Вы находитесь на странице: 1из 25

MAKALAH BEDAH MULUT

KEPANITERAAN KERUMAHSAKITAN

Penatalaksanaan Perdarahan di Rongga Mulut

Oleh :
Kelompok 2 - Angkatan 138
1. Raymund Octavius K.B 8948
2. Yulfa Shinta D 8972
3. Astriana Wahyu C 8804
4. Karina Larasati 8950
5. Sarah Aldila C 8848

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Gadjah Mada
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan di rongga mulut merupakan salah satu komplikasi yang paling


ditakuti oleh dokter gigi maupun pasien di dalam perawatan dental. Perdarahan
dianggap bisa mengancam kehidupan (Nath dkk., 2011). Penyebab perdarahan adalah
trauma dan non trauma. Contoh dari perdarahan trauma adalah adanya luka pada
jaringan misalnya karena prosedur pembedahan. Pembedahan merupakan tindakan
yang dapat mencetuskan perdarahan. Penderita dengan kondisi yang normal,
perdarahan yang terjadi dapat mudah ditangani. Sedangkan perdarahan non trauma
adalah terjadi karena adanya kondisi sistemik yang menimbulkan perdarahan, seperti
kondisi hemofili, leukemia, trombositopenia. defisiensi vitamin K, dan atau kondisi
lain. (Smeltzer, dkk., 2010).
Semua praktisi dokter gigi mempunyai tanggung jawab untuk menangani
kegawatdaruratan medis dalam praktek kedokteran gigi yaitu perdarahan di rongga
mulut. Tujuannya adalah untuk memberikan perawatan pertama hingga bantuan
medis yang lebih ahli dapat diperoleh. Pada makalah ini akan dijelaskan jenis
perdarahan dan penatalaksanaan perdarahan di rongga mulut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perdarahan
Perdarahan merupakan keluarnya darah dari pembuluh darah. Perdarahan dapat
terjadi di semua bagian di tubuh, baik perdarahan di dalam (internal bleeding) dan
perdarahan ke luar (external bleeding). Internal bleeding terjadi ketika tidak terjadi
kerusakan pada kulit atau mukosa, dan darah tidak tampak dari luar. Hal ini biasanya
terkait dengan adanya kerusakan pada organ, seperti ada laserasi hati, fraktur tulang,
ulserasi lambung, dan sebagainya (Caroline, N., dkk., 2013). External bleeding
terjadi ketika darah keluar melalui kulit,mukosa mulut,maupun adanya luka terbuka
(Caroline, N., dkk., 2013).
Pengetahuan mengenai anatomi merupakan jaminan terbaik untuk menghadapi
kejadian yang tidak diharapkan yaitu perdarahan pada arteri atau vena. Regio-regio
yang berisiko tinggi adalah palatum dengan a. palatina mayor, vestibulum bukal
dengan molar bawah dengan a. fasialis, margo anterior ramus mandibulae yang
merupakan jalur perjalanan dari a. buccalis dan regio apikal molar ketiga yang
letaknya dekat dengan a. alveolaris inferior. Regio anterior mandibula juga
merupakan sumber perdarahan karena vaskularisasinya sangat melimpah. Keadaan
patologi kadang-kadang juga mengakibatkan resiko perdarahan, misalnya
hemangioma dan malformasi arterio-vena adalah yang paling berbahaya (Pedersen,
1996).

3
B. Etiologi
Perdarahan dapat terjadi karena beberapa kondisi, yaitu:
1. Perdarahan Trauma
Perdarahan trauma terjadi karena adanya luka pada jaringan. Ada bermacam-
macam jenis luka yang dapat menyebabkan perdararahan, yaitu abrasi,
ekskoriasi, hematoma, laserasi, incisi, luka tusuk, dan luka tumpul.
2. Perdarahan non Trauma
Perdarahan non trauma terjadi karena adanya kondisi sistemik yang
menimbulkan perdarahan, seperti kondisi hemofili, leukemia, trombositopenia.
defisiensi vitamin K, dan atau kondisi lain. Keluarnya darah dari pembuluh
darah pada perdarahan non trauma dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu:
a. Perubahan Intravaskular : perubahan dari darah di dalam pembuluh darah,
seperti meningkatnya tekanan darah, penurunan
faktor koagulasi darah.
b. Perubahan Intramural : perubahan yang terjadi pada dinding pembuluh
darah, seperti aneurism, diseksi, vaskulitis.
c. Perubahan ekstravaskuler : perubahan yang terjadi di luar pembuluh darah,
seperti infeksi H. pylori, abses otak, tumor otak.
(Smeltzer, dkk., 2010)

C. Mekanisme Pembekuan Darah


Menurut Armstrong dan Golan (2012) pembuluh darah yang terluka harus
merangsang pembentukan bekuan darah untuk mencegah kehilangan darah dan untuk
memungkinkan penyembuhan. Pembentukan bekuan darah juga harus tetap
terlokalisasi untuk mencegah perluasan bekuan dalam pembuluh utuh. Pembentukan
bekuan darah lokal di lokasi pembuluh yang cedera dicapai dalam empat tahap:

