Вы находитесь на странице: 1из 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA

TENTANG ASMA

DI PUSKESMAS PANARUNG

Disusun Oleh

Dewi Puspitasari PO.62.20.1.16.131

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN
2018
LATAR BELAKANG
Kata ‘asma’ digunakan sebagai istilah untuk keadaan sesak napas akibat
penyempitan pada pipa bronchial (pembuluh tenggorokan).

Asma merupakan suatu kondisi dimana jalan udara dalam paru-paru meradang
hingga lebih sensitive terhadap factor pemicu yang menyebabkan jalan udara
menyempit hingga aliranudara berkurang dan mengakibatkan sesak napas dan
bunyi napas mengi. Penyakit asma banyak ditemukan pada anak-anak, terutama
yang tinggal didaerah perkotaan dan industri. Kejadian asma hampir meningkat
diseluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang.

Di Amerika Serikat, sekitar sembilan juta anak dibawah 18 tahun menderita asma
dan empat juta anakmangalami sekurang-kurangnya sekali serangan asma setiap
tahun (Rachelefsky,2006).

Prevalensi asma pada anak di Indonesia cukup tinggi terutamadi kota


kota besar yaitu mencapai sekitar 17% (Vitahealth, 2006). Menurut laporan AhliIn
ternasional pada tahun 2005, penderita asma di seluruh dunia sekitar 400
jutaorang dengan tambahan 180.000 per tahun.Menurut Graha (2008) asma
menyerang sekitar 10% dari anak-anak dan remaja.

Pada usia anak-anak, asma menimpa anak laki-laki dalam jumlah dua kali
lebih banyak dibandingkan anak perempuan.

Sekitar satu dari empat anak akanmengidap asma pada tahap tertentu dalam
pertumbuhannya. Sekitar 50% anak-anak penderita asma ringan akan membaik
kondisinya dan sembuh dalam pertumbuhan mereka menjadi dewasa, sisanya
harus hidup bersama penyakit ini,Berdasarkan hal tersebut, maka penting kiranya
untuk lebih memahami mengenaiasma sejak dini guna mencegah semakin
berkembangnya penyakit ini. Olehkarena itu, penulis membuat makalah yang
membahas tentang asuhankeperawatan pada pasien dengan asma.
A. PENGERTIAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast,
eosinofil, dan limfosit-T terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan
gejala dyspnea, wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang
bersifat reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner &
Suddarth, 2001).
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu (Smeltzer&Bare, 2002).
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napasa yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa
mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam hari
atau dini hari yang umumnya bersifat revrsibel baik dengan atau tanpa
pengobatan (Depkes RI, 2009)
Asma Bronkial adalah penyakit pernapasan obstruktif yang
ditandai oleh spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan
obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus (Huddak & Gallo,
1997).
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma adalah penyakit jalan napas
obstruktif yang disebabkan oleh berbagai stimulan, yang ditandai dengan
spasme otot polos bronkiolus.

B. ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika
terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti:
debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan
obat-obatan.
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan
kulit, seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3) Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah
ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati
penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya.
Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
4) Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
5) Olah raga/aktifitas jasmani yang berat.
6) Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan
asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.

C. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
a. Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang
disebabkan oleh faktor-faktor pencetus spesifik (alergen),
seperti serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor
pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi
serangan asthma ekstrinsik. Pasien dengan asma ekstrinsik
biasanya sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi dalam keluarganya.
b. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
c. Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare,
2002).

D. PATOFISIOLOGI
Suatu serangan akut asma akan disertai oleh banyak perubahan
dijalan nafas yang menyebabkan penyempitan: edema dan peradangan
selaput lender, penebalan membrane basa, hipersekresi kalenjar mucus dan
yang lebih ringan kontraksi otot polos. Perubahan histology yang sama
dpat dijumpai pada keadaan tanpa serangan akut akibat pajanan kronik
derajat rendah ke satu atau lebih pemicu asma. Melalui berbagai jalur, zat-
zat pemicu tersebut merangsang degranulasi sel mast dijalan nafas yang
menyebabkan pembebasan berbagai mediator yang bertanggung jawab
untuk perubahan yang terjadi. Mediator yang terpenting mungkin adalah
leukotrien C, D dan E tetapi terdapat bukti bahwa histamine, PAF,
neuropeptida, zat-zat kemotaktik, dan berbagai protein yang berasal dari
eosinofil juga berperan penting dalam proses ini. obstruksi menyebabkan
peningkatan resistensi jala nafas (terutama pada ekspirasi karena
penutupan jalan nafas saat ekspirasi yang terlalu dini); hiperinflasi paru;
penurunan elastisitas dan frekuensi-dependent compliance paru;
peningkatan usaha bernafas dan dispneu; serta gangguan pertukaran gas
oleh paru. Obstruksi yang terjadi tiba-tiba besar kemungkinannya
disebabkan oleh penyempitan jalan nafas besar, dengan sedikit
keterlibatan jalan nafas halus, dan biasanya berespon baik terhadap terapi
bronkodilator. Asma yang menetap dan terjadi setiap hari hampir selalu
memiliki komponen atau fase lambat yang menyebabkan penyakit jalan
nafas halus kronik dan kurang berespon terhadap terapi bronkodilator saja.
Eosinofil diperkirakan merupakan sel efektor utama pada pathogenesis
gejala asma kronik, dimana beberapa mediatornya menyebabkan
kerusakan luas pada stel epitel bronkus serta perubahan-perubahan
inflmatory. Walaupun banyak sel mungkin sitokin (termasuk sel mast, sel
epitel, makrofag dan eosinofil itu sendiri) yang mempengaruhi
diferensiasi, kelangsungan hidup, dan fungsi eosinofil, sel T type TH2
dianggap berperan sentral, karena sel ini mampu mengenali antigen secara
langsung. Obstruksi pada asma biasanya tidak sama, dan defek ventilasi-
perkusi menyebabkan penurunan PaO2. Pada eksaserbasi asma terjadi
hiperventilasi yang disebabkan oleh dispneu. pada awalnya banyak keluar
dan Pa CO2 mungkin rendah namun seiring dengan semakinparahnya
obstruksi, PaCO2 meningkat karena hipoventilasi alveolus. Efek obstruksi
berat yang timbul mencakup hipertensi pulmonaris, peregangan ventrik.

