Вы находитесь на странице: 1из 80

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang paling penting

keberadaannya. Setiap orang mengakui bahwa tanpa menyelesaikan pendidikan

pada sekolah dasar atau yang sederajat, secara formal seseorang tidak mungkin

dapat mengikuti pendidikan di SLTP. Apabila didasarkan pada Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990, khususnya Pasal 3, paling tidak ada dua

fungsi sekolah dasar. Pertama, melalui sekolah dasar anak didik dibekali

kemampuan dasar. Kedua, sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang

memberikan dasar-dasar untuk mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya.

Pengaruh pendidikan sekolah dasar terhadap pendidikan pada jenjang

berikutnya juga pernah disinggung oleh para teoretis pendidikan. Besarnya

peranan pendidikan di sekolah dasar sangat disadari oleh semua pihak. Itu

sebabnya semua pihak dituntut untuk berperan aktif secara sadar dan profesional

agar sekolah dasar yang kini tengah dihadapkan dengan berbagai persoalan

kompleks, paling tidak mengenai peningkatan mutu dalam berbagai bidang,

terutama layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik memungkinkan

terjadinya perubahan perilaku, emosional, dan intelektual.

Memperhatikan peranannya yang demikian besar itu, sekolah dasar harus

dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik secara sosial-institusional maupun

fungsional-akademik, baik secara proses maupun keluaran. Secara sosial-

institusional berarti sekolah dasar harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar


1
2

berfungsi sebagai tempat terjadinya proses sosialisasi antaranak didik yang pada

akhirnya membina dan mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya secara

mental maupun sosial. Sedangkan, secara fungsional akademik, berarti seluruh

perangkat sekolah dasar, seperti tenaga, kurikulum, dan perangkat pendidikan

lainnya harus dipersiapkan untuk mengemban misi pendidikan. Oleh karena itu,

keberadaan sekolah dasar harus bermutu, dalam arti baik dan berwawasan

keunggulan.

Sekolah dasar sebagai satuan pendidikan tidak akan menjadi bermutu baik

atau unggul dengan sendirinya, melainkan melalui berbagai upaya peningkatan

mutu pendidikannya. Di sini kepala sekolah dasar bersama stakeholders lainnya

harus berusaha melakukan sesuatu, mengubah “status quo” agar sekolahnya

menjadi lebih baik. Peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar hanya akan

terjadi secara efektif dan efisien bilamana dikelola melalui manajemen yang tepat.

Sudah sejak lama peningkatan mutu pendidikan cenderung monoton

melalui manajemen yang sentralistik. Begitu banyak program peningkatan mutu

pendidikan sekolah dasar ditetapkan dan diupayakan secara sentralistik oleh

pemerintah pusat. Akibatnya, peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar tetap

tidak banyak mengalami keberhasilan, karena selain tidak sesuai dengan kondisi

sekolah, juga tidak diikuti oleh upaya-upaya dari sekolah yang bersangkutan.

Namun, mulai tahun 2001 pemerintah mencoba menggunakan paradigma baru

manajemen pendidikan, baik secara mikro maupun secara makro. Menurut

Bafadal (2006:6), “Paradigma baru manajemen baru makro di bidang pendidikan

adalah desentralisasi pendidikan yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 22


3

Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang melahirkan otonomi pendidikan”.

Sedangkan “Manajemen mikro di bidang pendidikan adalah dicobanya sebuah

model manajemen pendidikan dari sekolah, oleh sekolah, dan untuk sekolah.

Model manajemen tersebut biasa disebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu

Pendidikan Berbasis Sekolah (MPMBS) atau Manajemen Berbasis Sekolah”

(Ibrahim, 2006:7).

Sebagai satuan pendidikan, sekolah dasar tidak ubahnya sebagai institusi

dan lembaga, dalam hal ini lembaga pendidikan yang mengemban misi tertentu

dalam rangka mencapai tujuan kelembagaan (tujuan institusional pendidikan).

Oleh karena itu, sekolah dasar dapat dikatakan bermutu baik dalam berbagai

bidang apabila mampu mengemban misinya dalam rangka mencapai tujuan

kelembagaannya. Menurut Direktorat Pendidikan Dasar (sekarang Direktorat

Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar), ada tiga misi yang diemban oleh setiap

sekolah dasar, yaitu melakukan proses edukasi, proses sosialisasi, dan proses

transformasi. Dengan proses edukasi anak didik diharapkan menjadi orang yang

terdidik (educated person). Dengan proses sosialisasi, anak didik diharapkan

mencapai kedewasaan secara mental maupun sosial. Sedangkan dengan proses

transformasi, anak didik diharapkan memiliki berbagai ilmu pengetahuan dan

teknologi, termasuk juga kebudayaan bangsa. Semua hal tersebut dalam rangka

mengantarkan anak didik siap memasuki sekolah lanjutan tingkat pertama. Lebih

lanjut disebut, sekurang-kurangnya ada lima komponen yang menentukan mutu

layanan pendidikan di sekolah dasar, antara lain: (1) kegiatan belajar mengajar;

(2) manajemen pendidikan yang efektif dan efisien; (3) buku dan sarana belajar
4

yang memadai dan selalu dalam kondisi siap pakai; (4) fisik dan penampilan

sekolah yang baik; dan (5) partisipasi masyarakat” (Bafadal, 2006:20).

Keterkaitan kelima komponen di atas dalam rangka mewujudkan sekolah

dasar yang bermutu diyakini benar satu sama lain saling menunjang. Sekolah

dasar bermutu akan dapat terwujud jika kegiatan belajar mengajar yang

berlangsung di sekolah tersebut bermutu, dan kegiatan belajar mengajar yang

bermutu ini ditunjang oleh beberapa komponen, yaitu manajemen yang bermutu

ini ditunjang oleh beberapa komponen, yaitu manajemen yang bermutu,

pengadaan dan pemanfaatan buku dan sarana belajar yang bermutu, keadaan fisik

dan penampilan sekolah yang bermutu, keadaan fisik dan penampilan sekolah

yang bermutu, serta partisipasi masyarakat yang tinggi.

Di manapun sekolah dasar itu berada harapannya ingin bermutu baik dan

unggul dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya bermutu dalam mutu hasil

belajar . Berbagai upaya untuk mewujudkan harapan tersebut telah dan sedang

diusahakan oleh semua pihak, seperti di sekolah dasar pada wilayah UPTD.

Pendidikan Kecamatan Tawangsari Kota Tasikmalaya. Berdasarkan hasil studi

awal terhadap mutu layanan pendidikan pada sekolah dasar di wilayah ini,

diperoleh gambaran sebagai berikut.

1. Kegiatan belajar mengajar belum terselenggara secara efektif dan efisien,

karena berbagai faktor yang kurang menunjang, seperti guru kurang kreatif

untuk berinovasi dalam mengelola KBM dan bahkan lebih sering menempuh

jalan pintas, sebagai contoh KBM tidak direncanakan dengan baik,


5

pelaksanaan KBM kurang bermutu, sering tidak melakukan evaluasi, ada

kalanya evaluasi dilaksanakan tetapi hasilnya tidak ditindaklanjuti. Akibatnya,

bukan proses belajar siswa saja yang kurang bermutu, hasil belajarnya pun

kurang mencapai tujuan yang diharapkan. Imbas dari persoalan ini, mutu hasil

belajar di sebagian besar sekolah dasar yang menunjukkan mutu

layananannya menjadi rendah, sebagaimana tertuang pada tabel berikut.

Tabel 1.1

Nilai Nem

Tahun Rata-rata Nem (3 Mata SD

Ajaran Pelajaran)

2008/2009 8,50 SD Negeri 1 Tawang

2009/2010 9,00 SD Negeri 2 Tawang

2010/2011 8,66 SD Negeri 3 Tawang

2. Implementasi kelengkapan sarana prasarana masih terkendalai oleh berbagai

faktor, baik dalam hal perencanaan, pengadaan, inventarisasi, pengawasan,

dan pengendalian.

3. Masih minimnya buku dan sarana belajar yang yang menunjang proses belajar

siswa. Hal ini menunjukkan kondisi buku dan sarana tersebut kurang memadai

dan tidak selalu dalam kondisi siap pakai.

4. Partisipasi masyarakat masih perlu ditingkatkan, terutama dibeberapa sekolah

dasar yang mutunya rendah.


6

Masih rendahnya mutu hasil belajar di sekolah dasar pada UPTD.

Pendidikan Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya dipengaruhi oleh berbagai

faktor, dua di antaranya adalah karena kelengkapan sarana prasarana dan

manajemen mutu layanan kurang dikelola secara profesional. Sebagai bukti awal

yang mengindikasikan adanya isu strategis ini, antara lain, pertama, kelengkapan

sarana prasarana masih dikelola seadanya. Oleh karena itu sebagian besar siswa

kurang mencapai prestasi belajar yang diharapkan.. Kedua, kurangnya kualitas

mutu layanan, juga telah berdampak pada mutu hasil belajar menjadi seperti itu.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika melihat kondisi ruang kelas dan

fasilitas di dalamnya. Tipis kemungkinan dalam kondisi seperti itu akan tercipta

mutu layanan pembelajaran yang bermutu. Oleh karena itu, wajarlah apabila

kemudian mutu layanan pendidikan di sekolah dasar pada UPTD. Pendidikan

Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, dinilai masih rendah. Demikian pun

dengan prestasi belajar para siswa..

Demikian pun terkait dengan pemenuhan sarana prasarana pendidikan

yang telah distandarkan, sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh masing-

masing sekolah dasar di wilayah ini. Padahal pemenuhan komponen ini, sangat

menentukan mutu layanan pendidikan di sekolah. Hal ini erat kaitannya dengan

pendapat Sagala (2006: 117), yang dikutip berikut.

Menjadikan sekolah sebagai tempat tumbuh suburnya potensi anak

diperlukan berbagai fasilitas belajar yang memadai, seperti ruang kelas dan

perlengkapannya, labolatorium dengan perlengkapannya, perpustakaan dengan

sejumlah buku dan perlengkapannya, media dan alat peraga, alat-alat olahraga,
7

alat-alat kesenian, dan berbagai perlengkapan maupun fasilitas lainnya yang

digunakan untuk keperluan belajar peserta didik.

Lebih lanjut dikemukakan, bahwa ”Untuk terlaksananya proses pendidikan

di sekolah dengan baik diperlukan sarana, prasarana, dan perlengkapan fasilitas

sekolah yang memadai, sehingga proses pendidikan dapat berlangsung secara

efektif dan efisien” (Sagala, 2006: 117). Pemenuhan sarana prasarana pendidikan

yang memadai ini, belum terlaksana di hampir setiap sekolah dasar di UPTD.

Pendidikan Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya. Sebagai dampaknya, sudah

barang tentu pada mutu layanan pendidikan pada masing-masing sekolah, menjadi

rendah.

Untuk membuktikan isu strategis di atas dan pengaruh masing-masing

(kelengkapan sarana prasarana dan mutu layanan pendidikan) serta secara

simultan terhadap mutu hasil belajar di sekolah dasar pada UPTD. Pendidikan

Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, maka dilakukan penelitian yang berfokus

pada ”Pengaruh Kelengkapan Sarana Prasarana Pendidikan dan Mutu Layanan

Pendidikan terhadap Mutu Hasil Belajar (Studi pada Sekolah Dasar di UPTD.

Pendidikan Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya)”. ..

1.2 Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah

1.2.1 Identifikasi Masalah

Sebagai satu bentuk satuan pendidikan, sekolah dasar merupakan

satuan pendidikan yang paling penting keberadaannya. Setiap orang mengakui

bahwa tanpa menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar atau yang sederajat,

secara formal seseorang tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan di SLTP.


8

Pengaruh pendidikan sekolah dasar terhadap pendidikan pada jenjang

berikutnya telah banyak disinggung oleh para teoritisi pendidikan, seperti

Stoops dan Johason (dalam Bafadal, 2006:9), bahwa “Pendidikan di sekolah

dasar merupakan dasar dari semua pendidikan”. Keberhasilan seorang anak

didik mengikuti pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi sangat

ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengikuti pendidikan di sekolah

dasar. Oleh karena itu, sangat tepat apabila Fuad Hasan dan Sarwono

Kusumaatmadja (masing-masing sebagai Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara periode

1988 sampai dengan 1993), menegaskan bahwa optimalisasi pendidikan di

sekolah dasar sangat diperlukan.

Sekolah dasar yang keberadaannya sangat diperlukan itu tentunya

adalah sekolah dasar yang bermutu baik. Sehingga mampu mengemban tiga

misinya, yaitu melakukan proses edukasi, proses sosialisasi, dan proses

transformasi. Adapun sekolah dasar yang bermutu baik, yakni sekolah dasar

yang mampu berfungsi sebagai wadah proses edukasi, wadah proses

sosialisasi, dan wadah proses transformasi sehingga mampu mengantarkan

anak didik menjadi seorang terdidik, memiliki kedewasaan mental dan sosial,

serta memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk juga kebudayaan

bangsa. Lebih lanjut menurut Direktorat Pendidikan Dasar dikemukakan ada

lima komponen yang menentukan mutu pendidikan yang harus diupayakan,

antara lain: (1) kegiatan belajar mengajar; (2) manajemen pendidikan yang

efektif dan efisien; (3) buku dan sarana belajar yang memadai dan selalu
9

dalam kondisi siap pakai; (4) fisik dan penampilan sekolah yang baik; dan (5)

partisifasi aktif masyarakat.

