Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit yang sudah dikenal selama berabad-abad. Kuman
antraks pertama kali di isolasi oleh Robert Koch pada tahun 1877. Meskipun penyakit alaminya sudah
banyak berkurang, antraks menarik perhatian karena dapat digunakan sebagai senjata biologis. Antraks
merupakan penyakit pada hewan terutama hewan berdarah panas dan pemakan rumput (herbivora) seperti
sapi, kerbau, kambing, domba, dan kuda. Pada hewan liar, antraks dapat ditemukan pada babi hutan, rusa,
dan kelinci (Cieslak,2005). Manusia terjangkit antraks biasanya akibat kontak langsung atau tidak
langsung dengan binatang atau bahan yang berasal dari binatang terinfeksi. Manusia relatif kebal terhadap
kuman antraks dibanding dengan herbivora. Pada manusia, infeksi alami antraks secara epidemiologis
tergolong atas dua jenis, yaitu:
1. Antraks yang umumnya terdapat di pedesaan. Dalam keadaan ini antraks terjadi akibat kontak erat
manusia dengan binatang atau jaringan binatang terinfeksi.
2. Antraks di daerah industri, pada umumnya mengenai pekerja yang menangani wool, tulang, kulit,
dan produk binatang lain. Antraks akibat kontak erat dengan binatang terinfeksi umumnya berbentuk
antraks kulit, jarang berbentuk antraks saluran cerna. Antraks di daerah industri juga sebagian besar
berbentuk antraks kulit, namun mempunyai risiko lebih besar mendapat antraks pulmonal dibanding
daerah pedesaan.
Agen penyakit antraks pertama kali ditemukan oleh Davaine dan Bayer (1849), kemudian identifikasi
selanjutnya dilakukan oleh Pollender (1855), dan Bravel (1857) berhasil memindahkan penyakit ini dengan
cara menginokulasi darah hewan yang terkena antraks (Anonim, 2010; Tanzil, 2013).
Menurut beberapa laporan di Indonesia pernah terjadi antraks pada tahun 2004 di peternakan ostrich,
Jawa Barat. Pada tahun 2007, di desa Kode, Nusa Tenggara Timur, antraks menyebabkan kematian 8
orang dan 6 orang dirawat akibat mengkonsumsi daging sapi yang terserang antraks (Jakarta Post, 2007).
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penyakit antraks?
2. Apa penyebab penyakit antraks?
3. Bagaimana pencegahan penyakit antraks?
4. Bagaimana penularan penyakit antraks?
5. Bagaimana pemeriksaan laboratorium penyakit antraks?
6. Bagaimana pengobatan dan penatalaksanaan penyakit antraks?

1
C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pengertian dari penyakit antraks


2. Mengetahui penyebab penyakit antraks
3. Mengetahui pencegahan penyakit antraks
4. Mengetahui penularan penyakit antraks
5. Mengetahui pemeriksaan laboratorium penyakit antraks
6. Mengetahui pengobatan dan penatalaksanaan penyakit antraks

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Antraks pada Hewan


Diduga penyakit Anthrax di Indonesia berasal dari sapi perah asal Eropa dan sapi Ongole asal Asia
Selatan yang didatangkan pada pertengahan abad 19. Selama tahun 1906 s/d 1921 kejadian wabah
Anthrax dicatat dalam buku tahunan Departement van Landbouw, Nijverheiden Handel, kemudian untuk
tahun 1922 s/d 1957 dicatat dalam laporan tahunan di Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst (sejak tahun
1942 dinamakan Pusat Jawatan Kehewanan). Sampai dengan sekarang apabila dilihat seluruh kejadian
Anthrax di 34 provinsi di Indonesia, maka kasus Anthrax telah terjadi di 22 provinsi dan hanya 7 provinsi
yang tidak pernah dilaporkan terjadi kasus yaitu Aceh, Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, Maluku,
Papua dan Papua Barat.

Bakteri Bacillus anthracis bila cukup oksigen akan membentuk spora yang terletak di sentral sel.
Dalam jaringan tubuh penderita ataupun bangkai yang tidak dibuka, bakteri selalu berselubung dan tidak
pernah berspora karena tidak cukup oksigen. Namun apabila kuman Anthrax jatuh ke tanah atau
mengalami kekeringan ataupun dalam lingkungan yang kurang baik lainnya akan berubah menjadi
bentuk spora. Spora Anthrax ini tahan hidup sampai 40 tahun lebih, dapat menjadi sumber penularan
penyakit baik kepada manusia maupun hewan ternak. Oleh karena itu penyakit Anthrax dapat disebut
“penyakit tanah” dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa/wabah, meskipun kejadian biasanya
terlokalisir di sekitar wilayah tersebut saja. Penyakit berlangsung per akut (kematian mendadak) dan akut,
menyerang berbagai jenis hewan pemamah biak, hewan liar maupun manusia tetapi hewan-hewan
berdarah dingin samasekali tidak terinfeksi. Penularan penyakit dapat diawali dari tanah yang berspora
Anthrax, kemudian melalui luka kulit atau terhirup pernapasan ataupun bersama pakan/minum masuk
pencernaan tubuh hewan dengan masa tunas berkisar 1 - 3 hari dan kadang-kadang 20 hari. Anthrax tidak
lazim ditularkan dari hewan satu ke lainnya dengan kontak langsung, tetapi vektor lalat penghisap darah
dapat berperan (misalnya Tabanus sp).

