Вы находитесь на странице: 1из 30

LAPORAN KASUS

KETERLAMBATAN INTERVENSI MENYEBABKAN PASIEN G1P0A0 KALA 1


FASE AKTIF MEMANJANG DENGAN PERSALINAN EKSTRAKSI FORCEPS
MENYEBABKAN BAYI ASFIKSIA BERAT

Diajukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya

SMF OBSTETRI dan GYNEKOLOGI RSUD Jayapura

Periode 25 Juni - 2 September 2018

Pembimbing :

dr. David Randel Christanto, Sp.OG(K).,M.Kes

Oleh:

Febrika Gita Santika Kelirey

SMF OBSTETRI DAN GYNEKOLOGI RSUD JAYAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDRAWASIH

JAYAPURA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Ekstraksi forceps adalah suatu persalinan buatan untuk melahirkan janin dengan
tarikan pada kepala menggunakan alat yang disebut cunam atau forcep1.
Cunam dipakai untuk membantu atau mengganti his, akan tetapi tidak boleh
digunakan untuk memaksa kepala janin melewati jalan lahir yang tidak dapat diatasi oleh
kekuatan his yang normal. Jika ini tidak diindahkan, maka ekstraksi dengan cunam akan
mengakibatkan luka pada ibu dan terutama pada anak2. Cunam ialah suatu alat yang sangat
berguna untuk melahirkan janin, akan tetapi berbahaya bagi ibu dan janin apabila disalah
gunakan. Kesalahan yang dibuat dalam hal ini ialah tidak diindahkannya syarat-syarat yang
harus dipenuhi dan kesalahan dalam cara pemasangan dan ekstraksi. Cunam yang banyak
dipakai di Indonesia adalah cunam Naegele yang mempunyai lengkungan kepala, lengkungan
panggul, dan sejenis kunci yang menghubungkan kedua sendok dalam dalam posisi yang
tetap3.
Ekstraksi forcep dapat dibagi dalam 3 jenis, yaitu:1,3
1) Forcep letak tinggi, apabila kepala janin dengan ukuran terbesar belum melewati pintu
atas panggul.
2) Forcep letak tengah, apabila kepala janin dengan ukuran terbesar sudah melewati
pintu atas panggul.
3) Forcep letak rendah, apabila kepala janin sudah turun sampai di dasar panggul

Indikasi dalam pelaksanaan ekstraksi forcep, yaitu2:


1) Indikasi ibu: preeclampsia/eklampsia, ruptur uteri imminens, penyakit jantung,edema
paru, dan kelelahan ibu.
2) Indikasi janin: tali pusat menumbung, solution plasenta, dan gawat janin.
3) Indikasi waktu: multigravida bila ½ jam setelah dipimpin mengedan janin belum
lahir, dan primigravida bila 1 jam setelah dipimpin mengedan janin belum lahir.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan forceps ialah1

1) Pembukaan serviks sudah lengkap,


2) Ketuban sudah pecah
3) Presentase kepala dan ukuran kepala cukup pada cunam
4) Tidak ada disproporsi sefalo pelvik,
5) Kepala janin sudah dapat dipegang oleh forceps
6) Janin hidup

Ekstraksi forceps dinilai gagal apabila cunam tidak dapat dikunci meskipun pemasangan
cunam sudah benar dan tiga kali dilakukan traksi tetapi janin tidak dapat lahir3.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. NN
Umur : 22 Tahun
Alamat : Nafri
Agama : KP
Suku/Bangsa : Nafri
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : IRT
Tanggal MRS : 25 juli 2018
Nomor Rekam Medis : 108346

2.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama:
Mules-mules yang dirasakan semakin sering dan bertambah kuat
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien G1P0A0 datang dengan keluhan mules-mules yang semakin sering dan
bertambah. disertai keluar lendir dan sedikit darah dari jalan lahir sejak ± 3 jam
SMRS, keluar air-air dari jalan lahir (-). Gerak janin dirasakan aktif. Keputihan saat
hamil (-), gatal (-). HPHT 13-10-2017, TP 20-7-2018. (40-41 minggu).

3. Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Hipertensi (-), Asma (-) , DM (-), Malaria (-), keputihan (-),penyakit jantung (-),
infeksi kelamin (-), riwayat abortus (-), riwayat operasi (-).

