Вы находитесь на странице: 1из 17

SEJARAH BERLAKUNYA SYARIAT ISLAM DI ACEH

PADA MASA KERAJAAN ACEH DARUSSALAM


(SULTAN ISKANDAR MUDA, 1607-1636)

A. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


Syariat Islam bagi masyarakat Aceh bukan hal yang baru, hal ini disebabkan
masrarakat Aceh telah lama memberlakukan dan menjalankan syariat Islam.
Penerapan syariat Islam di Aceh sejalan dengan masuknya Islam Nusantara.
Sejak abad VII H, agama Islam telah masuk ke Aceh dan telah tumbuh menjadi
kerjaan Islam dan berkemabang sampai abad ke XIV M. Hal itu sejalan dengan
pandangan dai peneliti sejarah bahwa hukum syariat Islam telah ada di Indonesia
sejak bermukimnya orang Islam di Indonesia. Syariat Islam di Aceh telah ada dan
digunakan sebagai norma hukum oleh masyarakat Aceh sejak masa kerajaan
Islam Aceh.1
Perjalanan syariat Islam di Aceh jika dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu
menyerap budaya dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh mendapatkan tempat
yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan
masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak
didapatkan para ulama di daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad
ke-17 telah dapat menerima dan bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam
ranah kegiatan publik, seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hakim
pada mahkamah, panglima perang, sampai menjadi kepala negara (Sultan), yang
di banyak tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah
seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat

____________
1
Teuku Zulkhairi, Syariat Islam Membangun Peradaban, (Banda Aceh: PENA, 2017), h.
61.

1
lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan syariat
Islam secara kaffah. Senada dengan hal tersebut, Daud Rasyid mengatakan bahwa
Aceh seharusnya menjadi pilot projek bagi perjuangan syariat.2

B. Kerajaan Islam di Aceh Darussalam


Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan sebutan Seramoe Mekkah
(serambi mekkah). Nafas Islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh
sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan islam. Contoh paling dekat adalah
pembuatan rencong sebagai senjata tradisional di ilhami dari Bismillah. Seni tari-
tarian seudati konon katanya berasal dari kata syahadatain, dua kata untuk
meresmikan diri menjadi pemeluk Islam.
Saat syariat Islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan
kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding ada
unsur politik untuk memblokir bantuan negara non-muslim terhadap kekuatan
GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Nada-nada sinis kerap terdengar seperti “pue
payah awak jawa jak peu islam tanyoe, ka dari jameun uroe jeh tanyoe ka islam”
(kenapa harus pemerintah pusat / jawa yang mengislamkan orang Aceh, sedari
zaman dulu Aceh adalah Islam).3
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Kabupaten Aceh Besar, disini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui
kapan kerjaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh
berdiri pada abad ke -15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar
Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.
Menurutnya, pada masa pemerintahannya, Aceh Darussalam mulai mengalami
kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim yang
sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh,
setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M) sebagai akibat penaklukan Malaka
oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui
Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai
____________
2
Zakaria Ahmad, Sejarah Indonesia, (Medan: Monora, 2003), h. 20.
3
Muhammad Yusuf, Islam, Suatu Kajian Komprehensif., (Jakarta: Rajawali Press, 2001),
h. 131.

2
Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi
oleh para saudagar dari berbagai negeri.4
Menurut H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi
bagian wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati
pertengahan abad ke -14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari
dua kerjaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat
bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaanya ke daerah Pidie yang
bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan
kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan
sayap kekuasaanya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur,
raja Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah seorang di antaranya adalah
Gocah, Pahlawan yang menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah
dan bergelar Al-Qahhar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin
hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan negara-negara
Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat
membangun angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya
mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan
kekhalifahan dalam Islam.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya, Aceh menguasai seluruh
pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, tanah Gayo yang
berbatasan diislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang kafir batak
berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang, bahkan mereka
melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis, Sultan Iskandar tidak
terlalu bergantung kepada bantuan Turki Usmani yang jaraknya jauh. Untuk
mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerja sama dengan musuh Portugis,
yaitu Belanda dan Inggris.

