Вы находитесь на странице: 1из 26

MINI CLINICAL EXAMINATION

“Para 0 Abortus 1 Usia 41 Tahun dengan CA Endometrium dan Anemia


sedang”

Oleh:
Jehan Arinda P G4A016123
Ong Reaya Sany G4A015144

Pembimbing : dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp. An-KAO

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN
MINI CLINICAL EXAMINATION

“Para 1 Abortus 0 Umur 41 Tahun dengan CA Endometrium”

Disusun oleh:
Jehan Arinda Pridiabdhy G4A016123
Ong Rea Sany G4A015144

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui,
Pada tanggal, Februari 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp.An-KAO


NIP 19791110 201212 1 004

2
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas
1. Nama : Ny. Heni Endarliyana
2. Umur : 41 tahun
3. Tanggal Lahir : 27 Desember 1976
4. Alamat : Laren 04/04 Bumiayu
5. Diagnosis : P0A1 usia 41 tahun dengan CA Endometrium dan
Anemia Ringan
6. Pro : TAH + SOU
7. DPJP Anestesi : dr. Tendi Novara, MSi. Med, Sp.An-KAO
8. No. CM : 00796610
9. Tanggal masuk RSMS: 10 Februari 2018
10. Tanggal Operasi : 12 Februari 2018

B. Anamnesis
1. RPS
Pasien baru datang ke poli Kebidanan dan Kandungan RSMS tanggal
12 Februari 2018 dengan P0A1 umur 41 tahun dengan mioma uteri. Pasien
mengeluhkan nyeri pada perut bawah sejak 4 bulan yang lalu, nyeri dirasakan
terus menerus menjalar sampai kaki kanan dan kiri, pada saat beraktivitas
nyeri memberat dan berkurang pada saat istirahat, pasien juga mengeluhkan
perut terasa membesar dan keluar keputihan dari jalan lahir berwarna kuning
cair dan terkadang keluar darah. perdarahan pervaginam (+). Keluhan lain
seperti mual (-), muntah (-), pusing (-) disangkal. Pasien pernah menjalani
operasi kuretase setengah tahun yang lalu.
Riwayat HPHT : 31/12/2017
Riwayat menstruasi : tidak teratur/ memanjang 31 desember 2017 – 22 januari
2018
Riwayat menikah : 1x/17 tahun
Riwayat KB : -

3
Riwayat Obstetri : P0A1 (Abortus inkomplit 6 bulan yang lalu, menjalani
kuretase)

2. RPD
Asma (-), maag (-), DM (-), sesak nafas (-), jantung (-), pingsan (-), HT (-),
hepatitis (-), GGK (-), anemia (-), stroke (-), alergi makanan (-), alergi obat (-
), riwayat operasi (-), merokok (-), mengorok (-), alkohol (-), narkoba (-).

3. RPK
Asma (-), diabetes (-), jantung (-), hipertensi (-), gangguan pembekuan darah
(-).

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6

Tanda Vital
TD : 122/74 mmHg
Nadi : 110x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 36,5 C

Pemeriksaan Antropometri
BB : 48,5 kg
TB : 155 cm
Status generalis :
Kepala : mesocephal
Mata : CA (-/-), SI (-/-), isokor
Hidung : nafas cuping hidung (–), discharge (-)
Mulut : sianosis (–), kering (-), buka mulut 3 jari, mallampati II

4
Leher : tidak terdapat deviasi trakea, pembesaran thyroid (-), pembesaran
KGB (-)
Thorax : simetris (+), retraksi -
Paru : simetris (+), vocal fremitus dextra = vocal fremitus sinistra, sonor
pada kedua lapang paru, SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-),
Wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di SIC 6 linea midclavicular
sinistra, batas kanan atas jantung : SIC 2 linea parasternalis dextra, batas
kanan bawah jantung : SIC 4 linea parasternalis dextra, batas kiri atas
jantung : SIC 2 linea parasternalis sinistra, batas kiri bawah jantung : SIC 6
linea midclavicular sinistra, S1>S2, regular, murmur -, gallop –
Abdomen : cembung, nyeri tekan (+), pekak, BU (+) menurun, teraba massa di
suprapubik, konsistensi keras.
Ekstremitas : Akral hangat(+/+/+/+), edema (-/-/-/-)

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 10 Februari 2018 (pre operasi)
Hemoglobin 7 g/dL
Leukosit 10780 U/L
Hematokrit 25 %
Trombosit 723.000/uL
Eritrosit 3.9 jt
GDS 95 mg/dL
PT 10.3
APTT 3.1
Ureum Darah 18.8 mg/dL
Kreatinin 0.77 mg/dL
GDS 95 mg/dL
Natrium 141 mol/L
Kalium 3.4 mol/L
Klorida 105 mol/L

