Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Seoul, Korea
2Department of Policy Research Affairs, National Health Insurance Service Ilsan Hospital, Goyang, Korea
3Ophthalmology & Visual Sciences Academic Clinical Program (Eye ACP), Duke-NUS Medical School, Singapore, Singapore
4Singapore Eye Research Institute, Singapore National Eye Centre, Singapore, Singapore
5Department of Ophthalmology, Yong Loo Lin School of Medicine, National University of Singapore, Singapore, Singapore
6Yonsei Healthcare Big Data Based Knowledge Integration System Research Center, Yonsei University College of Medicine,
Seoul, Korea
7Institute of Convergence Science, Yonsei University College of Medicine, Seoul, Korea
Abstrak
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara merokok dan insiden
pterygium pada pria Korea dewasa.
Desain Kohort longitudinal nasional retrospektif.
Sumber Database Asuransi Kesehatan Nasional Korea Selatan.
Subjek Penelitian ini meliputi pria Korea (rentang usia: 40-79 tahun) yang terdaftar di database
National Health Insurance Service Korea dari tahun 2002 hingga 2013. Kami membandingkan
angka risiko untuk kejadian pterygium antara 90 547 perokok saat ini / masa lalu dan 90 547 orang
yang tidak pernah merokok melalui analisa kecenderungan dengan nilai 1:1.
Cara utama pengukuran hasil Insiden pterygium diidentifikasi dari database.
Hasil Pterygium terjadi pada 5389 (6,0%) bukan perokok dan 3898 (4,3%) bekas perokok/ saat ini
(P <0,001). Insiden pterigium per 1000 orang/tahun pada bukan perokok dan perokok masa lalu /
saat ini masing-masing adalah 6,5 dan 4,7 (HR sesuai usia, 0,73; 95% CI, 0,70 - 0,76). Efek proteksi
ini lebih jelas di kalangan perokok saat ini daripada perokok masa lalu (untuk perokok saat ini: HR,
0,68; 95% CI, 0,65-0,71 dan untuk perokok masa lalu: HR, 0,85; 95% CI, 0,80 - 0,90). Durasi
merokok yang lebih lama dan jumlah konsumsi rokok yang lebih tinggi dikaitkan dengan insidensi
pterygium yang lebih rendah.
Kesimpulan Secara longitudinal, merokok dikaitkan dengan penurunan risiko kejadian pterigium,
dan efek proteksi ini lebih jelas pada perokok aktif daripada yang pernah merokok.
Kelebihan dan keterbatasan penelitian
Penelitian ini unik karena merupakan studi longitudinal berskala besar pertama yang mengevaluasi
hubungan temporal antara merokok dan risiko pterygium.
Kurangnya informasi klinis, termasuk tajam penglihatan, keparahan pterigium dan mata yang
terpengaruh, adalah keterbatasan yang melekat pada penelitian basis data klaim saat ini.
Terakhir, kami tidak dapat mengakses data tentang paparan sinar matahari, yang merupakan salah
satu faktor risiko terpenting untuk pterygium. Namun, pencocokan stratifikasi terperinci kami
memungkinkan kami untuk menetapkan dua kelompok yang sebanding dan menghilangkan efek
faktor pembaur, seperti paparan sinar matahari.
Pendahuluan
Merokok dianggap sebagai salah satu faktor risiko terpenting untuk sejumlah penyakit sistemik1 dan
penyakit mata seperti degenerasi makula yang berkaitan dengan usia,2 oklusi vena retina3 dan penyakit
mata tiroid.4 Bagaimanapun, untuk beberapa penyakit atau kondisi, dilaporkan terdapat hubungan yang
berkebalikan: merokok tampaknya meringankan penyakit peradangan usus5; merokok dikaitkan dengan
penurunan kejadian penyakit Parkinson6 dan perokok tampaknya memiliki hasil kesehatan jangka
pendek yang lebih baik daripada orang yang tidak merokok setelah rawat inap pada serangan jantung,
sebuah fenomena yang juga dikenal sebagai 'paradoks perokok' dalam kardiologi.7 8
Pterygium adalah penebalan selaput berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas hingga kornea
yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Hubungan antara merokok dan pterygium telah diteliti
melalui metode cross-sectional,9-21 studi analisa skor kecenderungan 22 dan meta-analisis.23 Tidak
seperti kebanyakan laporan tentang aspek negatif merokok dalam kesehatan masyarakat dan mayoritas
penyakit sistemik, merokok telah berulang kali dilaporkan sebagai faktor protektif terhadap
perkembangan pterigium dalam penelitian cross-sectional,13–16 termasuk yang dilakukan di Korea.21
Namun, untuk membuktikan hubungan yang selaras antara merokok dan kejadian pterigium, diperlukan
penelitian longitudinal kohort yang dirancang dengan baik dan berskala besar. Database National
Health Insurance Service (NHIS) di Korea Selatan memberikan kesempatan yang memadai untuk
evaluasi perkembangan pterygium di kalangan masyarakat umum berdasarkan status merokok. Oleh
karena itu, kami mengevaluasi hubungan antara merokok dan insiden pterigium dalam sampel acak
dengan skala nasional yang terdiri dari 181.094 pria Korea Selatan.
