Вы находитесь на странице: 1из 45

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelenjar Tiroid


2.1.1. Embriologi
Tiroid merupakan kelenjar endokrin pertama yang terbentuk pada embrio.
Kelenjar ini mulai terbentuk pada hari ke-24 setelah pembuahan dan berasal dari
suatu penebalan endoderm di dasar faring pada foramen cecum. Foramen cecum
adalah celah atau lubang yang terletak pada garis tengah yang memotong sulkus
terminalis, yang membagi lidah menjadi dua pertiga anterior (bagian oral) dan
sepertiga posterior (bagian faring). Endoderm ini akan tumbuh memanjang ke
kaudal dan membentuk divertikulum tiroid. Seiring dengan pertumbuhan embrio,
divertikulum tiroid mulai turun ke bawah melewati kartilago laring dan tulang
hyoid. Selama proses penurunan ini, tiroid tetap terhubung dengan lidah melalui
saluran sempit yaitu duktus triglossus.5,6
Pada awalnya, kelenjar tiroid terbentuk sebagai suatu organ yang
berongga, tetapi kemudian segera menjadi padat dan membelah menjadi lobus
kanan dan kiri yang dihubungkan oleh isthmus serta terletak pada bagian anterior
dari trakea pada cincin trakea kedua sampai ketiga. Pada minggu ketujuh, tiroid
sudah mencapai bentuk definitifnya dan telah sampai pada posisi akhirnya di
leher. Pada minggu ini, duktus triglossus sudah mengalami degenerasi dan
menghilang. Pada sekitar 50% orang, ditemukan lobus piramidalis yang menonjol
dari isthmus ke arah kranial. Lobus piramidalis ini merupakan sisa dari duktus
triglossus bagian distal. Pada minggu keduabelas, hormon tiroid sudah mulai
disekresikan.5,6
Sulkus pharingeus kelima (ultimobranchial body) juga berkontribusi
dalam pembentukan tiroid. Sel-sel ini diyakini berasal dari neural crest yang
bermigrasi ke tiroid, kemudian berdiferensiasi menjadi sel C, yaitu sel penghasil
kalsitonin.7
4

Gambar 2.1. Embriologi Kelenjar Tiroid


Sumber: Babcock, D.S. 2005. Thyroid disease in the pediatric patient:
emphasizing imaging with sonography. Pediatric Radiology, 36, 299-308

2.1.2. Anatomi
Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu – kupu yang
terletak di anterior dari trakea pada cincin trakea kedua sampai ketiga. Kelenjar ini
terdiri dari dua lobus yang dihubungkan oleh isthmus pada bagian tengahnya.
Setiap lobus berukuran panjang sekitar 3 – 4 cm, lebar 2 cm, dan tebalnya hanya
beberapa milimeter Pada beberapa individu juga terdapat lobus ketiga, yaitu lobus
piramidalis yang berlokasi di tengah, superior dari isthmus. Berat kelenjar tiroid
sehat hanya sekitar 25 gram dan tidak teraba dari luar.3
5

Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Tiroid


Sumber: Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed. USA: Wiley
Academic Text Collection. 2014. Hlm: 631.

Terdapat otot – otot infrahyoid (strap muscles) bilateral pada bagian anterior dari
kelenjar tiroid. Otot – otot tersebut adalah muskulus sternohyoid, sternothyroid,
omohyoid, dan thyrohyoid. Pada bagian lateral kelenjar tiroid, terdapat arteri
karotis dan muskulus sternokleidomastoideus. Kelenjar tiroid terbungkus oleh
lapisan fascia yang berasal dari fascia servikalis profunda. Kapsul tiroid terbentuk
dari lapisan fibrosa padat yang membentuk septa sehingga menghasilkan
pseudolobules.8
Vaskularisasi tiroid disuplai oleh arteri tiroidalis superior bilateral, yang
berasal dari arteri karotis eksterna, dan arteri tiroidalis inferior bilateral yang
berasal dari trunkus tiroservikalis dari arteri subklavia. Arteri tiroidalis superior
bercabang ke bagian anterior dan posterior pada bagian apikal lobus tiroid. Arteri
tiroidalis inferior berjalan di bagian posterior dari arteri karotis kemudian menuju
ke kelenjar tiroid bagian tengah lobus ipsilateral. Pada beberapa kasus yang
jarang, terdapat arteri tiroidalis ima, yang berasal langsung dari aorta dan
memasuki isthmus.3,8
6

Gambar 2.3 Vaskularisasi (A) dan Struktur di Sekitar Kelenjar Tiroid (B)
Sumber: Schwartz S, Brunicardi F. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th Ed.
New York: McGraw-Hill Medical.2015.Hlm:1523

Drainase tiroid melalui 3 pasang vena, yaitu vena tiroidalis superior,


media, dan inferior bilateral. Vena tiroidalis superior dan media bermuara pada
vena jugularis interna. Kedua vena tiroidalis inferior umumnya akan membentuk
pleksus dan akhirnya bermuara ke vena brakiosefalik.8
Pembuluh limfatik intraglandular pada kelenjar tiroid menghubungkan
kedua lobus tiroid melalui isthmus dan menuju ke struktur – struktur dan nodus
limfatik peritiroid. Nodus limfa regional termasuk nodus pretrakealis,
paratrakealis, peritiroidalis, nervus laringeus rekuren, mediastinum superior,
retrofaringeal, esofageal, serta rantai jugularis superior, media, dan inferior.
7

Berbagai nodus limfatik tersebut dapat dikelompokkan menjadi tujuh level,


seperti yang ditunjukkan pada gambar:8

Gambar 2.4 Nodus Limfatik pada Leher


Sumber: Schwartz S, Brunicardi F. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th Ed.
New York: McGraw-Hill Medical.2015.Hlm:1527
Inervasi simpatis pada kelenjar tiroid berasal dari serabut – serabut saraf
dari ganglia simpatis servikalis superior dan media, sementara inervasi
parasimpatis berasal dari nervus vagus melalui cabang – cabang nervus laringeus.
Beberapa struktur penting lain yang berdekatan dengan kelenjar tiroid adalah
nervus laringeus superior, nervus laringeus rekuren, kelenjar paratiroid, dan
esophagus.3,8
8

Gambar 2.5 Ganglia Servikal


Sumber: http://www.yourarticlelibrary.com/human-neck/sympathetic-trunk-
useful-notes-on-the-sympathetic-trunk-of-neck/9511

Kelenjar paratiroid berada pada bagian posterior dari lobus lateral kelenjar
tiroid, dan nampak sebagai beberapa massa kecil yang berbentuk bulat. Umumnya
terdapat satu kelenjar paratiroid superior dan satu inferior pada setiap sisi,
sehingga keseluruhan terdapat empat kelenjar paratiroid pada sisi kanan dan kiri.
Kelenjar paratiroid mensekresikan hormon paratiroid (PTH) yang diproduksi oleh
chief cell atau principal cell. Terdapat pula jenis sel lain dalam kelenjar paratiroid,
yaitu oxyphil cell, namun fungsinya belum diketahui secara jelas.9
9

Gambar 2.6. Kelenjar Paratiroid


Sumber: Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed. USA: Wiley
Academic Text Collection. 2014. Hlm: 631.

2.1.3. Histologi
Parenkim tiroid yang terdiri atas jutaan struktur epitel bulat yang disebut
dengan folikel tiroid. Setiap folikel terdiri atas selapis epitel dengan lumen sentral
yang terisi dengan suatu substansi gelatinosa yang disebut koloid. Tiroid adalah
satu – satunya kelenjar endokrin dengan sejumlah besar simpanan produk
sekretoris. Selain itu, akumulasi tersebut berada di luar sel, yaitu di koloid.
Terdapat sejumlah hormon di folikel untuk menyuplai tubuh selama tiga bulan
tanpa sintesis tambahan. Koloid tiroid mengandung glikoprotein besar, yakni
tiroglobulin, prekusor untuk hormone tiroid aktif.10
Kelenjar tiroid dilapisi oleh suatu kapsula fibrosa dan dari kapsula tersebut
terjulur ke dalam parenkim, dan membaginya menjadi lobules dan membawa
pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfatik. Folikel terkemas rapat, yang
terpisah satu sama lain hanya oleh jaringan ikat retikular. Stroma ini sangat
tervaskularisasi dengan jalinan kapiler ekstensif yang mengelilingi folikel, yang
mempermudah transfer molekul antara sel folikel dan darah.10
10

Gambar 2.7 Histologi Kelenjar Tiroid


Sumber: Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed. USA: Wiley
Academic Text Collection. 2014. Hlm: 631.