Pada prinsipnya, sekolah dasar sebagai satuan pendidikan tidak akan

bermutu baik dan unggul dengan sendirinya melainkan melalui berbagai

upaya peningkatan mutu pendidikannya oleh semua pihak. Agar berbagai

pihak dapat bekarja dengan baik diperlukan manajemen yang baik pula yang

diharapkan melalui ini semua tujuan institusional dapat dicapai secara efisien.

Untuk itu pemerintah telah mencanangkan program (MPMBS) dengan tujuan

untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian

wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah

dari berbagai aspek sesuai dengan misi yang diemban yang berpegang pada

empat mutu dalam MPMBS, sebagaimana disebutkan Bafadal (2006:93),

yakni “ada empat pilar pada konsep MPMBS, yaitu peningkatan mutu,

kemandirian, partisipasi, dan transparan”. Dengan pilar pertama, peningkatan

mutu MPMBS merupakan satu pendekatan manajemen yang menempatkan

mutu pendidikan sebagai kiblat aktivitas manajemen kurikulum, kesiswaan,

kepagawaian, sarana/prasarana, keuangan, dan peran serta masyarakat

sekolah. Tidak ada MPMBS tanpa rumusan sisi, misi, tujuan kelembagaan

sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah yang baik (the good

school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah yang unggul (the

excellent school), dan sekolah masa depan (the future school).

Sebagai pilar kedua MPMBS adalah kemandirian, yang berarti seluruh

personel dituntut mendiri untuk maju dengan sendirinya. Oleh karena itu,
10

konsep-konsep mengelola sendiri (self managing), merencanakan sendiri (self

planning), mengorganisasikan sendiri aktivitas sekolah (self direction), dan

mengontrol mengevaluasi sendiri seluruh program sekolah yang telah

dilaksanakan (self control), sangat melekat pada konsep MPMBS.

Pilar ketiga konsep MPMBS adalah partisipasi, yang intinya sangat

menekankan pada partisipasi seluruh elemen terkait dengan peningkatan mutu

pendidikan di sekolah. Sedangkan pilar keempat konsep MPMBS adalah

transparansi keuangan.

Keberhasilan mencapai pilar-pilar mutu tersebut, salah satu

indikasinya ditunjukkan oleh mutu hasil belajar , baik secara akademik mupun

ekstrakurikuler. Keberhasilan sekolah dalam mencapai harapan tersebut harus

ditunjang oleh sarana prasarana yang bermutu dan kualitas mutu layanan yang

baik. Sehingga, akan terjadi proses edukasi, transformasi, dan sosial yang

baik. Namun dalam kenyataannya tidak demikian, di mana mutu hasil belajar

masih jauh dari harapan. Kondisi seperti ini ditenggarai oleh banyak faktor,

termasuk di dalamnya sarana prasarana pendidikan yang masih dikelola secara

apa adanya. Demikian pun dengan mutu layanan pendidikan masih jauh dari

memuaskan, baik pada pelanggan internal maupun pelanggan eksternal.

Dengan demikian, indentifikasi masalah penelitian ini menjadi jelas, yaitu:

1. Kelengkapan sarana prasarana terhadap mutu hasil belajar ;

2. Mutu layanan pendidikan terhadap mutu hasil belajar ;


11

3. Kelengkapan sarana prasarana dan mutu layanan pendidikan terhadap

mutu hasil belajar .

1.2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, apa

yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan, sebagai

berikut.

1. Bagaimanakah pengaruh kelengkapan sarana prasarana terhadap mutu

hasil belajar ?

2. Bagaimanakah pengaruh mutu layanan pendidikan terhadap mutu hasil

belajar ?

3. Bagaimanakah pengaruh kelengkapan sarana prasarana dan mutu layanan

pendidikan terhadap mutu hasil belajar ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini erat kaitannya dengan pokok masalah yang telah

dirumuskan, yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan:

1. pengaruh kelengkapan sarana prasarana terhadap mutu hasil belajar ;

2. pengaruh mutu layanan pendidikan terhadap mutu hasil belajar ; dan

3. pengaruh kelengkapan sarana prasarana dan mutu layanan pendidikan

terhadap mutu hasil belajar .

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Secara Teoretis


12

1) Bagi penulis dapat menambah wawasan teori mendasar tentang

kelengkapan sarana prasarana, kualitas mutu layanan, dan mutu hasil

belajar di sekolah dasar.

2) Bagi berbagai pihak yang berkecimpung di sekolah dasar akan

memberikan sumbangan pimikiran penting dalam rangka memahami

kelengkapan sarana prasarana, mutu layanan pendidikan, dan mutu hasil

belajar di sekolah dasar.

3) Bagi sidang pembaca yang membutuhkan teori tentang kelengkapan

sarana prasarana, mutu layanan pendidikan, dan mutu hasil belajar akan

memperoleh gambaran cukup detail untuk menambah wawasannya guna

menjawab isu strategis bertemali dengan pokok persoalan yang

dihadapinya.

4) Melalui teori yang dikembangkan, diharapkan dapat memberikan

tambahan pemikiran kepada para pemerhati kelengkapan sarana prasarana,

mutu layanan pendidikan, dan mutu hasil belajar . Demikian pun bagi

penelitian lebih lanjut, kerangka teori yang dikembangkan dapat

menambah sumber rujukan yang sangat dipentingkan dalam rangka proses

pemecahan masalah.

1.4.2 Secara Praktis

1) Bagi penulis yang juga sebagai guru, secara praktis hasil penelitian ini

cukup memberikan kontribusi pemahaman bertemali dengan pengaruh

kelengkapan sarana prasarana dan mutu layanan pendidikan terhadap


13

mutu hasil belajar di sekolah dasar pada satu wilayah, tempat penulis

bertugas.

2) Bagi berbagai pihak yang terlibat dalam mengelola sekolah dasar pada

wilayah penelitian ini diharapkan dapat memberikan tolok ukur tentang

kelengkapan sarana prasarana dan mutu layanan pendidikan serta

pengaruhnya terhadap mutu hasil belajar .

3) Melengkapi ilmu manajemen pendidikan di sekolah dasar dilihat dari

kelengkapan sarana prasarana, manajemen mutu layanan pendidikan, dan

mutu hasil belajar di sekolah dasar yang berorientasi pada Manajemen

Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) di sekolah dasar.

4) Bagi para peneliti ke depan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

barometer untuk melakukan penelitian terhadap masalah yang sama, di

lokasi yang berbeda.


14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Mutu Hasil Belajar

2.1.1.1 Pengertian Mutu Hasil Belajar

Mutu hasil belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari

kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan mutu hasil

belajar merupakan hasil dari proses belajar. Memahami pengertian mutu hasil

belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian belajar itu sendiri.

Untuk itu para ahli mengemukakan pendapatnya yang berbeda-beda sesuai dengan

pandangan yang mereka anut. Namun dari pendapat yang berbeda itu dapat kita

temukan satu titik persamaan. Mutu hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai

seseorang dalam melakukan kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan bahwa mutu

hasil belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan intelektual,

strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Menurut Bloom dalam

Suharsimi Arikunto (1990:110) bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek

yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Mutu hasil belajar merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat

dicapai pada saat atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, mutu hasil

belajar dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai siswa dalam proses

pembelajaran.

14
15

Selanjutnya Winkel (1996:162) mengatakan bahwa: “mutu hasil belajar

adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam

melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.” Sedangkan

menurut Nasution (1996:17) prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai

seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Mutu hasil belajar dikatakan

sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor,

sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu

memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.

Mutu hasil belajar di bidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran

terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor

setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan

instrumen tes atau instrumen yang relevan. Jadi mutu hasil belajar adalah hasil

pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol,

huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap

anak pada periode tertentu. Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran

terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor

setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan

instrumen tes yang relevan.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa mutu hasil

belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima,

menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar

mengajar. Mutu hasil belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu
16

dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau

raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Mutu hasil

belajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat

memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya mutu hasil belajar .

Mutu hasil belajar berdasarkan aspek kognitif, menitikberatkan pada

proses intelektual. Menurut Bloom (dalam Hamalik, 1983:80), aspek ini terdiri

atas indikator-indikator berikut.

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan pengingatan bahan-bahan yang telah dipelajari,

mulai dari fakta sampai teori, yang menyangkut informasi bermanfaat, seperti:

istilah umum, fakta-fakta khusus, metode dan prosedur, konsep dan prinsip.

2. Pemahaman

Pemahaman adalah abilitet untuk menguasai pengertian. Pemahaman

tampak pada alih bahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya, penafsiran, dan

memperkirakan.

3. Penerapan

Penerapan adalah abilitet untuk menggunakan bahan yang telah dipelajari

ke dalam situasi baru yang nyata, meliputui aturan, metode, konsep, prinsip,

hukum, dan teori.


17

4. Analisis

Analisis adalah abilitet untuk merinci bahan menjadi bagian-bagian supaya

struktur organisasinya mudah dipahami, meliputi identifikasi bagian-bagian,

mengkaji hubungan antara bagian-bagian, mengenali prinsip-prinsip organisasi.

5. Sintesis

Sintesis adalah abilitet mengkombinasikan bagian-bagian menjadi suatu

keseluruhan baru, yang menitikberatkan pada tingkah laku kreatif dengan cara

memformulasikan pola dan struktur baru.

6. Evaluasi

Evaluasi adalah abilitet untuk mempertimbangkan nilai bahan untuk

maksud tertentu berdasarkan kriteria interval dan eksternal.

Mutu hasil belajar berdasarkan aspek afektif menitikberatkan pada sikap,

perasaan, emosi dan karakteristik moral, yang merupakan aspek-aspek penting

bagi siswa. Krathwohl dkk (dalam Hamalik, 1983:81) mengembangkan aspek ini

dalam beberapa indikator berikut.

1. Penerimaan (receiving), suatu keadaan sadar, kemauan untuk


menerima perhatian terpilih.
2. Sambutan (responding), suatu sikap terbuka ke arah sambutan,
kemauan untuk merespon, kepuasan yang timbul karena sambutan.
3. Menilai (valuing), penerimaan nilai-nilai, preferensi terhadap suatu
nilai, membuat kesepakatan sehubungan dengan nilai.
4. Organisasi (organization), suatu konseptualisasi tentang suatu nilai,
suatu organisasi dari suatu sistem nilai.
5. Karakterisasi dengan suatu kompleks nilai, suatu formasi mengenai
perangkat umum, suatu manifestasi daripada kompleks nilai.
18

Sementara itu, mutu hasil belajar dilihat dari aspek psikomotorik,

menunjuk pada gerakan-gerakan jasmaniah dan kontrol jasaniah. Kecakapan-

kecakapan fisik dapat berupa pola-pola gerakan atau keterampilan fisik yang

khusus atau urutan keterampilan. Sehubungan dengan hal ini Simpson (dalam

Hamalik,1983:82) mengembangkan dalam beberapa indikator berikut:

1. Persepsi (perception)
Penggunaan lima organ indra untuk memperoleh kesadaran tentang
tujuan dan untuk menerjemahkannya menjadi tindakan (action).
2. Kesiapan (set)
Dalam keadaan yang siap untuk merespon secara mental, fisik, dan
emosional.
3. Respon terbimbing (guided response)
Pertunjukkan model setelah didemonstrasikan oleh seseorang
mengenai suatu bentuk tingkah laku.
4. Mekanisme
Respon fisik yang telah dipelajari menjadi kebiasaan.
5. Respon yang unik (complex overt response)
Suatu tindakan motorik yang rumit dipertunjukkan dengan terampil
dan efisien.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa mutu hasil

belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima,

menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar

mengajar. Mutu hasil belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu

dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau

raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar.

2.1.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Hasil Belajar

Untuk mencapai mutu hasil belajar sebagaimana yang diharapkan, maka

perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menurut

Ahmadi (1998:72) antara lain; faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor
19

intern), dan faktor yang terdiri dari luar siswa (faktor ekstern). Faktor-faktor yang

berasal dari dalam diri anak bersifat biologis sedangkan faktor yang berasal dari

luar diri anak antara lain adalah faktor keluarga, sekolah, masyarakat dan

sebagainya.

1. Faktor Intern

Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri,

adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu:

1) Kecerdasan/intelegensi

Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk

menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat

ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan

kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Adakalanya

perkembangan ini ditandai oleh kemajuan-kemajuan yang berbeda antara satu

anak dengan anak yang lainnya, sehingga seseorang anak pada usia tertentu sudah

memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan

sebayanya. Oleh karena itu jelas bahwa faktor intelegensi merupakan suatu hal

yang tidak diabaikan dalam kegiatan belajar mengajar.