Metode
Etik
Penelitian kohort retrospektif ini mengikuti prinsip Deklarasi Helsinki, dan rancangan penelitian
disetujui oleh dewan peninjau kelembagaan Rumah Sakit NHIS Ilsan, yang membebaskan persyaratan
untuk informed consent tertulis.
Database
Sistem asuransi nasional yang unik telah diterapkan di Korea Selatan, mencakup sekitar 97% populasi
negara. Penelitian ini menggunakan dataset baru yang dikembangkan oleh NHIS Korea dan dirilis untuk
digunakan dalam penelitian pertama kalinya pada tahun 2016: National Health Screening Cohort
(NHIS-HEALS).24 NHID mencakup sekitar 510.000 individu yang dipilih secara acak antara usia 40-
79 tahun, yang terdaftar dalam Program Skrining Kesehatan Nasional Korea pada tahun 2002 dan 2003
(~ 10% dari penerima NHIS yang telah berpartisipasi dalam program skrining). Peserta terpilih ini
difollow up hingga 2013. Basis data berisi data mengenai faktor sosiodemografi, hasil pemeriksaan
medis, intervensi, resep obat dan kode diagnostik untuk semua transaksi perawatan medis dari semua
jenis fasilitas medis. Profil kohor secara rinci telah dijelaskan sebelumnya.24
Studi kohort
Berdasarkan laporan sebelumnya mengenai adanya kelompok besar perokok wanita yang tidak
dilaporkan di Korea karena hambatan budaya dan sosial,25 dan karena proporsi yang sangat rendah dari
perokok wanita (3,9%) dalam database NHID, kami hanya menyertakan pria dalam penelitian ini. Oleh
karena itu, kelompok studi termasuk pria yang terdaftar dalam Program Penyaringan Kesehatan
Nasional antara 2002 dan 2003 yang memenuhi kriteria inklusi berikut: (1) menanggapi pertanyaan
mengenai status merokok; (2) usia antara 40 - 79 tahun pada 2002 (batas bawah dan atas ditetapkan
berdasarkan database) dan (3) data klinis untuk variabel kontinyu termasuk indeks massa tubuh, tekanan
darah dan parameter lain (kecuali usia) dalam rentang 1% ke atas dan bawah. Pasien dengan pterygium
pada tahun 2002 dan 2003 dieksklusikan. Diagram rinci populasi penelitian ditunjukkan pada gambar
1. Kami melakukan kecocokan kecenderungan dari penelitian kohort berdasarkan skor kecenderungan
berdasarkan 38 pembaur dasar yang berpotensi, termasuk usia, tingkat pendapatan, area tempat tinggal,
riwayat medis dan hasil pemeriksaan, riwayat penggunaan resep obat dan obat antihipertensi dan
pemanfaatan perawatan mata (tabel 1). Rincian tentang kode diagnosis untuk komorbiditas diberikan
dalam tambahan tabel online 1. Faktor sosiodemografi seperti tingkat pendapatan atau daerah tempat
tinggal diidentifikasi sebagai salah satu prediktor terkuat untuk pterygium dalam penelitian
sebelumnya.9-21 Semua warga negara Korea dikategorikan sebagai karyawan yang diasuransikan,
diasuransikan individu wiraswasta atau penerima bantuan medis. Database ini menyediakan tingkat
pendapatan subyek dalam 10 persentil untuk karyawan yang diasuransikan, 10 persentil untuk pekerja
mandiri diasuransikan dan tingkat pendapatan terendah untuk penerima bantuan medis, dalam total 21
tingkat. Namun, karena proporsi penerima bantuan medis sangat kecil, kami menggabungkan tingkat
terendah 10 persentil dari kelompok wiraswasta yang diasuransikan dan kelompok penerima bantuan
medis. Secara geografis, Korea Selatan dapat dibagi menjadi 16 provinsi berbeda. Oleh karena itu, kami
mengelompokkan tingkat penghasilan menggunakan kategorisasi 20 tingkat dan area tempat tinggal
menggunakan kategorisasi 16 tingkat. Warga Korea yang tercakup dalam NHIS dikategorikan sebagai
karyawan yang diasuransikan, diasuransikan individu wiraswasta dan penerima Bantuan Medis.
