Вы находитесь на странице: 1из 8

ERA KOMUNIKASI RETORIKA

Artikel ini dibuat untuk melengkapi tugas perkuliahan Ilmu Komunikasi

ABDULLAH FAQIHUDDIN ULWAN

( 11160510000008 )

KPI 2 E

KOMUNIKASI DAN PENYIAR ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

TAHUN AKADEMIK 2016/2017


Sejarah Ilmu Komunikasi Melalui Retorika

1. Sejarah Tradisi Retorika


Periodesasi pemaknaan retorika meliputi: tradisi retorika klasik,
pertengahan, Renaissance, Pencerahan, Kontemporer dan Postmodern1.

Di zaman klasik (Abad V s/d Abad I SM), didominasi usaha-usaha untuk


mendefinisikan dan menyusun peraturan dari seni retorika. Para guru pengembara
(sophist) mengajarkan seni berdebat di kedua sisi pada sebuah kasus, instruksi
retorika paling awal di Yunani. Plato tidak sepakat terhadap pendekatan
relativistik sophist terhadap pengetahuan yang menyakini adanya kebenaran
absolut. Aristoteles, murid Plato mengambil pendekatan yang lebih pragmatis
terhadap seni, sehingga kita mengenal Rhetorika.

Zaman Pertengahan (400-1400 M), memandang kajian retorika yang


berfokus pada permasalahan penyusunan dan gaya. Retorika pada babak ini, tela
merendahkan praktik dan seni pagan, serta berlawanan dengan Kristen yang
memandang kebenaran sebagai keyakinan. Orientasi pragmatis terhadap retorika
pertengahan juga bukti lain kegunaan dari retorika Zaman Pertengahan, untuk
penulisan surat.

Renaissance (1300-1600 M), memandang sebuah kelahiran kembali dari


retorika sebagai filosofi seni. Para penganut humanisme yang tertarik dan
berhubungan dengan semua aspek dari manusia, biasa menemukan kembali teks
retorika klasik dalam sebuah usaha untuk mengenal dunia manusia. Rasionalisme
menjadi tren di era Reenaissance.

1
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (edisi 9), Penerbit
Salemba Humanika, Jakarta Selatan, 2011, halaman 51-91
Fokus pada rasional selama Zaman Pencerahan berarti retorika dibatasi karena
gayanya, memunculkan pergerakan belles lettres (surat-surat indah atau menarik).
Belles lettres mengacu pada karya sastra dan semua karya seni murni: retorika,
puisi, drama, musik dan bahkan berkebun, dan semuanya dapat diuji menurut
kriteria estetika yang sama.

Zaman Pencerahan (1600-1800 M), para pemikir seperti Rene Decartes,


mencoba untuk menentukan apa yang dapat diketahui secara absolut dan objektif
oleh pikiran manusia. Idem juga, Francis Bacon, mencari persepsi petunjuk
dengan penelitian empiris, berpendapat bahwa kewajiban retorika adalah untuk
lebih baik mengaplikasikan alasan dengan imajinasi supaya sesuai dengan
keinginan.

Retorika Kontemporer (Abad XX), menunjukkan sebuah kenaikan


pertumbuhan dalam retorika ketika jumlah, jenis dan pengaruh simbol-simbol
meningkat. Ketika sebuah abad dimulai dengan sebuah penekanan pada nilai
berbicara di muka umum bagi masyarakat yang ideal, penemuan media massa
menghadirkan fokus baru dalam visual dan verbal.

Retorika bergeser fokusnya dari pidato ke semua jenis penggunaan simbol.


Hal paling penting, periode kontemporer telah kembali pada pemahaman
mengenai retorika sebagai epistemika, sebagai sebuah cara untuk mengetahui
dunia, bukan hanya sebuah cara untuk menyampaikan sesuatu tentang dunia.
Mayoritas ahli teori retorika meyakini bahwa manusia menciptakan dunia-dunia
mereka melalui simbol-simbol, bahwa dunia yang kita kenal merupakan salah satu
yang ditawarkan kepada kita oleh bahasa kita.

Retorika Postmodernisme, akhir Abad XX dan awal Abad XXI menjadi


jembatan antara retorika dengan postmodernisme, terutama pada apresiasi
postmodern dan penilaian pendirian yang berbeda. Contoh: ahli-ahli teori retorika
postmodern mengistimewakan pendirian akan ras, kelas, gender, dan seksualitas
ketika mereka masuk dalam pengalaman kehidupan khusus seseorang daripada
mencari teori-teori yang luas dan penjelasan-penjelasan mengenai retorika.
Penganut paham feminis dan praktik-praktik retorika gender acap kali
masuk dalam bidang postmodern, sama seperti teori ganjil (queer), pada kondisi
para akademisi retorika menguji fitur-fitur yang berbeda dari penyampaian
keganjilan publik dan bentuk-bentuk retorika lain untuk memahami perbedaan-
perbedaan yang ditawarkan oleh queer rethor.
2. Periode Tradisi Retorika ( Zaman Yunani Kuno)

Pada periode ini, para ilmuan menyebutnya zaman kuno atau zaman
Yunani kuno. Ilmu komunikasi pada masa ini dikenal dengan sebutan retorika.
Tentunya ilmu komunikasi pada saat itu masih sangat sederhana. Tokoh utama
yang mempunyai sumbangan besar dalam hal ini ialah Aristoteles, karena dialah
orang pertama yang mengkaji dan mengorganisasinya. 2Gagasan Aristoteles
tentang retorika bahwasanya terdiri tiga unsure yaitu,
-Ethos (kredibilitas sumber) ;
-Panthos (hal yang menyangkut emosi) ;
-Logos (hal yang menyangkut fakta).