Menurut Kartono (1995:1) kecerdasan merupakan “salah satu aspek yang

penting, dan sangat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. Kalau seorang

murid mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di atas normal maka secara

potensi ia dapat mencapai prestasi yang tinggi”. Slameto (1995:56) mengatakan

bahwa “tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang
20

mempunyai tingkat intelegensi yang rendah”. Muhibbin (1999:135) berpendapat

bahwa intelegensi adalah “semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa

maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin

rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya

untuk meraih sukses.”

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa intelegensi yang baik atau kecerdasan

yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha

belajar.

2) Bakat

Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki seseorang sebagai

kecakapan pembawaan. Ungkapan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Poerwanto (1986:28) bahwa “bakat dalam hal ini lebih dekat pengertiannya

dengan kata aptitude yang berarti kecakapan, yaitu mengenai kesanggupan-

kesanggupan tertentu.

3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang mantap dalam subyek untuk merasa

tertarik pada bidang tertentu. Siswa yang kurang beminat dalam pelajaran tertentu

akan rnenghambat dalam belajar.

4) Keadaan fisik dan psikis

Keadaan fisik menunjukkan pada tahap pertumbuhan, kesehatan jasmani,

keadaan alat-alat indera dan lain sebagainya. Keadaan psikis menunjuk pada
21

keadaan stabilitas/labilitas mental siswa, karena fisik dan psikis yang sehat sangat

berpengaruh positif terhadap kegiatan belajar mengajar dan sebaliknya.

2. Faktor Ekstern

Faktor ekstern adalah faktor dari luar diri siswa yang mempengaruhi

prestasi belajar. Faktor ekstern dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1) Guru

Guru sebagai tenaga berpendidikan memiliki tugas menyelenggarakan

kegiatan belajar mengajar, membimbing, melatih, mengolah, meneliti dan

mengembangkan serta memberikan pelajaran teknik, karena itu setiap guru harus

memiliki wewenang dan kemampuan profesional, kepribadian dan

kemasyarakatan.

Guru juga rnenunjukkan flexibilitas yang tinggi yaitu pendekatan didaktif

dan gaya memimpin kelas yang selalu disesuaikan dengan keadaan, situasi kelas

yang diberi pelajaran, sehingga dapat rnenunjang tingkat prestasi siswa

semaksimal mungkin.

2) Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga turut mempengaruhi kemajuan hasil kerja, bahkan

mungkin dapat dikatakan menjadi faktor yang sangat penting, karena sebagian

besar waktu belajar dilaksanakan di rumah, keluarga kurang mendukung situasi

belajar. Seperti kericuhan keluarga, kurang perhatian orang tua, kurang

perlengkapan belajar akan mempengaruhi berhasil tidaknya belajar.


22

3) Sumber-sumber belajar

Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan dalam proses belajar adalah

tersedianya sumber belajar yang memadai. Sumber belajar itu dapat berupa

media/alat bantu belajar serta bahan baku penunjang. AIat bantu belajar

merupakan semua alat yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam

melakukan perbuatan belajar. Maka pelajaran akan lebih menarik, menjadi

konkret, Muray dalam Beck (1990 : 290) mendefinisikan prestasi sebagai berikut

“To overcome obstacle, to exercise power, to strive to do something difficult as

well and as quickly as possible” “Kebutuhan untuk prestasi adalah mengatasi

hambatan, melatih kekuatan, berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik

dan secepat mungkin”.

Untuk mencapai mutu hasil belajar sebagaimana yang diharapkan, maka

perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara

lain; faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor intern), dan faktor yang terdiri

dari luar siswa (faktor ekstern). Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri anak

bersifat biologis sedangkan faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain

adalah faktor keluarga, sekolah, masyarakat dan sebagainya.

1. Faktor Intern

Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri,

adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu

kecedersan/intelegensi, bakat, minat dan motivasi.


23

1) Kecerdasan/intelegensi

Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk

menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat

ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan

kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Adakalanya

perkembangan ini ditandai oleh kemajuan-kemajuan yang berbeda antara satu

anak dengan anak yang lainnya, sehingga seseorang anak pada usia tertentu sudah

memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan

sebayanya. Oleh karena itu jelas bahwa faktor intelegensi merupakan suatu hal

yang tidak diabaikan dalam kegiatan belajar mengajar.

Menurut Kartono (1995:1) kecerdasan merupakan “salah satu aspek yang

penting, dan sangat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. Kalau seorang

murid mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di atas normal maka secara

potensi ia dapat mencapai prestasi yang tinggi.” Slameto (1995:56) mengatakan

bahwa “tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang

mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.” Muhibbin (1999:135) berpendapat

bahwa intelegensi adalah “semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa

maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin

rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya

untuk meraih sukses.”


24

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa intelegensi yang baik atau kecerdasan

yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha

belajar.

2) Bakat

Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki seseorang sebagai

kecakapan pembawaan. Ungkapan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Ngalim Purwanto (1986:28) bahwa “bakat dalam hal ini lebih dekat pengertiannya

dengan kata aptitude yang berarti kecakapan, yaitu mengenai kesanggupan-

kesanggupan tertentu.”

Kartono (1995:2) menyatakan bahwa “bakat adalah potensi atau

kemampuan kalau diberikan kesempatan untuk dikembangkan melalui belajar

akan menjadi kecakapan yang nyata.” Menurut Syah Muhibbin (1999:136)

mengatakan “bakat diartikan sebagai kemampuan indivedu untuk melakukan

tugas tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan.”

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa tumbuhnya keahlian tertentu pada

seseorang sangat ditentukan oleh bakat yang dimilikinya sehubungan dengan

bakat ini dapat mempunyai tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi

tertentu. Dalam proses belajar terutama belajat keterampilan, bakat memegang

peranan penting dalam mencapai suatu hasil akan prestasi yang baik. Apalagi

seorang guru atau orang tua memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu yang

tidak sesuai dengan bakatnya maka akan merusak keinginan anak tersebut.
25

3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenai

beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki seseorang diperhatikan terus menerus

yang disertai dengan rasa sayang. Menurut Winkel (1996:24) minat adalah

“kecenderungan yang menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada

bidang/hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu.”

Selanjutnya Slameto (1995:57) mengemukakan bahwa minat adalah

“kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa

kegiatan, kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus yang disertai

dengan rasa sayang.”

Kemudian Sardiman (1992:76) mengemukakan minat adalah “suatu

kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atai arti sementara situasi

yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya

sendiri.”

Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa minat besar pengaruhnya

terhadap belajar atau kegiatan. Bahkan pelajaran yang menarik minat siswa lebih

mudah dipelajari dan disimpan karena minat menambah kegiatan belajar. Untuk

menambah minat seorang siswa di dalam menerima pelajaran di sekolah siswa

diharapkan dapat mengembangkan minat untuk melakukannya sendiri. Minat

belajar yang telah dimiliki siswa merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi hasil belajarnya. Apabila seseorang mempunyai minat yang tinggi


26

terhadap sesuatu hal maka akan terus berusaha untuk melakukan sehingga apa

yang diinginkannya dapat tercapai sesuai dengan keinginannya.

4) Motivasi

Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal tersebut

merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk melakukan belajar.

Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara mengatur agar

motivasi dapat ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar

sorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar. Nasution

(1995:73) mengatakan motivasi adalah “segala daya yang mendorong seseorang

untuk melakukan sesuatu.” Sedangkan Sardiman (1992:77) mengatakan bahwa

“motivasi adalah menggerakkan siswa untuk melakukan sesuatu atau ingin

melakukan sesuatu.” Dalam perkembangannya motivasi dapat dibedakan menjadi

dua macam yaitu (a) motivasi instrinsik dan (b) motivasi ekstrinsik. Motivasi

instrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang bersumber dari dalam diri

seseorang yang atas dasarnya kesadaran sendiri untuk melakukan sesuatu

pekerjaan belajar. Sedangkan motivasi ekstrinsik dimaksudkan dengan motivasi

yang datangnya dari luar diri seseorang siswa yang menyebabkan siswa tersebut

melakukan kegiatan belajar. Dalam memberikan motivasi seorang guru harus

berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk mengarahkan perhatian siswa

kepada sasaran tertentu. Dengan adanya dorongan ini dalam diri siswa akan

timbul inisiatif dengan alasan mengapa ia menekuni pelajaran. Untuk

membangkitkan motivasi kepada mereka, supaya dapat melakukan kegiatan

belajar dengan kehendak sendiri dan belajar secara aktif.


27

2. Faktor Ekstern

Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi

belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu beberapa pengalaman-pengalaman,

keadaan keluarga, lingkungan sekitarnya dan sebagainya. Pengaruh lingkungan ini

pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan kepada individu.

Menurut Slameto (1995:60) faktor ekstern yang dapat mempengaruhi belajar

adalah “keadaan keluarga, keadaan sekolah dan lingkungan masyarakat.”

1) Keadaan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat tempat

seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Slameto

bahwa: “Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama. Keluarga

yanng sehat besar artinya untuk pendidikan kecil, tetapi bersifat menentukan

dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia.” Adanya rasa

aman dalam keluarga sangat penting dalam keberhasilan seseorang dalam belajar.

Rasa aman itu membuat seseorang akan terdorong untuk belajar secara aktif,

karena rasa aman merupakan salah satu kekuatan pendorong dari luar yang

menambah motivasi untuk belajar.

Dalam hal ini Hasbullah (1994:46) mengatakan: “Keluarga merupakan

lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-

tama mendapatkan pendidikan dan bimbingan, sedangkan tugas utama dalam

keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak

dan pandangan hidup keagamaan.”


28

Oleh karena itu orang tua hendaknya menyadari bahwa pendidikan dimulai

dari keluarga. Sedangkan sekolah merupakan pendidikan lanjutan. Peralihan

pendidikan informal ke lembaga-lembaga formal memerlukan kerjasama yang

baik antara orang tua dan guru sebagai pendidik dalam usaha meningkatkan hasil

belajar anak. Jalan kerjasama yang perlu ditingkatkan, dimana orang tua harus

menaruh perhatian yang serius tentang cara belajar anak di rumah. Perhatian

orang tua dapat memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak dapat belajar

dengan tekun. Karena anak memerlukan waktu, tempat dan keadaan yang baik

untuk belajar.

2) Keadaan Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat

penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa, karena itu lingkungan

sekolah yang baik dapat mendorong untuk belajar yang lebih giat. Keadaan

sekolah ini meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-

alat pelajaran dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa kurang baik akan

mempengaruhi hasil-hasil belajarnya. Menurut Kartono (1995:6) mengemukakan

“guru dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, dan

memiliki tingkah laku yang tepat dalam mengajar.” Oleh sebab itu, guru harus

dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang disajikan, dan memiliki metode

yang tepat dalam mengajar.


29

3) Lingkungan Masyarakat

Di samping orang tua, lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang

tidak sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalm proses pelaksanaan

pendidikan. Karena lingkungan alam sekitar sangat besar pengaruhnya terhadap

perkembangan pribadi anak, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih

banyak bergaul dengan lingkungan di mana anak itu berada. Dalam hal ini

Kartono (1995:5) berpendapat bahwa lingkungan masyarakat dapat menimbulkan

kesukaran belajar anak, terutama anak-anak yang sebayanya. Apabila anak-anak

yang sebaya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka anak akan terangsang

untuk mengikuti jejak mereka. Sebaliknya bila anak-anak di sekitarnya

merupakan kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran tiada menentukan

anakpun dapat terpengaruh pula. Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan

membentuk kepribadian anak, karena dalam pergaulan sehari-hari seorang anak

akan selalu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya.

Oleh karena itu, apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan

temannya yang rajin belajar maka kemungkinan besar hal tersebut akan membawa

pengaruh pada dirinya, sehingga ia akan turut belajar sebagaimana temannya

2.1.2 Kelengkapan Sarana Prasarana Pendidikan

2.1.2.1 Konsep Manajemen Sarana Prasana Pendidikan

Kelengkapan sarana prasarana prasarana berkonotasi dengan manajemen

perlengkapan sekolah. Menurut Ibrahim (2007:1), kelengkapan sarana prasarana

atau perlengkapan sekolah merupakan salah satu bagian kajian administrasi

sekolah (school administration) atau administrasi pendidikan (educational


30

administration). Sebagai salah satu bagian dalam kajian administratsi pendidikan,

kelengkapan sarana prasarana belajar di sekolah harus dikelola secara profesional.

Dengan demikian, kelengkapan sarana prasarana belajar berarti pendayagunaan

sarana belajar secara efektif dan efisien. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa

perlengkapan sekolah ini atau fasilitas sekolah dikelompokkan dalam: (1) sarana

prasarana pendidikan, dan (2) prasarana prasarana pendidikan. Sarana prasarana

pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot yang secara

langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah. Sedangkan, prasarana

prasarana pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara

tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.

Dalam hubungannya dengan sarana prasarana pendidikan atau sarana

prasarana belajar, Nawawi (dalam Ibrahim, 2007:2) mengklasifikasikan menjadi

beberapa macam sarana prasarana pendidikan, yaitu ditinjau dari sudut: (1) habis

tidaknya dipakai, (2) bergerak tidaknya pada saat digunakan, dan (3)

hubungannya dengan proses belajar mengajar.