Gejala klinis penyakit pada hewan yang terkena antraks yaitu dibagi empat per akut, akut, kronis
dan kulit. Jika per akut, hewan akan mati mendadak akibat pendarahan di otak, hewan akan tidak
seimbang, gigi gemertak dan mati dengan lubang tubuh keluar, darah serta berlangsung beberapa jam.
Kemudian hewan yang memiliki gejala klinis akut seperti demam jika kuda mencapai 41,5oC dan sapi
42oC kemudian hewan akan merasa gelisah, depresi, sesak nafas, pembengkakan pada leher, dada, isi
perut, pinggang dan kelamin keluar serta keluar darah kehitaman encer dari lubang tubuh dan
kematiannya pada jangka waktu 1 sampai 3 hari. Selain itu ada yang memiliki gejala kronis yaitu terdapat

3
luka lokal di lidah atau mulut, penyakit berakhir 10-36 jam, atau berangsur sembuh bila infeksinya kronis
yang ringan. Namun, jika gejala pada kulit maka hewan tersebut akan mengalami pembengkakan pada
beberapa bagian tubuh pada hewan ternak.

Gambar 1. Gejala kronis pada hewan ternak

B. Pengertian
Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus
anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat Gram positif. Secara
in vitro, basil berbentuk rantai namun secara in vivo berbentuk tunggal atau berpasangan. Bila
tardedah di udara, kuman antraks dapat membentuk spora yang tahan hidup puluhan tahun di tanah.
Apabila suhu rendah, maka basil antraks akan membentuk spora secara perlahan-lahan (Akoso, 1996;
Anonim, 2010). Penyakit antraks dapat menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Hewan
herbivora sangat rentan terhadap penyakit antraks, sedangkan karnivora, burung dan reptil lebih tahan
terhadap penyakit ini. Infeksi biasanya akut pada ternak yang mengakibatkan kematian dalam waktu
satu sampai tiga hari (Kusbiyanto dkk., 2012).

C. Karakteristik Kuman
Penyakit antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis yang termasuk genus Bacillus. Bacillus anthracis
merupakan kuman berbentuk batang, aerobik, Gram positif, tidak berflagel, dengan ukuran kira-kira 1-1,5
kali 3-5 mikrometer. Pada sediaan yang berasal dari darah atau binatang terinfeksi, kuman tampak
berpasangan atau tunggal.Kapsul kuman dibentuk pada jaringan terinfeksi, namun tidak in vitro kecuali
dibiak di media yang mengandung bikarbonat dan dieram pada lingkungan 5-7% CO2.

4
Gambar 2. Struktur bakteri Bacillus anthracis

Kuman mudah tumbuh pada berbagai media. Untuk mendapatkan koloni yang karakteristik, kuman
sebaiknya ditumbuhkan pada media yang mengandung darah tanpa antibiotika. Kuman tumbuh subur pada
pH media 7.0-7.4 dengan lingkungan aerob. Suhu pertumbuhan berkisar antara 12-45°C tetapi suhu
optimumnya 37°C. setelah masa inkubasi 24 jam, koloni kuman tampak sebagai koloni yang besar, opak,
putih-keabu-abuan dengan tepi tak beraturan. Di bawah mikroskop, koloni tersusun seperti susunan rambut
sehingga sering disebut sebagai bentuk kaput medusa. Koloni kuman bersifat sticky sehingga jika diangkat
dengan sengkelit akan membentuk formasi seperti stalaktit (beaten egg-whites appearance).

D. Kuman Antraks
Kuman antraks tidak menyebabkan hemolisis darah domba dan reaksi katalasanya positif. Kuman
mampu meragi glukosa dan menghidrolisa gelatin tetapi tidak meragi manitol, arabinosa dan xilosa.
Karena menghasilkan lesitinasa, maka kuman yang ditumbuhkan pada media EYA (Egg-Yolk Agar) akan
membentuk zona opaq (Jawetz, 2010).

