Вы находитесь на странице: 1из 18

TUGAS PENGANTAR ARSITEKTUR

Oleh

KELOMPOK
5
Program Studi Sarjana Arsitektur

ANGGOTA KELOMPOK
ALFARIZY FIRSTIANO (G1E018007)
HILMANNISA EKA FITRI (G1E018008)
FATHAN MUBIN LSM. (G1E018017)
FADHIL MUHAMMAD WAHID (G1E018029)
NEVA OKTASARI (G1E018031)

i
Pembimbing,

FITRIANTY WARDHANI, S.T, M.T

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | ii


DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................................... 4


1.2 Tujuan ................................................................................................................................................... 4

BAB 2 ISI ..............................................................................................................................................................5

2.1 Teori Tetang Pecinaan ........................................................................................................................... 5


2.2 Sejarah Pecinaan Bengkulu .................................................................................................................... 6
2.3 Analisis Eksiting Tapak ........................................................................................................................... 8
2.4 Analisis Arsitektural .............................................................................................................................11

BAB 3 PENUTUP ................................................................................................................................................17

3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................................................17


3.2 Saran ...................................................................................................................................................17

LAMPIRAN ........................................................................................................................................................18

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | iii


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perputaran waktu dan perkembangan zaman yang amat pesat menimbulkan banyak
masalah dalam kehidupan masyarakat terutama dalam penataan kawasan perumahan, banyak kawasan
perumahan yang telah terbangun tidak memenuhi standar yang telah ditentukan, sehingga dikemudian
hari dapat menyebabkan timbulnya masalah. Dengan demikian dibutuhkanlah sebuah Perencanaan Tapak
Perumahan.
Menurut Ir.Haryani,MTP, 2011 Perencanaan Tapak adalah suatu seni dan ilmu penatagunaan bagian-
bagian suatu tapak/lahan secara teratur, terinci, fungsional dan merupakan suatu proses yang kreatif yang
menghendaki kemampuan mengolah dari berbagai faktor-faktor kemungkinan. Dan berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesiazx Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, di
jelaskan pada pasal 1 ayat (2) bahwa Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai baginan dari
permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasaran, sarana, dan utilitas
umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
Selain itu dalam Perencanaan Tapak Perumahan kita tidak boleh terlepas dari aturan/kebijakan yag
telah ada. Sesuai dengan ketentuan dari Ditjen Cipta Karya Departemen PU, Mengatakan bahwa
Perumahan yang ideal harus memenuhi syarat-syarat diantaranya : (1) Aksesibilitas yaitu kemudahan
pencapaian dari dan ke berbagai kawasan yang diwujudkan dalam bentuk jaringan transportasi (2)
Kompatibilitas yaitu keserasian dan keterpaduan antar kawasan dalam lingkungan (3) Fleksibelitas yaitu
kemunginan pertumbuhan (4) Ekologi yaitu keterpaduan antara kegiatan dan kemampuan lahan.baik itu
dari segi pembangunan maupun fasilitas yang tidak sesuai akan kebutuhan masyarakat.

1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis perencanaan tapak pecinan ini adalah

a) Melengkapi fasilitas yang memadai untuk kawasan perumahan.

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 4


BAB 2
ISI

2.1 Teori Tentang Pecinaan


Pecinan atau Kampung Cina (atau Chinatown dalam Bahasa Inggris dan 唐人街
Tángrénjiē dalam Bahasa Mandarin ) merujuk kepada sebuah wilayah kota yang
mayoritas penghuninya adalah orang Tionghoa. Pecinan banyak terdapat di kota-kota
besar di berbagai negara di mana orang Tionghoa merantau dan kemudian menetap
seperti di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Asia Tenggara.

 Asal mula Pecinan

Pecinan pada dasarnya terbentuk karena 2 faktor yaitu faktor politik dan faktor social:

 Faktor politik berupa peraturan pemerintah lokal yang mengharuskan


masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya
lebih mudah diatur (Wijkenstelsel). Ini lumrah dijumpai di Indonesia pada
zaman Hindia Belanda karena pemerintah kolonial melakukan segregasi
berdasarkan latar belakang rasial. Di waktu-waktu tertentu, malah diperlukan
izin masuk atau keluar dari pecinan (Passenstelsel) semisal di pecinan Batavia.
 Faktor sosial berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup
berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-
membantu. Ini sering dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, namun
sebenarnya sifat ekslusif ada pada etnis dan bangsa apapun, semisal adanya
kampung Madras/ India di Medan, Indonesia; kampung Arab di Fujian, Cina
atau pemukiman Yahudi di Shanghai, Cina.

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 5


2.2 Sejarah Pecinanaan Bengkulu
LAMPION lusuh yang menggelantung di sepanjang jalan seolah mewakili wajah kawasan Kampung
China di Kota Bengkulu. Roda ekonomi yang dulu berputar kencang di kawasan ini memang terus
melambat dan kini bahkan seolah terhenti. Setidaknya suasana itu tampak pada awal Maret lalu
menjelang Tahun Baru China 2536. Suasana semarak, yang mestinya menyambut perayaan tahun naga
air, sama sekali tidak tampak. Padahal, keberadaan Kampung China itu tak lepas dari sejarah terbentuknya
Kota Bengkulu. Rumah dan toko di pecinan itu berderet di sepanjang Jalan Panjaitan dan Jalan Pendakian,
Kota Bengkulu. Sedikit bangunan yang masih mempertahankan arsitektur lama berupa rumah berbahan
kayu. Sebagian besar sudah berupa rumah tembok. Maklum, kebakaran pada tahun 1990-an telah
menghancurkan rumah-rumah tua berbahan kayu itu. Dari depan, rumah-rumah itu terlihat kecil. Namun,
kalau kita melongok ke bagian dalam, rumah itu luas memanjang ke belakang. Ada pemandangan lain
yang mencolok di pecinan itu. Di bagian belakang sejumlah rumah berdiri lebih tinggi lagi bangunan sarang
burung walet. Dari beberapa rumah toko (ruko) yang ada hanya sebagian kecil yang masih buka. Bahkan,
tidak sedikit rumah yang dari depan tertutup rapat seperti tak berpenghuni. Pecinan di Kota Bengkulu
yang biasa disebut Kampung China terletak di Kelurahan Malabro, Kecamatan Teluk Segara. Terletak
persis di depan gerbang Benteng Marlborough yang merupakan pusat pemerintahan kolonial Inggris
sekaligus gudang penyimpanan rempah membuat Kampung China strategis. Ho Liang (58) alias Iskandar,
yang masih tinggal di Jalan Panjaitan bersama keluarga dan orangtuanya, mengisahkan, jauh sebelum ia
lahir pecinan Bengkulu sudah menjadi pusat perniagaan Kota Bengkulu. Posisinya yang dekat dengan
pelabuhan di Pantai Tapak Paderi membuat aktivitas warga berlangsung 24 jam tanpa henti. Aktivitas
nelayan di sekitar pelabuhan pun sibuk dan ramai. Bongkar muat kapal barang dan arus penumpang yang
datang dan pergi dari pelabuhan menjadi pemandangan sehari-hari. Kawasan pecinan, pelabuhan, dan
benteng Marlborough juga ramai dengan aktivitas pedagang. Di sekitar pecinan berdiri gudang-gudang
dengan pintu yang besar-besar untuk menampung hasil bumi yang dikirim dari pelosok Bengkulu. Kopi,
cengkeh, sahang atau lada, dan karet adalah hasil bumi dari Bengkulu yang mendominasi perdagangan
lintas pulau kala itu. Sekitar 10 kapal kecil berkapasitas penumpang 20-30 orang yang melayani rute
Padang- Bengkulu pun masih beroperasi. ”Saya ingat ada kapal besar bernama Kuan Maru yang berlayar
dari Padang-Bengkulu-Jakarta. Saya biasa berenang hingga ke bawah kapal tongkang yang membawa
penumpang dari kapal Kuan Maru ke pelabuhan,” kenang ayah empat anak itu. Kapal tongkang digunakan
untuk membawa penumpang dari kapal besar karena kapal berukuran besar tidak bisa merapat di
Pelabuhan Bengkulu karena dasar alur pelabuhan dipenuhi karang. Dua daerah Warga keturunan