Sel folikel memiliki bentuk diameter yang bervariasi dari skuamosa


hingga kolumnar rendah dan folikel memiliki diameter yang bervariasi. Ukuran
dan gambaran selular folikel tiroid bervariasi sesuai aktivitas fungsionalnya.
Kelenjar aktif memiliki lebih banyak folikel yang terdiri atas epitel kolumnar
rendah; kelenjar dengan sebagian besar sel folikular skuamosa dianggap hipoaktif.
Inti biasanya bulat dan terletak di tengah sel.10
Jenis sel endokrin lain, yaitu sel parafolikel atau sel C, juga terdapat dalam
lamina basal epitel atau sebagai kelompok tersendiri di antara folikel – folikel. Sel
– sel ini mensintesis dan mensekresi kalsitonin.10

2.1.4. Fisiologi
2.1.4.1.Kebutuhan Yodium
Untuk membentuk hormone metabolik tiroid, yaitu tiroksin /
tetraiodotoronin (T4) dan triiodotironin (T3) dalam jumlah normal, setiap tahunnya
dibtuhkan kira – kira 50 mg yodium (iodine) yang dikonsumsi atau ditelan dalam
bentuk iodida (I-), atau kira – kira 1 mg per minggu. Agar tidak terjadi defisiensi
yodium, garam dapur yang umum dipakai diiodisasi dengan kira – kira 1 bagian
natrium iodide untuk setiap 100.000 bagian natrium klorida.11
11

Idodida yang dikonsumsi per oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke
dalam darah dengan pola yang kira – kira mirip dengan klorida. Biasanya,
sebagian iodida tersebut dengan cepat dikeluarkan oleh ginjal, namun hal itu
setelah kira – kira 20% iodida tersebut dipindahkan dari sirkulasi darah menuju
kelenjar tiroid secara selektif dan dipergunakan untuk sintesis hormon tiroid.9

2.1.4.2.Sintesis Hormon Metabolik Tiroid


Tahapan – tahapan dalam sintesis T3 dan T4 adalah sebagai berikut:9,11
1. Penjeratan (trapping) iodida;
Pengangkutan iodida ke dalam sel – sel dan folikel kelenjar tiroid dari
darah. Membran basal tiroid mempunyai kemampuan yang spesifik
untuk memompakan iodida secara aktif ke dalam bagian sel. Faktor
paling penting yang mempengaruhi kecepatan penjeratan iodida
adalah konsentrasi thyroid stimulating hormone (TSH).
2. Sintesis tiroglobulin;
Sementara terjadi penjeratan iodida, sel folikel juga mensintesis suatu
molekul glikoprotein besar, yaitu tiroglobulin (TGB). TGB diproduksi
di reticulum endoplasma kasar, dimodifikasi di apparatus golgi, dan
dibawa oleh vesikel sekretorik, yang kemudian terjadi eksositosis,
mengeluarkan TGB ke lumen folikel
3. Oksidasi Iodida;
Perubahan ion iodida menjadi yodium yang teroksidasi. Asam amino
tirosin terdapat dalam TGB, dan akan teryodinasi dengan berikatan
dengan yodium. Oleh karena itu I- atau iodida terlebih dahulu
melewati proses oksidasi (pelepasan elektron) sehingga menjadi
yodium (I2), kemudian melewati membran dan menuju ke lumen
folikel.
4. Yodinasi tirosin;
Setelah mencapai lumen folikel, maka yodium akan berikatan dengan
tirosin yang merupakan salah satu asam amino TGB. Berikatan
dengan satu atom yodium, maka akan menghasilkan monoiodotirosin
12

(T1). Berikatan dengan dua atom yodium, maka akan menghasilkan


diiodotirosin (T2). TGB yang berikatan dengan yodium berakumulasi
pada lumen folikel dan disebut koloid.
5. Penggandengan (coupling) T1 dan T2;
Berikatannya dua molekul T2 yang mengashilkan T4 (sekitar 80%),
atau satu molekul T2 dengan satu molekul T1 yang menghasilkan T3
(sekitar 20%).
6. Pinositosis dan pencernaan koloid;
Droplet – droplet koloid masuk kembali ke dalam sel folikel melalui
proses pinositosis dan bergabung dengan lisosom. Enzim – enzim
pencernaan pada lisosom akan mencernakan koloid dan melepaskan
TGB dengan molekul T3 dan T4.
7. Sekresi hormone tiroid;
Karena T3 dan T4 bersifat larut lemak, maka molekul tersebut akan
berdifusi melewati membran plasma menuju interstisial, lalu
kemudian ke sirkulasi.
8. Transpor dalam darah;
Lebih dari 99% seluruh T3 dan T4 yang memasuki darah berikatan
dengan beberapa protein plasma, yang semuanya disintesis oleh
hepar. T3 dan T4 terutama berikatan dengan thyroxine-binding
globulin (TBG), tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit berikatan
dengan thyroxine-binding prealbumin (TBPA) dan albumin.
13

Gambar 2.8 Sintesis Hormon Tiroid


Sumber: Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed. USA: Wiley
Academic Text Collection. 2014. Hlm: 631.

2.1.4.3.Fungsi Hormon Tiroid


Hampir seluruh tubuh memiliki reseptor hormone tiroid, sehingga efek
pelepasan hormone tiroid akan mempengaruhi tubuh secara keseluruhan:11
1. Hormon tiroid meningkatkan basal metabolic rate (BMR) dan
besarnya konsumsi oksigen pada kondisi basal (sadar, istirahat, dan
puasa), dengan menstimulasi penggunaan oksigen pada sel untuk
14

memproduksi ATP. Saat metabolism basal meningkat, maka


metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein meningkat.
2. Stimulasi sintesis pompa sodium-potasium tambahan (Na+ - K+
ATPase), yang menggunakan ATP dalam jumlah besar untuk secara
terus – menerus memompakan sodium dari sitosol ke ekstrasel, dan
potasium dari ekstrasel ke sitosol. Saat sel memproduksi dan
menggunakan ATP, maka panas akan terbentuk, dan suhu tubuh
meningkat. Fenomena ini disebut efek kalorigenik. Dengan cara ini,
hormone tiroid memiliki peran penting dalam menjaga suhu tubuh
normal. Mamalia normal dapat bertahan pada suhu yang sangat
rendah, namun pada individu yang kelenjar tiroidnya telah diambil
tidak.
3. Pada pengaturan atau regulasi metabolisme, hormone tiroid
menstimulasi sintesis protein dan meningkatkan penggunaan glukosa
dan asam lemak untuk produksi ATP. Hormon tiroid juga
meningkatkan lipolisis dan ekskresi kolesterol, sehingga menurunkan
kadar kolesterol darah.
4. Hormon tiroid meningkatkan kerja katekolamin (norepinefrin dan
epinefrin), melalui proses upregulation reseptor β.
5. Bersama dengan growth hormone (GH) dan insulin, hormon tiroid
mempercepat pertumbuhan, terutama pertumbuhan sistem saraf dan
skeletal.

2.1.4.4.Kontrol Sekresi Hormon Tiroid


Thyrotropin releasing hormone (TRH) dari hipotalamus dan thyroid
stimulating hormone (TSH) dari hipofisis anterior menstimulasi sintesis dan
pelepasan dari hormone tiroid:
1. Kada T3 dan T4 yang rendah di dalam darah atau laju metabolisme
yang rendah menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi TRH.
2. TRH memasuki vena porta hipofisis dan menuju hipofisis anterior,
kemudian menstimulasi thyrothrops untuk mensekresi TSG.
15

3. TSH menstimulasi hamper seluruh aspek dari sel folikel tiroid,


termasuk trapping iodida, sintesis dan sekresi hormon, serta
pertumbuhan sel folikel.
4. Tiroid mensekresikan T3 dan T4 ke dalam sirkulasi sampai laju
metabolisme menjadi normal.
5. Peningkatan kadar T3 di dalam darah memberikan negative feedback
atau inhibisi pada pelepasan TRH dan TSH
Kondisi dimana terjadi kebutuhan ATP yang meningkat, lingkungan dengan suhu
dingin, hipoglikemia, lingkungan dengan ketinggian (rendahnya tekanan udara
atmosfir), dan kehamilan juga menstimulasi sekresi hormone tiroid.11

Gambar 2.9 Regulasi Sekresi Hormon Tiroid


Sumber: Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed. USA: Wiley
Academic Text Collection. 2014. Hlm: 631.

2.1.4.5.Kalsitonin
Hormon yang diproduksi oleh sel parafolikel ada kalsitonin. Kalsitonin
dapat menurunkan kadar kalsium di dalam darah. Saat kalsium tinggi di dalam
darah, maka kalsitonin menurunkan kadar kalsium dan fosfat dengan cara
16

menginhibisi resorpsi oleh osteoklas dan mempercepat uptake kalsium dan fosfat
ke dalam matriks ekstrasel tulang.9

Gambar 2.10 Regulasi Kalsium oleh Hormon Paratiroid


Sumber: Sumber: Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed.
USA: Wiley Academic Text Collection. 2014. Hlm: 637.