____________
4
Anas Machmud, Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur
Pulau Sumatera,(Jakarta: MUI, 1989), h. 286.

3
Tidak seperti Iskandar Muda yang memerintah dengan tangan besi,
penggantinya, Iskandar Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada
masanya, Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan
agama maju dengan pesat, akan tetapi kematiannya diikuti oleh masa-masa
bencana. Tatkala, beberapa Sultan perempuan menduduki Singgasana pada tahun
1641-1699 M, beberapa wilayah takluknya lepas dan kesultanan menjadi terpecah
belah. Setelah itu, pe,ulihan kembali kesultanan tidak banyak bermanfaat,
sehingga menjelang abad ke -18 M, kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka
dari masa silam dirinya, tanpa kepemimpinan dan kacau balau.5
Ketika Iskandar Muda memerintahkan kerajaan Islam Aceh Darussalam
(1607-1636), dan memilih Syekh Syams Al-Din Al-Sumatrani sebagai penasihat
dan sebagai mufti (disebut Syekh Al-Islam), bertanggung jawab dalam urusan
agama. Meski demikian, Al-Sumatrani tidak hanya sebagai penasihat agama,
tetapi juga terlibat dalam urusan politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada
Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602 M), merupakan raja sebelum Sultan
Iskandar Muda.
Dua kerajaan Islam Aceh tersebut merupakan bukti sejarah bahwa syariat
Islam menjadi sebagai sumber hukum bagi masyarakat Aceh, bahkan pihak
kerajaan melibatkan para ulama sebagai pemangku posisi strategis di kerajaan
sebagaimana keterlibatan Syekh Syams Al-Din Al-Sumatrani sebagai penasihat
dan sebagai mufti di kerajaan Sultan Iskandar Muda dalam bidang urusan agama.
Syariat Islam di Aceh mengalami perkembangan yang luar biasa pada masa
kerajaan Islam di Pasai (1270 M), dan kerajaan Islam Aceh Darussalam mulai dari
masa Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602 M), Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), hingga sampai kepada kerajaan Islam Aceh dipimpin selama 4 periode oleh
sulthanah (ratu).
Kerajaan Islam Aceh selama periode 4 ratu (1641-1699), sebagai berikut:
1. Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675 M), istri dan pengganti
Iskandar Tsani dan merupakan ratu pertama di Aceh.

____________
5
H.J. de Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: Grafitipers, 1985), h. 5.

4
2. Sulthanah Nurul Alam Naqiyyatuddin, hanya memimpin kerajaan selama
3 tahun, dan mangkat pada tanggal 23 Januari 1678.
3. Sulthanah Inayah Syah Zakiyyatuddin, merupakan anak dari ratu Nurul
Alam Naqiyyatuddin. Ia memimpin kerajaan Aceh selama 10 tahun dan
berakhir pada tahun 1688.
4. Sulthanah Keumalat Syah, memimpin kerajaan Islam Aceh selama lebih
kurang 10 tahun, kemudian di Keumalat diturunkan pada tahun 1699. Ia
merupakan sulthanah (ratu) terakhir dari kerajaan Islam Aceh.6

Kerajaan Islam di Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan pada masa


Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), yang merupakan hukum Islam sebagai
pedoman dalam sistem hukum di kerajaan. Demikian juga pada masa kerajaan
Islam Aceh Darussalam selama di bawah kepemimpinan 4 ratu (1641-1699 M).
Wujud pelaksanaan Islam pada masa kerajaan Islam Aceh di bawah
kepemimpinan 4 ratu tersebut dapat dilihat dari pelibatan ulama, yaitu Syekh
Abdur Rauf Al-Singkili ditetapkan sebagai mufti dan Qadhi Malik Al-Adil
Kerajaan Islam Aceh.
Ali Mughayat Syah (1516-1530) berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan
Islam lainnya yang sebelumnya telah ada seperti kerajaan Peureulak, Samudra
Pasai, Pidie, Daya dan Linge. Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan Aceh
Darussalam tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia. Pada
masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam berada pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masa ini, Aceh mencapai kemajuan luar
biasa dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan agama. Sultan Iskandar Muda
berhasil menjadikan ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai kota
kosmopolitan.7
Keterangan tersebut mengisyaratkan bahwa Aceh pada masa kerajaan Sultan
Iskandar Muda telah memiliki sistem peradaban yang baik dalam aspek sosial,
____________
6
Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Banda Aceh:
LSAMA, 2017), h. 11.
7
Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh”, Jurnal LEGITIMASI, (2012), Vol.1, No.2,
h. 159.

