Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi HIV / AIDS


HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia
(terutama CD4 positif T-sel dan makrofag– komponen-komponen utama sistem
kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang
akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem kekebalan dianggap
defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya
memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya
defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi,
yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi
kekebalan.
Menurut Depkes RI (2003), definisi HIV yaitu virus yang menyebabkan
AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga
dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung
dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh
karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya
sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV
dan ditandai dengan berbagai gejala klinik, termasuk immunodefisiensi berat
disertai infeksi oportunistik dan kegananasan, dan degenerasi susunan saraf
pusat. Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel sistem imun termasuk sel T
CD4+, makrofag dan sel dendritik. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS.20Menurut Depkes RI (2003), AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak
atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup.
Sindrom AIDS timbul akibat melemah atau menghilangnya sistem kekebalan
tubuh karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusakoleh Virus HIV.
Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS, yaitu dengan memasukkan
semua orang HIV positif dengan jumlah CD4+ di bawah 200 per μL darah atau
14% dari seluruh limfosit.

B. Epidemiologi AIDS
Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada
tahun 1981 sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus-kasus AIDS
meningkat dengan cepat. Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan
pandemi, telah menyerang jutaan penduduk dunia, pria, wanita, bahkan anak-
anak. WHO memperkirakan bahwa sekitar 15 juta orang diantaranya 14 juta
remaja dan dewasa terinfeksi HIV. Setiap hari 5000 orang tertular virus HIV
(Siregar, 2004).
Menurut Lembaga Internasional Program PBB mengenai HIV/AIDS
(UNAIDS) mengumumkan bahwa di seluruh dunia, setiap 11 detik seorang tewas
akibat AIDS dan satu orang tertular virus AIDS setiap enam detik. Penyakit
tersebut akan merenggut 68 juta jiwa lagi jika upaya pencegahan tidak
ditingkatkan (Satumed, 2008).

C. Patofisiologi
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan
sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi infeksi kronik
progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit dapat dipantau
dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlah sel T
CD4+ dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi masuknya virus ke dalam tubuh,
sel T CD4+ dan monosit dalam darah atau sel T CD4+ dan makrofag dalam
jaringan mukosa merupakan sel – sel pertama yang terinfeksi. Besar
kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebaran awal HIV dalam
jaringan limfoid, karena fungsi normal sel dendritik adalah menangkap antigen
dalam epitel lalu masuk ke dalam kelenjar getah bening. Setelah berada dalam
kelenjar getah bening, sel dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui
kontak antar sel. Dalam beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjar berlipat
ganda dan mengakibatkan viremia. Pada saat itu, jumlah partikel HIV dalam
darah banyak sekali disertai sindrome HIV akut. Viremia menyebabkan virus
menyebar di seluruh tubuh dan menginfeksi sel T, monosit maupun makrofag
dalam jaringan linfoid perifer. Sistem imun spesifik kemudian akan berupaya
mengendalikan infeksi yang tampak dari menurunnya kadar viremia, walaupun
masih tetap dapat dideteksi.
Infeksi akut awal ditandai oleh infeksi sel T CD4+ memori (yang
mengekspresikan Chemokine (C-C motif) reseptor 5 (CCR5) dalam jaringan
limfoid mukosa dan kematian banyak sel terinfeksi. Setelah infeksi akut,
berlangsunglah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limfa merupakan
tempat replikasi virus dan destruksi jaringan secara terus menerus. Oleh karena
itu, jumlah virus menjadi sangat banyak dan jumlah sel T-CD4 menurun.
Serokonversi membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Simptom pada fase ini demam, limfadenopati, gatal – gatal. Selama periode ini
sistem imun dapat mengendalikan sebagian besar infeksi, karena itu fase ini
disebut fase laten. Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan
infeksi HIV yang asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak
menunjukkan gejala atau simptom untuk beberapa tahun yang akan datang. Di
fase ini juga hanya sedikit virus yang diproduksi dan sebagian besar sel T dalam
darah tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T dalam
jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin
menurun hingga 500-200 sel/mm3. Jumlah sel T dalam jaringan limfoid adalah
90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah perifer
yang rusak oleh virus HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel
oleh virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa
laten akan menurunkan jumlah sel T dalam darah tepi.
Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan
merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T. Selanjutnya
penyakit menjadi progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat
mana destruksi sel T dalam jaringan limfoidperifer lengkap dan jumlah sel T
dalam darah tepi menurun hingga dibawah 200/mm3. Viremia meningkat drastis
karena replikasi virus di bagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita
infeksi opportunistik, cachexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat.
Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi
dan menunjukkan respon imun yang infektif terhadap virus onkogenik.34
Selain tiga fase tersebut ada masa jendela yaitu periode di mana
pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus
sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang cukup banyak. Antibodi
terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah
infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada perode
jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang
lain.