5
2. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 12 Februari 2018 (post operasi)
Hemoglobin 9.3 g/dL
Leukosit 19090 U/L
Eritrosit 5.2 Juta/dL
Trombosit 441.000/uL
GDS 113 mg/dL
Natrium 140 mol/L
Kalium 3.7 mol/L
Klorida 110 mol/L
Kalsium 7.4 mg/dL

E. Perkembangan Pasien Preoperasi


Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Sabtu, 10 S: Pasien mengeluhkan nyeri P0A1 usia 41 tahun Pro TAH + SOU
Februari bawah perut hingga
ke dengan mioma tanggal 12 Februari
2018 pinggul kiri sejak 4 bulan uteri suspek CA 2018
Di yang lalu, kaki kanan dankiri
Endometrium dan
Poliklinik terasa sakit. Bawah pusar
Anemia Sedang
terasa nyeri, keputihan
berwarna kuning cair,
perdarahan minimal, haid
tidak teratur.

Keadaan Umum : sedang


Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36.30C

Status generalis :
Kepala : mesocephal

6
Mata : CA (+/+), SI (-/-)
Hidung : nch –
Mulut : sianosis –
Leher : tidak terdapat deviasi
trakea
Paru : simetris (+), vocal
fremitus dextra = vocal
fremitus sinistra, sonor pada
kedua lapang paru, SD
vesikuler (+/+), RBK (-/-),
RBH (+/+), Wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak
tampak, ictus cordis teraba di
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, batas kanan atas
jantung : SIC 2 linea
parasternalis dextra, batas
kanan bawah jantung : SIC 4
linea parasternalis dextra,
batas kiri atas jantung : SIC 2
linea parasternalis sinistra,
batas kiri bawah jantung :
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
Abdomen : cembung, nyeri
tekan (+), pekak, BU (+)
menurun, teraba massa di
suprapubik, konsistensi
keras.
Ekstremitas : akral hangat +,
edema –

7
Hasil pemeriksaan darah
lengkap tanggal 10-2-2018
Hemoglobin 7 g/dL
Leukosit 10780 U/L
Hematokrit 25 %
Trombosit 723.000/uL
Eritrosit 3.9 jt
GDS 95 mg/dL
PT 10.3
APTT 3.1
Ureum Darah 18.8 mg/dL
Kreatinin 0.77 mg/dL
GDS 95 mg/dL
Natrium 141 mol/L
Kalium 3.4 mol/L
Klorida 105 mol/L
Minggu, Keadaan Umum : sedang P0A1 usia 41 tahun - Transfusi PRC
11 Kesadaran : compos mentis dengan mioma sampai dengan 10
Februari GCS : E4V5M6 uteri suspek CA g/dl, CRI Risk
2018 TD : 110/80 mmHg 0.9% (konsul
Endometrium dan
Di Nadi : 95x/menit interna)
Anemia Sedang
bangsal RR : 20x/menit - Transfusi 3 PRC
teratai Suhu : 36,70C untuk durante
operasi 1 PRC,
ACC operasi
ASA III (konsul
Anestesi)

F. Diagnosis
P0A1 usia 41 tahun dengan Mioma Uteri suspek CA Endometrium dan Anemia
Ringan
Assesment : ASA III

8
Rencana Operasi : Pro TAH + SOU
Rencana Anestesi : RA

G. Laporan Durante Operasi


1. Tanggal operasi : 12 November 2017
2. Jam mulai anestesi : 09.25 WIB
3. Jam selesai anestesi : 11.55 WIB
4. Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 170/88 mmHg
Heart rate : 110x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36,50C

H. Teknik Anestesi
General anastesi
Premedikasi : Ondansentron 4 mg
Preemptive analgesik : Fentanyl 100 mg
Induksi : Marcain spinal 25mg, Ketamin 100mg
Relaksan : Midazolam 3 mg
Analgesik : Ketorolac 30mg
Airway : Nasal kanul 3 lpm
Respirasi : Control
Posisi : Terlentang
Cairan : RL, HES, NaCL, PRC

I. Monitoring Durante Operasi


1. Tekanan darah, SpO2, dan HR
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
09.25 170/100 100% 100
09.40 130/70 100% 90

9
09.55 125/75 100% 92
10.10 125/75 100% 86
10.25 140/90 100% 92
10.40 150/90 100% 90
10.55 160/80 100% 75
11.10 160/100 100% 100
11.35 160/100 100% 90
11.50 150/100 100% 92
11.55 140/80 100% 86

