Вы находитесь на странице: 1из 26

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Bab 4
Pariwisata Sulawesi Utara

Latar Belakang Kebijakan Pariwisata Sulawesi Utara


Industri pariwisata suatu wilayah sering dikaitkan dengan
sektor swasta sebagai investor dan pemerintah sebagai regulator
(Milne dan Ateljevic, 2001; Murphy, 1985). Dalam kaitan ini,
pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten membuat
beberapa kebijakan di bidang pariwisata dengan maksud
meningkatkan aktivitas pariwisata di daerah tersebut. Provinsi
Sulawesi Utara sejak awal mencanangkan daerah ini sebagai obyek
wisata yang berwawasan lingkungan. Pemerintah daerah datang
dengan slogan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan atau
Sustainable Tourism Development. Pemerintah secara sengaja
menawarkan konsep ini dengan maksud menjaga kontinuitas dan
menumbuhkan kemandirian sosial, ekonomi, lingkungan ekologis,
budaya dan teknologi.
Lebih lanjut, konsep pembangunan pariwisata menyentuh
sektor pendidikan yang mengarah pada pembelajaran komunitas
tentang pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan
harapan komunitas lokal akan berpartisipasi dalam kepariwisataan
saat ini hingga masa yang akan datang. Selama ini kepariwisataan
di Sulawesi Utara lebih mengandalkan rasa pesona masyarakat
terhadap keindahan alam dan laut. Disamping itu pemerintah
membuat kebijakan yang bersifat crash program di bidang MICE
baik tingkat nasional maupun internasional, sehingga publisitas
Sulawesi Utara mencapai tingkat nasional maupun internasional.
Salah satu kelemahan kebijakan pariwisata di Provinsi Sulawesi
Utara adalah kekurangan payung hukum karena belum ada Perda
Pariwisata padahal dasar keabsahan dari kebijakan adalah hukum.

57 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Dalam kaitan dengan upaya pengembangan pariwisata di


Sulawesi Utara, aspek hukum sebagai dasar keabsahan kebijakan
sangat diperlukan. Sejauh ini, dasar kebijakan pengembangan
pariwisata mengacu pada Undang Undang RI Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan, bersama Instruksi Presiden Nomor
16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan
Pariwisata, serta Peraturan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 53
Tahun 2008 tentang Uraian Tugas dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara yakni sebagai institusi yang
menangani urusan kebudayaan dan pariwisata. Selain itupula
karena umumnya daerah wisata kita terletak di sekitar Kawasan
Hutan, maka ada aturan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya yang juga harus dipatuhi. Salah satu hambatan yang
sangat mendasar adalah belum adanya peraturan daerah
Pariwisata karena belum disahkannya peraturan daerah RTRW.
Tanpa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pemerintah tidak
memiliki dasar untuk melakukan penataan ruang wilayah (lihat
gambar 4.1). Selain itu, ada hambatan koordinasi yang tumpang
tindih antar sektor. Lokasi Bunaken ditetapkan sebagai Taman
Nasional sehingga otomatis menjadi berada di bawah pengawasan
Departemen Kehutanan. Ketika Daerah ingin mengambil inisiatif
dalam upaya pengembangan pariwisata melalui pembangunan
infrastruktur akan mengalami hambatan karena masih adanya
kewenangan pusat yang belum diserahkan ke daerah.

Pentingnya Tata Ruang bagi Pengembangan Pariwisata


Industri pariwisata suatu wilayah sering dikaitkan dengan
sektor swasta sebagai investor dan pemerintah sebagai regulator
(Milne dan Ateljevic, 2001; Murphy, 1985). Kebijakan Pemerintah
sangat berperan mendorong perkembangan pariwisata. Dalam
kaitan ini, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten

58 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

membuat berbagai kebijakan yang menjadi arah pengembangan


sektor pariwisata dan sekaligus meningkatkan aktivitas pariwisata
di daerah tersebut. Masih sering terjadi sektor pariwisata hanyalah
pilihan yang sekunder di beberapa daerah dan mereka yang
terlibat di sana dianggap sebagai orang buangan. Sejak awal para
pengambil kebijakan sadar pengembangan pariwisata di Provinsi
Sulawesi Utara harus melibatkan swasta dan masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini hanya menempatkan diri sebagai
regulator. Namun masalah yang masih menggantung adalah
peraturan daerah tentang Tata Ruang Provinsi Sulawesi Utara
yang masih dalam pembahasan tahun ini di DPR. Sebenarnya
peraturan tentang tata ruang ini sangat penting bagi perencanaan
pembangunan pariwisata. Tanpa peraturan tata ruang yang jelas,
pembangunan pariwisata menjadi tidak terarah dan dapat
menghancurkan pariwisata itu sendiri. Masalah lain berkaitan
dengan alih fungsi lahan, namun telah diselesaikan setelah
presentasi Gubernur di Kementrian Kehutanan tahun ini.

Tata Ruang adalah grand design tata guna tanah termasuk


peruntukan bagi pengembangan pariwisata. Tata Ruang tersebut
biasanya disusun oleh konsultan pariwisata yang diyakini mampu
mengangkat brand image yang khas dari suatu daerah/kawasan
pariwisata, Dalam rangka membangun image tersebut, grand
design pariwisata biasanya dirancang untuk program kerja 5 tahun
ke depan. Dengan demikian, Tata Ruang adalah payung hukum
perencanaan fisik dan dapat sampai pada site plan (rencana tapak).
Untuk itu dibutuhkan RPJMD sebagai payung hukum penyediaan
dana pembangunan untuk satu tahun anggaran atau multi years
apabila karena berbagai alasan program tersebut tidak dapat
diselesaikan dalam satu tahun anggaran. Dengan kata lain, penting
bagi Provinsi Sulawesi Utara membuat grand design, mapping,
dan Tata Ruang untuk menata pengembangan pariwisata lokal.
Mapping dilakukan dalam rangka mengangkat kekhususan