4
Pertama, vasokonstriksi lokal terjadi sebagai respon terhadap mekanisme
neurogenik refleks dan sekresi vasokonstriktor endotelium yaitu endotelin. Segera
setelah vasokonstriksi, hemostasis primer terjadi. Selama tahap ini, trombosit
diaktifkan dan menempel pada matriks subendothelial yang terkena. Aktivasi
trombosit melibatkan kedua perubahan dalam bentuk platelet dan pelepasan isi
granula sekretori dari trombosit. Zat granula yang disekresikan merekrut trombosit
lain, menyebabkan lebih banyak trombosit yang menempel pada matriks
subendothelial dan menyatu satu sama lain di lokasi vaskuler yang menglami cedera.
Hasil akhir pada tahap hemostasis primer yaitu pembentukan dari plug hemostatik
primer.
. Selama hemostasis sekunder, juga dikenal sebagai coagulation cascade atau
aliran koagulasi, endotelium diaktifkan dan terdapat faktor prokoagulan atau faktor
jaringan bersama dengan faktor koagulasi VII memulai aliran koagulasi. Hasil akhir
dari aliran ini adalah aktivasi trombin, suatu enzim penting. Trombin memiliki dua
fungsi penting dalam hemostasis: (1) itu mengubah fibrinogen yang dapat dipecah ke
suatu polimer fibrin yang tidak larut yang membentuk bekuan matriks; dan (2)
menginduksi platelet lebih dan aktivasi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
pembentukan bekuan fibrin (hemostasis sekunder) tumpang tindih temporal dengan
formasi sumbatan trombosit (hemostasis primer), dan bahwa setiap proses
memperkuat satu sama lain. Selama tahap akhir, agregasi platelet dan polimerisasi
fibrin mengarah pada pembentukan yang stabil dan plug permanen. Selain itu,
mekanisme antitrombotik membatasi plug permanen ke lokasi cedera pembuluh,
memastikan bahwa plug tetap dan tidak menyumbat pembuluh darah.
Berikut adalah tahap-tahappembekuan pembuluh darah.
1. Vasokonstriksi
Vasokonstriksi arteri terjadi segera setelah cedera pada pembuluh darah.
Vasokonstriksi ini dimediasi oleh mekanisme neurogenik refleks. Sekresi endotelin
dari endotel lokal, yang merupakan suatu vasokonstriktor kuat memberikan potensi

5
untuk refleks vasokonstriksi. Karena vasokonstriksi adalah sementara, perdarahan
akan terus berlanjut jika hemostasis primer tidak diaktifkan.

2. Hemostatis Primer
Tujuan utama dari hemostasis adalah untuk membentuk sumbatan trombosit
yang dengan cepat dapat menstabilkan cedera pada pembuluh darah. Trombosit
memainkan peran penting dalam hemostasis primer. Trombosit adalah fragmen sel
yang terbentuk dari megakariosit dalam sumsum tulang; ukurannya kecil, cakram
membran terikat berisi sitoplasma tetapi tidak memiliki inti. Reseptor glikoprotein
dalam membran plasma platelet adalah mediator utama dimana trombosit diaktifkan.
Hemostasis primer melibatkan transformasi trombosit dalam sumbatan hemostatik
melalui tiga reaksi: (1) adhesi; (2) reaksi pelepasan granul; dan (3) agregasi dan
konsolidasi.
a. Adhesi Platelet
Pada reaksi pertama, trombosit menempel pada subendothelial kolagen yang
terkena setelah cedera pembuluh darah. Adhesi ini dimediasi oleh faktor von
Willebrand (vWF), sebuah protein yang disekresikan oleh trombosit yang diaktifkan
dan endotelium yang terluka. vWF mengikat kedua permukaan reseptor (terutama
glikoprotein Ib [GPIB]) pada membran platelet dan kolagen yang terkena; tindakan
ini menjembatani aksi mediasi adhesi trombosit untuk kolagen. GPIB : vWF:
interaksi kolagen sangat penting untuk inisiasi hemostasis primer, karena merupakan
mekanisme molekuler yang hanya diketahui oleh trombosit yang dapat menempel
pada dinding pembuluh yang cedera.

b. Reaksi Pelepasan Granul Platelet


Trombosit yang melekat mengalami proses aktivasi selama isi sel granula
dilepaskan. Reaksi pelepasan diinisiasi oleh ikatan agonis pada reseptor permukaan
sel, yang mengaktifkan aliran protein fosforilasi intraseluler dan akhirnya

6
menyebabkan pelepasan isi granula. Reaksi pelepasan granul dalam trombosit,
menyebarkan aliran aktivasi platelet dan vasokonstriksi.
Selama reaksi pelepasan, sejumlah besar ADP, Ca2+, ATP, serotonin, vWF, dan
faktor trombosit 4 secara aktif disekresikan dari butiran trombosit. ADP sangat
penting dalam mediasi agregasi platelet, menyebabkan trombosit menjadi lengket dan
menempel satu sama lain. Pelepasan ion Ca2+ juga penting untuk aliran koagulasi.
c. Agregasi Platelet dan Konsolidasi
TXA2, ADP, dan kolagen berserat adalah mediator ampuh dari agregasi platelet.
Agregasi platelet akhirnya mengarah pada pembentukan bekuan reversibel, atau
sumbatan hemostatik primer. Aktivasi hasil aliran koagulasi hampir bersamaan
dengan pembentukan sumbatan hemostatik primer, seperti yang dijelaskan di bawah
ini. Aktivasi aliran koagulasi mengarah ke generasi fibrin, awalnya di pinggiran
sumbatan hemostatik primer. Pseudopods trombosit melekat pada helai fibrin di
pinggiran sumbatan dan berkontraksi. kontraksi trombosit menghasilkan kompak,
solid, bekuan ireversibel, atau sumbatan hemostatik sekunder.

