Вы находитесь на странице: 1из 41

VALIDASI SPESIES DENGAN MARKA MOLEKULER

CYTOCHROME OXIDASE SUBUNIT I (COI) DAN


POTENSI PROTEIN ALBUMIN DARI
BEBERAPA SPESIES IKAN

!
!
!
!
!
!
!
!
!
YUSTIN WIDYASTUTI

!
!
!
!
!
!
!
!
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Validasi Spesies dengan
Marka Molekuler Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dan Potensi Protein
Albumin dari Beberapa Spesies Ikan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Yustin Widyastuti
C351130161
RINGKASAN

YUSTIN WIDYASTUTI. Validasi Spesies dengan Marka Molekuler Cytochrome


Oxidase Subunit I (COI) dan Potensi Protein Albumin dari Beberapa Spesies Ikan.
Dibimbing oleh TATI NURHAYATI, MALA NURILMALA dan NURLISA A.
BUTET.

Metode berbasis molekuler telah banyak digunakan untuk menentukan


spesies. Identifikasi molekuler dengan menggunakan marka COI dapat
memberikan informasi kekerabatan antar spesies yang kemudian dapat
digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogeni. Albumin merupakan protein
sarkoplasma yang larut air. Albumin memiliki fungsi penting bagi kesehatan
sehingga dimanfaatkan sebagai produk farmasi. Fungsi penting albumin ini
mendorong eksplorasi untuk menemukan sumber albumin lain selain HSA yang
saat ini sudah dimanfaatkan di dunia medis. Albumin yang saat ini banyak
dikembangkan adalah albumin dari ikan, salah satunya ikan gabus.
Metode yang digunakan untuk mengetahui data molekuler spesies adalah
dengan Polymerase Chain Reaction berdasarkan marka gen Cytochrome c
oxidase I (COI) DNA Mitokondria. Pada tahap analisis protein digunakan tiga
metode, yakni metode Bradford, Bromocresol Green (BCG), dan SDS - PAGE.
Metode Bradford untuk menghitung total protein; Bromocresol green (BCG)
untuk menghitung kadar albumin; SDS-PAGE untuk mengetahui profil protein.
Hasil pengukuran morfometrik menunjukkan hasil yang bervariasi antar
spesies. Identifikasi molekuler menunjukkan bahwa ikan dapat teridentifikasi
dengan baik dengan nilai identiti 98-100% menggunakan referensi spesies dari
GenBank dengan jarak genetik kurang dari 3%. Hasil penghitungan situs
spesifik menunjukkan jumlah situs terbanyak pada ikan mas, patin, dan lele
masing-masing 9, 9 dan 7 situs. Hasil tersebut diduga berkaitan dengan
kandungan protein dan albumin pada sampel. Kadar protein semua sampel
berada pada rentang 15,54±1,61 sampai 23,28±1,19 dengan kadar tertinggi pada
ikan patin. Kadar albumin berada pada rentang 10,07±1,62 sampai 22±1 dengan
kadar albumin tertinggi ditemukan pada ikan patin. Profil protein albumin
menunjukkan nilai berat molekul antara 55-66 kDa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berat molekul toman, kakap dan baronang hampir sama
dengan berat molekul Human Serum Albumin (HSA). Berdasarkan hasil tersebut
ikan patin dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku untuk produk albumin.

Kata kunci: albumin, ikan, molekuler, protein


SUMMARY

YUSTIN WIDYASTUTI. Validations Spesies with Cytochrome Oxidase


subunit I (COI) as Moleculer Marker and Albumin Protein Potential from Some
Fish. Supervised by TATI NURHAYATI, MALA NURILMALA and
NURLISA A. BUTET.

Molecular-based method has been widely used for determination of


species. Molecular identification through Cytochrome oxidase subunit I (COI)
marker gives information of genetic relationship in phylogenetic construction.
Albumin is a water soluble of sarcoplasmic protein. Since albumin is necessary
for human health, it has been used in pharmaceutical product. Albumin currently
is widely used in accelerating the recovery of damaged tissue after surgery. The
important function of albumin has been encouraged exploration to find other
sources than usual.
The method used to determine the molecular data of species was by
Polymerase Chain Reaction (PCR) based marker gene COI mitochondrial DNA.
In thi study, protein analysis used were three methods, i.e. the method of
Bradford, Bromocresol Green (BCG), and SDS - PAGE. Bradford method for
calculating the total protein; Bromocresol green (BCG) to calculate the level of
albumin; and SDS-PAGE to determine the protein profile.
Measurement morphometric result showed that variated between sample.
Molecular identification showed that fish could well identified with 98-100%
identity value using the reference species from GenBank with genetic distance
less than 3%. Bioinfomatika analysis showed that the largest number of specific
site on pangasius, carp and catfish were 9, 9, and 7 site respectively. These
result were considered to be related to the content of protein and albumin. The
protein content of all samples were in the range of 15.54 ± 1.61 to 23.28 ± 1.19
with the highest levels in catfish. Albumin levels were in the range of 10.07 ±
1.62 to 22 ± 1 with the highest albumin levels found in catfish. Protein profile of
albumin showed the value of molecular weight between 55-66 kDA. The results
of SDS-PAGE analysis showed that molecular weight of toman, red snapper and
baronang almost equal to the molecular weight of Human Serum Albumin
(HSA). Based on these results catfish can be used as an alternative raw material
for albumin.

Keywords : albumin, fish, moleculer, protein


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VALIDASI SPESIES DENGAN MARKA MOLEKULER
CYTOCHROME OXIDASE SUBUNIT I (COI) DAN POTENSI
PROTEIN ALBUMIN DARI BEBERAPA SPESIES IKAN

YUSTIN WIDYASTUTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 sampai Desember
2015, dengan judul Validasi Spesies dengan Marka Molekuler Cytochrome
Oxidase Subunit I (COI) dan Potensi Protein Albumin dari Beberapa Spesies Ikan.
Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah menyediakan berbagai fasilitas
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
2. Dr Wini Trilaksani, MSc selaku Ketua Program Studi THP yang telah
membantu tahapan penyelesaian studi dan penelitian.
3. Dr Eng Uju, SPi MSi selaku Kepala Departemen THP yang telah membatu
dalam penyelesaian studi.
4. Dr Tati Nurhayati SPi MSi, Dr Mala Nurilmala SPi MSi dan Dr Ir Nurlisa A.
Butet MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan
masukan kepada Penulis dari tahap awal pelaksanaan penelitian sampai pada
tahap akhir penulisan karya ilmiah ini.
5. Dr Asadatun Abdullah, SPi MSM MSi selaku GKM/perwakilan program
studi dan Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku dosen penguji luar komisi
yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta pelajaran sehingga penulis
mampu menyelesaikan tesis ini.
6. Seluruh keluarga, terutama kedua orang tua dan adik atas doa dan dukungan
yang tidak pernah putus sehingga tulisan ini berhasil diselesaikan.
7. Seluruh rekan THP 2013 serta teman-teman lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu per satu atas dukungan yang telah diberikan.

Bogor, November 2016

Yustin Widyastuti

!
!
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan dan Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE PENELITIAN 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Bahan dan Alat 3
Bahan 3
Alat 3
Prosedur Penelitian 4
Tahapan Penelitian 5
Penentuan Ciri Morfometrik 5
Isolasi dan Ekstraksi DNA 5
Amplifikasi DNA 6
Sekuensing DNA 6
Pensejajaran Nukleotida 6
Pohon Filogeni 6
Pengujian Kadar Protein 7
Analisis Kadar Serum Albumin 7
SDS-PAGE 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Karakteristik Morfometrik 8
Validasi Spesies 9
Kualitas DNA 9
Visualisasi Hasil PCR 10
Kekerabatan Spesies 10
Pohon Filogeni 14
Kadar Protein 15
Kadar Albumin 16
Profil Protein Albumin 17
4 SIMPULAN DAN SARAN 19
Simpulan 19
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 20
RIWAYAT HIDUP 28
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Karakter morfometrik ikan 5
2 Ukuran morfologi dan bobot ikan 8
3 Hasil Identifikasi menggunakan BLASTn 11
4 Polimorfisme situs nukleotida spesifik ikan 12
5 Jarak genetik metode Kimura 2-parameter sampel ikan pada gen COI 12
6 Prediksi berat molekul albumin dengan aplikasi photocap 18
7 Luas area pita albumin diukur dengan ImageJ 19!