Pendapatan di antara karyawan yang diasuransikan dikategorikan ke dalam tingkat pendapatan 1-10,
sementara pendapatan di antara individu-individu wiraswasta yang diasuransikan dikategorikan ke
dalam tingkat pendapatan 11–20. Penghasilan di antara penerima Bantuan Medis dikategorikan sebagai
tingkat pendapatan 1.
Perbandingan menggunakan t-tes dan χ²-square test untuk masing-masing variabel kontinyu dan kategorikal.
Status merokok dan validasi
Program Screening Kesehatan Nasional Korea menggunakan kuesioner standar untuk status merokok
(lihat dokumen tambahan online 1). Partisipan diklasifikasikan menurut status merokok sebagai bukan
perokok atau perokok. Perokok diklasifikasikan sebagai pernah merokok atau perokok aktif. Untuk
analisis subkelompok, kami juga mengumpulkan data mengenai durasi merokok (≤9, 10-29 atau ≥30
tahun) dan konsumsi rokok harian (<10, 10-19, 20-29 atau ≥30 batang rokok).
Untuk memverifikasi status merokok dari perokok yang pernah dilaporkan sendiri selama 2008–2013,
kami menentukan proporsi laki-laki yang pernah melaporkan sebagai pernah merokok atau aktif
merokok selama 2002–2007. Sebanyak 61.210 pria telah melaporkan bukan perokok lebih dari sekali
selama 2008-2013, di antaranya 47 178 (77,1%) juga pernah melaporkan bukan perokok lebih dari
sekali selama 2002-2007. Karena itu, status merokok sebagian besar konsisten dari waktu ke waktu.26
PYs, orang/tahun.
Gambar 2 Insiden kumulatif pterigium di kalangan perokok dan bukan perokok antara 1 Januari 2004 hingga 31
Desember 2013. Kami mengamati perbedaan signifikan dalam insiden kumulatif pterigium antara perokok dan
bukan perokok termasuk dalam kohort retrospektif yang berasal dari Program Skrining Kesehatan Umum
Nasional yang dilakukan antara 2002 dan 2013 (A dan B).
Hasil
Karakteristik kelompok penelitian
Sebanyak 181.094 pria memenuhi kriteria inklusi, termasuk 90.547 tidak pernah merokok dan 90.557
perokok masa lalu / saat ini (tabel 1). Karakteristik demografis dan klinis pasien di seluruh kohort yang
tak cocok (n = 229 493) sangat bervariasi antara kedua kelompok; data ini disediakan dalam tabel
tambahan online 2. Dalam kohort pencocokan kecenderungan, semua variabel, kecuali insidensi
pterygium, adalah serupa antara kedua kelompok: pterygium pada 5389 bukan perokok dan 3898
perokok (P < 0,001). Perbandingan rinci antara kedua kelompok berdasarkan 20 strata pendapatan dan
16 strata tempat tinggal disediakan dalam tabel tambahan online 3. Pendapatan dan daerah tempat
tinggal sama antara kedua kelompok.
Insiden pterigium
Tabel 2 menyajikan angka risiko pterygium untuk kohort dengan skor kecenderungan. Risiko pterigium
dikalangan perokok secara signifikan lebih rendah daripada bukan perokok dalam kohort
kecenderungan (HR sesuai usia, 0,73; 95% CI, 0,70 - 0,76). Risiko pterygium pada subkelompok usia
(40-59 dan 60-79 tahun) menunjukkan kecenderungan yang sama; Namun, HRs untuk subkelompok
usia yang lebih tua lebih besar daripada subkelompok usia yang lebih muda (HR: kelompok muda, 0,70;
kelompok yang lebih tua, 0,79). Kurva survival Kaplan-Meier menunjukkan perbedaan yang jelas
dalam kejadian pterigium antara perokok dan bukan perokok (gambar 2A).
Dalam tabel 3, HR untuk perokok masa lalu lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok dan
lebih besar daripada perokok aktif dalam model yang disesuaikan dengan usia (HR: pernah merokok,
0,85; perokok aktif, 0,68). Tren ini juga tercermin dalam kurva survival untuk insidensi kumulatif
pterygium: kurva survival dari yang pernah merokok terletak di antara mereka yang bukan perokok dan
perokok aktif (gambar 2B).
