULANGAN BENCANA UU No. 24 Tahun 2017: tindakan
saat tanggap bencana
c. UU KESEHATAN, UU No. 36 Thn 2009 (63) Pengobatan dan perawatan
menggunakan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan
- Pasal 32: Pada kondisi darurat pelayanan kesehatan diberikan tanpa uang
muka
- Pasal 53 (3): pelayanan kesehatan harus mendahulukan pertolongan
penyelamatan nyawa pasien dibandingkan kepentingan lainnya

8
- Pasal 58 (3): tuntutan ganti rugi tidak berlaku jika utk menyelamatkan
nyawa dalam keadaan darurat
- Pasal 82; 83: pelayanan pada kondisi darurat dan bencana

d. UU No.38 Tahun 2014 PASAL 28 (AYAT 3): Praktik keperawatan didasarkan


pada: kode etik, standar pelayanan, standar profesi, dan SOP
e. UU No. 38 Tahun 2014 PASAL 35:
1. Dalam kondisi darurat perawat dapat melakukan tindakan medis dan
pemberian obat sesuai kompetensinya

2. Tujuan menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut

3. Keadaan darurat merupakan keadaan mengancam nyawa atau kecacatan

4. Keadaan darurat ditetapkan olehperawat dg hasil evaluasi berdasarkan


keilmuannya

2.3 Tahapan/Mekanisme Penanggulangan Bencana

Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen bencana


(disaster management) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Penanggulangan bencana adalah segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan


dalam rangka pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan
berkaitan dengan bencana yang dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah bencana.
(UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).

9
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran paradigma dari
pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik (menyeluruh). Pada pendekatan
konvensional bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terelakkan dan
korban harus segera mendapatkan pertolongan, sehingga manajemen bencana lebih
fokus pada hal yang bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response).
Selanjutnya paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan
pengelolaan risiko yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik
yang bersifat struktural maupun non-struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap
bencana, dan upaya membangun kesiap-siagaan.

Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma


manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe-Jepang,
diselenggarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference on
Disaster Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi
kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi
dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima prioritas kegiatan untuk tahun 2005-
2015, yaitu:

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah


yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat.
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem
peringatan dini
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan membangun kesadaran
keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkat masyarakat.
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar
respons yang dilakukan lebih efektif.
A. Tahapan dan Kegiatan dalam Penanggulangan Bencana
Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi tahap pra bencana, tahap tanggap darurat, dan
tahap pascabencana.
1) Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan, yaitu:

10
a. Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang
berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak
menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam situasi tidak tejadi bencana meliputi:
- Perencanaan penanggulangan bencana;
- Pengurangan risiko bencana;
- Pencegahan;
- Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
- Persyaratan analisis risiko bencana;
- Pelakasanaan dan penegakan rencana tata ruang;
- Pendidikan dan pelatihan;
- Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:
a) Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan dalam situasi
terdapat potensi terjadinya bencana dilakukan melalui:
1) Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan darurat bencana.
2) Pengorganisasian, pemasangan dan pengujian sistim peringatandini.
3) Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhankebutuhan dasar.
4) Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan geladi tentangmekanisme
tanggap darurat.
5) Penyiapan lokasi evakuasi.
6) Penyusunan data akurat, informasi dan pemutahiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana.
7) Penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan
untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
b) Peringatan Dini. Dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat
dalam rangka mengurangi resiko terkena bencana serta mempersiapkan
tindakan tanggap darurat dan dilakukan melalui:

11
1) Pengamatan gejala bencana.
2) Analisis hasil pengamatan gejala bencana.
3) Pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang.
4) Penyebar luasan informasi tentang peringatan bencana.
5) Pengambilan tindakan oleh masyarakat.
c) Mitigasi. Dilakukan untuk mengurangi resiko bencana bagimasyarakat yang
berada pada kawasan rawan bencana, yangdilakukan melalui:
1) Pelaksanaan tata ruang yang berdasarkan analisis resiko bencana.
2) Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata bangunan.
3) Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern.
2) Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera setelah bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelematan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelematan, serta pemulihan sarana dan
pra sarana.
Pada tahap Tanggap Darurat dilakukan pengaktifan Rencana Operasi
(Operation Plan) yang merupakan operasionalisasi dari Rencana Kedaruratan
atau Rencana Kontijensi.Contoh tindakan tanggap darurat, yaitu:
1. Evakuasi.
2. Pencarian dan penyelamatan.
3. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD).
4. Penyediaan kebutuhan dasar seperti air dan sanitasi, pangan, sandang,
papan, kesehatan, konseling.
5. Pemulihan segera fasilitas dasar seperti telekomunikasi, transportasi, listrik,
pasokan air untuk mendukung kelancaran kegiatan tanggap darurat.
B. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, yaitu:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi kerusakan dansumber daya
dilakukan untuk mengidentifikasi:
1) Cakupan lokasi bencana.
2) Jumlah korban.