E. PATHWAYS
F. TANDA DAN GEJALA
1. Gejala awal berupa:
a. Batuk terutama pada malam atau dini hari
b. Sesak napas
c. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien
menghembuskan napasnya
d. Rasa berat di dada
e. Dahak sulit keluar.
f. Belum ada kelainan bentuk thorak
g. Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
h. BGA belum patologis
2. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam
jiwa atau disebut juga stadium kronik. Yang termasuk gejala yang
berat adalah:
a. Serangan batuk yang hebat
b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
c. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan
duduk
e. Kesadaran menurun
f. Thorak seperti barel chest
g. Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
h. Sianosis
i. BGA Pa O2 kurang dari 80%
j. Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
a. (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)
Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi
klinis dari asma, diantaranya:
a. Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi.
Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa
sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi dan
laborius.
b. Sianosis karena hipoksia
c. Gejala retensi CO2 : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dijumpai napas menjadi cepat dan
dangkal, terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada
serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena
pasien sudah lelah untuk bernapas)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru
a. Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital
paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1).
Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien
sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas
diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio
VEP1/KVP < 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma,
yaitu adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.Pemeriksaan spirometri
tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting
untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai
prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang
ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi
bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14
hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2
minggu.
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan
malam yang berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini <
20%.
Cara pemeriksaan variabilitas APE
Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan
malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi.
APE malam – APE pagi
Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)
c. Pemeriksaan Tes Kulit (Skin Test)
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
d. Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.Pemeriksaan ini
hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau
status asmatikus.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
a. Riwayat kesehatan masa lalu :
Riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Keluhan sesak napas, keringat dingin.
c. Status mental :
Lemas, takut, gelisah
d. Pernapasan :
Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
e. Gastro intestinal :
adanya mual, muntah.
f. Pola aktivitas :
Kelemahan tubuh, cepat lelah
2. Pemeriksaan Fisik
Dada
a. Contour, Confek, tidak ada defresi sternum
b. Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal
c. Keabnormalan struktur Thorax
d. Contour dada simetris
e. Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna
merata
f. RR dan ritme selama satu menit.
1) Palpasi
a) Temperatur kulit
b) Premitus : fibrasi dada
c) Pengembangan dada
d) Krepitasi
e) Massa
f) Edema
2) Auskultasi
a) Vesikuler
b) Broncho vesikuler
c) Hyper ventilasi
d) Rochi
e) Wheezing
f) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
b. Tes provokasi
c. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
d. Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
e. Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
f. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
g. Pemeriksaan sputum.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif penurunan ekspansi paru
2. Bersihan Jalan Napas Tidak efektif berhubungan dengan akumulasi mukus
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi- perfusi
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis : keengganan untuk
makan
5. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1 : pola napas tidak efektif
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan
pola napas klien kembali efektif
Kriteria Hasil:
a. Klien tidak mengeluh sesak
b. RR 16-20 x/menit
c. Wajah rileks
d. Tidak ada penggunaan otot bantu napas
Intervensi
a. Kaji frekuensi nafas, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
Rasional: Kecepatan biasanya meningkat, kedalaman pernafasan
bervariasitergantung derajat asma
b. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
Rasional: Ronkhi dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas
c. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru optimal dan
memudahkan dalam pernafasan.
d. Beritahu tentang batuk efektif
Rasional : Batuk efektif akan sangat membantu dalam mengurangi
akumulasi mukus
e. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan
Rasional: Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas
f. Kolaborasi pemberian obat
Bronkodilator golongan B2, Nebulizer (via inhalasi) dg golongan
terbutaline 0,25 mg, fenoterol HBr 0,1% solution, orciprenaline sulfur 0,75
mg.
Rasional: Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area
bronkus yg mengalamin spasme shg lebih cepat berdilatasi