2.2. Kanker Tiroid


2.2.1. Definisi
Nodul tiroid, struma, atau pembesaran kelenjar tiroid, adalah pertumbuhan
yang berlebihin dan perubahan structural dengan atau tanpa perubahan fungsional
pada satu atau beberapa bagian di dalam jaringan tiroid normal. Kanker tiroid
adalah suatu keganasan yang terjadi atau berasal dari kelenjar tiroid.3,12

2.2.2. Faktor Risiko


Penyebab pasti kanker tiroid masih belum diketahui secaa pasti, namun
beberapa penelitian sedang berlangsung untuk menemukannya. Terdapat beberapa
factor yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya kanker tiroid, antara lain:3
1. Paparan radiasi:
a. 9% kanker tiroid terdapat riwayat paparan radiasi
b. Insidensi meningkat pada dosis diatas 20 Gy
17

c. Radiasi pada anak – anak (<15 tahun) merupakan factor risiko


mayor untuk kanker tiroid
d. Proporsi solid variant papillaru thyroid cancer lebih tinggi
pada anak dengan riwayat radiasi dibandingkan yang tidak
pernah radiasi
2. Sindrom genetik:
a. Kanker tiroid papiler frekuensinya meningkat pada penderita
kanker payudara, ovarium, ginjal, atau sistem saraf pusat.
Karsinoma meduler dan limfoma maligna tiroid frekuensinya
meningkat pada tiroiditis Hashimoto. Sindrom genetik dengan
peningkatan risiko kanker tiroid adalah:
 Sindrom Werner (PTC, FTC, ATC; Mutasi WRN)
 Familial adematous polyposis (PTC; inaktivasi mutasi
APC)
 Penyakit Cawden (FTC; Mutasi PTEN)
 Carney’s complex (PTC, FTC; Mutasi PPKAR1α)
 Familial medullary Thyroid Cancer (MTC; Mutasi
protoonkogen RET (rearrange during transfection).
3. Riwayat keluarga dengan MEN (multiple endocrine neoplasm) 2A dan
2B:
a. Kanker ini sebagian (20%) diturunkan secara genetik. Mutasi
gen RET dapat diturunkan dari orang tua ke anaknya. Hampir
semua orang dengan mutasi gen RET, terjadi kanker tiroid
meduler.
4. Kelainan tiroid jinak
a. Goiter, adenoma, dan tiroiditis.
b. Kondisi hipertiroid dan hipotiroid tidak meningkatkan risiko
terjadinya kanker tiroid
5. Diet
a. Makanan yang banyak mengandung mentega, keju, dan daging
meningkatkan riisko terjadinya kanker tiroid.
18

b. Buah – buahan segar dan sayuran menurunkan risiko


c. Makanan yang kurang yodium juga meningkatkan terjadinya
risiko, kadar yodium rendah juga dapat terjadi karena paparan
radiasi atau kelainan tiroid jinak.

2.2.3. Mekanisme Biomolekuler


2.2.3.1.Mekanisme Umum
Walaupun terdapat berbagai jenis kanker, terdapat delapan karakteristik
(hallmark) esensial pada tingkat seluler yang mencetuskan terjadinya suatu
keganasan secara umum. Kedelapan karakteristik tersebut antara lain:8
1. Sinyal pertumbuhan yang adekuat dan bersifat mandiri (self –
sufficient)
2. Insensitivitas terhadap sinyal inhibisi pertumbuhan
3. Penghindaran dari apoptosis
4. Potensi untuk melakukan replikasi tanpa batas
5. Angiogenesis
6. Invasi dan metastasis
7. Pengaturan ulang metabolisme energi
8. Penghindaran dari destruksi oleh sistem imun

Gambar 2.11. Hallmarks of Cancer


Sumber: Schwartz S, Brunicardi F. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th Ed.
New York: McGraw-Hill Medical.2015.Hlm:280.
19

Tumorigenesis diketahui memiliki tiga tahapan, yaitu inisiasi, promosi,


dan replikasi. Proses inisiasi pada dasarnya adalah terjadinya perubahan atau
mutasi yang ireversibel pada sel normal, yang memberikan potensi terjadinya
pertumbuhan neoplastik. Gen yang telah bermutasi untuk mencetuskan terjadinya
suatu tumor atau pun keganasan disebut onkogen, sedangkan gen normal yang
berpotensi untuk berubah menjadi onkogen disebut protoonkogen. Walaupun
tumor biasanya berawal dari satu sel, namun pada beberapa keadaan dapat
berawal dari sejumlah sel yang mengalami perubahan genetik pada suatu organ
target, sehingga banyak sel yang terlihat normal bisa memiliki potensi yang besar
untuk menjadi ganas, hal ini disebut dengan field effect. Onkogen dapat berupa:
1. Growth factors
2. Growth factor receptors
3. Intracellular signal transduction molecules
4. Nuclear transcription factors, atau molekul lain yang telibat dalam
regulasi pertumbuhan dan proliferasi sel.
Pada proses inisiasi, selain terjadinya amplifikasi atau mutasi pada onkogen, juga
terjadi delesi pada tumor suppressor gene atau antionkogen yang menekan
aktivasi onkogen. Oleh karena itu, hilangnya atau inaktivasi dari antionkogen
dapat memungkinkan aktivasi onkogen yang menyebabkan kanker.8,11,13
Sel yang telah bertransformasi akan tetap menjadi tidak berbahaya, kecuali
telah distimulasi untuk berproliferasi lebih lanjut, sehingga mengganggu
keseimbangan seluler. Tahap selanjutnya pada sel yang telah melewati inisiasi
menuju transformasi neoplastik melibatkan paparan terhadap stimulus yang
berkelanjutan. Inilah yang disebut proses promosi. Pertumbuhan neoplastik
dipengaruhi oleh lingkungan intra dan ekstrasel. Ekspresi mutasi insiasi tidak
hanya bergantung pada interaksi pada mutasi onkogenik, tetapi juga pada faktor
yang menyebabkan perubahan ekspresi gen, seperti sitokin, metabolit lipid, dan
lain – lain. Hal ini akan berujung pada peningkatan potensi pertumbuhan dan/atau
melepaskan komunikasi intersel yang membatasi kemampuan otonomi sel,
sehingga sel tersebut dapat bertahan dan bertumbuh sendiri.13
20

Progresi merupakan proses dimana neoplasma menjadi ganas atau


malignan. Umumnya tumor mengalami perubahan dari lesi jinak, menjadi tumor
kanker in situ, kemudian menjadi kanker invasif. Tumor yang sel – sel ganasnya
masih menetap di atas membran basal disebut kanker in situ, sedangkan bila telah
menembus dari membran basal dan mempenetrasi stroma sekitar disebut kanker
invasif. Pada progresi yang lebih lanjut, sel kanker dapat terlepas dari massa
primernya, dan menginvasi jaringan sekitar, atau juga masuk ke sistem sirkulasi
dan limfatik, sehingga bisa terbawa menuju jaringan atau organ lain yang jauh dan
menimbulkan tumor sekunder. Hal ini yang disebut dengan metastasis.8,13
Kemungkinan mutasi dapat ditingkatkan berkali – kali bila seseorang
terpajan oleh faktor – faktor kimia, fisik, atau biologis tertentu, antara lain:11
1. Radiasi
Radiasi ionisasi oleh sinar X, sinar gamma, partikel radiasi bahan
radioaktif, bahkan sinar ultraviolet. Pembentukan ion di dalam sel –
sel jaringan dibawah pengaruh radiasi tersebut bersifat sangat reakti
dan dapat menghancurkan untaian DNA.
2. Zat kimia
Zat kimia yang dapat menyebabkan mutasi disebut karsinogen.
Karsinogen yang sekarang telah menyebabkan kematian terbanyak
adalah asap rokok.
3. Bahan iritan fisik
Bahan iritan fisik juga dapat mengarah pada kanker, seperti abrasi
yang berkelanjutan pada saluran pencernaan dan juga beberapa jenis
makanan. Kerusakan jaringan dapat menyebabkan penggantian
mitosis yang cepat pada sel. Semakin cepat mitosis, semakin besar
kemungkinan terjadinya mutasi.
4. Herediter
Sebagian kanker memerlukan beberapa mutasi untuk menjadi
kanker. Pada keluarga tertentu yang memiliki kecenderungan
terhadap kanker, diduga bahwa satu atau lebih mutasi telah terjadi
melalui genom yang diwariskan. Oleh karena itu, mutasi tambahan
21

yang jauh lebih sedikit dibutuhkan oleh anggota keluarga tersebut


untuk memiliki kanker.
5. Infeksi virus
Hal ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu pada virus DNA dan
pada virus RNA. Pada virus DNA, untai DNA virus dapat
menyisipkan dirinya sendiri langsung pada kromosom, sehingga
menyebabkan mutasi. Pada virus RNA, beberapa virus membawa
suatu enzim yang disebut reverse transcriptase, sehingga DNA dapat
ditranskripsikan dari RNA, kemudian menyisipkan diri ke dalam
DNA kromosom.