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Diagram alir penelitian 4


2 Berbagai ukuran pada tubuh ikan 5
3 Kualitas DNA 9
4 Visualisasi amplifikasi DNA fragmen gen COI 10
5 Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan gen COI 14
6 Kadar protein total ikan air tawar dan ikan air laut. 15
7 Kadar albumin pada ekstrak daging segar ikan air laut dan ikan air. 16
8 Profil protein ikan 18

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Spesies yang dipakai 24
2 Kurva Standar Uji Bradford 25
3 Komposisi larutan elektroforesis (SDS-PAGE) 26
4 Komposisi separating gel dan stacking gel SDS PAGE 26
5 Aligment hasil sekuensing 27!
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Identifikasi spesies dapat dilakukan secara morfologi maupun molekuler.
Identifikasi morfologi yang dilakukan saat ini terkadang sulit dilakukan karena
banyaknya kemiripan antar spesies dan cirri khas yang penting untuk diagnosa
menghilang sebagai akibat dari adaptasi terhadap lingkungan (Prehadi et al. 2015).
Salah satu alternatif identifikasi yang dapat dipelajari selain identifikasi morfologi
adalah dengan biologi molekuler. Biologi molekuler merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari hubungan antara struktur dan fungsi molekul-
molekul hayati serta kontribusi hubungan tersebut terhadap pelaksanaan dan
pengendalian berbagai proses biokimia. Penemuan struktur DNA menjadi salah satu
alasan pengembangan teknik identifikasi secara molekuler untuk mengatasi masalah
identifikasi (Teletchea et al. 2005). Salah satu cara untuk mengetahui data
molekuler spesies dengan tepat adalah menggunakan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR) berdasarkan marka gen Cytochrome oxidase I (COI) DNA
mitokondria. COI telah banyak digunakan untuk identifikasi spesies dan berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa COI mengandung cukup variasi sehingga
mampu mengidentifikasi secara akurat berbagai macam hewan (Herbert et al. 2003;
Ward et al. 2005). DNA yang digunakan sebagai barcode harus memiliki
ukuranpendek tapi memiliki variasiyang tinggi antarspesies, dan harus bisa
mengakomodir 10-100 juta spesies (Hollingsworth 2011). Efektifitas COI telah
divalidasi untuk bermacam kelompok fauna dan sebagian besar jenis fauna yang
diteliti bisa dibedakan menggunakan DNA barcode. Efektifitas ini disebabkan oleh
variasi intraspesifik rendah, tetapi variasi interspesifiknya tinggi terutama pada
taksa yang berdekatan (Ward et al. 2005). Identifikasi molekuler dengan
menggunakan marka COI dapat memberikan informasi kekerabatan antar spesies
yang kemudian dapat digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogeni.
Protein pada ikan memiliki kadar yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi
oleh jenis ikan, makanan, umur, dan lingkungan. Steffens (2006) melaporkan
adanya perbedaan nilai protein pada setiap spesies ikan. Protein dalam ikan dibagi
menjadi tiga yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma. Ketiga
protein tersebut memiliki sifat yang berbeda, contohnya protein sarkoplasma yang
merupakan sebagai protein larut air. Albumin merupakan salah satu penyusun
dalam protein sarkoplasma yang memiliki peranan penting. Albumin adalah protein
terlarut air yang kaya akan asam aminomisalnya sistein, glutamat, leusin,
tryptophan dan glisin (Peters 1995). Salah satu hal unik yang membuat albumin
banyak dipelajari adalah tidak adanya karbohidrat di dalamnya. Albumin diproduksi
dalam hati yang kemudian disebarkan ke seluruh tubuh. Albumin terdiri dari rantai
polipeptida tunggal dengan berat molekul albumin plasma manusia 66 kDa,
albumin telur 44 kDa dan di dalam daging mamalia 63 kDa (Muray et al. 2003).
Albumin memiliki fungsi penting bagi tubuh organisme.
Albumin sebagian besar bertanggung jawab untuk menjaga tekanan osmotik
normal dalam aliran darah dan berfungsi sebagai pembawa untuk molekul kecil
(termasuk ion, asam lemak, metabolit, obat-obatan, dan hormon) (Peters 1995).
2

Meskipun fungsi albumin penting namun kadar albumin dalam setiap ikan berbeda.
Hal ini disebabkan oleh lingkungan, bentuk tubuh, dan nutrisiyang tersedia.
Albumin selain memiliki fungsi penting bagi tubuh organisme juga memiliki
fungsi bagi kesehatan manusia sehingga banyak dimanfaatkan sebagai produk
farmasi. Ikan merupakan sumber albumin yang baik bagi penderita hipoalbumin
(rendah albumin) dan luka, baik luka pasca operasi maupun luka bakar
(Kusumaningrum et al. 2014). Penemuan ekstrak albumin ikan gabus kemudian
dijadikan alternatif untuk mendapatkan albumin yang lebih murah (Kusumaningrum
et al. 2014).
Ikan gabus dimasyarakat dikenal sebagai penyembuh luka, anti depresi dan
penghilang rasa sakit (Shafri & Manan 2012). Firlianty et al. (2013) menyatakan
bahwa ikan gabus (Channa striata) memiliki kandungan kadar albumin yang tinggi.
Mustafa et al. (2012) menambahkan bahwa albumin pada ikan gabus memiliki
kadar 27,1 mg/mL. Hasnain et al. (2004) menyebutkan bahwa ikan lele Afrika
(Channa ghacua) memiliki berat molekul albumin sekitar 70 kDa. Menurut
penelitian tersebut albumin ikan memiliki ciri khas yang mirip dengan Human
Serum Albumin (HSA) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai produk nutraseutikal.
Penelitian lain melaporkan bahwa albumin ikan memiliki khasiat bioaktif untuk
kesehatan kulit, antibakteri, antifungi dan penyeimbang agregasi trombosit
(Susilowati et al. 2015). Untuk menjamin ketersediaan albumin secara
berkelanjutan makan eksplorasi albumin dari ikan lain sangat diperlukan.

Rumusan Masalah
Harga serum albumin yang saat ini digunakan dalam bidang medis sangat
mahal. Hal ini mendorong untuk menemukan sumber albumin yang murah dan
banyak tersedia di alam, salah satunya adalah albumin yang berasal dari ikan.
Penelitian tentang albumin dari ikan air tawar maupun ikan air laut masihterbatas.
Ikan gabus saat ini telah dikenal sebagai alternatif sumber albumin. Namun seiring
dengan kebutuhan albumin yang tinggi maka diperlukan alternatif lain selain ikan
gabus. Kandungan protein yang berbeda pada tiap ikan mendorong perlunya metode
identifikasi yang akurat sehingga dapat tepat sasaran dalam penggunaannya salah
satunya dengan metode molekuler menggunakan marka COI. Validasi molekuler ini
diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui spesies yang memiliki kekerabatan
terdekat dengan ikan gabus.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan validasi spesies serta kekerabatanberdasarkan marka
gen COI pada beberapa spesies ikan yang meliputi ikan tawar (patin, lele, gabus,
toman dan mas) dan ikan air laut (tongkol, tuna, baronang, tenggiri, dan kakap) dan
menentukan kadar protein serta albumin, mengidentifikasi keberadaan protein
albumin dengan elektroforegram SDS-PAGE. Manfaat dari penelitian ini adalah
memberikan informasi dasar tentang keberadaan albumin pada ikan
3

Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini meliputi pengukuran morfometrik pada ikan air tawar (patin,
lele, gabus, mas, dan toman) dan ikan air laut (kakap, tongkol, tuna, baronang dan
tenggiri), identifikasi secara molekuler menggunakan marka gen COI pada semua
sampelyang dilakukan untuk mengetahui kepastian spesies yang digunakan, uji
protein meliputi penentuan profil protein, kandungan total proteindanujikadar
albumin.

