Вы находитесь на странице: 1из 5

Keterhijaban dan Baik Sangka

Cerita ini diceritakan ulang oleh Salim Akhukum Fillah dalam bukunya “Dalam Dekapan
Ukhuwah” halaman 173-181. Cerita ini penuh makna dan menjadi contoh bagaimana
seorang hamba menyikapi kebutannya terhadapi masa depan.

***

Di masa ‘Abbasiyah akhir, negeri-negeri muslim tersekat oleh berbagai kesultanan yang
berkuasa sendiri-sendiri. Yang duduk bertakhta di Baghdad dan mereka sebut “Amirul
Mukminin” memang masih ada. Tetapi dia tidak lebih dari pemuda manja yang
diperlakukan sebagai boneka oleh para sultan yang berebut pengaruh.

Kisah ini adalah sebuah sejarah kecil pada era itu. Berkisah tentang seorang ayah dan
anak. Sang ayah bekas budak. Selama menjadi budak, libur Jum’at sebagaimana
ditetapkan kesultanan dimanfaatkannya untuk habis-habisan bekerja. Dengan dirham
demi dirham yang terkumpul, suatu hari dia minta izin untuk menebus dirinya pada sang
majikan.

“Tuan,” ujarnya, “Apakah dengan membayar harga senilai dengan berapa engkau
membeliku dulu, aku akan bebas?”

“Hm... Ya. Bisa.”

“Baik, ini dia,” katanya sambil meletakkan bungkusan uang itu di hadapan tuannya.
“Allah ‘Azza wa Jalla telah membeliku dari anda, lalu Dia membebaskanku.
Alhamdulillah.”

“maka engkau bebas karena Allah,” ujar sang tuan tertakjub. Dia bangkit dari duduknya
dan memeluk sang budak. Dia hanya mengambil separuh harga yang tadi dia sebutkan.
Separuh lagi diserahkannya kembali. “Gunakanlah ini,” katanya berpesan, “Untuk
memulai kehidupan barumu sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia menjadi
sebagian Tangan Allah yang membebaskanmu!”

Penuh syukur dan haru, tapi juga disergap khawatir, dia pamit. “Aku tidak tahu wahai
Tuanku yang baik,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca, “Apakah kebabasan ini rahmat
atau musibah. Aku hanya berbaik sangka kepada Allah.”

***
Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah . Tetapi sang istri meninggal ketika
menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang putra hingga usia dua tahun.
Maka dibesaran putera semata wayangnya itu dengan penuh kasih. Dididiknya anak
lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan sunnah Nabi, juga untuk bersikap
ksatria dan berjiwa merdeka.

“Anakku,” katanya di suatu pagi, “Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu ini separuh
manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga kehormatan dan kesucianku,
maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku. Dan jadilah kita orang merdeka.
Kethuilah Nak, orang bebas yang paling merdeka adalah dia yang bisa memilih
caranya untuk mati dan menghadap Ilahi!

“Ketahuilah,” lanjutnya, “Seorang yang syahid di jalan Allah itu hakikatnya tak pernah
mati. Saat terbunuh, dia akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat
dengan terbang ke sana kemari dalam tubuh buruh hijau di taman surga, dan diizinkan
baginya memberi syafa’at bagi keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu, Nak, dengan
berjihad lalu syahid di jalan Nya!”

Sang anak mengangguk-angguk.

Sang ayah mengeluarkan sebuah kantung berpelesir emas. Dinar-dinar di dalamnya


bergemerincing. “Mari mempersiapkan diri,” bisiknya. “Mari kita beli yang terbagus
dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam jihad di jalan-Nya. Mari kita belanjakan
uang ini untuk mengantar kita pada kesyahidan dengan sebaik-baik tunggangan.”

Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seekor kuda perang berwarna
hitam. Kuda itu gagah. Surainya mekar menjumbai. Tampannya mengagumkan. Matanya
berkilat. Giginya rapi dan tajam. Kakinya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat
kuda musuh bergidik.

Semua tetangga datang untuk mengaguminya. Mereka menyentuhnya, mengelus


surainya. “Kuda yang hebat!” kata mereka. “Kami belum pernah melihat kuda ini. Luar
biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan untuk membeli kuda ini?”