Yang berarti bahwa upaya persuasi menuntut tiga factor yakni kredibilitas
dari pelaku komunikasi yang melakukan kegiatan persuasi, kemampuan untuk
merangsang emosi/perasaan dari pihak yang menjadi sasaran dan kemampuan
untuk mengungkap fakta-fakta yang mendukung logika.
Pokok pikiran ini kemudian dikembangkan oleh Cicero dan Quintilian, dalam
lima aturan retorika unsur. Yaitu, Inventio (urutan argumentasi), Dispesitio
(pengaturan ide), Eloqitio (gaya bahasa), Memoria (ingatan), Pronounciatio (cara
penyampaian pesan).
Menurut mereka, unsur di atas juga menentukan keberhasilan upaya persuasi yang
dilakukan seseorang. Selain mereka, ada juga tokoh retorika yang dikenal pada
zaman itu, diantaranya ialah Corax, Socrates dan Plato.

2
Marhaeni Fajar,Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Yogyakarta, GrahaIlmu,
2009, hlm. 16.
3. Retorika Aristoteles
Aristoteles terkenal dengan karyanya Rhetorica

Tulisan-tulisannya sampai sekarang menjadi acuan dan rujukan secara


teoretis maupun untuk teknis pidato. Karyanya ini ditulis secara sistematis men-
dasarkan pada logika formal, yakni dasar yang tepat bagi pidato yang jujur dan
efektif dalam dewan legislatif maupun di pengadilan. Aristoteles membagi pidato
menjadi 3 jenis sesuai dengan karakteristik pendengarnya.

1. Pidato yudisial (legal) atau forensik, yakni pidato mengenai perkara di


pengadilan, apa yang telah terjadi dan tidak pernah terjadi. Pendengarnya adalah
para hakim atau yuri dalam makalah pengadilan.

2. Pidato deliberatif atau politik ( suasoria ) yaitu pidato yang berisi nasihat yang
disampaikan. Pendengarnya anggota badan legislatif atau eksekutif.

3. Pidato epideitik atau pidato demonstrative yaitu pidato-pidato untuk


pementasan, upacara-upacara ibadah, maupun bukan, yang berisi kecaman atau
pujian mengenai hal-hal yang terjadi sekarang.

Dasar-dasar Retorika menurut Aristote-les adalah sebagai berikut.

1. Retorika erat hubungannya dengan moral karena harus mengemukakan sesuatu


yang benar. Kebenaran menjadi landasan retorika yang sejati. Moral dalam per-
kembangannya mempelajari psikologi.

2. Metode retorikanya mendasarkan diri pada analitika yakni meneliti berbagai


argumentasi dari proposisi yang benar dan dialektika yaitu meneliti argumentasi
dari proposisi yang diragukan kebenaran-

nya. Analitika dan dialektika ini pada perkembangannya disebut dengan logika.
Inti dari logika adalah silogisme yaitu cara memperoleh kesimpulan dari proposisi
untuk meraih kebenaran. Metode ini juga dipakai bagi pengembangan semua ilmu
pengetahuan.

3. Retorika sebagai sesuatu yang inheren yang diresapi semua orang. Dalam
upaya mencari kebenaran dialog menjadi tekniknya.

4. Totalitas suatu pidato mencakup factor ethos, pathos, dan logos. Ethos merupa-
kan sumber kredibilitas komunikator atau kesadaran orator yang tampil sebagai
pribadi yang dapat dipercaya oleh pen- dengar. Pathos merupakan segi emosio-
nal pembicara yang mendasar dan se cara implisit terkandung di dalam isi pidato.
Logos mencakup himbauan berdasarkan argumen yang logis.
Aristoteles meninggalkan warisan sejumlah enam buah buku yang terhimpun
dalam to Organon yang artinya alat. Buku-buku tersebut adalah sebagai berikut.

1. Categoriae, isinya menguraikan tentang pengertian suatu yang ada.

2. De interpretation , membahas tentang keputusan.

3. Analytica priora , membahas tentang silogisme.

4. Analytica posterior , menguraikan tentang pengertian suatu yang ada.

5. Topica , memberi contoh uraian argumen-tasi atau cara berdebat.

6. De sophisticis elenchis, membahas tentang kesesatan dan kekeliruan ber-pikir.


DAFTAR PUSTAKA

Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (edisi 9), Penerbit
Salemba Humanika, Jakarta Selatan, 2011.

Susanto, Astrid S. 1988. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung :


Remadja Karya.

Marhaeni Fajar,Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Yogyakarta, GrahaIlmu,


2009.

Aly, Bachtiar. 1994. Modul: Retorika. Jakarta:Universitas Terbuka.

Вам также может понравиться