2. Obat yang masuk


a. Ondansetron 4 mg
b. Marcain 15 mg
c. Fentanyl 25 mg
d. Ketorolac 30mg
e. Midazolam 3mg
f. Assam Tranexamat 500 mg
g. Vit K 1 Amp
h. Ketamin 100mg

3. Cairan yang masuk


a. Ringer laktat : 2500 ml
b. HES : 500 ml
c. NaCl : 1000 ml
d. PRC : 300 ml
4. Perdarahan
2000 cc
5. Urin output
250 cc

10
J. Monitoring post operasi

Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning


tanggal
Senin, 12 S: - P0A1 usia 41 Bolus :
Februari O : Keadaan Umum : lemah tahun dengan - Ketorolac 3x30
2018 di Kesadaran : compos mentis mioma uteri - Kalnex 3x500
ICU GCS : E4V5M6 - Ceftriaxone 3x1
suspek CA
TD : 110/73 mmHg - Paracetamol 3x1
Endometrium
Nadi : 86x/menit - Ca glukonas 2x1
dan Anemia
RR : 21x/menit - PRC 400cc
Sedang Post
Suhu : 36,50C - Furosemide ½ amp
subtotal HT + Infus :
SpO2 : 100%
BSO - RL
Status generalis : - NS
Kepala : mesocephal
Mata : CA (+/+), SI (-/-)
Hidung : nch –
Mulut : sianosis –
Leher : tidak terdapat deviasi
trakea
Paru : simetris (+), vocal
fremitus dextra = vocal
fremitus sinistra, sonor pada
kedua lapang paru, SD
vesikuler (+/+), RBK (-/-),
RBH (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak
tampak, ictus cordis teraba di
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, batas kanan atas
jantung : SIC 2 linea
parasternalis dextra, batas
kanan bawah jantung : SIC 4
linea parasternalis dextra,

11
batas kiri atas jantung : SIC 2
linea parasternalis sinistra,
batas kiri bawah jantung :
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
Abdomen : kassa +, rembes -
.
Ekstremitas : akral hangat +,
edema –, sianosis -

Urine output : 250 cc/6jam


Selasa, 13 S: Nyeri bekas operasi P0A1 usia 41 Bolus :
Februari O : Keadaan Umum : sedang tahun dengan - Ceftriaxone 2x1gr
2018 di Kesadaran : compos mentis mioma uteri - Ketorolac 3x30 mg
HCU GCS : E4V5M6 - Kalnex 3x50 mg
suspek CA
TD : 128/92 mmHg
Endometrium
Nadi : 93x/menit Infus :
dan Anemia
RR : 16x/menit - Rl 500 cc
Sedang Post
Suhu : 36,40C
SpO2 : 99%
subtotal HT +
BSOH H+1
Status generalis :
Kepala : mesocephal
Mata : CA (+/+), SI (-/-)
Hidung : nch –
Mulut : sianosis –
Leher : tidak terdapat deviasi
trakea
Paru : simetris (+), vocal
fremitus dextra = vocal
fremitus sinistra, sonor pada
kedua lapang paru, SD
vesikuler (+/+), RBK (-/-),
RBH (-/-), Wheezing (-/-)

12
Cor : ictus cordis tidak
tampak, ictus cordis teraba di
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, batas kanan atas
jantung : SIC 2 linea
parasternalis dextra, batas
kanan bawah jantung : SIC 4
linea parasternalis dextra,
batas kiri atas jantung : SIC 2
linea parasternalis sinistra,
batas kiri bawah jantung :
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
Abdomen : kassa +, rembes -
, bising usus +
Ekstremitas : akral hangat +,
edema –, sianosis -

Urine output : 500 cc


Rabu, 14 S: Pasien mengeluhkan P0A1 usia 41 - PCT 3x500 mg
Februari masih nyeri bekas operasi tahun dengan - Ranitidin 2x1 Amp
2018 di dan pusing CA - Ceftriaxon 2x1 gr
HCU O : Keadaan Umum : sedang - Ketorolac 3x30 mg
Endometrium
Kesadaran : compos mentis Infus :
dan Anemia
GCS : E4V5M6 - RL 2 jalur 550cc,
Sedang Post
TD : 108/71 mmHg Nacl 1900cc, D5%
subtotal HT +
Nadi : 93x/menit 1000cc
RR : 18x/menit
BSOH H+2.