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi (-), asma (-), DM (-), riwayat sakit saluran pernapasan disangkal oleh ibu.
5. Riwayat Obstetri
G1P0A0
Jenis
No.
Persalinan
1. Hamil ini

6. Riwayat Pernikahan
 Usia pernikahan ♀: 22 Thn, Pendidikan SMK, Pekerjaan: IRT
 Usia pernikahan ♂: 25 Thn, Pendidikan SMK, Pekerjaan: Buruh
 Suami : ke-1
 Pernikahan dengan suami sekarang: Belum menikah sah

7. Riwayat Menstruasi
 Menarche : 14 Tahun
 Siklus haid : Teratur (28 hari)
 Dysmenorrhoea : (-)
 HPHT : 13-10-2017
 TP : 20-7-2018

8. Pemeriksaan Antenatal (PAN/ANC)


Berapa kali : 2x
PAN pertama kali pada umur kehamilan :-
Kapan :-
Dimana : di PKM Abepantai
Imunisasi TT : 1x

9. Riwayat Penggunaan Kontrasepsi


Jenis kontrasepsi :-
Berapa lama :-
Rencana KB setelah melahirkan :-
10. Riwayat sosial
Ibu sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga
2.3 STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 151 cm
Berat Badan : 71 kg
IMT :
Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : 150/100 mmHg
 Nadi : 89 x/m
 Respirasi : 20 x/m
 Suhu badan : 36,6 0C

Kepala : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Hidung : Deformitas (-)

Telinga : Deformitas (-)

Mulut : Deformitas (-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks : Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak
ada,

Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur


tidak ada

Abdomen : Datar, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : Akral teraba hangat, edema tungkai bawah (+)


2.4 STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan Luar
 Inspeksi : abdomen tampak membesar, tidak ada tanda-tanda peradangan, tidak
ada bekas operasi.
Palpasi : teraba tinggi fundus uteri 33 cm, memanjang, punggung kanan
anterior, letak kepala penurunan kepala 1/5, kontraksi 2x/10’/25”, taksiran berat
janin klinis 3255 gr.

Pemeriksaan Dalam
 v/v :tidak ada kelainan
 Portio : tipis, lunak, arah aksial
 Pembukaan : 8 cm
 Ketuban : (+) utuh
 Station : +2, UUK Kanan Anterior

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 CTH : tidak dilakukan
 USG : tidak dilakukan
Pemeriksaan Laboratorium 25 juli 2018
Darah Lengkap Nilai
Hemoglobin 10,4
Hematokrit 34,4
Leukosit 9,29
Trombosit 175.000 uL
DDR -
UL Proteinuria -
2.6 RESUME
Pasien usia 22 tahun datang ke IGD kebidanan dengan membawa rujukan dari PKM tanggal
25 juli 2018 pukul 04.15 wit dengan diagnosa G1P0A0 Parturien aterm kala I fase aktif,
keluar air-air dari jalan lahir (-), lendir bercampur lendir (+) ± 3 jam SMRS. Gerak janin
dirasakan aktif. Keputihan saat hamil (-), gatal (-), bau (-). HPHT 13-10-2017, TP 20-07-
2018 (40-41 minggu). Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum baik,kesadaran compos
mentis. Pada pemeriksaan obstetrik, TFU: 33 cm, letak anak memanjang, punggung kanan,
letak kepala,penurunan kepala 1/5, DJJ: 154 dpm, kontraksi : 2x/10’/25”, taksiran berat badan
janin klinis 3255 gr. Pada pemeriksaan dalam vulva/vagina tidak ada kelainan, portio tipis
lunak, arah anterior, pembukaan 8 cm, ketuban utuh stasion, kepala statio +2, UUK Kanan
Anterior . Pada pemeriksan laboratorium dalam batas normal.

Diagnosis Kerja : G1P0A0 parturien aterm kala 1 fase aktif + Hipertensi Gestasional
Rencana Terapi : - Rencana persalinan spontan
- Observasi kemajuan persalinan dalam 2 jam
- Observasi DJJ dan HIS/ 30 menit
- Observasi KU dan TTV/1 jam

2.7 LAPORAN OBSERVASI

06.15 2 jam kemudian

S : Ibu gelisah, ingin meneran dan keluar air-air dari jalan lahir
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang, Kesadaran : compos mentis,
TD: 150/90 mmHg, N:86 x/m, R: 92 x/m, SB: 36.4 °C
Pemeriksaan fisik generalis : dalam batas normal.
Pemeriksaan Obstetri
TFU : 33 cm
LA : memanjang, punggung kanan, letak kepala,
penurunan kepala 1/5
DJJ : 135 dpm
Kontraksi : 3x/10’/35”
VT :vulva/vagina : tidak ada kelainan
Portio : tipis, lunak, arah axia
Pembukaan : 8 cm
Ketuban : (+)
Stasion : kep.station +2, UUK Kanan Anterior
A: G1P0A0 Parturien Aterm kala I Fase aktif + Hipertensi Gestasional
P: Lapor dr. Sp.OG :
RL 500 ml 30 tpm
Nifedipin 1x1 tab
Dopamet 1x2 tab
Observasi persalinan per/2 jam

Jam His BJA TD N R SB KET

(x/10') (x/m) (mmHg) (x/m) (x/m) (°C)