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 6


Tionghoa yang bermukim di Kampung China Kota Bengkulu mayoritas berasal dari dua daerah, yakni
Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Muara Aman, Kabupaten Lebong. Mereka yang datang dari
Manna, seperti halnya Ho Liang dan orangtuanya, bermata pencarian dari sektor perkebunan. Sedangkan
mereka yang datang dari Muara Aman kebanyakan bekerja di tambang emas. Jika ditarik jauh ke belakang
dari cerita Ho Liang, sejarah mencatat kawasan pecinan itu lengkap dengan pelabuhan dan Benteng
Marlborough telah menjadi pusat kota sejak abad ke-19. Kawasan Simpang Lima di ujung Jalan Suprapto
yang menjadi pusat perdagangan saat ini (sekitar 1,5 kilometer dari pecinan), kala itu hanyalah batas kota
tempat musafir berhenti melepas lelah. Selepas daerah itu, yang tampak hanyalah hutan belantara. Prof
Dr Abdullah Siddik dalam bukunya Sejarah Bengkulu 1500-1990 menyebutkan, warga keturunan Tionghoa
mulai bermukim di Bengkulu sejak tahun 1689 setelah diizinkan oleh kongsi dagang kerajaan Inggris, East
India Company (EIC), yang menjalin kerja sama perdagangan lada dengan sejumlah kerajaan di Bengkulu.
Pada tahun 1714, telah banyak bangsa keturunan China yang menetap di Ujung Karang (Kota Bengkulu
sekarang). Mereka umumnya bekerja sebagai buruh perkebunan dan sebagian kecil ada juga yang
berdagang. Mereka diberi kedudukan istimewa oleh Wakil Gubernur Joseph Collet saat itu. Warga
keturunan China tersebut dipimpin oleh seorang kapitan. Pelabuhan di Ujung Karang menjadi jantung
perekonomian Bengkulu saat itu. Roda perekonomian berputar cepat sehingga menjadi magnet bagi
orang-orang untuk berdatangan mengadu peruntungan. Pada tahun 1766, penduduk Kota Bengkulu
sudah mencapai sekitar 10.000 jiwa. Penduduk tersebut terdiri dari etnis Melayu yang mayoritas,
beberapa ratus orang China, orang-orang Bugis yang menjadi tentara kompeni dan pegawai kompeni
Inggris, serta para budak dari sejumlah daerah. Mantan Sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
Indonesia (PSMTI) Bengkulu Darman Lie (58) menuturkan, seiring perkembangan zaman, Kota Bengkulu
terus mengalami perluasan. Pengembangan kota diarahkan ke jalan lingkar timur dan barat yang dibangun
oleh Gubernur Bengkulu ke-3 Suprapto (menjabat di tahun 1979-1989). Tak pelak, kedua jalan lingkar itu
menjadi pusat perekonomian baru. Para pengusaha pun mengalihkan bisnisnya ke lokasi itu. Praktis,
pecinan yang dulu ramai perlahan menjadi sepi. Kini, tidak banyak lagi toko onderdil kendaraan yang dulu
meramaikan Jalan Panjaitan. Begitu pula kondisi di Jalan Pendakian yang dulu merupakan sentra
perdagangan perhiasan emas. Tinggal toko emas Surya dan Harmaini yang bertahan. Pecinan semakin
ditinggalkan penghuninya ketika pada tahun 2000-an, usaha sarang burung walet makin marak. Tidak
sedikit rumah dan toko yang dulunya dihuni dijual kepada investor dari luar Kota Bengkulu untuk dijadikan
sarang burung walet. ”Dulu harga rumah bisa sampai Rp 600 juta. Sekarang setelah walet sepi, rumah
dijual Rp 250 juta saja susah laku,” ujar Ho Liang. Menurut Ho Liang, sekarang rumah-rumah di Kampung
China umumnya dihuni oleh orang-orang tua. Anak-anak mereka biasanya sekolah atau kuliah di luar
AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 7
Bengkulu. Pada umumnya, anak muda keturunan Tionghoa yang merantau itu enggan pulang kampung
lagi ke Bengkulu. ”Kalau anak muda tinggal di Bengkulu kapan majunya? Di sini suasanya terlalu santai.
Bisa-bisa mereka jadi malas,” kata Darman. Sebenarnya, menurut Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata
(Asita) Bengkulu Kurnia Lesandri Adnan, pecinan Bengkulu bisa dijadikan sebagai tujuan wisata sejarah.
Apalagi lokasinya yang berdekatan dengan Benteng Marlborough dan peninggalan Inggris lainnya.
Sayangnya, kata Lesandri, pemerintah daerah tidak melihat ini sebagai peluang. Pemerintah lebih
cenderung membangun pariwisata yang berorientasi proyek daripada berpikir kreatif memberdayakan
potensi yang ada. Bisa ditebak, itu karena pada pariwisata berorientasi proyek itulah dimungkinkan
pengambilan keuntungan pribadi pada lapisan elite pemerintahan. Akhirnya, sekarang Kampung China di
Kota Bengkulu pun seakan hidup segan mati pun enggan. Tebersit harapan kiranya tahun naga air ini
membawa perubahan ke arah yang positif bagi keberadaan kampung bersejarah di Kota Bengkulu.