Terdapat tiga jenis antigen pada kuman antraks, yaitu:


1.Antigen polipeptida kapsul; Antigen kapsul merupakan molekul besar dan tersusun atas asam D-
glutamat. Sampai saat ini diketahui hanya ada satu tipe antigen kapsul. Kapsul berperan dalam
penghambatan fagosistosis kuman dan opsonisasinya.
2. Antigen Somatik yang merupakan komponen dinding sel; Antigen somatik merupakan polisakarida
yang mengandung D-galaktosa dan N-asetil galaktosamin. Antigen somatik ini bereaksi silang dengan
darah golongan A dan pneumokokus tipe 14. Antibodi terhadap antigen somatik tidak bersifat melindungi.
3. Antigen Toksin
Menurut Jawetz (2010), Virulensi kuman antraks ditentukan oleh dua faktor, yaitu kapsul kuman dan
toksin. Toksin kuman yang ditemukan pada tahun 1950-an oleh Smith dan Keppie, terdiri dari tiga
komponen yaitu:
a. Faktor I (faktor edema atau EF);
b. Faktor II (faktor antigen protektif atau PA)

5
c. Faktor III (faktor letal atau LF)

Toksin kuman antraks pada pejamu akan menyebabkan kematian fagosit, edema, kematian
jaringan, dan perdarahan. Ketiga faktor ini jika berdiri sendiri-sendiri tidak toksis. PA akan membentuk
kompleks dengan EF menjadi toksin edema. PA juga membentuk kompleks dengan LF menjadi toksin
edema. PA juga membentuk kompleks dengan LF menjadi toksin letal. Peran PA tampaknya memfasilitasi
masuknya EF dan LF ke dalam sel dengan jalan berikatan dengan reseptor seluler. Ikatan PA dengan
reseptor selulernya membentuk saluran yang memungkinkan EF dan LF masuk ke dalam sel. EF
merupakan enzim adenilsiklasa inaktif. Aktivasi EF terjadi oleh kalmodulin seluler dan setelah diaktivasi,
EF akan mempercepat perubahan ATP menjadi cAMP. Kemampuan EF mengubah ATP menjadi cAMP
jauh lebih kuat dibanding dengan toksin kuman kolera. LF merupakan metaloproteasa dan menjadi faktor
virulensi utama kuman. Penyuntikan toksin letal pada mencit akan memyebabkan kematian dalam 38
menit. Dengan mekanisme tersebut, menjelaskan jika antibodi terhadap PA bersifat protektif. Ikatan
antibodi dengan PA menyebabkan EF dan LF tidak dapat masuk ke dalam sel (Garcia,2010).
Spora dibentuk di tanah, jaringan/ binatang mati dan tidak terbentuk di jaringan dan darah binatang
hidup. Spora yang merupakan endospora berkisar 1-2 mikrometer, sehingga sukar tersaring oleh
mekanisme penyaringan di saluran pernapasan atas. Dalam tanah, spora dapat bertahan 40 sampai 60
tahun. Ini yang menyebabkan risiko penyebarannya sangat tinggi, melalui rumput yang dimakan hewan,
khususnya ternak berkuku genap seperti kerbau atau sapi (Lane,2008). Spora antraks tahan terhadap
pengaruh panas, sinar ultraviolet dan beberapa desinfektan. Endospora dapat dimatikan dengan cara
otoklaf pada suhu 120°C selama 15 menit. Bentuk vegetatifnya mudah dimatikan pada suhu 54°C selama
30 menit.

E. Patogenesis
Sebagai penentu patogenitas dari Bacillus anthracis adalah adanya 2 faktor virulensi yaitu capsul
dan antigen toxin yang berupa exotoxin complex yang terdiri dari PA /Protective Antigen, LF / Lethal
Factor dan EF /Edema Factor yang dapat dihasilkan. Capsul akan menyebabkan gangguan pada proses
fagositosis sedangkan exotoxin complex berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan. Protective Antigen
akan mengikat receptor yang selanjutnya diikuti masuknya Lethal Factor dan Edema Factor ke dalam sel.
Sinergi antara PA dengan EF akan menyebabkan edema sedangkan sinergi antara PA dengan LF akan
menyebabkan kematian.
Anthrax terutama menyerang hewan ternak sapi,kambing, domba / biri-biri, kuda. Endospora dari
Bacillus anthracis yang mencemari tanah kemungkinan akan menempel pada rerumputan atau tanaman
lainnya dan termakan oleh ternak. Manusia umumnya terinfeksi oleh endospora bakteri ini melalui lesi di
kulit, inhalasi atau per oral.

6
Gambar 3. Siklus Antraks
Infeksi dimulai dengan masuknya endospora ke dalam tubuh. Endospora dapat masuk melalui abrasi
kulit, tertelan atau terhirup udara pernapasan. Pada antraks kulit dan saluran cerna, sebagian kecil spora
berubah menjadi bentuk vegetatif di jaringan subkutan dan mukosa usus. Bentuk vegetatif selanjutnya
membelah, mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya edema dan nekrosis setempat.
Endospora yang di fagositosis makrofag, akan berubah jadi bentuk vegetatif dan dibawa ke kelenjar
getah bening regional tempat kuman akan membelah, memproduksi toksin, dan menimbulkan limfadenitis
hemorhagik.
Kuman selanjutnya menyebar secara hematogen dan limfogen dan menyebabkan septikemia dan
toksemia. Dalam darah, kuman dapat mencapai sepuluh sampai seratus juta per millimeter darah. Sebagian
kecil bisa mencapai selaput otak menyebabkan meningitis. Pada antraks pulmonal, terjadi edema paru
akibat terhalangnya aliran limfe pulmonal karena terjadinya limfadenitis hemorhagik peribronkhial.
Kematian biasanya akibat septikemia, toksemia, dan komplikasi paru dan umumnya terjadi dalam kurun
waktu satu sampai sepuluh hari pasca paparan. Reaksi peradangan hebat terjadi terutama akibat toksin
letal. Toksin letal kuman menyebabkan pelepasan oksigen antara reaktif (reactive oxygen intermediates)
dan pelepasan tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (Jawetz,2010).