59 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pariwisata daerah termasuk icon atau brand image sebagai ciri


khas daerah yang tidak ditemukan di tempat lain. Dengan adanya
mapping dana dapat dialokasikan secara tepat.
Pada awalnya, pariwisata Provinsi Sulawesi Utara hanya
mengandalkan alam pegunungan, danau, dan kebudayaan lokal
sebagai obyek pariwisata utama namun kurang peminatnya.
Wisata di Sulawesi Utara baru mulai menggeliat waktu keindahan
alam bawah laut dan keunikan flora, fauna daerah ini ditawarkan
kepada parawisatawan. Pada saat wisatawan mulai berminat ke
Sulawesi Utara, sebagian besar masyarakat lokal belum terlibat
dalam kegiatan pariwisata. Mereka baru terlibat setelah mulai
muncul banyak wisatawan backpackers. Kebijakan pariwisata
sering menimbulkan konflik antara pemerintah dengan kalangan
masyarakat di sekitar obyek wisata. Misalnya, dalam kebijakan
konservasi pemerintah justeru membuat aturan yang ketat dan
pemerintah tidak melihat pihak lain sebagai mitra tetapi sebagai
pesaing. Konflik kemudian berkembang antara masyarakat dengan
pemerintah atau antara masyarakat dengan investor, maupun
antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Implikasinya pemerintah hampir tidak pernah merancang alokasi
anggaran untuk memperbaiki infrastruktur di kawasan wisata atau
pun alokasi anggaran untuk pengembangan kapasitas masyarakat
di sekitar lokasi obyek wisata. Pariwisata berkembang sendiri di
tengah miskinnya kebijakan Pemerintah. Beruntunglah ada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaruh perhatian
terhadap pekestarian lingkungan, yang secara tidak langsung juga
pada pengembangan pariwisata. Upaya pengembangan pariwisata
bersifat multi-sektoral dan mempunyai dampak pengganda
(multiplier effects) yang luas. Oleh karena itu pengembangan
pariwisata sebagai sebuah industri menjadi penting (Meyer, 2006).
Sebagai usaha industri, ada tuntutan agar pelaksanaan kegiatan
pariwisata harus melalui proses perencanaan, pengorganisasian,
pengelolaan dan pengembangan yang baik dan berkelanjutan.

60 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Perencanaan Pengembangan Pariwisata Sulawesi Utara


Perencanaan pembangunan pariwisata (Lihat Gambar 4.1)
harus merujuk pada Undang Undang No 10 Tahun 2009. Menurut
undang-undang tersebut, pengembangan pariwisata bertujuan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapuskan kemiskinan,
mengatasi pengangguran, melestarikan alam lingkungan dan
sumberdaya. Di samping itupula, pengembangan pariwisata juga
diharapkan akan melestarikan dan juga memajukan kebudayaan,
mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta pada tanah air,
memperkokoh jati diri, dan kesatuan bangsa, serta memperkuat
persahabatan antar daerah dan bangsa. Dalam hal ini, kebijakan
pariwisata daerah tidak boleh bertentangan dengan undang
undang tersebut.
Hingga saat ini Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi
Sulawesi Utara secara intensif terus melakukan koordinasi dengan
Kabupaten/Kota membuat mapping icon pariwisata/brand image
di 15 Kabupaten/Kota sebagai berikut: 1. Kota Manado (Diving di
Bunaken); 2. Kota Tomohon (Paket Agrowisata di desa Rurukan);
3. Kota Bitung (Pengembangan Resort dan diving di Pulau
Lembeh, Tangkoko, Kungkungan); 4. Kota Kotamobagu (places
of interest). seperti Makam Raja-Raja); 5. Kabupaten Minahasa
(Keindahan alam Danau Tondano); 6. Kabupaten Minahasa Utara
(places of interest warisan budata Waruga Sawangan); 7.
Kabupaten Minahasa Selatan (Keindahan Pantai Moinit dan
kuliner Dodol); 8. Kabupaten Minahasa Tenggara (Keindahan
Pantai Lakban dan diving pada pulau pulau disekitarnya dan
produksi Buah Salak); 9. Kabupaten Kepulauan Sangihe (Pesona
Gunung Api di Bawah Laut Mahangetang); 10. Kabupaten
Kepulauan Talaud (Atraksi tahunan Manee di Pulau Intata);
11. Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Keunikan
Pulau Mahoro dan pulau Makalehi); 12. Kabupaten Bolaang
Mongondow ( Keanekaragaman hayati fauna dan flora di Hutan

61 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Bagan 4.1
Skema Pemikiran
Kebijakan Pengembangan Pariwisata Sulawesi Utara

Rencana
Pembangunan Jangka
Menengah Nasional
RPJMD (RPJMN) Kebijakan
Kabupaten/Kota Konservasi
RPJMD SULUT
Rencana Tata Ruang
Kerjasama Provinsi Provinsi
Kabupaten/Kota
‐ Penyamaan
Persepsi Kebijakan Rencana Tata Ruang
‐ Perimbangan
Keuangan
Masterplan Pariwisata
Sulut (Grand Design) Kebijakan
Pembangunan
Dana Infrastruktur
Pembangunan
Rencana
Pengembangan
APBN, APBD
Prov, APBD Dana
Kab./Kota, PNPM Swasta
Mandiri Perkotaan  Program
dan Pedesaan. Pembangunan Pola
Public, Private
Partnership

  
Kendala Pembangunan :  Pembangunan Pariwisata
‐ Masalah Kemiskinan ‐ Penanggulangan Kemiskinan
‐ Kurangnya Kemampuan ‐ Konservasi /Pelestarian
Masyarakat (Ketrampilan, Lingkungan
bahasa) ‐ Pengembangan Kapasitas
‐ Permodalan Masyarakat
‐ Konflik ‐ Pengembangan Infrastruktur :
Listrik, Air, Jalan, dan talud
Kebijakan Perijinan : pengaman pantai.
- Peruntukan Ruang, ‐ Pengembangan fasilitas
- IMB, masyarakat : Sekolah,
- AMDAL. Puskesmas,Telekomunikasi. 

62 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Lindung Nani Wartabone); 13. Kabupaten Bolaang Mongondow


Timur (Pesona Wisata Danau Mooat); 14. Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara (Pesona wisata Pulau Bongkil dan Makam Raja
Bolangitang di Kaidipang); 15. Kabupaten Bolaang Mongondow
Selatan (Pesona Pantai Dami dan Taman Burung Maleo). Secara
umum, kepariwisataan Sulawesi Utara dapat mengusung konsep/
image Wisata Air karena di semua kabupaten/kota memiliki air
sebagai daya tarik wisatanya.
Hasil mapping tersebut kemudian tertuang dalam
dokumen RIPPDA (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Daerah) karena DPR belum membahasnya menjadi Perda.
Keterlambatan tersebut menghambat pemerintah dalam membuat
rencana pengembangan pariwisata. Memang pemerintah tidak
dapat melangkah jika Perda belum disahkan. Pemerintah tidak
mungkin membuat kebijakan program pengembangan
kepariwisataan tanpa acuan formal. Walaupun demikian
pemerintah daerah telah menggunakan Grand Design
pariwisata yang belum menjadi Perda dalam perencanaan
dan alokasi program dengan berpedoman pada kekhususan
wilayah destinasi pariwisata. RIPPDA ini boleh dianggap
Grand Design pariwisata yang mengakomodir kekhususan
pariwisata di daerah, alokasi dana dan manajemen yang
saling terintegrasi. Manajemen yang dimaksud meliputi
transportasi udara, darat, dan laut, pengendalian sumber
daya alam dan lingkungan, pengembangan coastal area dan
marine habitat dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip
pariwisata yang berbasis lingkungan (ecotourism), sehingga
selayaknya masuk dalam RPJMD dan RPJPD.
Perencanaan juga menjadi lebih sulit dilakukan karena
lemahnya basis data tentang pariwisata Sulut. Masing-masing
kantor pemerintah penyedia data kepariwisataan seperti Biro
Statistik, Imigrasi, Perum Angkasa Pura atau Pelindo melakukan
63 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

