Вы находитесь на странице: 1из 18

ASUHAN KEPERAWATAN GERD

(Gastroesophageal Reflux Disease)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang
terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang berat
seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks gastroesofagus adalah
masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada orang, terutama
setelah makan (Asroel, 2002).
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat.
Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heartburn (rasa
panas membakar di daerah retrosternal), suatu keluhan klasik GERD. Di Indonesia, penyakit
ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya sebagaian kecil pasien GERD datang berobat
pada dokter karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri
dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi
dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter (Djajapranata, 2001).
Prevalensi PRG bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka tertinggi terjadi di
Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong meningkat dari
29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan berdasarkan data salah satu rumah sakit di
Indonesi, RSCM menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun
waktu 5 tahun. Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman
tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar
1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.
Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu jelas,
kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive reflux disease
lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan menjadi faktor utama
dalam perkembangan PRG, namun Barrett’s esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum gangguan yang terkait,
termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala yang terkait, esofagitis erosif, striktur
peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan
hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya komorbiditas
pada pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.
B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan
penunjang, terapi, dan komplikasi dari GERD.
2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien GERD.
BAB II

A. DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di
esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena
sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang
mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak
merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu,
dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi
berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu
yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung,
seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).

B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3. Ketahanan epitel esofagus menurun
4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam empedu,
HCL.
5. Kelainan pada lambung
6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,
merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian
bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10. Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan (Yusuf, 2009).
C. PATOFISIOLOGI
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone)
yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah
ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat
rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan
motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot
pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran
cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi
relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi
arus balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya
(Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari
esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif esophagus,
adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan ketahanan ephitelial
esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus terdiri dari :
1. Membran sel
2. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
3. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .

Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan


hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam
keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal sehingga
terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat
ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter
esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai
respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau
nasofaring (Hadi, 2002).

D. TANDA DAN GEJALA


Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
(ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu :
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah gejala
tersering.
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut
terasa asam dan pahit.
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
Gejala Atipikal :
1. Batuk kronik dan kadang wheezing
2. Suara serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis paru
5. Bronkiektasis
6. Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009).
Gejala lain :
a. Penurunan berat badan
b. Anemia
c. Hematemesis atau melena
d. Odinofagia (Bestari, 2011).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien
dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan
mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi.
Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan
(dilatasi endoskopi).

2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada
kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan
refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau
penyempitan lumen.

3. Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap
asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes
Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal
esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan
berkisar antara 80-90%.

b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan
dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat
dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri
dada asal esofagus.

4. Pengukuran pH dan tekanan esofagus


Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH
dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk
memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat
secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus.
Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga
dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa
ini tes tersebut dianggap sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.

5. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy


Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya
non invasif (Djajapranata, 2001).
6. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus,
erosi, dan striktur.

7. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini
mempunyai sensitivitas 75%.
8. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien NERD.
Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.

9. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk
memastikan NERD (Yusuf, 2009).

F. TERAPI
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien,
mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat
penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi
diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau
mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1. Modifikasi Gaya Hidup
a. Tidak merokok
b. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c. Tidak minum alkohol
d. Diet rendah lemak
e. Hindari mengangkat barang berat
f. Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g. Jangan makan terlalu kenyang
h. Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang

2. Terapi Endoskopik.
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing,
dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal
junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
3. Terapi medika mentosa. Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk terapi ini
adalah supresi pengeluaran asam lambung. Ada dua pendekatan yang biasa dilakukan pada
terapi medika mentosa:
a. Step up
Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang kurang kuat menekan sekresi asam seperti
antacid, antagonis reseptor H2 ( simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan
prokinetik (metoklorpamid,domperidon,cisaprid) bila gagal berikan obat-obat supresi asam
yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b. Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan setelah berhasil lanjutkan dengan supresi
asam yang lebih lemah untuk pemeliharaan.
4. Terapi terhadap Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur. Bila terjadi rangsangan asam
lambung yang kronik dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi
kolumnar yang metaplastik sebagai esophagus barret’s (premaligna) dan dapat menjadi
karsinoma barret’s esophagus

a. Striktur esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya kurang dari 13 mm maka dapat
dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga lakukanlah operasi.
b. Barret’s esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang dilakukan adalah terapi bedah
(fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga dilakukan terapi endoskopi (baik
menggunakan energy radiofrekuensi, plikasi gastric luminal atau dengan implantasi
endoskopi) walapun cara ini masih dalam penelitian.
(Djajapranata, 2001).