F. Jenis Antraks dan Gejala Klinis


1. Antraks kulit sering disebut sebagai black eschar atau malignant pustule yang paling sering terjadi,
yaitu lebih dari 90%. Penderita biasanya mempunyai riwayat kontak dengan hewan atau produknya. Lesi
pertama terjadi dalam waktu tiga sampai lima hari pasca inokulasi spora dan umumnya terdapat pada
daerah ekstremitas, kepala dan leher (daerah terbuka). Lesi berwarna kemerahan, gatal dan tak sakit.
Dalam kurun waktu 24-36 jam lesi berubah membentuk vesikel berisi cairan jernih. Karena bagian tengah
vesikel nekrotik maka setelah vesikel pecah, akan terbentuk keropeng berwarna hitam (eschar) di bagian
tengahnya. Di sekitar lesi tampak edema kemerahan hebat dan vesikel-vesikel kecil. Istilah pustula
malignan sebenarnya salah, karena lesi kulit antraks tidak purulen dan tidak sakit. Ditemukannya lesi
purulen dan sakit biasanya menunjukkan infeksi sekunder oleh kuman lain seperti stafilokokus dan
streptokokus (Dixon, 1999).

7
Lesi antraks kulit umumnya sembuh sendiri tanpa meninggalkan parut. Sekitar 10% antraks kulit
berlanjut menjadi antraks sistemik yang fatalitasnya tinggi. Komplikasi lain antraks kulit adalah terjadinya
bulae multipel disertai edema hebat dan renjatan. Edema maligna ini jika mengenai leher dan di dalam
dada akan menyebabkan gangguan pernafasan. Pada pemeriksaan histologik, antraks kulit memperlihatkan
nekrosis, edema hebat dan infiltrasi limfosit.

Gambar 4. Penyakit antraks kulit


2. Antraks intestinal merupakan tersering kedua. Gejala klinik antraks intestinal biasanya muncul 2-5
hari setelah tertelannya spora yang umumnya berasal dari santapan daging tercemar, karena itu antraks
intestinal sering mengenai lebih dari satu anggota keluarga. Pada antraks intestinal ini belum diketahui
dimana pertama kali spora berubah menjadi bentuk vegetatif. Namun dari pemeriksaan patologi diketahui
bahwa kuman dapat ditemukan pada jaringan limfatik mukosa dan submukosa, kelenjar limfoid
mesenterik dan cairan peritoneal. Keluhan penderita biasanya berupa demam, nyeri perut difus dan disertai
nyeri lepas. Feses bercampur darah atau berupa melena dengan konsistensi padat atau cair. Penderita
kadang-kadang muntah berdarah atau berwarna seperti kopi. Asites muncul dua sampai empat hari sejak
gejala pertama timbul. Kematian terjadi umumnya karena toksemia atau perforasi.

Gambar 5. Antraks intestinal


Pada antraks orofaring gambaran klinis lebih ringan. Gejalanya berupa edema leher dan pembesaran
kelenjar limfe lokal dengan akibat kesulitan menelan dan kesulitan bernafas. Lesi di orofaring berupa ulkus
dengan pseudomembran.
3. Antraks pulmonal atau disebut juga antraks inhalasi; biasanya fatal, walaupun telah diberi antibiotika
dan pengobatan intensif. Hal ini yang menjadi salah satu alasan kuman antraks dipakai sebagai senjata
biologis (Pile, 2005. Lane,2008). Pada tahun 1979, telah terjadi kecelakaan di Fasilitas Mikrobiologi,
Sverdlovsk, Rusia dengan tersebarnya spora antraks yang mengakibatkan 79 orang terinfeksi dan 68
kematian.

8
Gambar 6. Antraks pulmonal
Masa inkubasi antraks inhalasi tergantung dosis spora yang terhisap, umumnya 10 hari, tetapi dapat
pula mencapai 6 minggu. Spora yang terhisap akan difagositosis dan terbawa ke kelenjar limfe
mediastinum dan peribronkial menyebabkan mediastinitis hemorhagik. Gejala awal antraks inhalasi
menyerupai infeksi viral saluran pernafasan atas akut berupa demam, batuk kering, mialgia dan kelemahan.
Secara radiologis tampak pelebaran mediastinum dan efusi pleura. Dalam 1-2 hari, penderita biasanya
jatuh dalam dispnoe berat, stridor dan akhirnya kematian.Kematian terjadi pada kurun waktu 1-10 hari
dengan rata-rata sekitar 3 hari sejak timbulnya gejala klinik.
4.Antraks meningitis merupakan salah satu komplikasi antraks kulit intestinal dan inhalasi adalah
meningitis. Biasanya fatal dan kematian terjadi dalam 1-6 hari sejak timbulnya gejala. Di samping gejala
infeksi umum seperti demam, mialgia, ditemukan pula gejala rangsang meningeal dan gejala kenaikkan
tekanan intrakranial seperti sakit kepala progresif, kaku kuduk, delirium, kejang-kejang. Secara patologis
terjadi meningitis hemorhagik disertai edema hebat di leptomeningen. Cairan serebrospinalnya dapat
berdarah dan mengandung banyak kuman antraks.