D. Tanda dan Gejala HIV/AIDS


Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV.
Gejalanya meliputi demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri
saat menelan), batuk, nyeri persendian, diare, pembengkakkan kelenjar getah
bening, bercak kemerahan pada kulit (makula / ruam).
Diagnosis AIDS dapat ditegakkan apabila menunjukkan tes HIV positif
dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.
Tabel 1 Gejala mayor dan minor diagonis AIDS
Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan turun >10% dalam 1 bulan Batuk menetap >1 bulan
Diare kronik >1 bulan Dermatitis generalisata
Demam berkepanjangan >1 bulan Herpes Zooster multisegmental
Penurunan kesadaran dan berulang
Demensia / HIV ensefalopati Kandidiasi orofaringeal
Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Retinitis virus sitomegalo

Global Programme on AIDS dari Badan Kesehatan dunia (WHO)


mengusulkan ”Pembagian Tingkat Klinik Penyakit Infeksi HIV” sesudah
mengadakan pertemuan di Geneva bulan Juni tahun 1989 dan bulan penderita
seropositif HIV dari 26 Pusat Perawatan yang berasal dari 5 benua. Pembagian
tingkat klinik infeksi HIV tersebut adalah sebagai berikut (Djoerban, 2001):
1. Tingkat Klinik 1 (Asimptomatik/LGP)
a) Tanpa gejala sama sekali
b) Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran
kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap
Pada tingkat ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan
aktivitasnya secara normal.
2. Tingkat Klinik 2 (Dini)
a) Penurunan berat badan kurang dari 10%.
b) Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroika,
prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang, dan cheilitis
angularis.
c) Herpes Zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
d) Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis.
Pada tingkat ini, pasien sudah menunjukkan gejala tetapi aktivitas tetap
normal.
3. Tingkat Klinik 3 (Menengah), dengan tanda dan gejala
a) Penurunan berat badan >10% berat badan.
b) Diare kronik > 1 bulan, penyebab tidak diketahui.
c) Panas tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang
timbul terus-menerus.
d) Kandidiasis mulut.
e) Bercak putih berambut di mulut.
f) Tuberkolosis paru setahun.
g) Infeksi bakteril yang berat, misalnya pneumonia.
Pada tingkat klinik 3, penderita biasanya berbaring di tempat tidur lebih dari
12 jam sehari, selama sebulan terakhir.
4. Tingkat Klinik 4 (Lanjut), dengan tanda dan gejala
a) Badan menjadi kurus.
b) Pnemonia Pneumosistis Karini.
c) Toksoplasmosis otak.
d) Kriptosporidiosis di luar paru.
e) Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati atau
kelenjar getah bening.
f) Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis) yang
endemik menyerang banyak organ tubuh.
g) Limfoma.
h) Sarkoma kaposi
i) Ensefalopati HIV, yaitu gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau
beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV.

E. Cara Penularan HIV/AIDS


Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang
rentan, tempat keluar kuman dan tempat kuman masuk (port ’d entree). Virus
HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel lymfosit T dan sel otak sebagai
organ sasarannya.
Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum
yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain
adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkannya
diantaranya semen, cairan vagina atau serviks, dan darah penderita. Banyak cara
yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi seksual, penularan melalui hubungan seksual baik
homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang
paling sering terjadi. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Senggama berati kontak seksual penetrasi vaginal, anal (anus/dubur), oral
(mulut) antara dua individu. Risiko tertinggi penetrasi vaginal atau anal yang
tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung
mulut ke penis (zakar) atau mulut ke vagina, merupakan risiko rendah
tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang keluar dan
masuk ke dalam tubuh seseorang melalui ”pintu masuknya”, seperti adanya
luka kecil pada alat kelamin, mulut, gusi, dan atau penyakit gigi dan mulut
yang diderita.
2. Transmisi non seksual, ada dua yaitu transmisi parental yaitu akibat
penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Dapat juga
terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan. Sedangkan
transmisi transplasental yaitu penularan dari ibu yang mengandung HIV
positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi
sewaktu hamil, melahirkan, dan sewaktu menyusui. Penularan melalui Air
Susu Ibu (ASI) termasuk penularan dengan risiko rendah. Selain itu juga
penularan HIV/AIDS dapat melalui transfusi darah/produk darah yang sudah
tercemar (Zein, 2007).
F. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi social.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit
kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas
pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek
nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal aku

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. ELISA
b. Western blot
c. P24 antigen test
d. Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. Hematokrit.
b. LED
c. CD4 limfosit
d. Rasio CD4/CD limfosit
e. Serum mikroglobulin B2
f. Hemoglobulin

H. Pencegahan HIV/AIDS
Menurut Zulkifli (2004) penyakit AIDS adalah penyakit yang sudah pasti
akan mendatangkan kematian maka pencegahan merupakan upaya
penanggulangan yang terutama harus dilakukan. Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan adalah
1. Pencegahan penularan melalui jalur non seksual
a) Transfusi darah, cara ini dapat dengan mengadakan pemeriksaan donor
darah sehingga darah yang bebas HIV saja yang ditransfusikan.
b) Penularan AIDS melalui jarum suntik oleh dokter paramedis dapat
dicegah dengan upaya sterilisasi yang baku atau menggunakan jarum
suntik sekali pakai.
2. Pencegahan penularan melalui jalur seksual, penularan ini dapat
dilakukan dengan pendidikan/penyuluhan yang intensif yang ditujukan pada
perubahan cara hidup dan perilaku seksual, karena pada hakekatnya setiap
individu secara potensi adalah pelaku seks. Potensi ini mencapai puncaknya
pada usia remaja dan membutuhkan penyaluran sampai seseorang mencapai
usia tua. Adanya salah informasi dalam kehidupan remaja yang beranggapan
bahwa masturbasi lebih berdosa dibanding dengan senggama sehingga banyak
remaja yang terjerumus untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada wanita
tunasusila, sehingga mereka rawan tertular AIDS. Untuk menanggulanginya
harus dilakukan penyuluhan untuk memberikan informasi yang benar
mengenai AIDS. Selain itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan
mengurangi pasangan seksual, monogami, menghindari hubungan seksual
dengan WTS, tidak melakukan hubungan seksual dengan penderita atau yang
diduga menderita AIDS dan meninggalkan penggunaan kondom.
3. Pencegahan penularan dari ibu dan anak, upaya pencegahan yang dapat
dilakukan pada penularan ini adalah dengan menganjurkan kepada ibu yang
menderita AIDS atau HIV positif untuk tidak hamil (Depkes RI, 2005).
Ada beberapa strategi yang penting dalam mencegah penularan
HIV/AIDS ibu ke bayi, yaitu
1) Pertama, dengan pemberian obat antiretroviral. Obat ini bekerja
langsung menghambat replikasi dan perkembangan virus HIV
2) Kedua, melakukan persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama
persalinan, dan setelah persalinan. Cara persalinan yang diperkenankan
pada ibu dengan HIV positif adalah dengan operasi, penularan HIV dari
ibu ke anak dapat ditekan sampai 50% dibandingkan dengan persalinan
normal.
Setelah anak dilahirkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan
terutama saat menyusui si bayi. Disarankan, ibu yang melahirkan anak
dengan HIV positif sebaiknya tidak menyusui karena dapat terjadi
penularan HIV dari ibu ke bayi antara 10-20%, terlebih jika payudara ibu
mengalami luka lecet ataupun radang (Mulyana, 2008).

I. Diagnosa Keperawatan
1. Diare b.d patogen sal cerna/infeksi HIV
a. Tujuan: dimulai kembali kebiasaan BAB yang biasa
b. Kriteria hasil :
1) Menunjukkan kembalinya ke pola BAB yang normal
2) Melaporkan penurunan episode diare dan kram perut
3) Mengidentifikasi dan menghindari makanan yang mengiritasi
saluran cerna
4) Memberikan terapi yang tepat sesuai saran/advis
5) Menunjukkan hasil kultur feses yang normal
6) Mempertahankan intake cairan yang adekuat
7) Mempertahankan berat badan dan melaporkan tidak ada
penurunan berat badan
8) Mengikuti kelompok berhenti merokok
9) Memberikan obat sesuai resep
10) Mempertahankan status cairan yang adekuat
11) Menunjukkan turgor kulit yang normal, membran mukosa yang
lembab, output urin normal, dan tidak ada rasa haus yang berat
c. Intervensi keperawatan :
1) Kaji pola BAB pasien (Rasinoal : memberikan data dasar untuk
evaluasi)
2) Kaji diare: berapa kali, feses yang keluar, nyeri/kram abdomen,
volume feses cair, faktor yang mendukung dan yang memperburuk
(Rasional : mendeteksi perubahan status, jumlah cairan yang hilang,
dan memberikan dasar tindakan keperawatan)
3) Lakukan kultur feses, dan berikan anti mikroba sesuai resep
(Rasional : mengidentifikasi jenis organisme patogen, obat sesuai
jenis organisme)
4) Lakukan tindakan utk menurunkan hiperaktivitas bowel
(Rasional : mengistirahatkan usus, yang menurunkan episode akut) :
a) Pertahankan pembatasan makanan dan cairan sesuai resep.
Disarankan diet BRAT (banana, rice, apple sauce, tea and
toast/roti panggang). (Rasional : menurunkan rangsangan
bowel/sal cerna)
b) Batasi merokok (Rasional : menghilangkan nikotin, yg
berperan sbg stimulan usus).
c) Hindari bahan iritan saluran cerna: makanan
berlemak/gorengan, sayur mentah, dan kacang. Sajikan dalam
jumlah kecil dan sering (Rasional : mencegah stimulasi usus dan
distensi abdomen dan menunjang nutrisi yg adekuat).
5) Berikan anticholinergik antispasmodik dan opioid atau obat lain
sesuai resep (Rasional : menurunkan spasme dan motilitas intestinal)
6) Pertahankan intake cairan sedikitnya 3 liter sehari kecuali
kontraindikasi (Rasional : mencegah hipovolemi).
2. Resiko infeksi b.d imunodefisiensi
a. Tujuan : tidak terjadi infeksi
b. Kriteria Hasil :
1) Mengidentifikasi laporan tanda dan gejala infeksi
2) Melaporkan tanda dan gejala infeksi jika terjadi
3) Menunjukkan dan melaporkan tidak ada demam, menggigil, dan
diaporesis
4) Menunjukkan suara nafas normal (clear)
5) Mempertahankan berat badan
6) Melaporkan tingkat energi yang adekuat tanpa fatique yg
berlebihan
7) Melaporkan tidak adanya nafas pendek dan batuk
8) Menunjukkan membran mukosa yang lembab dan pink tanpa
fisura atau lesi
9) Minum obat sesuai resep
10) Tidak terjadi infeksi
11) Menyatakan rasional strategi untuk menghindari infeksi
12) Memodifikasi aktivitas utk menurunkan terpapar infeksi atau
orang yang mengalami infeksi
13) Melakukan hubungan seks yang aman
14) Hindari penggunaan bersama alat makan dan sikat gigi
15) Menunjukkan suhu tubuh yang normal
16) Menggunakan teknik yang direkomendasikan untuk
mempertahankan kebersihan kulit, kebersihan lesi di kulit, dan area
sekitar anus.
17) Ada orang lain yang menangani dan membersihkan kotoran
hewan peliharaan klien
18) Menggunakan teknik memasak yang direkomendasikan
c. Intervensi Keperawatan
.........
..........
.......
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d pneumonia pneumocystis,
peningkatan sekresi bronnkial dan penurunan kemampuan batuk
a. Tujuan : Bersihan jalan nafas meningkat
b. Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan bersihan jalan napas yg normal :
a) RR <20x/mnt
b) Tidak sulit bernafas tanpa penggunaan otot asesorius dan nasal
flaring
c) Warna kulit normal/tidak sianosis
d) Waspada dan sadar akan lingkungan sekitar
e) Nilai BGA normal
f) Suara napas normal tanpa suara napas tambahan
2) Memulai terapi yg tepat
3) Minum obat sesuai resep
4) Melaporkan peningkatan pernapasan
5) Mempertahankan jalan napas bersih
6) Batuk dan napas dalam setiap 2 – 4 jam sesuai rekomendasi
7) Melaporkan penurunan kesulitan bernapas ketika dalam posisi
semi atau high Fowler
8) Mempraktekkan strategi menghemat tenaga dan alternatif
beristirahat dengan aktivitas
9) Menunjukkan penurunan kekentalan/viskositas lendir pulmonal
10) Melaporkan kemudahan membatukkan sputum
11) Menggunakan udara atau oksigen yg lembab sesuai resep dan
indikasi
12) Mengindikasikan perlunya bantuan untuk pengeluaran sekret
pulmonal
13) Memahami kebutuhan dan kooperatif dengan intubasi
endotrakheal dan penggunaan ventilator mekanik
c. Intervensi Keperawatan :
1) Kaji dan laporkan tanda dan gejala status gangguan pernapasan,
takipnea, penggunaan otot asesoris, batuk, warna dan jumlah sputum,
suara napas tidak normal, warna kulit sianosis, kegelisahan,
kebingungan, atau somnolence/ngantuk (Rasional: indikasi fungsi
respirasi abnormal)
2) Dapatkan sample sputum untuk pemeriksaan kultur sesuai order.
Berikan terapi antimikroba sesuai resep (Rasional: Membantu
identifikasi organisme patogen penyebab infeksi)
3) Berikan perawatan pulmonal (batuk, napas dalam, postural
drainase, dan vibrasi) setiap 2 – 4 jam (Rasional: mencegah stasis
sputum dan meningkatkan bersihan jalan napas).
4) Bantu posisi pasien semi atau high Fowler (Rasional:
memfasilitasi pernapasan dan bersihan jalan napas)
5) Dorong periode istirahat yang adekuat diantara aktivitas
(Rasional: memaksimalkan pengeluaran energi dan mencegah
kelelahan yang berlebih)
6) Mulai tindakan utk menurunkan kekentalan lendir: a. Intake
cairan sedikitnya 3 lt/mnt kecuali kontraindikasi; lembabkan udara
yang dihirup sesuai resep; konsultan dokter terkait pemakaian obat
mukolitik yang diberikan menggunakan nebulizer atau pengobatan
pernapasan menggunakan tekanan positif intermiten (Rasional:
memfasilitasi keluarnya lendir; mencegah lendir yg statis).
7) Lakukan suction jika diperlukan (Rasional: Membantu
mengeluarkan lendir jika pasien tidak mampu melakukannya).
8) Berikan terapi O2 sesuai resep (Rasional: meningkatkan
ketersediaan oksigen).
9) Bantu intubasi endotrakeal; pertahankan setting ventilator sesuai
anjuran (Rasional: mempertahankan ventilasi).
4. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang Dari Kebutuhan Tubuh B.D.
Penurunan Intake Oral
a. Tujuan : Peningkatan status nutrisi
b. Kriteria Hasil :
1) Mengidentifikasi faktor yg menurunkan intake oral, dan
penggunaan sumber-sumber untuk meningkatkan intake diet yang
adekuat
2) Melaporkan peningkatan nafsu makan
3) Menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi
4) Mengidentifikasi cara untuk menurunkan faktor-faktor yang
menurunkan intake oral
5) Beristirahat sebelum makan
6) Makan di lingkungan yang nyaman dan bebas bau
7) Mengatur jam makan menyesuaikan jam kunjungan pengunjung
8) Melaporkan peningkatan intake diet
9) Melakukan oral hygiene sebelum makan
10) Minum obat analgesik sebelum makan sesuai resep