Suhu : 36,40C
SpO2 : 100%
Status generalis :
Kepala : mesocephal
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Hidung : nch –

13
Mulut : sianosis –
Leher : tidak terdapat deviasi
trakea
Paru : simetris (+), vocal
fremitus dextra = vocal
fremitus sinistra, sonor pada
kedua lapang paru, SD
vesikuler (+/+), RBK (-/-),
RBH (+/+), Wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak
tampak, ictus cordis teraba di
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, batas kanan atas
jantung : SIC 2 linea
parasternalis dextra, batas
kanan bawah jantung : SIC 4
linea parasternalis dextra,
batas kiri atas jantung : SIC 2
linea parasternalis sinistra,
batas kiri bawah jantung :
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
Abdomen :, kassa +, rembes
-, bising usus +
Ekstremitas : akral hangat +,
edema –, sianosis -

Urin output : 350 cc

14
Kamis, 15 S: Pasien mengeluhkan P0A1 usia 41 - inj ceftriaxone 3x1
Februari masih nyeri bekas operasi tahun dengan - PCt 3x500 mg
2018 tetapi sedikit berkurang. CA - Inj Rantin 2x1
Di HCU
Endometrium
O : Keadaan Umum : Baik Infus :
dan Anemia
Kesadaran : compos mentis - Nacl : D5 = 1:1 20
Sedang Post
GCS : E4V5M6 tpm
subtotal HT +
TD : 117/85 mmHg
BSOH H+3
Nadi : 86x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36,40C
SpO2 : 100%

Status generalis :
Kepala : mesocephal
Mata : CA (+/+), SI (-/-)
Hidung : nch –
Mulut : sianosis –
Leher : tidak terdapat deviasi
trakea
Paru : simetris (+), vocal
fremitus dextra = vocal
fremitus sinistra, sonor pada
kedua lapang paru, SD
vesikuler (+/+), RBK (-/-),
RBH (+/+), Wheezing (-/-)
Cor : ictus cordis tidak
tampak, ictus cordis teraba di
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, batas kanan atas
jantung : SIC 2 linea
parasternalis dextra, batas
kanan bawah jantung : SIC 4
linea parasternalis dextra,
batas kiri atas jantung : SIC 2

15
linea parasternalis sinistra,
batas kiri bawah jantung :
SIC 6 linea midclavicular
sinistra, S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
Abdomen : datar, kassa +,
rembes -,
Ekstremitas : akral hangat +,
edema –, sianosis -

Urin output : 400cc

16
II. PEMBAHASAN

A. Kanker Endometrium
Karsinoma endometrium adalah tumor ganas yang muncul dari sel-sel epitel
primer lapisan endometrium. Umumnya dengan differensiasi grandular dan
berpotensi mengenai miometrium dan menyebar jauh. 75% tumor ganas
endometrium adalah adenokarsinoma, sisanya ialah karsinoma epidermoid atau
karsinoma tipe sel squamous (5-10%), adenoakantoma dan
adenosquamous(30%),sarkoma uterin (1-5%) (Barbarra, 2008).
Kebanyakan kasus karsinoma endometrium (80%) dihubungkan dengan
endometrium terpapar stimulasi estrogen secara kronis (hormonal) dari sumber
endogen dan eksogen lain. Kanker yang dihubungkan dengan estrogen (estrogen
dependent) ini cenderung untuk mengalami hiperplasia dan berdiferensiasi lebih
baik, dan secara umum punya prognosis baik. Sementara itu, tipe kanker
endometrium yang tidak bergantung pada estrogen (non estrogen dependent)
berkembang dengan non hiperplasia dan berdiferensiasi jelek dan lebih agresif
(Platnois, 2015).
Kebanyakan penelitian menyimpulkan bahwa nulipara mempunyai resiko
tiga kali lebih besar menderita kanker endometrium dibanding multipara. Berbeda
dengan kanker payudara, usia pertama melahirkan tidak memperlihatkan adanya
hubungan terhadap terjadinya kanker ini walaupun masa laktasi yang panjang dapat
berperan sebagai proteksi (Barbara, 2008).
Hipotesis bahwa infertilitas menjadi faktor resiko untuk kanker
endometrium didukung oleh penelitian- penelitian yang menunjukkan resiko yang
lebih tinggi untuk nulipara dibanding wanita yang tidak pernah menikah.
Perubahan-perubahan biologis yang berhubungan dengan infertilitas dihubungkan
dengan resiko kanker endometrium adalah siklus anovulasi (estrogen yang lama
tanpa progesteron yang cukup), kadar androstenodion serum yang tinggi (kelebihan
androstenodion dikonversi menjadi estrone), tidak mengelupasnya lapisan
endometrium setiap bulan dan efek dari kadar estrogen bebas dalam serum rendah
pada nulipara (Farid, 2006, Barbara, 2008).

17
Usia menarche dini (<12 tahun) berhubungan dengan meningkatnya faktor
resiko kanker endometrium walaupun tidak selalu konsisten. Kebanyakan
penelitian juga menunjukkan usia saat menopause mempunyai hubungan langsung
terhadap resiko meningkatnya kanker ini sekitar 70% dari semua wanita yang
didiagnosis kanker endometrium adalah pascamenopause (Farid, 2006).
Selain yang disebutkan diatas, faktor-faktor resiko yang masih terus diteliti
mempunyai hubungan erat dengan kanker ini adalah obesitas, diabetes melitus,
hipertensi, asupan gula, kopi, merokok, penggunaan tamoxifen, dan kebiasaan
(aktivitas fisik,waktu duduk atau berbaring). Resiko karsinoma karena obesitas
dihubungkan dengan kecenderungan peningkatan kadar estrogen yang terjdai
akibat perubahan jaringan lemak oleh hormon androgen menjadi estrogen (Farid,
2006, Barbara, 2008).
Sedangkan asupan gula yang tinggi berujung pada kondisi hiperinsulinemia,
yang meningkatkan bioavabilitas IGF-1 (insulin- like growth factor-1) sehingga
menstimulasi pertumbuhan sel. Asupan gula dan diabetes juga meningkatkan resiko
karsinoma endometrium dengan meningkatkan stres oxidative (Barbara, 2008).
Penyakit- penyakit yang diteliti memiliki resiko langsung menjadi
karsinoma endometrium adalah sindroma polikistik ovarium dan adanya tumor
ovarium, di mana keduanya memiliki dampak menimbulkan ketidakseimbangan
hormon, peningkatan produksi estrogen yang akhirnya mengarah pada karsinoma
endometrium. Selain penyakit, penggunaan obat tamoxifen untuk penatalaksanaan
kanker payudara memiliki pengaruh lain pada jaringan uterus. Pada jaringan uterus,
obat ini bertindak seperti estrogen, sehingga bagi wanita yang telah menopause,
pengaruhnya dapat membuat pertumbuhan lapisan endometrium secara berlebihan,
namun resikonya masih rendah (kurang dari 1% kasus) (William & Leitao, 2015).
Sebagian besar keluhan utama yang diderita pasien kanker endometrium
adalah perdarahan abnormal pascamenopause bagi pasien yang telah menopause
dan perdarahan intermenstruasi bagi pasien yang belum menopause. Pasien harus
mengetahui adanya perdarahan saat menstruasi yang berlebihan atau bercak darah.
Karena beberapa kelainan atau tumor jinak juga memberikan gejala serupa. Selain
itu keluahan yang dapat menyertai adalah :
- Keluhan keluar sekret putih atau merah muda dari vagina

18
- Keluhan nyeri perut bawah atau panggul yang menetap 2 minggu atau lebih
- Nyeri saat berhubungan.
Kebanyakan pasien tidak langsung mendatangi tenaga medis saat sampai
terjadi perdarahan berbulan-bulan, tahun, atau perdarahan yang berlebihan dan
irregular. Pasien dengan tipe Papillary serous tumour atau clear cell tumour sering
datang dengan gejala dan tanda yang mengindikasikan karsinoma epitel ovarium
yang sudah memberat. Tipe papillary serous tumour dan clear cell tumour adalah
termasuk karsinoma endometrium tipe 2 yang berkembang agresif dan memiliki
prognostik cenderung lebih buruk. Tipe papillary serous tumour (insidensinya 5-
10% dari seluruh kasus) adalah jenis yang tumbuh dari sel endometrium yang
atrhropi ( biasanya dari wanita lansia) yang memiliki tipikal histologik
pertumbuhan selnya lebih tidak beraturan, adanya keratinisasi dengan inti yang
atipik. Karsinoma endometrium tipe 2 yang mayor lainnya adalah clear cell tumour
dengan insiden lebih rendah ( <5%). Secara mikroskopik, gambarannya lebih
predominan solid, kistik dan tubular atau dapat bercampur (mixed) dari dua atau
lebih bentuk ini (Barbara, 2008, Platnois, 2015).
Untuk mengevaluasi perdarahan intrauterine abnormal, diagnosis dilakukan
dengan biopsi endometrium. Namun, pada pasien yang tidak dapat dilakukan biopsi
endometrium karena stenosis servikal atau gejala tetap bertahan walaupun hasil
biopsi normal, maka dapat dilakukan dilatasi dan kuretase dengan anastesi.
Prosedur dilatasi dan kuretase sampai saat ini merupakan baku emas untuk
diagnosis kanker endometrium (Farid, 2006).
Melalui pemeriksaan mikroskopik biopsi endometrium dan kuret
endoserviks biasanya dapat ditegakkan diagnosis adenokarsinoma jenis
endometrioid atau musinous, tapi jarang dapat dihubungkan dengan lesi awal
berupa adenokarsinoma serviks insitu atau hiperplasia atipik pada endometrium.
Terlebih lagi gambaran histologik kanker endometrium sering tumpang tindih atau
terkontaminasi dengan sel-sel endoserviks (Barbara, 2008).
Penggunaan histeroskopi untuk deteksi dini (prosedur diagnostik dengan
melihat langsung kedalam uterus dengan histeroskop yang biasanya dilakukan
bersamaan dengan dilatasi dan kuretase) memiliki sensitifitas dan spesifitas yang
tinggi dalam mendiagnosis dan mengevaluasi uterus jika dicurigai ada lesi awal