2.2.3.2.Kanker Tiroid
Pembesaran kelenjar tiroid atau goiter tidak selalu merujuk pada suatu
keganasan, sebab bisa juga disebabkan oleh lesi jinak (benign) atau pun akibat
dari suatu lesi jinak, penyakit tiroid primer, tingginya kadar hormon dalam darah
yang menyebabkan peningkatan stimulasi kelenjar tiroid, autoantibodi, atau pun
faktor lain. Pada tumor jinak tiroid, juga terdapat mutasi gen yang menyebabkan
terjadi proliferasi sel yang berlebihan, yaitu mutasi genetik pada gen yang
mengkode thyroid stimulating hormone receptor (TSHR) atau pada GNAS1 yang
mengkode subunit GSα pada guanine-nucleotide binding proteins (G-proteins)
yang berikatan dengan TSHR. Kedua mekanisme tersebut dapat mengaktivasi
kaskade cyclase – cyclic – AMP (C-AMP), sehingga meregulasi pertumbuhan sel
folikel. Gen yang diketahui mengalami mutasi pada tumor jinak tiroid adalah rat
sarcoma oncogene (RAS; suatu molekul transduksi sinyal intrasel), serta
translokasi kromosomal yang menyababkan fusi antara gen paired box gene 8
(PAX8; transcription factor) dengan peroxisome proliferator activated receptor- γ
(PPAR- γ; transcription factor) .14,15
Kanker tiroid diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama, yaitu
papillary thyroid cancer (PTC), follicular thyroid cancer (FTC), medullary
thyroid cancer (MTC), serta anaplastic thyroid cancer / undifferentiated (ATC).
Klasifikasi tersebut dibuat berdasarkan jenis sel ganasnya, dimana terjadinya
22

keganasan tersebut melibatkan perubahan genetik yang berbeda antara satu


dengan yang lainnya.3,14,15

Gambar 2.12. Perubahan Genetik pada Tumorigenesis Kanker Tiroid


Sumber: Chien W, Koeffler HP. Molecular biology of thyroid cancer. InThyroid
Cancer 2012 (pp. 35-43). Springer, Boston, MA

Peristiwa genetik yang terjadi pada PTC antara lain perubahan atau
rearrangement dari protoonkogen RET dan tyrosine receptor kinase (TRK),
mutasi B-type Raf kinase (BRAF; efektor sinya intrasel), dan RAS:15,16
 Rearrangement pada RET paling umum menghasilkan onkogen
RET/PTC1 dan RET/PTC3 Hal tersebut terjadi melalui inversi
kromosom 10 pada RET, kemudian terjadi fusi antara RET dengan
gen histone H4 atau gen nuclear receptor coactivator 4( NCOA4).
Kejadian ini paling sering diinduksi oleh paparan radiasi.
 Mutasi pada BRAF melibatkan inversi pada kromosom 7q yang
mengakibatkan fusi antara BRAF dengan gen A-kinase anchor
protein (AKAP9), dimana fusi tersebut meningkatkan aktivitas
23

kinase. Mutasi BRAF umum terjadi pada PTC tipe sporadik,


sedangkan ikatan AKAP9/BRAF umum pada kanker tiroid yang
diinduksi oleh radiasi.
 Rearrangement pada TRK terjadi akibat fusi dari rantai terminal 3’
dengan rantai terminal 1 dan 5’ dari sejumlah gen lain,
mengakibatkan aktivasi onkogen dari TRK. Produk paling umum
dari fusi tersebut adalah neutropic TRK type 1 (NTRK1) dan non
muscle tropomyosin (TMP3).
 Mutasi gen RAS
 Fusi protein dengan kinase teraktivasi akan menstimulasi mitogen
activated protein kinase (MAPK) / MEK dan mempromosikan
karsinogenesis tiroid. Jalur sinyal MAPK meregulasi proliferasi dan
diferensiasi sel dengan cara membuat sel merespon interaksi dengan
stimulus dari luar melalui ikatan tyrosine kinase dengan hormone,
growth factor, dan sitokin.
Pola mutasi pada PTC dari anak – anak berbeda dibandingkan dewasa.
Rearrangement RET adalah tipikal pada anak – anak berbeda dengan dewasa
dimana mutasi BRAF atau onkogen RAS lebih dominan. Hal ini berpengaruh
pada karakteristik keganasan tiroid anak yang umumnya lebih baik dibandingkan
dewasa.3
Peristiwa genetik yang terjadi pada FTC melibatkan beberapa tahapan
sebagai berikut:14,15,16
 Mutasi gen RAS dan rearrangement atau fusi dari PAX8/PPAR- γ
yang juga terjadi pada terjadinya lesi jinak folikel atau adenoma
folikel . Fusi PAX8/PPAR- γ mengatur diferensiasi sel dan juga
terlibat dalam kemampuan antiapoptosis pada sel.
 Berbeda dengan adenoma folikel, pada FTC terjadi aktivasi pada
phosphatidylinositol-3 kinase (PI3K) / serine/thyreonin-spesific
protein kinase (AKT). Terjadi amplifikasi pada subunit katalitik
p110 pada PI3K/AKT dan inaktivasi dari phosphate and tensin
24

homolog (PTEN; tumor suppressor gene). Hal juga mencetuskan


terjadinya proliferasi dan progresi tumor serta inhibisi apoptosis
Progresi dari PTC dan FTC untuk menjadi ATC melibatkan mutasi dari
p53, β-catenin, dan jalur sinyal PI3K/AKT:14,15,16
 Gen p53 (suatu tumor suppressor gene) mengkode transcription
factor yang meregulasi pertumbuhan, proliferasi, siklus sel,
apoptosis, dan perbaikan DNA / repair. Inaktivasi dari p53 memicu
terjadinya diferensiasi dari tumor tiroid dan peningkatan proliferasi.
 β-catenin (signal transducer) dikode oleh gen CTNNB1 dan terlibat
dalam adhesi antarsel dan proliferasi tumor melalui jalur WNT- β-
catenin. Mutasi pada CTNNB1 yang menyebabkan peningkatan
ekspresi dari β-catenin pada nukleus mencetuskan terjadinya
proliferasi lebih lanjut ATC.
 PI3K/AKT mempunyai peranan melalui fosforilasi dan inaktivasi
glycogen synthase kinase 3 (GSK3β) yang meregulasi β-catenin dan
translokasi β-catenin ke dalam nukleus.
Mutasi protoonkogen RET dari sel parafolikel ditemukan pada MTC,
MEN (multiple endocrine neoplasm) 2A dan 2B. RET merupakan suatu
protoonkogen yang mengkode receptor tyrosine kinase pada membran, yang juga
terdapat pada sel parafolikel tiroid. Pada PTC, mutasi RET paling sering diinduksi
oleh adanya paparan radiasi. Pada MTC lebih umum bersifat herediter, sebab
MTC lebih sering ditemukan pada kasus – kasus herediter MEN 2A, MEN 2B,
atau pun (familial medullary thyroid cancer) FMTC.3,17
25

Tabel 2.1 Onkogen, Tumor Supressor Gene, dan Perubahan Genetik Lain
yang Terlibat dalam Tumorigenesis Tiroid

Sumber: Schwartz S, Brunicardi F. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th Ed.


New York: McGraw-Hill Medical.2015.Hlm:1541

2.2.4. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi utama kanker tiroid, antara lain:
1. Papillary thryroid cancer (PTC)
Tipe ini merupakan golongan terbesar dari karsinoma tiroid (hampir
80%). Umumnnya tumbuh lambat, biasanya terdapat pada usia
dibawah 40 tahun dan jarang ditemukan pada anak – anak. Termasuk
golongan yang terdiferensiasi baik, multisentris (85%) dan memiliki
berbagai varian yang dapat menentukan prognosis, yaitu:
i. Papiler biasa (65% – 68%)
ii. Varian folikuler (15% - 20%)
iii. Tall cell (5% - 10%)  mempunyai prognosis paling buruk
dan cenderung untuk rekuren serta metastasis jauh
iv. Diffuse sclerrosing (1% - 3%)
v. Solid (1% - 3%)
vi. Kolumnar (<1%)
26