2 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai Desember


2015 di Laboratorium Biologi Molekuler Departemen Pengelolaan Sumberdaya
Perairan, Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium Terpadu Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan air tawar (patin, lele,
mas, gabus dan toman) dan ikan air laut (kakap, tongkol, tuna, baronang dan
tenggiri).Sampel disimpan pada suhu -20°C sebelum digunakan.
Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah kit isolasi komersial Dneasy
Blood & Tissue Kit (Qiagen), gel agarose 1,2% (Vivantis Inc., US), buffer Tris
Acetic EDTA (TAE) 1x (Vivantis Inc., US), COI universal (Ward et al. 2005), PCR
mix Kapa Taq Extra HotStart ReadyMix PCR Kit (Kapa Biosystems), loading
buffer dan marker DNA (Vivantis Inc., US), Separating gel (12.5%), stacking gel (3
%), reducing sample buffer (RSB), tetrametiletilendiamin (TEMED), akuabides,
NaNO3, KCN, bufer potasium fosfat 1 N, SDS (Merck, Darmstadt, Germany),
glisin (Merck, Darmstadt, Germany), gliserol (Merck, Darmstadt, Germany),
ammonium persulfat (APS) (Sigma-Aldrich, Missouri, USA), β-merkaptoetanol
(Merck, Darmstadt, Germany), coomassie brilliant blue (Merck, Darmstadt,
Germany), metanol (Merck, Darmstadt, Germany), asam asetat glasial (Merck,
Darmstadt, Germany), dan bromphenol blue (Merck, Darmstadt, Germany), buffer
laemmli 2x (Bio-Rad Laboratories, Inc. US), marker protein 8,8-192 kDa (Nacalai
tesque, Inc. Kyoto-Japan). Bahan software yang dipakai adalah CustalW program
MEGA 5.05 (Molecular Evolutionary Genetic Analysis), BLASTn (Basic Local
Alignment Search Tool nucleotide).
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah alat bedah, pinset, tube 1,5 mL (Axygen,
USA), vortex (Corning, USA), mikro tip (Axygen,USA), mikro pipet (Thermo
Scientific Vantaa, Finland), inkubator (Corning, USA), sentrifuse (J2-21
BECKMAN, Germany), spin column (Axygen,USA), spektrofotometer UV
4

(NanoPhotometer P360, Implen GmbH, Schatzbogen, Germany), chamber


elektroforesis (Mupid-Exu Submarine Electrophoresis System Advance, Tokyo),
monitor UV (Ultraviolet Viewer Tipe UV-1 ExtraGene, Inc. Taiwan), mesin PCR
Termocycler (Biometra T1, Biometra GmbH, Gottingen, Jerman), gelas ukur,
stirrer,kuvet, eppendorf, mikropipet, timbangan analitik, tabung reaksi,
elektroforesis (TV100YK, SCIE-PLAS, Cambridge, England), spektrofotometer
(Spectro UV-VIS 2500, Germany).

Prosedur Penelitian

Penelitian ini diawali denganpengukuran morfometrik kemudian dilakukan


analisis pendekatan gen mtDNA (ekstraksi dan isolasi DNA, PCR, elektroforesis,
sequencing, dan analisis bioinformatika). Sampel dipreparasi dan selanjutnya
dilakukan pengukuran kadar total protein dengan metode Bradfordkemudian
pengukuran kadar albumin dengan metode BCG, identifikasi profil protein
berdasarkan berat molekul dengan metode SDS-PAGE. Diagram alir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.

Pengambilan sampel dan pengukuran morfometrik

Identifikasi Penentuan profil protein Pengujian kadar Pengukuran


dengan dengan SDS-PAGE protein albumin (BCG)
marka COI (Bradford 1976)

Pembuatan separating gel


Isolasi dan !
ekstraksi Pengukuran Pengukuran
DNA Pembuatan stacking gel dengan dengan
! spektrofotome- photometer
ter
Ampiflikasi Injeksi sampel
dengan !
marka COI
! Running SDS-PAGE
! Total protein Kadar
sekuensing albumin
Pewarnaan gel !
! !
Destaining gel
BLAST dan !
konstruksi
pohon Penentuan berat
filogeni molekul protein
!

profil protein
!
Gambar 1 Diagram alir penelitian
!
5

Tahapan Penelitian
Penentuan Ciri Morfometrik(Brojo 1999)
Karakter morfometrik yang diukur dan karakter meristik yang dihitung
disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2.
Tabel 1Karakter morfometrik ikan

Karakter Morfometrik Penjelasan


Panjang total Jarak antara ujung bagian kepala terdepan dengan
ujung sirip caudal yang paling belakang

Panjang baku Jarak antara ujung bagian kepala yang paling depan
dengan pelipatan pangkal sirip caudal

Panjang kepala Jarak antara ujung terdepan dari hidung hingga


ujung terbelakang dari keping tutup insang

Tinggi badan Diukur pada bagian ventral tertinggi antara bagian


dorsal dengan bagian ventral

Panjang cagak (fork diukur dari ujung kepala yang terdepan sampai
length) ujung bagian luar lekukan cabang sirip ekor

Gambar 2 Berbagai ukuran pada tubuh ikan : panjang total (PT), panjang baku
(PB), panjang cagak (PC), panjang kepala (PK), tinggi badan (TB).
Isolasi dan Ekstraksi DNA
Isolasi DNA menggunakan The Dneasy Blood & Tissue Kit (Qiagen). Proses
dilakukan dengan mengambil sekitar 0,05 mg potongan otot. Jaringan otot
6

dihancurkan kemudian dilisis menggunakan buffer lisis dan proteinase K 20 µL.


Sampel ditambah 180 µL buffer ATL, kemudian divortex dan diinkubasi selama 30
menit. Sampel ditambah 200 µL buffer AL, kemudian divortex serta diinkubasi
selama 20 menit. Ethanol 96% ditambah sebanyak 200 µL kemudian disimpan
kedalam freezer selama 30 menit. Sampel dipipet dan dipindahkan ke DNeasy,
sampel disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm, kemudian ditambah buffer AW1
500 µL. Sampel disentrifuse kembali dengan kecepatan 8000 rpm, kemudian
ditambah buffer AW2 500 µL. Sampel disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm,
kemudian ditambah 200 µL buffer AE. Keutuhan DNA total dianalisis dengan
elektroforesis (Mupid-Exu Submarine Electrophoresis System Advance, Tokyo)
selama 30 menit pada gel agarose 1,2 % di dalam larutan penyangga TAE 1x dan
divisualisasi dibawah monitor UV (Ultraviolet Viewer Tipe UV-1 ExtraGene, Inc.
Taiwan)
Amplifikasi DNA
Amplifikasi 655 bp fragmen cytochrome oxidase 1 (COI) menggunakan
pasangan primer dari Ward et al. (2015) FishF1-5’ TCA ACC AAC CAC AAA
GAC ATT GGC AC 3’,dan FishR1-5’ TAG ACT TCT GGG TGG CCA AAG
AAT CA 3’. Komposisi PCR untuk amplifikasi menggunakan PCR mix Kapa Taq
Extra HotStart ReadyMix PCR Kit (Kapa Biosystems) sebanyak 25 µL, ddH2O
sebanyak 9 µL, primer foward dan reverse masing-masing sebanyak 3 µL, dan
DNA yang ditambahkan sebanyak 10 µL. Amplifikasi PCR menggunakan mesin
PCR (Termocycler Biometra T1, Biometra GmbH, Gottingen, Jerman) dilakukan
dengan kondisi predenaturasi 94°C selama 3 menit,diikuti dengan 35 siklus dari
denaturasi 94°C selama 1 menit, annealing 54°C selama 1 menit, elongasi 72°C
selama 1 menit, post elongasi 72°C selama 7 menit, dan penyimpanan 8°C selama
10 menit.
Sekuensing DNA
Produk PCR full length dengan integritas yang baik dikirimkan ke
perusahaan jasa sekuensing. Semua urutan basa nukleotida yang diperoleh akan
dicocokkan di GenBank.
Pensejajaran Nukleotida
Runutan nukleotida sampel disejajarkan (alignment) menggunakan program
MEGA 5.05 (Molecular Evolutionary Genetic Analysis) (Tamura et al. 2011). Hasil
pensejajaran dikomparasi menggunakan Basic Local Alignment Search Tool
nucleotide (BLASTn).

Pohon Filogeni
Jarak genetik antar sampel dianalisis menggunakan pairwise distance
dengan metode kimura2-parameter menggunakan program MEGA 5.0, jarak
genetik antar sampel dan outgrup sampel yang diambil dari GenBank juga
dianalisis. Konstruksi pohon filogenetik dibuat berdasarkan jarak genetik yang
7

sudah dihitung dengan menggunakan metode Neighbor-Joining (NJ) pada program


MEGA 5.05.