3. Hemostatis Sekunder
Pada tahap ini tujuannya adalah membentuk jendalan fibrin yang stabil pada
lokasi luka pembuluh darah (Armstrong dan Golan, 2012). Menurut Guyton and Hall
(2011) secara umum terjadi melalui tiga langkah utama:
a. Terjadi rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah dan
melibatkan banyak faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah terbentuknya
suatu kompleks substansi teraktivasi yang secara kolektif disebut aktivator
protrombin.
b. Aktivator protrombin mengkatalisis perubahan protrombin menjadi trombin.
c. Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi benang-
benang fibrin yang merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk membentuk
bekuan.

7
Terdapat 2 jalur pembekuan darah yaitu jalur ekstrinsik dan intrinsic.
Langkah-langkah jalur ekstrinsik, yaitu pelepasan faktor jaringan atau tromboplastin
jaringan, selanjutnya mengaktivasi faktor X yang dibentuk oleh kompleks lipoprotein
dari faktor jaringan dan bergabung dengan faktor VII, kemudian dengan hadirnya ion
Ca2+ akan membentuk faktor X yang teraktivasi. Selanjutnya faktor X yang
teraktivasi tersebut akan segera berikatan dengan fosfolipid jaringan, juga dengan
faktor V untuk membenuk senyawa yang disebut aktivator protrombin.
Langkah-langkah jalur intrinsik, yaitu pengaktifan faktor XII dan pelepasan
fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena trauma, kemudian faktor XII yang
teraktivasi ini akan mengaktifkan faktor XI, kemudian faktor XI yang teraktivasi ini
akan mengaktifkan faktor IX, faktor IX yang teraktivasi bekerja sama dengan faktor
VIII terakivasi dan dengan fosfolipid trombosit dan faktor 3 dari trombosit yang
rusak, akan mengkatifkan faktor X. Disini jelas bahwa bila faktor VIII atau trombosit
kurang maka langkah ini akan terhambat. Faktor VIII adalah faktor yang tidak
dimiliki oleh penderita hemofilia. Trombosit tidak dimiliki oleh penderita
trombositopenia. Faktor X yang teraktivasi akan bergabung dengan faktor V dan
trombosit untuk membentuk suatu kompleks yang disebut aktivator protrombin.
Setelah aktivator protrombin terbentuk akibat pecahnya pembuluh darah maka
dengan adanya ion Ca2+ dalam jumlah yang mencukupi, akan menyebabkan
perubahan protrombin menjadi trombin. Trombosit juga berperan dalam pengubahan
protrombin menjadi trombin, karena banyak protrombin mula-mula melekat pada
reseptor protrombin pada trombosit yang telah berikatan pada jaringan yang rusak.
Pengikatan ini akan mempercepat pembentukan trombin dan protrombin yang terjadi
dalam jaringan dimana pembekuan diperlukan.
Protrombin adalah protein plasma yang tidak stabil dan dengan mudah pecah
menjadi senyawa-senyawa yang lebih kecil, salah satu diantaranya trombin. Vitamin
K juga sangat berperan dalam pembekuan darah karena kurangnya vitamin K akan
menurunkan kadar protrombin sampai sedemikian rendahnya hingga timbul
pendarahan.

8
Trombin adalah enzim protein dengan kemampuan proteolitik yang bekerja
terhadap fibrinogen dengan cara melepaskan 4 peptida yang berberat molekul rendah
dari setiap molekul fibrinogen, sehingga membentuk molekul fibrin monomer yang
memiliki kemampuan untuk berpolimerisasi dengan molekul fibrin monomer yang
lain. Dengan cara demikian, dalam beberapa detik banyak molekul fibrin monomer
berpolimerisasi menjadi benang-benang fibrin yang panjang, sehingga terbentuk
retikulum bekuan. Namun benang-benang fibrin ini ikatannya tidak kuat dan mudah
diceraiberaikan, maka dalam beberapa menit berikutnya akan terjadi proses yang
akan memperkuat jalinan/ikatan tersebut. Proses ini melibatkan zat yang disebut
faktor stabilisasi fibrin. Trombin yang tadi berperan dalam membentuk fibrin, juga
mengaktifkan faktor stabilisasi fibrin yang kemudian akan membentuk ikatan kovalen
antara molekul fibrin monomer, sehingga saling keterkaitan antara benang-benang
fibrin yang berdekatan sehingga menambah kekuatan jaringan fibrin secara tiga
dimensi.
Bekuan darah yang terdiri dari jaringan benang fibrin yang berjalan dari
segala arah dan menjerat sel-sel darah, trombosit, dan plasma. Benang-benang fibrin
juga melekat pada pembuluh darah yang rusak; oleh karena itu bekuan darah
menempel pada lubang di pembuluh darah dan dengan demikian mencegah
kebocoran darah.

9
Gambar 1. Skema Mekanisme Pembekuan Darah

D. Faktor Resiko Perdarahan


Berdasarkan Vitria (2011) faktor terjadinya perdarahan antara lain :
1. Penyakit kardiovaskuler
Pada penyakit kardiovaskuler, denyut nadi pasien meningkat, tekanan darah
pasien naik menyebabkan bekuan darah yang sudah terbentuk terdorong
sehingga terjadi perdarahan.

