Вы находитесь на странице: 1из 6

BAB IV

ANALISIS KASUS

Telah dilaporkan kasus Sindroma Nefritik Akut e.c Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus dengan Hipertensi Stage I, dekompensasi kordis e.c edema paru e.c GNAPS
dd/Kardiomiopati dan Pneumonia pada seorang anak laki-laki, MW, usia 16 tahun, berasal
dari Palembang, yang datang ke IRD RSUP Moh Hoesin dengan keluhan utama sesak napas
dan keluhan tambahan sembab di wajah dan tungkai. Gejala yang pertama kali dirasakan
adalah batuk berdahak, demam (+) tidak terlalu tinggi sejak 2 minggu SMRS, penderita
dibawa berobat ke bidan dan keluhan berkurang. Beberapa hari kemudian, penderita mulai
merasakan sesak nafas, sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi. Penderita lebih nyaman
dengan posisi duduk. Lalu 3 hari SMRS, penderita mengeluh sembab di wajah dan tungkai.
Disertai dengan keluhan BAK sedikit (+), BAK seperti teh tua (+), BAK seperti cucian
daging (-) BAB normal. Sebelumnya penderita tidak merasakan keluhan apapun dan
beraktivitas seperti biasa.
Dari informasi diatas, penderita datang dengan keluhan utama sesak napas,
berdasarkan konsensus glomerulonefritis akut pasca streptokokus, pada 20-70% kasus
GNAPS, gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi. Bendungan
sirkulasi diduga terjadi akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia. Edema paru
merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa
bersifat asimtomatik, artinya bisa hanya terlihat secara radiologic. Pada pemeriksaan fisik
terdengar ronkhi basah kasar atau basah hakus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema
yang umumnya terjadi dalam minggu pertama. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopneumonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Frekuensi kelainan
radiologi toraks berkisar antara 62,5 -85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainannya berupa
kardiomegali, edema paru, dan efusi pleura.1 Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologi
paru pada kasus GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari,
sedangkan bronkopneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu.1
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi
menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi grup A β-
hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria,
edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut. Pada kasus ini, ditemukan riwayat batuk
dan demam sejak 2 minggu sebelum penderita dirawat. Dan keluhan batuk dan demam
sempat hilang. Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu, dimana periode
1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3
minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 2 minggu.
Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan
kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik,lupus
eritematosus sistemik, purpura henoch schoenlien.1
Selanjutnya penderita mengalami edema palpebra dan edema pretibial. Diagnosis
banding edema diantaranya adalah sindroma nefritik akut, sindroma nefrotik, gangguan
nutrisi/kwashiorkor, gangguan hati dan gangguan jantung. Ciri edema perifer yang
disebabkan oleh gangguan pada jantung, misalnya penyakit gagal jantung, Edema oleh
adanya gangguan pada hati, kwashiorkor, dan malabsorpsi disebabkan oleh penurunan
produksi albumin, Ciri edema adalah dimulai pada penumpukan cairan di kavitas
peritoneum/asites. Edema pada sindroma nefrotik terjadi akibat kehilangan protein
sehingga terjadi hipoalbumin dan menyebabkan edema perifer di subkutan, dan khasnya
edema dimulai dari palpebral, kemudian wajah, dan semakin lama akan timbul asites dan
edema tungkai. Edema pada sindrom nefritik akut merupakan akibat dari kongesti cairan di
intravaskuler, yang menyebabkan tekanan hidrostatik intravaskuler meningkat dan
menyebabkan cairan pindah ke interstisial.
Gejala yang timbul lainnya adalah BAK berwarna seperti teh tua dengan frekuensi
dan volume yang sedikit. Pada kasus ini, penderita mengalami hematuria yang mikroskopik.
Hematuria pada kasus MW mengarah pada sindroma nefritik akut. Riwayat ada sakit batuk
±2 minggu SMRS disertai demam yang tinggi, dapat menjadi pendukung diagnosis
sindroma nefritik akut yang disebabkan oleh infeksi streptokokus. Oleh karena itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah ASTO dan C3 C4 serta urinalisa. Hasil laboratorium ASTO
atau Anti-Streptolysin O menunjukkan hasil positif. Sehingga diagnosis GNAPS
(Glomerulonephritis Akut Pasca Streptokokus) dapat ditegakkan.
Penatalaksanaan yang direkomendasi pada penderita GNAPS adalah terapi
simtomatik yang berdasar pada derajat keparahan penyakit secara klinis. Penanganan pasien
adalah suportif dan simtomatik.8 Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi
ginjal sedang sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN > 50 mg,
anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau
oliguria menetap. Tujuan utama dari pengobatan adalah mengendalikan hipertensi dan
edema. Selama fase akut, penderita dibatasi aktivitasnya dengan pemberian diet 35 kal/kg
berat badan perhari, pembatasan diet protein hewani 0,5-0,7 gram/kg berat badan perhari,
lemak tak jenuh, dan rendah garam yaitu 2 gram natrium perhari. Asupan elektrolit pun
harus dibatasi. Natrium 20 meq perhari, rendah kalium yaitu kurang dari 70-90 meq perhari
serta kalsium 600 . 1000 mg perhari. Restriksi cairan secara ketat dengan pembatasan cairan
masuk 1 liter perhari, guna mengatasi hipertensi.8 Pada pasien ini diberikan cairan retriksi ¾
cairan maintenance.
Pengobatan hipertensi dapat dengan menggunakan diuretik kuat, atau bila hipertensi
tetap tidak teratasi pilihan obat selanjutnya adalah golongan calcium channel blocker, ACE
inhibitor atau bahkan nitroprusid intravena bagi hipertensi maligna. Pada beberapa kasus
berat dengan kondisi hiperkalemi dan sindrom uremia yang berat diindikasikan untuk
hemodialisa19. Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti hipertensi. 2,3 Bila hipertensi
ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi
tanpa diberi terapi.10 Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 –150 mmHg dan
diastolik > 100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM),
nifedipin oral atau sublingual.14 Pada kasus ini, obat anti hipertensi yang diberikan adalah
captopril dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB diberikan 2 kali 12,5 mg dalam sehari. Diuretik
yang diberikan adalah furosemide dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
menjadi 2x40 mg.
Antibiotika diindikasikan untuk eradikasi infeksi streptokokus. Pemberian antibiotic
pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi
antibiotic bila biakan hapus tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan
pihak lain memberikannya secara rutin dengan alas an biakan negative belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negative dapat terjadi oleh karena telah
mendapat antibiotic sebelum masuk rumah sakit atau periode laten yang terlalu lama (>
3minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis
30mg/kgbb/hari. Pada kasus ini, karena dicurigai juga adanya peneumonia, antibiotik yang
diberikan yaitu chlorampenicol 3x1gr dan amoxiclav 3x1 caps.1
Terapi non farmakologi yang diberikan dalam kasus An. MW adalah pengaturan diet
rendah garam, istirahat, dan pengaturan intake dan output. Pengaturan balans cairan pada
kasus MW dengan prinsip balans negatif, artinya output harus lebih banyak dibandingkan
dengan input, agar cairan dalam tubuh dapat berkurang.
Pada pasien GNAPS yang perlu dilakukan pengawasan adalah tanda-tanda vital
terutama tekanan darah, lingkar perut setiap pagi untuk mengetahui efektifitas terapi
diuretik, lakukan perhitungan keseimbangan cairan per 6/12 jam dengan prinsip hasil negatif
guna mengurangi cairan dalam tubuh serta selalu memantau keseimbangan elektrolit dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium.
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain
umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan
sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis
glomerulus.18,9 Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar
atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik
glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis
yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi
kronik 5-10 %; sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan
progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.8 Angka
kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %.Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada
anak, maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal.
Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol
dan mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden
penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari.13
DAFTAR PUSTAKA