5
ekonomi, politik dan bahkan agama. Sistem hukum Islam menjadi bagian penting
yang digunakan untuk mengatur kerajaan untuk mewujudkan keadilan bagi
masyarakat.
Syariat Islam di Aceh sudah mulai dilaksanakan masyarakat sejak zaman
kesultanan pada abad ke -17. Nanggroe Aceh telah menjadikan syariat Islam
sebagai landasan bagi Undang-Undang yang diterapkan untuk masyarakatnya. UU
disusun oleh ulama atas perintah atau kerja sama dengan umara, yakni penguasa
atau sultan. Lahirnya karya-karya besar yang menjadi rujukan para hakim dan
semua aparat penegakan hukum di Nanggroe Aceh pada waktu itu. Di antara
ulama yang berkiprah pada waktu itu adalah Nurdin Ar-Raniry (1658 M),
Syamsuddin Al-Sumatrani (1661 M), dan Abdur Rauf Al-Singkili (1615-1691 M).
Terdapat sebuah karya yang lebih akhir adalah Safinat Al-Hukkam yang
ditulis oleh Jalal Al-Din Al-Tarusani. Kitab ini ditulis secara khusus atas perintah
sultan Alaiddin Johansyah. ( 1735-1760 M) dan isi kitab ini adalah aturan-aturan
hukum perdata pidana serta berbagai penjelasan tentang ihwal penyelesaian
perkara dan pokok-pokok hukum acara dalam sebuah peradilan. Sasaran utama
buku ini sangat jelas yaitu untuk menjadikan para hakim. Judul lengkap kitab
tersebut adalah Safinat Al-Hukkamfi Takhlish Al-Khashsham, artinya bahtera
para hakim dalam menyelesaikan perkara segala orang yang bertikai. Disamping
itu, terkenal pula Qanun Al-Asyi (Adat Meukuta Alam) yang mengandung
hukum-hukum Dussturiyyat dan Alaqah Dauliyyah yang ditulis dalam huruf jawi
yang menjadi Undang-Undang Kerajaan.8
Pada waktu itu, kerajaan Aceh telah berlaku hukum Islam sesuai dengan
agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
kodifikasi hukum-hukum Islam yang dibuat oleh para ulama yang kemudian
ditetapkan menjadi Qanun yang berlaku dikerajaan Aceh Darussalam. Di antara
Qanun tersebut adalah Qanus Al-Asy (Adat Meukuta Alam), Sarakata Sultan
Syamsul Alam, dan Kitab Safinah Al-Hukkamfi Takhlish Al-Khashsham. Karya
tersebut merupakan buktin terhadap penerapan syariat islam di Aceh semenjak
masa kesultanan. Kitab Safinah Al-Hukkam, karangan Jalal Al-Din Al-Tarusani
____________
8
Rusdji Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Jakarta: Logos, 2003), h. 48.