2.1.2.2 Tujuan Manajemen Perlengkapan Sarana Prasarana Pendidikan di


Sekolah

Secara umum, tujuan manajemen perlengkapan sarana prasarana

pendidikan di sekolah adalah memberikan layanan secara profesional di bidang

sarana prasarana pendidikan di sekolah dalam rangka terselenggaranya proses

pendidikan secara efektif dan efisien (Ibrahim, 2007:5). Lebih lanjut dikemukakan

secara rinci, tujuannya adalah sebagai berikut.


31

1. Untuk mengupayakan penghadaan sarana prasarana pendidikan melalui sistem

perencanaan dan pengadaan yang hati-hati dan seksama. Dengan perkataan

ini, melalui manajemen perlengkapan sarana prasarana pendidikan diharapkan

semua perlengkapan yang didapatkan oleh sekolah adalah sarana pendidikan

yang berkualitas tinggi, sesuai dengan kebutuhan sekolah, dan dengan dana

yang efisien.

2. Untuk mengupayakan pemakaian sarana sekolah secara tepat dan efisien.

3. Untuk mengupayakan pemeliharaan sarana sekolah sehingga keberadaannya

selalu dalam kondisi siap pakai dalam setiap diperlukan oleh semua personel

sekolah.

2.1.2.3 Prinsip-prinsip Manajemen Perlengkapan Sekolah


Agar tujuan-tujuan manajemen perlengkapan sarana prasarana pendidikan

di sekolah dapat tercapai, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam

mengelola perlengkapan sarana prasarana pendidikan disekolah, yang dijelaskan

Ibrahim (2007:5) sebagai berikut.

1. Prinsip pencapaian tujuan

Pada dasarnya manajemen perlengkapan sarana prasarana pendidikan di

sekolah dilakukan dengan maksud agar semua fasilitas sekolah dalam keadaan

kondisi siap pakai. Oleh sebab itu, manajemen perlengkapan sarana prasarana

pendidikan di sekolah dapat dikatakan berhasil bilamana fasilitas sekolah itu

selalu siap pakai setiap saat, pada setiap ada seseorang personel sekolah akan

menggunakannya.

2. Prinsip efisiensi
32

Dengan prinsip efisiensi berarti semua kegiatan pengadaan sarana prasarana

pendidikan di sekolah dilakukan dengan perencanaan yang hati-hati, sehingga bisa

memperoleh fasilitas yang berkualitas baik dengan harga yang relatif murah.

Dengan prinsip efisiensi juga berarti bahwa pemakaian semua fasilitas sekolah

hendaknya dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat mengurangi

pemborosan. Dalam rangka itu maka perlengkapan sekolah hendaknya dilengkapi

dengan petunjuk teknis penggunaan dan pemeliharaannya. Petunjuk teknis

tersebut dikomunikasikan kepada semua personel sekolah yang diperkirakan akan

menggunakannya. Selanjutnya, bilamana dipandang perlu dilakukan pembinaan

terhadap semua personel.

3. Prinsip administratif

Di Indonesia terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang

berkenaan dengan sarana prasarana pendidikan di sekolah. Sebagai contohnya

adalah peraturan tentang inventarisasi dan penghapusan perlengkapan milik

negara. Dengan prinsip administrasi berarti semua perilaku pengelolaan

perlengkapan sarana prasarana pendidikan di sekolah itu hendaknya selalu

memperhatikan undang-undang, peraturan, instruksi, dan pedoman yang telah

diberlakukan oleh pemerintah. Sebagai upaya penerapannya setiap penanggung

jawab pengelolaan perlengkapan sarana prasarana pendidikan di sekolah

hendaknya memahami semua peraturan perundang-undangan tersebut dan

menginformasikan kepada semua personel sekolah yang diperkirakan akan

berpartisipasi dalam pengelolaan perlengkapan pendidikan.

4. Prinsip kejelasan tanggung jawab


33

Di Indonesia tidak sedikit adanya lembaga pendidikan yang sangat besar dan

maju. Oleh karena besar, sarananya sangat banyak sehingga manajemennya

melibatkan banyak orang. Bilamana hal ini terjadi maka perlu adanya

pengorganisasian kerja pengelolaan perlengkapan sarana prasarana pendidikan di

sekolah. Dalam pengorganisasiannya, semua tugas dan tanggung jawab semuaa

orang yang gterlibat itu perlu dideskripsikan dengan jelas.

5. Prinsip kekohesifan.

Dengan prinsip kekohesifan berarti manajemen perlengkapan sarana

prasarana pendidikan di sekolah hendaknya terrealisasikan dalam bentuk proses

kerja sekolah yang sangat kompak. Oleh karena itu, walaupun semua orang yang

terlibat dalam pengelolaan perlengkapan sarana prasarana pendidikan di sekolah

itu telah memiliki tuigas dan tanggung jawab masing-masing, namun antara yang

satu dengan yang lainnya harus selalu bekerja sama dengan baik.

2.1.2.4 Proses Manajemen Sarana Pendidkan


Sebelumnya telah ditegaskan bahwa kelengkapan sarana prasarana

pendidikan di sekolah merupakan proses kerja sama pendayagunaan semua

perlengkapan sarana prasarana pendidikan di sekolah secara efektif dan efisien.

Satu hal yang perlu dipertegas dalam definisi tersebut adalah bahwa manajemen

perlengkapan sarana prasarana pendidikan di sekolah merupakan suatu proses

pendayagunaan yang sasarannya adalah perlengkapan pendidikan, seperti

perlengkapan kantor sekolah, perlengkapan perpustakaan, media pengajaran, dan

perlengkapan lainnya. Dengan kata lain, manajemen perlengkapan sarana


34

prasarana pendidikan di sekolah itu terwujud sebagai suatu proses yang terdiri atas

langkah-langkah tertentu secara sistematis.

Memanajemen perlengkapan sarana prasarana pendidikan di sekolah

berarti menelusuri prosedur atau langkah-langkah yang jelas sebagai mekanisme

pengelolaan perlengkapan sekolah yaitu menginventarisir kebutuhan,

mengalokasikan biaya, mengkalkulasi, menetapkan kebutuhan,

penawaran/pembelian, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan

dan pemeliharaan, inventarisasi dan penghapusan.

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Stoops dan Johnson (dalam

Bafadal, 2004:7): bahwa langkah-langkah manajemen perlengkapan pendidikan

itu meliputi analisis kebutuhan, analisis anggaran seleksi, penetapan kebutuhan

pembelian, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemakaian, pemeliharaan,

inventarisasi dan penghapusan.

Dengan demikian, proses kelengkapan sarana prasarana pendidikan dapat

digambarkan sebagaimana berikut ini.


35

Proses kelengkapan sarana prasarana prasarana pendidikan islam yang

akan dibahas di sini berkaitan erat dengan : 1. Perencanaan sarana prasarana

pendidikan islam. 2. Pengadaan sarana prasarana pendidikan islam. 3.

Inventarisasi sarana prasarana pendidikan islam. 4. Pengawasan dan pemeliharaan

sarana prasarana pendidikan islam. 5. Pengahapusan sarana dan prasarana

sekolah.

Pertama, dimensi perencanaan sarana prasarana pendidikan merupakan

suatu proses analisis dan penetapan kebutuhan yang diperlukan dalam proses

pembelajaran sehingga muncullah istilah kebutuhan yang diperlukan (primer) dan

kebutuhan yang menunjang. Dalam proses perencanaan ini harus dilakukan

dengan cermat dan teliti baik berkaitan dengan karakteristik sarana dan prasarana

yang dibutuhkan, jumlahnya, jenisnya dan kendalanya (manfaat yang didapatkan),

beserta harganya. Berkaiatan dengan ini Jones (1969) menjelaskan bahwa

perencanaan pengadaan perlengkapan pendidikan di sekolah harus diawali dengan


36

analisis jenis pengalaman pendidikan yang diprogaramkan di sekolah menurut

Sukarna (1987) adalah sebagai berikut :

1. Menampung semua usulan pengadaan perlengkapan sekolah yang diajukan

oleh setiap unit kerja dan atau mengiventarisasi kekurangan perlengkapan

sekolah.

2. Menyusun rencana kebutuhan perlengkapan sekolah untuk periode tertentu,

misalnya untuk satu triwulan atau satau ajaran.

3. Memadukan rencana kebutuhan yang telah disusun dengan perlengkapan yang

tersedia sebelumya.

4. Memadukan rencana kebutuhan dengan dana atau anggaran sekolah yang

tersedia. Dalam hal ini, jika dana yang tersedia tidak mencukupi untuk

pengadaan semua kebutuhan yang diperlukan, maka perlu diadakan seleksi

terhadap semua kebutuhan perlengkapan yang telah direncanakan dengan

melihat urgensi setiap perlengkapan yang diperlukan. Semua perlengkapan

yang urgen didaftar dan didahulukan pengadaannya.

5. Memadukan rencana (daftar) kebutuhan perlengkapan yang urgen dengan

dana atau anggaran yang tersedia, maka perlu diadakan seleksi lagi dengan

melihat skala prioritas.

Kedua, dimensi pengadaan sarana prasarana pendidikan di sekolah pada

hakekatnya adalah kelanjutan dari program perencanaan yang telah disusun oleh

sekolah sebelumnya. Sistem pengadaan sarana prasarana sekolah dapat dilakukan

dengan berbagai cara, antara lain adalah :


37

1. Dropping dari pemerintah, hal ini merupakan bantuan yang diberikan

pemerintah kepada sekolah. Bantuan ini sifatnya terbatas sehingga pengelola

sarana prasarana pendidikan di sekolah tetap harus mengusahakan dengan cara

lain.

2. Pengadaan sarana prasarana sekola dengan cara membeli baik secara langsung

maupun melalui pemesanan terlebih dahulu.

3. Meminta sumbangan dari wali murid atau mengjukan proposal bantuan

pengadaan sarana dan prasarana sekolah ke lembaga-lembaga sosial yang

tidak mengikat.

4. Pengadaan perlengkapan dengan cara menyewa atau meminjam ke tempat

lain.

5. Pengadaan perlengkapan sekolah dengan cara tukar menukar barang yang

dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan sekolah. Memilih sarana

prasarana pendidikan bukanlah berupa resep yang lengkap dengan petunjuk-

petunjuknya, lalu pendidik menerima resep itu begitu saja. Sarana

pembelajaran hendakanya direncanakan, dipilih dan diadakan dengan teliti

sesuai dengan kebutuhan sehingga penggunaannya berjalan dengan wajar.

Untuk itu pendidik hendaknya menyesuaikan dengan sarana pembelajaran,

dengan faktor-faktor yang dihadapi, yaitu tujuan apakah yang hendak dicapai,

media apa yang tersedia, pendidik mana yang akan mempergunakannya, dan

peserta didik mana yang dihadapi. Faktor lain yang hendaknya

dipertimbangkan dalam pemilihan sarana pembelajaran adalah kesesuaian

dengan ruang dan waktu.


38

Ketiga, dimensi inventarisasi sarana prasarana pendidikan. Inventarisasi

dapat diartikan sebagai pencatatan dan penyusunan barang-barang melik negara

secara sistematis, tertib, dan teratur berdasarkan ketentuan-ketentuan taau

pedoman-pedoman yang berlaku. Hal ini sesuai dengan keputusan menteri

keuangan RI Nomor Kep. 225/MK/V/4/1971 bahwa barang milik negara beruapa

semua barang yang berasal atau dibeli dengan dana yang bersumber baik secara

keseluruhan atau bagian sebagainya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) ataupun dana lainnya yang barang-barang dibawah penguasaan

kantor departemen dan kebudayaan, baik yang berada di dalam maupun luar

negeri. Kegiatan inventarisasi sarana prasarana pendidikan di sekolah menurut

Bafadal (2003) meliputi :

1. Pencatatan sarana dan prasarana sekolah dapat dilakukan didalam buku

penerimaan barang, buku bukan inventaris, buku (kartu) stok barang.

2. Pembuatan kode khusus untuk perlengkapan yang tergolong barang inventaris.

Caranya dengan membuat kode barang dan menempelkannya atau

menuliskannya pada badan barang perlengkapan yang tergolong sebagai

barang inventaris. Tujuannya adalah untuk memudahkan semua pihak dalam

mengenal kembali semua perlengkapan pendidikan di sekolah baik ditinjau

dari kepemilikan, penanggung jawab, maupun jenis golongannya. Biasanya

kode barang itu berbentuk angka atau numerik yang menunjukkan

departemen, lokasi, sekolah, dan barang.

3. Semua perlengkapan pendidikan di sekolah yang tergolong barang inventaris

harus dilaporkan. Laporan tersebut sering disebut dengan istilah laporan


39

mutasi barang. Pelaporan dilakukan daalm periode tertentu, sekali dalam satu

triwulan. Dalam satu tahun ajaran misalnya, pelaporan dapat dilakukan pada

bulan Juli, Oktober, Januari, dan April tahun berikutnya.