Pengujian Kadar Protein (Bradford 1976)


Preparasi sampel dilakukan dengan cara mengambil daging sebanyak 100 g
kemudian dihancurkan dengan pelarut akuades. Perbandingan daging dengan
akuades adalah 1:2 (w/v) dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama
20 menit. Filtrat kemudian digunakan untuk analisis Bradford. Penentuan
konsentrasi protein dilakukan menggunakan metode Bradford dengan bovine serum
albumin (BSA) sebagai standar. Uji Bradford menggunakan pereaksi coomassie
blue yang terdapat dalam reagen Bradford. Coomassie blue tersebut mengikat
protein membentuk kompleks berwarna biru. Persiapan reagen Bradford dilakukan
dengan cara melarutkan 10 mg coomasive briliant blue G-250 dalam 5 mL etanol
95%, lalu ditambahkan dengan 10 mL asam fosfat 85% (b/v). Akuades
ditambahkan hingga 250 mL jika telah larut sempurna dan disaring dengan kertas
saring Whatmann no.1. Sampel dimasukkan dalam tabung reaksi sebanyak 20 µL,
kemudian ditambahkan 200 µL reagen Bradford. Proses selanjutnya adalah
dilakukan inkubasi selama 5-60 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Pengukuran untuk larutan
standar dilakukan seperti larutan sampel. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian
dimasukkan ke dalam kurva standar Bradford untuk menentukan konsentrasi
protein yang terkandung dalam sampel.
Analisis Kadar Serum Albumin
Analisis kadar serum albumin dilakukan dengan bromocresol green
(BCG)dengan bovine serum albumin (BSA) sebagai standar.Sampel yang diambil
dari jaringan otot dihomogenkan dengan aquades 1:2 (w/v) dan disentrifugasi
dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit (Fatoni 2007). Filtrat digunakan
untuk analisis BCG berdasarkan Harahap (2001). Reagen BCG yang dibutuhkan
yaitu larutan BCG dengan konsentrasi 0,01% sehingga diperlukan pembuatan
reagen stock BCG terlebih dahulu dengan konsentrasi 1%. Pembuatan Reagen stock
BCG 1% dilakukan dengan menimbang BCG bubuk sebanyak 1 gram kemudian
dilarutkan sampai 100 ml menggunakan larutan buffer pH 4 dan diaduk sampai
homogen. Reagen BCG 0,01% dibuat dengan mengambil 1 ml reagen BCG stok
kemudian dilakukan pengenceran menggunakan larutan buffer pH 4 sampai 100 ml.
Semua pengenceran dilakukan menggunakan labu ukur. Albumin akan berikatan
dengan bromocresol green dan membentuk kompleks warna hijau. Warna tersebut
secara langsung berkaitan dengan kadar albumin.Sampel kemudian di ukur
perubahan warnanya menggunakan photometer pada panjang gelombang 546 nm,
faktor 005,0, program c/ST setelah sebelumnya diukur terlebih dahulu pada blanko
dan standar.
SDS-PAGE (Laemmli 1970)
SDS-PAGE yang dikerjakan dalam penelitian ini menggunakan 3% stacking
gel dan 12,5% separating gel. Konsentrasi akrilamid yang digunakan adalah 30%
8

(w/v). Marker yang digunakan pada penelitian ini adalah marker dengan bobot
molekul 192 kDa (BenchMark™ Protein Ladder, Invitrogen). Pewarnaan yang
dilakukan adalah pewarnaan coomasie brilliant blue. Ekstrak daging dicampurkan
dengan bufer sampel 1:1 (v/v). Sampel sebanyak 5 µL dimasukkan kedalam gel
poliakrilamid. Elektroforesis dijalankan secara konstan pada arus 15 mA dan
voltase 150 volt menggunakan Mini Protein (SCIE PLAST) selama 3 jam.
Elektroforesis berakhir ketika pewarna sampel mencapai batas 0,5 cm dari bagian
bawah gel. Pewarnaan gel menggunakan 0,125% (w/v) coomassie brilliant blue
(CBB). Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan (destaining) dengan
merendam gel pada larutan metanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening
atau pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas. Zona protein akan
membentuk pita berwarna biru. Pendeteksian bobot molekul dilakukan dengan
mengukur jarak migrasi pada masing-masing pita protein. Pengukuran berat
molekul dilakukan dengan software Photocapt dan luas area pita menggunakan
software imageJ.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Morfometrik
Karakter morfometrik dapat digunakan sebagai ciri taksonomik saat
mengidentifikasi ikan.Setiap spesies ikan memiliki ukuran mutlak berbeda-beda
yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, dan lingkungan hidupnya.
Menurut Turan (1998) karakter morfometrik dapt digunakan untuk menduga fase
pertumbuhan ikan.Faktor lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap
pertumbuhan ikan. Walaupun umur ikan dari suatu spesies sama, ukuran mutlaknya
dapat berbeda. Oleh karena itu, standar dalam identifikasi ialah ukuran
perbandingannya, seperti jarak antara panjang kepala (PK) dibandingkan dengan
panjang total (PT).
Sampel ikan mas, lele, patin, toman, kakap, baronang, tongkol, tuna dan
tenggiri dalam penelitian ini masing-masing berjumlah tiga ekor. Data morfometrik
ikan yang meliputi berat total, panjang total, panjang baku, panjang cagak, tinggi
badan, dan panjang kepala dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel&2&Ukuran&morfologi&dan&bobot&ikan

Jenis ikan Berat


(kg) PT (cm) PB (cm) TB (cm) PC (cm) PK (cm)
gabus 1,38±0,12 30,07±0,50 25,73±0,12 3,70±0,12 19,57±0,58 8,83±0,12
toman 1,33±0,15 30,53±0,15 26,10±0,62 3,87±0,06 20,30±0,53 8,68±0,52
lele 1,17±0,06 33,77±1,27 30,10±0,92 4,83±0,46 22,63±1,31 8,45±0,63
mas 0,80±0,10 25,83±2,53 21,63±2,58 8,27±0,35 22,93±3,39 7,57±0,85
patin 1,20±0,70 34,33±0,67 27,93±0,47 5,17±0,12 20,97±1,42 8,05±0,05
tuna 2,62±0,14 48,03±1,29 41,50±1,51 13,33±1,23 30,13±1,31 12,13±1,27
baronang 0,68±0,14 25,37±2,15 21,37±2,04 10,90±2,14 14,83±2,10 5,27±1,24
tongkol 1,00±0,08 44,57±1,38 38,83±1,55 13,17±1,53 28,80±2,01 11,70±1,06
kakap 0,86±0,15 37,50±1,32 31,67±2,18 12,50±1,61 19,20±1,18 11,37±1,66
tenggiri 2,57±0,12 57,93±1,60 52,03±1,60 11,13±1,52 48,70±1,95 16,20±0,44

Keterangan : PT = panjang total PC = panjang cagak


PB = panjang baku PK = panjang kepala
TB = tinggi badan
9

Tabel 2 memperlihatkan bahwa masing-masing ikan memilki ukuran yang


bervariasi. Muthmainnah (2013) melaporkan bahwa ikan dengan ukuran bobot
berbeda memiliki panjang tubuh serta proporsi tubuh yang berbeda, pertambahan
berat tubuh ikan dan panjang ikan sangat berhubungan erat. Karakter morfologi
ikan dapat digunakan untuk identifikasi jenis ikan. Pembatas utama dari karakter
morfologi dalam tingkat intra species adalah variasi fenotip yang tidak selalu tepat
dibawah kontrol genetik yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
Kadar protein dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh tahap perkembangan ikan
yang digambarkan melalui ukuran tubuh ikan. Berdasarkan penelitian Gam et al.
(2006) menunjukkan bahwa ikan gabus dengan ukuran panjang tubuh 16 - 23 cm
memiliki kadar protein yang lebih besar daripada ikan gabus yang berukuran 24 -
30 cm. Hal ini dikarenakan pada ikan gabus yang lebih kecil, berenang lebih aktif
daripada ikan gabus yang besar sehingga sintesis protein berlangsung lebih cepat.
Penelitian Mustafa (2012) menyebutkan panjang tubuh ikan mempengaruhi
kandungan protein tubuh sehingga variasi panjang tubuh ikan akan berpengaruh
terhadap kandungan protein termasuk kandungan albuminnya karena albumin
merupakan komponen terbanyak dari total plasma darah yaitu sekitar 60%.
Validasi Spesies

Kualitas DNA
Kualitas DNA genom dilakukan melalui pengujian terhadap sampel DNA
genom yang dimigrasikan pada chamber elektroforesis menggunakan agarosa 1,2%
pada larutan TAE 1x (Gambar 3). Gambar 3 menunjukkan bahwa ektraksi DNA
berhasil dilakukan, hal ini dapat dilihat dari kualitas DNA pada semua sumur
menunjukkan ketebalan pita DNA. Elektroforesis menunjukkan pita DNA pada
sampel baronang (Sg) lebih tipis dibandingkan dengan pita DNA pada sampel
lainnya. Adanya perbedaan pada ketebalan pita DNA tersebut terjadi karena
perbedaan jumlah konsentrasi DNA hasil ekstraksi, hal ini berarti jumlah
konsentrasi DNA pada sampel lain lebih tinggi dibanding konsetrasi DNA pada
sampel baronang (Sg).