Gambaran makroskopis dari karsinoma tiroid papilar menunjukkan


massa yang berbeda-beda ukurannya, berbatas tegas, konsistensi
keras, berwarna keputihan, dan permukaan granular tajam. Umumnya
PTC didapatkan pada wanita muda dengan massa yang palpable di
kelenjar tiroid atau teraba pada kelenjar limfe servikal. Penyebaran
terutama melalui sistem kelenjar getah bening regional, dapat juga
bermetastasis jauh ke paru – paru atau tulang. Biasanya terdapat
multisentris dan bilateral. Tumor primer atau rekuren dapat
menginfiltrasi trakea atau esophagus hingga menimbulkan gejala
obstruksi.3,18
2. Follicular thyroid cancer (FTC)
Golongan terbanyak kedua setelah karsinoma papiler yakni 10% -
20% dari keganasan tiroid. Lebih ganas dari PTC. Lebih sering
ditemukan pada daerah dengan kekurangan yodium, dengan
pemakaian garam yodium di daerah endemic, insidensi keganasan ini
menurun. Perbandingan wanita dan laki – laki 2:1. Juga dapat
ditemukan pada semua umur, namun lebih banyak pada usia diatas
40 tahun. Lebih sering unilateral daripada bilateral. Subtipe utama
dari FTC adalah:3
i. Hurtle cell carcinoma
ii. Insular carcinoma
Penyebaran utama melalui sistem vaskuler (hematogen), metastasis
jauh ke tulang, organ – organ visceral (seperti hati dan paru – paru),
kulit, dan jarang ke sistem kelenjar getah bening regional.
Kemungkinan untuk bertransformasi menjadi ATC dua kali lebih
besar daripada PTC.3
Secara histopatologi terdapat sel – sel folikel neoplastic, komponen
solid, trabecular atau follicular growth pattern (umumnya
memproduksi mikrofolikel). Sel – sel folikel tidak mempunyai
karakteristik yang khas seperti pada PTC. 3
27

Diagnosis FTC didasarkan pada ada tidaknya invasi sel tumor ke


kapsul tiroid atau pembuluh dara. Ada 3 macam invasi sel, yaitu: 3
iii. Invasi minimal (encapsulated): invasi hanya pada kapsul.
iv. Invasi moderat: ditemukan angioinvasi
v. Invasi luas: Invasi pada kapsul dan pembuluh darah
(ekstensi)
3. Medullary thyroid cancer (MTC)
Sering ditemukan pada usia tua (50 – 60 tahun). Insidensinya 5,1%
dari semua keganasan tiroid. Berasal dari sel parafolikel atau sel C
yang terletak pada bagian atas dan tengah lobus tiroid, banyak
mengandung amyloid, yang merupakan sifat khasnya.3
Mikroskopis dapat dilihat adanya hiperplastik sel C yang
mengandung imunoreaktif kalsitonin, Kalsitonin daopat diukur
dengan radioimmunoassay dan dapat digunakan untuk screening dan
follow up penyakit ini. 3
Disebut juga karsinoma solidum karena sangat keras seperti batu,
Bersifat herediter (20%) yang biasanya bilateral (multifokal) dan
sporadik (80%) yang biasanya unilateral. Tipe herediter biasanya
terjadi pada penderita sindrom MEN 2A, 2B, dan familial medullary
thyroid cancer (FMTC). Sindrom MEN 2A terdiri dari MTC,
pheocromocytoma, dan hiperparatiroid. Sindrom MEN 2B terdiri dari
MTC, pheocromocytoma, marfanoid habitus, dan
ganglioneuromatosis. FMTC (hanya menderita MTC saja),
merupakan tipe yang paling indolens. 3
MTC tidak menyengat yodium radioaktif, multifocal, metastasis
cepat, dan tidak adekuat dengan penatalaksanaan selain pembedahan.3
4. Anaplastic thyroid cancer (ATC) atau undifferentiated (UTC)
Merupakan karsinoma dengan agresifitas yang tinggi, metastasis jauh
umumnya ditemukan, dan terjadi lebih banyak ke paru-paru, namun
penyebaran dapat terjadi pada organ yang lain seperti otak, tulang dan
saluran cerna. Kasusnya jarang yakni sekitar 5% dari seluruh
28

keganasan tiroid dan biasanya fatal. Dalam beberapa minggu atau


bulan sudah menyebabkan keluhan akibat penekanan dan invasi
karsinoma berupa gejala obstruksi jalan napas dan saluran
pencernaan. Pada beberapa keadaan berasal dari PTC yang tidak
diobati atau yang sudah diobati dengan radiasi.3,18
Subtipe kanker ini:
i. Anaplastic spindle cell
ii. Giant cell
iii. Small cell
Ketiga sel ini menunjukkan aktivitas mitosis tinggi, fokus nekrosis
luas, dan infiltrasi yang nyata. Dengan pewarnaan immunohistokimia
dapat menunjukkan ekspresi keratin positif dan terkadang positif
TGB.3
5. Hurtle cell carcinoma
Merupakan bagian atau subtipe dari FTC. Karakteristik mikroskopik
berupa adanya sel – sel polygonal dan hiperkromatik. Prognosis lebih
buruk daripada PTC dan FTC.3
6. Limfoma maligna
Limfoma maligna primer di tiroid berjumlah 1% dari semua kanker
tiroid. Limfoma dapat primer atau sekunder. Tipe yang dominan
adalah non-Hodgkin lymphoma (NHL) yang umumnya terjadi pada
wanita tua (≥ 70 tahun) yang menderita tiroiditas Hashimoto.
Gambaran klinis hamper sama dengan ATC, berupa massa di leher
yang tumbuh cepat dengan keluhan disfagia dan disponia. Histologik
berupa gambaran sel yang monomorfik dan non-kohesif dengan
pewarnaan yang positif untuk CD20.3
7. Sarkoma
Sarkoma pada kelenjar tiroid sangat jarang. Biasanya merupakan
kanker yang agresif serupa dengan ATC. Sel berasal dari stroma atau
vascular dalam kelenjar. Tipe yang pernah dilaporkan adalah
angiosarkoma dan leimiosarkoma.3
29

2.2.5. Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis pada nodul tiroid diperlukan:3
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan laboratorium
3. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
4. Pemeriksaan computed tomography scan (CT–scan) tiroid
5. Pemeriksaan fine needle aspiration bipsy (FNAB)
6. Pemeriksaan potong beku (frozen section) dan imprint
7. Pemeriksaan histopatologi dari plok paraffin

2.2.5.1.Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Biasanya, satu-satunya gejala yang diduga sebagai keganasan pada pasien
dengan kanker tiroid adalah adanya massa tiroid yang teraba atau kelenjar getah
bening yang membesar. Terkadang pasien datang dengan gejala dan tanda-tanda
yang perlu diwaspadai untuk mengarah ke arah keganasan. Gejala dan tanda
tersebut misalnya suara serak, nyeri lokal disfagia, sesak napas, dan hemoptisis.12
Terdapat beberapa hal yang perlu ditanyakan pada anamnesis, yaitu
riwayat radiasi, pertumbuhan cepat, suara serak, riwayat keluarga dengan keluhan
serupa atau telah diketahui kanker tiroid, riwayat keluarga dengan MEN, riwayat
terapi dengan tiroksin tetapi massa tetap membesar, serta usia < 20 tahun atau
diatas > 50 tahun.3
Pada pemeriksaan fisik, dapat diidentifikasi adanya nodul padat dan keras
serta terfiksasi dengan jaringan sekitarnya, pembesaran kelenjar getah bening
regional, tanda – tanda metastasis jauh misalnya ke tulang, paru, dan jaringan
lunak, tanda – tanda penyempitan jalan napas dan paralisis pita suara. Pemberton
sign dapat ditemukan pada pasien dengan nodul besar. Pemberton sign yang
dilihat dengan cara meminta pasien memperpanjang kedua lengan ke atas kepala
untuk mengamati wajah eritema, bengkak atau distensi vena jugularis yang
mengindikasikan obstruksi pada jaringan di leher.3,12
30

Tabel 2.2. Klasifikasi Goiter


Simple goiter (endemic / sporadic ) Diffuse hyperplastic goitre
Nodular goiter
Toxic goiter Diffuse (Graves’ disease)
Toxic multinodular goiter
Toxic solitary nodule
Neoplastic goiter Benign
Maligna
Thyroiditis Subacute (granulomatous) –
de Quervain’s
Autoimmune (Hassimoto’s)
Riedel’s
Acute suppurative
Miscellaneus Chronia bacterial infection
(e.g. TB or syphilis)
Actinomycosis
Amyloidosis
Dyshormonogenesis
Sumber: Pasaribu ET. Pembedahan pada Kelenjar Tiroid. Medan: Supplemen
Majalah Kedokteran Nusantara. Sep 2006;39(3):270-3

Secara klinis, nodul tiroid dicurigai ganas apabila:19


1. Usia dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun
2. Riwayat radiasi daerah leher sewaktu kanak-kanak
3. Disfagia, sesak nafas, perubahan suara
4. Nodul soliter, pertumbuhan cepat, konsistensi keras
5. Ada pembesaran kelenjar getah bening leher
6. Ada tanda-tanda metastasis jauh

