Вы находитесь на странице: 1из 4

Wisma Syuradikara, 29 Agustus 2018

RAHIM
(Sebuah Teater Monolog)
Oleh: Eto Kwuta
OPENING

(Di stage, disiapkan lenterna atau lampu kuning, digantung di satu tiang, belum
dinyalakan, gelap, seperti awal mula bumi dijadikan. Ada tempat tidur, kasur, dan bantal
disiapkan, selimut, sebuah meja dan kursi, cerek berisi kopi dan gelas, ditambah 2
bungkus lilin, dan korek api. Instrumen musik kampung mulai berbunyi dan tangisan
bayi, serigala, dan bunyi burung-burung malam).

(Resty dirias seperti sosok ibu yang tua, tapi cantik, lalu Resty masuk sambil
mengikuti hentakan musik, lalu duduk pada kursi yang disiapkan. Kemudian, Resty
menyalakan lampu lenterna atau bola lampu kuning yang disiapkan, kemudian diam
sejenak, menuju tempat tidur, berbaring, sedikit mengeluh dan merintih kesakitan, lalu
berdiri tertatih, melihat-lihat ke penonton yang ada).

MONOLOG

Ini malam saya hanya ditemani sepi. Heeee, kamu tahu apa itu sepi? (diam sejenak)
Sepi itu sakit, penuh rasa sakit, setelah sekian lama saya menunggu (agak gelisah dan
cemas). Saya menunggu anak-anak saya datang melawat sepiku. Setiap kalinya rumah
saya menetaskan telur di sini, wajah-wajah kamu berseri-seri. Lalu, saya lihat kamu pergi
dan pulang, jalan dan berlari, sampai di rumah lalu singgah sebentar saja, duduk sedikit,
bangun lagi, lalu melangkah pergi sejauh mimpi Anda membawa kepala, mata, dan
hatimu pergi. Ah, saya kesepian, ‘nak! (sedang) Saya kesepian, ‘nak! (sedikit kuat) Saya
benar-benar kesepian (lebih kuat dan suara agak susah)!

Hari yang berlari, bulan yang kemari, tahun yang gugur, saya menunggu kamu
datang membawa kenang-kenangan. Di sini, ada banyak kunang-kunang dan ada banyak
kenang-kenangan. Kunang-kunang itu terbang sambil bercahaya kerlap-kerlip, lalu mati
di dalam detik jam di dinding, dan kenang-kenangan itu tinggal sambil mekar selalu di
taman hatimu.

Bayangkan.....bayangkanlah....(pelan), ketika pertama kali rumah saya masih


muda, berumur satu tahun, dua tahun, tiga tahu, empat tahun, lalu bertahun-tahun
lamanya, sampai kutenun tahun ini, heiiiiii, anak! Saya benar-benar mengeram kamu
sambil berdoa: “Semoga anak-anak saya menjadi pahlawan! Semoga anak-anak saya
menjadi pahlawan utama!” Apakah doa saya dijawab???

Saya! Saya! Saya, telah melewati musim demi musim yang payah, cuaca yang pecah
di setiap detik dan detak jantungku, saya masih sangat kuat! Ketika badai mendidih
secangkir rindu, aku minum kopi, sambil menyulam kasih sayang dalam doa.

Pergilah ke mana kamu kuutus, anak-anakku! Tapi, jangan lupa pulang membawa
kunang-kunang dan kenang-kenangan. Datanglah, hibur ibu pakai lagu, hibur ibu pakai
senyummu, hibur ibu pakai keringatmu, hibur ibu pakai bajumu, hibur ibu pakai
celanamu, hibur ibu pakai rokmu, hibur ibu pakai lipstikmu, hibur ibu pakai jubahmu
Wisma Syuradikara, 29 Agustus 2018

yang megah seputih kapas di taman surgawi, hiburlah ibu pakai puisi, ‘nak! Adakah telah
kamu berikan buat saya, hai, anak-anakku? Apa yang kamu berikan??? (Diam sejenak,
melotot ke arah penonton, mendesah, lalu menangis) Terlalu banyak. Tapi......, belum apa-
apa!

Lihat perut ibu, (tunjuk pada perut!) gendut terus sepanjang lorong-lorong waktu!
Ibu terus dihamili dengan sabda-sabda tua, ilmu-ilmu sejarah dan matematika yang susah
tapi cantik, ilmu sosiologi yang cinta kenyataan, dan pelajaran-pelajaran dari guru-guru
yang pernah terukir di dalam kepalaku, aduhhhhhhhh!!!!

Selama hayat masih dikandung badan, ibu tak mau hanya menciptakan dongeng
dan mitos di rumah ini. Dari dulu sampai sekarang, ibu mengeram luka, duka, cuka, dan
dengan hati terbuka juga pintu yang selalu membuka dirinya: ya......, supaya kamu jadi
orang! (sekali lagi dengan suara tegas) supaya kamu jadi orang!!!!

Dengar, ibu mau menyanyi. Sedikit saja, biar hatimu tak galau, ya? Kasih ibu,
kepada kamu, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagaikan
sang Surya menyinari dunia.... (nyanyi 2 kali, pada ali kedua, sebut kasih ayah.

Itu lagu tua, nak (tertawaaaaaaa sedikit panjang dan natural)! Heee, saya ibumu
serentak ayah...., dan lagu tadi dariku buat kamu! Jika kamu merasa galau, menangislah!
Karena saya selalu menangis sepanjang hari, di setiap malam yang sepi, sambil kuperam
RAHIM-ku untuk membetulkan tangan, kaki, kepala, mata, otak, hati, dan seluruh
tubuhmu jadi manusia. Dan sekarang, kamu benar-benar menjadi MANUSIA.

Dan, betapa aku tersentak kaget melihatmu telah membetulkan lagi tubuhmu, dan
tinggal dalam kenang-kenangan sambil terbang membawa cahaya kerlap-kerlip ke
penjuru dunia. Ada yang pergi dahulu, lalu ada yang masih tinggal dalam kenang-
kenangan ibu.

Wah, sekarang kamu datang! Kamu datang! Kamu datang melihat...., aaaa...ku, Aku,
saya, aku, saya, aku, saya, saya, KAMI, KAMI SEBAGAI RUMAHMU. RUMAH-RAHIM yang
tidak menciptakan dongeng tua, tapi kenangan-kenangan yang tidak mandul di dalam
hidupmu! Aku RAHIM yang tidak mandul! Hahahahahah, aku ibumu (Tertawa sambil
menangis bahagia...)!

Betapa aku telah melahirkan engkau dan mengutusmu pergi seperti anak domba
ke tengah serigala? Beginikah yang namanya ibu dan ayah? Mengutus engkau pergi
seperti anak domba ke tengah serigala?? (Diam sejenak, jeda sedikit).

Dengar jeritan hantu, bunyi gesekan kayu di tengah hutan nenek moyangmu, dan
seruling pecah di bibir malam ini, betepa serigala selalu menangisi kesepian ibu. Sepi ibu
ini tak punya obat penyembuh apa-apa. Sepi ibu ini adalah doa yang keluar dari sunyi
yang paling dalam. Doa yang menetas untuk PERMATA yang terus bersinar di bawah kaki
gunung meja.

PERMATA......... ibu tak pernah lupa! (Resty bangun ambil lilin dan menyalakan lilin
di tempat yang sudah disiapkan). Kamu semua adalah PERMATA kepunyaan ibu. Kamu
Wisma Syuradikara, 29 Agustus 2018

telah bersinar selalu di ujung-ujung pulau, ke tubir langit Nusantara, menembus buana,
melanglang laut yang bergelombang duka berujung suka.......

Anak-anakku, ibu masih di sini. Ibu memeluk RAHIM yang tak berbatas ruang dan
waktu. RAHIM yang suburrrrrr, RAHIM YANG menyemburkan selaksa peristiwa hidup
dan mati, RAHIM yang jatuh dan bangun, datang dan pergi, ingat dan lupa, cinta dan benci,
benar dan salah, miskin dan kaya, suka dan duka, panas dan hujan, tangis dan tawa,
semuanya jadi pelangi paling indah di mata ibu.

Ahhhhk, RAHIM ini masih subur, anak-anakku! Akan tetap subur dan tak akan
pernah terkubur oleh musim-musim yang sedang patah. Maka, jangan kamu lupa
permata ibu yang telah hilang!!! (Tunjuk ke arah penonton) Jangan lupa!!! Jangan pernah
lupa anak-anak!!! Jangan!!!! Jangan lupa!!! (berbicara sedih sambil air mata).

(Resty merebah ke bawah, duduk di tengah lilin yang bernyala. Sambil berdoa dalam
sunyi, mengekspresikan rindu, susah, sedih, senang, tangis, benci, sakit, dll.)