Gambar 3 Kualitas DNA menggunakan agarose 1,2%, gabus (Gab), toman (To),
patin (P), lele (L), (M) mas, tongkol (Tong), tenggiri (Tg), baronang
(Sg), tuna (Tu), kakap (K).
10

Restu et al. (2012) melaporkan bahwa produk ekstraksi DNA yang


berkualitas baik ditunjukkan dengan pita DNA yang terlihat tebal dan bersih serta
pita DNA yang menyala. DNA yang memiliki kualitas yang baik tersebut layak
dijadikan sebagai template untuk amplifikasi gen COI dengan menggunakan teknik
PCR.
Visualisasi Hasil PCR
Visualisasi produk PCR hasil amplifikasi gen COI dari sampel ikan yang
diamplifikasi dengan primer universal FishF1 (forward) dan FishR1 (reverse) pada
gel agarose. Hasil analisis elektroforesis gel menunjukkan bahwa primer berhasil
mengamplifikasi gen COI dari sampel ditandai dengan adanya tampilan pita DNA
(Gambar 4). Gen COI hasil amplifikasi dari masing-masing sampel ikan teramati
muncul pada posisi antara 500 -750 bp, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Ward
et al. (2005) bahwa primer mampu mengamplifikasi pada ukuran 655 bp.

750 bp
500 bp

250 bp

Gambar 4 Visualisasi amplifikasi DNA fragmen gen COI, gabus (Gab), toman (To),
patin (P), lele (L), mas (M), tongkol (Tong), tenggiri (Tg), baronang
(Sg), tuna (Tu), kakap (K)

Kekerabatan Spesies
Identifikasi spesies menggunakan Basic Local Alignment Search Tool
nucleotide (BLASTn) (Tabel 3) untuk gen COI menunjukkan bahwa semua sampel
teridentifikasi sebagai dengan tingkat identity (homologi) sebesar 98-100%.
Menurut Hebert et al. (2003), perbedaan jarak genetik kurang atau sama dengan 3%
menunjukkan spesies identik secara molekuler.
Jarak genetik yang dihitung berdasarkan metode Kimura 2-parameter
disajikan pada Tabel 5. Jarak genetik berdasarkan gen COI pada masing-masing
sampel dan referensi sekuen dari GenBank menunjukkan kesesuaian dengan hasil
BLASTn, dengan jarak genetik antara sampel dan referensi sekuen pada sampel
ikan menunjukkan nilai 0-0,025%, sedangkan jarak genetik antar sampel pada
sampel ikan menunjukkan nilai yang berkisar antara 0,100-0,225%. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa jarak antar spesies dan sekuen referensi memiliki nilai yang
11

lebih kecil dibandingkan jarak genetik antar spesies pada masing-masing sampel,
yang artinya sampel dapat diindentifikasikan sebagai spesies referensi contohnya
sampel kode P memiliki jarak genetik 0,000 dengan Pangasius hypothalamus. Hasil
tersebut sesuai dengan hasil BLASTn antara sampel kode P dengan Pangasius
hypophthalmus yang memiliki nilai identity 99%. Nilai jarak genetik (p-distance)
yang semakin besar diantara populasi atau individu maka semakin terisolasi antara
satu dengan lainnya, jarak genetik menunjukan kemungkinan adanya pengaruh
geografis terhadap populasi (Laltanpuii et al. 2014)

Tabel 3 Hasil Identifikasi menggunakan BLASTn


Kode Kode akses Hasil identifikasi Identity Kode akses
sampel GenBank
Gab KX685195 Channa striata 99 % HM345931.1
To KX685196 Chana micropeltes 100% KM213040.1
P KX685193 Pangasianodon hypophthalmus 99% KR080263.1
L KX619412 Clarias gariepinus 99% JQ699203.1
M KX685192 Cyprinus carpio 99% JF915568.1
Tong KX685199 Euthynnus affinis 100% KM651783.1
Tg KX685197 Scomberomorus commerson 99% KP267578.1
Sg KX685194 Siganus guttatus 99% KJ420577.1
Tu KX691613 Thunnus albacares 99% JN086153.1
K KX685198 Lutjanu serythropterus 99% EU600114.1

Jarak genetik antar sampel yang lebih tinggi menunjukkan bahwa gen COI
efektif untuk identifikasi pada tingkat spesies. COI telah banyak digunakan sebagai
alat identifikasi spesies hewan.Menurut Ward et al. (2005) COI efektif digunakan
sebagai alat identifikasi karena variasi intraspesifik rendah, tetapi memiliki nilai
variasi interspesifik yang tinggi terutama pada taksa yang berdekatan.Semakin besar
jarak genetik antar sampel, maka kesamaan basa nukleotidanya semakin kecil dan
hubungan kekerabatannya semakin jauh (Nugroho & Rahayu 2015). Cawthorn et al.
(2012) juga melaporkan jarak genetik intraspesies ikan komersial yang diteliti di
Afrika Selatan memiliki jarak genetik antara 0%-0,60%, satu genus 0,8-3.24%
berada dalam satu famili sebesar 5,10%-14,5%.
Hasil pensejajaran 10 sekuen sampel ikan dengan sekuen ikan gabus dari
GenBank menghasilkan jumlah situs bervariasi sebanyak 270 situs (34,78%), situs
konservatif sebanyak 440 situs (58,94%) dan situs singleton sebanyak 53 situs
(7,22%). Tabel 4 menunjukkan bahwa situs spesifik yang terdapat pada masing-
masing sampel berbeda jumlahnya. Situs spesifik merupakan situs yang memiliki
satu taksa berbeda (Kauripan et al. 2015). Jumlah situs nukleotida spesifik
terbanyak didapat pada ikan mas, patin, dan lele, masing-masing 9, 9 dan 7 situs.
Hasil dari kadar protein menujukkan hasil tertinggi pada patin dan mas, sedangkan
untuk kadar albumin menunjukkan nilai tertinggi pada ikan patin dan lele. Hasil ini
menunjukkan kemungkinan keterkaitan polomorfisme situs nukleotida dengan
kandungan protein dan juga albumin. Kovyshina & Redneva (2012) melaporkan
bahwa faktor genetik berpengaruh terhadap kadar albumin yang ada pada ikan,
12

kecenderungan faktor genetik dapat dilihat dari jarak genetik dan kekerabatan pada
masing-masing sampel. Hal ini diperkuat jug bahwa ikan patin dan ikan lele yang
memiliki jarak genetik terkecil dibanding yang lainnya juga memiliki kadar albumin
yang tidak berbeda jauh begitu pula dengan karakteristik profil protein albuminnya.
Metcalf et al. (2007) melaporkan bahwa albumin pada ikan lungfish (Neoceratodus
fosteri) memiliki karakterisasi yang sama dengan tetrapod dillihat dari hubungan
kekerabatannya.

Tabel 4 Polimorfisme situs nukleotida spesifik ikan sampel dengan Channa Striata
dari GenBank berdasarkan marka COI
Posisi basa nukleotida
1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4
Lokasi
9 2 2 3 4 6 9 1 2 2 5 8 0 1 2 3 6 8 3 7 7 8
6 0 6 6 2 5 2 6 0 8 9 8 3 8 8 1 9 1 5 1 9 1
Channa striata
(HM345931.1) C A C G C T A A A A A A C C C C A A A A G G
Gab* C A C G C T A A A A A T C C C C A A G A G G
Tom* C A C G C T A A A A A A C C C C A G A A G G
M* C A C T C C A T C A A A C C C C A C A A G G
Tu* C A C G C T A A A A A A C C C C A A A A G G
Sg* T A C G C T A A A A A A C A T C A A A A G G
Tong* C A C G C T A A A A A A C C C C G A A A G G
K* C A T G C T A A A G A A C C C C A A A A G G
Tg* C A C G C T C A A C A A C T C C A A A A G G
L* C A A G T T A A A T C A C C C T A A A A C T
P* C G C G C T A A A A A A T G C C A T A C G G
Posisi basa nukleotida
4 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7
Lokasi
9 0 1 6 8 8 9 2 4 7 8 9 1 1 2 2 2
5 3 6 8 0 6 5 4 3 8 8 6 4 7 1 5 7
Channa striata
(HM345931.1) T T A A C C C G C G C A C A C A G
Gab* T T A A C C C G C A C A T C - - -
Tom* T T A A C C C G C - - - - - - - -
M* T C A G T C T G C A C A T C C A A
Tu* C T A A C C C G C A C A T C C A A
Sg* T T A A C C C G C T C A T C C A A
Tong* T T G A C C C G C A C G T C C G A
K* T T A A C C C G T A C A T C C A A
Tg* T T A A C C C G C A C A T C C A A
L* T T A A C C C G C A C A T C C A A
P* T T A A C T C A C A T A T C A A A

Keterangan : Gab* = Gabus L* = Lele


M* = Mas P* = Patin
Tu* = Tuna
Sg* = Baronang
Tong* = Tongkol
Tg* = Tenggiri
13

Tabel 5 Jarak genetik metode Kimura 2-parameter sampel ikan pada gen COI

Keterangan :
Tom = toman, P = patin, M = mas, L= lele, Sg = baronang, K =kakap, Tu = tuna, Tg = tenggiri, Tong = tongkol
= jarak genetik antara sampel dan referensi sekuen
14

Pohon Filogeni
Konstruksi pohon filogeni menggunakan 12 sekuen referensi gen COI DNA
mitokondria panjang sekuen antara 650-700bp. Analisis filogeni berdasarkan
metode neighbor-joining dengan model Kimura 2-parameter. Hasil konstruksi
pohon filogeni menunjukkan bahwa analisis dengan neighborjoining semua spesies
membentuk unit yang kohesif dengan masing-masing sekuen referensi
pasangannya.