Keempat, dimensi pengawasan dan pemeliharaan Sarana prasarana

pendidikan di Sekolah. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang

harus dilaksanakan oleh pimpinan organisasi. Berkaitan dengan sarana prasarana

pendidikan di sekolah, perlu adanya kontrol baik dalam pemeliharaan atau

pemberdayaan. Pengawasan (control) terhadap sarana prasarana pendidikan di

sekolah merupakan usaha yang ditempuh oleh pimpinan dalam membantu

personel sekolah untuk menjaga atau memelihara, dan memanfaatkan sarana dan

prasarana sekolah dengan sebaik mungkin demi keberhasilan proses pembelajaran

di sekolah. Pemeliharaan terhadap sarana prasarana pendidikan di sekolah

merupakan aktivitas yang harus dijalankan untuk menjaga agar perlengkapan yang

dibutuhkan oleh personel sekolah dalam kondisi siap pakai. Kondisi siap pakai ini

akan sangat membantu terhadap kelancaran proses pembelajaran yang

dilaksanakan di sekolah. Oleh karena itu, semua perlengkapan yang ada di sekolah

membutuhkan perawatan, pemeliharaan, dan pengawasan agar dapat diperdayakan

dengan sebaik mungkin. Dalam pemeliharaan sarana prasarana pendidikan di

sekolah jika ditinjau dari sifat maupun waktunya terdapat beberapa macam, yaitu

1. Ditinjau dari sifatnya, yaitu : pemeliharaan yang bersifat pengecekan,

pencegahan, perbaikan ringan dan perbaikan berat, 2. Ditinjau dari waktu

pemeliharaannya, yaitu : pemeliharaan sehari-hari (membersihkan ruang dan


40

perlengkapannya), dan pemeliharaan berkala seperti pengecetan dinding,

pemeriksaan bangku, genteng, dan perabotan lainnya.

Kelima, dimensi pengahapusan sarana prasarana pendidikan di Sekolah

Pengahapusan sarana prasarana pendidikan adalah kegiatan meniadakan barang-

barang milik lembaga (bisa juga milik negara) dari daftar inventaris dengan cara

berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai salah satu aktivitas

dalam kelengkapan sarana prasarana prasarana pendidikan, penghapusan

bertujuan untuk :

1. Mencegah dan membatasi kerugian yang lebih besar sebagai akibat

pengeluaran dana untuk perbaikan yang perlengkapan yang rusak.

2. Mencegah terjadinya pemborosan biaya pengamanan yang tidak berguna lagi.

3. Membebaskan lembaga dari tanggung jawab pemeliharaan dan pengamanan.

4. Meringankan beban inventaris.

Kepala sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan penghapusan

terhadap perlengkapan sekolah. Namun perlengkapan yang akan dihapus harus

memenuhi persyaratan-persyaratan penghapusan. Demikian pula prosedurnya

harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Barang-barang

yang memenuhi syarat untuk dihapus adalah:

1. Barang-barang dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dapat dimanfaatkan

lagi.

2. Barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

3. Barang-barang kuno yang penggunaannya sudah tidak efisien lagi.

4. Barang-barang yang terkena larangan.


41

5. Barang-barang yang mengalami penyusustan di luar kekuasaaan pengurus

barang.

6. Barang-barang yang pemeliharaannya tidak seimbang dengan kegunaannya.

7. Barang-barang yang berlebihan dan tidak digunakan lagi.

8. Barang-barang yang dicuri.

9. Barang-barang yang diselewengkan.

10. Barang-barang yang terbakar dan musnah akibat bencana alam.

Dalam penghapusan barang ini, kepala sekolah beserta stafnya hendaknya

mengelompokkan dan mendata barang-barang yang akan dihapus, kemudian

mengajukan usulan penghapusan beserta lampiran jenis barang yang akan dihapus

ke Diknas. Setelah SK dari kantor pusat tentang penghapusan barang sesuai berita

acara yang ada. Penghapusan barang ini dapat dilakukan dengan cara pemusnahan

atau pelelangan. Masalah lain yang perlu diperhatikan ialah perusakan yang sering

dilakukan leh siswa “gatal tangan”. Perilaku ini banyak penyebabnya, antara lain

adanya rasa kurang aman, frustasi, balas dendam karena mersakan ketidak adilan,

dan perkelahian antar kelompok. Upaya yang dapat dilakukan antara lain :

1. Bangkitkan rasa bangga akan keindahan, keunikan sekolah. Ini harus

dicontohkan oleh kepala sekolah, guru, dan aparat lainnya. Ajaran agama

tentang kebersihan dapat membantu disini.

2. Siapkan bangunan dalam kondisi prima padsa tahun ajaran baru. Itu dilakukan

dalam liburan sekolah. Dinding dibersihkan, bangku dan lain-lain demikian

juga. Anak-anak yang masuk pada hari-hari pertama tidak lagi melihat coret-

coretan pada dinding atau pada bangkunya. Ini akan ada pengaruhnya.
42

3. Ketertiban di kelas harus terkendali. Hal-hal kecil jangan di biarkan. Kadang-

kadang tanpa diketahui hal kecil itu berkembang menjadi persoalan besar.

4. Jangan mengatakan bahwa anak-anak itu nakal hanya karena membuat coretan

pada dinding. Lebih bijak memanggilnya, dan guru menghapus coretan itu

bersama anak itu tadi. Boleh dinasehati agar tidak membuat coretan lagi.

Dalam hal menggulangi kenakalan pelajaran, fungsi guru agama diperkirakan

cukup besar. Kerja sama guru agama dengan seleruh aparat sekolah perlu

dicatat.

Pemeliharaan sarana dan prasarana sebenarnya memerlukan dana yang

cukup besar, ini tidak bisa dihindari. Tujuannya antara lain supaya sarana dan

prasarana tidak cepat rusak, disebabkan pengaruhnya besar pada kesuksesan

pendidikan.

2.1.3 Manajemen Mutu Layanan Pendidikan Bermutu


2.1.3.1 Konsep Kualitas Mutu dalam Pendidikan

Banyak siswa yang telah lulus dari lembaga pendidikan menjadi

pengangguran, tidak siap untuk menjadi warga negera yang bertanggung jawab

dan produktif, sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat, bangsa dan negara

serta akhirnya mendorong terjadinya instabilitas nasional, baik dalam bidang

ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kondisi

tersebut, permasalahan pokoknya adalah para siswa yang merupakan produk

sistem pendidikan yang diselenggarakan tidak berfokus pada mutu.


43

Pendidikan yang berfokus pada mutu menurut konsep Juran adalah bahwa

dasar misi mutu sebuah sekolah mengembangkan program dan layanan yang

memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat. Masyarakat

dimaksud adalah secara luas sebagai pengguna lulusan, yaitu dunia usaha,

lembaga pendidikan lanjut, pemerintah dan masyarakat luas, termasuk

menciptakan usaha sendiri oleh lulusan.

Menurut Crosby mutu adalah sesuai yang disyaratkan atau distandarkan

(Conformance to requirement), yaitu sesuai dengan standar mutu yang telah

ditentukan, baik inputnya, prosesnya maupun outputnya. Oleh karena itu, mutu

pendidikan yang diselenggarakan sekolah dituntut untuk memiliki baku.standar

mutu pendidikan. Mutu dalam konsep Deming adalah kesesuaian dengan

kebutuhan pasar. Dalam konsep Deming, pendidikan yang bermutu adalah

pendidikan yang dapat menghasilkan keluaran, baik pelayanan dan lulusan yang

sesuai kebutuhan atau harapan pelanggan (pasar)nya. Sedangkan Fiegenbaum

mengartikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer

satisfaction). Dalam pengertian ini, maka yang dikatakan sekolah bermutu adalah

sekolah yang dapat memuaskan pelanggannya, baik pelanggan internal maupun

eksternal.

Mutu menurut Carvin, sebagaimana dikutip oleh Nasution, adalah suatu

kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses

dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau

konsumen. Selera atau harapan pelanggan pada suatu produk selalu berubah,
44

sehingga kualitas produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan perubahan

mutu produk tersebut, diperlukan perubahan atau peningkatan keterampilan

tenaga kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan

organaisasi agar produk dapat memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

2.1.3.2 Layanan Pendidikan Bermutu di Sekolah

Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan metodologi yang jika

diterapkan secara tepat dapat membantu para pengelola atau penyelenggara

pendidikan di lembaga pendidikan termasuk sekolah dalam mewujudkan

penyelenggaraan pendidikan dan lulusan yang dapat memenuhi atau melebihi

keinginan atau harapan para stakeholder-nya.

Manajemen Mutu Terpadu (MMT) yang sering disebut dengan Total

Quality Management (TQM) oleh Fandy diartikan suatu pendekatan dalam

menjalankan usaha yang berusaha memaksimalkan daya saing organisasi melalui

perbaikan terus menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan

lingkungannya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka penyelenggaraan

pendidikan dengan manajemen mutu terpadu adalah menyelenggarakan

pendidikan dengan mengadakan perbaikan berkelanjutan, baik produk lulusannya,

penyelenggaraan atau layanannya, sumber daya manusia (SDM) yang

memberikan layanan, yaitu kepala sekolah, para guru dan staf, proses layanan

pembelajarannya dan lingkungannya.

Proses menuju sekolah bermutu terpadu, maka kepala sekolah, komite

sekolah, para guru, staf, siswa dan komunitas sekolah harus memiliki obsesi dan
45

komitmen terhadap mutu, yaitu pendidikan yang bermutu. Memiliki visi dan misi

mutu yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dan harapan para

pelanggannya, baik pelanggan internal, seperti guru dan staf, maupun pelanggan

eksternal seperti siswa, orang tua siswa, masyarakat, pemerintah, pendidikan

lanjut dan dunia usaha.

Oleh karena itu, upaya mewujudkan sekolah yang bermutu terpadu

dituntut untuk berfokus kepada pelanggannya, adanya keterlibatan total semua

warga sekolah, adanya ukuran baku mutu pendidikan, memandang pendidikan

sebagai sistem dan mengadakan perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan.

1. Berfokus kepada pelanggannya

Pelanggan lembaga pendidikan/sekolah terdiri dari pelanggan eksternal

dan internal. Pelanggan eksternal utama sekolah adalah siswa dan sekaligus

sebagai input utama (main input) yang akan diproses menjadi lulusan. Pelanggan

eksternal kedua dan seterusnya adalah orang tua, dunia usaha, pemerintah dan

pendidikan lebih lanjut. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa

sekolah yang berumutu adalah sekolah yang dapat memenuhi atau melebihi

keinginan, harapan dan kebutuhan pelangannya.

Menurut Goetsch dan Davis pelanggan internal maupun eksternal

merupakan driver. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa

yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar

dalam menentukan kualitas tenaga kerja, proses dan lingkungan yang

berhubungan dengan produk atau jasa. Oleh karena itu, dalam pendirian dan
46

penyelenggaraan sekolah harus didahului dengan mengadakan penelitian dan

bertanya kepada masyarakat luas, jenis, jenjang pendidikan dan program

studi/jurusan apa yang dibutuhkan pada suatu daerah tertentu. Dengan

penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, maka tidak akan

terjadi lulusan yang tidak diterima di masyarakat. Semua lulusan dapat

melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang sesuai dengan keinginannya,

dapat diterima di dunia usaha atau dapat menciptakan pekerjaan sendiri serta

dapat memperoleh penghasilan sesuai kebutuhan hidupnya. Jika semua lembaga

pendidikan/sekolah telah mampu menyelenggaragan pendidikan seperti demikian

hasilnya, maka akan terjadi stabilitas nasional baik dalam bidang ideologi, politik,

sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.

Untuk mewujudkan pendidikan yang dapat memuaskan pelanggan

eksternal seperti tersebut di atas, maka kepala sekolah terlebih dahulu harus

memuaskan pelanggan internalnya, yaitu para guru, pustakawan, laboran, tenaga

administrasi, tenaga keamanan dan tenaga kebersihan. Para personil yang

merupakan pelanggan internal inilah merupakan pihak penentu dalam

mewujudkan sekolah yang bermutu. Guru adalah pelaksana kegiatan inti (core

business) sekolah yaitu proses pembelajaran yanag akan menentukan kualitas

lulusannya. Pustakawan adalah SDM/personil yang memberikan layanan sumber

pembelajaran tekstual untuk mendukung kegiatan akademik/pembelajaran.

Laboran adalah personil/SDM yang mendukung kegiatan akademik/embelajaran

siswa pada skala laboratorium sebagai kelanjutan atau membuktikan berbagai

teori yang telah dipelajari melalui pembelajaran literatur. Tenaga administrasi


47

adalah kegiatan pendukung, agar kegiatan akademik/pembelajaran di sekolah,

baik administrasi akademik maupun administrasi non akademik dapat berjalan

dengan baik. Tenaga kebersihan sebagai personil/SDM sekolah yang mendukung

agar suasana sekolah tetap asri dan proses pembelajaran dapat berjalan dengan

lancar. Dan tenaga keamanan bertanggung jawab untuk menciptakan suasana

sekolah agar tetap aman dan terkendali.

Kepuasan pelanggan internal sekolah pada dasarnya adalah jika mereka

dapat bekerja atau menjalankan tugas dengan dukungan fasilitas, sarana dan

prasarana yang memadai, mendapatkan kompensasi yang layak atas kinerja yang

telah diberikan, baik dalam bentuk finansial, material maupun non material serta

kesejahteraan secara luas. Sebagai wujud atau bukti adanya kepuasan pelanggan

internal sekolah adalah para guru, tenaga admnistrasi, pustakawan, laboran, tenaga

kebersihan dan kemanan menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, sesuai

sistem, prosedur dan tata kerja yang telah ditentukan. Dengan adanya kepuasan

pelanggan internal ini diharapkan mereka dapat memuwujudkan kepuasan

terhadap pelanggan eksternal sekolah.