proses pendataan dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, data


mengenai jumlah turis yang datang ke Sulawesi Utara dari luar
negeri yang tercatat di kantor Imigrasi berbeda dengan Perum
Angkasa Pura karena turis asing yang dicatat kantor Imigrasi
hanyalah turis dari Singapura yang datang langsung ke bandara
Sam Ratulangi sedangkan turis asing yang datang ke Manado via
Makassar dan Jakarta atau Denpasar tidak tercatat karena dianggap
penumpang domestik yang tidak melewati pintu imigrasi.

Kerjasama antar Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/


Kota
Sulawesi Utara telah diakui sebagai salah satu dari lima
destinasi unggulan di Indonesia dan salah satu dari 10 destinasi
penyelenggara MICE (meeting, incentive, convention, exhibition).
Ini merupakan hasil yang spektakuler dalam jangka waktu 6 tahun
terakhir dibandingkan dengan Bali yang harus menunggu selama
seratus tahun. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Kuntag dalam
proses FGD 2 . Langkah ini sangat menolong pengembangan
pariwisata di Sulawesi Utara. Memang sempat terjadi penurunan
kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulawesi Utara pasca WOC
dan Sail Bunaken tahun 2009. Hal ini karena beberapa faktor
antara lain obyek wisata yang belum ditata dengan rapih,
perhatian Pemerintah Daerah yang kurang, minat swasta lokal
masih kecil terhadap pengembangan pariwisata, dan kurangnya
event yang digelar di Sulawesi Utara.
Keadaan ini berubah setelah tahun 2010. Objek wisata di
Sulawesi Utara terus berkembang dari 545 objek pada tahun 2010
menjadi 634 objek pada tahun 2011. Gambaran ini menunjukkan
pengembangan destinasi pariwisata di Sulawesi Utara mengalami
peningkatan sebagai akibat daerah ini sebagai salah satu dari
destinasi MICE dan destinasi pariwisata unggulan di Indonesia.

                                                            
2
Proses FGD dilakukan pada 18 Maret 2011 di Kantor Bappeda Provinsi
Sulawesi Utara

64 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Demikian pula dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara


juga meningkat yaitu, pada tahun 2008 berjumlah 32.760 orang
dan di tahun 2009 menjadi 495.000. Hal ini karena pemerintah
daerah menyelenggarakan event internasional seperti World
Ocean Conference dan CTI Summit dan Sail Bunaken. Namun
pada tahun 2010 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
menurun menjadi 20.045 sehingga kebijakan untuk selalu
mempertahankan hadirnya event-event penting yang berskala
internasional dipandang perlu disamping upaya mengembangkan
pengelolaan dari objek-objek wisata yang menjadi ikon di 15
Kabupaten/Kota.
Selama ini pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara
harus diakui lebih bertumpu pada kebijakan provinsi, sementara
pada level Kabupaten/Kota masih kurang mendapat perhatian.
Hanya Kota Tomohon, boleh disebut sebagai salah satu kota di
Sulawesi Utara yang giat melakukan TFF (Tomohon Flower
Festival), terlepas dengan segala kekurangannya, kota ini berhasil
menarik wisatawan. Kegiatan TFF masih terkesan sebagai kegiatan
proyek, dan ini bisa dilihat dari sebagian besar bunga yang
dihadirkan pada event tersebut bukan hasil kegiatan budidaya
masyarakat lokal. Walaupun demikian maka upaya pemerintah
mempromosikan dan memasarkan pariwisata dipandang telah
banyak memberikan peluang bagi pengembangan pariwisata di
Tomohon itu sendiri.
Sama halnya, Kota Manado juga menggagas konsep Kota
Pariwisata Dunia 2010, namun sampai sekarang belum terwujud.
Pada tahun 2011, Walikota Manado memunculkan slogan Kota
Manado sebagai model Ekowisata. Konsep ini masih kurang jelas
karena tidak mempunyai landasan konseptual yang kuat dan
mendasar. Bagaimana mungkin kota Manado yang sudah
mengarah kepada kota jasa diubah menjadi kota model ekowisata.
Manado lebih masuk akal berkembang sebagai waterfront city dari
pada sebagai model kota ekowisata.
65 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Kerjasama pengembangan pariwisata antara pemerintah


provinsi dan kabupaten/kota masih perlu ditingkatkan. Provinsi
Sulawesi Utara berupaya menjadi pintu gerbang Asia Pasifik, dan
untuk itu perlu ditunjang oleh kebijakan pariwisata pada aras
kabupaten dan kota. Misalnya, kebijakan Kota Bitung akan lebih
banyak mengarah juga kepada sektor pendukung seperti marine,
fisheries, dan coastal oriented. Sedangkan Kota dan kabupaten lain
disekitarnya seperti kota Tondano dapat mengembangkan sayur-
sayuran untuk dijual di daerah Sulawesi Utara, dan sebagai pintu
Gerbang Asia Pasifik langsung diekspor ke luar negeri. Demikian
pula dengan Tomohon sebagai kota bunga dapat mengembangkan
pertanian khusus tanaman bunga agar menjadi objek wisata
sebagaimana terjadi di wilayah “winery” kota Adelaide Australia,
disamping memanfaatkan kebijakan pintu gerbang Asia Pasifik
tersebut untuk memperdagangkan bunga-bunga lokal yang sudah
dikemas menjadi produk wisata yang menarik sampai tingkat
internasional.