G. KOMPLIKASI
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
2. Esofagitis ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esofagus
5. Aspirasi
(Asroel, 2002).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Nama : Tn. M
Tanggal lahir: 18/02/1974
Umur : 42 th
Jenis kelamin: Laki laki
Tanggal MRS : 30/06/2018
Alamat : dasuk
Diagnosa medis
Keluhan utama
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang dengan keluhan mual, muntah, nyeri perut, BAB
hitam
Riwayat penyakit dahulu : DM
Riwayat penyakit keluarga : (-)
Riwayat alergi : (-)
Pemeriksaan Fisik :
1.Kesadaran : compos mentis
2.TTV : TD:190/120mmHg, N:90x/mnt, S: 37 c, RR: 20x/mnt
3.Kardiovaskuler : normal
4.Respirasi :normal
5.Gastrointestinal : normal
6.Neurologi : normal
7.Kenyamanan (Skala nyeri) : 3
8. Kebutuhan istirahat tidur : normal
9. Pengkajian fungsi :
Kemampuan aktivitas sehari hari: mandiri
Aktivitas: tirah baring
Berjalan: normal
Ekstrimitas atas: normal
Ekstrimitas bawah: normal
10. Integumen : normal
11. Proteksi
Status mental: orientasi
Status psikologis: tenang
Restrain: tidak
Resiko jatuh: rendah
12. Eliminasi
BAB: faeces berwarna hitam
BAK: normal
13. Seksualitas: sirkumsisi ya
14.Komunikasi: mampu berkomunikasi dengan baik
15. Edukasi: tidak dikaji
16. Spiritual : Agama Islam

B. DATA PENUNJANG

No Tanggal Pmx penunjang Hasil


1 30/6/2018 Hb 13.7
2 30/6/2018 Leukosit 10.100
3 30/6/2018 GDA 230

C. DIAGNOSA
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan
glotis terhadap cairan refluks.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah /
pengeluaran yang berlebihan.
D. INTERVENSI
Perencanaan
No. Diagnosa Rasional
Kriteria Hasil Intervensi
1. Risiko aspirasi Setelah dilakukan1. Monitor tingkat1. Meningkatkan ekspansi
berhubungan dengan tindakan kesadaran, reflek batuk paru maksimal dan alat
hambatan menelan, keperawatan dan kemampuan pembersihan jalan napas.
penurunan refleks selama ...x 24 jam menelan.
laring dan glotis masalah aspirasi
terhadap cairan refluks. pada klien dapat2. Naikkan kepala 30-452. Meningkatkan pengisian
diatasi dengan derajat setelah makan. udara seluruh segmen paru,
kriteria hasil: memobilisasi dan
mengeluarkan sekret.

Status hasil: 3. Potong makanan kecil3. Menghindari terjadinya


Klien dapat kecil. risiko aspirasi yang terlalu
bernafas dengan tinggi.
mudah, tidak irama,4. Hindari makan kalau4. Dapat membatasi ekspansi
frekuensi residu masih banyak gastroesofagus
pernafasan normal
skala 4

Pasien mampu
menelan,
mengunyah tanpa
terjadi aspirasi, dan
mampu melakukan
oral hygiene skala 4