Anak beranak itu tersenyum simpul. Yah, itu simpanan yang dikunpulkan seumur hidup.

Para tetangga ternganga mendengar jumlahnya. “Wah”, seru mereka, “Kalian masih
waras atau sudah gila? Uang sebanyaj itu dihabiskan untuk membeli kuda? Padahal
rumah kalian reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun belun tentu ada!” kekaguman
di awal tadi berubah menjadi cemooh. “Tolol!” kata salah satu. “Tak tahu diri!” ujar yang
lain. “Pandir!”

“Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah,”
ujar mereka.

Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kudanya dengan penuh cinta.
Makanan si kuda dijamin kelengkapannya; rumput segar, jerami kering, biji-bijian, dedak
air segar, kadang bahkan ditambah madu. Si kuda dilatih keras, tetapi tak dibiarkan lelah
tanpa mendapat hadiah. Kini mereka tak hanya berdua, melainkan bertiga. Bersama-sama
menantipanggilan Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir terindah.

Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta ketika si ayah melongok ke kandang, dia tak
melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jeruji kayu terkoyak remuk.
Kuda itu hilang!

Beruduyun-duyun para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Mereka


bersimpati pada cita tinggi kedua anak ayah itu. Tapi mereka juga menganggap keduanya
kelewatan. “Ah sayang sekali!” kata mereka, “Padahal itu kuda terindah yang pernah
kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk
memuaskan ambisi kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita
kalian.”

Sang ayah tersenyum sambil mengelus kepala anaknya. “Kami tidak tahu,” ucap
serempak keduanya, “Ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada
Allah.”

Mereka pasrah. Mereka mencoba untuk menghitung-hitung yang dan mengira-ngira,


kapan bisa membeli kuda lagi. “Nak,” sang Ayah menatap mata puteranya, “Dengan atau
tanpa kuda, jika panggilan Allah datang, kita harus menyambutnya.” Si anak
mengangguk mantap. Mereka kembali bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.

Tiga hari kemudian, saat shubuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara
ringkikan bersahut-sahutan. Terkejut dan jaga, ayah dan anak itu berlari ke kandang
sambil membenahi pakaiannya. Di kandang itu mereka temukan kuda hitam yang gagah
bersurai indah. Tak salah lagi, ini kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu!

Tapi kuda itu pun tak sendiri. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar! Itu
pasti kawan-kawannya! Mereka datang dari stepa luas untuk bergabung di kandang si
hitam. Mungkinkah kuda punya akal jernih? Mungkinkah si hitam yang merasa
mendapatkan layanan terbaik di kandang seorang bekas budak mengajak kawan-
kawannya untuk bergabung? Atau tahukan mereka bahwa mendatangi kandang itu berarti
bersiap bertaruh nyawa untuk kemuliaan agma Allah, kelak jika panggilanNya
berkumandang? Atau memang itu yang mereka inginkan?

“Bertasbih kepada Allah, segala yang di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS Ash-Shaff: 1)

Ketika hari terang, para tetangga datang dengan takjub. “Luar biasa!” kata mereka. “Kuda
itu pergi untuk memanggil kawan-kawannya dan kini kembali membawa mereka
menggabungkan diri!” Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya. “Wah
kalian sekarang kaya raya! Kalian orang terkaya di kampung ini !” Tapi si pemilik
kembali hanya tersenyum. “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”

Hari berikutnya dengan bahagia, sang putra mencoba menaiki salah seekor dari kuda itu.
Suka cita ia memacunya ke segala penjuru. Suatu saat, kuda liar itu terkejut ketika
berpapasan degan seekor lembu yang lepas dari kandang persimpangan. Dia meronta
keras, dan sang penunggang terbanting. Kakinya patah. Dia meringis kesakitan.

Para tetangga datang menjenguk. Mereka menatap anak itu dengan tatapan penuh iba.
“Kami turut prihatin,” kata mereka “Ternyata kuda itu tidak membawa berkah. Mereka
datang membawa musibah. Alangkah lebih beruntung yang tak memiliki kuda namun
anaknya sehat sentausa!”

Tuan rumah tersenyum lagi. “Kami tah tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”

Hari berikutnya hulu balang raja berkeliling negeri. Dia mengumumkan pengerahan
pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang telah menyerang perbatasan. Semua
pemuda yang sehat jasmani dan rohani wajib bergabung untuk mempertahankan negeri.
Sayang, perang ini sulit dikatakan sebagai jihad di jalan Allah karena musuh yang hendak
dihadapi adalah sesama muslim. Mereka hanya berbeda kesultanan.

“Nak,” bisik sang ayah ke telinga sang putera yang terbaring tidak berdaya, “Semoga
Allah menjaga kita dari menumpahkan darah sesama muslim. Allah Maha Tahu, kita
ingin berjihad di jalanNya. Kita sama sekali tak hendak beradu senjata dengan orang-
orang beriman. Semoga Allah membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka
berpelukan.

Petuga pendaftaran mendatangi tiap rumah dan membawa para pemuda yang memenhi
syarat. Saat memasuki rumah ayah dan anak pemilik kuda, mereka mendapati puteranya
terbaring di tempat tidur dengan kaki terbebat, disangga kayu, dan dibalut kain.

“Ada apa dengannya?”

“Tuan prajurit,” kata sang ayah, “Anak saya ini begitu ingin membela negeri dan dia telah
berlatih untuk itu. Tetapi kemarin dia jatuh darikuda ketika sedang mencoba menjinakkan
kuda liar kami. Kakinya patah”

“Ah sayang sekali!” kata sang Hulubalang. “Padahal kkulihat dia begitu gagah. Dia pasti
akan menjadi seorang prajurit tangguh. Tapi baiklah. Dia tak memenuhi syarat. Maafkan
aku, aku tak bisa mengikutsertakannya!”

Dan hari itu, para tetangga yang ditinggal pergi putera-puteranya menjadi prajurit
mendatangi si pemilik kuda. “Ah, nasib!” kata mereka, “Kami kehilangan anak-anak
lelaki kami, tumpuan harapan keluarga. Kami melepas mereka tanpa tahu apakah mereka
akan kembali atau tidak. Sementara puteramu tetap bisa di rumah karenna patah kaiknya.
Kalian begitu beruntung! Allah menyayangi kalian!”

“Tuan rumah ikut bersedih melihat mendung di wajah-wajajh itu. Kali ini bapak dan anak
itu tak tersenyum. Tapi ucapan mereka kembali bergema, “Kami tak tahu, ini rahmat atau
musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kota itu dipenuhi ratapan para ibu dan isak tangis para istri.
Sementara para lelaki hanya termangu dan tergugu. Kabarnya telah jelas. Semua pemuda
yang diberangkatkan perang tewas di medan tempur. Tapi agaknya para warga telah
belajar banyak dari ayah beranak pemilik kuda. Seluruh penduduk kota kini
menggumamkan kalimat indah itu. “Kami tak tahu ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”

Singkat kisah, tak berapa lama kemudian panggilan jihad yang sebenarnya menggema.
Pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan menyerbu wilayah Islam dan
membumihanguskannya hingga rata dengan tanah. Orang-orang tak berprikemanusiaan
itu mengalir bagai air bah meluluhlantakkan peradaban. Ayah dan anak itu pun
menyosong janjinya. Mereka bergegas menyambut panggilan dengan kalimat agungnya.
“Kami tak tahu, apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada
Allah!”

***

Mereka menemui syahid. Tapi sebelum itu, ada selaksa nikmat yang Allah berikan kepada
mereka untuk dirasai. Sang anak pernah tertangkap pasukan Mongol dan dijadikan sebgai
budak. Dia berpindah-pindah tangan hingga kepemilikannya jatuh pada Al-Kamil,
seorang sultan Ayyubiyah di Kairo. Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan warga
Ayyubiyah di Mesir, kariernya menanjak cepat dari komandan kecil menjadi panglima
pasukan, lalau Amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnyaAz-zahir Ruknuddin Baibars, dia
diangkat menjadi sultan. Namanya Al-Manshur Saifuddin Qalawun.

Inilah sekelumit kisah tentangnya. Qalawun yang berani berprasangka baik dalam segala
keterhijaban. Qalawun yang berani berkata, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah.
Kami hanya berprasangka baik kepada Allah!”

Вам также может понравиться