19
karsinoma endometrium. Satu-satunya tumor marker klinis yang berguna dalam
penatalaksanaan kanker endometrium adalah jumlah serum CA-125. Secara
langsung, peningkatan jumlah serum ini menunjukan progresivitas penyakitnya
(sensitivitas 63% dan spesifitas 88% pada level cut off 35 U/mL). Dalam
aplikasinya, pada pasien tingkat lanjut, serum ini dapat membantu mengevaluasi
respon terhadap terapi selama dalam penanganan. Namun, meskipun evaluasi
serum ini cukup bermakna, biasanya penemuan klinis lain masih terbatas (Muggia
& Olivia, 2015).
Penggunaan radiologi pada karsinoma endometrium juga masih terbatas.
Secara umum, pada wanita dengan karsinoma endometrium tipe 1 yang
progresifitasnya lebih baik, foto thoraks adalah satu-satunya evaluasi radiologis
yang dibutuhkan dalam diagnosa preoperativ. Visualisasi menggunakan Computed
tomography (CT) atau Magnetic Resonance (MR) biasanya tidak banyak
dibutuhkan. Namun dalam beberapa kasus, MRI dapat membantu membedakan
karsinoma endometrium dan perluasan dari karsinoma serviks primer. USG
transvaginal dapat mendeteksi lesi pada endometrium dengan ketebalan lebih dari
4-5cm sehingga sangat akurat dalam mendeteksi polip, mioma, hiperplasia ataupun
karsinoma endometrium (Farid, 2006, Yela, 2009).
Pada literatur lama, terdapat 2 jenis stadium pada kanker endometrium,
yaitu stadium klinis dan stadium surgikal. Stadium klinik bertujuan untuk
menentukan jenis terapi yang akan diberikan, sedangkan stadium surgikal bertujuan
untuk menentukan terapi adjuvannya (Yela, 2009).
Kini penentuan stadium telah bergeser dari stadium klinik ke stadium
surgikal/operasi. Akan tetapi stadium klinik masih dipergunakan bila penderita
dipertimbangkan tidak dapat menjalani proses pembedahan. Pembagian stadium
menurut FIGO (the International Federation of Gynecology and Obstetric) 2009
terlampir dalam tabel.

20
Tabel Pembagian Stadium FIGO 2009 (Platnois 20115)

Penilaian FIGO secara pathologis meliputi (Barbara, 2008) :


1. Kedalaman invasi ke miometrium (ratio invasi dan total ketebalan
miometrium).
2. Keterlibatan serviks (invasi stroma/glandular)
3. Ukuran tumor dan lokasi ( fundus, segmen bawah rahim, atau serviks)
4. Meluasnya tumor ke tuba fallopi dan ovarium.
5. Grade tumor dan tipe histologis sel
6. Invasi ke kelenjar lmfe dan pembuluh darah /Lymphovascular space
invasion (LVSI)
7. Status kelenjar limfe. Tingkat insidensi keterlibatan kelenjar limfe dalam
klasifikasi FIGO ; stage IA :5%, IB :10%, IC; 15%, II: 20%, III : 55%.

