Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit dan upaya
pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang
bermutu. Dalam pemberian pelayanan yang bermutu, seorang petugas kesehatan
harus memiliki kemampuan untuk mencegah infeksi dimana hal ini memiliki
keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan karena mencakup setiap aspek
penanganan pasien.
Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat
terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti
yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat,
pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu
perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan
invasif yang lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih
rendah dan pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang
akan memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial.
Saat ini, masalah infeksi nosokomial makin banyak mendapat perhatian para
ahli karena di samping dapat meningkatkan morbilitas maupun mortalitas, juga
menambah biaya perawatan dan obat-obatan, waktu dan tenaga yang pada
akhirnya akan membebani pemerintah atau rumah sakit, personil rumah sakit
maupun penderita dan keluarganya. Hal ini jelas bertentangan dengan
kebijaksanaan pembangunan bidang kesehatan yang justru menekankan
peningkatan efisiensi pelayanan kesehatan.
Cara penularan melalui tenaga kesehatan ditempatkan sebagai penyebab yang
paling utama infeksi nosokomial. Penularan melalui tangan tenaga kesehatan
dapat secara langsung karena tangan yang kurang bersih atau secara tidak
langsung melalui peralatan yang invasif. Dengan tindakan mencuci tangan secara
benar saja kejadian infeksi nosokomial dapat mencapai 50% apalagi jika tidak
mencuci tangan. Peralatan yang kurang steril, air yang terkontaminasi kuman,
cairan desinfektan yang mengandung kuman, sering meningkatkan risiko infeksi
nosokomial.

2.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, adalah :
a. Memberi wawasan dan pengetahuan dalam upaya pencegahan, pengelolaan
atau manajemen keselamatan pasien
b. Memenuhi tugas dalam mata kuliah management patient safety
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Infeksi Nosokimial


Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita itu
dirawat disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik, maupun rumah
sakit. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda
infeksi kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah
terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan
gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru dapat disebut infeksi
nosokomial.
”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang
paling sering terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai
Infeksi Nosokomial atau disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-
Acquired Infections” merupakan persoalan serius karena dapat menjadi penyebab
langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak berakibat
kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar biaya
rumah sakit yang lebih banyak.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan
kelompok yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui
penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien
kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dengan
demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas,
peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.
Infeksi nosokomial bersumber pada peralatan kedokteran, makanan
minuman, udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat, bidan,
laboran, staff, pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di lingkungan
sarana pelayanan kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang
berada di lingkungan sarana pelayanan kesehatan.
Dalam kasus ini, jenis yang paling sering adalah infeksi luka bedah, infeksi
saluran kemih, dan saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia). Tingkat paling
tinggi terjadi di unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan ortopedi serta
pelayanan obstetri (seksio sesarea). Tingkat paling tinggi dialami oleh pasien usia
lanjut, mereka yang mengalami penurunan kekebalan tubuh (HIV/AIDS, pengguna
produk tembakau, penggunaan kortikosteroid kronis), TB yang resisten terhadap
berbagai obat dan mereka yang menderita penyakit bawaan yang parah.

2.2 Epidemologi
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian
terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-
penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang dilakukan
oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang
berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan
adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%.
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat
pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah,
tetapi semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised,
bakteri yang resisten antibiotik, infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif masih
menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus
setiap tahunnya.
Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat,
mikroorganisme yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten
terhadap obat. Oleh karena itu, diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu
kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini dapat meningkatkan resiko infeksi kepada
pasien.

2.4 Rantai Penularan Infeksi


Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila
satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan.
Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah :

1. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat


menyebabkan infeksi. Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia,
jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : patogenitas, virulensi,
dan jumlah (dosis, atau load).
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang
biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik
lainnya. Pada manusia: permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas,
usus dan vagina.
3. Port of exit (Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan
reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan,
saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan
darah serta cairan tubuh lain.

4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi


dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :
a. Kontak (contact transmission) :
b. Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara
fisik pada saat pemeriksaan fisik, memandikan pasien.
c. Indirect/Tidak langsung (paling sering) : kontak melalui objek (benda/alat)
perantara : melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci.
d. Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar
pendek, tidak bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva,
hidung, mulut contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus
influenza type b (Hib), Virus Influenza, mumps, rubella
e. Airborne : partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di udara, jarak
penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis, virus
campak, Varisela (cacar air), spora jamur
f. Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan
kehidupan kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada
pejamu yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan
g. Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang
dapat menularkan kuman penyebab cara menggigit pejamu yang rentan atau
menimbun kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh:
nyamuk, lalat, pinjal/kutu, binatang pengerat
5. Port of entry (Pintu masuk) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu
(yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui : saluran pernafasan, saluran pencernaan,
saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).