Gambar 7. Antraks meningitis


Oleh karena gambaran leptomeningen menunjukkan perdarahan massif sehingga tampak berwarna merah,
maka disebut juga Cardinal’s cap (Lane,2008). Tingkat kematian antraks tipe meningtis dapat mencapai
100%.

G. Diagnosis
Untuk pemeriksaan antraks kulit, bahan diambil dari lesi yang baru dengan usap kapas. Jika lesi telah
menjadi eschar, tepi lesi diangkat dan bahan diambil dari bawah lesi. Eksisi eschar tidak diperbolehkan

9
karena mempermudah terjadinya antraks sistemik. Untuk antraks intestinal, bahan yang diambil berupa
feses. Jika diperlukan, bahan dapat berupa darah. Namun untuk bahan berupa darah, seharusnya diambil
sebelum pemberian antibiotik. Selain untuk pembiakan, darah atau serum dipakai untuk pemeriksaan
serologi. Untuk itu diperlukan serum berpasangan yang diambil dengan interval waktu paling sedikit 10
hari. Untuk bahan post mortem, bahan berupa darah, cairan berdarah dari hidung, anus atau mulut harus
diambil. Jika perlu dapat pula diambil cairan peritoneal, limfa dan kelenjar getah bening mesenterik
dengan cara aspirasi. Untuk kasus antraks pulmonal, bahan pemeriksaan berupa sputum. Bahan-bahan
pemeriksaan tersebut di atas, selanjutnya dikirim ke laboratorium dengan atau dalam media transport untuk
pemeriksaan langsung, pembiakan atau serologi. Pengerjaan pembiakan kuman harus dilakukan dalam
biological safety cabinet. Untuk pemeriksaan langsung, bahan dibuat sediaan dan diwarnai dengan
perwarnaan Gram, imunofluoresensi atau M’Fadyean. Pemeriksaan serologi dikerjakan dengan cara
imunodifusi, fiksasi komplemen dan hemaglutinasi. Untuk menunjang penetapan diagnosis atas dasar
gambaran klinik dapat digunakan tes kulit yaitu skin anthracin test yang mempunyai sensitifitas 82% pada
infeksi yang telah berlangsung 3 hari dan 99% untuk infeksi yang telah berlangsung 4 minggu. Khusus
untuk serologi terhadap toksin dikerjakan dengan cara Elisa. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
reaksi rantai polimerasa dan pemeriksaan histokimia (Lane, 2008. Garcia, 2010. WHO,2010).

A. Pewarnaan Gram
Bahan Pemeriksaan : Sputum
Alat dan bahan :
Alat :
1. Mikroskop
2. Objek glass
3. Ose atau kapas lidi steril
4. Busen
5. Penjepit
6. Pipet tetes
Bahan :
1. Sampel sputum
2. Kristal Violet
3. Safranin
4. Lugol
5. Alkohol
6. Aquadest
7. Oil imersi
8. Tissue

10
Cara Kerja :
1. Teteskan pewarna violet kristal di atas film pada gelas objek, dan dibiarkan selama 1 menit.
2. Bilas dengan aquadest dengan cara memegang gelas objek pada posisi miring
3. Tetesi dengan larutan yodium gram (lugol) selama 1 menit.
4. Setelah dicuci kembali dengan aquadest, kemudian dihilangkan warnanya menggunakan alkohol
95% selama 10-20 detik atau sampai warna biru tidak luntur lagi.
5. Setelah dicuci sebentar, kemudian diwarnai dengan “counterstain” yaitu larutan safranin selama
10-20 detik.
6. Bilaslah dengan aquadest.
7. Keringkan dengan kertas serap atau tissue.
8. Tetesi 1 tetes oil imersi.
9. Periksalah di bawah mikroskop.
Interpretasi Hasil :
Jika ditemukan bakteri Gram positif, berwarna biru-ungu, berbentuk batang, aerobik, tidak
berflagel, dengan ukuran kira-kira 1-1,5 kali 3-5 mikrometer, maka sampel tersebut positif menderita
penyakit antraks.

B. Pemeriksaan ELISA

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Antraks, Balai Penelitian Veteriner yang ditunjang dengan
pengambilan sampel serum ternak sapi, kambing dan domba pasca vaksinasi yang dilakukan oleh Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Sampel serum diambil dari beberapa kecamatan/desa di
Kabupaten Bogor yang merupakan daerah endemik antraks, antara lain: Babakan Madang, Hambalang,
Pakan Sari, Cijujung, Citayam, Jonggol, Kadu Manggu, Linggar Mukti, Suka Makmur dan Cibinong.
Jumlah sampel serum yang akan diuji adalah 291 sampel.