100 Tu*

96 Thunnus albacares (JN086153.1)

100 Tong*
89
Euthynnus affinis (KM055422.1)

100 Tg*

Perciformis92 Scomberomorus commerson (DQ107671.1)

100 Sg*

69 Siganus guttatus (KJ202206.1)


25
100 K*
Lutjanus erythropterus (EU600114.1)

100 M*
52
Cyprinus carpio (JF915568.1)

100 Gab*

74 Channa striata (HM345931.1)

100 Tom*
Channa micropeltes (KM213040.1)

100 P*

88 Pangasianodon hypophthalmus (KR080263.1)

Siluriformis 100 L*
Clarias gariepinus(HM345933.1)
Triaenodon obesus

0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00

Gambar 5 Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan gen COI dengan Trianodon


obesus sebagai outgroup
Gambar 5 memperlihatkan bahwa rekonstruksi pohon filogenetik
membentuk 2 cabang besar dengan nilai boostrap 52. Nilai boostrap tersebut tidak
terlalu kuat untuk menahan posisi apabila ada spesies baru yang masuk, tetapi
cabang yang terbentuk tetap memperlihatkan perbedaan. Cabang pembagi terpisah
pada tingkat ordo, yaitu perciformis dan siluriformis. Ikan pari (Triaenodon obesus)
merupakan merupakan outgroup yang dipakai. Pengelompokan tersebut
memberikan nilai boostrap tinggi, yaitu 100%. Menurut Nakano & Osawa (2004),
bootstrap dilakukan untuk mengevaluasi kestabilan cabang. Nilai bootstrap pada
pohon filogenetik di atas termasuk dalam kategori stabil karena suatu cabang
15

dikatakan stabil jika nilai bootstrap di atas 95% dan dikatakan tidak stabil jika nilai
bootstrap berada di bawah 70%. Sampel dan sekuen referensinya masing-masing
membentuk cabang yang stabil karena memiliki nilai boostrap 100% sehingga dapat
diartikan bahwa setiap pengulangan dari konstruksi pohon filogeni akan
membentuk hasil yang sama.

Kadar Protein
Pengujian kadar protein total dilakukan pada ekstrak daging pada semua
sampel dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976). Hasil pembacaan
spektrofotometri larutan standar BSA pada metode Bradford menghasilkan kurva
standar dan memiliki persamaan regresi y = 0,051x + 0,193 dengan nilai R2 sebesar
0,998. Pengujian dilakukan terhadap ekstrak kasar masing-masing ikan segar.

Gambar 6 Kadar protein total ikan air tawar dan ikan air laut.
Hasil analisis dari 9 sampel ikan yang terdiri dari masing-masing 5 sampel
ikan air tawar dan 5 ikan air laut menunjukkan kandungan protein berada antara
16,26-23,28 mg/mL. Gambar 6 menunjukkan bahwa protein dari ikan patin
memiliki nilai tertinggi. Menurut David (1962) Pangasius sp. sangat toleran
terhadap salinitas, derajat keasaman (pH) air, keterbatasan oksigen, temperatur juga
polusi. Ikan ini juga merupakan ikan omnivora yang memakan ikan kecil lain,
crustacea dan tanaman. Perbedaan kadar protein dapat disebabkan oleh jenis ikan,
makanan, umur, dan lingkungan. Jenis makanan ikan mempengaruhi kadar protein
pada ikan, seperti pada tongkol, tenggiri dan tuna yang merupakan jenis ikan
pelagis memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan kakap dan baronang yang
merupakan ikan demersal. Menurut Steffens (2006) setiap ikan memiliki perbedaan
nilai protein bergantung dari masing-masing spesiesnya. Putri et al. (2015)
menambahkan kandungan protein yang tinggi pada ikan mempengaruhi kandungan
albuminnya.
16

Kadar Albumin
Pengujian albumin dilakukan pada semua sampel ekstrak daging dengan
analisis bromocresol green (BCG) melalui photometer. Pengujian dilakukan
terhadap ekstrak kasar masing-masing ikan dengan perlakuan segar. Analisis kadar
albumin menunjukkan bahwa konsentrasi albumin antara 10,07-22 mg/mL dengan
kadar albumin tertinggi pada ikan patin (famili: Schilbeidae) dan terendah pada ikan
tuna (famili: Scombridae). Nilai tersebut menunjukkan bahwa kadar albumin pada
ikan memiliki nilai yang lebih rendah daripada kadar albumin pada mamalia yaitu
sekitar 30-40 mg/ml. Menurut Kovyshina & Rudneva (2012), keragaman
konsentrasi albumin bisa disebabkan oleh karakteristik genetik, ekologi dan biologi
dari habitatnya.

Gambar 7 Kadar albumin pada ekstrak daging segar ikan air laut dan ikan air.
Gul et al. (2011) menunjukkan bahwa kadar albumin pada ikan gabus non
budidaya memiliki nilai 12,9 mg/mL. Sampel rata-rata yang ditemukan memiliki
kadar albumin diatas 10 mg/mL sehingga dari hasil analisis kadar albumin dapat
dikatakan bahwa semua sampel memiliki kadar yang tidak jauh berbeda dengan
ikan gabus.Saat ini gabus di Indonesia sudah dimanfaatkan sebagai obat pasca
operasi (Mustafa et al. 2012). Ikan patin yang memiliki kadar albumin paling tinggi
diantara sampel lainnya yaitu 22 mg/mL. Nilai tersebut melebihi kadar albumin
pada ikan gabus non budidaya. Ikan patin dikenal sebagai ikan omnivora yang
mampu hidup dalam kondisi perairan yang kurang bagus. Ikan tersebut memiliki
17

kandungan protein sekitar 28% (Asmah et al. 2014). Kandungan protein


mempengaruhi kandungan albumin pada setiap ikan.Hal ini dibuktikan dari analisis
regresi dengan albumin memberikan pengaruh nyata terhadap total protein sebesar
sebesar 68%, nilai b memiliki nilai positif sebesar 0,52 yang berarti jika albumin
tinggi maka nilai protein juga tinggi dengan persamaan regresi y= 1,140+0,52x.
Keragaman konsentrasi albumin bisa disebabkan oleh karakteristik genetik, ekologi
dan biologi dari habitatnya dan jenis daging dari ikan (Andreeva 2010; Kovyshina
& Rudneva 2012).
Kadar albumin antara ikan laut dan ikan tawar pada penelitian ini secara
umum memperlihatkan bahwa albumin ikan air tawar yaitu ikan patin dan lele
memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan ikan air laut. Hasil kadar
albumin berdasarkan standar deviasi didapatkan nilai tertinggi pada ikan patin dan
lele. Susilowati et al. (2015) menyebutkan ikan lele dan gurame (telestoi)
mempunyai konsentransi albumin yang tinggi sekitar 25-50% dari total protein.
Keberadaan nilai albumin yang tinggi pada ikan ini diduga karena ikan memiliki
peran fisiologis terkait dengan fungsi albumin dalam tubuh.
Albumin saat ini digunakan untuk kepentingan kesehatan manusia sehingga
banyak dimanfaatkan sebagai produk farmasi (Nugroho 2012). Albumin saat ini
banyak dimanfaatkan dalam mempercepat pemulihan jaringan sel yang rusak pasca
operasi. Kadar albumin murni manusia pada kondisi normal berkisar antara 3,5-5,5
g/dL. Saat ini dunia medis masih banyak menggunakan HSA sebagai alternatif
albumin (Suprayitno 2003). Serum albumin yang telah digunakan secara umum di
rumah sakit merupakan serum albumin yang berasal dari manusia yang disebut
dengan Human Serum Albumin (HSA) dengan kadar albumin 20% pada setiap
kemasan. Albumin dari ikan yang telah dimanfaatkan saat ini adalah ikan gabus
(Channa striata) yang merupakan salah satu ikan air tawar yang memiliki kadar
albumin 12,9 mg/mL, sedangkan pada penelitian ini rata-rata albumin dari beberapa
ikan ini memiliki kadar antara 10-22 mg/mL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ikan pada penelitian terutama golongan ikan berkumis (patin, lele) dapat digunakan
sebagai sumber albumin.