11) Mengidentifikasi cara untuk meningkatkan intake protein dan
kalori
12) Mengidentifikasi makanan tinggi kalori dan protein
13) Melaporkan rata-rata penurunan BB
14) Mempertahankan intake kalori yang adekuat
15) Menyatakan rasional nutrisi enteral atau parenteral jika
diperlukan
16) Menunjukkan keterampilan menyediakan sumber nutrisi
alternatif
c. Intervensi Keperawatan :
1) Kaji status nutrisi: TB, BB, umur, blood urea nitrogen, serum
protein, albumin, transferin, hemoglobin, dan nilai hematokrit, lingkar
lengan (Rasional: memberikan pengukuran yg aobyektif status
nutrisi).
2) Kaji riwayat diet, meliputi makanan yang disukai dan tidak, dan
intoleransi makanan (Rasional: memjelaskan kebutuhan edukasi ttg
nutrisi; membantu intervensi secara individu).
3) Kaji faktor-faktor yang mengganggu intake oral (Rasional:
meberikan dasar dan petunjuk intervensi).
4) Konsultasi dengan ahli gizi utk mengenali kebutuhan nutrisi
pasien (Rasional: memfasilitasi rencana pemberian makanan).
5) Kurangi faktor yg menurunkan intake oral: minta pasien istirahat
sebelum makan, sajikan makanan sedikit tp sering (6x/hari), makan
bareng pengunjung, batasi cairan 1 jam sebelum makan dan ketika
makan (Rasional: mengenali faktor yang membatasi intake oral:
meminimalkan kelelahan yg menurunkan nafsu makan; mencegah
berlebihan; mengurangi isolasi sosial; menurunkan kekenyangan).
6) Instruksikan pasien makan makanan tinggi protein: daging, ikan
dan tinggi karbohidrat: pasta, buah, roti (Rasional: memberikan
tambahan protein dan kalori).
7) Konsultasikan dengan dokter dan ahli gizi tentang alternatif lain
pemberian makanan (secara enteral/parenteral) (Rasional:
memberikan dukungan nutrisi jika pasien tidak mampu makan secara
cukup melalui mulut).
8) Konsultasi dengan pekerja sosial tentang bantuan finansial jika
pasien tidak mampu menyediakan makanan (Rasional: menyediakan
ketersediaan sumber bantuan dan nutrisi).
5. Kurang pengetahuan b.d. Cara pencegahan transmisi HIV
a. Tujuan : Meningkatkan pengetahuan terkait dengan cara
mencegah penularan HIV
b. Kriteria Hasil :
1) Pasien, keluarga, dan teman dapat menjelaskan cara penularan
2) Melaporkan dan mendemonstrasikan tindakan untuk mencegah
terpaparnya orang lain dengan HIV
3) Mendemonstrasikan pemahaman bgmn melakukan hubungan
seksual yang aman
4) Mengidentifikasi cara-cara mencegah transmisi penyakit
5) Menyatakan bahwa partner seks-nya telah diberitahu bahwa
pasien positif mengidap HIV
6) Menghindari penggunaan obat secara intra venas/injeksi dan
berbagi alat suntik dengan orang lain.
c. Intervensi Keperawatan :
1) Jelaskan pada pasien, keluarga dan teman tentang cara penularan
HIV Rasional: pengetahuan tentang transmisi penyakit membantu
mencegah penyebaran penyakit).
2) Jelaskan pada pasien, keluarga dan teman cara-cara mencegah
transmisi HIV (hindari ganti-ganti pasangan seksual, gunakan
kondom ketika hub badan, cegah mulut kontak dengan penis, vagina,
atau rektum; hindari hub seks dg pekerja seks atau orang yg resiko
tinggi; jangan menggunakan injeksi/IV obat-obat terlarang, jika
ketagihan gunakan jarum yg steril; perempuan yg terpapar HIV harap
konsultasi dengan dokter sebelum hamil, jika sudah hamil perlu
minum obat ARV) (Rasional: menurunkan resiko penyebaran
penyakit)
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/43845/3/ELIZABETH_FAJAR_P.P_G2A009163_bab_2_K
TI.pdf.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22651/4/Chapter%20II.pdf.

Вам также может понравиться