Jumlah sampel serum darah yang diuji Ternak ruminansia Jumlah sampel Sapi 59 Kambing 138 Domba 94
Total 291.

Metode atau teknik yang digunakan untuk pengujian adalah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
antibodi yang telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Veteriner (HARDJOUTOMO, 1993).

Tahap-tahap ELISA antibodi ini adalah sebagai berikut:

1. Supernatan kultur Bacillus anthracis dilarutkan dalam coating buffer (carbonat bicarbonat buffer
pH 9,6) kemudian dimasukkan 100 µl larutan tersebut ke dalam lubang mikroplat dan
diinkubasikan pada suhu 4°C selama satu malam.

11
2. Mikroplat dicuci dengan menggunakan PBS Tween 0,05% pH 7,4. Selanjutnnya dimasukkan 100
µl larutan PBS-Casein 0,5% pH 7,4 dan digoyang pada suhu kamar selama 1 jam.
3. Setelah itu mikroplat dicuci dengan menggunakan PBS Tween 0,05% pH 7,4.
4. Kemudian serum dilarutkan dalam PBS Tween 0,05% pH 7,4 (1/200) dan dimasukkan ke dalam
lubang mikroplat sebanyak 100 µl dan digoyang pada suhu kamar selama 1 jam.
5. Mikroplat dicuci dengan menggunakan PBS Tween 0,05% pH 7,4.
6. Konjugat dilarutkan dalam PBS Tween 0,05% + casein 0,2% pH 7,4 sesuai dengan enceran yang
dikehendaki (hasil titrasi) dan larutan tersebut dimasukkan ke daalam lubang mikroplat sebanyak
100 µl dan digoyang pada suhu kamar selama 1 jam.
7. Mikroplat dicuci kembali dengan menggunakan PBS Tween 0,05% pH 7,4. Selanjutnya 100 µl
substrat (ABTS dalam citrate buffer pH 4,2) dimasukkan ke dalam lubang mikroplat dan digoyang
pada suhu kamar selama 45 menit – 1 jam.
8. Selanjutnya dibaca dengan Elisa Reader pada panjang gelombang 405 nm atau 414 nm. Optical
Density (OD) sampel kemudian dikonversikan ke Unit ELISA (EU) dengan membandingkan OD
tersebut terhadap kurva standar serum kontrol.

Intepretasi hasil untuk hasil ELISA, sebagai berikut:

sapi (<134 EU: negatif dan >134 EU: positif),

kambing (<77 EU: negatif dan >77 EU: positif) dan

domba (<65 EU: negatif dan >65 EU: positif)

C. Isolasi Bacillus anthracis

Sampel :

Jenis sampel yang diperoleh dari lapangan dan diproses di laboratorium Balai Penelitian Veteriner berupa
tanah dari bekas hewan kambing yang sakit dan dipotong, sisa lemak dari hewan yang dipotong dan
dikonsumsi, tanah dari kuburan hewan kambing yang mati tersangka antraks, potongan daging, kulit dan
tulang dari kambing yang mati dikubur tersangka antraks. Selain dari sampel tersebut di atas diperoleh
sampel dari domba yang mati tersangka antraks berupa swab kapas darah yang keluar dari hidung, mulut
dan anus.

Alat dan bahan :