2. Adanya keterlibatan total semua warga sekolah

Keterlibatan total semua warga sekolah berarti sekolah dalam hal ini kepala

sekolah menyusun organisasi, menganlisis jabatan dan pekerjaan, menyusun

uraian tugas, menempatkan orang sesuai latar belakang pendidikan dan

keahliannya serta sesuai dengan beban tugas dan pekerjaannya secara merata.

Semua warga sekolah diberikan tugas dan fungsi sesuai keahliannya, sesuai bakat
48

dan minatnya. Sebesar atau sekecil apapun, semua warga sekolah harus dilibatkan,

diberikan tugas, peran dan fungsi dalam peningkatan mutu sekolah, mulai dari

kepala sekolah itu sendiri, komite sekolah, para guru, staf tata usaha, pustakawan,

laboran, siswa dan orang tua.

Pelibatan semua warga sekolah itu harus berlangsung mulai dari planning,

organizing, staffing, directing, commanding, coordinating, communicating,

budgeting, leading, motivating, compensating dan sampai kepada controlling.

Dengan pelibatan tersebut, maka mereka akan menjalankan tugas, peran dan

fungsi serta pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab dan penuh komitmen.

Pelibatan semua warga sekolah menurut Goetsch dan Davis sebagaimana di kutip

oleh Ariani adalah merupakan bentuk pemberian kepuasan kepada pelangan

internal agar mereka mau dan mampu memberikan layanan pendidikan yang

memuaskan bagi pelangan eksternalnya. Pelibatan warga sekolah itu dalam

seluruh proses atau kegiatan.

Bentuk-bentuk keterlibatan guru dan karyawan sekolah dalam peningkatan

mutu sekolah dapat berupa saran, baik secara pribadi maupun kelompok, baik atas

permintaan pimpinan ataupun atas inisiatif sendiri, dibentuknya tim pemecahan

masalah baik atas inisiatif kelompok maupun atas permintaan pimpinan,

terbentuknya komite perbaikan mutu sekolah secara berkesinambungan,

terbentuknya gugus kendali mutu sekolah dan terbentuknya kelompok-kelompok

kerja dalam peningkatan mutu sekolah. Keberhasilan pemberdayaan guru dan

karyawan pada suatu sekolah ditandai bahwa pekerjaan mereka milik mereka
49

sendiri, meraka bekerja, menjalankan tugas dan fungsinya secara bertanggung

jawab, mereka memahami betul posisi mereka berada dan mereka memiliki

pengendalian atas pekerjaan mereka.

3. Adanya ukuran baku mutu pendidikan

Ukuran mutu menurut kriteria mutu Baldrige berfokus pada 7 area topik

yang secara integral dan dinamis saling berhubungan, yaitu leadership,

information and analysis, strategic quality planning, human resource

management, quality assurance product of product and services, quality result

and customer satisfaction. Dari 7 (tujuh) area topik ukuran kualitas di atas, jika

diukur dengan Kriteria Baldrige Award maka perbaikan sistem manajemen

kualitas adalah sebagai berikut.

1) Kepemimpinan, dengan indikator:

a. Kepala sekolah memiliki pernyataan kebijakan kualitas.

b. Guru dan staf serta seluruh warga sekolah mengetahui sasaran kualitas

jangka panjang sekolah.

c. Kepala sekolah terlibat secara penuh dalam pengembangan kultur kualitas

sekolah.

d. Kepala sekolah memiliki pelatihan yang tepat tentang konsep-konsep

kualitas.

e. Kepala sekolah mempraktikkan konsep-konsep kualitas yang diajarkan.

f. Kebijakan kuaitas berlandaskan pada kebutuhan untuk perbaikan terus

menerus.
50

g. Tanggung jawab perbaikan kualitas telah secara jelas dikomunikasikan

kepada seluruh warga sekolah.

h. Komite kualitas sekolah mengkoordinasikan berbagai unit-unit sekolah.

i. Masyarakat mengetahui sasaran kualitas sekolah.

j. Kepala sekolah membrikan sumber daya yang cukup dan tepat untuk

perbaikan kualitas.

2) Analisis dan informasi, dengan indikator:

a. Kepala sekolah melaporkan data tentang semua dimensi penting dari


kualitas pelanggan sekolah.
b. Guru dan karyawan melaporkan data tentang semua dimensi pelayanan
yang penting.
c. Data kualitas dilaporkan kepada semua unit-unit sekolah.
d. Data tentang pelatihan manajemen kualitas dikumpulkan oleh tata usaha.
e. Kepala sekolah menganalisis data tentang pandangan masyarakat terhadap
kualitas sekolah.
f. Kepala sekolah menganalisis biaya yang tidak efisien.
g. Kepala sekolah mengidentifikasi kendala-kendala dalam mewujudkan
kualilitas sekolah.

3) Perencanaan kualitas strategis, dengan indikator:

a. Kepala sekolah menggunakan data kompetitif dari sekolah lain ketika


mengembangkan sasaran kualitas.
b. Kepala sekolah memiliki rencana operasional tahunan yang
menggambarkan sasaran kualitas.
c. Guru dan karyawan dilibatkan dalam perencanaan kualitas.
d. Pimpinan unit-unit/komponen sekolah berusaha untuk mencapai sasaran
kualitas.
51

e. Fungsi kualitas merupakan bagian rencana kegiatan sekolah.


f. Kepala sekolah memiliki metode spesifik untuk memantau kemajuan
menuju perbaikan kualitas sekolah.
g. Terdapat rencana kualitas yang mempengaruhi semua unit sekolah.
h. Kepala sekolah memiliki rencana kualitas untuk masukan.

4) Pengembangan sumber daya manusia, dengan indikator:

a. Kepala sekolah memiliki rencana peluang bagi guru dan karyawan dalam
perbaikan kualitas.
b. Kriteria kualitas digunakan dalam evaluasi performa SDM sekolah.
c. Sasaran kualitas dikomunikasikan kepada semua guru dan staf.
d. Guru dan karyawan percaya dan secara terus menerus memberikan
layanan terbaik.
e. Semua guru dan kaeyawan dilatih tentang konsep perbaikan kualitas.
f. Kepala sekolah memberikan kompensasi/imbalan atas jasa guru/karyawan
untuk usaha perbaikan kualitas mereka.
g. Kepala sekolah mengumpulkan data tentang moral guru dan karyawan.

5) Manajemen kualitas proses, dengan indikator:

a. Ekspektasi kualitas dari pelanggan didefinisikan secara jelas.


b. Kebutuhan pelanggan ditransformasikan ke dalam proses perencanaan
untuk perbaaikan kualitas.
c. Terdapat sistem yang efektif untuk memproses informasi tentang
ekspektasi pelanggan.
d. Kepala sekolah melakukan audit sistem manajemen kualitas.
e. Kepala sekolah bekerjasama dengan stakeholder untuk meningkatkan
kualitas.
f. Unit-unit pendukung sekolah mendifinissikan sasaran kuaalitas.
g. Kepala sekolah menyimpan dan mempertahankan dokumen-dokumen
kualitas yang baru (tidak usang).
52

h. Terdapat sistem efektif untuk mengkomunikasikan ide-ide kualitas kepada


kepala sekolah.

6) Hasil-hasil kualitas

a. Sekolah sekolah merupakan satu di antara tiga sekolah terbaik dalam


lingkup kepuasan pelanggan.
b. Kepala sekolah menunjukkan perbaikan kualitas terus menerus selama tiga
tahun terakhir.
c. Kepala sekolah dapat mendemonstrasikan perbaikan kualitas melalui unit-
unit pendukung.
d. Kepala sekolah dapat mendemonstrasikan perbaikan kualitas melalui
stakeholder.
e. Terdapat penurunan terus menerus keluhan pelanggan dalam waktu tiga
tahun terakhir.

7) Kepuasan pelanggan, dengan indikator:

a. Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa pelanggan puas atas barang

dan/atau jasa yang diberikan.

b. Kepala sekolah melaporkan data kepuasan pelanggan.

c. Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan

meningkat terus menerus dalam waktu tiga tahun terakhir.

d. Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan

sekolah yang dipimpinnya lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah

pesaingnya.

e. Terdapat suatu proses efektif untuk menangani keluhan pelanggan.


f. Definisi pekerjaan pendukung guru dan karyawan untuk secara tepat

menyesaikan keluhan-keluhan pelanggan.


53

g. Kepala sekolah menggunakan pendekatan inovatif untuk menilai kepuasan

pelanggan.

2.2 Kerangka Pemikiran

Sebagai satu bentuk satuan pendidikan, sekolah dasar merupakan satuan

pendidikan yang paling penting keberadaannya. Setiap orang mengakui bahwa

tanpa menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar atau yang sederajat, secara

formal seseorang tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan di SLTP.

Pengaruh pendidikan sekolah dasar terhadap pendidikan pada jenjang

berikutnya telah banyak disinggung oleh para teoritisi pendidikan, seperti Stoops

dan Johason (dalam Bafadal, 2006:9), bahwa “Pendidikan di sekolah dasar

merupakan dasar dari semua pendidikan”. Keberhasilan seorang anak didik

mengikuti pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi sangat

ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengikuti pendidikan di sekolah dasar.

Oleh karena itu, sangat tepat apabila Fuad Hasan dan Sarwono Kusumaatmadja

(masing-masing sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara periode 1988 sampai dengan 1993), menegaskan

bahwa optimalisasi pendidikan di sekolah dasar sangat diperlukan.

Sekolah dasar yang keberadaannya sangat diperlukan itu tentunya adalah

sekolah dasar yang bermutu baik. Sehingga mampu mengemban tiga misinya,

yaitu melakukan proses edukasi, proses sosialisasi, dan proses transformasi.

Adapun sekolah dasar yang bermutu baik, yakni sekolah dasar yang mampu

berfungsi sebagai wadah proses edukasi, wadah proses sosialisasi, dan wadah

proses transformasi sehingga mampu mengantarkan anak didik menjadi seorang


54

terdidik, memiliki kedewasaan mental dan sosial, serta memiliki ilmu

pengetahuan dan teknologi, termasuk juga kebudayaan bangsa. Lebih lanjut

menurut Direktorat Pendidikan Dasar dikemukakan ada lima komponen yang

menentukan mutu pendidikan yang harus diupayakan, antara lain: (1) kegiatan

belajar mengajar; (2) manajemen pendidikan yang efektif dan efisien; (3) buku

dan sarana belajar yang memadai dan selalu dalam kondisi siap pakai; (4) fisik

dan penampilan sekolah yang baik; dan (5) partisifasi aktif masyarakat.

Pada prinsipnya, sekolah dasar sebagai satuan pendidikan tidak akan

bermutu baik dan unggul dengan sendirinya melainkan melalui berbagai upaya

peningkatan mutu pendidikannya oleh semua pihak. Agar berbagai pihak dapat

bekarja dengan baik diperlukan manajemen yang baik pula yang diharapkan

melalui ini semua tujuan institusional dapat dicapai secara efisien. Untuk itu

pemerintah telah mencanangkan program (MPMBS) dengan tujuan untuk

mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang,

keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah dari berbagai

aspek sesuai dengan misi yang diemban yang berpegang pada empat mutu dalam

MPMBS, sebagaimana disebutkan Bafadal (2006:93), yakni “ada empat pilar pada

konsep MPMBS, yaitu peningkatan mutu, kemandirian, partisipasi, dan

transparan”. Dengan pilar pertama, peningkatan mutu MPMBS merupakan satu

pendekatan manajemen yang menempatkan mutu pendidikan sebagai kiblat

aktivitas manajemen kurikulum, kesiswaan, kepagawaian, sarana/prasarana,

keuangan, dan peran serta masyarakat sekolah. Tidak ada MPMBS tanpa rumusan

sisi, misi, tujuan kelembagaan sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah


55

yang baik (the good school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah

yang unggul (the excellent school), dan sekolah masa depan (the future school).

Sebagai pilar kedua MPMBS adalah kemandirian, yang berarti seluruh

personel dituntut mendiri untuk maju dengan sendirinya. Oleh karena itu, konsep-

konsep mengelola sendiri (self managing), merencanakan sendiri (self planning),

mengorganisasikan sendiri aktivitas sekolah (self direction), dan mengontrol

mengevaluasi sendiri seluruh program sekolah yang telah dilaksanakan (self

control), sangat melekat pada konsep MPMBS.

Pilar ketiga konsep MPMBS adalah partisipasi, yang intinya sangat

menekankan pada partisipasi seluruh elemen terkait dengan peningkatan mutu

pendidikan di sekolah. Sedangkan pilar keempat konsep MPMBS adalah

transparansi keuangan.

Keberhasilan mencapai pilar-pilar mutu tersebut, salah satu indikasinya

ditunjukkan oleh mutu hasil belajar , baik secara akademik mupun

ekstrakurikuler. Keberhasilan sekolah dalam mencapai harapan tersebut harus

ditunjang oleh sarana prasarana yang bermutu dan kualitas mutu layanan yang

baik. Sehingga, akan terjadi proses edukasi, transformasi, dan sosial yang baik.