2.3 Analisa Eksisting Tapak


Tapak terpilih yang digunakan dalam makala perencanaan tapak ini terletak di kota bengkulu,
merupakan sebuah area pemukiman warga di daerah kota Bengkulu yang biasa di sebut
kampong cina. Di sekeliling tapak terdapat berbagai bangunan dengan fungsi yang bermacam -
macam, mulai dari komersial, hingga hunian. Sebagai sebuah fasilitas publik, lokasi tapak sangat
mudah dicapai karena dilalui oleh jalur transportasi umum berupa bus kota dan juga angkot
(angkutan kota). Bisa dibilang jalan yang melewati kampong cina ini adalah jalan dengan
intensitas penggunaan yang cukup tinggi. Sehingga jika dilihat dari segi aksesibilitas, taman
wisata ini benar-benar bersifat ‘publik’ karena mudah dicapai dan terbuka bagi siapa saja.
Kombinasi antara keunikan struktur bangunan dan ciri khas rakyat cina, dengan jalan yang
mengelilingi tapak serta beragam fungsi bangunan yang ada telah membentuk karakter tersendiri
bagi Kampung cina sebagai sebuah ruang publik. Apalagi jika melihat kondisi Kampung cina yang
walaupun dianggap sebagai sebuah ‘tempat wisata, namun sekitar 50 persen sebenarnya hanya
berupa jalur pemukiman warga sama seperti kampung lainnya.

 Kampung Cina Kondisi kawasan Kampung Cina saat ini terabaikan baik bangunan
maupun lingkungannya. Adapun untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
meremajakan bangunan dan menata kembali penerangan yang ada. Di sisi lain
penyediaan pedestrian dipandang penting untuk menunjang kegiatan di kawasan ini.

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 8


AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 9
AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 10
2.4 Analisa Arsitektural
Bangunan shophouse yaitu rumah toko pada kawasan pecinan atau Kampung Cina
di Bengkulu memiliki berbagai bentukan fasad. Kawasan ini merupakan salah satu
kawasan yang dikonservasi karena merupakan bangunan kuno yang memiliki identitas.
Terjadinya bencana gemba bumidan kebakaran berulang kali menyebabkan kawasan ini
mulai kehilangan bentukan asli pada fasad bangunan. Tipologi bangunan shophouse ini
dilakukan dengan tujuan untuk: (1) Mengklasifikasikan bentukan elemen pembentuk
fasad, (2) Mendapatkan bentukan dominan pada tiap elemen pembentuk fasad sehingga
dapat ditemukan bangunan shophouse yang masih mempertahankan keasliannya.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Analisis yang digunakan yaitu
dengan cara klasifikasi fasad pada elemen bangunan terkait dengan elemen warna,
bentukan pintu, jendela dan profil fasad. Temuan penelitian ini adalah fasad bangunan
shophouse di Kawasan Kampung Cina Bengkulu memiliki dominasi: (1) Warna hijau
sebagai warna bangunan, (2) Bentukan pintu lipat menerus, (3) Bentukan jendela
memanjang ke bawah dan tersusun secara horizontal, (4) Profil fasad yang berbentuk
bangunan 2 lantai yang bagian lantai 1 menjorok ke dalam dan menggunakan atap
pelana curam.

Bangunan shophouse atau rumah


toko yang sering juga disebut
dengan ruko, merupakan
bangunan yang sering kali
dijumpai di kawasan Asia
Tenggara dan Cina bagian
selatan. Salah satu bentuk
arsitektur ini dianggap menjadi
cerita sejarah yang mampu menunjukkan bagaimana pengaruh kebudayaan Cina dan
pedagang menempati kawasan-kawasan yang berada di Asia Tenggara. Negara seperti
Malaysia, Singapore dan juga Indonesia tidak luput dari penyebaran bangunan
shophouse ini. Di Negara Indonesia, terdapat beberapa Kampung Cina yang masing-

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 11


masingnya memiliki ciri khas tersendiri. Salah satunya adalah Kampung Cina yang
berada di Kawasan Tapak Paderi, Malabero di Kota Bengkulu.