2.2.5.2.Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan fungsi kelenjar tiroid dapat digunakan untuk membedakan
keadaan hipertiroid atau hipotiroid. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
diagnosis kanker tiroid, umumnya tidak ada, kecuali untuk karsinoma tiroid jenis
meduler. Pada MTC, pemeriksaan kadar kalsitonin penting baik untuk diagnostik
maupun pemantauan setelah terapi. Kadar serum T3, T4, dan TSH umumnya
normal pada kanker tiroid. Untuk skrining pada pasien tanpa gejala hipertiroid
atau hipotiroid, pemeriksaannya cukup free T4 dan TSHs saja.3
31

Pemeriksaan kadar serum TGB akan bermakna pada pemantauan setelah


terapi pembedahan tiroidektomi total pada kanker tiroid. Apabila kadar TGB
meningkat setelah tiroidektomi total, diduga ada rekurensi dan/atau metastasis.3

2.2.5.3.Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi nodul 2-3 mm, membedakan nodul
solid atau kistik, menentukan jumlah dan letak nodul, pembesarakan kelenjar
getah bening, perngarah bipsi, dan menilai respons terhadap terapi supresi. Oldhof
menganjurkan pemeriksaan awal, bila hasil USG kista murni dilakukan aspirasi
(FNAB) dan pemeriksaan sitology, bila hasil USG solid maka dilakukan CT-scan.
Menurut Worrisome, gambaran USG dari nodul tiroid yang menunjukkan
keganasan meliputi: vaskularisasi, intranodul, halo perifer inkomplet,
hipoekogenisiti yang jelas, mikrokalsifikasi sentral, batas ireguler, adenopati
servikal.3

2.2.5.4.Pemeriksaan CT- Scan


Pemeriksaan ini tidak untuk membedakan jinak atau ganas secara pasti.
Pemeriksaan ini akan dapat memberikan beberapa gambaran aktivitas, bentuk, dan
besar kelenjar tiroid. Kegunaan pemeriksaan ini adalah untuk mempelihatkan
nodul (soliter, multiple, atau retrosternal), mencari occult neoplasm pada tiroid,
mengidentifikasi ektopik tiroid, mencari daerah metastasis setelah tiroidektomi
total.3
Dengan sidik tiroid I131 pada suatu soliter nodul tiroid secara klinis,
kemungkinan akan ditemukan gambaran berupa: cold nodule, hot nodule, warm
nodule, dan normal. Dari beberapa laporan didapatkan bahwa 20% - 30% solitary
cold nodule dan 2% multiple cold nodule adalah ganas.3

2.2.5.5.FNAB
FNAB merupakan pemeriksaan yang aman, murah, dan cepat untuk
evaluasi nodul tiroid. Aschaft dan van herle menemukan false negative pada
FNAB sebesar 2,5% dan false positive sebesar 3%. Akurasi FNAB dapat
32

ditingkatkan bila diarahkan dengan USG dan ahli patologi berpengalaman. Hasil
yang dilaporkan dari FNAB melalui pemeriksaan sitologi bias berupa: positif
ganas, atipik mencurigakan keganasan, atipik condong neoplasma jinak, lesi jinak,
dan tidak representatif.3

2.2.5.6.Frozen Section dan Imprint


Dengan cara ini diharapkan dapat membedakan lesi jinak atau ganas pada
saat operasi berlangsung, dan sekaligus untuk menentukan tindakan operasi
definitif. Salah satu masalah yang menarik dalam frozen section kelenjar tiroid
adalah lesi folikuler, karena dapat ditemukan pada keganasan maupun kelainan
jinak.3
Lesi folikuler adalah nodul dengan folikel berukuran kecil tanpa
pertumbuhan papiler. Istilah lesi folikuler dipakai pada hasil frozen section tiroid
bila ahli patologi anatomi tidak dapat menentukan adanya keganasan pada suatu
nodul. Hasil diagnosis parafin dapat berupa nodul adenomatosa, adenoma
folikuler, karsinoma folikuler dengan invasi minimal dan karsinoma papiler varian
folikuler.3
Ketepatan pemeriksaan frozen section 75% - 83%. Kekurangan pada
tindakan ini diharapkan dapat ditanggulangi dengan mengkombinasinya dengan
pemeriksaan sitology imprint karena gambar sel individual tampak lebih jelas.
Dengan kombinasi ini akurasi mencapai 90%. Pemeriksaan sitologi imprint adalah
pemeriksaan yang cepat dan sederhana yang dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
1. Jaringan dipotong dengan pisau yang tajam lalu permukaan jaringan
dikerok dengan lembut, kemudian dipulas ke object glass.
2. Menekan dengan lembut permukaan jaringan ke object glass, dengan
cara ini diharapkan letak sel sesuai dengan sesungguhnya di jaringan
asalnya. Sediaan kemudian diberi pewaena hematoksilin eosin.
Kriteria adekuat bila sediaan mengandung 5 sampai 6 kelompok folikel dimana
tiap kelompok mengandung 10 sel atau lebih.3
33

2.2.5.7.Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan definitif atau gold standar. Gambaran
histopatologi karakteristik untuk karsinoma papiler adalah ditemukannya struktur
papiler dari sel – sel ganas yang uniform baik ukuran maupun intinya. Kadang –
kadang tipe ini disertai adanya folikuler atau badan psamoma di tengah – tengah
struktur yang papiler.3
Diagnosis karsinoma papiler varian folikuler pada sediaan parafin
ditentukan berdasarkan adanya perubahan di dalam inti sel, yaitu inti sel menjadi
besar dan jernih menyerupai dasar gelas (ground glass nuclear) atau adanya inti
beralur (nuclear group). Invasi kapsular dan infiltrasi vascular merupakan dasar
untuk kriteria karsinoma folikuler tiroid. Disamping itu, karsinoma folikular
mempunyai folikel yang teratur, bulat, kecil, dan sering membentuk suatu susunan
yang menempel satu dengan lainnya (back to back).3

2.2.5.8.Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan sebagai berikut:3
1. Foto toraks PA untuk mengevaluasi ada tidaknya metastasis jauh ke
paru, pleura, dan mediastinum, atau pun bila ada struma
retrosternal.
2. Foto polos servikal AP dan lateral dengan metode soft tissue
technique dengan posisi leher hiperekstensi dilakukan bila tumornya
besar untuk melihat ada tidaknya mikrokalsifikasi dan patensi
trakea.
3. Bone scan tidak rutin dikerjakan, dilakukan bila ada tanda – tanda
metastasis.
4. Esofagogram dilakukan bila klinis didapati tanda – tanda infiltrasi
esofagus.
34

2.2.5.9.Stadium

Tabel 2.3. Klasifikasi TNM pada AJCC 8

Sumber: Bychkov, A. AJCC / TNM staging. PathologyOutlines.com website.


http://www.pathologyoutlines.com/topic/thyroidstaging.htm
35

Tabel 2.4 Prognostic Group

Sumber: Bychkov, A. AJCC / TNM staging. PathologyOutlines.com website.


http://www.pathologyoutlines.com/topic/thyroidstaging.htm
36

2.2.6 Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan untuk kanker tiroid dapat berupa operasi, terapi iodium
radioaktif, dan terapi target molekular dengan tyrosine kinase inhibitor (TKIs).
Pilihan pengobatan bervariasi tergantung pada jenis dan stadium kanker. Dibawah
ini merupakan tabel rekomendasi tatalaksana kasinoma tiroid dari National
Cancer Institute (NCI)20

NCI Treatment Recommendations for Thyroid Cancer


Stage I and II papillary and follicular thyroid cancer
 Total thyroidectomy (tumor ≥1 cm)
 Lobectomy (tumor <1 cm)
Stage III papillary and follicular thyroid cancer
 Total thyroidectomy plus removal of involved lymph nodes or other sites
of extrathyroid disease
131
 I ablation after total thyroidectomy if the tumor demonstrates uptake of
this isotope
 External beam radiation therapy if 131I uptake is minimal
Stage IV papillary and follicular thyroid cancer
131
 I metastases that demonstrate uptake of this isotope may be ablated by
therapeutic doses of 131I
 External beam radiation therapy for patients with localized lesions that are
unresponsive to 131I
 Resection of limited metastases, especially symptomatic metastases,
should be considered when the tumor has no uptake of 131I
 Thyroid-stimulating hormone suppression with thyroxine is also effective
in many lesions that are not sensitive to 131I
Medullary thyroid cancer
 Localized: total thyroidectomy followed by external beam radiation
therapy for recurrent tumors
 Metastatic: palliative chemotherapy
37

Anaplastic thyroid cancer


 Surgery: tracheostomy if necessary; if confined to local area, total
thyroidectomy
 External beam radiation therapy if tumor cannot be surgically excised
 Chemotherapy: doxorubicin plus cisplatin as radiation sensitizer; not
responsive to 131I therapy
Sumber: National Cancer Institute. Thyroid Cancer Treatment (PDQ)
www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/thyroid/HealthProfessional.