Profil Protein Albumin


Analisis protein secara kualitatif pada daging ikan dilakukan dengan metode
SDS-PAGE. Pemilihan metode ini bertujuan untuk menentukan jenis protein
berdasarkan berat molekulnya. Prinsip pemisahannya yaitu berdasarkan perbedaan
ukuran molekul. Sampel yang akan dianalisis jenis proteinnya merupakan sampel
dari ekstrak daging segar ikan. Gel yang digunakan sebagai matriks penyangga pada
penelitian ini adalah gel akrilamida 12,5%.
Secara umum sampel ikan air tawar (Gambar 8a) memiliki profil protein
yang hampir sama, semua sampel memiliki 10-12 pita yang menunjukkan profil
protein.Profil protein pada ikan lele terpisah menjadi 12 fraksi. Bila dibandingkan
dengan HSA, lele tidak memiliki berat molekul yang sama pada level albumin.
Sekitar 3 fraksi bisa dikatakan berada pada level antara ovalbumin (44 kDa) dan
HAS (66 kDa). Metcalf et al.( 2005) melaporkan bahwa berat molekul 13 kDa pada
elephant fish merupakan apoAI.
18

Ikan patin, toman dan mas memiliki karakteristik yang hampir sama, namun
untuk patin dan ikan mas tidak memiliki berat molekul yang sama dengan HSA,
sedangkan pada ikan toman memiliki berat molekul yang sama pada level albumin
dengan HSA yaitu 69 kDa. Pada ikan patin memiliki fraksi yang tebal pada level
albumin. Menurut Albert et al. (2002), ketebalan pita protein dipengaruhi oleh jenis
sampel dan kadar protein yang berbeda, dengan pita yang lebih tebal diduga
memiliki kadar protein yang tinggi.

(a) (b)
Gambar 8(a) Profil protein ikan tawar lele (L), patin (P), gabus (Gab), toman (To),
(M) mas (b) Profil protein ikan laut tuna (Tu), tenggiri (Tg), tongkol
(Tong), kakap (K), baronang (Sg).
Umumnya semua fraksi hasil pemisahan ini menunjukkan karakteristik
posisi yang hampir sama. Menurut Shamssudin et al.(2011), kesamaan karakteristik
hasil SDS-PAGE mengindikasikan bahwa gen yang memproduksi protein memiliki
kesamaan pada ikan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Cek et al. (2007) yang
melaporkan pada tingkat taksonomi studi ikan teleost memiliki banyak persamaan
yang menghubungkan kekerabatan diantaranya.

Tabel 6 Prediksi berat molekul albumin dengan aplikasi Photocap


19

Hasil SDS PAGE diukur menggunakan aplikasi photocap, menunjukkan pada ikan
tuna dan ikan tongkol memiliki dua pita protein pada berat molekul sekitar 57 kDa.
Kemiripan tersebut dimungkinkan karena kedua ikan memiliki karakteristik yang
sama, ikan pelagis dan berasal dari famili yang sama yaitu Scombridae, sedangkan
pada ikan kakap dan ikan kakap dan ikan baronang yang memiliki berat molekul
yang sama dengan albumin pada manusia, kedua ikan tersebut merupakan ikan
berdaging putih dan merupakan ikan golongan demersal. Menurut Silva et al.
(2015), keberadaan albumin pada ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal, seperti tingkat salinitas, bentuk tubuh, dan makanan.

Tabel 7 Luas area pita albumin diukur dengan ImageJ

Hasil profil protein menunjukkan bahwa setiap pita memiliki ketebalan yang
berbeda. Ketebalan pita protein dipengaruhi oleh jenis sampel dan kadar protein
yang berbeda (Albert et al. 2002). Tebal tipisnya pita yang terbentuk dari pita
protein menunjukkan kandungan atau volume protein yang mempunyai berat
molekul yang sama yang berada pada posisi pita yang sama.Ketebalan pita dapat
diukur mengunakan ImageJ. Hasil uji regresi statistika menunjukkan hubungan
antara kadar albumin dan ketebalan/ luas area pita mengikuti persamaan regresi y =
6,92E-16+0,788x dengan R2 = 0,62. Berdasarkan tingkat korelasinya maka luas
area pita berpengaruh terhadap kadar albumin ikan.Tabel 7 menunjukkan bahwa
pada ikan patin, kakap dan baronang memilki ketebalan yang paling besar diantara
yang lain, yang artinya kadar albumin dari ikan tersebut diduga memiliki
kandungan yang tinggi.
!

4 SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Hasil identifikasi molekuler menunjukkan bahwa ikan dapat teridentifikasi


dengan baik dengan menunjukkan nilai identity 98-100% dengan referensi spesies
dari GenBank. Hasil penghitungan situs spesifik menunjukkan jumlah situs
terbanyak pada ikan mas, patin, dan lele masing-masing 9, 9 dan 7 situs
menunjukkan hubungan faktor genetik dan kadar proteinnya. Kadar protein dan
20

kadar albumin tertinggi terdapat pada ikan patin. Profil protein untuk albumin
menunjukan berat molekul antara 55-66 kDa. Hasil SDS-PAGE menunjukkan
bahwa toman, kakap dan baronang memiliki berat molekul yang mendekati berat
molekul Human Serum Albumin (HSA).

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang albumin dari ikan terutama
yang berasal dari Siluformis agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai produk
nutraseutikal. Selain hal tersebut perlu juga dilakukan metode untuk dapat
mengindentifikasi albumin secara spesifik salah satunya dengan Western Blot.
Metode ekstraksi yang tepat untuk menghasilkan ekstrak albumin ikan dengan
kualitas yang sesuai untuk medis perlu dikaji lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Alberts B, Johnsons A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. 2002. Molecular
Biology of The Cell. New York (USA): Garland Science
Andreeva AM. 2010. Structure of fish serum albumin. Journal of Evolution Biology
and Physiology. 46:135-144.
Asmah R, Sumaiyah S, Nurul SR. 2014. Comparison of protein, total fat and
omega-3 fatty acids content in yellowtail catfish (Pangasius pangasius) and
long tail shad (Hilsa (clupea) macrura) in raw and pressurized fish.
International Food Research Journal. 21(6): 2146-2153.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive mothod for quantification of microgram
quantities of protein utilizing the principle of protein dye binding. Analysis
Biochemistry. 72: 234-254.
Brojo M. 1999. Ciri-ciri morfometrik ikan nila (Oreochromis niloticus) strain
chitralada dan strain gift. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia. 6 (2):21-38.
Cawthorn DM, Steinman HA, Witthuhn RC. 2012. DNA barcoding reveals a high
incidence of fish species misrepresentation and substitution on the South
African market. Food Research International. 46 (12):30-40
Cek S, Yilmaz E. 2007. Gonad development and sex ratio of sharptooth catfish
(Clarias gariepinus Burchell, 1822) cultured under laboratory conditions.
Turkish Journal of Zoology. 31: 35-46.
David A. 1962. Brief taxonomic account of the Gangetic Pangasius pangasius
(Ham.) with description of a new sub-species from the Godavari.Proculer.
Indian Academy Science. 34(3), 136-156.
Firlianty, Suprayitno E, Nursyam H, Hardoko, Mustafa A. 2013. Chemical
composition and amino acid profile of channidae collected from Central
Kalimantan, Indonesia. International Journal of Science and Technology.
2(4), 25–29.
21