07.15 3x/10’/25” 134 140/90 90 23 36.4
08.15 3x/10’/30” 140 150/90 95 24 36.4

08.15 2 jam kemudian


S : Mules-mules dan keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir.
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang, Kesadaran : composmentis,
TD: 150/90mmHg, N:965x/m, R: 24 x/m, SB: 36.4 °C
Pemeriksaan fisik generalis : dalam batas normal.
Pemeriksaan Obstetri
TFU : 33 cm
LA : memanjang, punggung kanan, letak kepala,
penurunan kepala 1/5
DJJ : 140 dpm
Kontraksi : 3x/10’/30”
VT :vulva/vagina : tidak ada kelainan
Portio : tipis, lunak, arah axia
Pembukaan : 8 cm
Ketuban : (+)
Stasion : kep.station +2, UUK Kanan Anterior
A: G1P0A0 Parturien Aterm kala I Fase aktif + Hipertensi Gestasional
P: - Rencana persalinan pervaginam
- Observasi kemajuan persalinan dalam 2 jam
- Observasi DJJ dan HIS / 1 jam
- Observasi KU dan TTV / 1 jam

Jam His BJA TD N R SB KET

(x/10') (x/m) (mmHg) (x/m) (x/m) (°C)


09.20 3x/10’/29” 138 140/90 80 21 36.3
10.20 3x/10’/35” 148 130/90 91 22 36.4

10.20 2 jam kemudian


S : Mules-mules dan keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir..
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang, Kesadaran : composmentis,
TD: 130/90 mmHg, N:91 x/m, R: 22 x/m, SB: 36.4 °C
Pemeriksaan fisik generalis : dalam batas normal.
Pemeriksaan Obstetri
TFU : 33 cm
LA : memanjang, punggung kanan, letak kepala,
penurunan kepala 1/5
DJJ : 148 dpm
Kontraksi : 3x/10’/35”
VT :vulva/vagina : tidak ada kelainan
Portio : tipis, lunak, arah axial
Pembukaan : 8 cm
Ketuban : (+)
Stasion : kep.station +2, UUK Kanan Anterior
A: G1P0A0 Parturien Aterm Kala I Fase Aktif +Inersia uteri hipotonik + Hipertensi
Gestasional
P: Drip Oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL 20 tpm
Informed consent
Observasi DJJ /30 menit
Nifedipin 3x1 tab
Dopamet 3x2 tab
Jam His BJA TD N R SB KET

(x/10') (x/m) (mmHg) (x/m) (x/m) (°C)


11.20 4x/10’/49” 143 140/90 83 21 36.3
12.20 5x/10’/55” 140 140/90 91 23 36.2

13.00 ± 2,5 jam kemudian


S : mules-mules yang semakin sering dan bertambah sering, ibu gelisah dan meneran dan
keluar air-air dari jalan lahir warna jernih
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang, Kesadaran : compos mentis,
TD: 140/90 mmHg, N:90 x/m, R: 21 x/m, SB: 36.5 °C
Pemeriksaan fisik generalis : dalam batas normal.
Pemeriksaan Obstetri
TFU : 33 cm
LA : memanjang, punggung kanan, letak kepala,
penurunan kepala 0/5
DJJ : 141 dpm
Kontraksi : 5x/10’/52”
VT :vulva/vagina : vulva membuka, perineum menonjol
Portio : Tidak teraba
Pembukaan : 10 cm
Ketuban : (-)
Stasion : kep.station +3, UUK Kanan Anterior
A: G1P0A0 Parturien Aterm Kala II +Inersia uteri hipotonik + Hipertensi Gestasional
P: Pimpin Ibu meneran setiap ada HIS
Observasi DJJ dan KU

14.00 1 jam kemudian


S : mules-mules yang semakin sering dan bertambah sering, ibu gelisah dan meneran dan
keluar air-air dari jalan lahir warna jernih
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang, Kesadaran : compos mentis,
TD: 130/90 mmHg, N:92 x/m, R: 22 x/m, SB: 36.3 °C
Pemeriksaan fisik generalis : dalam batas normal.
Pemeriksaan Obstetri
TFU : 33 cm
LA : memanjang, punggung kanan, letak kepala,
penurunan kepala 0/5
DJJ : 145 dpm
Kontraksi : 5x/10’/51”
VT :vulva/vagina : vulva membuka, perineum menonjol
Portio : Tidak teraba
Pembukaan : 10 cm
Ketuban : (-)
Stasion : kep.station +3, UUK Kanan Anterior
A: G1P0A0 Parturien Aterm Kala II + pemanjangan kala II persalinan +Inersia uteri
hipotonik + Hipertensi Gestasional
P: Ekstraksi Forcep a/i waktu
Informed consent (Menunggu suami)

Jam His BJA TD N R SB KET

(x/10') (x/m) (mmHg) (x/m) (x/m) (°C)