Jalan nafas paten,


mudah bernafas,
tidak merasa
tercekik dan tidak
ada suara nafas
abnormal skala 4

2. Defisit volume cairan Setelah dilakukan1. Monitor status hidrasi.1. Perubahan pada kapasitas
berhubungan dengan tindakan gaster dan mual sangat
pemasukan yang kurang, keperawatan mempengaruhi masukan
mual dan muntah / selama .....x 24 dan kebutuahan cairan,
pengeluaran yang jam, defisit volume peningkatan risiko
berlebihan. cairan pada klien dehidrasi.
dapat diatasi
Definisi: penurunan cairan dengan kriteria2. Kaji tanda vital, catat
2. Indikator
intravaskuler, interstisial hasil: perubahan TD, dehidrasi/hipovolemia,
dan atau interseluler. takikardi, turgor kulit keadekuatan penggantian
Mengarah ke dehidrasi Mempertahankan dan kelembaban cairan.
kehilangan cairan dengan urine output sesuai membran mukosa.
pengeluaran sodium. dengan usia BB, BJ
urine normal skala3. Berikan cairan
4 tambahan IV sesuai
3. Menggantikan kehilangan
indikasi. cairan dan memperbaiki
keseimbangan cairan dalam
fase segera dan pasien
mampu memenuhi cairan
Tidak ada tanda- per oral.
tanda dehidrasi,
elastisitas turgor 4. Memungkinkan
kulit baik dan tidak4. Dorong masukan oral penghentian tindakan
ada rasa haus yang bila mampu dukungan cairan infasif dan
berlebihan skala 4 kembali ke normal.
Berat badan stabil
skala 4
BAB IV
PEMBAHASAN

Secara umum asuhan keperawatan pada Tn. M dengan diagnosa medis GERD sudah
cukup baik dalam hal kelengkapan data baik data asuhan keperawatan yang diperoleh dari
pasen maupun data penunjang medis, namun ada beberapa hal yang menurut saya perrlu di
perbaiki yaitu masalah form keperawatan di IGD yang masih kurang lengkap kuurang
lengkap nya disini yaitu masih belum tersedianya tempat untuk mendokumentasikan semua
tindakan keperawatan yang sudah di kerjakan oleh perawat di IGD (tidak ada form intervensi
keperawatan dst sampai dengan evaluasi)
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Gastroesofageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi dimana cairan lambung
mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar,
nyeri di dada, regurgitasi, dan komplikasi. Manifestasi klinis GERD meliputi gejala tipikal
(esofagus) dan atipikal (ekstraesofagus). Faktor yang berperan untuk terjadinya GERD
yaitu mekanisme antirefluks, kandungan cairan lambung, mekanisme bersihan oleh
esofagus, dan resistensi sel epitel esofagus. Untuk menegakkan diagnosis GERD dapat
ditegakkan berdasarkan analisa gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan diantaranya endoskopi, radiologi, pengukuran pH, tes
perfusi Berstein, tes gastro-esophageal scintigraphy.
Komplikasi penyakit GERD diantaranya Esofagus barret, esofagitis ulseratif,
perdarahan, striktur esofagus, dan aspirasi. GERD merupakan penyakit kronik yang
memerlukan pengobatan jangka panjang. Pengobatan yang dapat diberikan pada klien GERD
meliputi modifikasi gaya hidup, terapi endoskopi, terapi medikamentosa, dan terapi
komplikasi.
2. Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan di IGD pada klien dengan GERD yaitu :
a. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan
glotis terhadap cairan refluks.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah /
pengeluaran yang berlebihan.
B. Saran
1.Saran untuk Perawat
- Perawat lebih diharapkan lebih mengaplikasikan ilmu dalam bidang keperawatan nya
terutama dalam teori dan dokumentasi nya.
2.Saran untuk Rumah Sakit
- Rumah sakit di harapkan mendukung untuk kegiatan yang dapat menambah wawasan
perawat (pelatihan atau seminar)
DAFTAR PUSTAKA

Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus . Universitas Sumatera
Utara : Fakultas Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalak sanaan Gastroesofageal Reflux
Disease (GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 /
vol. 38 no. 7 / November 2011.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta :
FKUI.
Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks
Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis.
PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September -

Вам также может понравиться