2.2.6.1.Pembedahan
Pilihan terapi pembedahan pada kanker tiroid dapat berupa
hemitiroidektomi, dengan atau tanpa isthmusectomy; near-total thyroidectomy
(meninggalkan <1 gram jaringan tiroid yang berdekatan dengan nervus laringeus
rekuren) dan total tiroidektomi (mengangkat seluruh jaringan tiroid). Secara
keseluruhan, near-total thyroidectomy atau total tiroidektomi direkomendasikan
untuk kanker tiroid dengan ukuran tumor primer ≥1 cm sampai 2 cm. Lobektomi
subtotal atau lobektomi unilateral saat ini tidak lagi digunakan sebagai pilihan
terapi pada kanker tiroid, sebagai gantinya saat ini diseksi ektraskapular lebih
direkomendasikan.20
Tiroidektomi juga direkomendasikan karena sekitar 5-10% kekambuhan
kanker tiroid ditemukan pada lobus kontralateral. Perkembangan teknologi terbaru
dalam perangkat yang digunakan untuk total tiroidektomi telah meningkatkan
keamanan prosedur dan keberhasilan pengangkatan jaringan pada pasien dengan
keganasan.20
Berikut indikasi operasi pada nodul tiroid menurut MD.Anderson Cancer Center:3
 Hasil FNAB : curiga ganas atau lesi folikuler
 Massa di tiroid disertai paralisis pita suara, metastasis kgb, invasi jaringan
regional atau fiksasi jaringan sekitarnya
 Nodul tiroid pada pasien usia < 20 tahun atau > 60 tahun dengan
ditemukan sel atipik pada FNAB
 Nodul tiroid dengan riwayat paparan radiasi pada leher
38

 Symptomatic multinodular goiter (disphagia, kesulitan tidur telentang,


atau suara serak)
Metastasis kelenjar getah bening ditemukan pada 20-90% pasien dengan
karsinoma tiroid papiler, sehingga diseksi leher sentral sebaiknya dilakukan
bersamaan dengan total tiroidektomi apabila secara klinis ditemukan keterlibatan
kelenjar getah bening. Diseksi leher profilaksis juga direkomendasikan pada
tumor T3 atau T4 walaupun tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening secara
klinis, tetapi diseksi ini tidak direkomendasikan pada tumor T1 atau T2 yang
noninvasif.20
Diseksi leher sentral (radical neck dissection) adalah pengangkatan
struktur limfatik dan non limfatik pada level VI dan VII dengan preservasi
kelenjar paratiroid dan nervus laringeus rekuren. Kelompok kelenjar getah bening
yang diangkat minimal adalah pretrakeal, paratrakeal dan prelaringeal. Kelenjar
getah bening positif mengandung metastasis ditemuakn 30%-80% pada pasien
dengan karsinoma tiroid tipe papiler, sedangkan pada karsinoma tiroid tipe
folikuler tidak dianjurkan diseksi elektif oleh karena insiden metastasis kelenjar
getah bening yang rendah.3
Jenis modifikasi diseksi leher tergantung pada infiltrasi ke struktur non
limfatik leher ( m.sternokleidomastoideus, v. jugularis interna, dan n.asesorius).3
1. RND modifikasi 1 : dilakukan jika ada infiltrasi v.jugularis interna dan
preservasi n.asesorius
2. RND modifikasi 2 : dilakukan bila ada infiltrasi ke
m.sternocleidomastoideus, preservasi n.asesorius dan v.jugularis interna
3. RND modifikasi 3 atau fungsional RND : dilakukan bila tidak ada
infiltrasi, preservasi 3 struktur non limfatik diatas.
4. RND standar atau RND klasik : dilakukan bila ada infiltrasi ke n.asesorius,
3 struktur non limfatik diangkat satu kesatuan.
39

2.2.6.2. Non Pembedahan


 Terapi Ablasi Iodium Radioaktif
Pada jaringan tiroid sehat dan ganas yang tertinggal setelah operasi,
131 131
selanjutnya diberikan terapi ablasi iodium radioaktif I. Dosis I
berkisar 80mCi dianjurkan untuk diberikan pada keadaan tersebut,
mengingat adanya uptake spesifik iodium terhadap sel folikulare,
termasuk sel ganas tiroid yang berasal dari folikulare. Karsinoma
tiroid tiroid anaplastik dan medulare tidak sensitif dengan terapi ablasi
131
I.
Ada 3 alasan terapi ablasi pada jaringan sisa setelah operasi, yaitu:
- Merusak atau mematikan sisa fokus mikro karsinoma
- Meningkatkan spesifisitas sintigraf I131 untuk mendeteksi rekurensi
atau metastasis melalui eliminasi uptake oleh sisa jaringan tiroid
normal
- Meningkatkan nilai pemeriksaan tiroglobulin sebagai petanda serum
yang hanya dihasilkan oleh sel tiroid
Terapi ablasi iodium radioaktif umumnya tidak direkomendasikan
pada pasien dengan tumor primer soliter diameter <1cm, kecuali
ditemukan adanya invasi ekstratiroid atau metastasis.21
 Terapi Hormonal dengan Supresi L-Tiroksin
Supresi terhadap TSH pada kanker tiroid pasca pembedahan
dipertimbangkan karena adanya reseptor TSH pada sel-sel kanker
tiroid, sehingga apabila tidak dilakukan supresi pada hormon TSH
maka hormon TSH tersebut dapat merangsang pertumbuhan sel-sel
kanker yang tertinggal. Target kadar TSH untuk kelompok resiko
rendah untuk kesakitan dan kematian karena keganasan tiroid adalah
0,1-0,5 mU/L, sedang untuk kelompok resiko tinggi adalah 0,01
mU/L. Dosis L-tiroksin untuk terapi supresi bersifat individual, rata-
rata 2µg/kgBB. Terapi supresi dengan L-tiroksin terhadap sekresi
TSH jangka panjang dapat memberikan efek samping di berbagai
target organ, seperti tulang rangka dan jantung.21
40

 Terapi Radiasi Eksternal


Terapi radiasi eksternal hanya digunakan untuk pengobatan paliatif
pada pasien dengan kanker tiroid stadium lanjut atau pada kanker
tiroid yang tidak dapat dioperasi (inoperable). Terapi ini biasanya
diindikasikan pada pasien dengan usia >45 tahun yang memiliki invasi
ekstratiroid ekstensif dan pasien yang memiliki kemungkinan residual
yang tinggi selama operasi. Terapi ini juga dapat diberikan pada
pasien yang tidak responsive dengan terapi 131I. 20

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi tiroidektomi, yaitu:3
1. Perdarahan
Perdarahan pasca operasi merupakan komplikasi operasi tiroid
yang paling serius. Insiden perdarahan pasca operasi 0.3 % - 1 %.
Perdarahan dapat terjadi segera (immediate) atau belakangan (delayed).
Immediate bleeding umumnya terjadi selama periode pasca anastetik yaitu
saat endotracheal tube dicabut. Pasien mungkin batuk atau muntah yang
mengakibatkan peningkatan tekanan vena yang mengakibatkan ligasi vena
terlepas. Delayed bleeding terjadi 2- 3 hari pasca operasi, umumnya
diakibatkan oleh pecahnya vena-vena kecil. Perdarahan yang semakin
memberat atau mengancam jalan napas diterapi dengan membuka luka
operasi, evakuasi hematom dan kontrol perdarahan.
2. Obstruksi Jalan Napas
Obstruksi dapat terjadi karena perdarahan, edema laring dan
paralisis dari pita suara (vocal cord). Biasanya diakibatkan oleh intubasi
yang tidak tepat dan dapat diterapi dengan trakeostomi.
3. Cedera Nervus Laringeus
Cedera nervus laringeus superior mempengaruhi ketegangan pita
suara (vocal cord) yang mengakibatkan fatigued voice, perubahan timbre
suara sehingga pasien kesulitan bernyanyi atau berbicara lama. Paralisis
nervus laringeus superior bilateral dapat mengakibatkan suara lemah, berat
41

dan low-pitched voice. Cedera nervus laringeus inferior/recurrent


merupakan komplikasi yang lebih serius karena dapat mengakibatkan
paralisis dari pita suara (vocal cord). Paralisis ipsilateral mengakibatkan
suara lemah dan berat (serak). Paralisis bilateral mengakibatkan obstruksi
jalan napas. Paralisis ini dapat bersifat sementara (sembuh dalam 6 bulan)
atau permanen. Paralisis bilateral memerlukan tindakan trakeostomi.
4. Hipoparatiroid
Terjadi karena terangkatnya atau devaskularisasi kelenjar
paratioroid. Hipoparatiroid ini mengakibatkan hipokalsemia yang
umumnya terjadi 48 sampai 72 jam setelah operasi. Gejala dini yang dapat
dijumpai berupa parastesia pada wajah,bibir dan ujung jari dan dapat juga
berupa Chvostek’s sign (kedutan pada bibir saat dilakukan penekanan pada
daerah preaurikuler), Trousseous’s sign (carpopedal spasm akibat iskemia
saat dipasang sphymomanometer dengan tekanan diantara tekanan vena
dan arteri).