15.00 5x/10’/56” 140 140/90 93 22 36.4
16.00 5x/10’/58” 144 150/90 91 23 36.2

16.20 ± 2,5 jam kemudian


S : mules-mules yang semakin sering dan bertambah sering, ibu gelisah dan meneran dan
keluar air-air dari jalan lahir warna jernih
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang, Kesadaran : compos mentis,
TD: 150/90 mmHg, N:91 x/m, R: 23 x/m, SB: 36.2 °C
Pemeriksaan fisik generalis : dalam batas normal.
Pemeriksaan Obstetri
TFU : 33 cm
LA : memanjang, punggung kanan, letak kepala,
penurunan kepala 0/5
DJJ : 148 dpm
Kontraksi : 5x/10’/58”
VT :vulva/vagina : vulva membuka, perineum menonjol
Portio : Tidak teraba
Pembukaan : 10 cm
Ketuban : (-)
Stasion : kep.station +3, UUK Kanan Anterior
A: G1P0A0 Parturien Aterm Kala II + pemanjangan kala II persalinan + Inersia uteri
hipotonik + Hipertensi Gestasional
P: Informed consent (+)
- Episiotomy media Lateralis
- Ekstraksi Forcep dimulai
LAPORAN PARTUS SPONTAN DENGAN EKSTRAKSI FORCEP
Pasien diposisikan mc.roberts
Penolong berada di depan vulva
Memang forcep, mengunci forcep , memeriksa kembali pemasangan
Traksi definitif
Melepaskan cunam
Kepala janin ditarik sesuai sumbu jalan lahir sehingga tampak di vulva
Perineum Merengang
Tampak suboksiput dibawah simpisis. Lahir UUB, dahi, muka, dagu dan seluruh
kepala
Lahir bahu depan dan belakang, dan kemudian seluruh lengan
Lahir trokanter depan dan belakang, kemudian seluruh tungkai.
Pukul 16.35 WIT Lahir bayi Perempuan, BB 3200 gr, PB 47cm, Apgar Score
1': 1 5':3
Bayi dikeringkan dan diselimuti
Tali pusat dijepit dan dipotong
Ibu disuntik oxytocin 10 IU IM
Dilakukan peregangan tali pusat terkendali
Pukul 16.40 WIT Lahir spontan plasenta lengkap
Dilakukan massase fundus uteri, kontraksi baik
Ruptur perineum grade II
Dilakukan hecting jelujur dengan vicry l-0
Perdarahan kala III-IV ± 700 cc
BAB III

PEMBAHASAN

1. Apakah pengelolaan kala 1 pada pasien di RSUD DOK 2 sudah tepat ?

Pada pasien G1P0A0 dilakukan observasi persalinan selama ±9 jam dimulai dari kala 1
fase aktif atau pembukaan 8 cm (04.15 WIT) sampai dengan pembukaan lengkap 10 cm (
13.00 wit). Pasien masuk RS dengan pembukaan 8 cm dengan HIS 3x/10’/25” inadekuat dan
TD: 150/100 mmHg baru dilaporkan pada DPJP pukul 05.00 wit dan mendapat terapi
nifedipin 1 tab/oral, dopamet 2 tab/oral, pasang infus RL 30 tpm, cek protein urin. namun
akibat observasi yang kurang ketat, pemeriksaan yang seharusnya dilakukan dalam 2 jam
kemuadian yaitu pada jam 06.15 wit tidak dilakukan pemeriksaan dalam untuk melihat ada
tidaknya kemajuan persalinan, pasien ini baru dilakukan pemeriksaan dalam pukul 08. 13 wit
atau 4 jam kemudian dengan pembukaan cervix tetap 8 cm dengan HIS 3x/10’/30’’
inadekuat dan ketuban masih utuh. Pukul 08.30 wit DPJP visit dan melakukan pemeriksaan
dalam masih dengan pembukaan cervix 8 cm dan ketuban sudah pecah, tampak sisa air
ketuban keruh. Instruksi DPJP observasi persalinan spontan dalam 2 jam diharapkan adanya
pembukaan lengkap, seharusnya jika tidak ada kemajuan persalinan dan HIS ibu yang tidak
adekuat dapat diberikan pemberian drip oxytocin setelah 2 jam observasi untuk membuat HIS
yang adekuat, namun pada kasus ini pukul 11.00 wit baru pemberian drip oxytocin 5 UI
dalam 500ml RL → 20 tpm flat sampai ± 2 jam kemudian dan terjadi pembukaan lengkap
pada pukul 13.00 wit dengan HIS 5x/10’/51” adekuat. Pasien mulai dipimpin persalinan,
tetapi setelah ±1 jam kemudian atau pukul 14.00 wit, bayi belum lahir, pukul 16.35 atau ±2,5
jam kemudian baru bayi dilahirkan menggunakan alat ektraksi forsep. Prognosis persalinan
yang berkepanjangan dan macet cukup berbeda. Persalinan seperti ini tidak bisa dibiarkan
berlangsung demikian lama sehingga dapat menimbulkan kelelahan uterus. Oleh sebab itu
perlu adanya perencanaan terapi yang tepat agar pasien tidak mengalami partus lama,
perencanaan terapi yang dianjurkan.adalah:

a. Denyut janntung janin dan HIS dicatat setiap 30 menit dalam kala I dan lebih
sering pada kala II
b. Menentukan sikap dan tindakan yang akan dikerjakan jika tidak didapatkan
kemajuan persalinan, misalnya letak kepala:
 Pastikan pasien tidak memiliki panggul yang sempit atau regangan pada
segmen bawah uterus tidak ada, jika ketuban positif dilakukan amniotomi
terlebih dahulu.
 Bila inersia uteri disertai disproporsi sefalopelvis (CPD) maka sebaiknya
dilakukan seksio sesaria.
 Untuk teknik pemberian oksitosin yaitu dengan melarutkan 10 IU oksitosin atau 1
ampul ke dalam 1000 cc larutan kristaloid yang diberi melalui jalur intravena.
Pelarutan ini menghasilkan konsentrasi 10 atau 20 mU/Ml9
 Untuk jumlah tetesan, Xenakis dan kolega (1995) melaporkan adanya keuntungan
pemberian tetesan awal 4 tetes per menit dengan peningkatan interval tetesan
oksitosin 4 tetesan setiap 15 menit sampai jumlah tetesan maximal 60-72 tetes per
menit. Atau dapat juga diberikan 5-10 dalam 500 cc dextrose 5%, dimulai dengan 5
tetes permenit, dinaikkan 10-15 menit sampai 40 - 60 tetes permenit. Tujuan
pemberian oksitosin adalah supaya serviks dapat membuka1
 Pemberian oksitosin tidak usah terus menerus. Bila tidak memperkuat his setelah
pemberian oksitosin beberapa lama hentikan dulu dan anjurkan ibu untuk istirahat.
 Kemudian dicoba lagi untuk beberapa jam, kalau masih tidak ada kemajuan, lebih
baik dilakukan seksio sesarea.1,
 Bila semula his kuat tetapi kemudian terjadi inersia uteri sekunder, ibu lemah, dan
partus telah berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan 18 jam pada multi tidak ada
gunanya memberikan oksitosin drips. Sebaiknya partus segera diselesaikan sesuai
dengan hasil pemeriksaan dan indikasi obstetrik lainnya (Ekstrasi vakum, forcep dan
seksio sesaria).9
Maka pada pasien ini jika penegakkan diagnosis sudah ditetapkan sejak awal dengan
observasi yang ketat terapi perencanaan terapi seharusnya sudah dapat diterapkan lebih
cepat sehinggah persalinan dapat terjadi lebih cepat agar tidak membahayakan ibu dan
janin.

2. Pada pasien dengan kondisi gawat darurat, apakah diperlukan informed consent
untuk tindakan yang akan di ambil selanjutnya?
Pada pasien di lakukan pentalaksanaan forcep atas indikasi waktu dan indikasi ibu
dengan hipertensi gestasional, tetapi persetujuan atau informed consent baru didapatkan dari
keluarga setelah ± 2,5 jam setelah diberikan edukasi.
Persetujuan tindakan medik sering dipakai dengan istilah informed consent. Informed
consent diartikan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai
upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala resiko yang mungkin terjadi5
Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat
membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat
digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari
pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed
consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan
sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter.6
Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan
“Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di
jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik
akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana yang dijelaskan pada ayat (6).6
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan
mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes
No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.7
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka
yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau
anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Kesimpulannya tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan
persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.7

Pada pasien tidak dilakukan, karena DPJP tidak mengetahui tentang UU yang
memperbolehkan mengambil tindakan kegawatdaruratan tanpa mendapatkan informed
consent terlebih dahulu, DPJP dapat melapor pada atasan dan membuat informed consent
melalui ibunya, yang sudah mengerti kondisi kegawat daruratan yang di alaminya, sehinggah
tindakan yang diambil bisa segera dilakukan.

3. Apa alasan lebih memilih forceps dari pada vakum

Pasien G1P0A0 diobservasi selama ± 12 jam dari waktu kedatangan pukul 04.15 wit
sampai persalinan pukul 16.35 wit. Pasien baru dilakukan akmentasi oxytocin pukul 11.00
wit atau ±2,5 jam sebelum pembukaan lengkap pukul 13.00 wit, proses persalinan juga
terjadi selama ±3,5 jam akibat menunggu informed consent dari suami. Sehingga membuat
ibu kelelahan untuk mengeran. Ttindakan yang memenuhi syarat untuk dilakukan adalah
ekstraksi forcep a/i waktu, ibu kelelahan, dan tekanan darah tinggi yang dialami ibu.

Ekstraksi forsep sendiri adalah persalinan buatan melalui jalan lahir dengan
menggunakan alat berbentuk bilah baja dobel yang ditempatkan dalam vagina dan pada sisi
lain terkunci sebagai penjepit kepala bayi. Indikasi dilakukannya ekstraksi forcep antara lain:1

a) Gawat janin, yang ditandai dengan denyut jantung janin menjadi cepat atau lambat
dan tidak teratur.

b) Rupture uteri mengancam

c) Adanya edema pada vagina atau vulva

d) Adanya tanda-tanda infeksi, seperti suhu badan meningkat, lokia berbau

e) Padanya preeklamsia dan eklamsia.

f) Partus tidak maju

g) Ibu yang sudah kehabisan tenaga.