Namun dalam kenyataannya tidak demikian, di mana mutu hasil belajar masih

jauh dari harapan. Kondisi seperti ini ditenggarai oleh banyak faktor, termasuk di

dalamnya sarana prasarana pendidikan yang masih dikelola secara apa adanya.

Demikian pun dengan mutu layanan pendidikan masih jauh dari memuaskan, baik

pada pelanggan internal maupun pelanggan eksternal.


56

Bertolak dari kerangka pikir di atas, pengaruh kelengkapan sarana

prasarana dan mutu layanan pendidikan terhadap mutu hasil belajar , menjadi

jelas, seperti digambarkan berikut.

Kelengkapan sarana
prasarana pendidikan
(X1)
Mutu Hasil
Belajar

(Y)
Mutu layanan
pendidikan

(X2)

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikir di atas, hipotesis penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1. Kelengkapan sarana prasarana berpengaruh positif terhadap mutu hasil belajar

2. Mutu layanan pendidikan berpengaruh positif terhadap mutu hasil belajar .

3. Kelengkapan sarana prasarana dan mutu layanan pendidikan berpengaruh

positif terhadap mutu hasil belajar .


57

BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah kelengkapan sarana prasarana dan manajemen

mutu layanan, dan prestasi belajar SD pada UPTD. Pendidikan Kecamatan

Tawang, Kota Tasikmalaya. Untuk mengungkap data tentang masing-masing

objek maka diperlukan subjek. Adapun subjek dimaksud, yaitu kepala sekolah dan

guru. Populasi dan sampel untuk masing-masing subjek, dapat dijelaskan sebagai

berikut.

1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh kepala sekolah dan guru

Sekolah Dasar di UPTD. Pendidikan Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya.

Adapun populasi yang dimaksud, sebagai berikut.

Tabel 3.1
Populasi Penelitian

No. Nama Sekolah Jumlah Kepala Jumlah Guru


Sekolah
1. SDN Citapen 1 Orang 9 Orang
2. SDN Pengadilan 1 1 Orang 5 Orang
3. SDN Pengadilan 2 1 Orang 4 Orang
4. SDN Pengadilan 3 1 Orang 4 Orang
5. SDN Pengadilan 4 1 Orang 4 Orang
6. SDN Galunggung 1 Orang 4 Orang
7. SDN Kahuripan 2 1 Orang 3 Orang
8. SDN Sukasari 1 1 Orang 5 Orang
9. SDN Sukasari 2 1 Orang 6 Orang
10. SDN Sukasari 3 1 Orang 5 Orang
11. SDN Sukasari 4 1 Orang 5 Orang
12. SDN Jajaway 1 1 Orang 6 Orang
58

13. SDN Jajaway 2 1 Orang 4 Orang


14. SDN Dadaha 1 1 Orang 3 Orang
15. SDN Dadaha 2 1 Orang 4 Orang
16. SDN Cikalang 1 1 Orang 4 Orang
17. SDN Cikalang 2 1 Orang 5 Orang
18 SDN Lengkong 1 Orang 4 Orang
19 SDN Tarumanagara 1 Orang 3 Orang
20 SDN Cilolohan 1 1 Orang 4 Orang
21 SDN Cilolohan 2 1 Orang 5 Orang
22 SDN Tawangsari 1 Orang 5 Orang
23 SDN Kahuripan 4 1 Orang 6 Orang
24 SDN Lengkongsari 1 Orang 4 Orang
25 SDN Sindanggalih 1 Orang 5 Orang
26 SDN Nyantong 1 Orang 6 Orang
27 SDN Babakan Goyang 1 Orang 8 Orang
Jumlah Masing-masing 27 Orang 125 Orang
Jumlah Keseluruhan 152 Orang

2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Untuk diperoleh ukuran sampel yang representatif dalam penelitian ini

digunakan teknik random sampling. Ukuran sampel yang diperlukan sebanyak 47

orang, yang terdiri atas 17 orang kepala sekolah (11 %) dan 30 orang guru (20%).

Kriteria pengampilan sampel tersebut merujuk pada pendapat Arikunto (2004:

116) yang mengemukakan sebagai berikut “Apabila jumlah subjek yang diteliti

kurang dari 100, lebih baik ambil keseluruhan. Sedangkan bila lebih dari 100,

boleh diambil 5 % s.d. 10%, 10% s.d 15%, dan seterusnya, sesuai dengan

kebutuhan penelitian”.

3.2 Metode dan Desain Penelitian

3.2.1 Metode Penelitian


59

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

dengan pendekatan korelasional, yaitu menghubungkan satu variabel dengan

variabel lain untuk memahami suatu fenomena dengan cara menentukan tingkat

atau derajat hubungan di antara variabel-variabel tersebut. Melalui kajian

korelasional ini diungkapkan pengaruh variabel kelengkapan sarana prasarana dan

manajemen mutu layanan pendidikan terhadap mutu hasil belajar .

3.2.2 Desain Penelitian

Desain dalam suatu penelitian berarti rencana dan atau rancangan

penelitian yang didasarkan pada masalah dan metode yang digunakan dalam

proses pemecahannya. Sehubungan istilah ini, Puspowarsito (2008:80)

mengemukakan sebagai berikut.

Desain penelitian merupakan rencana dan struktur penelitian yang dibuat


sedemikian rupa agar diperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
penelitian. Rencana ini merupakan program menyeluruh dari penelitian.
Dalam rencana tersebut tercakup hal-hal yang akan dilakukan peneliti.

Bertolak dari pandangan ahli di atas dan pertimbangan terhadap aspek

masalah serta tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini didesain berdasarkan

rencana kerja penelitian survei. Menurut Kerlinger (dalam Riduwan, 2008:49),

yang dimaksud dengan penelitian survei, sebagai berikut.

Penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar


maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang
diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian
relatif, distribusi, dan hubungan antarvariabel sosiologis maupun
psikologis.

Lebih lanjut Kerlinger (dalam Riduwan, 2008:49) mengemukakan, bahwa

“Penelitian survei biasanya dilakukan untuk mengambil suatu generalisasi dari


60

pengamatan yang tidak mendalam, tetapi generalisasi yang dilakukan bisa lebih

akurat bila digunakan sampel yang representatif”.

3.3 Operasionalisasi Variabel

Variabel adalah titik perhatian penelitian atau disebut juga objek yang

diteliti. Operasionalisasi berarti uraian lengakap dari suatu yang ditilik hingga

proses pengukurannya seperti apa. Dalam penelitian terdapat dua variabel, yakni

variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen dimaksud

adalah kelengkapan sarana prasarana (variabel X1) dan manajemen mutu layanan

(variabel X2), sedangkan variabel dependennya adalah mutu hasil belajar

(variabel Y). Adapun operasionalisasi variabel masing-masing, seperti dijelaskan

berikut.

1. Kelengkapan sarana prasarana pendidikan

Kelengkapan sarana prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai

proses kerja sama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan

secara efektif dan efisien ( Bafadal,2003). Definisi ini menunjukkan bahwa

sarana dan prasarana yang ada di sekolah perlu didayagunakan dan dikelola

untuk kepentingan proses pembelajaran di sekolah. Pengelolaan itu

dimaksudkan agar dalam menggunakan sarana prasarana pendidikan di

sekolah bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan sarana dan

prasarana merupakan kegiatan yang amat penting di sekolah, karena

keberadaannya akan sangat mendukung terhadap suksesnya proses

pembelajaran di sekolah. Dalam mengelola sarana dan prasarana di sekolah

dibutuhkan suatu proses sebagaimana terdapat dalam manajemen yang ada


61

pada umumnya, yaitu : mulai dari perencanaan, pengorganisasian,

penggerakan, pemeliharaan dan pengawasan. Lebih jelasnya mengenai

operasionalisasi variabel kelengkapan sarana prasarana pendidikan dituangkan

pada tabel berikut.

Tabel 2
Variabel Kelengkapan Sarana Prasarana Pendidikan (X1)
Varibel Dimensi Indikator Skala

Kelengkapan 1. Perencanaan 1. Menampung Ordinal


sarana prasarana semua usulan
Pendidikan pengadaan
perlengkapan
sekolah yang
diajukan oleh
setiap unit kerja
dan atau
mengiventarisasi
kekurangan
perlengkapan
sekolah.
2. Menyusun rencana
kebutuhan
perlengkapan
sekolah untuk
periode tertentu.
3. Memadukan
rencana kebutuhan
yang telah disusun
dengan
perlengkapan yang
tersedia
sebelumya.
4. Memadukan
rencana kebutuhan
dengan dana atau
anggaran sekolah
yang tersedia.
5. Memadukan
rencana (daftar)
kebutuhan
perlengkapan yang
urgen dengan dana
62

atau anggaran
yang tersedia.
6. Penetapan rencana
pengadaan akhir.

1. Dropping dari
pemerintah yang
sifatnya terbatas.
2. Pengadaan sarana
prasarana sekola
2. Pengadaan dengan cara
membeli baik
secara langsung
maupun melalui
pemesanan.
3. Meminta
sumbangan dari
wali murid atau
mengajukan
proposal bantuan
pengadaan sarana
dan prasarana
sekolah ke
lembaga-lembaga
sosial yang tidak
mengikat.
4. Pengadaan
perlengkapan
dengan cara
menyewa atau
meminjam ke
tempat lain.
5. Pengadaan
perlengkapan
sekolah dengan
cara tukar
menukar barang
yang dimiliki
dengan barang
lainyang
dibutuhkan
sekolah.

1. Pencatatan sarana
63

dan prasarana
sekolah.
2. Pembuatan kode
khusus untuk
3. Inventarisasi perlengkapan yang
tergolong barang
inventaris.
3. Semua
perlengkapan
pendidikan di
sekolah yang
tergolong barang
inventaris harus
dilaporkan.

1. Mengadakan
kontrol baik dalam
pemeliharaan atau
pemberdayaan.
2. Pengawasan
4. Pengawasan terhadap sarana
dan prasarana
pemeliharaan dilakukan oleh
pimpinan
3. Pemeliharaan
terhadap sarana
prasarana
dijalankan untuk
menjaga agar
perlengkapan yang
dibutuhkan oleh
personel sekolah
dalam kondisi siap
pakai.
4. Pemeliharaan
yang bersifat
pengecekan,
pencegahan,
perbaikan ringan
dan perbaikan
berat
5. Pemeliharaan
sehari-hari, dan
64

pemeliharaan
berkala.

1. Barang-barang
dalam keadaan
rusak berat yang
tidak dapat
dimanfaatkan lagi.
2. Barang-barang
yang tidak sesuai
dengan kebutuhan.
5. Penghapusan 3. Barang-barang
kuno yang
penggunaannya
sudah tidak efisien
lagi.
4. Barang-barang
yang terkena
larangan.
5. Barang-barang
yang mengalami
penyusutan di luar
kekuasaaan
pengurus barang.
6. Barang-barang
yang
pemeliharaanya
tidak seimbang
dengan
kegunaannya.
7. Barang-barang
yang berlebihan
dan tidak
digunakan lagi.
8. Barang-barang
yang dicuri.
9. Barang-barang
yang
diselewengkan.
10. Barang-barang
yang terbakar dan
musnah akibat
bencana alam.
65

2. Manajemen Mutu Layanan

Penyelenggaraan pendidikan yang bermutu berarti melaksanakan

pelayanan pendidikan secara bermutu. Menurut Mulyasa (2006: 226) terdapat

enam tantangan yang perlu dikaji dan dikelola secara strategis dalam rangka

menerapkan mencapai mutu layanan pendidikandi sekolah, yakni dimensi

kualitas, fokus pada pelanggan, kepemimpinan, perbaikan berkesinambungan,

manajemen SDM, dan manajemen berdasarkan fakta. Operasionalisasi

variabel tersebut, seperti tertuang pada tabel berikut.

Tabel 3
Operasionalisasi Variabel Mutu Layanan Pendidikan
Varibel Dimensi Indikator Skala

Mutu Layanan 1. Dimensi 1. Keandalan Ordinal


kualitas 2. Daya tangkap
Pendidikan 3. Jaminan
4. Empati
5. Bukti langsung
2. Fokus pada
pelanggan

1. Pelanggan internal
2. Pelanggan
eksternal

3. Kepemimpinan 1. Kepribadian yang


handal
2. Demokratis
3. Visioner
4. Transpormasional
5. Partisipatif
66

4. Perbaikan
berkesinambun
gan 1. Perbaikan kualitas
berkesinambungan
dengan
menggunakan
pendekatan sistem
terbuka atas fungsi
PBM
2. Proses perbaikan
berkesinambungan
dilakukan
berdasarkan siklus
PDCA (Plan, Do,
Check, Action)

5. Manajemen
SDM 1. Kebijakan
manajemen SDM
menganut budaya
3C (Commitment,
Cooperation, dan
Communication)
2. Pengembangan
SDM melalui
pendidikan dan
pelatihan
berorientasi mutu
3. Pengembangan
SDM menerapkan
sistem
penghargaan dan
hukuman
6. Manajemen
berdasarkan
fakta 1. Pengambilan
keputusan
didasarkan pada
fakta nyata tentang
kualitas yang
didapat dari
beragam sumber
di seluruh jajaran
67

organisasi
2. Fakta
dikumpulkan
melalui berbagai
alat yang
dirancang dan
dikembangkan
untuk
mengumpulkan
dan menganalisis
data

3. Mutu Hasil Belajar

Mutu hasil belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa

dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam

proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat

keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam

bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar

mengajar. Adapun operasionalisasi variabel mutu hasil belajar , sebagai berikut.