6
yang di jadikan sebagai acuan penyelesaian hukum di Aceh untuk mewujudkan
keadilan dalam hal proses hukum di Aceh.
Masyarakat Aceh dikenal dengan 4 istilah nhukum yaitu hukum, adat, uruf,
dan reusam. Hukum adalah hukum Islam. Adat diartikan sebagai hukum yang
tidak tertulis dan mempunyai sanksi dan berlaku untuk siapa saja tanpa padang
bulu. Uruf adalah pendapat ulama dalam menjalankan negara, namun tidak
disandarkan pada agama tetapi akan tetapi disandarkan pada adat. Reusam
diartikan sebagai bekas hukum.
Berjalannya adat pada masa kerajaan Aceh Darussalam dapat dilihat
sewaktu Sultan Iskandar Muda menghukum mati anaknya Meurah Peupok, anak
lelaki satu-satunya yang telah diangkat sebagai putera mahkota, karena berbuat
zina dengan istri seorang pejabat (1621), maka para ulama memprotesnya karena
berlawanan dengan hukum islam. Sultan dengan tegas menjawabnya: “matee
aneuk meuphat jeurat, mate adat hoe tamita”. Jadi, istilah adat dalam ungkapan
tersebut tidak bisa diartikan lain selain dari suatu hukum. Hal ini dapat dilihat dari
sisi pemutusan hukum berupa hukuman mati diberikan pada kota mahkota oleh
sang raja dan tanpa memandang dia sebagai pewaris kerajaan. Syariat Islam yang
dijadikan sebagai dasar hukum pada masa kerajaan Aceh telah membawa nama
kerajaan Aceh terkenal di dunia. Bahkan lebih dari itu, masyarakat dunia
mengenal Aceh dengan peradaban Islam dengan cukup kuat.9
Peradilan Islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang diatur oleh
ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda
hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil
(hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti
Mahkamah Agung sekarang ini. Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang
memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding
diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan
ulama yang cakap dan berwibawa.

____________
9
Misran, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh”, Jurnal LEGITIMASI, (2012), Vol.1, No.2,
h. 160.

7
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran Islam, sehingga banyak ulama
dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin
As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa Iskandar Tsani (1636-
1641 M) datang Nuruddin Ar-Raniri. Pada tahun 1603 M, Bukhari Al-Jauhari
mengarang buku Tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas
tata negara yang berpedoman pada syariat Islam.
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku Mit’at-uttullah, karangan Syekh
Abdur Rauf disusun pada masa pemerintahan Sulthanah Safiattuddin Syah ( 1641-
1675 M), dan buku Safinat-Ulhukkamyi Takhlish Khashham, karangan Syekh
Jalaluddin At-Tarussani disusun masa pemerintahan Sultan Alaiddin Johansyah
(1732-1760 M). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan
perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di
seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih
bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan
dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman
rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah
seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja Linge ke XIV masa Sultan
Alauddin Riayatsyah Al-Qahhar (1537-1571 M) dijatuhi hukuman oleh Qadhi
Malikul Adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang
dia bunuh dengan sengaja. Kerajaan Aceh pada masa dahulu sudah diterapkan
syariat Islam, buktinya adalah:
1. Datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan
terhadap ulama masa itu sangat besar.
2. Dibentuknya peradilan Islam yang diatur oleh ulama tanpa campur
tangan penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariat.
3. Pengadilan dibuat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah
yang tidak selesai di tingkat daerah (Qadhi ulee baling) diteruskan ke
mahkamah yang lebih tinggi (Qadhi malikul adil).

8
4. Jika kisah Iskandar Muda yang menghukum anaknya berzina adanya,
berarti hukum rajam bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.10

C. Biografi Sultan Iskandar Muda


Sultan Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada kerajaan
Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593 M. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam.
Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-
Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makuta Alam.
Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam,
yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri
Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul
Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan
Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan
sama-sama pewaris kerajaan.
Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan
Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan
Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah.
Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan
memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman
Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena
memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-
bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang
puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 M,
sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk
bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi
salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak
bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan).

____________
10
Abu Bakar Al-Yasa’, Syariat Islam di Provinsi NAD, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam,
2006), h. 389.