Tabel 4 menunjukkan analisis subkelompok merokok untuk risiko pterygium. Dalam model Cox pada
tingkatan usia 1 tahun, pria yang merokok selama 10-19, 20-29 dan ≥ 30 tahun memiliki kemungkinan
lebih kecil untuk memiliki pterigium daripada yang tidak pernah merokok (HR masing-masing 0,69,
0,70 dan 0,75). Hubungan negatif serupa diamati dalam hal konsumsi rokok harian: pria yang merokok
<10, 10-19 dan ≥ 20 batang rokok per hari cenderung memiliki insiden pterigium yang lebih sedikit
dibandingkan yang tidak pernah merokok (HR, 0,69, 0,67 dan 0,68, masing-masing). Dalam analisis
sensitivitas dari ketidakcocokan kohort menggunakan analisis penyesuaian skor kecenderungan, HR
sesuai multivariabel untuk pterigium pada perokok adalah 0,72 (95% CI, 69 hingga 0,75) (lihat tabel
tambahan online 4).
Tabel 3 Insidensi pterygium pada perokok dan non-perokok
PYs, orang/tahun.
Tabel 4 HR dan 95% CI untuk pterygium berdasarkan durasi dan frekuensi merokok
Kami melakukan analisis berdasarkan tingkat usia untuk durasi merokok dan pterigium serta analisis sesuai usia untuk konsumsi rokok harian
dan pterygium. Subjek tanpa data mengenai konsumsi rokok harian dieksklusikan.
Diskusi
Sebagai pengetahuan, penelitian kami adalah studi longitudinal berskala besar pertama yang menilaii
hubungan setara antara merokok dan risiko kejadian pterigium pada sampel nasional dari 181.094 pria
Korea. Kami mengkonfirmasi efek proteksi merokok terhadap perkembangan prospektif pterigium
dalam kelompok historis. Efek ini lebih jelas pada perokok aktif dibandingkan dengan yang pernah
merokok dan secara mengejutkan lebih besar pada pria yang merokok lebih banyak daripada mereka
yang merokok lebih sedikit. Hasil penelitian kami patut diperhatikan karena berbagai faktor telah
dikontrol, termasuk usia, tingkat pendapatan, area tempat tinggal, variabel pemeriksaan kesehatan,
komorbiditas, penggunaan narkoba dan frekuensi penggunaan perawatan mata.
Studi cross-sectional sebelumnya telah melaporkan hasil yang tidak konsisten mengenai prevalensi
pterygium pada individu yang merokok. Di antara penduduk Cina di Singapura, merokok dikaitkan
dengan risiko pterygium yang lebih tinggi dalam analisis univariat; Namun, dalam model dengan usia,
jenis kelamin, pekerjaan dan merokok sebagai kovariat, tidak ada hubungan yang diamati.17 Di antara
penduduk Melayu di Singapura, pterygium bilateral sedikit dikaitkan dengan merokok (OR, 1,5; 95%
CI, 1,0-2,2). Namun, tidak ada jenis pterigium (pada satu mata atau kedua mata) secara bermakna
dikaitkan dengan merokok (OR, 1,2; 95% CI, 0,9 hingga 1,5).11 Demikian pula analisis gabungan
terbaru dari tiga kelompok etnis utama di Singapura mengungkapkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara merokok dan pterygium/pterigium berat.20 Dalam studi cross-sectional sebelumnya
yang dilakukan di Korea Selatan,21 analisis mengungkapkan hasil yang agak berbeda tergantung pada
metode yang digunakan untuk mengontrol variabel lain, seperti faktor sosiodemografi: dalam analisis
yang tidak disesuaikan, durasi merokok yang lebih lama dikaitkan dengan peningkatan risiko pterigium;
Namun, dalam analisis yang disesuaikan termasuk faktor sosiodemografi dan paparan sinar matahari,
temuan sebaliknya diamati. Akhirnya, dalam model multivariabel, perokok seumur hidup memiliki
prevalensi pterigium lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok (OR, 0,7; 95% CI,
0,6-0,9). Ini juga menyoroti pentingnya kontrol yang tepat untuk faktor sosiodemografi lainnya dalam
studi cross-sectional.21
The Barbados Eye Study, yang termasuk populasi Karibia Afrika yang hidup di daerah dengan iklim
dan ras yang sangat berbeda dibandingkan dengan negara-negara Asia yang disebutkan di atas, juga
melaporkan efek perlindungan merokok pada pterigium. Namun, penelitian cross-sectional awal yang
dilakukan pada tahun 2001 melaporkan prevalensi pterigium yang rendah di antara perokok aktif (OR,
0,62; 95% CI, 0,41-0,94),13 sementara studi longitudinal yang lebih lama melaporkan efek proteksi
yang relatif lebih lemah (OR, 0,82 ; 95% CI, 0,48-1,39).28
Mekanisme yang mendasari efek proteksi merokok pada pterigium masih belum jelas. Efek tersebut
dapat dijelaskan oleh vasokonstriksi atau penekanan sitokin inflamasi yang disebabkan oleh nikotin
serta perubahan pada film air mata seperti peningkatan kadar antibodi yang disekresikan. Namun,
karena studi epidemiologi kami tidak dapat memberikan bukti mengenai hal ini, penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk lebih menjelaskan mekanisme yang mendasari perkembangan pterygium.