6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh
yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor
yang mempengaruhi: umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar
yang luas, trauma atau pembedahan, pengobatan imunosupresan. Sedangkan faktor
lain yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status
ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

2.5 Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial


1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di
rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak
selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi
tergantung pada :
a. karakteristik mikroorganisme
b. resistensi terhadap zat-zat antibiotika
c. tingkat virulensi, dan
d. banyaknya materi infeksius
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme
yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari
pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah
sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya
melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit
yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme
yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang
menyebabkan penyakit pada orang normal.
2. Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien
dalam hal ini adalah :
a. Usia
b. Status imunitas penderita
c. Penyakit yang diderita
d. Obesitas dan malnutrisi
e. Orang yang menggunakan obat-obatan
f. Imunosupresan dan steroid
g. Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh
terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis
seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS.
Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman
yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat
menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan
penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan
pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.
3. Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan
penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti
golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena
dan jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan
yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan
terjadinya infeksi silang.
4. Resistensi antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun
1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan
disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan
berlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini
menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka
mortalitas terutama terhadap pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri
ditransmisikan antar pasien dan faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri.
Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru meningkatkan multiplikasi dan
penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya karena :
a. Dosis antibiotika yang tidak optimal
b. Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat
c. Kesalahan diagnosa
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang
resisten terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman
terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk
terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strain dari
pneumococci, staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap
banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah
bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara
berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di
rumah sakit, serta menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah penderita
yang dirawat, seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur,
mikororganisme yang baru (mutasi), dan Meningkatnya resistensi bakteri terhadap
antibiotika.
5. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi
dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari
luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak
diganti-ganti. Di ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan
terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis
dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa :
a. Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
b. Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat
dideteksi adanya gangguan lain
c. Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena
d. Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus
e. Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian
kanula yang ada dalam pembuluh darah
f. Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
g. Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula
intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter
yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak
mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi
karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada
tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula.
Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan
bakteremia.

2.7 Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial


Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat penting untuk
melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya
infeksi karena dirawat, bertugas, juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas
profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi,
IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas
penjamu, agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan.
Identifikasi faktor resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu
dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada
petugas kesehatan.
Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :

1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat berupa pemberian imunisasi aktif


(contoh vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif
(imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang
adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun
kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi)
dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air,
disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk
mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda
ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.
Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions”
(Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard
Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission based Precautions”
(Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP)
terhadap petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang
ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena
luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu
mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.

2.8 Kewaspadaan Isolasi


Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien
terinfeksi/kolonisasi kepada pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi
diterapkan dengan benar dapat menurunkan risiko transmisi dari pasien
infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan transmisi mikroba
infeksius diantara petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus diterapkan
kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil laboratorium
keluar.
Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :

a. Kewaspadaan Standar

Kewaspadaan standar berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti


infeksi, setiap waktu di semua unit pelayanan kesehatan. Kewaspadaan standar
disusun untuk mencegah kontaminasi silang sebelum diagnosis diketahui dan
beberapa merupakan praktek rutin, meliputi :
1. Kebersihan tangan/Hand hygiene
2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata
pelindung), face shield (pelindungwajah), dan gaun
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
7. Penempatan pasien
8. Hygiene respirasi/Etika batuk
9. Praktek menyuntik yang aman
10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

1. Pentingnya Hand Hygiene/Kebersihan Tangan


a. Hal utama dalam PPI
b. Pilar PPI
c. Komponen sentral dari Patient Safety
d. Sederhana dan efektif mencegah HAIs
e. Menciptakan lingkungan yang aman
f. Pelayanan kesehatan aman

Bagaimana cara mencuci tangan yang baik?

**) Penggunaan sarung tangan tidak dapat menggantikan peran mencuci tangan.
**) Tidak dapat di aplikasikan bila tangan terkontaminasi kotoran kasat mata seperti
cairan darah.

Kapan waktunya mencuci tangan?


· Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi.
Diterapkan pada pasien gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab
infeksi menular yang dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak kulit atau
permukaan terkontaminasi.

Tiga jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi :

§ Kewaspadaan transmisi kontak


§ Kewaspadaan transmisi droplet
§ Kewaspadaan transmisi airborne
Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun
kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.

§ Kewaspadaan Transmisi Kontak


Penempatan pasien :
ü Kamar tersendiri atau kohorting ( Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri mencegah
HAIs)
ü Kohorting ( management MDRo )
APD petugas :

ü Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak bahan infeksius, lepaskan sarung
tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan antiseptik

ü Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan

Transport pasien :

ü Batasi kontak saat transportasi pasien

§ Kewaspadaan Transmisi Droplet


Penempatan pasien :

ü Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m

ü Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka


APD petugas :
ü Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien

Transport pasien :

ü Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi

ü Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

Kewaspadaan Transmisi Udara/Airborne


Penempatan pasien :

ü Di ruangan tekanan negatif

ü Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol

ü Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA

ü Pintu harus selalu tertutup rapat.

ü kohorting

ü Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting jarak >1 m

ü Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah


penyebaran

ü Ventilasi airlock à ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)

ü Terpisah jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang

APD petugas :

ü Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur

ü Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,

ü Gaun

ü Goggle

ü Sarung tangan

(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)

Transport pasien :
ü Batasi transportasi pasien, pasien harus pakai masker saat keluar ruangan

ü Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

Catatan :

Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama
di ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.

Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi


Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat
perawatan pasien rawat inap, sehingga perlu diterapkan hal-hal berikut :

1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi
dari seluruh pasien
2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu
lainnya
3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan
infeksius
5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak darah dan cairan tubuh
serta barang yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas
sarung tangan. Ganti sarung tangan antara pasien
6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang
pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal
dan obtainer/container pasien lainnya
7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah
dibersihkan dan didisinfeksi benar

Jadi, upaya pencegahan infeksi nosokomial oleh tenaga kesehatan termasuk bidan
diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk :
§ Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan
penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
§ Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
§ Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup,
dan vaksinasi.
§ Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
§ Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit, dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat beberapa prosedur dan tindakan pencegahan infeksi nosokomial.
Tindakan ini merupakan seperangkat tindakan yang didesain untuk membantu
meminimalkan resiko terpapar material infeksius seperti darah dan cairan tubuh lain
dari pasien kepada tenaga kesehatan atau sebaliknya. Menurut Zarkasih, pencegahan
infeksi didasarkan pada asumsi bahwa seluruh komponen darah dan cairan tubuh
mempunyai potensi menimbulkan infeksi baik dari pasien ke tenaga kesehatan atau
sebaliknya. Kunci pencegahan infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan adalah
mengikuti prinsip pemeliharaan hygene yang baik, kebersihan dan kesterilan dengan
lima standar penerapan yaitu:

1. Mencuci tangan untuk menghindari infeksi silang. Mencuci tangan


merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah infeksi nosokomial,
efektif mengurangi perpindahan mikroorganisme karena bersentuhan
2. Menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari kontak dengan darah
atau cairan tubuh lain. Alat pelindung diri meliputi; pakaian khusus (apron),
masker, sarung tangan, topi, pelindung mata dan hidung yang digunakan di
rumah sakit dan bertujuan untuk mencegah penularan berbagai jenis
mikroorganisme dari pasien ke tenaga kesehatan atau sebaliknya, misalnya
melaui sel darah, cairan tubuh, terhirup, tertelan dan lain-lain.
3. Manajemen alat tajam secara benar untuk menghindari resiko penularan
penyakit melalui benda-benda tajam yang tercemar oleh produk darah pasien.
Terakit dengan hal ini, tempat sampah khusus untuk alat tajam harus
disediakan agar tidak menimbulkan injuri pada tenaga kesehatan maupun
pasien.
4. Melakukan dekontaminasi, pencucian dan sterilisasi instrumen dengan prinsip
yang benar. Tindakan ini merupakan tiga proses untuk mengurangi resiko
tranmisi infeksi dari instrumen dan alat lain pada klien dan tenaga kesehatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita itu
dirawat disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik, maupun rumah
sakit, biasanya gejala timbul 72 jam pasca penderita dirawat di pelayanan kesehatan
tersebut.
Infeksi nosokomial dapat bersumber pada peralatan kedokteran, makanan
minuman, udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat, bidan,
laboran, staff, pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di lingkungan
sarana pelayanan kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang
berada di lingkungan sarana pelayanan kesehatan
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan
terjadinya infeksi nosokomial. Yang perlu menjadi fokus perhatian dalam upaya ini
adalah rantai penularan infeksi. Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat
penting karena apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat
dicegah atau dihentikan.
Penelaahan tentang rantai penularan infeksi melahirkan suatu upaya
pencegahan berupa kewaspadaan isolasi, yang meliputi kewaspadaan standar dan
kewaspadaan transmisi.
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Infeksi_nosokomial
http://www.edukasiana.net/2013/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html
http://doktersehat.com/infeksi-nosokomial-penyebab-dan-pencegahannya/
http://anaksilajara-didinyusuf.blogspot.com/2011/12/makalah-infeksi-
nosokomial.html
http://friskillaa24w.blogspot.com/2012/09/makalah-infeksi-nasokomia.html

Вам также может понравиться