Demikian juga kerjasama antara pemerintah provinsi dan


pemerintah pusat di bidang pariwisata masih perlu ditingkatkan.
Hal ini karena alokasi khusus dana pariwisata untuk provinsi
masih sangat kecil. Sebagai contoh, kebijakan dari Departemen
Kehutanan yang menjadikan wilayah Arakan, Bunaken dan
sekitarnya sebagai Taman Nasional memberikan kontribusi yang
cukup besar ke pusat, namun masyarakat lokal masih belum
merasakan manfaat maksimal pengelolaan kawasan tersebut.
Meskipun sudah ada undang-undang otonomi daerah, namun
pengelolaan wilayah terkadang masih saja bersifat sentralistik.
Koordinasi juga penting dalam rangka menjalankan fungsi kontrol
dalam hal kesehatan dan pelanggaran hukum. Oleh karena itu
dalam menjalankan kebijakan pariwisata, berbagai lembaga di
pemerintahan perlu dilibatkan misalnya, Dinas Kesehatan,
Kepolisian, dsb. serta masyarakat. Sebagai contoh, peningkatan
angka pengidap HIV-AIDS di Sulawesi Utara perlu diwaspadai.

66 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Lebih jauh, praktek-praktek pelanggaran hukum yang sering


dikaitkan dengan pariwisata seperti masalah penggunaan narkoba
dan trafficking serta pelacuran juga penting diperhatikan.

Masalah Anggaran Pariwisata dan Sumberdaya Manusia


Dana APBD Sulawesi Utara tahun anggaran 2011 untuk
pariwisata sangat terbatas, hanya sekitar 2% dari total dana APBD
tahun ini yang dialokasikan untuk pengembangan sektor
kebudayaan dan pariwisata. Beberapa key informants dalam
diskusi kelompok setuju seluruh Kabupaten/Kota perlu membuat
anggaran dana pengembangan pariwisata yang nantinya akan
dipakai bagi upaya pembangunan pariwisata di masing-masing
kabupaten/kota sesuai prioritas dan kebutuhan. Oleh karena itu
perlu komitmen anggaran masing-masing SKPD untuk satu
pengembangan minimal satu destinasi setiap daerah setiap
tahunnya (lihat gambar 4.1). Belum adanya peraturan daerah
tentang Pariwisata dan Tata Ruangnya sehingga masih belum
teralokasikan anggaran pengembangan pariwisata.
Investasi bagi pengembangan infrastruktur pendukung
akses wisatawan ke daerah-daerah tujuan wisata oleh pemerintah
masih terbatas. Misalnya keberadaan fasilitas dermaga yang
dimiliki pulau Bunaken juga sudah tua berusia kurang lebih 15
tahun dan kurang terpelihara. Terminal pemberangkatan dan
kedatangan juga masih harus menempel di lahan reklamasi Kuala
Jengki, muara sungai Tondano dan di kawasan reklamasi
Megamas. Hal ini tidak seindah promosi pariwisata Bunaken
sebagai daerah tujuan wisata bahari kelas dunia.
Walaupun demikian, ternyata masih ada dana-dana
program pengentasan kemiskinan yang berasal dari pemerintah
pusat maupun dari perusahaan. Dana dari pemerintah pusat dalam
bentuk dana PNPM pedesaan dan perkotaan cukup membantu
memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Program-program
pemerintah seperti ini meskipun juga tidak secara langsung
67 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

dimaksudkan untuk mendukung pengembangan pariwisata akan


membantu pembenahan lingkungan. Dengan lingkungan yang
baik di daerah-daerah yang potensial dikembangkan sebagai
daerah tujuan wisata akan membantu meningkatkan kepuasan
para wisatawan yang datang ke wilayah tersebut. Dalam
penelitian ini, antara lain adalah dukungan dana PNPM untuk
pembangunan fasilitas air bersih di daerah Kimabajo. Disamping
dana pemerintah, saat ini pemerintah juga mengeluarkan aturan
agar perusahaan dapat menyisihkan 10% keuntungannya sebagai
dana CSR (Corporate Social Responsibility).
Secara umum ketersediaan sumberdaya manusia yang siap
menerima pariwisata dan pengetahuan masyarakat luas tentang
pariwisata sudah cukup tinggi. Rata-rata tingkat pendidikan
pekerja yang terlibat dalam kegiatan pariwisata hingga sekolah
menengah atas (SMA). Namun demikian kesadaran masyarakat
tentang pentingnya kepariwisataan ternyata masih rendah.
Sebagai contoh masyarakat seringkali tidak menyadari pentingnya
lingkungan sebagai daya dukung pariwisata. Hal ini nampak dari
masih banyaknya orang membuang sampah di sembarang tempat
meskipun sudah ada Perda Kota Manado tahun 2009 tentang
kebersihan kota Manado. Kesalahan juga terletak pada lemahnya
pengawasan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
terhadap pelaksanaan Perda itu sendiri dan sanksi yang kurang
tegas bagi mereka yang melanggar.

Lebih jauh tanpa dukungan dari pemerintah dalam bentuk


bimbingan-bimbingan usaha, maka sulit bagi masyarakat untuk
berinisiatif membuka usaha sendiri. Mereka seringkali merasa
kekurangan dana dan tidak cukup percaya diri membuka usaha
karena takut rugi. Meskipun dari hasil penelitian ini ada juga
cerita sukses seorang pengusaha lokal yang membangun usaha
penginapannya di Bunaken. Dari FGD dengan masyarakat lokal di
Bunaken terungkap cerita bahwa hanya Bapak Laurens Caroles
memutuskan untuk memulai usahanya sendiri. Meskipun banyak
68 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

dari para tetangganya menjual tanah mereka kepada para investor


resort, Bapak Laurens tidak mengikuti jejak mereka. Bapak
Laurens membuka kamar di pinggir sebuah resort dan bekerja
sama dengan resort tersebut dalam mengoperasikan usahanya.
Dari hasil sewa kamar-kamar tersebut, sebulan dia bisa menerima
penghasilan sebesar Rp. 400 juta. Dari sini nampak bahwa
sebenarnya diperlukan upaya-upaya dari pemerintah untuk
mendorong terbentuknya atmosfer usaha.
Tantangan lain pada pengembangan pariwisata di Sulut
adalah masalah etika moral dalam masyarakat. Masyarakat sering
mengkaitkan antara aktivitas seks dengan pariwisata. Dalam
sebuah training yang dilakukan Komisi AIDS ada kelompok
pebisnis mucikari yang menanyakan pada instruktur tentang
perlunya upaya penambahan “stock” untuk menyambut event
internasional WOC. Hal ini menjadi polemik di antara pihak-
pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu,
maka masalah kesehatan dan pariwisata juga perlu diatur dan
diwaspadai dalam rangka mengembangkan pariwisata daerah
Sulut.