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, kami tidak memiliki akses data tingkat keparahan
pterigium atau mata yang terpengaruh (kanan, kiri atau keduanya). Kedua, ada kemungkinan bahwa
kebiasaan merokok yang dilaporkan peserta dianggap remeh. Namun, bias kesalahan klasifikasi ini
akan mengarah pada hubungan yang sebenarnya antara merokok dan pterygium tidak diperhitungkan.
Namun, mungkin saja diagnosis yang tertunda mengakibatkan tidak diperhitungkannya insiden
pterygium dalam penelitian ini. Ketiga, kami juga mempertimbangkan kemungkinan bahwa populasi
penelitian yang termasuk dalam database pemeriksaan kesehatan mungkin bias dibandingkan dengan
kontrol berbasis populasi umum, yang mungkin tidak menerima skrining kesehatan umum nasional.
Mungkin juga bahwa bias ini sama antara perokok dan bukan perokok. Untuk meminimalkan bias
seleksi atau pengawasan, kami mengendalikan 38 kemungkinan faktor bias, termasuk perawatan mata.
Untuk meminimalkan bias waktu, kami melakukan analisis stratifikasi usia 1 tahun untuk
memperkirakan hubungan antara durasi merokok dan pterigium. Keempat, kami tidak dapat mengakses
data tentang paparan sinar matahari, yang merupakan salah satu faktor risiko terpenting untuk
pterygium. Namun, kami melakukan pencocokan stratifikasi terperinci dari faktor sosiodemografi,
termasuk 20 strata untuk tingkat pendapatan dan 16 strata untuk area tempat tinggal, antara perokok
dan bukan perokok. Pencocokan berlapis ini memungkinkan kami untuk membentuk dua kelompok
yang sebanding sambil menghilangkan efek faktor bias seperti paparan sinar matahari. Selain itu, hasil
penelitian ini harus digeneralisasikan dengan hati-hati, karena penelitian ini terbatas pada pria Asia
Timur saja.
Kesimpulannya, penelitian longitudinal ini mengungkapkan hubungan temporal antara merokok dan
kejadian pterigium yang rendah. Efek proteksi ini lebih jelas dikalangan perokok aktif daripada yang
pernah merokok. Kami juga menemukan risiko rendah insiden pterygium pada perokok, setelah
membagi merokok berdasarkan durasi atau intensitas. Berbeda dengan aspek negatif merokok dalam
kesehatan masyarakat dan berbagai penyakit, merokok dapat memiliki efek proteksi yang tidak
diharapkan pada perkembangan pterygium.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini menggunakan data dari NHIS-NCS 2002-2013 (NHIS-2017-2-293), yang dirilis oleh
KNHIS.
Referensi
1. Bilano V, Gilmour S, Moffiet T, et al. Global trends and projections for tobacco use, 1990-2025:
an analysis of smoking indicators from the WHO Comprehensive Information Systems for Tobacco
Control. Lancet 2015;385:966–76.
2. Seddon JM, Willett WC, Speizer FE, et al. A prospective study of cigarette smoking and age-related
macular degeneration in women. JAMA 1996;276:1141–6.
3. Wong TY, Larsen EK, Klein R, et al. Cardiovascular risk factors for retinal vein occlusion and
arteriolar emboli: the Atherosclerosis Risk in Communities & Cardiovascular Health studies.
Ophthalmology 2005;112:540–7.
4. Prummel MF, Wiersinga WM. Smoking and risk of Graves' disease. JAMA 1993;269:479–82.
5. Thole ME, Murray C, Erian G, et al. Influence of smoking and other environmental factors in
inflammatory bowel disease activity: what do our patients think? Gastroenterology 2011;140:S790.
6. Sääksjärvi K, Knekt P, Männistö S, et al. Reduced risk of Parkinson's disease associated with lower
body mass index and heavy leisure- time physical activity. Eur J Epidemiol 2014;29:285–92.
7. Ali SF, Smith EE, Bhatt DL, et al. Paradoxical association of smoking with in-hospital mortality
among patients admitted with acute ischemic stroke. J Am Heart Assoc 2013;2:e000171.
8. