Вы находитесь на странице: 1из 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi HIV / AIDS


HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia
(terutama CD4 positif T-sel dan makrofag– komponen-komponen utama sistem
kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang
akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem kekebalan dianggap
defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya
memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya
defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi,
yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi
kekebalan.
Menurut Depkes RI (2003), definisi HIV yaitu virus yang menyebabkan
AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga
dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung
dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh
karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya
sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV
dan ditandai dengan berbagai gejala klinik, termasuk immunodefisiensi berat
disertai infeksi oportunistik dan kegananasan, dan degenerasi susunan saraf
pusat. Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel sistem imun termasuk sel T
CD4+, makrofag dan sel dendritik. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS.20Menurut Depkes RI (2003), AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak
atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup.
Sindrom AIDS timbul akibat melemah atau menghilangnya sistem kekebalan
tubuh karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusakoleh Virus HIV.
Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS, yaitu dengan memasukkan
semua orang HIV positif dengan jumlah CD4+ di bawah 200 per μL darah atau
14% dari seluruh limfosit.

B. Epidemiologi AIDS
Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada
tahun 1981 sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus-kasus AIDS
meningkat dengan cepat. Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan
pandemi, telah menyerang jutaan penduduk dunia, pria, wanita, bahkan anak-
anak. WHO memperkirakan bahwa sekitar 15 juta orang diantaranya 14 juta
remaja dan dewasa terinfeksi HIV. Setiap hari 5000 orang tertular virus HIV
(Siregar, 2004).
Menurut Lembaga Internasional Program PBB mengenai HIV/AIDS
(UNAIDS) mengumumkan bahwa di seluruh dunia, setiap 11 detik seorang tewas
akibat AIDS dan satu orang tertular virus AIDS setiap enam detik. Penyakit
tersebut akan merenggut 68 juta jiwa lagi jika upaya pencegahan tidak
ditingkatkan (Satumed, 2008).

C. Patogenesis
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan
sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi infeksi kronik
progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit dapat dipantau
dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlah sel T
CD4+ dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi masuknya virus ke dalam tubuh,
sel T CD4+ dan monosit dalam darah atau sel T CD4+ dan makrofag dalam
jaringan mukosa merupakan sel – sel pertama yang terinfeksi. Besar
kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebaran awal HIV dalam
jaringan limfoid, karena fungsi normal sel dendritik adalah menangkap antigen
dalam epitel lalu masuk ke dalam kelenjar getah bening. Setelah berada dalam
kelenjar getah bening, sel dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui
kontak antar sel. Dalam beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjar berlipat
ganda dan mengakibatkan viremia. Pada saat itu, jumlah partikel HIV dalam
darah banyak sekali disertai sindrome HIV akut. Viremia menyebabkan virus
menyebar di seluruh tubuh dan menginfeksi sel T, monosit maupun makrofag
dalam jaringan linfoid perifer. Sistem imun spesifik kemudian akan berupaya
mengendalikan infeksi yang tampak dari menurunnya kadar viremia, walaupun
masih tetap dapat dideteksi.
Infeksi akut awal ditandai oleh infeksi sel T CD4+ memori (yang
mengekspresikan Chemokine (C-C motif) reseptor 5 (CCR5) dalam jaringan
limfoid mukosa dan kematian banyak sel terinfeksi. Setelah infeksi akut,
berlangsunglah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limfa merupakan
tempat replikasi virus dan destruksi jaringan secara terus menerus. Oleh karena
itu, jumlah virus menjadi sangat banyak dan jumlah sel T-CD4 menurun.
Serokonversi membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Simptom pada fase ini demam, limfadenopati, gatal – gatal. Selama periode ini
sistem imun dapat mengendalikan sebagian besar infeksi, karena itu fase ini
disebut fase laten. Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan
infeksi HIV yang asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak
menunjukkan gejala atau simptom untuk beberapa tahun yang akan datang. Di
fase ini juga hanya sedikit virus yang diproduksi dan sebagian besar sel T dalam
darah tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T dalam
jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin
menurun hingga 500-200 sel/mm3. Jumlah sel T dalam jaringan limfoid adalah
90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah perifer
yang rusak oleh virus HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel
oleh virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa
laten akan menurunkan jumlah sel T dalam darah tepi.
Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan
merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T. Selanjutnya
penyakit menjadi progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat
mana destruksi sel T dalam jaringan limfoidperifer lengkap dan jumlah sel T
dalam darah tepi menurun hingga dibawah 200/mm3. Viremia meningkat drastis
karena replikasi virus di bagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita
infeksi opportunistik, cachexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat.
Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi
dan menunjukkan respon imun yang infektif terhadap virus onkogenik.34
Selain tiga fase tersebut ada masa jendela yaitu periode di mana
pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus
sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang cukup banyak. Antibodi
terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah
infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada perode
jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang
lain.

D. Tanda dan Gejala HIV/AIDS


Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV.
Gejalanya meliputi demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri
saat menelan), batuk, nyeri persendian, diare, pembengkakkan kelenjar getah
bening, bercak kemerahan pada kulit (makula / ruam).
Diagnosis AIDS dapat ditegakkan apabila menunjukkan tes HIV positif
dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.
Tabel 1 Gejala mayor dan minor diagonis AIDS
Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan turun >10% dalam 1 Batuk menetap >1 bulan
bulan Dermatitis generalisata
Diare kronik >1 bulan Herpes Zooster multisegmental
Demam berkepanjangan >1 bulan dan berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasi orofaringeal
Demensia / HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Retinitis virus sitomegalo

Global Programme on AIDS dari Badan Kesehatan dunia (WHO)


mengusulkan ”Pembagian Tingkat Klinik Penyakit Infeksi HIV” sesudah
mengadakan pertemuan di Geneva bulan Juni tahun 1989 dan bulan penderita
seropositif HIV dari 26 Pusat Perawatan yang berasal dari 5 benua. Pembagian
tingkat klinik infeksi HIV tersebut adalah sebagai berikut (Djoerban, 2001):
1. Tingkat Klinik 1 (Asimptomatik/LGP)
a) Tanpa gejala sama sekali
b) Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar
getah bening di beberapa tempat yang menetap
Pada tingkat ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan
aktivitasnya secara normal.
2. Tingkat Klinik 2 (Dini)
a) Penurunan berat badan kurang dari 10%.
b) Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroika,
prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang, dan cheilitis
angularis.
c) Herpes Zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
d) Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis.
Pada tingkat ini, pasien sudah menunjukkan gejala tetapi aktivitas tetap
normal.
3. Tingkat Klinik 3 (Menengah), dengan tanda dan gejala
a) Penurunan berat badan >10% berat badan.
b) Diare kronik > 1 bulan, penyebab tidak diketahui.
c) Panas tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul
terus-menerus.
d) Kandidiasis mulut.
e) Bercak putih berambut di mulut.
f) Tuberkolosis paru setahun.
g) Infeksi bakteril yang berat, misalnya pneumonia.
Pada tingkat klinik 3, penderita biasanya berbaring di tempat tidur lebih dari
12 jam sehari, selama sebulan terakhir.
4. Tingkat Klinik 4 (Lanjut), dengan tanda dan gejala
a) Badan menjadi kurus.
b) Pnemonia Pneumosistis Karini.
c) Toksoplasmosis otak.
d) Kriptosporidiosis di luar paru.
e) Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati atau
kelenjar getah bening.
f) Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis) yang endemik
menyerang banyak organ tubuh.
g) Limfoma.
h) Sarkoma kaposi
i) Ensefalopati HIV, yaitu gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau
beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV.

E. Cara Penularan HIV/AIDS


Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang
rentan, tempat keluar kuman dan tempat kuman masuk (port ’d entree). Virus
HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya.
Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai
vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada
orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti
menularkannya diantaranya semen, cairan vagina atau serviks, dan darah
penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun
hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi seksual, penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual
maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering
terjadi. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berati
kontak seksual penetrasi vaginal, anal (anus/dubur), oral (mulut) antara dua
individu. Risiko tertinggi penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari
individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung mulut ke penis
(zakar) atau mulut ke vagina, merupakan risiko rendah tertular HIV.
Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang keluar dan masuk ke
dalam tubuh seseorang melalui ”pintu masuknya”, seperti adanya luka kecil
pada alat kelamin, mulut, gusi, dan atau penyakit gigi dan mulut yang
diderita.
2. Transmisi non seksual, ada dua yaitu transmisi parental yaitu akibat
penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Dapat juga
terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan. Sedangkan
transmisi transplasental yaitu penularan dari ibu yang mengandung HIV
positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi
sewaktu hamil, melahirkan, dan sewaktu menyusui. Penularan melalui Air
Susu Ibu (ASI) termasuk penularan dengan risiko rendah. Selain itu juga
penularan HIV/AIDS dapat melalui transfusi darah/produk darah yang sudah
tercemar (Zein, 2007).
F. Pencegahan HIV/AIDS
Menurut Zulkifli (2004) penyakit AIDS adalah penyakit yang sudah pasti
akan mendatangkan kematian maka pencegahan merupakan upaya
penanggulangan yang terutama harus dilakukan. Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan adalah
1. Pencegahan penularan melalui jalur non seksual
a) Transfusi darah, cara ini dapat dengan mengadakan pemeriksaan donor
darah sehingga darah yang bebas HIV saja yang ditransfusikan.
b) Penularan AIDS melalui jarum suntik oleh dokter paramedis dapat
dicegah dengan upaya sterilisasi yang baku atau menggunakan jarum
suntik sekali pakai.
2. Pencegahan penularan melalui jalur seksual, penularan ini dapat dilakukan
dengan pendidikan/penyuluhan yang intensif yang ditujukan pada perubahan
cara hidup dan perilaku seksual, karena pada hakekatnya setiap individu
secara potensi adalah pelaku seks. Potensi ini mencapai puncaknya pada usia
remaja dan membutuhkan penyaluran sampai seseorang mencapai usia tua.
Adanya salah informasi dalam kehidupan remaja yang beranggapan bahwa
masturbasi lebih berdosa dibanding dengan senggama sehingga banyak remaja
yang terjerumus untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada wanita
tunasusila, sehingga mereka rawan tertular AIDS. Untuk menanggulanginya
harus dilakukan penyuluhan untuk memberikan informasi yang benar
mengenai AIDS. Selain itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan
mengurangi pasangan seksual, monogami, menghindari hubungan seksual
dengan WTS, tidak melakukan hubungan seksual dengan penderita atau yang
diduga menderita AIDS dan meninggalkan penggunaan kondom.
3. Pencegahan penularan dari ibu dan anak, upaya pencegahan yang dapat
dilakukan pada penularan ini adalah dengan menganjurkan kepada ibu yang
menderita AIDS atau HIV positif untuk tidak hamil (Depkes RI, 2005).
Ada beberapa strategi yang penting dalam mencegah penularan
HIV/AIDS ibu ke bayi, yaitu
1) Pertama, dengan pemberian obat antiretroviral. Obat ini bekerja langsung
menghambat replikasi dan perkembangan virus HIV
2) Kedua, melakukan persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama
persalinan, dan setelah persalinan. Cara persalinan yang diperkenankan
pada ibu dengan HIV positif adalah dengan operasi, penularan HIV dari
ibu ke anak dapat ditekan sampai 50% dibandingkan dengan persalinan
normal.
Setelah anak dilahirkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan
terutama saat menyusui si bayi. Disarankan, ibu yang melahirkan anak
dengan HIV positif sebaiknya tidak menyusui karena dapat terjadi
penularan HIV dari ibu ke bayi antara 10-20%, terlebih jika payudara ibu
mengalami luka lecet ataupun radang (Mulyana, 2008).

G. Penangulangan HIV/AIDS di Indonesia


Prinsip dasar penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba di Indonesia (Djoerban,
2001) :
1. Setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba harus mencerminkan
nilai-nilai sosio-budaya masyarakat setempat.
2. Setiap kegiatan diharapkan untuk mempertahankan dan memperkukuh
ketahanan dan kesejahteraan keluarga serta sistem dukungan sosial yang
mengakar dalam masyarakat.
3. Pencegahan penularan HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba diarahkan
kepada upaya pendidikan dan penyuluhan untuk memantapkan perilaku.
4. Setiap orang berhak mendapatkan informasi yang benar guna melindungi diri
sendiri dan orang lain terhadap infeksi HIV/AIDS dan penyalahgunaan
narkoba.
5. Setiap kebijakan, pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan
martabat individu.
6. Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV/AIDS harus didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan.
Sebelum dan sesudah pemeriksaan harus diberikan konseling yang memadai
dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan.
7. Setiap pemberi layanan berkewajiban memberikan pelayanan tanpa
diskriminasi pada pengidap HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/43845/3/ELIZABETH_FAJAR_P.P_G2A009163_bab_2_K
TI.pdf. Diakses pada hari Rabu, 3 Agustus 2016

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22651/4/Chapter%20II.pdf. Diakses
pada hari Kamis, 4 Agustus 2016

Вам также может понравиться