Gul Y, Gao ZX, Qian XQ, Wang WM. 2011. Haematological and serum
biochemical characterization and comparison of wild and cultured northern
snakehead (Channaargus Cantor, 1842). Journal Application Ichthyology.
27:122–128.
Harahap JP, Soewoto H, Sadikin M, Kurniaty MMV, Wanadi SJ, Retno D, Abadi P
Jusman SWA, Prijanti R. 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta
(ID): Widya Medika.
Herbert PDN, Cywinska A, Ball SL, de Waard JR.2003. Biological identifications
through DNA barcodes. Proceedings of the Royal Society of London Series B
– Biological Sciences. 270: 313–321.
Hollingsworth PM. 2011. Refining the DNA barcode for land plants. Proceedings
of the National Academy of Sciences. 108(49):19451-19452.
Jais Mat AM. 2007. Pharmacognosy and pharmacology of Haruan (Channa
striatus), amedicinal fish with wound healing properties. Review. Boletín
Latino americano y del Caribe dePlantas Medicinales Aromáticas. 6(3): 52–
60.
Kekkonen M, Mutanen M, Kaila L, Nieminen M, Hebert PDN. 2015. Delineating
spesies with DNA barcodes : a case of taxon dependent method performance
in Moths. Plos One Jounal. 10(4):1-32
Kovyrshina TB, Rudneva II. 2012. Comparative study of serum albumin level in
round Gobyneobius Melanostomus form Black sea and Azov sea.
International Journal Advanced Biology. 2:203-208.
Kusumaningrum GA, Alamsyah MA, Masithah ED. 2014. Uji kadar albumin dan
pertumbuhan ikan gabus (Channa striata) dengan kadar protein pakan
komersial yang berbeda. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 6(1):25-29
Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the head
of bacterophage T4. Nature. 227: 680-685.
Laltanpuii, Kumar NS, Mathai MT. 2014. Molecular and phylogenetic analysis of
the genus Orthetrum (Odonata: Anisoptera: Libellulidae) using mitochondrial
COI gene. Science Vision. 14(3): 152-257
Metcalf VJ, Brennan S, Chambers G, George P. 1998. The albumins of chinook
salmon (Oncorhynchus tshawytscha) and brown trout (Salmotrutta) appear to
lack a propeptide. Archives Biochemical Biophysis. 350:239–244.
Metcalf VJ, Gemmell. 2005. Fatty acid transport in cartilaginous fish : absence of
albumin and possible utilization of lipoproteins. Fish Physiology and
Biochemistry. 31(10) : 55-64.
Metcalf VJ, Peter M, George, Brennan SO. 2007. Lungfish albumin is more similar
to tetrapod than to teleost albumins: purification and characterization of
albumin from the Australian lungfish, Neoceratodus fosteri. Comparative
Biochemistry and Physology Part B. 147: 428-437.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA dan Rodwell VW. 2003. Harper’s illustrated
biochemistry (26th edition). McGraw-Hill Companies, Inc.
Mustafa AS, Widodo MA, Yohanes, Kristanto. 2012. Albumin and zinc content of
snakehead fish (Chana striata) extract and Its role in health. International
Journal of Science and Technology. 1 :1-8.
22

Mustafa AS, Sujuti H, Permatasari N, Widodo MA. 2013. Determination of nutrient


contents and amino acid composition of pasuruan Channa striata Extract.
International Journal of Science and Technology. 2(4):1-11.
Muthmainnah D. 2013. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan gabus
(Channa striata Bloch, 1793) yang dibesarkan di Rawa Lebak, Provinsi
Sumatera Selatan. Jurnal Depik. 2(3): 184-190.
Nakano T, Ozawa T. 2004. Phylogeny and historical biogeography oflimpets of the
order Patellogastropoda based on mitochondrial DNA sequences. Journal
Mollusca Study. 70: 31–41.
Nugroho M. 2012. Isolasi albumin dan karakteristik berat molekul hasil ekstraksi
secara pengukusan ikan gabus (Ophiocephalusstriatus). Jurnal Teknologi
Pangan. 4(1):1-18.
Nugroho ED, Rahayu DA. 2015. Status taksonomi ikan nomei dari perairan
Tarakan Kalimantan Utara berdasarkan gen 16S rRNA sebagai upaya
konservasi ikan laut lokal Indonesia. Jurnal Harpodon Borneo. 8(2):132-142.
Peters T Jr. 1995. All about albumin. Academic Press. United States
Prehadi, Sembiring A, Kurniasih EM, Rahmad, Arafat D, Subhan B, Maduppa HH.
2015. DNA barcoding and phylogenetic reconstruction of shark landen in
muncar fisheries landing site in comparision with south java fishing port.
Biodiversitas. 16(1):55-61
Putri AA, Yuliet, Jamaluddin. 2015. Analisis kadar albumin ikan sidat (Anguilla
marmorata bicolor) dan uji aktivitas penyembuhan luka terbuka pada kelinci.
Journal of Pharmacy. 3(1):35-41
Restu M, Mukrimin, Gusmiaty. 2012. Optimalisasi teknik ekstraksi dan isolasi
DNA tanaman suren (Toona sureni Merr) untuk analisis keragamn genetic
berdasarkan random amplified polymorphic DNA (RAPD). Jurnal Nature
Indonesia. 14(2):138-142
Romadhoni AR, Afrianto E, Pratama RI, Grandiosa R. 2016. Extraction of
snakehead fish (Ophiocephalus striatus) into fish protein concentrate as
albumin source using various solvent. Aquatic Procedia. 7(2):4-11
Shafri MMA, Manan MJ. 2012. Therapeutic potentialof the Haruan (Channa
striatus): from food tomedicinal uses. Malaysian Journal of Nutrition.
18(1):125–136.
Shamsuddin S, Shaguffa JK, Gayasuddin M. 2011. Comparative study of serum
proteins of man and four teleost : using polyacrilamide gel electrophoresis.
Advances in Biological Research. 5(3):170-173
Silva D, Cortez CM, Natalia P, Nogueira, Bastos FF. 2015. Purification and pshico-
chemical study of serum albumin of two neotropical fish spesies from the Sao
Fransisco river Bassin, Brazil. Biota Neotropica. 15(3):1-4
Steffens W. 2006. Freshwater fish wholesome food stuffs. Bulgarian Journal
Agricultural Science.12 : 320-328.
Suprayitno E. 2003. Penyembuhan Luka dengan Ikan Gabus. FakultasPerikanan.
Universitas Brawijaya. Malang
Susilowati R, Januar HI, Fihtriani D, Chasanah E. 2015. Potensi ikan air tawar
budidaya sebagai bahan baku produk nutraseutikal berbasis serum albumin
23

ikan. Jurnal pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 15(1) :


37-44
Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA 4: Molecular Evolutionary
Genetiks Analysis (MEGA) Software Version 4.0. Moleculer Biological
Evolotion. 2(4): 1596.
Teletchea C Maudet, Hänni C. 2005. Food and forensic molecular identification:
update and challenges. Trends Biotechnol. 23(7): 359-366.
Ward RD, Zemlak TS, Innes BH, Last PR, Herbert PDN. 2005. DNA barcoding
Australia’s fish species. Philosophical Sciences. 360: 1847-1857
24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Spesies yang dipakai


!

Keterangan :

1 = ikan lele 5 = ikan kakap 9 = ikan tuna


2 = ikan mas 6 = ikan baronang 10 = ikan gabus
3 = ikan toman 7 = ikan tongkol
4 = ikan patin 8 = ikan tenggiri
!
!

!
25

Lampiran 2 Kurva Standar Uji Bradford


!

!
26

Lampiran 3 Komposisi larutan elektroforesis (SDS-PAGE)

Larutan Komposisi Jumlah


Akrilamid 29,2 gram
Akrilamid 30% Bis Akrilamid 0,8 gram
Air deionisasi Tepatkan hingga 100 mL
Tris pH 8.8 91 gram
Bufer separating SDS 2 gram
Akuades Tepatkan hingga 500 mL
Tris pH 6.8 6,09 gram
Bufer stacking SDS 0,4 gram
Akuades Tepatkan hingga 100 mL
Tris base 3 gram
Bufer running Glisin 14,4 gram
SDS 1 gram
Akuades Tepatkan hingga 1 L
Tris HCl pH 6.8 0,3 gram
Gliserol 4 mL
Bufer loading dye SDS 0,92 gram
(sampel terdenaturasi) β-merkaptoetanol 2 mL
Bromphenol blue 2 mL (0,1% b/v)
Akuades Tepatkan hingga 20 mL
Tris HCl pH 6.8 0,3 gram
Bufer loading dye
Gliserol 4 mL
(sampel native)
Bromphenol blue 2 mL (0,1% b/v)
CBB 500 mg
Metanol 500 mL
Larutan staining
Asam asetat glasial 100 mL
Akuades Tepatkan hingga 1 L
Metanol 250 mL
Larutan destaining Asam asetat glasial 70 mL
Akuades Tepatkan hingga 1 L

Lampiran 4 Komposisi separating gel dan stacking gel SDS PAGE


Komponen Separating gel (12,5%) Stacking gel (3%)
dH2O 2,4 mL 3,7 mL
30% Akrilamid 2,5 mL 0,5 mL
1,5 M Tris-HCl (pH 8,8) 1,85 mL -
0,5 M Tris-HCl (pH 6,8) - 0,65 mL
10% SDS 75 µL 50 µL
10% APS 75 µL 50 µL
TEMED 7,5 µL 5 µL
!

!
27

Lampiran 5 Aligment hasil sekuensing


28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 26


Oktober 1988 dari pasangan Bapak Widiyanto dan Ibu Sri Purwani. Penulis
memiliki dua saudara, yaitu Himawan Widiyanto dan Brillian Widiyanto. Penulis
memulai jenjang pendidikan formal di SDN Krajan 04 (tahun 1994-2000),
kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN 2 Wonosari (tahun 2000-2003).
Pendidikan menengah atas ditempuh di SMAN 1 Wonosari dan lulus pada tahun
2006. Penulis menyelesaikan gelar sarjana di Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro pada tahun 2011. Pada tahun
2013 penulis diterima di Program Studi THP pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Вам также может понравиться