B. Analgesia dan Anestesia pada Ginekologi


Operasi ginekologi onkologi seperti total abdominal hysterectomy
(TAH),bilateral salpingo-oophorectomy (BSO), maupun debulking tumor
menimbulkan nyeri pascaoperasi dengan nilai VAS 7-8 sehingga manajemen
nyeri yang direkomendasikan adalah dengan penggunaan Patient Controlled
Analgesia (PCA) atau dengan injeksi epidural obat local analgesia (Yap, et al,

21
2009). Secara umum, analgesi pascaoperasi dengan teknik epidural dan blok
saraf perifer memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan opioid
sistemik (Dolin, et al, 2002; Block, et al, 2003; Wu, et al, 2005).
Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa penggunaan teknik analgesi
neuraksial perioperatif dapat mengurangi mortalitas kurang lebih 30% (Rodgers,
et al, 2000). Meta-analisis lain juga menunjukkan bahwa penggunaan analgesi
epidural thorakal dengan obat anestesi lokal dapat menurunkan insidensi
komplikasi dan infeksi pulmoner (Liu, et al, 2004; Nishimori, et al, 2012;
Popping, et al, 2008). Selain itu, penggunaan analgesi epidural juga dapat
menurunkan insidensi komplikasi gastrointestinal dan kardiak pascaoperasi
(Jorgensen, et al, 2000; Beattie, et al, 2001).
Khusus pada operasi laparotomi ginekologi onkologi, penggunaan
analgesi epidural terkontrol oleh pasien (PCEA) terbukti menghasilkan kontrol
nyeri pascaoperasi yang lebih baik dibandingkan penggunaan analgesi intravena
(Ferguson, et al, 2009). Keuntungan analgesi epidural pascaoperasi dapat lebih
dioptimalkan lagi dengan penggunaan kateter epidural yang diinsersikan di
lokasi yang berhubungan dengan cakupan dermatom manipulasi bedah.
Penggunaan kateter dapat menurunkan dosis obat yang diberikan sehingga dapat
menurunkan insidensi efek samping obat seperti pruritus, mual, muntah dan
retensi urin (Liu, et al, 1998).
Meskipun demikian, analgesi epidural masih merupakan istilah umum
yang memiliki banyak variasi mulai dari pilihan jenis dan dosis obat analgesi
yang digunakan, lokasi penempatan kateter dan onset atau durasi
penggunaannya pada periode perioperatif (Wheatley, et al, 2001).
Obat analgesi utama yang paling sering digunakan adalah obat anestesi
lokal. Obat ini bekerja secara langsung di akson saraf untuk memblok kanal
natrium sehingga mencegah konduksi saraf. Saat diinjeksikan di ruangan
epidural, obat anestesi lokal akan memblok saraf yang ada di sana dan dapat pula
berefek lebih luas saat obat masuk ke ruangan intratekal. Namun demikian, infus
epiduralhanya dengan obat anestesi lokal saja hampir tidak pernah digunakan
secara rutin karena memiliki angka kegagalan blok yang tinggi dan tingginya
insidensi blok motorik dan hipotensi (Mogensen, et al, 1988). Untuk mengatasi

22
hal tersebut, berbagai macam obat tambahan telah digunakan dalam analgesi
epidural untuk meningkatkan efek analgesi dan meminimalkan efek samping.
Salah satu obat tambahan yang paling sering digunakan adalah opioid.
Penggunaan obat anestesi lokal dan opioid untuk analgesi epidural terbukti
memiliki efek analgesi lebih baik, mengurangi regresi blok sensorik dan dapat
menurunkan dosis obat anestesi lokal bahkan efek analgesinya lebih baik bila
dibandingkan dengan penggunaan opioid intravena (Wheatley, et al, 2001; Wu,
et al, 2005).
Salah satu opioid yang populer digunakan sebagai tambahan obat
anestesi lokal untuk analgesi epidural adalah fentanil. Penambahan fentanil
dapat meningkatkan kualitas analgesi dan menurunkan respon stres pascaoperasi
bila dibandingkan penggunaan obat anestesi lokal saja (Kasaba, et al, 1996;
Bayazit, et al, 2013). Meskipun demikian, insidensi muntah pada pasien dengan
epidural fentanil masih berkisar 28-52% bergantung pada populasi dan
konsentrasi yang digunakan (Cooper and Turner, 1993; Gedney and Liu, 1998;
Ozalp, et al,1998). Penelitian yang membandingkan antara bupivakain dan
bupivakain-fentanil menemukan insidensi pruritus, mual dan muntah yang lebih
tinggi pada kelompok bupivakain-fentanil (Torda, et al,1995; Lovstad and
Stoen, 2001; Berti, et al, 2000).
Selain penambahan fentanil, obat lain yang populer digunakan adalah
klonidin. Klonidin menghilangkan nyeri melalui mekanisme independen opioid
dan memiliki efek sinergistik dengan obat anestesi lokal yang menghasilkan
peningkatan blok sensorik dan motorik. Mekanisme sinergistik ini adalah
dengan blokade konduksi serat saraf C dan A-delta dan peningkatan konduktansi
membran terhadap kalium, reduksi pelepasan substansi P melalui supresi
langsung pada neuron nosiseptif medula spinalis dan menekan potensial aksi di
neuron kornu dorsalis medula spinalis (Eisenach, et al, 1996; Wolff, et al, 2007).
Penelitian Gupta tahun 2012 membandingkan penambahan klonidin 1
mcg/kg pada bupivakain 1,5 mg/kg untuk pasien operasi total knee replacement.
Penambahan klonidin memberikan onset anestesi yang lebih cepat (493.8±31.66
detik), durasi analgesi lebih lama (334.2 min) dan kebutuhan suplemen analgesi
yang lebih rendah (Gupta, et al, 2012). Jika digunakan untuk analgesi epidural