Shophouse di Kampung Cina Bengkulu di


perkirakan muncul pada sekitar abad ke-18
kemudian mengalami perubahan bentuk dari
berbagai periode akibat dari bencana alam yang
terus menerus terjadi seperti gempa bumi pada
tahun 1914, 2000 dan 2007 kemudian akibat
kebakaran pada tahun 1976, 1988, 1994 dan 1996.

Banyak kawasan yang kehilangan identitasnya


dan mengalami penurunan peringkat
dikarenakan kawasan tersebut kehilangan
sebagian besar karakter bangunan hingga
kehilangan seluruhnya. Kawasan-kawasan
pecinan yang merupakan sebagai kawasan
heritage, sangat penting untuk diperhatikan
agar eksistensinya terus terjaga hingga masa
yang akan datang. Tidak adanya guideline pada
bentukan bangunan shophouse, akan
berdampak buruk jika terjadi bencana terulang
beberapa tahun ke depan karena tidak ada acuan bagaimana bangunan shophouse ini
harus dibangun kembali. Dibuat sama persis ataukah dengan strategi yang lain.
Dikhawatirkan justru akan mengakibatkan kawasan ini akan kehilangan identitas
seutuhnya. Melalui tipologi, diharapkan dapat diketahui bangunan shophouse yang
masih asli sehingga dapat menjadi acuan terhadap pengaplikasian elemen fasad bangu-
nan shophouse di Kawasan Kampung Cina Bengkulu.

Tipologi berasal dari bahasa Yunani yaitu typos dan type dalam bahasa Inggris yang
artinya dalah tipe atau karakter. Menurut Quincy (1825) dalam buku Design and Analysis
milik Bernard Leupen (1997) bahwa tipologi diartikan sebagai bentukan umum, struktur

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 12


atau karakter yang bertujuan untuk membedakan jenis, kelompok atau kelas atau objek
tertentu. Aymonio (1966) dalam buku An Introduction to Architectural Theory : 1968 to
the Present milik Mallgrave dan Goodman (2011) mengungkapkan bahwa tipologi suatu
bangunan adalah ilmu yang mempelajari kemungkinan penggabungan elemen-elemen
dengan tipe-tipe yang tujuannya untuk mendapatkan suatu klasifikasi organisme
aristektural. Menurut Pfeifer dan Brauneck (2008) dalam Faisal (2012) yaitu tipologi
adalah sebuah pendekatan yang memisahkan atributatribut dari koherensi arsitektural,
dan mengidentifikasinya sebagai sebuah karakteristik, dalam tujuan untuk
mengkomparasikannya dengan atribut-atribut abstrak dari konteks yang lain, dan untuk
mendefinisikan kesamaan atau perbedaan. Facade merupakan berasal dari Bahasa
Italia facciata atau faccia. Kemudian diadaptasi dari Bahasa Latin facies, yang
selanjutnya berkembang menjadi face yang dalam Bahasa Inggris memiliki arti sebagai
wajah. Menurut

Moughtin (1992) bahwa facade adalah elemen yang penting yang menampilkan
sebuah kekayaan pengalaman visual bagi pengamat atau bagi yang melihatnya. Serta
pada facade terdapat elemen-elemen yang dapat dianalisis yang terbagi pada 3 bagian
utama yaitu berupa bagian bidang dasar bagian bidang lantai serta bagian bidang atap.
Fasad juga berperan sebagai identitas seperti dibahas oleh Bentley (1980) bahwa
kekhasan suatu penampilan fisik yang melingkupi bagian ruang jalan menjadi suatu
elemen pendukung terhadap terciptanya identitas pada sebuah kawasan yang
kemudian hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas visual yang baik sehingga
dengan memiliki kualitas visual yang baik akan muncul berdasarkan desain citra
dari eksternal bangunan. Shophouse

Berdasarkan pernyataan Sudarwani (2015) bahwa shophouse atau rumah toko


merupakan rumah deret beratap pelana yang sambung menyambung dengan
tetangganya. Bagian depan atau lantai bawah didominasi ruang untuk usaha, sedangkan
bagian belakang atau lantai atas biasanya untuk tempat tinggal. Menurut Chang Jiat

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 13


Hwee (National University of Singapore) yaitu “…the shophouse is an adaptable
building type and is sufficiently flexible to be reconfigured to accommodate