Kendala dalam Sinkronisasi Kebijakan dan Implementasi


Mimpi menjadikan pariwisata Sulawesi Utara seperti Bali
atau Yogyakarta, bukan saja menjadi pemikiran dan visi kalangan
akademisi dan birokrat tapi juga menjadi impian hampir seluruh
masyarakat. Namun dalam pengembangannya pemerintah
berperan sebagai lokomotif pembangunan yang menarik yang
nantinya dapat melibatkan swasta. Hampir tidak mungkin
pengembangan pariwisata dimonopoli pemerintah karena
keterbatasan sumberdaya yang handal dan ketrampilan. Pihak
swasta biasanya lebih cekatan dan fleksibel ketika beraktivitas
dalam upaya pengembangan sektor pariwisata. Namun masalah
pengembangan pariwisata di daerah jauh lebih rumit. Faktor
budaya masyarakat yang hanya menunggu “suntikan dana” dari

69 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pemerintah menjadi masalah tersendiri. Perilaku seperti ini perlu


diubah menjadi masyarakat yang proaktif, cerdas dan kreatif
dalam mengembangkan daerahnya dan memajukan pariwisatanya.
Tanggung jawab pemerintah daerah adalah merancang program
dan kegiatan pembangunan dengan dukungan penuh masyarakat
sebagai stakeholder. Faktor struktur masih tetap menjadi ranah
dan kewenangan dari pemerintah daerah yang selalu memerlukan
pembenahan.
Sebagian besar birokrat mempunyai kesadaran yang tinggi
tentang pentingnya pariwisata di Sulawesi Utara. Hal ini karena
rata-rata pendidikan para birokrat adalah strata dua. Secara umum
mereka sadar tentang arah kebijakan pembangunan, mempunyai
antusiasme yang tinggi membangun daerah, dan rasa ingin
bersaing dengan wilayah lain di Indonesia. Pemahaman tentang
pentingnya pariwisata semakin kuat di kalangan birokrat karena
gubernur sendiri yang mempromosikan Sulawesi Utara sebagai
destinasi pariwisata di masa depan. Namun demikian ada gejala
kebijakan yang tidak berjalan atau “non policy enforcement”.
Sering terjadi kebijakan dalam aras provinsi tidak sinkron dengan
kebijakan pada aras kabupaten/kota. Sebagai dampak dari
penerapan otonomi daerah, banyak pemerintah kabupaten/kota
merasa tidak membutuhkan pemerintah provinsi. Hal ini
mungkin karena dana pengembangan pariwisata berada di daerah
dan bukan provinsi. Oleh karena itu provinsi bisa merancang tapi
tidak dapat berbuat banyak karena keterbatasan dana. Pemerintah
provinsi hanya bisa menawarkan program pengembangan tapi
tidak mempunyai kekuatan memaksa pemerintah kabupaten/kota
menjalankannya.

Seandainya sinkronisasi dan sinergitas bisa berjalan antara


pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka
program pengembangan pariwisata akan berjalan mulus dan lebih
efisien karena pemerintah pada aras provinsi menjadi koordinator
pengembangan pariwisata beberapa daerah kabupaten dan kota.
70 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Semua daerah perlu bekerja sama mengesampingkan kepentingan


mereka masing-masing dan fokus pada upaya mewujudkan visi
pengembangan kepariwisataan Sulawesi Utara secara menyeluruh
agar mampu berkiprah di tingkat nasional dan internasional.

Kebijakan Infrastruktur
Pengembangan kepariwisataan di Sulawesi Utara tidak
mungkin berhasil tanpa dukungan pembangunan infrastruktur
yaitu akses jalan ke obyek wisata. Masih banyaknya obyek wisata
yang sulit dijangkau karena keterbatasan jalan. Hal ini menjadi
keluhan para wisatawan, karena mereka harus menempuh waktu
yang lebih lama dalam kondisi jalan yang rusak.Salah satu masalah
lain adalah beberapa lokasi obyek wisata berada di Kabupaten
yang fasilitas jalannya kurang baik. Contohnya di Kabupaten
Minahasa yang letaknya bersebelahan dengan Kota Manado yang
mempunyai lebih dari empat air terjun, bahkan dua diantaranya
berada pada sungai Maruasey yang sering digunakan untuk lomba
penelusuran sungai dengan perahu karet, namun akses ke lokasi
tidak mudah. Oleh karena itu, tanpa tuntunan akan sulit bagi
wisatawan untuk sampai ke lokasi. Fasilitas jalan misalnya dan
pembangunan fisik obyek wisata menjadi masalah karena alokasi
dana APBN untuk pembangunan infrastruktur baik oleh provinsi
maupun kabupaten/kota masih sedikit.
Selain masalah aksesibilitas, maka sarana angkutan dan
transportasi yang ada belum memenuhi standar seperti yang
diharapkan para wisatawan. Fasilitas pelabuhan laut masih
sederhana sehingga belum bisa mengakomodir kapal-kapal pesiar
yang besar padahal ada beberapa obyek wisata berada di beberapa
pulau kecil disekitar Bunaken, misalnya di Selat Lembeh, dan Siau
(pulau Makalehi). Selain itu, ketersediaan air bersih di lokasi
obyek wisata juga menjadi masalah. Di beberapa daerah seperti di
pulau Bunaken, Siladen dan Bangka air bersih masih menjadi
barang mewah.

71 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Memang ada beberapa daerah yang mengalami masalah air


pada musim kemarau namun ada juga daerah mempunyai air
melimpah tapi belum dibangun prasarana penampungan air.
Misalnya di lokasi obyek wisata Tangkoko dan Bukit Kasih.
Masalah lain adalah pemeliharaan obyek wisata di daerah. Banyak
obyek wisata yang akhirnya tidak terurus karena tidak ada dana
pemeliharaan. Misalnya fasilitas di Taman Laut Bunaken, Wale
Papateupan di Remboken pinggir danau Tondano, ataupun air
terjun Kali di Pineleng. Selain itu ada juga masyarakat sekitar
obyek wisata yang tanpa sengaja ikut mencemari lingkungan
sekitar obyek wisata. Masih ada kebiasaan masyarakat membuang
sampah rumah tangga sembarangan yang mengotori obyek wisata.
Hal ini karena kesadaran dan rasa memiliki masyarakat di sekitar
obyek wisata masih rendah. Khusus tentang masalah sampah
sudah ada ide melibatkan swasta dalam pengelolaan sampah di
beberapa kota namun hingga sekarang ide ini belum terwujud.
Barangkali pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan LSM
melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya
kebersihan bagi pengembangan pariwisata di daerah mereka
masing-masing.
Dalam upaya memperbaiki berbagai masalah di atas semua
elemen pembuat kebijakan, baik pada aras provinsi maupun pada
aras kabupaten/kota perlu mengikis arah kecenderungan orientasi
pengembangan yang terjadi secara parsial (sepotong-sepotong).
Konflik kepentingan di antara masing-masing wilayah juga perlu
dihindari untuk mewujudkan pembangunan infrastuktur yang
baik, memenuhi standar sekaligus memenuhi harapan konsumen
dan wisatawan. Konflik kepentingan ini sering terjadi dalam
penataan ruang di perbatasan kabupaten/kota misalnya antara
Manado dan Minahasa. Kabupaten Minahasa ingin melanjutkan
reklamasi pantai seperti Manado, tetapi tidak menyadari bahwa
wilayahnya perlu tetap dilestarikan,atau konflik kepentingan
antara provinsi dengan kota Manado dalam pengelolaan Bunaken

72 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

atau dalam pengelolaan pembuangan air kotor kota. Demikian


juga ketidakserasian dalam penganggaran, sehingga berakibat
mulainya suatu program tidak komplementer dengan program
lainnya baik dari sisi tata ruang maupun dari segi volume dan
waktu pelaksanaan.

Kebijakan Perijinan
Salah satu hal yang penting di dalam pengembangan
kepariwisataan adalah penciptaan iklim investasi yang ramah
kepada para pengusaha. Sering obyek wisata tidak berkembang
karena hambatan kelembagaan yang diciptakan pemerintah
daerah baik sengaja maupun tanpa sengaja. Kebijakan perijinan
adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan secara serius.
Memang untuk mendirikan sebuah usaha di sektor pariwisata
pemerintah menetapkan beberapa ijin yang harus dipenuhi
pengusaha. Misalnya, untuk mengurus ijin mendirikan sebuah
hotel, pengusaha paling tidak harus mengurus lima ijin. Jenis ijin
yang harus didapat adalah ijin Lokasi dari kantor dinas Tata
Ruang, Ijin Mendirikan bangunan dari Dinas Tata Kota, Analisa
mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari kantor Badan
Pengelola Lingkungan, Ijin Usaha dari dinas Perdagangan dan
Industri, serta Ijin Berusaha dari Dinas Perdagangan dan Industri,
dan Ijin Tempat Usaha dari Dinas Pariwisata. Jika melihat mata
rantai ijin yang cukup panjang maka sudah dipastikan akan
memakan waktu dan biaya. Melihat hal itu sudah ada beberapa
pemerintah daerah telah melakukan perbaikan pelayanan dengan
ijin satu atap. Hal ini sudah di lakukan di Provinsi Sulut.
Namun sejalan dengan tumbuh kembangnya investasi di
industry pariwisata, muncul masalah lain terkait kelestarian
lingkungan hidup. Pemerintah Kota Manado mengusung konsep
Kota Model Ekowisata diharapkan dapat menjadi acuan sekaligus
peluang bagi pengembangan kepariwisataan yang berbasis kepada
lingkungan (ecotourism). Pemerintah kota Manado menggagas

73 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

konsep ekowisata setelah melihat kecenderungan perubahan


permintaan produk wisata dari pariwisata massal menuju
pariwisata minat khusus (mass tourism to special interest tourism).
Perubahan ini merupakan kesempatan baik bagi pengembangan
pariwisata berwawasan lingkungan atau ekowisata/ecotourism
dimana pembangunan kepariwisataan tidak boleh mengabaikan
prinsip-prinsip kelestarian alam. Perijinan yang diberikan
pemerintah seharusnya tetap memperhatikan prinsip-prinsip
kelestarian alam.
Dengan demikian kita semua berharap investasi di sektor
pariwisata selain dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan
perekonomian masyarakat lokal, harus tetap memperhatikan
aspek lingkungan dan menjaga kelestariannya. Polemik dalam
pemberian ijin sehubungan dengan pembangunan sarana dan
usaha jasa pariwisata masih menjadi hal yang harus disikapi
dengan serius oleh semua pihak. Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) bukan merupakan ijin bagi suatu kegiatan
atau industri melainkan suatu kajian ilmiah mengenai dampak
suatu kegiatan industri bagi lingkungan hidup. AMDAL sendiri
menjadi rekomendasi penting bagi pemerintah sebagai pengambil
kebijakan dalam pemberian ijin suatu usaha pariwisata. Disamping
AMDAL, pemberian ijin bangunan dan ijin tempat usaha juga
harus mempertimbangkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan.
Secara formal AMDAL memang menjadi kewajiban membuka
usaha namun dalam praktek sering analisis AMDAL dibuat asal-
asalan dan baru menjadi masalah di kemudian hari.Misalnya ijin
dari pemda Kabupaten Minahasa terhadap reklamasi di pantai
Malalayang yang berlokasi pada tempat penyelenggaraan
penyelaman massal yang telah memecahkan rekor MURI pada
waktu pelaksanaan Sail Bunaken, sehingga kebijakan ini juga
bersifat kontra produktif dengan promosi upaya pelestarian
lingkungan yang telah dilakukan.

74 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Kebijakan Pelibatan Masyarakat dan Swasta dalam


Ekowisata
Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu konsep
pembangunan yang diarahkan pada kontinuitas dan upaya
menumbuhkan kemandirian. Salah satu tujuan pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable development) adalah prinsip
berkelanjutan antara pembangunan secara sosial, ekonomi, dan
lingkungan ekologis. Oleh karena itu dalam hubungannya dengan
upaya pelestarian lingkungan, isu pembangunan yang berorientasi
pada masyarakat setempat (community based development) mulai
di ekspose dan digalakkan menjadi salah satu isu kritis
pembangunan berkelanjutan dimana pelestarian lingkungan
menjadi penting. Dalam kaitan dengan pengembangan pariwisata
lingkungan menjadi salah satu aspek yang mendapat perhatian.
Lingkungan yang terpelihara merangsang minat wisatawan
berkunjung ke Sulawesi Utara. Pemerintah daerah telah
menerapkan program pembangunan yang berkelanjutan. Misalnya
Program Pembangunan Wilayah Pesisir yang dikelola Dinas
Perikanan Provinsi, serta pembangunan talud penahan ombak di
beberapa lokasi pulau termasuk pantai Malalayang yang sekarang
ini dibangun oleh Balai Wilayah Sungai Sulawesi Utara agar
sebelum digunakan masyarakat untuk berekreasi di hari libur
memerlukan penataan dari Pemerintah Kota Manado. Penataan
perlu agar kegiatan rekreasi tetap berjalan, tetapi pemandangan ke
arah laut tidak tertutup kios-kios yang dapat dimanfaatkan
menjadi tempat usaha yang tertata, sehingga tidak memacetkan
lalu lintas, disamping fungsinya sebagai talud pemecah ombak.

Walaupun demikian aktivitas pariwisata berpotensi


merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dari
akibat aktivitas industri pariwisata telah mengundang perhatian
dan memicu reaksi keras berbagai pihak baik dalam dan luar
negeri khususnya dari para pencinta lingkungan. Menjawab
seruan tersebut perlu ada kerjasama pemerintah, stakeholder dan

75 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

masyarakat yang menjadi sebagai basis pelaksanaan pembangunan.


Pemberdayaan masyarakat setempat menjaga dan menciptakan
iklim pariwisata yang ramah lingkungan dilakukan pemerintah
melalui pembinaan, sosialisasi, pelatihan/training dan sebagainya.
Contohnya, pembinaan pemanfaatan pantai yang mempunyai
tumbuhan mangrove oleh Dinas Kehutanan dan Balai Taman
Nasional, kemudian pelatihan pemanfaatan sirip ikan sebagai
barang souvenir oleh Dinas Perikanan bekerjasama dengan LSM
setempat, ataupun pembangunan infrastruktur pedesaan yang
letaknya di kawasan pesisir melalui PNPM (Program Nasional
Penanggulangan Kemiskinan) di pedesaan dan perkotaan yang
juga selalu telah melibatkan konsultan dan masyarakat setempat.
Pengembangan pariwisata berbasis lingkungan membutuhkan
dana yang cukup besar karena didalamnya juga termasuk biaya
rehabilitasi terhadap lingkungan yang sudah terlanjur rusak atau
tercemar.
Dalam kasus Sulawesi Utara, pemerintah menyediakan
dana sebesar Rp 10 milyar untuk program pelestarian lingkungan
diberbagai lokasi seperti dalam mengukur tingkat pencemaran air
Sungai Tondano yang melewati beberapa kota sebelum bermuara
di laut atau pembangunan TPA (Tempat Pembuangan Akhir)
modern di beberapa kota, serta pengelolaan air buangan di kota
Manado. Pelibatan dunia swasta dalam kegiatan usaha pariwisata
ditunjang oleh kemudahan bagi mereka menguasai tanah untuk
usaha. Kepemilikan tanah untuk kegiatan pariwisata secara ideal
memperhatikan konsep zonasi untuk menjaga kelestarian alam.
Tidak semua lahan dapat dijadikan area industri/bisnis karena
berpotensi untuk merusak keseimbangan ekosistem setempat.
Dalam hal ini, pemberian ijin untuk memiliki tanah bagi kegiatan
industri pariwisata harus melalui kajian yang matang dari berbagai
aspek dan dampak yang akan ditimbulkannya tidak hanya bagi
lingkungan alam melainkan sosial budaya setempat. Pemerintah
telah menetapkan wilayah kawasan reklamasi dan sekitarnya

76 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

sebagai zona usaha. Pada umumnya tanah-tanah tersebut terletak


di daerah yang cepat berkembang seperti di pinggir jalan protokol
ataupun di kompleks reklamasi, harus diolah pembuangan air
kotornya sehingga tidak berpotensi merusak lingkungan.
Kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah di atas
adalah dalam rangka usaha preservasi dan konservasi terhadap
lingkungan. Strategi pokok program pembangunan pariwisata
berwawasan lingkungan dilakukan pemerintah untuk memenuhi
tuntutan internasional yaitu penerapan global code of ethic for
tourism yang antara lain menekankan pada prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan di dalam pengelolaan dan
pengembangan sumber daya alam dan budaya (General Assembly
of the WTO, 1999)). Dalam hal ini pengembangan kepariwisataan
perlu diarahkan dalam konsep manajemen sumber daya budaya
yang tepat, untuk menjaga adanya upaya keseimbangan antara
pengembangan pariwisata dan pelestarian lingkungan sehingga
dapat berkembang dan memberi manfaat yang bersifat jangka
panjang. Faktor yang juga tidak kalah pentingnya adalah
pemberdayaan tenaga kerja lokal dalam investasi swasta di sektor
pariwisata.Walaupun dari tahun ke tahun pengangguran semakin
meningkat tapi tidak semua bisa terserap dalam sektor pariwisata
karena ketrampilan yang dibutuhkan berbeda. Pada umumnya
tenaga kerja lokal tamatan sekolah menengah umum dan sedikit
yang tamat dari sekolah pariwisata. Hingga saat ini hanya ada
empat sekolah tinggi pariwisata di Sulawesi Utara yang tidak
mampu memenuhi permintaan hotel dan dunia pariwisata yang
tumbuh begitu cepat. Sampai saat ini pemerintah belum
melakukan pelatihan, dan kursus, sehingga tidak bisa mewajibkan
perusahaan merekrut tenaga kerja lokal. Perusahan masih
merekrut tenaga dari luar untuk ketrampilan khusus yang tidak
bisa disediakan pasar tenaga kerja lokal.

Dalam menjawab tantangan terhadap peningkatan kualitas


sumber daya manusia bidang kebudayaan dan pariwisata di
77 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Sulawesi Utara, penguatan daya saing (competitiveness) adalah


kunci keberhasilan yang harus diwujudkan dan menjadi dasar
pijakan. Menurut data statistik, angka pengangguran sampai bulan
Februari 2011 mencapai 98.232 orang dengan prosentase sebesar
9,19%. Sementara itu, data penduduk menurut lapangan pekerjaan
utama di sektor jasa tahun 2011 mencapai angka 182.111.
Berdasarkan pada gambaran tersebut, maka diperlukan strategi
dan kebijakan pembangunan yang bersifat taktis dan agresif untuk
lebih mampu mendorong percepatan dan upaya peningkatan
produktivitas dan daya saing tenaga kerja lokal Sulawesi Utara
karena daerah ini memiliki potensi yang sangat besar untuk
pengembangan di masa mendatang. Adapun sebagai bagian dari
upaya peningkatan peran dan kapasitas masyarakat lokal serta
peningkatan perekonomian masyarakat dari sektor pariwisata
dipandang perlunya kebijakan membeli dan menjual produk-
produk lokal di kawasan wisata. Sebagai contoh desa Kinilow di
Kota Tomohon yang menjual berbagai macam souvenir/kerajinan
tangan masyarakat setempat, desa Pulutan Kabupaten Minahasa
yang terkenal sebagai sentra kerajinan keramik, kawasan wisata
kuliner tradisional khas Manado di sepanjang jalan Wakeke,
produk kacang goyang dan kopi dari kabupaten Bolaang
Mongondow, dan sebagainya.
Pengembangan strategi promosi dan pemasaran juga harus
terus dilakukan mengingat Sulawesi Utara masih kurang dalam
hal packaging atau mengemas suatu objek dan daya tarik wisata
ataupun suatu produk dari usaha jasa pariwisata menjadi sesuatu
yang menarik dan bernilai jual kepada wisatawan. Disamping
packaging perlu juga pencitraan budaya daerah melalui legenda,
cerita rakyat, hikayat kuno dan sebagainya untuk dipresentasikan/
disampaikan secara lisan dan tertulis di destinasi. Selama ini yang
ada hanyalah penyampaian langsung dari pemandu wisata/guide,
dan masih sangat kurang cerita atau legenda dibuat atau dipasang
di objek wisata sebagai bahan informasi yang dapat dibaca oleh