23
pada persalinan, penambahan klonidin bahkan memberikan efek analgesia yang
lebih baik. Dengan intensitas nyeri yang berat selama persalinan mencakup VAS
6-7 pada primipara dan 7-8 pada grande multipara, Kayacan, et al melakukan
penelitian efek analgesi epidural yang dikontrol pasien (PCEA) pada persalinan
dengan menggunakan penambahan infus fentanil 2 mcg/ml atau klonidin 1,5
mcg/ml pada bupivakain 0125%. Pada penelitian ini, didapatkan grup
bupivakain+klonidin menghasilkan nilai nyeri lebih rendah dan kebutuhan
analgesik tambahan lebih sedikit daripada grup bupivakain+fentanil (Ranta, et
al, 1996; Kayacan, et al, 2004).

24
III. KESIMPULAN

Pada kasus ini Ny. Harni Fatimah P1A0 usia 25 tahun post partum tindakan
SCTP dengan tetraparese e.c kista intradural. Kriteria diagnosis tetraparese e.c kista
intradural berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan pada keempat
anggota gerak dan berdasarkan hasil MRI sebelumnya didapatkan hasil terdapatnya
Kista intradural pada medulla spinalis servical. Aspek yang paling penting dari
perawatan klinis untuk pasien dengan kondisi ini adalah mencegah komplikasi
yang berhubungan dengan kecacatan, dimana keadaan ini dikategorikan dalam
suatu keadaan emergensi maka SCTP harus dilakukan untuk mencegah kecacatan
lebih lanjut. Tindakan anestesi SCTP dengan general anestesi karena terdapat
kontraindikasi terhadap spinal anestesi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Barbara L, Hoffman w. Et al. Williams Gynecology. Second Edition. McGraw-Hill


Companies.Inc. United States. 2008
Endometrial Cancer. CLINICAL PRACTICE GUIDELINE GYNE-002. Alberta
healt Service 2014. http://Albertahealthservices.ca/ diakses tanggal 3-03-
2015
Farid M. Abdul S. Onkologi ginekologi. Edisi 1. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo. Jakarta 2006
Muggia,F. Oliva E. Uterine Cancer-Screening,Diagnostik and treatment. 2009.
http://www.springer.com/978-1-58829-736-5. Diakses tanggal 3-03-2015.
Platnois G, Castiglione M. Endometrial Cancer. :ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis, treatment and follow up. Annals of Oncology 21 :
V41-V45. 2010. http://annonc.oxfordjournals.org/. Diakses tanggal 28-02-
2015.
Sebastianelli A. Preoperative CA-125 Tumour marker in Endometrial Cancer :
Correlation with Advanced Stage Disease. Gynaecology. JOGC. September
2010 : 856-860.
Stern J. Uterus : Endometrial Carcinoma. Womens Cancer Information Center.
http://www.womenscancercenter.com/info/types/uterus.html . Diakses
tanggal 19-03-2015.
William B, Orr. J, Leitao M, Et al. Endometrial cancer: A review and current
management strategies: Part I. Gynecologic Oncologic 134 :382-385.2014.
http://www.elsevier.com/locate/ygyno. Diakses tanggal 3-03-2015
William T, Marion J. Endometrial Cancer treatment protocol. Distinguished
University Professor, Department of Obstetrics and Gynecology, Medical
University of South Carolina College of Medicine. Dalam
http://emedicine.medscape.com diakses tanggal 19-03-2015.
Yela D.A, Et al. Comparative Study of Trasvaginal Ultrasound and Outpatient
Hysterecopy for Diagnosing Pathologic endometrial Lession in
Postmenopausal Women. Revised Association Medical Brass 2009 ; 55 (5)..

26

Вам также может понравиться