” Dari pernyataan tersebut, dapat dimengerti bahwa ruko merupakan bangunan


yang mampu beradaptasi dengan fleksibel untuk dikonfigurasi- kan ke berbagai tipe
fungsi sesuai dengan penggunanya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma


rasionalistik, dengan metode kualitatif, dan
pendekatan analisis deskriptif. Metode yang
digunakan dalam pengumpulan data yaitu
pengumpulan data primer dan sekunder. Data
primer dilakukan dengan cara observasi di
lapangan. Jumlah sampel dalam yaitu hanya
bagian sisi selatan (deret utara) dikarenakan
bentukan yang masih mengadaptasi dari bentuk aslinya (tidak berubah secara utuh),
yaitu berjumlah 42 unit. 2 diantaranya merupakan sebuah Vihara dan rumah tinggal,
sehingga yang akan diambil menjadi sampel shophouse yaitu sebanyak 40 unit. Metode
analisis yang digunakan yaitu dengan cara analisis kecenderungan terhadap
elemen pembentuk fasad yaitu: 1) warna, 2) elemen pintu, 3) jendela, dan 4) bentuk profil
fasad. Kemudian akan dilakukan ilustrasi terhadap klasifikasi variable-variabel tersebut
kemudian dikelom- pokkan hingga ditemukan elemen fasad yang dominan.

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 14


Hasil dan Pembahasan

1. Tipologi Warna

Pada tipologi warna, bangunan shophouse


dikaji berdasarkan warna dominan yang
terlihat pada fasad. Terdapat 4 tipe warna
dominan yang ditemukan yaitu: 1) Tipe
dominasi warna biru, 2) Tipe dominasi warna
hijau,

3) Tipe dominasi warna coklat, 4) Tipe


dominasi warna lain/ warna campuran.

Dari hasil tersebut, bahwa warna


nominan pada bangunan shophouse yaitu
berwarna hijau dengan presentase sebesar
45%. Alasan mengapa didominasi warna
hijau dan bukan berwarna merah seperti
pada kampong Cina pada umumnya, bisa
diambil dari pernyataan Adhiwignyo dan
Handoko dalam Kajian Arsitektural dan
Filosofi Budaya Tionghoa pada Kelenteng
Jin De Yuan Jakarta bahwa ada 4 warna
yang menjadi khas penerapan dari aspek

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 15


religi/ kepercayaan masyarakat Tionghoa yaitu warna merah, kuning, biru dan hijau.

Warna hijau sering diterapkan pada arsitektur Tionghoa untuk menyimbolkan kayu dan
melambangkan keberuntungan atau rezeki yang melimpah. Selain warna hijau, warna
biru menjadi warna dominan yang kedua, yang memiliki arti sebagai penyimbolan warna
elemen air dan melambangkan kedudukan dan jabatan.

Alasan terkait lainnya mengenai warna yaitu diakibatkan dari pengaruh Inggris dan
Belanda, yang pada sekitar abad ke-18, arsitektur Belanda cenderung didominasi
menggunakan warna palet hijau dan biru.

2. Tipologi Pintu

Elemen pintu merupakan salah satu elemen


pembentuk fasad pada sebuah shophouse. Tiap
bangunan memiliki khas pada tiap-tiap pintunya.
Pada shophouse ini, terdapat

5 kategori pintu, sebagai berikut.

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 16


BAB 3
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas baik dari rincian data, hasil analisis dan survey lapangan, maka
dapatlah disimpulkan bahwa analisis perencanaan tapak pemukiman di kampung
cina ini tidak lain yaitu untuk dapat mengoptimalkan fungsi dari Tapak Perumahan
yang berpotensi baik di dalam maupun di luar. Menggunakan konsep perumahan
shophouse elegan, klasik, unik, dengan hunian berimbang yang di peruntukan bagi
semua kalangan dan keadaan

5.2 Saran
Pada makalah ini kami mencoba menjawab permasalahan yang biasanya terjadi pada
banguna tua di daerah-daerah yang tidak terawat serta buruknya system tapak pada
bangunan itu sendiri, pendapat kami bahwa bangunan bersejarah haruslah di rawat dan
di renovasi ulang agar sesuai dengan perkembangan zaman akan tetapi dengan syarat
tidak merubah estetika dan keunikan dari bangunan itu sendiri. Agar tercipta lingkungan
yang rapi, bersih, aman dan sesuai dengan lingkungan sekitarnya.

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 17


LAMPIRAN
(Jika Ada)

Daftar Lampiran:
1. Gambar A

AR PENGANTAR ARSITEKTUR I 2018-2019 | 18

Вам также может понравиться