12
3) kerusakan prasarana dan sarana.
4) Gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan.
5) Kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
b. Penentuan status keadaan darurat bencana. Keadaan darurat bencana
dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan
bencana untuk tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, Tingkat Provinsi oleh
Gubernur dan tingkat Kabupaten/Kota olehBupati/Wali kota. Pada saat status
keadaan darurat bencana ditetapkan BNPB dan BPBD memiliki kemudahan
akses dibidang:
1) Pengerahan sumber daya manusia.
2) Pengerahan peralatan.
3) Pengerahan logistik.
4) Imigrasi, cukai dan karantina.
5) Perijinan.
6) Pengadaan barang dan jasa.
7) Pengelolaan dan pertanggung jawaban uang / barang.
8) Penyelamatan.
9) Komando untuk memerintahkan instansi/lembaga.
c. Penyelamatan dan Evakuasi Korban. Pada tahap ini dilakukan dengan
memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi
pada suatu daerah melalui upaya:
1) Pencarian dan penyelamatan korban
2) pertolongan darurat.
3) Evakuasi korban dan pemakaman korban yang meninggal dunia.
4) Pemenuhan Kebutuhan Dasar. Dalam tahap ini pemerintah harus
menyediakan kebutuhan dasar meliputi:
a) Kebutuhan air bersih dan sanitasi.
b) Pangan.
c) Sandang.
d) Pelayanan kesehatan.
e) Pelayanan Psikososial.
f) Penampungan dan tempat hunian.

13
5) Perlindungan terhadap kelompok rentan. Dilakukan denganmemberikan
prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan dan psikososial. Adapun yang termasuk
kelompok rentan terdiri atas:
a) Bayi, balita dan anak-anak.
b) Ibu yang sedang mengandung dan menyusui.
c) penyandang cacat.
d) Lanjut usia.
6) Pemulihan prasarana dan sarana vital. Pemulihan prasarana dansarana vital
bertujuan berfungsinya prasarana dan sarana vital dengan segera, agar
kehidupan masyarakat tetap berlangsung, dilakukan dengan
memperbaiki/menggantikan kerusakan akibat bencana.

Tahap tindakan dalam tanggap darurat dibagi menjadi dua fase yaitu
fase akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi
disebut fase penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase
sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.

3) Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
1. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
Rehabilitasi pada wilayah pasca bencana dilakukan melalui kegiatan:
a. Perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. Perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. Pemberian bantuan sosial psikologis;
d. Pelayanan kesehatan;
e. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
f. Pemulihan keamanan dan ketertiban;
g. Pemulihan fungsi pelayanan publik

14
2. Rekonstruksi
Rekonstruksi dilakukan untuk mempercepat pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana serta kelembagaan pada wilayah pascabencana,
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan prioritas dari kegiatan
rekonstruksi dengan didasarkan pada analisis kerusakan dan kerugian akibat
bencana. Rekonstruksi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan:
a. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
d. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih
baik dan tahan bencana;
e. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha dan masyarakat;
f. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
h. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
C. Tujuan Penanggulangan Bencana
1) Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
2) Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
3) Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.
4) Menghargai budaya lokal.
5) Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
6) Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan dankedemawanan.
7) Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsadan
bernegara.
D. Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana
Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24
Tahun 2007, yaitu:
1. Cepat dan tepat. Dalam penanggulangan harus dilaksanakan secaracepat dan
tepat sesuai dengan tuntunan keadaan.