9
Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang
terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607-1636
M, atau hanya selama 29 tahun. Ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6
Dzulhijah 1015 H atau sekitar Awal April 1607 M.
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa
paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat
piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat,
besar, dan tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di nusantara, namun juga
oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, kerajaan Aceh termasuk dalam 5
kerajaan terbesar di dunia.11
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat
kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan
tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor,
Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625 M.
Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan
perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito
(Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga
dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama
negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan
meningkat tajam.
Menurut tradisi Aceh, Sultan Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke
dalam wilayah administrasi yang dinamakan Ulèëbalang dan Mukim. Hal ini
dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Prancis bernama Beauliu, bahwa
Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan
bangsawan baru. Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk
mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Imeum).
Ulèëbalang (Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan utama Sultan, yang
dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik Feodal.

____________
11
Luthfi Aunie, Transformasi Politik dan Ekonomi Kerajaan Islam Aceh dalam Pranata
Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 142.

10
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan
Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda,
Prancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke -16 Sultan Iskandar
Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang
pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth I. Melalui utusannya, Sir James
Lancester, Ratu Elizabeth I memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan
Iskandar Muda.
Berikut cuplikan isi surat Sultan Iskandar Muda, yang masih disimpan oleh
pemerintah sampai saat ini, tertanggal tahun 1585 M:
“I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over
the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to
Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.”
Artinya:
“Hambalah sang Penguasa Perkasa Negeri-Negeri di bawah angin, yang
terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah-
wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit
hingga matahari terbenam”.12

Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah ulama besar, di antaranya


adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan
Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang
saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut
diibaratkan “Adat bak Peutoe Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala ” (Adat di
bawah kekuasaan Sultan, Kehidupan hukum beragama di bawah keputusan Tuan
Syiah Kuala).
Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat
terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin As-
Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua
merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah Nusantara.

____________
12
T. Juned, Penerapan Sistem dan Asas-Asas Peradilan Hukum Adat dalam Penyelesaian
Perkara, (Banda Aceh: LAKA Provinsi NAD, 2001), h. 12.

11
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits, pendiri Dinasti Oranje Belanda
juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh
Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan
rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku
Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama
yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan
akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang
Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan
dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini, di makam beliau
terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran
Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Sultan Iskandar Muda mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan
Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung
demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah
persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika
mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada
Sicupak atau Lada sekarung. Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan
mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang
untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini
dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan
Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.
Saat itu, Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan
Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan
sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar Muda. Namun dalam
perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan
cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan. Dalam bukunya, Denys

12
Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-
benda berharga.13
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya Kerajaan Melayu
yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut
Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari Dua
kilometer. Istana tersebut bernama Istana Daruddunya (Kini Meuligo Aceh,
Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani
yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.
Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran
Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (Sungai ini hingga sekarang
masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah Sultan acap
kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya. Sultan Iskandar Muda
meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang
masih cukup muda, yaitu 43 tahun.
Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta
kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani (1636-
1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang
janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri
Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak
berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan
Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap Anti-
kolonialisme-nya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang
membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu
penjajah pada saat itu.
Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam
menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, Kurun waktu
1573-1627, Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan
Portugis sebanyak 16 kali, meski semuanya gagal karena kuatnya benteng

____________
13
Mustafa Ahmad, Syariat Tanpa Dukungan Adat Susah Berjalan, (Banda Aceh: IAIN Ar-
Raniry, 1999), h. 1.

13
pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun
drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik
seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat,
Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, serta Deli, untuk migrasi ke daerah
Aceh inti.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata
negara ke dalam 4 bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan
tatanan kebudayaan masyarakat Aceh.
Pertama: bidang Hukum yang diserahkan kepada Syaikhul Islam atau Qadhi
Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan
perdamaian. Adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat
menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat.
Kedua: bidang Adat yang diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan dan
Penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar
dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan.
Ketiga: bidang Resam yang merupakan urusan Panglima. Resam adalah
peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan
melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui
kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong.
Keempat: bidang Qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang
sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya
Kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas
dalam menerapkan Syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan Rajam terhadap
puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan
dengan istri seorang perwira.
Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang
pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nanggroe Aceh Darussalam menerapkan
Syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu
kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai Tasawuf. Sultan Iskandar Muda
pernah berwasiat agar mengamalkan Delapan Perkara, Sang Sultan berwasiat