78 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

wisatawan. Contoh strategi marketing lainnya misalnya


wisatawan yang mengunjungi Gunung Mahawu di Tomohon
diharuskan memakai kain khas daerah setempat di pinggang
(payus) sebelum naik ke Gunung Mahawu untuk menghindari
dari hal-hal yang tidak diinginkan (legenda setempat). Bentuk
kreasi lain juga dapat diciptakan apabila wisatawan mengunjungi
Kabupaten Minahasa harus mengunjungi suatu tempat dimana di
tempat tersebut wisatawan mengenakan baju adat Minahasa dan
mengabadikan moment tersebut dalam sebuah foto. Foto tersebut
dicetak dengan bingkai dan diberikan kepada wisatawan dan
tentunya ada charge tertentu untuk hal seperti itu. Apabila
pengemasan daya tarik wisata dilakukan dengan menarik, dapat
dipastikan wisatawan tidak akan keberatan untuk mengeluarkan
uang dan bahkan merasa puas dan terkesan dengan pengalaman
yang diperolehnya.
Trend pariwisata saat ini dimana wisatawan tidak lagi
ingin berkunjung tempat-tempat keramaian atau gedung-gedung
bertingkat melainkan ingin menyaksikan kehidupan masyarakat
setempat seperti ingin merasakan pengalaman bertani, memetik
buah atau panen, memasak kue tradisional, belajar tarian
Maengket atau Kabasaran dan sebagainya merupakan peluang bagi
pengembangan paket-paket wisata seperti : “A week stay with
Minahasan people”, “Tour memetik Kelapa”, “Experiencing
Cooking Nasi Jaha with Us” dan sebagainya yang dapat
ditawarkan kepada wisatawan. Hal-hal seperti itulah yang dapat
menarik minat wisatawan untuk datang dan berkunjung ke
Sulawesi Utara. Pengemasan dan pemasaran produk-produk lokal
menjadi produk yang menarik dan siap dijual di tingkat daerah,
nasional bahkan untuk diekspor ke luar negeri perlu terus
dikembangkan dengan inovasi dan kreativitas yang disesuaikan
dengan tuntutan pasar tanpa meninggalkan keaslian produk lokal
Sulawesi Utara. Kawasan-kawasan wisata perlu menyediakan
souvenir centre yang menjual aneka produk-produk lokal dengan

79 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

harga terjangkau dan bersaing. Pengawasan terhadap pelaksanaan


kebijakan ini dilaksanakan oleh intansi yang berwenang seperti
Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan dapat bekerjasama
dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Dalam menjawab tantangan globalisasi, pengembangan
strategi promosi dan pemasaran pariwisata juga perlu terus meng-
upgrade diri dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT). Meminjam istilah seorang praktisi dan
pemerhati pariwisata sekaligus IT Konsultan bapak Jono Lesmana
dalam International Training on Ecotourism for Pacific Islands
Countries 2011 di Jogjakarta, bahwa pemanfaatan ICT dapat
memberikan benefit pada Low Cost Marketing /pemasaran dengan
biaya rendah, promosi/iklan, kesempatan yang sama diberi bagi
stakeholder/equal opportunity to stakeholders, kompetisi sehat/
good competition, pasar yang lebih luas/wider market to reach,
mudah dicapai atau diakses oleh pasar/easy to reach by market,
dan peningkatan kesadaran terhadap teknologi/ technology
awareness.
Akhirnya, dengan hasil identifikasi berbagai permasalahan
dalam kepariwisataan maka diharapkan semua pihak dapat segera
mengambil langkah tegas terhadap peluang untuk pengembangan
pariwisata bagi Sulawesi Utara terbuka luas. Pergeseran peran
pemerintah dan peran penggagas sampai pelaksana program
menjadi fasilitator dan mediator proses pembangunan menjadi
titik tolak bagi pembagian peran yang seimbang dan proporsional
antar semua stakeholder dalam mencapai proses pembangunan
kepariwisataan di Sulawesi Utara. Diharapkan dengan adanya
optimalisasi peranan antar semua stakeholder terkait, sehingga
perlahan namun pasti permasalahan dalam dunia pariwisata dapat
teratasi. Banyaknya unsur-unsur pendukung dengan adanya teori-
teori pariwisata seperti “pemberdayaan masyarakat lokal” atau
community based tourism, pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan atau sustainable development, dan pengentasan
80 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

kemiskinan melalui pariwisata, ecotourism, sampai pada teori


birokrasi sosial rasional Max Weber yang mempercayai birokrasi
dapat bergerak sendiri, karena didukung oleh sifat dan ciri khas
masyarakat Sulawesi Utara yang terbuka terhadap perkembangan,
memiliki keunggulan keindahan alam terutama alam bawah laut,
tingkat pendidikan di atas rata-rata, posisi pada urutan kedua IPM
(Indeks Pembangunan Manusia) Nasional sesudah Jakarta, Non
Korup Provinsi (Wajar Tanpa Pengecualian), Provinsi Terbaik
dalam “Good Governance”, dipimpin oleh seorang Gubernur yang
memiliki kualitas, berpengalaman dengan sederetan penghargaan
nasional dan internasional adalah modal dalam pelaksanaan
pembangunan pariwisata ke depan. Satu hal perlu ditekankan
adalah budaya pariwisata yang harus ditumbuhkan dari
lingkungan paling rendah sampai pada tingkat birokrasi untuk
mencapai visi pembangunan pariwisata yang dicita-citakan
bersama.

81 
 
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Gambar 4.1
Kampung Bunaken

Gambar 4.2
Keanekaragaman hayati Bunaken

82 
 

Вам также может понравиться