2. Diagnosa 2 : bersihan jalan napas tidak efektif


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam bersihan jalan
nafas kembali efektif
Kriteria Hasil:
a. Dapat mendemonstrasikan batuk efektif
b. Dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi
c. Tidak ada suara nafas tambahan
d. Pernafasan klien normal (16-20x/mnt) tanpa ada penggunaan otot bantu
nafas
Intervensi:
a. Kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum
Rasional: Kecepatan biasanya meningkat, kedalaman pernafasan
bervariasitergantung derajat asma Karakteristik sputum dpt menunjukkan
berat ringannya obstruksi.
b. Atur posisi semi flowler
Rasional: Meningkatkan ekspansi dada
c. Ajarkan cara batuk efektif
Rasional: Batuk yg terkontrol & efektif dpt memudahkan pengeluaran
sekret yg melekat di jalan nafas
d. Bantu klien latihan nafas dalam
Rasional: Ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas &
meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan nafas besar u/ dikeluarkan
e. Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak
diindikasikan
Rasional: Hidrasi yg adekuat membantu mengencerkan sekret dan
mengefektifkan pembersihan jalan nafas
f. Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik postural drainase, perkusi, &
fibrasi dada
Rasional: Fisioterapi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan sekret.

3. Diagnosa 3 : gangguan pertukaran gas


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan klien
akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi adekuat.
Kriteria Hasil:
a. Frekuensi nafas 16 – 20 kali/menit
b. Frekuensi nadi 60 – 120 kali/menit
c. Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan GDA dalam batas normal
Intervensi
a. Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil GDA, pemasukan dan
haluaran
Rasional: Kecepatan Untuk mengidentifikasi indikasi kearah kemajuan
atau penyimpangan dari hasil klien
b. Tempatkan klien pada posisi semi fowler
Rasional: Posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebih baik
c. Berikan terapi intravena sesuai anjuran
Rasional: Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat mengkaji
keadaan vaskular untuk pemberian obat – obat darurat.
d. Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt selanjutnya sesuaikan dengan
hasil PaO2
Rasional: Pemberian oksigen mengurangi beban otot – otot pernafasan.
e. Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda –
tanda toksisitas
Rasional: Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkus seperti
kondisi sebelumnya

4. Diagnosa 4 : Defisit nutrisi


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam intake dan output
cairan seimbang
Kriteria Hasil:
a. Frekuensi BB meningkat
b. Nafsu makan (+)
c. Malnutrisi (-)
d. Intake dan output dalam batas normal
Intervensi:
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini.
Rasional: Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.
b. Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk
sekali pakai.
Rasional: Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat
menyebabkan mual atau muntah dengan peningkatan kesulitan nafas
c. Auskultasi bising usus
Rasional: Penurunan/hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan
motilitas gaster dan konstipasi
d. Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional: Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori
e. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi
Rasional: Pengobatan Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi
untuk makan, meningkatkan masukan.
f. Konsul dengan ahli gizi mengenai kebutuhan nutrisi pasien
Rasional: Kebutuhan kalori didasarkan pada kebutuhan pasien untuk
memperoleh nutrisi yg maksimal

5. Diagnosa 5 : ansietas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam masalah ansietas
dapat teratasi
Kriteria hasil :
a. Klien mengatakan mengerti tentang penyakitnya
b. Dapat Mengekspresikan dan mengidentifikasi tentang kecemasannya
c. Mengidentifikasi situasi yang menyebabkan ansietas.
d. Meningkatkan kesehatan fisik dan kesejahteraannya
e. Klien terlindung dari bahaya.

D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pelaksaanaan tindakan yang sudah direncanakan.
Tujuann nya adalah membatu klien mencapai tujuan yang diharapkan dan
pelaksanaan yang telah dibuat.
Jenis tindakan keperawatan :
1. Mandiri ( independen )
2. Kolaborasi ( interdependen)
3. Dependen (pelimpahan tugas/interuksi)

E. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan intelektuan untuk menilai seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai dan
menilai keberhasilan proses keperawatan dengan kriteria hasil yang sudah
ditentukan. Tujuannya untuk melihat kemampuan pasien dalam mencapai
tujuan, sehingga perawat yang mengambil keputusan mengakhiri tindakan,
momodifikasi, atau meneruskan intervensi.
Macam- macam evaluasi :
1. Evaluasi formatif : berfikus pada perubahan aktivitas dari proses
keperawatan
2. Evaluasi sumatif : berfokus pada perubahan perilaku atau status kesehatan
klien pada akhir tindakan keperawatan. Berdasarkan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Indonesia.


Hudack&Gallo. 1997. Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta. EGC.
Direktorat BIna Farmasi dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Asma.616.238 Ind P. Departemen Kesehatan RI.
Doengoes, Marilyn E, et al. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning,
Individualizing, and Documenting Client Care 3th Edition . Philadelphia:
F. A. Davis Company
Mulia, J Meiyanti. 2000. Perkembangan Patogenesis Dan Pengobatan Asma
Bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti Vol 19 No. 3. Bagian Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Smeltzer & Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2001

Вам также может понравиться