14
kepada para Wazir, Hulubalang, Pegawai, dan Rakyat di antaranya adalah sebagai
berikut:
Pertama, agar selalu ingat kepada Allah Ta’ala dan memenuhi janji yang
telah diucapkan. Kedua, jangan sampai para Raja menghina Alim Ulama dan Ahli
Bijaksana. Ketiga, jangan sampai para Raja percaya terhadap apa yang datang dari
pihak musuh. Keempat, para Raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian
senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari
kemungkinan serangan musuh setiap saat. Kelima, hendaknya para raja
mempunyai sifat Pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat
memperhatikan nasib rakyatnya. Keenam, hendaknya para raja menjalankan
hukum berdasarkan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul. Ketujuh, di samping kedua
sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah Qiyas dan Ijma‘.
Kedelapan, baru kemudian berpegangan pada Hukum Kerajaan, Adat, Reusam,
dan Qanun. Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda
merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan
Agama, Rakyat, dan Kerajaan.
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang
saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian
kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat
berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat
ekspansionis. Karakter Sultan tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat
kakeknya.
Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak
luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan
konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis. Surat Sultan Iskandar Muda
kepada Raja Inggris King James I, Pada tahun 1615 merupakan salah satu
karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa
Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang,
tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk Surat
Terbesar Sepanjang Sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat

15
untuk menunjukkan kepada dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh
Darussalam sebagai kekuatan utama di dunia.14
Melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 077/TK/ Tahun 1993 tanggal 14
September 1993, Sultan Iskandar Muda dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah RI serta mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana
(Kelas II). Sebagai wujud pernghargaan terhadap dirinya, nama Sultan Iskandar
Muda diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di Tanah Air. Nama
Sultan telah di Abadikan sebagai Kapal Perang KRI Sultan Iskandar Muda,
Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda dan Kodam Iskandar Muda
Nanggroe Aceh Darussalam.

D. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat
Islam Aceh Darussalam. Ketentuan dalam hukum cambuk antara lain:
1. Terhukum dalam kondisi sehat.
2. Pencambuk adalah Wilayatul Hisbah (WH) yang ditunjuk jaksa penuntut
umum.
3. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
4. Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
5. Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 m.
6. Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas
pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
7. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau
setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.15

____________
14
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 21.
15
Sulaiman, Studi Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh: Madani Publisher, 2018), h. 35.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Al-Yasa’, 2006. Syariat Islam di Provinsi NAD, Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam

Anas Machmud, 1989. Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di


Pesisir Timur Pulau Sumatera, Jakarta: MUI

Graaf, 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: Grafitipers

Hamka, 1981. Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang

Hasbi Amiruddin, 2017. Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Banda
Aceh: LSAMA

Luthfi Aunie, 2001. Transformasi Politik dan Ekonomi Kerajaan Islam Aceh
dalam Pranata Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Misran, 2012. “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh”, Jurnal LEGITIMASI, Vol.1,


No.2

Muhammad Yusuf, 2001. Islam, Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta: Rajawali


Press

Mustafa Ahmad, 1999. Syariat Tanpa Dukungan Adat Susah Berjalan, Banda
Aceh: IAIN Ar-Raniry

Rusdji Ali Muhammad, 2003. Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Jakarta: Logos

Sulaiman, 2018. Studi Syariat Islam di Aceh, Banda Aceh: Madani Publisher

T. Juned, 2001. Penerapan Sistem dan Asas-Asas Peradilan Hukum Adat dalam
Penyelesaian Perkara, Banda Aceh: LAKA Provinsi NAD

Teuku Zulkhairi, 2017. Syariat Islam Membangun Peradaban, Banda Aceh: PENA

Zakaria Ahmad, 2003. Sejarah Indonesia, Medan: Monora

17

Вам также может понравиться