15
2. Prioritas. Apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harusmendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatanmanusia.
3. Koordinasikan dan keterpaduan. Penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung. Sedangkanketerpaduan adalah
penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagaisektor secara terpadu yang
didasarkan pada kerja sama yang baik dansaling mendukung.
4. Berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan berdaya gunaadalah
dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang
waktu, tenaga dan biaya yang berlebihan. Sedangkan berhasil guna adalah
kegiatan penanggulangan bencana harus berhasilguna dalam mengatasi
kesulitan masyarakat.
5. Transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan transparansi pada
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung
jawabkan, sedangkan akuntabilitas berarti dapat dipertanggung jawabkan
secara etik dan hukum.
6. Kemandiriaan. Bahwa penanggulangan bencana utamanya harusdilakukan
oleh masyarakat didaerah rawan bencana secara swadaya.
7. Nondiskriminasi. Bahwa negara dalam penanggulangan bencana
tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku
agama, ras dan aliran politik apapun.
8. Nonproletisi. Dalam penanggulangan bencana dilarangmenyebarkan agama
atau kenyakinan terutama pada saat pemberian bantuan dan pelayanan darurat
bencana.
E. Asas-Asas Dalam Penanggulangan Bencana
i. Kemanusiaan. Memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak azasi
manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
ii. Keadilan. Setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
harus mecerminkan keadilan secara proporsional bagi setiapwarga negara
tanpa kecuali.

16
iii. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Penanggulangan
bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakanlatar belakang antara lain,
agama, suku, golongan, gender atau statussosial.
iv. Keseimbangan, Keselarasan dan Keserasian. Dalam penanggulangan bencana
harus mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial danlingkungan,
keselarasan tata kehidupan dan lingkungan sertamencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
v. Ketertiban dan kepastian hukum. Penanggulangan bencana harus
dapatmenimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanyakepastian hukum.
vi. Kebersamaan. Penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugasdan
tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat yangdilakukan
secara gotong royong.
vii. Kelestarian lingkungan hidup. Materi muatan ketentuan
dalam penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan
untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi
untuk kepentingan bangsa dan negara.
viii. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Penanggulangan bencana
harusmemanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal
sehinggamempermudah dan mempercepat proses penanggulangan bencana
baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana maupun pada
tahap pasca bencana.
F. Kebijakan Pemerintah Indonesia Berkaitan dengan Penanggulangan
Bencana
Apa itu Bencana, menurut UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana,
bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Pengertian bencana menurut International Strategy for Disaster Reduction
(ISDR): Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat,

17
sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi
materi, ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang
bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

Sistem nasional penanggulangan di Indonesia dibuat menuju upaya


penanggulangan bencana secara tepat. Pada tahun 2008, PERATURAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA, bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, dipandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Badan Nasional.

Penanggulangan Bencana BNPB mempunyai tugas:

a. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan


bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
b. Menetapkan standarlisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan peraturan perundangundangan;
c. Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada
masyarakat;
d. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada presiden setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat
bencana;
e. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional
dan internasional;
f. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran
pendapatan dan belanja negara;
g. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan;
dan
h. Menyusun pedoman pembentukan badan penanggulangan bencana daerah.

18
Secara umum, DASAR HUKUM penanggulangan bencana di Indonesia
(Yultekni,2012), yaitu:
1. UUD 1945 RI, Pasal 4, Ayat 1
2. UU No.24 Th. 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
3. PP No. 38 Th. 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
4. PP No. 21 Th. 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5. PP No. 32 Th. 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.
6. Pepres No. 8 Th. 2008 Tentang BNPB

Karena kebijakan terbaru yang dibuat oleh pemerintah adalah perundangan tahun
2008, maka kami akan membahas tentang kebijakan perundangan penanggulangan
bencana tahun 2008.Kami menyajikan dalam 4 kategori:

a. Pada tahap kesiapan


Paragraf 4, Pepres No. 8 Th. 2008 Tentang BNPB, Deputi Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan
 Pasal 19 berisi:
a. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala BNPB.
b. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan dipimpin oleh Deputi.
 Pasal 20
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan mempunyai tugas
mengkoordinasikan dan melaksanakan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada prabencana serta pemberdayaan masyarakat.
 Pasal 21
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Deputi
Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
prabencana serta pemberdayaan masyarakat;
b) pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada prabencana serta pemberdayaan
masyarakat;

19
c) pelaksanaan hubungan kerja di bidang penanggulangan bencana pada
prabencana serta pemberdayaan masyarakat;
d) pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan
kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada prabencana
serta pemberdayaan masyarakat.
b. Pada saat tanggap darurat bencana
 Terdapat pada Pasal 23
Deputi Bidang Penanganan Darurat mempunyai tugas mengkoordinasikan
dan melaksanakan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana
pada saat tanggap darurat.
 Pasal 24
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Deputi
Bidang Penanganan Darurat menyelenggarakan fungsi:
i. perumusan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
saat tanggap darurat dan penanganan pengungsi;
ii. pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat dan penanganan
pengungsi;
iii. komando pelaksanaan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat;
iv. pelaksanaan hubungan kerja di bidang penanggulangan bencana pada
saat tanggap darurat dan penanganan pengungsi;
v. pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan
kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat dan penanganan pengungsi.
c. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
 Pasal 25
1. Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala BNPB.
2. Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi dipimpin oleh Deputi.
 Pasal 26