1. Sarung tangan 3. Pisau scalpel


2. Gunting 4. Pinset

12
5. Gunting tulang 12. Rak tabung
6. Labu glas Erlenmeyer 250 ml 13. Biohazard
7. Tabung reaksi ukuran 10 ml 14. Tabung reaksi ascoli
8. Magnit baar 15. Pipet pasteur
9. Magnetic stirer 16. Kapas
10. Centrifuge 17. Mikroskop
11. Alat alat gelas
Cara Kerja
1. Bahan pemeriksaan berupa tanah yang dicurigai tercemar penyakit antraks yang diperoleh dari
lapangan ditimbang sebanyak kira-kira 100 gram ditampung dalam labu glas erlemeyer ukuran 250
ml, ditambahkan aquadest steril sebanyak 100 ml, dimasukkan magnit baarsteril ke dalamnya,
pekerjaan inidilakukan di dalam ruangbiohazard.
2. Gelas erlenmeyer berisi sampel dan magneticbaardiletakkandiatas magnetic stirer untuk dikocok
selarna 60 menit agar sampel tanah menjadi terkonsentrasi, dengan harapan kuman antraks yang
ada dalam tanah bisa tensolasi.
3. Setelah dikocok selama 60 menit sampel yang akan diperiksa didiamkan terlebih dahulu beberapa
saat sampai terlihat adanya dua cairan atau endapan yang terpisah, dari cairan yang terpisah
diambil sebanyak 1 sampai 2 ml ditampung dalam tabung reaksi untuk diputar dengan centrifuge
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit sehingga akan terlihat adanya sedimen endapan dari cairan
yang pertama.
4. Endapan atau sedimen ditampung dan cairan atau supernatan dibuang, sedimen diproses dengan
menambahkan aquadest steril sebanyak 1 ml dan dikocok kembali beberapa saat sampai homogen.
Selanjutnya dari cairanyang sudah dikocok dibagi dua bagian sama banyak, satu bagian untuk
disimpan dalam suhu 4° C selama satu malam dan satubagiandipanaskan direbuspada suhu70°C
selama 30 menit Perlakuan ini dimaksudkan agar kuman lain yang tidak bersporamati.
5. Selanjutnya setelah diendapkan dan didinginkan suhunya, bagian dari supernatan ditanam di media
agar darah domba 5% dan diinkubasikan pada suhu 37° Cselama 24 jam sampai 72 jam dan koloni
yang tumbuh diamati. Sedangkan sampel dari bagian yang disimpan dalam lemari es setelah 24jam
dilakukan proses yang sama seperti tersebut diatas. Proses perlakuan tersebut diatas dikerjakan
berdasarkan metoda (HARDJOUTOMO et al 1995).
6. Untuk sampel berupa potongan daging,kulit, tulang dan swab kapas darah dari domba yang mati
tersangka antraks diproses dengan dipotong kecil-kecil dengan pisau scapel masing-masing
sebanyak 5 sampai 10 gram, tambahkan larutan NaCl fisiologis steril sebanyak 5 ml.
7. Hasil suspensi yang ditampung dalam tabung reaksi dikocok dan dipanaskan pada suhu 70° C
selama 30 menit dalam penangas air (water bath) dan perlakuan selanjutnya sama seperti perlakuan
diatas.

13
8. Pertumbuhan koloni Bacillus anthracis diamati setelah 24 sampai 48 jam, dan koloni yang
dicurigai dipisahkan dengan menggunakan kawat Ose yang sudah dipanaskan dan dipisahkan untuk
ditanam ulang pada media Agar darah 5% atau pada media Nutrient agar (NA) untuk selanjutnya
dilakukan identifikasi berdasarkan sifat biologi biokimianya menurut metoda.

H. Pengendalian Antraks
Berbagai teknologi diagnosis penyakit antraks yang telah dikuasi dan dikembangkan Balai Besar
Penelitian Veteriner, antara lain teknik isolasi dan identifikasi kuman antraks; uji ASCOLI untuk deteksi
kuman antraks, dan uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi ternak.
Diagnosa terhadap antraks dapat berdasarkan sejarah, gejala klinik dan harus diteguhkan dengan
pemeriksaan laboratorium, antara lain : isolasi dan identifikasi (mikroskopik, kultural, lysis gamma phage),
deteksi imunologi (ascoli test, DFA, immunochromatografic assay), uji serologi (ELISA) dan PCR (ADJI
dan NATALIA, 2005). Hasil peneguhan diagnosis akan memberi masukan terhadap upaya pengendalian
dan penanggulangan penyakit antraks.

Kejadian antraks di Indonesia sering berulang, dan selalu menimbulkan polemik dan masalah.
Gambaran titer antibodi hasil vaksinasi antraks yang dilakukan Dinas Peternakan pada ternak di
beberapa daerah endemik mencapai tingkat keberhasilan 65,9%, tidak penuh karena beberapa hal,
yaitu aplikasi vaksin yang tidak tepat, dosis yang diberikan tidak cukup, kualitas vaksin dan atau
seed vaksin yang telah turun daya imunogeniknya, serta respon individual ternak (OIE, 2000),
peluang antraks berulang besar.

Permasalahan penyakit antraks, diantaranya: 1. Covarage vaksinasi yang rendah di desa tertular;
2. Program vaksinasi belum optimal; 3. Belum optimalnya pemahaman epidemiologi; 4. Rendahnya
pemahaman masyarakat terhadap penyakit antraks (menyembelih ternak sakit; memperdagangkan
ternak sakit, termasuk dagingnya; tidak membawa ternak saat pelaksanaan vaksinasi; dan
mengkonsumsi daging yang tertular antraks); 5. Vaksinasi antraks pada ternak – ada masalah.
Masalah tersebut sangat berpengaruh terhadap pengendalian dan pemberantasan penyakit antraks.

I. Pencegahan
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mencegah penularan anthrax pada manusia diantaranya
dengan menghindari kontak langsung dengan bahan atau makanan yang berasal dari hewan yang dicurigai
terkena anthrax. Selain itu perlu dilakukan pemusnahan bangkai hewan yang mati karena anthrax secara
benar sehingga tidak memungkinkan endospora dari bakteri ini untuk menjadi sumber infeksi. Vaksinasi
pada hewan ternak perlu dilakukan untuk mencegah infeksi pada ternak sapi, kerbau, kambing, domba
maupun kuda.