PERRRRRR-MATAAAAAA, ibu punya PERMATA. Tak ada mata-mata, tapi perrrr-


mataaa, PERMATA, MATA, MATA, MATA RAHIM yang hidup, lalu mati, dan tinggal dalam
kepala dan hati ibu. Ibu ingin kamu jangan hanya bermain mata di rumah ini, tapi menjadi
PER-MATA yang bersinar dan bercahaya di malam gelap.

Supaya RAHIM ibu tetap SUBUR. Hahahhahahaheeee,,,,, hahahahhahhaha..., usia


ibu hampir seabad, tetapi ibu masih muda (Tertawa lagi, tetapi ada nuanasa galau di
wajah). Kamu, kamu anak-anakku dilarang tertawa, cukup ibu saja, ya??? Cukup ibu saja,
ya?? (Tertawa lagi.., lalu diam sejenak sambil jalan-jalan, lalu menatap ke arah penonton).

Oh ya, ibu memang bahagia, karena ulang tahun, ulang tanggal, ulang bulan, dan
ulang hari........., mungkin juga ulang jam...., ibu masih merasa galau. Detik dan detak-detak
jantung ibu berdebar, RAHIM ibu terbuka lagi, Sakit ibu menganga kembali, dan RINDU
ibu telah menjadi sakramen dalam segenap jiwa ragamu.

65 TAHUN. USIA IBU 65 TAHUN, ADUHHHHHHHHHH!!!! SUDAH SEMAKIN TUA...,


RENTA, TAPI RAHIM IBU TETAP SUBUR. INGAT! RAHIM IBU TETAP SUBUR. SUBURNYA
ADA DALAM NADIMU, MENGALIR DALAM DARAHMU.

OH, KAMULAH PERMATA! PERMATA YANG MASIH HIDUP DAN BERBUAH


BANYAK! TETAPI, ADA YANG TELAH PERGI DIKUNYA BADAI ZAMAN DAN DITELAN
WAKTU, TETAPI MASIH ABADI DI RANJANG SUNYI DAN SEPINYA IBU.

IBU INGIN BERNYANYI. MENYELAMI LAGU DAN DOA, MENYALAKAN KERLAP-


KERLIP LILIN DALAM BARA API CINTA DAN RINDU YANG TAK PERNAH HABIS. IBU
SAYANG KAMU SEMUA. RAHIM INI MASIH SUBUR, ANAK-ANAKKU! AKAN TETAP
SUBURRRR!!! JANGAN PERNAH LUPA! PERGI KE UJUNG DUNIA, BERLARI KE BATASNYA,
JANGAN PERNAH LUPA, RAHIMKU INI TAK PERNAH MEMINTA BALAS JASA.

IBU MAU, KITA MENYALAKAN LILIN-LILIN KITA SAMBIL BERSYUKUR DAN


BERDOA, SUPAYA JANGAN ADA KATA-MASING-MASING, JANGAN ADA KATA SEPARUH,
JANGAN ADA SETENGAH SAJA, KARENA IBU SELALU MENCINTAIMU SETENGAH MATI,
Wisma Syuradikara, 29 Agustus 2018

SETENGAH MATI MENCINTAIMU SAMPAI RAHIM IBU TERKOYAK-KOYAK, TETAPI TAK


AKAN ADA RASA TAKUT. DI SINI, TAK ADA DONGENG YANG KAMU DAPATKAN, TETAPI
MUTIARA-MUTIARA CINTA, YANG LAHIR DARI RAHIM IBU YANG SELALU
MEMANGGILMU UNTUK PULANG. PULANG KE RUMAH. PULANG KE RAHIM.

RAHIM......, RAHIM....., RAHIM IBU......

CLOSSING

(Lagu Ave Maria diputar perlahan, lalu Resty kembali berjalan mengambil lagi lilin,
lalu menyalakan satu demi satu pada tempat yang sudah disiapkan, kemudian turun ke
depan para penonton SAMBL MENATAP MEREKA DAN BERBISIK kata “RAHIM” dan
“PERMATA”, sambil berjalan di tengah mereka dengan lilin menyala, sambil menangis
natural. Pada saat ini, lagu PERMATA CINTA diputar, sambil Resty ikut menyanyi atau
membuat lippsing, sampai lagu selesai, dan berakhirlah monolog ini).

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

Вам также может понравиться