20
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi mempunyai tugas
mengkoordinasikan dan melaksanakan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada pascabencana.
 Pasal 27
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Deputi
Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
pascabencana;
b. pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan umum di bidang
penanggulangan bencana pada pascabencana;
c. pelaksanaan hubungan kerja di bidang penanggulangan bencana pada
pascabencana;
d. pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan
kebijakan umum di bidang penanggulangan bencana pada
pascabencana.
e. Deputi Bidang Logistik dan Peralatan
 Pasal 28
(1) Deputi Bidang Logistik dan Peralatan berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala BNPB.
(2) Deputi Bidang Logistik dan Peralatan dipimpin oleh Deputi.
 Pasal 29
Deputi Bidang Logistik dan Peralatan mempunyai tugas melaksanakan
koordinasi dan dukungan logistik dan peralatan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
 Pasal 30
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Deputi
Bidang Logistik dan Peralatan menyelenggarakan fungsi:
(1) Perumusan kebijakan di bidang logistik dan peralatan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana;
(2) Pelaksanaan penyusunan perencanaan di bidang logistik dan peralatan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;

21
(3) Pemantauan, evaluasi, analisis, pelaporan pelaksanaan kebijakan
dibidang logistik dan peralatan dalam penyelenggaraan.

G. Pola Pembentukan Sistem Penanggulangan Bencana Tingkat Pusat dan


Daerah

Mengenai sistem penanggulangan bencana tingkat Pusat, terdapat pada


 Pasal 34
(1) Di lingkungan Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana dapat dibentuk 2
(dua) Pusat sebagai unsur penunjang tugas dan fungsi Unsur Pelaksana
Penanggulangan Bencana.
(2) Pusat dipimpin oleh Kepala Pusat yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala BNPB.
 Pasal 35
Pembentukan Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ditetapkan oleh
Kepala BNPB setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Mengenai sistem penanggulangan bencana tingkat daerah juga ditetapkan di dalam
Pepres No. 8 Th. 2008 Tentang BNPB yang terdapat pada KETENTUAN LAIN-
LAIN:
 Pasal 63
(1) Untuk melaksanakan tugas penanggulangan bencana di daerahbaik Provinsi
maupun Kabupaten/ Kota dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah
yang selanjutnya disebut BPBD yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Pembentukan BPBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui koordinasi dengan BNPB.
(3) BNPB mengadakan rapat koordinasi dengan BPBD, sekurangkurangnya 2
(dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
 Pasal 64
Rincian lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja
BNPB ditetapkan oleh Kepala BNPB setelah mendapat persetujuan tertulis dari
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

22
H. Tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana
 Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di wilayahnya. Saat terjadi bencana;
 Bupati/Walikota sebagai penanggungjawab utama
 Gubernur memberikan dukungan perkuatan
 Tanggungjawab Pemerintah Daerah:
 Mengalokasikan dana penanggulangan bencana
 Memadukan penanggulangan bencana dalam pembangunan daerah
 Melindungi masyarakat dari ancaman bencana
 Melaksanakan upaya pengurangan resiko bencana
 Melaksanakan tanggap darurat
 Melakukan rehabilitasi-rekonstruksi pasca bencana
 Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana
 Merumuskan kebijakan penanggulangan bencana di wilayahnya
 Menentukan status dan tingkat keadaan darurat
 Mengerahkan potensi sumberdaya di wilayahnya
 Menjalin kerjasama dengan daerah lain
 Mengatur dan mengawasi penggunaan teknologi yang berpotensi
menimbulkan bencana
 Mencegah dan mengendalikan penggunaan sumberdaya alam yang
berlebihan
 Menunjuk komandan penanganan darurat bencana
 Melakukan pengendalian bantuan bencana
 Menyusun perencanaan, pedoman dan prosedur penyelenggaraan
penanggulangan bencana

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan


manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana. Manajemen
bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya berencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen bencana di mulai dari tahap prabencana,
tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.

Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk meminimalkan


kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana menggunakan
prinsip triage.

24

Вам также может понравиться