Вы находитесь на странице: 1из 3

TELAAHAN KEBIJAKAN PUPUK

Harga Pupuk Bersubsidi


Harga pupuk yang dibayar oleh petani adalah Harga Eceran Tertinggi (HET). HET adalah
harga tertinggi untuk penjualan pupuk secara tunai yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian yang
meliputi pupuk anorganik yaitu Urea, SP-18, ZA dan NPK serta pupuk organik dalam kemasan 50
kg, 40 kg atau 20 kg oleh pengecer di Lini-IV kepada petani/Kelompok Tani. HET pupuk dalam
periode 2007-Maret 2010, tidak mengalami kenaikan. Kemudian mulai April 2010, dengan
Permentan Nomor 32/2010 harga pupuk mengalami kenaikan sekitar 25,7-45%. Di pihak lain
HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk gabah (GKP) terus meningkat dari Rp 2.000 untuk
tahun 2007 menjadi Rp 2.200 tahun 2008, Rp 2.400 tahun 2009, dan Rp.2.640 tahun 2010. Hal
ini berarti bahwa rasio HET pupuk bersubsidi terhadap HPP gabah terus menurun dalam
periode 2007-2009 (Tabel 1), atau harga pupuk bersubsidi semakin murah dibanding HPP
gabah. Namun dengan kenaikan HET pupuk bulan April 2010, maka rasio harga pupuk
terhadap harga gabah kembali ke angka yang dialami tahun 2007.
Tabel 1. Perkembangan Rasio HET Pupuk terhadap HPP GKP 2007-2010
HPP HET Pupuk (Rp/kg) Rasio HET Pupuk/HPP GKP
Tahun GKP
SP36/1 SP36/1
(Rp/kg) Urea ZA 8 NPK Urea ZA 8 NPK
2007 2.000 1.200 1.050 1.550 1.750 0,60 0,53 0,78 0,88
2008 2.200 1.200 1.050 1.550 1.750 0,55 0,48 0,70 0,80
2009 2.400 1.200 1.050 1.550 1.750 0,50 0,44 0,65 0,73
2010 2.640 1.600 1.400 2.000 2.300 0.61 0,53 0,76 0,87

Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk


1. Dampak subsidi pupuk terhadap produksi pertanian, nilai tambah dan pendapatan
rumah tangga
Subsidi pupuk mempunyai dampak terhadap produksi pertanian, nilai tambah
perekonomian dan pendapatan petani. Subsidi pupuk berdampak positif terhadap
permintaan/penggunaan pupuk Urea pada usahatani padi. Namun ada variasi antar skala
usahatani, dimana petani kecil kurang sensitif sedangkan petani luas lebih sensitif terhadap
perubahan subsidi pupuk. Selanjutnya, penggunaan pupuk Urea berdampak positif terhadap
produktivitas padi. Hasil kajian Bank Dunia (2009) menunjukkan bahwa peningkatan
penggunaan Urea 1% dapat meningkatkan produktivitas padi sebesar 0,31-0,49% di Jawa dan
0,15% di luar Jawa. Namun dampak yang signifikan terjadi pada usahatani kecil, bukan pada
usahatani luas. Dengan kata lain, subsidi pupuk berdampak positif secara tidak langsung
terhadap produktivitas padi, utamanya pada usahatani berskala kecil.
Hasil kajian IPB (2010) menunjukkan bahwa subsidi pupuk pada tahun 2008 dapat
meningkatkan nilai tambah perekonomian nasonal sebesar Rp 5,2 triliun. Peningkatan nilai
tambah tersebut jauh lebih kecil dibanding biaya subsidi sekitar Rp 17,5 triliun. Bank Dunia
(2009) juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai produksi padi pada tahun 2008 hanya Rp 8,3
triliun, jauh lebih rendah dibanding nilai subsidi pupuk sekitar Rp 15,2 triliun. Hal ini berarti
bahwa secara ekonomi kebijakan subsidi pupuk sangat tidak efisien.


 
2. Penerima manfaat subsidi pupuk
Hasil kajian Bank Dunia (2009) memberikan informasi bahwa pada usahatani padi tahun
2007, petani luas lebih banyak memperoleh manfaat subsidi pupuk dibanding petani kecil untuk
pupuk Urea, terlebih-lebih pupuk SP36 yang harganya lebih mahal. Petani luas yang jumlahnya
40% memperoleh 60% dari total subsidi pupuk. Hasil kajian IPB (2010) juga memperlihatkan
bahwa kebijakan subsidi pupuk tahun 2008 memberikan dampak lebih besar pada kelompok
pendapatan menengah keatas yaitu sebesar Rp.223,9 milyar, sedangkan kelompok
pendapatan rendah dan kelompok miskin masing-masing memperoleh peningkatan pendapatan
sebesar Rp 167,9 milyar dan Rp 65,2 milyar.

3. Implikasi terhadap alokasi dana pembangunan


Jika kelompok sasaran penerima subsidi pupuk dibatasi hanya petani kecil yang
jumlahnya 60%, maka biaya subsidi pupuk dapat dihemat sebesar Rp 9 triliun dari anggaran
subsidi pupuk pada tahun 2008 (Bank Dunia, 2009). Jumlah penghematan ini cukup besar yang
dapat dimanfaatkan untuk membiayai subsidi pupuk komoditas-komoditas pertanian di
subsektor-subsektor lainnya (hortikultura, perkebunan dan peternakan), subsidi sarana produksi
lainnya (misalnya benih) dan aspek-aspek lain, misalnya infrastruktur pertanian serta penelitian
dan pengembangan.

Permasalahan Pokok Kebijakan Subsidi Pupuk


1. RDKK belum disusun secara baik
Penyusunan RDKK oleh Kelompok Tani belum didasarkan pada data luas lahan garapan
yang obyektif. Menurut ketentuan, luas lahan maksimal bagi petani yang mendapat subsidi
pupuk adalah 2 (dua) hektar, namun dalam kenyataannya banyak petani yang luas lahannya
melebihi batas tersebut tetap mendapat subsidi pupuk dengan cara membagi-bagi lahannya
atas nama anggota keluarganya.
Selama ini kelembagaan KT dan penyusunan RDKK baru terbatas untuk komoditas
padi. Pada beberapa daerah belum semua petani tergabung dalam KT dan tidak diusulkan
dalam RDKK. Demikian pula di beberapa daerah memiliki lahan usahatani bukan permanen
untuk pertanian, seperti contoh lahan HPH, bantaran sungai, areal waduk pada musim kemarau
dan bantaran rel kereta api yang diusahakan untuk pertanian semusim oleh petani. Potensi
lahan ini cukup luas, namun pada saat penyusunan RDKK umumnya kebutuhan pupuk untuk
jenis-jenis lahan tersebut belum dimasukan.

2. Disparitas harga pupuk bersubsidi vs non-subsidi


Oleh karena tidak semua pupuk yang beredar disubsidi, maka terjadi disparitas harga
antara pupuk bersubsidi pada pertanian rakyat dan pupuk non-subsidi pada pertanian
perusahaan besar, dengan perbedaan yang sangat besar. Hal ini menimbulkan rangsangan
yang kuat bagi para pelaku distribusi pupuk untuk menjual pupuk bersubsidi kepada pengguna
pupuk non-subsidi. Akibatnya terjadi kelangkaan pasokan pupuk bagi pengguna yang
mendapatkan subsidi pupuk.

3. Penetapan marjin pemasaran yang tidak sesuai


Marjin pemasaran yang terdiri dari fee bagi pelaku distribusi dan biaya pemasaran yang
termasuk ke dalam komponen HET oleh penyalur dinilai terlalu rendah, baik di Lini-III maupun


 
Lini-IV. Margin pupuk bersubsidi di Lini IV pada akhir tahun 2009 sebesar Rp. 60/kg termasuk
biaya transport dari Lini III ke kios, biaya bongkar muat, retribusi dan keuntungan penyalur.
Kecilnya margin di tingkat penyalur Lini IV mengakibatkan para pelaku distribusi pupuk tersebut
melakukan penyesuaian biaya pemasaran secara tidak resmi. Tindakan pelaku distribusi
tersebut menyebabkan meningkatnya marjin pemasaran diatas ketentuan, yang merupakan
salah satu penyebab harga beli oleh petani berada diatas HET.

4. Keterbatasan anggaran
Anggaran untuk subsidi pupuk semakin terbatas. Pada tahun 2010, anggaran subsidi pupuk
sebesar Rp.15.4 trilyun turun dari Rp 17,5 triliun pada tahun 2009. Dengan penurunan anggaran
subsidi pupuk tersebut, maka volume pupuk yang disubsidi berkurang sehingga alokasi pupuk
bersubsidi untuk tiap Kelompok Tani juga berkurang dan lebih kecil dari jumlah yang diajukan
oleh Kelompok Tani sesuai dengan RDKK. Di beberapa daerah jenis pupuk tertentu bahkan tidak
tersedia di penyalur. Anggaran untuk pengawasan pupuk juga terbatas yaitu hanya sekitar Rp
20 milyar untuk seluruh Indonesia atau rata-rata sekitar Rp 50 juta per kabupaten/kota untuk
jangka waktu setahun atau sekitar Rp 4 juta per bulan. 


 

Вам также может понравиться