Komplikasi yang dapat terjadi setelah diseksi leher radikal, yaitu:3


1. Cedera nervus assesorius spinal dengan tanda dan gejala berupa:
shoulder drops, asimetri neckline, winging scapula, dan kelemahan
untuk elevasi
2. Ligasi simultan vena jugularis interna bilateral, menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dengan akibat berupa kebutaan
(blindness), stroke, edema laring, dan kematian. Ligasi simultan ini
juga mengakibatkan terjadinya fasial edema.
3. Reseksi muskulus sternocleidomastoideus yang mengakibatkan
terjadinya deformitas kosmetik (perubahan kontour normal leher
bagian depan), hilangnya proteksi terhadap arteri karotis bila flap
nekrosis, keterbatasan gerakan leher.
4. Fistula duktus thorasikus, terjadi 1 dari 309 pasien, ditandai dengan
keluarnya cairan chylous dari luka operasi. Umumnya sembuh dengan
42

drainage dan balut tekan. Terkadang diperlukan operasi kembali untuk


identifikasi dan ligasi.
5. Nyeri dan disfungsi bahu, terjadi karena trauma nervus assesorius saat
preservasi.

Komplikasi yang dapat terjadi setelah penggunaan radiasi interna, yaitu:3


1. Kelenjar air liur
Berupa sialodenitis, xerostomia, obstruksi kelenjar air liur dan
kemungkinan keganasan kelenjar air liur. Van Nostrand pada
penelitiannya didapatkan gejala tersebut timbul pada ablasi I131 dengan
dosis berkisar 51-450mCi. Paparan radiasi dapat dikurangi hingga 1/5
– 1/10 dengan pemberian permen karet dan banyak minum untuk
meningkatkan ekskresinya melalui urin.
2. Mata
Dapat berupa inflamasi dari kelenjar air mata, obstruksi dari saluran air
mata dan konjungtivitis. Hal ini terjadi karena 0.01% dari dosis yang
diberikan disekresikan melalui air mata pada 4 jam pertama
pemberian.
3. Hipoparatiroid
Karena partikel beta memiliki daya tembus 2mm, keadaan ini sering
mengenai kelenjar paratiroid.
4. Pita Suara
Pemberian 131I pada sisa bed tiroid dapat menyebabkan pembengkakan
dari tiroid yang akan menekan nervus laringeus.
5. Fibrosis Paru
Terjadi pada pasien dengan metastasis difus pada paru dari carcinoma
well differentiated yang diberikan dosis 131I melebihi 250mCi.
6. Kanker Kandung Kencing
Dapat dihindarkan dengan pemberian cairan yang banyak sehingga zat
radioaktif tidak lama pada kandung kencing.
43

7. Supresi Sumsum Tulang


Mulai terlihat jelas 1-1,5 bulan setelah pemberian dosis 207mCi
berupa penurunan hemoglobin 35%, leukosit 10%, dan trombosit 3%.
8. Fungsi Ovarium dan Kesuburan pada Wanita
Kegagalan fungsi ovarium terjadi pada dosis kumulatif 730mCi
terutama pada pasien dengan metastasis daerah pelvis.
9. Fungsi Testis dan Kesuburan pada Laki-laki
131
Efek I pada spermatogenesis tergantung dari dosis dan sebagian
besar reversible dalam jangka waktu lama. Beberapa peneliti
mengatakan bahwa spermatogenesis kembali setelah 22-26 bulan.

2.2.8. Prognosis
Karsinoma tiroid berdasarkan gambaran histopatologinya dibagi menjadi
karsinoma tipe papiler, folikuler, meduler, dan anaplastik. Angka kejadiannya
bervariasi, yakni: tipe papiler 60-80%, tipe folikuler 10-27,5%, tipe medular 3-
10%, dan tipe anaplastik 3-8%. Dari segi agresifitas, karsinoma tipe anaplastik
memiliki prognosis paling buruk, dimana angka kematiannya hampir 100%,
disusul oleh tipe meduler dengan angka harapan hidup dalam 10 tahun sebesar
65%.22
Karsinoma papiler dan folikuler dikenal sebagai differentiated thyroid
cancer (DTC) ,merupakan mayoritas dari karsinoma tiroid. Prognosis DTC
umumnya baik, tapi pada proporsi tertentu mengalami rekurensi dan bahkan
meninggal karena penyakit ini. Usia saat diagnosis ditegakan, jenis kelamin, tipe
histologi, ukuran tumor dan invasi ekstra tiroid berubungan erat dengan hasil
klinis terapi, sementara pengaruh prognosis dari metastasis kgb regional masih
kontroversi. Adanya metastasis jauh saat diagnosis merupakan faktor prognosis
yang buruk.3
Kewajiban ahli bedah untuk mengerti, mengenal, dan melakukan terapi
yang optimal terhadap karsinoma tiroid yang sangat bervariasi prognosisnya.
Kanker tiroid berasal dari sel monoklonal, yang dalam pertumbuhannya akan
menbentuk jaringan tumor yang heterogen (poli seluler), artinya tidak semua sel
44

kanker (tiroid) memiliki sifat, kemampuan yang berbeda-beda, dan juga berbeda
dalam ketergantungan pada hormon TSH.22
Beberapa scoring atau staging telah digunakan untuk membedahan low
risk atau high risk dari rekurensi DTC. Klasifikasi staging yang sering dipakai
adalah AMES, MACIS, EORTC dan UICC-TNM. Faktor prognosis ini digunakan
untuk memberikan prediksi akurat dari hasil terapi dalam jangka panjang.3
45

Tabel 2.5 Prognostic Scoring System for AGES, AMES, and MACIS

Sumber: Suyatno, Pasaribu ET. Bedah Onkologi: Diagnosis dan Terapi. Edisi Ke-
2. Jakarta: Sagung Seto. 2014. Hlm:35
EORTC : European Organization for Research on Treatment of Cancer; AGES:
patient age, histologic grade of the tumor, tumor extent (extrathyroidal invasion or
distant metastases), and size of the primary tumor; AMES : patient age, presence
of distant metastases, extent and size of the primary tumor; MACIS: metastasis,
patient age, completeness of resection, local invasion, and tumor size.
46

American Thyroid Association (ATA) membuat prediksi kekambuhan


menjadi 3 kelompok:3
1. Low risk kemungkinan kambuh 14 %
2. Intermediate risk kemungkinan kambuh 44 %
3. High risk kemungkinan kambuh 86%

Tabel 2.6. Resiko Kekambuhan dari Knker Tiroid dengan Diferensiasi


Baik Menurut ATA 2009

Sumber: Sumber: Suyatno, Pasaribu ET. Bedah Onkologi: Diagnosis dan Terapi.
Edisi Ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2014. Hlm:36

Pada karsinoma meduler, system TNM memberikan orediksi cause-


specific survival yang akurat. Faktor prognostik lain yang berhubungan dengan
hasil yang buruk adalah usia saat diagnosis, jenis kelamin pria, invasi vascular,
kalsitonin immunoreactivity dan kadar kalsitonin pasca operasi yang abnormal.
Saat ini dari analisa multivarian ternyata hanya invasi ekstra tiroid dan gross
residual disease pasca operasi, merupakan pediktor yang signifikan dari cause
specific survival.
47

Tabel 2.7. Stage Specific Relative Survival for Thyroid Cancer AJCC 7
Stadium I II III IV
Pappilary
1-Year 99,9 100 97,7 77,6
5-Year 99,8 100 93,3 50,7
Follicular
1-Year 99,7 99,6 91,1 78,5
5-Year 99 99,7 71,1 50,4
Medullary
1-Year 100 100 96 64,3
5-Year 100 97,9 811 27,7
Anaplastic
1-Year n/a n/a n/a 18
5-Year n/a n/a n/a 6,9
Sumber: Sumber: Suyatno, Pasaribu ET. Bedah Onkologi: Diagnosis dan Terapi.
Edisi Ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2014. Hlm:37

Pada rerata survival pada barbagai kanker tiroid, walaupun hampir sama
dengan stadium 1, rerata survival FTC sedikit lebih buruk disbanding PTC
dikarenakan potensi penyebaran hematogen. Karsinoma anaplastik memiliki
rerata survival 1 tahun 17% dan 5 tahun adalah 6%. Secara umum prognosis
kanker tiroid adalah baik dengan rerata survival 85-90% untuk kebanyakan
stadium.3

Вам также может понравиться