Вы находитесь на странице: 1из 34

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kelainan pada tuba fallopi memiliki beberapa penyebab seperti sumbatan
yang berasal dari kelainan kongenital, infeksi, dan endometriosis, atau neoplasma
yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi normal tuba hingga dapat
menyebabkan kematian (Wheeler, 1994).
Anomali pada organ genitalia perempuan dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme yang dapat disingkat sebagai CAFÉ yang merupakan kepanjangan dari
Canalization, Agenesis, Fusion, Embryonic rests. Anomali pada organ genitalia
perempuan di akibatkan karena terjadinya defek pada proses fusi lateral dan
vertical dari sinus urogenitalis dan duktus Muller (Prawirohardjo, 2011).
Kegagalan fusi vertical antara duktus Muller dan sinus urogenital akan
menyebabkan kelainan gangguan kanalisasi organ genitalia. Selanjutnya,
kegagalan untuk melakukan fusi lateral akan menyebabkan terjadinya duplikasi
organ (Prawirohardjo, 2011).
Penyebab lain kelainan pada tuba fallopii adalah infeksi. Salah satu contoh
infeksi dari adneksa dan jaringan sekitarnya adalah penyakit radang panggul (PID:
Pelvic Inflammatory Disease). PID merupakan jenis infeksi pada alat genital
bagian atas. Proses penyakitnya dapat meliputi endometrium, tuba fallopii,
ovarium, myometrium, parametria, dan peritoneum panggul. PID adalah infeksi
yang paling penting dan merupakan komplikasi infeksi menular seksual yang
paling biasa.
Penyebab lainnya adalah endometriosis. Endometriosis adalah terdapatnya
jaringan endometrium fungsional di luar kavum uterus. Lokasi endometriosis
dapat menyebar dari ovarium, dinding perut, sekum, peritoneum parietale, tuba,
sigmoid, uterus, kavum douglas, bahkan rectum (Prawirohardjo, 2011).
Keganasan pada tuba fallopii merupakan jenis kanker yang jarang dijumpai.
Kanker ini merupakan 0.1%-1.8% dari kanker ginekologik. Diperkirakan kanker
ini memiliki penyebab yang sama dengan kanker ovarium dari segi kelainan
2

genetic, yaitu mutasi c-erb, p53, k-ras, dan ada kaitannya dengan BRCA1 dan
BRCA2 (Aziz et al., 2001).Di Amerika Serikat kejadiannya 3.6 dari satu juta
perempuan. Lebih dari 60% kanker tuba dijumpai pada usia pascamenopouse.
(Anwar et al., 2011)
Untuk mendiagnosis kelainan pada tupa fallopii dapat menggunakan
pemeriksaan penunjang radiologi. Lebih jauh keputusan diagnosis memerlukan
riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik. Beberapa kelainan pada tuba fallopi
membutuhkan radiologi sebagai baku standar penegakkan diagnosis.

I.2 Tujuan dan Manfaat


I.2.1 Tujuan Umum
a. Untuk memberikan penjelasan mengenai bebagai kompleksitas pada
kelainan tuba fallopi.
b. Untuk memberikan pengetahuan dasar mengenai gambaran klinis
berbagai kasus dalam dunia medis yang terkait dengan kelainan pada
tuba fallopi.
I.2.2 Manfaat
a. Menjadi bahan pembelajaran pribadi yang menambah pengetahuan serta
wawasan penulis mengenai kelainan pada tuba fallopi.
b. Pembaca dapat memahami lebih jauh tentang komponen yang ikut
berperan dalam menyebabkan terjadinya kelainan pada tuba fallopi.
c. Dapat menambah bahan bahan pustaka institusi.

BAB II
3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1 Sistem Reproduksi Wanita;Lateral

Gambar 2Sistem Reproduksi Wanita;Anterior

Gambar 3 Bagian-Bagian Tuba


4

Tuba Uterina (juga disebut tuba fallopi atau oviduct)bertugas sebagai


saluran oosit dari ovarium ke uterus. Tuba uterine memiliki panjang 10-12 cm
dan berjalan sepanjang aspek superior dari ligament yang luas. Tuba fallopi
terdiri dari corneal, isthmus, dan ampulla. Isthmus merupakan bagian akhir
medial yang sempit dari setiap tuba uterin yang terhubung dengan
uterus.Infundibulum distal yang lebar meluas dengan bentuk ramping, proyeksi
finger-like disebut fimbriae.Bagian tengah dari tuba, disebut ampulla, dimana
fertilisasi sering terjadi. Tuba uterine juga memiliki 3 lapisan: lapisan luar serosa,
lapisan tengah otot halus, dan lapisan dalam mukosa. Sebagai tambahan terhadap
adanya mucus-secreting cells, maka mukosa lapisan dalam mengandung sel
bersilia yang bergerak dengan arahan uterus, menghasilkan arus yang penting
untuk menggerakkan oosit. (OpenStage College,2014)
Setelah ovulasi, oosit sekunder yang dikelilingi oleh sedikit sel
granulose dilepaskan pada ruang peritoneal. Tuba uterin terdekat, kiri atau kanan,
menerima oosit. Tidak seperti sperma, oosit tidak punya flagella, oleh karena itu
tidak bisa bergerak dengan sendirinya. Sehingga oosit bergerak dari tuba uterin
dan pergi ke uterus karena konsentrasi estrogen yang tinggi yang terjadi disekitar
waktu ovulasi mempengaruhi kontraksi otot halus disepanjang tuba uterin.
Kontraksi ini terjadi 4-8 detik dan hasilnya adalah pergerakan yang terkoordinasi
yang menyapu permukaan ovarium dan ruang pelvis. Aliran ke uterus secara
umum dikoordinasikan oleh pergerakan silia yang berbaris di sebelah permukaan
luar dan lumen sepanjang tuba uterine. Silia ini bergerak lebih kuat akibat dari
konsentrasi estrogen yang tinggi pada waktu ovulasi. Hasil mekanisme ini,
oocyte_granulosa cell complexditarik di dalamtuba. Sedangkan di dalam,
kontraksi muscular dan gerakan silia memindahkan oosit perlahan ke arah uterus.
Saat fertilisasi terjadi, sperma biasanya bertemu telur saat masih berada di
ampulla.
Tuba uterin yang berbentuk open-ended structure dapat memiliki
resiko kesehatan yang signifikan apabila bakteri atau kontaminan lain memasuki
vagina dan bergerak ke arah uterus, lalu tuba, kemudian ke ruang pelvic. Apabila
5

hal ini tidak diperhatikan, infeksi bakteri (sepsis) dapat dengan cepat mengancam
jiwa. (OpenStage College, 2014)
Hysterosalpingography (HSG)merupakan alat evaluasi uterus dan tuba
fallopi secara radiografi dan digunakan sebagian besar untuk menilai infertilitas.
Indikasi lain untuk HSG termasuk untuk menilai wanita dengan riwayat aborsi
spontan berulang, menilai post-operasi wanita yang telah menjalani ligasi tuba
atau pemutaran ligasi tuba, dan menilai pasien yang sebelumnya pernah
myomectomy. (Simpson et al, 2006)
Peran utama HSG adalah untuk menilai tuba fallopi. Ultrasonography
(US) saat ini digunakan untuk menilai endometrium (misalnya pendarahan uterus
abnormal, polip) dan kehamilan, dimana magnetic resonance (MR) imaging lebih
digunakan untuk menilai myometrium uterin ( misalnya kontur uterin, myomas)
dan ovarium. Terdapat dua kontraindikasi dari HSG yakni kehamilan dan infeksi
aktif pelvis. Pemeriksaan HSG harus dijadwalkan selama hari 7-12 dari siklus
menstruasi (hari 1 adalah hari pertama keluar darah haid). Endometrium tipis
selama selama fase proliferative ini, bukti bahwa memudahkan interpretasi
gambar dan juga memastikan bahwa tidak ada kehamilan.
Pada HSG, tuba fallopi harus muncul dengan gambaran tipis, garis
halus yang terbentang pada bagian ampulla. Bagian isthmus memiliki gambaran
mirip dengan spageti. Beberapa komplikasi dapat terjadi dengan HSG—
paling sering khususnya, pendarahan dan infeksi—dan kesadaran dari komplikasi
yang mungkin dari HSG merupakan hal yang penting. Meskipun demikian, HSG
tetap merupakan alat yang bernilai dalam mengevaluasi uterus dan tuba fallopi.
(Simpson et al, 2006)
Kelainan tuba yang dapat dilihat dari HSG dapat berupa kelainan
kongental, akibat spasme, oklusi, dan infeksi. (Browne et al, 2009)
6

Gambar 4. Radiograf menunjukan material kontras intraperitoneal


tumpah dari tuba fallopi. Pada kasus ini, tumpahan membentuk garis
cembung

Gambar 5. Gambaran HSG frontal menunjukan kontur fundus dari


endometrial (tanda panah)

2.2 Definisi Kelainan Tuba


a. Kongenital (Duktus Mulleri)
Bersatunya duktus mulleri normalnya terjadi antara 6-11 minggu
gestasi untuk membentuk uterus, tuba fallopi, serviks, dan 2/3 proksimal
vagina. Adanya gangguan perkembangan duktus mulleri selama
embryogenesis dapat membuat kelainan kongenital yang kompleks dan
luas yang dinamakan müllerian duct anomalies (MDAs). Ovarium dan
sepertiga distal vagina berturut-turut berasal dari yolk sac primitif dan
7

sinovaginal bud. Oleh karena itu MDAs tidak berkaitan dengan anomaly
dari genital eksterna atau perkembangan ovarium. (Behr et al., 2012)
Mendiagnosa MDA secara klinis sangat penting karena berkaitan
dengan resiko tinggi infertilitas, endometriosis, dan keguguran, sedemikian
sehingga sebuah estimasi menunjukkan bahwa 15% wanita yang
mengalami keguguran berulang dilaporkan memiliki MDAs. MDAs juga
sering berhubungan dengan kelainan renal, dengan prevalensi 30%-50%,
termasuk agenesis renal (sebagian besar agenesis unilateral), ektopia,
hypoplasia, fusion, malrotasi, dan duplikasi. (Behr et al., 2012)
Pemeriksaan imaging memiliki peran penting dalam mendiagnosis
MDA dan merencanakan penatalaksanaannya. Saat ini, magnetic
resonance (MR) imagingmerupakan alat yang lebih disukai untuk
mengevaluasi MDA. Hysterosalpingography (HSG) secara rutin digunakan
untuk evaluasi awal infertilitas; HSG dapat menaksir rongga uterin dan
patensi tuba fallopi namun tidak menghasilkan informasi tentang kontur
eksternal uterin. Sehingga secara klinis HSG hanya memiliki sedikit
kegunaan klinis untuk menilai adanya MDA. MR imaging
danultrasonographymenghasilkan detail anatomi yang lebih baik, kedua
metode pemeriksaan ini dapat menghasilkan informasi kontur eksternal
uterine, yang mana merupakan ciri khas diagnostic yang penting dari
MDAs. Lagi pula, MR imaging dan ultrasonographydapat digunakan juga
untuk menilai kelainan renal; kelanian renal terjadi lebih tinggi pada pasien
MDA. (Behr et al., 2012)
b. Infeksi (Pelvic Inflammatory Disease)
Infeksi pelvic inflammatory disease (PID) merupakan penyebab
tersering oklusi tuba yang dapat menyebabkan infertilitas. PID terjadi saat
uterus dan atau tuba fallopi menjadi terinfeksi. Sexually transmissible
infectionsseperti gonorrhea atau Chlamydia adalah penyebab PID yang
paling sering. Bakteri lain yang normalnya tumbuh di vagina dapat juga
menyebabkan PID, khususnya setelah melahirkan, atau setelah dipasang
intra uterine device (IUD/coil).Gejala dan tanda pada wanita yang terkena
8

PID dapat berupa nyeri pelvis atau abdomen bawah, nyeri yang berat saat
berhubungan seks, demam dan merasa tidak enak badan, discharge vagina
yang tidak seperti biasanya, pendarahan haid irregular. Namun kadang PID
dapat terjadi tanpa ada gejala sama sekali atau gejala yang timbul sangat
ringan sehingga wanita kadang tidak menyadari adanya infeksi. Hal ini
disebut ‘silent PID’. (CDC, 2011)
Kriteria diagnosis PID yang paling spesifik adalah biopsy
endometrium disertai bukti histopatologis endometritis, USG transvaginal
atau MRI yang memperlihatkan tuba menebal penuh berisi cairan dengan
atau tanpa cairan bebas di panggul atau kompleks tubo-ovarial atau
pemeriksaan Doppler mengindikasikan infeksi panggul (misalnya hiperemi
tuba), serta hasil pemeriksaan laparoskopi yang konsisten dengan PID.
(Anwar et al., 2011)
c. Endometriosis
Endometriosis adalah kondisi dimana jenis jaringan yang
membentuk lapisan uterus (endometrium) ditemukan diluar uterus (ACOG,
2012). Area dari jaringan endometrial (disebut juga implant) paling sering
terjadi ditempat ini yaitu: peritoneum, ovarium, tuba fallopi, lapisan luar
uterus, kandung kemih, ureter, intestinal, rectum dan cul-de-sac (tempat
dibelakang uterus) (Chamie et al., 2011).
Endometriosis ditanamkan untuk merespon perubahan estrogen,
sebuah hormon wanita.Implan ini dapat tumbuh dan berdarah seperti
lapisan uterus saat siklus menstruasi. Jaringan disekitarnya dapat
teriritasi,inflamasi, dan bengkak.
9

Endometriosis merupakan penyakit ginekologi multifocal yang


bermanifestasi selama tahun reproduktif, sering menyebabkan nyeri pelvis
kronis dan infertilitas. Meskipun pemeriksaan fisik disarankan, namun
pemeriksaan imaging dibutuhkan untuk diagnosis definitif, konseling
pasien, dan perencanaan penatalaksanaan. Teknik imaging yang paling
bermanfaat untuk pemetaan penyakit pre-operatif adalahtransvaginal
ultrasonography (US) setelah persiapan kandung kemih, dan magnetic
resonance (MR) imaging.Transvaginal US inisial merupakan teknik yang
dapat dipercaya untuk mendeteksi rectosigmoid enometriotic lesion.
Pada gambaran ultrasonography, lesi menginfiltrasi endometriosis
secara dalam menunjukkan gambaran hypoechoic dibandingkan
myometrium. Pada gambar MR, mereka memiliki sinyal instensitas serupa
dengan otot halus, dengan low signal intensity pada T2- weighted images,
intermediate signal intensity pada T1-weighted images,dan peningkatan
minimal setelah injeksi intravena material kontras. (Chamie et al., 2011)

d. Karsinoma
10

Karsinoma tuba fallopi primer merupakan keganasan ginekologi


yang paling jarang terjadi dengan angka kejadian 1% diantara neoplasma
ginekologi. Saat etiologi pasti belum diketahui, banyak faktor resiko yang
diajukan, termasuk ras Caucasian, nulliparitas, dan keganasan sebelumnya
(kanker kolon atau payudara). Sebagian besar pasien adalah
postmenopausal, dengan rata-rata usia 55 tahun. Prosentase terbesar pasien
akan menampilkan gejala non-spesifik, sementara itu 15% mungkin
menunjukkan classic triad of intermittent serosanguinous vaginal
discharge, nyeri abdomen bagian bawah kolik, dan masa adnexa, dikenal
sebagai Latzko triad. (Anwar et al., 2011)
Agar didefinisikan sebagai Primary Fallopian Tube Carcinoma,
tumor utama harus ada di dalam tuba atau ujung fimbriae, sebuah
perubahan dari epitel jinak menjadi maligna harus ada dapat ditunjukkan
dan ovarium/uterus harus normal atau, jika tidak, kondisi patologis yang
mempengaruhi organ tersebut harus berbeda jelas dengan tuba fallopi.
Sementara itu kasus yang mayor terjadi adalah unilateral, namun pada
beberapa kasus, kedua tuba mungkin dapat terkena. Jenis pola
pertumbuhan termasuk nodular, papillary, infiltrate, dan difus, dengan
serosa papillary adalah yang tersering. (JOGC, 2010)
Sebagai catatan, papillary serous carcinomadari tuba fallopi identik
dengan ovarian serous carcinoma. Dari sisi radiologi, mungkin akan sulit
untuk membedakan carcinoma tuba dari masa ovarium lain.Grayscale
ultrasound imagingsecara sederhana menyatakan padat atau sebagian padat
dan masa adnexa kistik dengan bermacam-macam echotexture.
Ciri khas dari Primary Fallopian Tube Carcinoma dapat non-
spesifik dan membuat radiologis memasukkan diagnosis banding seperti
tubo-ovarian abscess, ovarian tumor, and ectopic pregnancy. Tumor dari
tuba fallopi cenderung memproduksi sekresi serosa, menghasilkan
hidrosalpinx yang dikenal sebagai adnexal anechoic atau hypoechoic
tubular structure.Analisis lebih lanjut dengan Doppler akan menunjukkan
aliran vascular resisten rendah di dalam proyeksi papilar atau masa
11

intraluminal. Gambaran 3D sonografi mungkin bermanfaat untuk


mendeteksi iregularitas dinding tuba, termasuk preoyeksi papilar dan
pseudosepta.

Gambar 3 Transvaginal Ultrasound pada adnexa kiri, terdapat tubular anechoic


structure dengan proyeksi papilar.
12

2.3 Epidemiologi
a. Kongenital (Ductus Mulleri)
Prevalensi MDA yang dilaporkan oleh bermacam-macam literature
memiliki hasil yang berbeda, memiliki rentang dari 1%-5% pada populasi
umum hingga 13%-25% pada wanita dengan riwayat keguguran berulang.
Pada analisa 94 penelitian observasional, Chan et al melaporkan prevalensi
MDA adalah 5.5% pada populasi umum, 8% pada wanita infertile, 13.3%
pada wanita yang keguguran, 24.5% pada wanita yang memiliki riwayat
keguguran dan infertilitas. Mereka menemukan bahwa uterus arkuata
adalah yang paling sering pada populasi umum, yang menyerang 3.9%
perempuan, diikuti oleh uterus bicornuat 0.4%. Pada wanita yang pernah
13

mengalami infertilitas atau keguguran, septate uterusadalah yang paling


sering ditemukan yakni 15.4% perempuan. (Behr et al., 2012)
b. Infeksi (Pelvic Inflammatory Disease)
Setiap tahunnya di United States, kira-kira 1 juta wanita mengalami
PID. Diperkirakan 1 dari 8 wanita remaja dewasa aktif secara seksual
mengalami PID sebelum menginjak usia 20 tahun. Berdasarkan WHO
2008, 499 juta kasus baru dari curable sexually transmitted
infections(misalnya syphilis, gonorrhea, Chlamydia, trichomoniasis) terjadi
setiap tahun di dunia berusia 15-49 tahun. Pada negara berkembang,
sexually transmitted infections dan komplikasinya menduduki ranking 5
kelompok penyakit yang dewasa ini mencari pertolongan medis. Secara
epidemiologic di Indonesia insidensinya diekstrapolasikan sebesar lebih
dari 850.000 kasus baru tiap tahun. Bahkan ada kenaikan insidensi PID 2-3
dekade yang lalu akibat beberapa faktor seperti adat istiadat yang lebih
liberal, insidensi pathogen menular seksual seperti C.trachomatis, dan
pemakaian alat kontrasepsi seperti AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim).

c. Endometriosis
Untuk endometritis, keseluruhan insidensi (kejadian tahunan) dan
prevalensi (proporsi dari populasi penyakit) dipercaya 5% sampai 10%
wanita pada usia reproduktif. Penelitian yang laporannya digunakan untuk
mendapat gambaran dikompromikan dengan pilihan bias, batasan dari
diagnosis pembedahan dari penyakit ini,dan mendeteksi bias yang
berhubungan dengan penelitian retrospektif. Dokter harus menyadari
beberapa faktor yang meningkatkan likelihood atau kemungkinan dari
endometriosis pada individu pasien. Wanita dengan kelainan sistem
reproduksi dan dihasilkan obstruksi dari aliran menstrual juga dapat
meningkatkan resiko endometriosis. Bertambahnya paritas dan menstruasi
yang tidak teratur serta memanjang menurunkan likelihood atau
kemungkinan dari penyakit ini, namun nulliparity, subfertility, dan interval
14

kehamilan yang panjang berhubungan dengan peningkatan resiko


endometriosis. (Chamie, 2011)
Insidensi tertinggi endometriosis adalah pada wanita yang menjalani
penilaian laparoskopi untuk menilai infertilitas atau nyeri pelvis:
endometriosis akan didiagnosis sebesar 20% sampai 50%.
d. Karsinoma
Kankertuba fallopi termasuk kanker yang sangat jarang dijumpai.
Kanker ini merupakan 0,1% sampai 1,8% dari kanker ginekologik. Di
Amerika Serikat kejadiannya 3.6 dari satu juta perempuan. Lebih dari 60%
kanker tuba dijumpai pada usia pascamenopouse. (Anwar et al., 2011)
Berulang kali penelitian epidemiologi besar telah dipublikasikan
untuk mendukung hubungan antara endometriosis dan karsinoma epitel
ovari, khususnya clear cell dan subtype endometrioid. Pada penelitian
kohort retrospektif, Brinton et al meninjau lebih dari 20.000 wanita yang di
diagnosis endometriosis. Mereka mengidentifikasi sebuah peningkatan
terhadap resiko terjadinya kanker, terutama resiko kanker ovarium, dengan
Standardized Insidence Ratio (SIR: rasio dari sejumlah pasien yang
diharapkan menjadi kanker) berturut-turut adalah 1.2 (95% CI 1.1 sampai
1.3) dan 1.9 (95% CI 1.3 sampai 2.8). Beberapa laporan yang diterbitkan
mendukung hubungan ini termasuk penelitian Kobayashi et al menyatakan
6398 wanita dengan endometriomas, yang mana didokumentasikan secara
pembedahan pada 1/3 wanita dan sisanya dengan ultrasound atau
pemeriksaan fisik. Setelah 17 tahun follow up, 46 kanker ovarium yang
dapat diidentifikasi. fied (SIR 8.95; 95%CI 4.12 sampai 15.3 ). Analisis
dari kelompok data wawancara dari 8 kontrol kasus menunjukkan bahwa
wanita dengan infertilitas, khususnya mereka yang menderita
endometriosis, lebih rentan berkembang kanker ovarium dalam tubuhnya
(OR 1.73; 95% CI 1.10 sampai 2.71).

2.4 Etiologi
15

Kelainan pada tuba fallopi memiliki beberapa etiologi seperti


sumbatan yang berasal dari kelainan kongenital, infeksi, dan endometriosis, atau
neoplasma.
a. Kongenital
Anomali pada organ genitalia perempuan dapat disebabkan oleh
beberapa mekanisme yang dapat disingkat sebagai CAFÉ yang merupakan
kepanjangan dari Canalization, Agenesis, Fusion, Embryonic rests.
Anomali pada organ genitalia perempuan diakibatkan karena terjadinya
defek pada proses fusi lateral dan vertical dari sinus urogenitalis dan duktus
Muller. Proses fusi (penggabungan) duktus Muller kanan kiri akan selesai
pada usia kehamilan 12 minggu. Sementara itu, proses kanalisasi akan
selesai pada usia kehamilan 5 bulan. Kegagalan fusi vertical antara duktus
Muller dan sinus urogenital akan menyebabkan kelainan gangguan
kanalisasi organ genitalia. Selanjutnya, kegagalan untuk melakukan fusi
lateral akan menyebabkan terjadinya duplikasi organ. Gangguan resorpsi
akan mengakibatkan terbentuknya septum (Prawirohardjo, 2011).
Seperti telah disebutkan sebelumnya anomaly duktus Muller dapat
disebakan oleh mekanisme agenesis/hypoplasia, gangguan fusi vertical
atau lateral. The American Society of Reproductive Medicine (ASRM)
telah menciptakan suatu system klasifikasi untuk anomaly pada duktus
Muller. Salah satu klasifikasinya adalah tipe 1 di mana terdapat keterlibatan
tuba di dalamnya.
1) Sindrom Mayer – von Rokitansky – Kuster – Hauser (MRKH)
Salah satu varian dari kelainan duktus Mulleri ini terjadi jika
kegagalan dalam pembentukan organ genitalia menyebabkan ia tidak
terbentuk sama sekali. Apabila melibatkan kedua duktus Muller, maka
tidak akan didapatkan adanya uterus, kedua tuba fallopii, dan sepertiga
bagian atas vagina. Tidak terbentuknya vagina yang disertai kelainan
duktus Muller yang bervariasi, dan diikuti kelainan system ginjal, rangka,
dan pendengaran, disebut dengan Sindrom Mayer – von Rokitansky –
Kuster – Hauser (MRKH). Jika kegagalan hanya melibatkan satu sisi
16

duktus Muller, maka akan terbentuk uterus yang memiliki satu tanduk dan
satu tuba Fallopii (uterus unikornis). Meski kejadiannya jarang, dapat
terjadi serviks tidak terbentuk tetapi vagina dan uterusnya normal. Hal
tersebut dapat menimbulkan masalah karena darah haid yang terbentuk
dalam kavum uteri tidak dapat keluar sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya hematometra, bahkan hematosalping (Hughes et al., 2008).
b. Infeksi
Salah satu contoh infeksi dari adneksa dan jaringan sekitarnya adalah
penyakit radang panggul (PID: Pelvic Inflammatory Disease). PID
merupakan jenis infeksi pada alat genital bagian atas. Proses penyakitnya
dapat meliputi endometrium, tuba fallopii, ovarium, myometrium,
parametria, dan peritoneum panggul. PID adalah infeksi yang paling
penting dan merupakan komplikasi infeksi menular seksual yang paling
biasa. Biasanya PID terjadi pada rentang usia 16-25 tahun. Angka kejadian
PID naik dalam 2-3 dekade lalu karena adanya beberapa faktor seperti adat
istiadat social yang lebih liberal, insiden pathogen menular seperti C.
trachomatus, dan pemakaian alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR).
Kurang lebih 15% kasus PID terjadi setelah tindakan seperti biopsy
endometrium, kuretase, histeroskopi, dan insersi AKDR. Delapan puluh
lima persen kasus terjadi infeksi spontan pada perempuan usia reproduksi
yang aktif secara seksual. Banyaknya pasangan seksual (didefinisikan lebih
dari 2 pasangan dalam 30 hari) terbukti dapat meningkatkan risiko
terjadinya PID. Pada kasus PID kronik, manifestasi dapat menyebabkan
hidrosalping atau piosalping. Rupture abses atau piosalping dapat
menyebabkan peritonitis purulenta generalisata. Bakteri penyebab PID
yang sering ditemukan adalah C. trachomatis, N. gonorrhea, dan banyak
bakteri aerobic serta anaerobic lainnya.
17

Tingkat Penyakit
Manifestasi
Radang Panggul
I Salpingitis atau salping-ooforitis unilateral atau bilateral tanpa
penyulit, kecuali pelvioperitonitis lokal
II Adneksitis dengan penyulit seperti piosalping, abses tuboovarial
atau radang massa adneks (unilateral atau bilateral dengan atau
tanpa pelvioperitonitis)
III Abses pelvik atau abses tuboovarium dengan diameter lebih dari
8 cm dengan atau tanpa penyebaran radang ke abdomen bagian
atas abses yang pecah

c. Endometriosis
Endometriosis adalah terdapatnya jaringan endometrium fungsional
di luar kavum uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam
myometrium disebut adenomiosis (endometriosis interna), sedangkan bila
di luar uterus disebut endometriosis (endometriosis eksterna). Lokasi
endometriosis dapat menyebar dari ovarium, dinding perut, sekum,
peritoneum parietale, tuba, sigmoid, uterus, kavum douglas, bahkan
rectum. Oleh karena perdarahan dari endometrium ektopik tidak dapat
keluar, terbentuk gumpalan darah yang mirip tumor yang sangat
mengganggu. Dalam kasus ini, tentu endometriosis dapat menjadi salah
satu etiologi dari adanya sumbatan pada tuba fallopii (Prawirohardjo,
2011).
d. Karsinoma
Neoplasma atau pertumbuhan baru dari jaringan yang bersifat
abnormal dapat bersifat benigna (jinak) atau maligna (ganas).
1) Benigna
Neoplasma jinak yang biasanya terjadi adalah tumor berbentuk
kistik. Varian ini dinamakan kista morgagni. Lokasi tersering dari
tumor kistik tuba ini adalah pada atau dekat ujung fimbria. Kista ini
berdinding tipis, transparan, berisi cairan jernih. Ukuran rata-rata
adalah 1 cm dan dindingnya tersusun dari jenis yang sama dengan
tuba. Jarang sekali menimbulkan gejala klinis dan pada sebagian
18

kasus, tumor ini ditemukanhanya saat melakukan operasi atau


laparoskopi. Contoh lain dari neoplasma jinak yang lebih jarang di
tuba fallopii adalah tumor adenoid, yang terjadi di subserosa atau
kadang di mesosalping (Wheeler, 1994).
2) Maligna
Kanker tuba fallopii merupakan jenis kanker yang jarang
dijumpai. Kanker ini merupakan 0.1%-1.8% dari kanker ginekologik.
Diperkirakan kanker ini memiliki penyebab yang sama dengan kanker
ovarium dari segi kelainan genetic, yaitu mutasi c-erb, p53, k-ras, dan
ada kaitannya dengan BRCA1 dan BRCA2. Faktor risiko dari kanker
ini meliputi peradangan kronis tuba fallopii, tuberculosis, dan PID
(Aziz et al., 2001).

2.5 Patofisiologi
a. Kongenital
19

Pada masa embrional, terdapat proses yang disebut dengan


diferensiasi gonadal. Proses ini ditentukan oleh kromosom seks dari embrio
tersebut. Seorang perempuan memiliki kromosom XX sementara laki-laki
XY. Pada kromosom Y terdapat suatu gen yang sangat penting untuk
menentukan gonad tersebut menjadi testis. Gen tersebut berlokasi pada
lengan pendek kromosom Y. Dengan adanya kromosom Y, maka gonad
yang pada awalnya belum berdiferensiasi akan berkembang menjadi testis.
Berkembangnya testis ditandai dengan terbentuknya Sel Sertoli di usia
kehamilan 6-7 minggu dan sel Leydig di usia kehamilan 8 minggu, sel
sertoli akan memproduksi Mullerian Inhibiting Substance (MIS),
sementara Sel Leydig akan mempoduksi hormone androgen. Tidak adanya
kromosom Y dan hadirnya 2 kromosom X (XX) akan menyebabkan gonad
yang belum berdiferensiasi berkembang menjadi ovarium.
Selanjutnya MIS dari testis akan menekan pertumbuhan duktus
Muller (paramesonefros) dan mempertahankan duktus Wolff (mesonefros)
di bawah pengaruh androgen yang nantinya berkembang menjadi
epididymis, vas deferens, dan vesikula seminalis. Jika terjadi permasalahan
saat diferensiasi gonad masa embrio, maka kelainan (non-kromosomal)
20

dapat terjadi. Contohnya adalah anomaly duktus muller yang dapat


melibatkan tuba (Prawirohardjo, 2011).
b. Infeksi
Pelvic Inflammatory Disease (PID) yang melibatkan tuba ini
diakibatkan oleh organisme yang menular secara seksual seperti C.
trachomatis dan N. gonorrhea. Bakteri terebut memulai proses inflamasi
akut yang menyebabkan kerusakan jaringan sehingga memungkinkan akses
oleh organisme lain dari vagina atau serviks ke alat genital atas.
Aliran darah menstruasi dapat mempermudah infeksi pada alat
genital atas dengan menghilangkan sumbat lendir serviks, menyebabkan
hilangnya lapisan endometrium dan efek protektifnya, serta menyediakan
medium biakan yang baik untuk bakteri yaitu darah menstruasi sendiri.

Pada penggunaan kontrasepsi pil disinyalir dapat menurunkan


insidensi PID karena efek perubahan konsistensi lendir dan atau atropi
endometrium. Sementara, penggunaan AKDR dan riwayat aktif secara
seksual dengan banyak pasangan (lebih dari 2 dalam 30 hari) dapat
meningkatkan faktor risiko (Prawirohardjo, 2011).
Penyakit ini dapat menyebabkan sumbatan/oklusi tuba yang
meningkatkan risiko infertilitas. Selain itu, PID juga merupakan penyebab
terbanyak dari terjadinya kehamilan ektopik pada wanita.
c. Endometriosis
Perjalanan penyakit dari endometriosis ini belum diketahui secara
pasti. Ada beberapa teori yang menjelaskan terjadinya endomeriosis (dalam
21

kasus ini, endometriosis eksterna). Teori refluks haid dan implantasi sel
endometrium di dalam rongga peritoneum diterangkan oleh John Sampson
(1921) (Speroff dan Fritz, 2005). Teori ini dibuktikan dengan
ditemukannya darah haid dalam rongga peritoneum pada waktu haid
dengan laparoskopi. Sel tersebut dapat dikultur dan menempel serta
tumbuh bekembang pada sel mesotel peritoneum. Teori patoimunologi
berpendapat bahwa endometriosis merupakan reaksi abnormal imunologi
yang tidak berusaha membersihkan refluks haid, malah memfasilitasi
terjadinya endometriosis. Apoptosis sel-sel endometrium ektopik menurun.
Pada endometriosis ditemukan adanya peningkatan jumlah makrofag dan
monosit dalam cairan peritoneum, yang teraktivasi menghasilkan faktor
pertumbuhan dan sitokin yang merangsang tumbuhnya endometrium
ektopik.
Teori lain mengatakan genetik berpengaruh jika dilihat dari pola
penurunan penyakit. Risiko jadi 7 kali lebih besar bila ditemukan
endometriosis pada ibu atau saudara kandung (Mahmood dan Templeton,
1991). Selain itu, penyebaran melalui hematogen dan limfatogen juga
disinyalir menjadi penyebab (Hadisaputra, 2007). Peningkatan sekresi
molekul neurogenic seperti nerve growth factor dan reseptornya yang
merangsang tumbuhnya saraf sensoris pada endometrium. Peningkatan
interleukin-1 (IL-1) dapat meningkatkan perkembangan endometriosis dan
merangsang pelepasan faktor angiogenik (VEGF), interleukin-6,
interleukin-8, dan merangsang pelepasan intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) yang membantu sel endometrium yang refluks ke dalam rongga
peritoneum terlepas dari pengawasan imunologis (Oepomo, 2005).
d. Karsinoma
1) Benigna
Kista Morgagni berisi cairan jernih dan berasal dari saluran
Wolff. Kista ini dilapisi oleh epitel serosa jinak bertipe tuba.
Mekanisme terjadinya kista ini masih belum diketahui secara pasti
(Robbins dan Cotran, 2014).
22

2) Maligna
Kanker tuba fallopii 60% terjadi pada usia menopause. 90%
kanker bertipe adenokarsinoma serosum papiliferum. Jenis
histopatologik lainnya adalah karsinoma sel jernih dan karsinoma
endometrioid. Jenis yang lebih jarang lagi adalah sarcoma, tumor sel
germinal, dan limfoma. Faktor risiko non-genetik dari kanker ini
adalah usia, paritas rendah, dan infertilitas.

2.6 Gejala
a. Kongenital
Pada kejadian anomali duktus mulleri, uterus dapat tidak terbentuk
sehingga darah hadi terbendung dalam kavum uteri dan menyebabkan
hematometra, bahkan hematosalping. Gejala lain dapat tidak spesifik,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang lain seperti ultrasonografi
(USG), histerosalfingografi, hingga histeroskopi dan laparoskopi. Pada
sindrom Mayer – von Rokitansky – Kuster – Hauser, terdapat kelainan
pada system ginjal, rangka, dan pendengaran. Diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan holistic pada kasus ini.
b. Infeksi
Pada kasus PID, gejala yang sering ditemui adalah nyeri
abdominopelvik. Keluhan lain beragam seperti keluarnya cairan vagina
atau perdarahan, demam, menggigil, serta mual dan dysuria. Demam
23

terlihat pada 60-80% kasus. Karena keluhan dapat menjadi sangat


bervariasi, maka PID harus dicurigai pada setiap pasien yang memiliki
gejala di atas dan berisiko tinggi.
c. Endometriosis
Gejala dan tanda dari endometriosis adalah dismoenorea (nyeri haid),
nyeri pelvik akibat perlengketan yang nyerinya dapat menyebar hingga ke
dalam panggul, paha, punggung, nahkan hingga ke rectum dan
menyebabkan diare. Dyspareunia timbul terutama jika endometriosis
tumbuh di sekitar kavum douglasi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan pada uterus posisi retrofleksi (Hadisaputra, 2006). Selain itu,
dapat terjadi subfertilitas yang diakibatkan oleh gangguan pelepasan oosit
dari ovarium atau menghambat perjalanan ovum untuk bertemu dengan
sperma (Luthan et. al., 2006)
d. Karsinoma
Pada kejadian neoplasma jinak, tidak ada tanda khas yang menyertai
dari patologi tersebut. Biasanya tumor jinak atau kista berukuran kecil
ditemukan saat melakukan USG atau check up. Untuk keganasan sendiri,
seperti keganasan lainnya, gejala tidak khas mungkin muncul seperti
perdarahan pervaginam (terutama pada usia pascamenopause) disertai nyeri
perut bagian bawah. Tanda yang paling sering ditemukan adalah massa
tumor di pelvis. Pada pemeriksaan sitology, terdapat gambaran badan
psamomma.
2.7 Diagnosis
a. Kongenital
Konfirmasi dari diagnosis kelainan tuba kongenital dilakukan dengan
melakukan USG abdomen. Pada uterus unikornis karena anomaly duktus
mulleri kelas II, sulit dideteksi dengan USG, namun dapat terlihat
gambaran uterus yang tapering/menyempitpada satu sisi. Penunjang
radiografi yang sering digunakan adalah hysterosalpingogram (HSG).
Kavitas endometrium biasanya diasumsikan berbentuk fusiform (seperti
pisang), menyempit di bagian apex dan turun menuju tuba fallopii tunggal.
24

b. Infeksi
Terdapat kriteria diagnostic dari CDC yang dapat membantu akurasi
diagnosis dan ketepatan terapi. Kriteria minimum dari diagnosis klinis
adalah sebagai berikut (ketiga-tiganya harus ada)

 Nyeri gerak serviks


 Nyeri gerak uterus
 Nyeri gerak adneksa
Kriteria tambahan seperti berikut dapat dipakai untuk menambah
spesifisitas kriteria minimum dan mendukung diagnosis PID.

 Suhu oral > 38.3o C


 Cairan serviks atau vagina tidak normal mukopurulen
 Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskop
sekret vagina dengan salin
 Kenaikan laju endap darah
 Protein reaktif-C meningkat
 Dokumentasi laboratorium infeksi serviks oleh N. gonorrhea
atau C. trachomatis
Kriteria diagnosis PID paling spesifik meliputi:

 Biopsi endometrium disertai bukti histopatologis endometritis


 USG transvaginal atau MRI memperlihatkan tuba menebal
penuh berisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas di panggul
25

atau kompleks tubo-ovarial atau pemeriksaan Doppler


menyarankan infeksi panggul (misal hiperemi tuba)
 Hasil pemeriksaan laparoskopi konsisten dengan PID

c. Endometriosis
Untuk menunjang diagnosis dari Endometriosis, bisa digunakan
penunjang radiologi seperti USG dan MRI, pemeriksaan serum Ca-125,
bedah laparoskopi, atau pemeriksaan patologi anatomi. USG transvaginal
hanya bisa dilakukan untuk mendiagnosis endometriosis (kista
endometriosis) ukuran > 1 cm. Tidak dapat digunakan untuk melihat
bintik-bintik endometriosis ataupun perlengketan. MRI pun tidak dapat
menawarkan pemeriksaan yang lebih superior dibandingkan USG.
Pemeriksaan serum Ca-125 yang merupakan tumor marker dari Ca-
ovarium, juga dapat dilihat peningkatannya pada endometriosis. Jika Ca-
125 > 65 mIU/ml praoperatif, ini menunjukkan derajat beratnya
endometriosis. Namun, pemeriksaan ini sensitivitasnya rendah (Speroff
dan Fritz, 2005).
Laparoskopi merupakan alat diagnostic baku emas untuk diagnosis
endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi
aktif yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat
26

berwarna putih dengan jaringan parut. Seringnya endometriosis ditemukan


saat laparoskopi diagnostik tanpa keluhan (Adamson et al.. 1993).

Gambaran Lesi hipoechoic dengan ada internal echoic pada tengah


gambar menunjukan endometriosis

Gambaran Lesi hipoechoic dengan adanya internal echoic pada


tengah gambar menunjukan endometriosis
d. Karsinoma
Pada neoplasma tuba yang bersifat jinak, diagnosis tidak mudah
ditegakkan kecuali dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dengan
temuan kista berisi cairan dilapisi oleh epitel serosa jinak bertipe tuba
(Robbins dan Cotran, 2014). Sementara pada neoplasma yang bersifat
ganas, diagnosis dapat dikonfirmasi dengan menggunakan USG abdominal
atau vaginal yang dilihat perubahan morfolgi adneksa-nya dengan yang
normal (Takagi, et al., 2003). Meski begitu, MRI atau CT Scan dianggap
lebih unggul dibanding USG (Doppler sekalipun) untuk menentukan
stadium klinik. Diagnosis histopatologik termasuk sulit karena kesamaan
jenis kanker tuba dengan kanker ginekologik lainnya seperti dari
27

endometrium dan ovarium. Hu menyarankan untuk menggunakan kriteria


diagnostic untuk kanker tuba: (1) massa tumor sebagian besar berasal dari
tuba; (2) secara histopatologik mukosa tuba terlibat dalam pola papilifer;
(3) bila dinding tuba terlibat dalam massa kanker tersebut, pola transisi dari
epitel tuba yang normal sampai yang ganas dapat diidentifikasi.

Gambaran hipoechoic pada tubular dengan bentuk papillar

2.8 Diagnosis Banding


a. Kongenital
Diagnosis Persistent mullerian duct syndrome (PMDS) biasanya
dibuat secara tidak sengaja pada eksplorasi bedah atau pada penilaian
28

kesuburan. Pada pasien yang yang mengalami perkembangan tumor pelvis


atau abdominal daftar panjang untuk diferensial diagnosis harus
menyertakan kandung kemih, rectum, vesikula seminalis, uterus, tuba
falopi, endoserviks, vagina dan adenokarsinoma (Romero, 2005).
Differential diagnosis pada wanita yang memiliki fenotip kelainan
yang mengalami amenorrhea primer dan ansent uterus adalah insensitivitas
androgen atau sindrom feminisasi testis. Differensial diagnosis untuk
septum vagina transversal adalah hymen imperforate (Marcal, 2011).

b. Infeksi
Dalam praktek, ketika seorang wanita dengan seksual aktif datang ke
klinik atau unit gayat darurat dengan nyeri perut bawah atau pinggul, PID
harus dipertimbangkan dalam diferensial diagnosis, yang juga termasuk
apendisitis, kehamilan ektopik, torsio ovarium,pendarahan intrapelvik,
pecahnya masa adneksa, endometriosis dan gastroenteritis (Mitchell &
Prabhu, 2013).
c. Endometriosis
Ketika pasien wanita datang dengan keluhan nyeri pinggul, nyeri
perut bawah, dyspareunia dapat dipertimbangkan Diagnosis banding
apendisitis, kehamilan ektopik, kista ovary, torsio ovary dan juda PID.
d. Karsinoma
Dalam penelitian yang menganalisis 27 karsinoma tuba falopi primer,
melaporkan bahwa hanya 11% pasien memiliki ciri-ciri vagina berair, nyeri
perut bawah kolik dan massa pelvis, sehingga dipertimbangkan juga
diferensial diagnosis perimenopause dan wanita pasca menopause dengan
massa adneksa kompleks, pendarah uterus yang tidak dapat dijelaskan, sel-
sel granular abnormal pada pap smears cervico-vaginal dan PID kompleks
(Vyas, 2013).

2.9 Penatalaksanaan
a. Kongenital
29

Intervensi radiologi (IR) telah digunakan pada beberapa kasus


dengan kombinasi dengan pendekatan histeroskopi. IR dapat digunakan
sebagai ptosedut terapi utama (Chandler, 2009).
Histeroskopi operatif adalah standar baku dalam penatalaksaan
kebanyakan anomaly yang dapat dikoreksi dengan prosedur bedah salah
satunya adalah kelainan duktus mullerian (Sardo, 2016)
b. Infeksi
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendiagnosis PID dan juga
dapat digunakan sebagai pengobatan secara langsung. Tujuan terapi dalam
penatalaksanaan PID adalah mikrobiologis jangka pendek dan kesembuhan
klinis; pencegahan jangka panjang dari gejala sisa yaitu infertilitas tuba,
kehamilan ektopik dan nyeri panggul (Mitchell & Prabhu, 2013).Peran
operasi terbatas pada pembagian awal dari adhesi dan drainase panggul
(Dhasmana et al., 2014).
Rekomendasi terapi antimikroba untuk PID yang dipublikasikan pada
tahun 2010:
30

Prinsip pemilihan terapi antimikroba untuk PID adalah bahwa


rejimen harus dapat mengcover N gonnorrhoeae dan C trachomatis,
terlapas dari hasil tes diagnostic. Terapi untuk gonore, dan PID, bergeser
dari regimen berbasis fluoroquinolone karena munculnya resistensis
terhadap fluroquinolone.

c. Endometriosis
Gabungan bedah ablasi laser, adhesiolisis dan ablasi saraf uteri
cendrung menjadi pengobatan yang bermanfaat untuk nyeri pinggul yang
berkaitan dengan endometriosis ringan dan sedang (Jacobson, 2001).
Ada sejumlah intervensi yang potensial untuk endometriosis,
tergantung pada apakah masalah utama nyeri atau subfertilitas. Tujuan
utama dari intervensi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan
implant endometrial ektopik, dan memperbaiki anatomi pinggul normal
(Marcer, 2012). Petraglia dan rekan (2012) melaporkan bahwah terapi
dienogset hingga 65 minggu dikaitkan dengan penurunan nyeri pinggul
pada wanita dengan endometriosis dan efeknya bertahan hingga 24 minggu
sejak akhir terapi. Terapi medis yang umum digunakan untuk mengobati
gejala, obat-obatan yang biasa digunakan adalah oabat-obatan hormonal
dan termasuk kontrasepsi oral kombinasi, progrestin, danazol dan analog
GnRH. (Marcer, 2012).
d. Karsinoma
Pengangkatan total carsinosis adalah tujuan operasi kangker tuba.
Histerektomi abdominal total dengan salpingoophorectomy bilateral dan
omentectomy, appendiktomy, peritoneal washing dan biopsy peritoneum
adalah pengobatan pilihan utama untuk karsinoma tuba (Kalampokas,
2013).
31

DAFTAR PUSTAKA

Adamson GD., Hurd SJ., Pasta DJ., Rodriguez. (1993). Laparoscopic Endometriosis
Treatment: is it better?. Fertil-Steril; 59; 659-66

Anwar, M., Baziad, A., & Prabowo, R. (2011). Ilmu Kandungan.

Aziz, S., Kuperstein, G., Rosen, B., Cole, D., Nedelcu, R., McLaughlin J. (2001). A
genetic epidemiological study of carcinoma of the fallopian tube. Gynecology
Oncology. 40:12-6

Bagaria, S. J., Rasalkar, D. D., & Paunipagar, B. K. (2012). Imaging Tools for
Endometriosis: Role of Ultrasound, MRI and Other Imaging Modalities in Diagnosis
and Planning Intervention.

Behr, S. C., Courtier, J. L., & Qayyum, A. (2012). Imaging of Müllerian Duct
Anomalies. Department of Radiology and Biomedical Imaging, University of
California, San Francisco, 32, E233–E250.

Browne, A. M., DeLappe, E., Khosa, H., Colleran, G., Cronin, K., & Galway. (2009).
Hysterosalpingography (HSG) anatomy, imaging and pathology revisited. Eropean
Society of Radiology.

Centre for Disease Control. (2011). Pelvic inflammatory disease (PID).

Chamié, L. P., Blasbalg, R., Pereira, R. M., Warmbrand, G., & Serafini, P. C. (2011).
Findings of Pelvic Endometriosis at Transvaginal US, MR Imaging, and
Laparoscopy.
32

Dhasmana D., Hothorn E., McGrath R., et al., (2014). The effectiveness of
nonsteroidal anti-inflammatory agents in treatment of pelvic inflammatory disease: a
systematic reviews. BioMed Central. 3:79

Endometriosis:Diagnosis and Management. (2010). Journal of Obstetrics and


Gynaecology Canada, 32 (7).

Ergenoglu AM., Sahin C., Simsek D., et al., (2016). Comparison of three-dimentional
ultrasound and magnetic resonance imaging diagnosis in surgical proven Mullerian
duct anomaly case. European Journal of Obstetrics and Gynecology and
Reproduction Biology. 197:22-26

Hadisaputra W. (2007). Tinjauan Perangai Imunopatobiologi sebagai Modalitas


Baru untuk Menegakkan Diagnosis Endometriosis tanp Visualisasi Laparoskopi
(Kajian Pustaka): Maj Obstetri Ginekologi Indonesia; 31: 180-4

Hadisaputra, W. (2006). Kualitas Kehidupan Seksual Penderita Endometriosis


Sebelum dan Sesudah Laparoskopi Operatif. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia
2006; 30; 219-22

Hughes, IA. (2008). Disorders of Sex Developments: A New Definition and


Classification. Best Practice Clinical Endocrinology Metabolism.

Jacobson TZ., Barlow DH., Garry R., et al,. (2001). Laparoscopic surgery for perlvic
pain associated with endometriosis. Chochrane Database of Systematic Reviews. 4:1-
12

Kalampokas E., Kalampokas T., Tourountous I., (2013). Primary fallopian tube
carcinoma. European Journal of Obstetrics and Gynecology and Reproductive
Biology. 169:155-161

Luthan, D., Halim B., Adenin I. Endometriosis dan Teknologi Bantuan Reproduksi
Dalam. Cetakan I. Jakarta: 2006: 107-14
33

Macer ML., Taylor HS., (2012). Endometiosis and infertility a review of the
pathogenesis and treatment of endometriosis-associates infertility. Obstet Gynecol
Clin N. 39:535-549

Mahmood TA, Templeton. (1991). Prevalence and Genesis of Endometriosis. Human


Repro; 6: 544-9

Marcal L., Nothaft MA., Coelho f., et al., (2011). Mullerian duct anomalies: MR
imaging. Abdomen Imaging. 36:756-764

Oepomo, TD. (2005) Peran Interleukin-8 dalam Zalir Infertilitas disertai


Endometriosis dalam Proses Apoptosis Sel Granulase Ovarii yang Patologis (suatu
pendekatan imunopatologi). Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. 29:16-25

Omero FR., Fucs M., Castro MGd., Garcia CRC., (2005). Adenocarcinoma of
persistent mullerian duct remnants: case report and differential diagnosis. Urology.
66:17-196

OpenStax College. (2014). Anatomy and Physiology of the Female Reproductive


System.

Petraglia F., Hornung D., Seitz C., et al., (2012). Reduces pelvic pain in women with
endometriosis: efficacy of long-term dienogest treatment. Arch Gynecol Obstet.
285:167-173

Prabhu m., Mitchell C., (2013). Pelvic Inflammatory Disease Current Concept in
Pathogenesis, Diagnosis and treatment. Infect Dis Clin N. 27:793-809

Prawirohardjo, Sarwono. (2011). Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Robbins, Cotran. (2014). Pathologic Basis of Disease Ninth Edition. Philadelphia:


Elsevier

Sardo SA., Spinelli M., Cunha VM., et al., (2016). Hysteroscopic treatment of
mullerian duct anomalies. Department of Public Sanity. 68(2):175-185
34

Simpson, W. L., Beitia, L. G., & Mester, J. (2006). Hysterosalpingography: A


Reemerging Study. Department of Radiology, Mount Sinai Medical Center, 26 (2),
419–431.

Speroff L, Fritz MA. (2005). Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.


Seventh Edition. Philadelphia: 1125-1130

Speroff, L., Fritz, MA. (2005). Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.
Seventh Edition. Philadelphia. 1125-1130

Sunde, JS., Kaplan KJ., Rose GS. (2007). Fallopian tube cancer in: Disaia, PJ.,
Creasman WT. Clinical Gynecologic Oncology. 7th edition. 397-410

The American College of Obstreticians and Gynecologist. (2012).

Vyas N., Rai S., Manjeera L., et al., (2013). Primary Fallopian Tube Carcinoma with
the Classical Clinical Features: A Case Report. Journal of Clinical and Diagnosis
Research. 7(4):726-728

Wheeler, JE. Disease of The Fallopian Tube in: Blaustein’s Pathology of The Female
Genital Tract. Springer-Verlag

Вам также может понравиться