Gambar 2. Persalinan tindakan forsep

Kerugian menggunakan Forceps adalah


a) Pada ibu
Dapat mengakibatkan rupture uteri, robekan pada portio uteri, vagina, peritoneum,
syok perdarahan postpartum,
b) Pada bayi
Tergantung dari kondisi saat persalinan dan jenis forsep yang digunakan. Secara
umum komplikasi yang terjadi pada bayi antara lain: kelumpuhan syaraf wajah,
kelumpuhan urat lengan, dan dapat terjadi cephalohematoma.

Sedangkan Ekstraksi vakum adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan dengan
ekstraksi tekanan negatif meggunakan ekstraktor vakum dari Malstrom. Persalinan dengan
ekstraksi vakum dilakukan apabila ada indikasi persalinan dan syarat persalinan terpenuhi.
Indikasi persalinan dengan ekstraksi vakum adalah1

a) Ibu yang mengalami kelelahan tetapi masih mempunyai kekuatan untuk mengejan

b) Partus macet pada kala II

c) Gawat janin

d) Toksemia gravidarum

e) Ruptur uteri mengancam.


Gambar 1. Persalinan tindakan ekstraksi vakum

Syarat untuk melakukan ekstraksi vakum adalah sebagai berikut :


a) Pembukaan lengkap
b) Penurunan kepala janin boleh pada Hodge III

Kerugian menggunakan ekstraksi vakum adalah:


a) Pada ibu
Dapat mengakibatkan komplikasi pada ibu selama persalinan. Perluasan episiotomi
atau perlukaan jaringan lunak, seperti luka goresan pada leher rahim, vagina, atau
periurethral.
b) Pada bayi
Komplikasi berupa perlukaan kepala bayi, antara lain: robekan atau luka lecet pada
kulit kepala, cephalohematoma, subgaleal bleeding, tengkorak retak.

4. Apa dampak bagi bayi, jika terlalu lama berada di depan pintu panggul ?

Kelainan pada Bayi Baru Lahir Akibat Trauma Lahir:

1) Asfiksia berat8
Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidakdapat bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir
Etiologi: akibat gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir
selalu disertai dengan anoksia /hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia
neonatus.Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari :
a. Faktor Ibu9
i. Hipoksia ibu, ini terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik
atau anestesi dalam.
ii. Gangguan aliran darah uterus, mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran O2 ke placenta dan demikian pula ke
janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan :
1) Gangguan kontraksi uterus : hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus karena
obat
2) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
3) Hipertensi pada eklamasia
b. Faktor Placenta, misal : solusio placenta
c. Faktor Fetus: kompresi umbilkalis akan mengakibatkan terganggunya aliran
darah dan pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara
ibu dan janin, dapat terjadi pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher, kompres tali pusat pada persalinan sungsang antara janin dan jalan
lahir.
d. Faktor neonates Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena
pemakaian obat anestesia yang berlebihan pada ibu.
e. Faktor antepartum. Umur ibu > 35 tahun, kehamilan kurang bulan, kehamilan
ganda, dismatur, riwayat IUFD infeksi pada ibu, kecanduan obat pada ibu, cacat
bawaan, ibu dengan DM, anemia, perdarahan trimester II / III, oligohidramnion.
f. Faktor Intra partum: Sectio Caesaria, persalinan kurang bulan, pemakaian
anestesi umum, KPD > 24jam..

Tanda dan Gejala8


1. Penilaian apgar score.
2. Penilaian asfiiksia secara APGAR mempunyai hubungan yang bermakna dengan
3. kejadian asfiksia pada BBL
Tabel APGAR SCORE

TANDA 0 1 2

Frekwensi Tidak ada < 100 / menit > 100 / menit


Jantung
Usaha Tidak ada Lambat tak teratur Menangis kuat
bernafas
Tonus otot Lumpuh Extremitas fleksi Gerakan pasif
sedikit
Refleks Tidak ada Gerak sedikit Menangis

Warna Biru / pucat Tubuh kemerahan, Tubuh


extremitas biru ekstremitas
kemerahan

4. Tingkatan asfiksia
a. Asfiksia ringan / bayi normal : nilai apgar score 7-9
b. Asfiksia sedang : nilai apgar score 4-6
c. Asfiksia berat : nilai apgar 0-3

Komplikasi Asfikasi8
1. Asidosis respiratorik
Bila berlanjut dan tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobik berupa
glikolisis glikogen tubuh, sehingga sumber glikogen tubuh, jantung dan hati akan
berkurang, asam organik yang terjadi akibat metabolisme ini akan menimbulkan
asidosis metabolic
2. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
3. Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan
termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.
4. Kerusakan sel otak akibat asidosis dan gangguan kardiovaskuler.
5. Odem otak, perdarahan intra / periventrikuler
6. Gangguan kognitif, gangguan tingkah laku, retardasi mental, epilepsi atau cerebral
palsy di kemudian hari
2) Perdarahan subaponeurotik
Perdarahan ini terjadi di bawah aponeurosis akibat pecahnya vena-vena yang
menghubungkan jaringan di luar dengan sinus-sinus di dalam tengkorak. Perdarahan
dapat terjadi pada persalinan yang diakhiri dengan alat, dan biasanya tidak
mempunyai batas tegas, sehingga kadang-kadang kepala berbentuk asimetris.
Kelainan ini dapat menimbulkAn anemia, syok, atau hiperbilirubinemia.
Pemberian vitamin K dianjurkan pada perdarahan ringan,dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari selama tiga hari dan transfuse darah bila diperlukan