Tabel 3
Variabel Mutu hasil belajar (Y)

Variabel Dimensi Indikator Skala


Prestasi belajar 1. Kognitif 1. Kemampuan Ordinal
(pengetahuan) (pengetahuan)
mengingat bahan-
bahan yang telah
dipelajari, mulai dari
fakta sampai teori,
yang menyangkut
informasi
bermanfaat, seperti:
istilah umum, fakta-
fakta khusus,
metode dan
prosedur, konsep
68

dan prinsip.
2. Kemampuam
(pemahaman) untuk
menguasai
pengertian melalui
alih bahan dari satu
bentuk ke bentuk
lainnya, penafsiran,
dan memperkirakan.
3. Kemampuan
(penerapan) untuk
menggunakan bahan
yang telah dipelajari
ke dalam situasi
baru yang nyata,
meliputui aturan,
metode, konsep,
prinsip, hukum, dan
teori.
4. Kemampuan
(analisis) untuk
merinci bahan
menjadi bagian-
bagian supaya
struktur
organisasinya
mudah dipahami,
meliputi identifikasi
bagian-bagian,
mengkaji hubungan
antara bagian-
bagian, mengenali
prinsip-prinsip
organisasi.
5. Kemampuan untuk
(sintesis)
mengkombinasikan
bagian-bagian
menjadi suatu
keseluruhan baru,
yang
menitikberatkan
pada tingkah laku
kreatif dengan cara
memformulasikan
pola dan struktur
69

baru.
6. Kemampuan
(evaluasi) untuk
mempertimbangkan
nilai bahan untuk
maksud tertentu
berdasarkan kriteria
internal dan
eksternal.

2. Apektif (sikap) 1. Penerimaan


(receiving), suatu
keadaan sadar,
kemauan untuk
menerima perhatian
terpilih.
2. Sambutan
(responding), suatu
sikap terbuka ke
arah sambutan,
kemauan untuk
merespon, kepuasan
yang timbul karena
sambutan.
3. Menilai (valuing),
penerimaan nilai-
nilai, preferensi
terhadap suatu nilai,
membuat
kesepakatan
sehubungan dengan
nilai.
4. Organisasi
(organization),
suatu
konseptualisasi
tentang suatu nilai,
suatu organisasi dari
suatu sistem nilai.

5. Karakterisasi
dengan suatu
kompleks nilai,
suatu formasi
mengenai perangkat
umum, suatu
70

manifestasi daripada
kompleks nilai.

3. Psikomotorik
(gerakan-gerakan 1. Kemampuan
jasmaniah dan (persepsi
kontrol jasaniah) (perception)
menggunakan lima
organ indra untuk
memperoleh
kesadaran tentang
tujuan dan untuk
menerjemahkannya
menjadi tindakan
(action).

2. Kemampuan
(kesiapan (set))
atau kesiapan untuk
merespon secara
mental, fisik, dan
emosional.
3. Respon terbimbing
(guided response)
atau kemampuan
mempertunjukkan
model setelah
didemonstrasikan
oleh seseorang
mengenai suatu
bentuk tingkah laku.
4. Kemampuan untuk
meresfon
mekanisme
yang telah dipelajari
hingga menjadi
kebiasaan.
5. Kemampuan
melakukan tindakan
yang unik (complex
overt response)
dengan terampil dan
efisien.
71

3.4 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Sumber Data

Data yang diteliti dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan di

sekolah yang menjadi objek penelitian, dengan cara:

a. Observasi,yaitu mengadakan penelitian langsung ke sekolah yang menjadi

objek penelitian.

b. Menyebarkan angket kepada para responden.

2. Data sekunder, yaitu data pendukung yang diperoleh dari literatur seperti

buku-buku, majalah dan sumber yang lain yang dianggap relevan dengan

fokus penelitian. Selain itu data sekunder diperoleh dari dokumen institusi.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

sebagai berikut.

1. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data yang didapat dari

mempelajari buku-buku dan bahan kepustakaan lainnya yang ada

hubungannya dengan masalah yang sedang diteliti.

2. Studi lapangan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan

data yang diperoleh secara langsung di lokasi penelitian, yaitu dengan cara

sebagai berikut:

1) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan

pengamatan dan pencatatan langsung ke objek penelitian.


72

2) Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan tanya

jawab langsung dengan responden.

3) Angket, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara menyebarkan

pertanyaan kepada sumber data yang menjadi responden. Jenis angket

yang digunakan adalah bersifat tertutup.

3.5 Teknik Analisis Data dan Uji Hipotesis Statistik

3.5.1 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan kegiatan inti dari penelitian dan mutlak

harus dilaksanakan supaya dapat diperoleh suatu kesimpulan dari masalah yang

diteliti. Data yang terkumpul masih merupakan bahan mentah yang perlu diolah

lebih lanjut, agar dapat memberikan informasi akurat dan tepat tentang masalah

yang diteliti. Moleong, (2004: 103) menyebutkan: “Analisis data adalah proses

mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola, kategori, dan suatu uraian

sehingga dapat ditentukan serta dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan

oleh data”.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah tehnik analisis kuantitatif

yang bersifat deskriptif analitik. Dalam proses analisis data kuantitatif terdapat

tiga kegiatan pokok yang dilakukan dan saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data, baik

dalam bentuk matrik, grafik, atau bagan yang memungkinkan untuk peneliti lebih

praktis dalam menginterprestasikan dan menarik kesimpulan.

Adapun langkah-langkah kegiatan dalam pengolahan data ini adalah

sebagai berikut.
73

1. Seleksi dan verifikasi angket untuk mengetahui apakah data yang terkumpul

melalui angket tersebut dapat diolah atau tidak (artinya angket tersebut

lengkap jawabannya dan memenuhi syarat untuk diolah). Setelah semua

angket terkumpul lengkap dan memenuhi syarat untuk diolah, langkah

berikutnya adalah mengelompokkannya sesuai variabel penelitian.

2. Klasifikasi data yaitu mengelompokkan data sesuai dengan kelompok masing-

masing variabel penelitian (variabel kelengkapan sarana prasarana, variabel

manajemen mutu layanan pendidikan, dan variabel mutu hasil belajar ).

3. Memberi bobot untuk tiap-tiap item pernyataan responden dengan

menggunakan skala Likert dengan menggunakan lima tingkat alternatif

jawaban. Menghitung jumlah skor masing-masing item pertanyaan dan

menghitung jumlah skor masing-masing responden.

Tabel 5
Bobot Alternatif Jawaban Responden

Bobot
Kategori
Item Positif Item Negatif

A 5 1
B 4 2
C 3 3
D 2 4
E 1 5
74

4. Melihat kecenderungan sumber data dari masing-masing variabel penelitian.

Untuk variabel kelengkapan sarana prasarana dikategorikan menjadi

kelompok sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan tidak baik.

Demikian pula untuk manajemen mutu layanan pendidikan dikelompokkan

menjadi kelompok sangat bermutu, bermutu, cukup bermutu, kurang bermutu,

dan tidak bermutu. Berbeda dengan kategori mutu hasil belajar , yang

dikelompokkan menjadi sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi, kurang tinggi, dan

rendah.

5. Membuat pedoman penghitungan data, yaitu menentukan teknik pengujian

dan pengolahan data sesuai dengan masalah yang diteliti. Untuk memudahkan

pengambilan kesimpulan dari hasil penelitian digunakan pedoman atau teknik

korelasi antarvariabel dengan berpedoman pada regresi linier dari product

momen Pearson dengan bantuan program Software SPSS for Window, versi

11.0.

6. Melakukan pengujian terhadap hipotesis dan menginterpretasikan hasilnya.

Dalam pengujian terhadap hipotesis, digunakan program Software SPSS for

Window, versi 11.0. Adapun langkah-langkah pengujiannya, sebagai berikut.

1) Menghitung ukur statistik, menguji asumsi-asumsi statistik serta taraf

signifikansi harga-harga statistik yang diperoleh pada setiap karakteristik

sampel dan variabel. Hal ini diperlukan untuk menghitung korelasi dengan

menggunakan pendekatan korelasi “product moment” dari Pearson dengan

menggunakan program Software SPSS for Window, versi 11.0.


75

2) Penyajikan hasil pengolahan data baik secara verbal maupun secara visual

untuk memperoleh gambaran yang jelas dari hasil penelitian dan

pengolahan data.

3) Menghitung pengaruh kelengkapan sarana prasarana dan manajemen mutu

layanan terhadap mutu hasil belajar (variabel X1 dan X2, terhadap variabel

Y).

Sebagai pedoman untuk melihat derajat hubungan antara variabel yang

diuji, digunakan pedoman kriteria derajat hubungan dari J.P. Guilford yang

dikutip Jahrudin (2003: 42), seperti pada tabel berikut.

Tabel 6

Interpretasi Koefisien Korelasi

Derajat Hubungan Kriteria/Asumsi


0.80 – 1.00 Sangat Kuat
0.60 – 0.799 Kuat
0.40 – 0.599 Cukup Kuat
0.20 – 0.399 Rendah
0.00 – 0.199 Sangat Kuat
Riduwan (2008:136)

Setelah diperoleh kriteria derajat pengaruh dari masing-masing variabel,

kemudian dilakukan perhitungan koefisien determinasi dengan menggunakan

rumus: r2 x 100%. Hal ini dilakukan untuk kepentingan interpretasi dan menarik

kesimpulan hasil penelitian yang diperoleh melalui uji korelasi regresi.

3.5.2 Hipotesis Statistik

Keputusan yang diambil dengan jalan:


76

Jika nilai t hitung < t tabel (α = 0,05) maka keputusan: terima Ho tolak Ha

Jika nilai t hitung > t tabel (α = 0,05) maka keputusan: terima Ha tolak Ho

PENGARUH KELENGKAPAN SARANA PRASARANA PENDIDIKAN


DAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN TERHADAP MUTU
HASIL BELAJAR
(Studi pada SD di UPTD. Pendidikan Kecamatan Tawang, Kota
Tasikmalaya)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Menempuh Gelar Magister Pendidikan

Oleh:
77

LIA YULIANI

NIM 82321011108

Oleh:

Lia Yuliawati

NIM 82320809481

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS GALUH

CIAMIS

2011
78

DAFTAR PUSTAKA

Alfonso, R. J., G.R. Firth, dan R.F. Neville. 1981. Instructional


Supervision: A Behavioral System. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Arcaro, J.S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu. Terjemah: Yosal Iriantara.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Depdiknas. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Ditjen Manejemen
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2003. Pedoman Administrasi Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat
Pendidikan TK dan SD Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Depdikbud. 1994. Petunjuk Pelaksanaan Supervisi di Sekolah. Jakarta
: Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Direktorat Tenaga Kependidikan. 2008. Peta Kompetensi Pengawas Sekolah
Kabupaten Wonogiri. Jakarta: Ditjen PMPTK, Depdiknas.
Ditjen. Mandikdasmen Depdiknas. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah.
Jakarta: Depdiknas.
--------------------------------------------. 2006. Sistem Penyelenggaraan Sekolah
Bertaraf
Internasional (SBI) Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Depdiknas
----------------------------------------------. Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah
Bertaraf
Internasional. Jakarta: Depdiknas.
Dodd, W.A. 1972. Primary School Inspection in New Countries.
London: Oxford University Press.
Eko Suprianto. 2007. Pedoman Mekanisme Peningkatan Mutu Sekolah
Melalui Penjaminan Mutu. Yogyakarta: Percetakan Flash.
Fandi Tjiptono & Anastasia Diana. 2001. Total Quality Management.
Yogyakarta: Penerbit ANDI
Gorton, Richard A. 1976. School Administration: Challenge and
Opportunity for Leadership. Iowa: Wm.C.Brown Co.
Publishers.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Penugasan
Guru sebagai Kepala Sekolah.
Mulyasa, E. 2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks
Menyukseskan MBS dan KBK.Bandung: Rosda.
……………, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Rosda
Nanang Fattah. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Remaja
79

Rosdakarya Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005


tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Depdiknas.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tahun 2007
tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: Depdiknas.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 tahun 2007 tentang
Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, Jakarta: Depdiknas.
Sallis, E. 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogan
Page Ltd.
Sallis, E. 2007. Total Quality Management in Education. Alih Bahasa: Ahmad
Ali Riyadi dan Fahrorrozi. Yogyakarta:IRCISoD.
Sudarwan Danim, 2003. Menjadi Komunitas Pembelajar. Jakarta: Bumi
Aksara.
Sinamo, HJ. 1998. Menciptakan Visi Motivatif. Majalah Manajemen,
Edisi IX. Agustus 1998.
80

Вам также может понравиться