1. Rauf S, Albar H, dan Aras J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Jakarta:
UKK Nefrologi IDAI. 2012. Hal.1-2.
2. Travis L. Acute poststreptococcal glomerulonephritis.
(http://www.eMedicineacutepoststreptococcalglomerulonephritis).
3. Bhima R.., Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis. 2001
(http://emedicine.medscape.com/article/980685-overview#a0104).
4. Price S, Wilson L, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 6. Jakarta: EGC
5. Lambanbatu S. Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus pada Anak. 2003.
(http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/5-2-4.pdf).
6. Dugdale D. Acute Nephritic Syndrome. Available at
(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000495.htm)
7. Geetha D. Glomerulonephritis, Poststreptococcal.
(http://www.eMedicineglomerulonephritispoststreptococcal).
8. Maureen H. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Available from:
(http://www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/acute_poststreptococcal_glomerulonephritis.jsp).
9. Vinen CS, Oliveira DBG. 2003. Acute glomerulonephritis. Postgraduated Medical Journal.
79:206-13.
10. Noer MS. 2002. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. h. 345-53.
11. White AV, Hoy AW, McCredie DA. 2001. Chilhood poststreptococal glomerulonephritis as
a risk factor for chronic renal disease in later life. MJA. 174:492- 631.
12. Smith JF. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. (http://www.chclibrary.org/)
13. Fransisco L. 1993. Papper.s clinical nephrology. 3rd ed. Boston: Little,Brown and Company
Inc. p.142-50.
14. Tomson CRV. 1997. Key topics in renal medicine. Oxford: BIOS Scientic Publisher
Limited.p.139-43.
15. Glassock RJ, Cohen AH, Adler SG. 2000. Primary glomerular diseases. In: Brenner B,
Rector F, editors. The kidney. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders Co;.p.1392-402.
16. Rena,A Suwitra K. Case Report : Seorang Penderita Sindrom Nefritis Akut Pasca Infeksi
Streptococcus.
(http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/seorang%20penderita%20sindrom%20nefritis%20
kut%20pasca.pdf).
17. Schwartz, M.W. 1996. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta:EGC
18. Rodriguez-Iturbe B. 2000. Postinfectius glomerulonephritis. Am J Kidney Dis;35(1):46-8.
19. Krause V, Johnson F, Kearns T, 2010. Northern Teritory Guidelines for Acute Post-
Streptococcal Glomerulonephritis.
(http://www.health.nt.gov.au/library/scripts/objectifyMedia.aspx?file=pdf/10/84.pdf&siteID=
1&str_title=Acute%20PostStreptococcal%20Glomerulonephritis.pdf).
20. Ponticelli C. 1999. Can prolonged treatment improve the prognosis in adults with focal
segmentalglomerulosclerosis? Am J Kidney Dis;34:618.
21. Anver E., Harmon W., dkk. Pediatric Nephrology. Sixth Edition. Volume 1. USA: Springer.
Page: 743.

Вам также может понравиться