3) Caput succedaneum
Caput succedaneum merupakan edema subcutis akibat penekanan jalan lahir pada
persalinan letak kepala, berbentuk benjolan yang segera tampak setelah bayi lahir,
tak berbatas tegas dan melewati batas sutura. Kelainan ini biasanya ditemukan pada
presentasi kepala, sesuai dengan posisi bagian yang bersangkutan. Pada bagian
tersebut terjadi edema sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah.
Caput Succedaneum tidak memerlukan pengobatan khusus dan biasanya menghilang
setelah 2-5 hari

4) Cephal hematoma
Istilah cephal hematoma mengacu pada pengumpulan darah di atas tulang tengkorak
yang disebabkan oleh perdarahan subperiosteal dan berbatas tegas pada tulang yang
bersangkutan dan tidak melampaui sutura-sutura sekitarnya,sering ditemukan pada
tulang temporal dan parietal. Kelainan dapat terjadi pada persalinan biasa, tetapi
lebih sering paada persalinan lama atau persalinan yang diakhiri dengan alat, seperti
ekstraksi cunam atau vakum. Gejala lanjut yang mungkin terjadi yaitu anemia dan
hiperbilirubinemia. Kadang-kadang disertai dengan fraktur tulang tengkorak di
bawahnya atau perdarahan intra kranial. Bila tidak ditemukan gejala lanjut, cephal
hematoma tidak memerlukan perawatan khusus. Kelainan ini dapat menghilang
dengan sendirinya setelah 2-12 minggu.
5) Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan subdural Kelainan terjadi akibat tekanan mekanik pada tengkorak
yang dapat menimbulkan robekan falks cerebri atau tentorium cerebelli,
sehingga terjadi perdarahan. Hal ini biasanya ditemukan pada persalinan dengan
disproporsi sefalopelvik dengan dipaksakan untuk lahir pervaginam dan lebih
sering ditemukan pada bayi aterm dari pada bayi prematur.
b. Perdarahan subependimal dan intraventrikuler Kejadian ini lebih sering
disebabkan oleh hipoksia dan biasanya terdapat pada bayi-bayi prematur.
c. Perdarahan subarakhnoidal Perdarahan ini juga ditemukan pada bayi-bayi
premmatur dan mempunyai hubungan eratdengan hipoksia pada saat lahir.Bayi
dengan perdarahan intra kranial menunjukkan gejala-gejala asfiksia yang sukar
diatasi. Bayi setengah sadar, merintih, pucat, sesak nafas, muntah dan kadang-
kadang kejang. Bayi dapat meninggal atau hidup terus tanpa gejala-gejala lanjut
atau dengan gejala-gejala neurologik yang beraneka ragam, tergantung pada
tempat dan luasnya kerusakan jaringan otak akibat perdarahan

Pada pasien ini kepala bayi tertahan di pintu bawah panggul sejak ±3,5 jam dari pembukaan
10 pukul 13.00 wit sampai dengan bayi lahir pukul 16.35 wit. Sehingga menyebab bayi
mengalami asfiksia berat dengan jumlah apgar skore pada menit pertama: 1 dan pada menit
kelima: 3 dan harus dirawat di NICU
CEREBRAL PALSY

a. Definisi

Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang menetap dan tidak progresif,
terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) serta merintangi perkembangan otak
normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah selama hidup dan menunjukkan
kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan
spastis, gangguan ganglia basal dan juga kelainan mental8

b. Etiologi8
Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian :
1. Pranatal
 infeksi intrauterin TORCH, sifilis, rubella, toksoplasmosis, dan
sitomegalovirus Radiasi
 Asfiksia intrauterin (abrupsio plasenta previa,anoksia maternal,kelainan
umbilicus,perdarahan plasenta,ibu hipertensi,dan lain-lain)
 Toksemia grafidarum

2. Perinatal
 Anoksia/hipoksi
 Perdarahan otak
 Prematuritas
 Ikterus
 Meningitis purulenta
3. Postnatal
 Trauma kepala
 Meningitis/ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan
 Racun : logam berat
 Luka Parut pada otak pasca bedah

Beberapa penelitian menyebutkan factor pranatal dan perinatal lebih berperan dari pada
factor pascanatal. Studi oleh nelson dkk menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah,
asfiksia saat lahir, iskemia pranatal, faktor penyebab Cerebral palsy.

Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan factor perinatal
yaitu segala faktor yang menyebabkan Cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan
kehidupan. Sedangkan faktor pascanatal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2
tahun. atau sampai 5 tahun kehidupan, atau sampai 16 tahun

c. Gejala

Biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang berat, bisa
muncul pada saat anak berumur 3 bulan. Gejalanya bervariasi,mulai dari kejanggalan
yang tidak tampak nyata sampai kekakuan yang berat,yang menyebabkan bentuk
lengan dan tungkai sehingga anak harus memakai kursi roda. Cerebral palsy Dibagi
menjadi 4 kelompok : 8

1. Tipe spastic atau pyramidal (50% dari semua kasus CP, otot-otot menjadi kaku
dan lemah. Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah
2. Tipe disginetik (koreatetoid,20% dari semua kassus CP), otot lengan,tungkai dan
badan secara spontan bergerak perlahan,menggeliat dan tak terkendali tetapi bisa
juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang. Luapan emosi menyebabkan
keadaan semakin memburuk,gerakan akan menghilang jika anak tidur.
3. Tipe ataksik, (10% dari demua kasus CP)terdiri dari tremor,langkah yang goyah
dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan kooordinasi dan gerakan
abnormal.
4. Tipe Campuran (20% dari semua kasus CP),merupakan gabungan dari 2 jenis
diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastik dan koreoatetoid.

Gejala lain yang juga bisa dimukan pada CP :9


a. Kecerdasan dibawah normal
b. Keterbelakangan mental
c. Kejang/epilepsy (trauma pada tipe spastik)
d. Gangguan menghisap atau makan
e. Pernafasan yang tidak teratur
f. Gangguan perkembangan kemampauan motorik (misalnya menggapai sesuatu,
duduk, berguling, merangkak, berjalan)
g. Gangguan berbicara (disatria)
h. Gangguan penglihatan
i. Gangguan pendengaran
j. Kontraktur persendian
k. Gerakan menjadi terbatas
d. Pengobatan/terapi8

Cerebral Palsy tidak dapat disembuhkan dan merupakan kelainan yang berlangsung
seumur hidup. Tetapi banyak hal yang dapat dilakukan agar anak bisa hidup semandiri
mungkin. Pengobatan yang dilakukan biasanya tergantung kepada gejala dan bisa
berupa :

o Terapi fisik
o Loraces (penyangga)
o Kaca mata
o Alat bantu dengar
o Pendidikan dan sekolah khusus
o Obat anti kejang
o Obat pengendur otot (untuk mengurangi tremor dan kekakuan) : baclofen dan
diazepam
o Terapi okupasional
o Bedah ortopedik / bedah saraf, untuk merekonstruksi terhadap deformitas yang
terjadi
o Terapi wicara bisa memperjelas pembicaraan anak dan membantu mengatasi
masalah makan

Perawatan (untuk kasus yang berat)9

Jika tidak terdapat gangguan fisik dan kecerdasan yang berat, banyak anak dengan cp yang
tumbuh secara normal dan masuk ke sekolah biasa. Anak lainnya memerlukan terapi fisik
yang luas. Pendidikan khusus dan selalu memerlukan bantuan dalam menjalani aktivitasnya
sehari-hari.

Pada beberapa kasus, untuk membebaskan kontraktur persendian yang semakin memburuk
akibat kekakuan otot, mungkin perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan juga perlu
dilakukan untuk memasang selang makanan dan untuk mengendalikan pefluks
gastroesofageal.
BAB IV

PENUTUP

SIMPULAN

1. Terdapat kelalaian observasi sehingga terjadi keterlambatan dalam penegakan


diagnosis Inertia uteri hipotonik dan pemberian drip oxytocin
2. Terlambat keterlambatan intervensi dan informed consent dari keluarga untuk
melakukan tindakan
3. Tidak dilakukannya intervensi yang tepat pada pasien sehingga pasien mengalami
partus dengan ekstraksi forceps
4. Persalinan yang lama mengakibatkan bayi mengalami afiksia berat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin A., Rachimhadhi T., Wiknjosastro G. Ilmu kebidanan sarwono


prawirohardjo. Edisi ke 4. Cetakan ke 4. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta. 2014

2. Roshni P, Deirdre M.Forceps Delivery in Modern Obstetric Pratice In: British Medic
al Journal. 1302-5 : 2004.2.Tim Pengajar Obstetri dan Ginekologi FK UNSRAT

3. Wiknjosastro H, Pedoman diagnosis danterapi Obstetri dan Ginekologi Manado: ; 67-


78 1996.5.Bagian/SMF Obstetri dan GinekologiFakultas Kedokteran UNSRAT.
Manado

4. Wagner, L.K. Diagnosis and Management of Preeklamsia. Am Fam Physician 70


(12): 2317-2324. 2004

5. Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.

6. Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar
Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi :
Universitas Islam Indonesia.

7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor


290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

8. Behrman, Kliegman, Arvin, 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15 Nelson, J
akarta : EGC

9. Soetomenggolo, Taslim S, 1999. Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia

10. Cunningham F.G., Leveno K.J., Bloom S.L., Hauth J.C., Rouse D.J., Spong C.Y. et
all. Hal. 502 dan 506. Edisi ke 23. Labor Induction. In: Williams Obstetrics. 23rd ed.
USA: Mc Graw-Hill Companies. 2010

Вам также может понравиться