14
J. Pengobatan
Pemberian antibiotik intravena direkomenasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan
meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit. Antraks kulit dengan gejala
sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotik intravena. Walaupun
sudah ditangani secara dini dan edikuat, prognosis antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap
buruk B. antrachis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis
seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas teteapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap
penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin,
imipenem, aminoglikosida, tetrasiklin, linezoid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap
penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasiklin, atau siprofloksasin dapat diberikan. Pada antraks
kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan
hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda. Jenis antibiotik yang dapat digunakan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberian antibiotik sedini
mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup.
Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki
risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil mengunggu hasil pemeriksaan
laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi.
Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Adminitration (FDA) mengajurkan penisilin, doksisiklin, dan
siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan. Pemberian dua atau lebih antibiotik intravena dikatakan sangat
bermanfaat meningkatkan angka harapan hidup. Mengingat kemungkinan rekayasa kuman pada antraks
inhalasi akibat serangan bioterorisme (kuman menjadi resisten terhadap satu atau lebih antibiotik) juga
menjadi salah satu alasan pemberian kombinasi antibiotik ini.
Pada binatang percobaan pemberian antibiotik pada infeksi antraks dapat menekan respon kekebalan.
Walaupun seseorang yang menderita antraks inhalasi tetap hidup setelah pemberian antibiotik, mengingat
proses germinasi spora dapat tertunda, maka kemungkinan kambuh dapat terjadi. Oleh karena itu bagi
penderita antraks inhalasi atau seseorang yang terpapar dengan spora antraks secara inhalasi, para ahli
menganjurkan pemberian antibiotik harus dilanjutkan paling tidak hingga 60 hari, bila keadaan klinis telah
stabil dan penderita telah dapat makan dan minum dengan baik maka pemberian antibiotik dapat diganti
menjadi oral.

15
Tabel 1. Terapi Farmakologis Infeksi Bacillus Anthracis1

Terapi Dosis Dewasa Dosis Anak

Penisilin V 200-500 mg per oral 25-50 mg/kg BB/hari/oral


4x/hari dibagi menjadi 2 atau 4x/
hari
Penisilin G 8-12 juta U, iv dengan 100.000-150.000 U/kg/
dosis terbagi, setiap 4- hari dengan dosis terbagi,
6 jam setiap 4-6 jam
Streptomisin 30 mg/kg BB, im atau iv
Tetrasiklin 250-500 mg per oral Tidak dianjurkan
atau iv 4x/hari
Doksisiklin 200 mg untuk dosis Tidak dianjurkan pada
awal, per oral atau iv, anak < 9 tahun.
selanjutnya 50-100 mg Anak < 45 kg; 2,5 mg/kg
setiap 12 jam tiap 12 jam
Anak < 45 kg: dosis
seperti dewasa
Eritromisin 250 mg per oral tiap 40 mg/kg BB/ oral dengan
6 jam dosis terbagi, setiap 6 jam
Eritromisin 15-20 mg/kg BB 20-40 mg/kg/hari iv
laktobionat (maksimum 4 gr),iv/hari dengan dosis terbagi, setiap
6 jam
Kloramfe- 50-100 mg/kg BB/hari, 50-75 mg/kg BB/hari
nikol per oral atau iv dengan dengan dosis terbagi,
dosis terbagi, setiap 6 jam setiap 6 jam
Siprofloksasin 250-750 mg per oral, 20-30 mg/kg BB/hari
2x/hari dengan dosis terbagi, setiap
200-400 mg iv, setiap 12 jam
12 jam Tidak dianjurkan pada
pasien < 18 tahun
Profilaksis
Doksisiklin 100 mg per oral 2x/hari
selama 4 minggu
Siprofloksasin 500 mg per oral 2x/hari
selama 4 minggu
Kortikosteroid pada kasus edema berat
Deksame- 0.75-0.90 mg/kg BB per 0.25-0.5 mg/kg BB setiap
tason oral, iv,im dalam dosis 6 jam
terbagi setiap 6 jam
Prednison 1-2 mg/kg BB atau 5- 0.5-2 mg/kg BB/ hari

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan
oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan
ujung siku-siku bersifat Gram positif. Anthrax terutama menyerang hewan ternak
sapi, kambing, domba / biri-biri, kuda. Endospora dari Bacillus anthracis yang
mencemari tanah kemungkinan akan menempel pada rerumputan atau tanaman
lainnya dan termakan oleh ternak. Manusia umumnya terinfeksi oleh endospora
bakteri ini melalui lesi di kulit, inhalasi atau per oral.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung
jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.

17
DAFTAR PUSTAKA

 http/etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=DownloadFile&act=view&t
yp=html&id=85094&ftyp=potongan&potongan=D3-2015-332165-
introduction.pdf
 https:/peternakan.litbang.pertanian.go.id/fulteks/lokakarya/ikzo05-
9.pdf?secure=1
 https:/media.neliti.com/media/publications/36793-ID-aspek-bakteriologi-
penyakit-antraks.pdf
 http://repository.maranatha.edu/12224/9/1010109_Journal.pdf

18

Вам также может понравиться