10
2. Hipertensi
Bila anestesi lokal yang digunakan mengandung vasokonstriktor, pembuluh
darah akan menyempit menyebabkan tekanan darah meningkat, pembuluh
darah kecil akan pecah, sehingga terjadi perdarahan. Apabila digunakan
anestesi lokal yang tidak mengandung vasokonstriktor, darah dapat tetap
mengalir sehingga terjadi perdarahan pasca ekstraksi. Penting juga ditanyakan
kepada pasien apakah ada konsumsi obat-obat tertentu seperti obat
antihipertensi, obat-obat pengencer darah, dan obat-obatan lain karena juga
dapat menyebabkan perdarahan.
3. Hemofilli
Pada pasien hemofilli A (hemofilli klasik) ditemukan defisiensi faktor VIII.
Pada hemofilli B (penyakit Christmas) terdapat defisiensi faktor IX.
Sedangkan pada von Willebrand’s disease terjadi kegagalan pembentukan
platelet, tetapi penyakit ini jarang ditemukan.
4. Gangguan Koagulasi Darah
Pasien dengan gangguan koagulasi darah kongenital memiliki resiko
komplikasi perdarahan selama dan setelah prosedur perawatan gigi yang
bersifat invasif, khususnya pasien yang menggunakan obat antikoagulan
(heparin dan warfarin). Obat ini digunakan untuk mencegah pembekuan darah
dengan jalan menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa
faktor pembekuan darah. Perlu dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan
internist untuk mengatur penghentian obat-obatan sebelum pencabutan gigi.
5. Diabetes Mellitus
Bila DM tidak terkontrol, akan terjadi gangguan sirkulasi perifer, sehingga
penyembuhan luka akan berjalan lambat, fagositosis terganggu, PMN akan
menurun, diapedesis dan kemotaksis juga terganggu karena hiperglikemia
sehingga terjadi infeksi yang memudahkan terjadinya perdarahan.

11
5. Malfungsi Adrenal
Ditandai dengan pembentukan glukokortikoid berlebihan (Sindroma Cushing)
sehingga menyebabkan diabetes dan hipertensi.

E. Klasifikasi Perdarahan
1. Berdasarkan Waktu
Menurut Seward (1996) klasifikasi perdarahan berdasarkan waktu terbagi
menjadi 3 yaitu :
a. Perdarahan Primer
Perdarahan primer terjadi akibat cedera pada suatu jaringan sebagai akibat
langsung dari rusaknya pembuluh darah. Alasan utama dari perdarahan primer yang
panjang adalah adanya inflamasi dari soket gigi yang diekstraksi atau dari dinding
abses yang telah diinsisi. Penyakit periodontal lebih sering mengakibatkan hal
tersebut dibandingkan dengan infeksi periapikal akut. Setelah pencabutan gigi dengan
penyakit periodontal, perdarahan yang berlebihan dapat terjadi. Pasien hipertensi
rentan mengalami perdarahan hebat dan berkepanjangan dalam prosedur bedah
mulut. Penyebab lain dari perdarahan primer berkepanjangan dari soket
gigi adalah gangguan koagulasi yang disebabkan oleh obat antikoagulan.

b. Perdarahan reaksioner
Perdarahan reaksioner biasanya terjadi setelah operasi. Perdarahan reaksioner
ini terjadi ketika tekanan darah mengalami peningkatan lokal yang membuka dengan
paksa pembuluh darah. Perdarahan reaksioner juga dapat terjadi akibat tergesernya
benang jahit atau pergeseran bekuan darah dan mengakibatkan meningkatnya tekanan
darah yang menyebabkan terjadinya perdarahan. Perdarahan reaksioner biasanya
terjadi pada perdarahan yang dimulai selama periode penyembuhan awal
setelah tindakan bedah dan dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah.
Dalam kedokteran gigi istilahnya dapat diperluas untuk menutupi perdarahan lain

12
yang dimulai segera selama periode pasca perawatan. Sebagai contoh hasil dari
hiperemis lokal sebagai efek dari vasokonstriktor pada hilangnya larutan anastesi
lokal. Hiperemis lokal cukup untuk menyebabkan perdarahan baru karena dipicu oleh
aplikasi panas dan vasodilatasi perifer yang diproduksi oleh alkohol dapat
memberikan efek yang sama. Sebagian pasien tidak dapat menahan godaan
menyentuh soket dengan lidah atau tangan maupun gangguan lainnya yang
dapat merusak bekuan darah yang masih baru dan menyebabk an
perdarahan lebih lanjut. Berkumur dengan berlebihan dengan penyegar mulut
selama 1,5 jam pertama setelah pencabutan gigi juga dapat mengganggu proses
pembekuan darah. Setelah pendarahan dimulai, ketakutan dapat meningkatkan
tekanan darah, dan hal ini menyebabkan perdarahan berlanjut.

c. Perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder terjadi akibat infeksi yang menghancurkan bekuan darah.
Perdarahan sekunder dari soket gigi relatif jarang, tetapi sangat mungkin jika infeksi
terjadi setelah pencabutan. Mayoritas pasien dengan perdarahan soket gigi tidak
memiliki gangguan umum pada mekanisme hemostatik, dan langkah langkah lokal
yang diterapkan dengan benar biasanya berhasil dalam menghentikan perdarahan.

2. Berdasarkan Area
a. Perdarahan pada Jaringan Lunak
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada prosedur dental adalah
perdarahan, kelumpuhan serta berbagai gangguan lainnya sesuai dengan penyebab
dan beratnya trauma yang didapat.Pada kedokteran gigi, sejumlah besar trauma
berhubungan dengan luka pada bibir, gingiva, dan mukosa oral. Gigi geligi
terlindung oleh bibir, sehingga trauma akan diserap oleh jaringan lunak dan cedera
pada gigi tidak terlalu parah. Namun, hal ini akan mengakibatkan berbagai jenis
trauma pada jaringan lunak tergantung dari kekuatan, bentuk dan ukuran dari benda
yang menyebabkan trauma. Ketika seorang pasien mengalami trauma, gigi juga bisa

13
menyebabkan cedera pada jaringan lunak sekitarnya, yang paling sering ditemukan
yaitu gigi menembus ke bibir, pipi dan lidah. Ketika gigi dislokasi, gingival sewaktu-
waktu akan terluka dan mengalami perdarahan (Balaji, 2007).

b. Perdarahan pada Tulang


Perdarahan juga dapat terjadi dari tulang setelah pencabutan gigi. Perdarahan
ini biasanya pembuluh darah kecil yang tersembunyi yang berasal dari foramen
tulang. Ketika tidak dihentikan dapat memenuhi soket bekas pencabutan gigi (Hupp
dkk., 2014).

c. Perdarahan Vaskular
Perdarahan vaskular dapat diklasifikasikan menjadi perdarahan arteri, vena,
ataupun pada pembuluh kapiler. Perdarahan arteri dapat dikenali dengan warna darah
yang keluar adalah merah cerah (mengandung banyak oksigen) dan semburan
darahnya bersamaan dengan detak jantung. Tipe perdarahan ini sulit dikontrol karena
terdapat tekanan semburan darah. Selain itu, jumlah darah dalam tubuh turun begitu
juga tekanan darah pasien. Perdarahan vena darahnya berwarna merah gelap,
alirannya kontinyu, dan ritmenya sesuai dengan pernapasan, bukan detak jantung.
Karena tidak berada dalam tekanan, maka perdarahan vena tidak menyembur dan
lebih mudah ditangani. Pada perdarahan kapiler darah merembes dari luka terus
namun perlahan-lahan. Kemungkinan dapat menggumpal secara spontan (Balaji,
2007)

3. Perdarahan biokimiawi
Perdarahan biokimiawi adalah abnormalitas elemen darah atau sistem vaskular
yang menghambat pembentukan jendelan darah dan organisasi darah normal.
Perdarahan biokimiawi ditemui pada trombositopenia, hemophilia, gangguan hepar,
dan kelainan darah lainnya (Archer, 1961). Berbagai kelainan dapat terjadi pada tiap
tingkat mekanisme hemostatik. Pasien dengan kelainan pada sistem vaskular biasanya

14
datang dengan perdarahan kulit, dan sering mengenai membran mukosa (Price dan
Wilson, 2005).
Perdarahan yang disebabkan kelainan vascular mulai dalam beberapa detik
setelah luka dan berlanjut selama berjam-jam. Segera setelah berhenti perdarahan
jarang berulang. Perdarahan pascatrauma pada cacat pembekuan dapat tertunda,
kadang-kadang setelah beberapa jam, dan berulang selama empat atau lima hari
berikutnya. Diagnosis tepat dari suatu kelainan perdarahan umum bergantung pada
tes laboratorium yang mencakup waktu perdarahan, hitung trombosit, waktu
protrombin, waktu pembekuan, dan bila ada kecurigaan, pengujian faktor pembekuan
dan tes fungsi trombosit. (Bayley dan Leinster, 1991)
a. Trombositopenia
Konsentrasi trombosit dalam darah terlalu rendah. Biasanya darah
mengandung sekitar 150.000 sampai 350.000 per mm3 trombosit. Namun, ketika
jumlah ini menurun dibawah 50.000, bisa ada perdarahan abnormal, dengan
terjadinya peristiwa perdarahan spontan jika jumlah trombosit turun di bawah 10.000.
Tanda-tandanya termasuk perdarahan gingiva, epistaksis (hidung berdarah),
ecchymosis, darah dalam tinja atau urin, atau periode menstruasi yang luar biasa
berat. Bedah mulut atau trauma juga dapat menyebabkan perdarahan yang sulit untuk
dikontrol (Wray dkk., 2003)

b. Hemofilia
Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah faktor pembekuan VIII atau IX.
Klasik hemofilia (A) membentuk sekitar 80 persen dari kasus dan merupakan
defisiensi faktor VIII. Hemofilia B (penyakit Natal) adalah kekurangan faktor
pembekuan IX. Keduanya diwariskan melalui ibu tetapi hampir selalu mempengaruhi
anak-anak laki-laki. Tingkat keparahan gejala tergantung pada bagaimana kelainan
gen mempengaruhi aktivitas faktor VIII dan IX (Koerner, 2006).

15
4. Hematoma
Hematoma adalah perdarahan setempat yang membeku dan membentuk
massa yang padat. Kadang-kadang perdarahan sesudah pencabutan dengan tang atau
pencabutan gigi dengan pembedahan berlangsung internal, yaitu meluas sepanjang
dataran fasial atau periosteum. Perdarahan bisa diatasi dengan tampon (terbentuknya
tekanan ekstravaskular lokal dari tampon), pembekuan atau keduanya. Hematom
biasanya bermula sebagai pembengkakan rongga mulut atau fasial atau keduanya,
yang sering berwarna merah atau ekhimotik. Dengan berjalannya waktu akan berubah
menjadi noda memar berwarna biru dan hitam. Pada bedah mulut mayor, insidens
hematom berkurang dengan adanya hemostatis yang memadai pada waktu operasi,
pemasangan drain atau suction pasca bedah atau keduanya, penggunaan pembalut
tekanan fasial atau oral (Pedersen, 1996).
Resiko pembentukan hematoma selama blok nervus superior posterior sangat
tinggi dan diikuti oleh blok nervus alveolaris inferior dan blok nervus mentalis atau
nervus incisivus. Untuk meminimalisir resiko pembentukan hematoma, penggunaan
jarum pendek dan penetrasi jarum yang minimum saat memasuki jaringan dapat
menjadi pertimbangan (Gupta dkk., 2015)

F. Penatalaksanaan Perdarahan
1. Penatalaksanaan Perdarahan Primer Berkepanjangan, Perdarahan
Reaksioner dan Perdarahan Sekunder
Penanganan awal apabila terjadi perdarahan arteri adalah dengan penekanan
dengan jari atau kasa steril selama 30 menit sampai 1 jam. Pada prosedur
pembedahan dengan anestesi umum, jika keluarnya darah sangat deras misalnya
terpotongnya arteri, maka diklem dengan hemostat. Prosedur melakukan klem pada
daerah perdarahan di mulut sangat sulit dan melakukan ligasi bahkan lebih sulit lagi.
Untungnya hanya dengan melakukan klem saja biasanya sudah cukup, karena daerah

16
luka cukup diinduksi untuk membuat beku darah. Apabila tersedia, dapat digunakan
elektrokoagulasi dari pembuluh darah yang diklem sehingga tidak perlu diikat.
Alternatif yang lain yang biasa digunakan hanya pada pembedahan adalah
menggunakan klip hemostatik pada pembuluh darah (Pedersen, 1996).
Sesudah mengontrol perdarahan intra-operatif, maka dapat diputuskan untuk
meneruskan atau menghentikan prosedur. Faktor yang mempengaruhi keputusan ini
adalah kondisi fisik dan mental pasien (tanda-tanda vital), perkiraan jumlah darah
yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan untuk mengontrol perdarahan (Pedersen,
1996)
Bila terjadi perdarahan ringan 12-24 jam setelah pencabutan atau pembedahan
gigi, hal tersebut masih terhitung normal. Penekanan oklusal dengan menggunakan
kasa adalah jalan terbaik untuk mengontrolnya dan dapat merangsang pembentukan
bekuan darah yang stabil. Apabila perdarahan cukup banyak, lebih dari satu unit (450
ml) pada 24 jam pertama pada pasien dewasa harus dilakukan tindakan segera untuk
mengontrol perdarahan. Periksalah pasien sesegera mungkin, tenangkan pasien,
periksalah tanda-tanda vital (denyut nadi, pernapasan, tekanan darah). Jika pasien
syok, misalnya diaforetik (berkeringat) dengan denyut yang lemah dan cepat serta
pernapasan yang dangkal dan cepat disertai dengan turunnya tekanan darah atau
kondisi pasien sedang akan menuju syok, maka diperlukan transportasi secepatnya
menuju ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang memadai untuk mengatasi hal
tersebut. Pada perdarahan sekunder, infeksinya harus dirawat, biasanya dengan
antibiotik sistemik. (Pedersen, 1996).

2. Penatalaksanaan Perdarahan Jaringan Lunak


Menurut McCormick (2014) persyaratan utama untuk kontrol lokal
perdarahan adalah visualisasi, suction, dan penerangan yang baik. Jaringan lunak di
dalam rongga mulut merupakan jaringan dengan vaskularisasi tinggi. Perdarahan
pada jaringan lunak di dalam rongga mulut dapat merupakan akibat dari jaringan
yang mengalami inflamasi atau adanya robekan pada mukosa. Anestesi lokal yang

17
mengandung vasokonstriktor dapat digunakan sebagai langkah awal untuk
menghentikan perdarahan. Adanya infeksi yang luas pada soket dapat menyebabkan
timbulnya jaringan granulasi di dasar soket sehingga sulit untuk terjadi bekuan darah.
Kunci utama dalam mengatasi perdarahan pada jaringan lunak adalah pencapaian
hemostasis yang dapat melalui proses penjahitan atau pemberian agen hemostasis
lokal.
a. Penjahitan / suturing
Suturing akan membantu penutupan soket dan menyatukan jaringan. Berbagai
teknik suturing dan berbagai ukuran jarum dapat dipilih untuk digunakan. Jarum
setengah lingkaran dan benang ukuran 3,0 yang absorbable sangat disarankan karena
dapat membantu proses penyembuhan luka dalam waktu 7-10 hari dan kemudian
akan terabsorbsi. Teknik suturing dengan simple interrupted merupakan teknik
sederhana dan sering digunakan, namun teknik matras horizontal sesuai untuk
memberikan penutupan luka yang baik.
b. Agen hemostatik
1) Asam traneksamat
Asam traneksamat dapat secara efektif mengontrol perdarahan. The British
Committee for Standards in Haemoatology menyarankan bahwa pasien yang
mengonsumsi anti koagulan oral yang memerlukan tindakan pembedahan
dental untuk menggunakan obat kumur asam traneksamat 5% 4 kali sehari
selama 2 hari pasca tindakan pembedahan.
2) Ferric sulphate
Ferric sulphate sering digunakan sebagai cairan astringent 15,5% yang
memiliki beberapa manfaat di dalam dunia kedokteran gigi. Ferric sulphate
biasanya digunakan sebagai agen hemostatik lokal pada tindakan pulpotomi.
Ferric sulphate dapat digunakan untuk membantu pada kasus robeknya
mukosa atau perdarahan pada gingiva.

18
3) Silver Nitrate
Silver nitrate tersedia dalam bentuk sediaan seperti pensil yang
mengandung 95% silver nitrate. Silver nitrate dapat digunakan untuk
mencapai hemostasis pada area dimana suturing dan kompresi dengan jari
tidak memungkinkan. Indikasi penggunaannya yaitu setelah dilakukan biopsi
mukosa pada palatum durum atau retromolar pad. Tip pensil dapat ditekan
secara langsung pada area perdarahan. Setelah beberapa menit pensil silver
nitrate dapat dihilangkan dengan mengusapkan larutan saline pada area
perdarahan secara perlahan untuk mencegah kerusakan pada jaringan sekitar.

3. Penatalaksanaan Perdarahan pada Tulang


Menurut McCormick (2014) perdarahan yang berasal dari tulang
menyebabkan perdarahan yang cukup deras sehingga darah menutupi seluruh soket
dan sulit untuk dilihat. Pada umumnya perdarahan yang berasal dari dalam soket
dapat dihentikan dengan meletakkan dressing.
a. Haemostatic gauze
Saat ini banyak tersedia dressing yang dapat teresorbsi sehingga banyak dokter
memilih untuk meletakkan dressing tersebut dan kemudian dilakukan penjahitan.
Penggunaan oxidized regenerated cellulose, collagen sponge, atau resorbable gelatin
sponge disertai suturing disarankan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan
post-operatif. Terdapat pula bahan dressing yang tidak teresorbsi namun kurang
diminati karena harus dilakukan pengambilan dressing kembali.

b. Bone wax
Bone wax terdiri dari beeswax, paraffin, dan softening agent. Bone wax dapat
digunakan untuk mengontrol perdarahan pada tulang kanselus. Pastikan sumber
perdarahan kemudian letakkan bone wax pada tulang dan ditekan untuk mencapai
hemostasis. Bone wax tidak dapat teresorbsi sehingga harus dihilangkan setelah
terjadi proses hemostasis.

19
4. Penatalaksanaan Perdarahan Vaskular
Menurut McCormick (2014) perdarahan yang sangat deras karena
terpotongnya pembuluh darah dapat diatasi dengan melakukan klem dengan hemostat
lalu lakukan ligasi. Jika area perdarahan tidak dapat dilihat dengan baik maka flap
diperlukan untuk identifikasi. Jika keadaan meragukan pasien dapat dilarikan ke
instalasi gawat darurat.

5. Penatalaksanaan Perdarahan pada Pasien Trombositopenia dan Hemofili


Pada pasien trombositopenia selama operasi, jika pasien secara aktif
perdarahan dengan jumlah trombosit yang rendah, transfusi platelet dapat
memberikan solusi sementara (Wray dkk., 2003). Kadar platelet darah normalnya
berada diantara 150-400×10^9/L. Kadar tetap dalam keadaan normal akibat sintesis
platelet dalam sumsum tulang dan pembersihan oleh spleen. Gangguan keseimbangan
kadar platelet dengan pengurangan produksi atau peningkatan pembersihan (bisa
dengan "splenic uptake" atau aktivasi platelet) menyebabkan trombositopenia, yang
diklasifikasikan sebagai trombositopenia ringan (100-150×10^9/L), sedang (50-
100×10^9/L), dan berat (<50×10^9/L). Secara umum, trombositopenia dibagi
menjadi 2 kategori: keturunan dan bawaan. Peningkatan perdarahan jarang terjadi
kecuali jumlah platelet <50×10^9/L. Penanganannya bervariasi tergantung dari
etiologi trombositopenia, namun jumlah platelet dapat ditingkatkan sementara dengan
cara menggunakan agen hemostasis jika dibutuhkan untuk prosedur pembedahan.
Setelah dilakukan tindakan diberikan agen antifibrinolitik (seperti asam traneksamat
25mg/kg t.i.d) untuk 3-5 hari dan diet lunak selama 7 hari (Israels dkk., 2006).
Pada pasien hemofili, susunan rencana perawatan yang baik serta pemberian
obat antifibrinolitik dapat mencegah terjadinya masalah post-operatif. Namun
perdarahan pasca pencabutan bisa saja tetap terjadi diluar dugaan operator. Jika hal
tersebut terjadi dapat dilakukan tindakan berikut. Pertama, cari titik perdarahan.
Kemudian letakkan kain kassa yang telah dibasahi oleh larutan asam traneksamat

20
10% pada soket kemudian instruksikan kepada pasien untuk menggigit kassa tersebut
sekitar 10 menit. Cek kembali tekanan darah pasien karena dapat meningkat akibat
cemas dan rasa sakit. Jika pasien merasa sakit dapat diberikan analgesik. (Brewer
dkk., 2006). Selain itu bisa juga menggunakan agen hemostasis lokal untuk mengatasi
perdarahan pada pasien hemofilia. Topical fibrin glue merupakan hemostasis lokal
yang efektif ketika diaplikasikan langsung pada lokasi perdarahan karena dapat
mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan mempercepat proses hemostasis (Gupta
dkk.,2007).

6. Penatalaksanaan Hematoma
Menurut Gupta dkk. (2015) pembengkakan dan perubahan warna di area yang
terkena biasanya reda dalam 10-15 hari. Pasien biasanya adakan merasa sakit dan
trismus. Pasien disarankan untuk mengkonsumsi analgesik, menghindari aplikasi
panas yang dapat meningkatkan ukuran hematoma karena vasodilatasi, kompres es
dengan segera setelah muncul hematoma dapat membantu mengurangi ukuran
hematoma dan meringankan karena aplikasi dingin menyebabkan vasokontriksi.
Kompres es 30 menit per jam selama 24 jam pertama setelah operasi dan diikuti
pemberian kompres panas lembab secara intermittent dapat memperbaiki keadaan.
Tindakan dental pada area yang terkena harus dihindari sampai tanda dan gejala
hilang. Hematoma menekan jaringan atau luka, mengurangi vaskularitas dan
meningkatkan ketegangan tepi luka dan dapat menjadi media kultur yang potensial
untuk perkembangan infeksi luka, sehingga terapi antibiotik harus diresepkan jika
ukuran hematoma lebar.

21
BAB III
KESIMPULAN

 Sebelum melakukan perawatan bedah mulut, anamnesis yang lengkap dan


menyeluruh mengenai riwayat medis, riwayat perawatan gigi sebelumnya, dan
riwayat obat sangat diperlukan untuk skrining pasien dengan risiko tertentu. Hal
tersebut meminimalkan risiko terjadinya kegawatdaruratan dalam praktik
kedokteran gigi
 Perdarahan merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dan paling
ditakuti oleh pasien dan dokter gigi karena dianggap mengancam kehidupan.
 Penatalaksanaan pada berbagai jenis perdarahan wajib diketahui oleh dokter gigi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Archer, W.H., 1961, Oral Surgery A Step-by-step Atlas of Operative Techniques,


W.B. Saunders Company, Philadelpia
Armstrong, A.W., dan Golan, D.E., 2012, Principles of Cardiovascular
Pharmacology, Lippincott, Philadephia, h.387-392
Balaji, S.M., 2007, Text Book of Oral and Maxilofasial Surgery, Elsevier, New Delhi
Bayley, T.J., dan Leinster, S.J., 1991, Ilmu Penyakit Dalam untuk Profesi Kedokteran
Gigi. Alih bahasa: Iyan Darmawan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
hal.198-208.
Brewer A. dan Correa, M. E., 2006, Guidelines for Dental Treatment of Patients with
Inherited Bleeding Disorder, World Federation of Hemophilia: Canada.
Caroline, N., Elling, B., dan Smith, M., 2013, Nancy Caroline’s Emergency Care in
the Streets, 7th ed., Jones and Bartlett Publisher, Canada, hal. 188.
Gupta, A., Epstein J. B., Cabay, R. J., Bleeding Disorder of Importance in Dental
Care and Related Patient Management, JCDA, Vol. 73:1, 77-83.
Gupta, N., Singh, K., Sharma, S., 2015, Hematoma-A Complication of Posterior
Superior Alveolar Nerve Block, J Dent Probl Solut 2(1): 015-016
Guyton and Hall, 2011, Textbook of Medical Physiology: 12th ed, Saunders Elsevier,
United States.
Hupp, J.R., Ellis E., Tucker, M.R., 2014, Contemporary Oral and Maxillofacial
Surgery, Elsevier, St.Louis.
Israels, S., Schwetz, N., Boyar, R., McNicol, A., 2006, Bleeding Disorders:
Characterization, Dental Considerations and Management, JCDA, Vol. 72:(9),
827-840.
Koerner K.R., 2006, Manual of Minor Oral Surgery for The General Dentist,
Blackwell Munksgaard, Iowa, p.277-9, 281-4
Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L., 2007, Buku Ajar Patologi Vol.I. Alih bahasa:
Awal Prasetyo, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, p.90, 110-1

23
McCormick, N. J., Moore, U. J., Meechan, J. G., 2014, Haemostasis Part 1: The
Management of Post-Extraction Haemorrhage, Dent Update, Vol.41: 290-6
Pedersen G.W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih bahasa: Purwanto dan
Basoeseno, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, p.36, 83-5, 93-4,112
Price S.A., Wilson M.L., 2005, Patofisiologi – Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, p.292-5, 298
Seward, G. R., 1996, Emergency Dentistry For General Practitioner- Bleeding Tooth
Socket and Trauma. British Medical Jornal, h. 629-30
Smeltzer, S., Bare, B., Hinkle, J., dan Cheever, K., 2010, Textbook of Medical
Surgical Nursing, 12th ed., Lippincott Williams and Wilkins, Philadephia, hal:
2161-2163.
Vitria, E.E., 2011, Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Medically-Compromised di
Tempat Praktek Gigi, Dentofasial, 10 : 1, 47-54.
Wray, D., Stenhouse, D., Lee, D., Clark, A.J.E., 2003, Textbook of General and Oral
Surgery. Churchill Livingstone, London, p.278

24
25

Вам также может понравиться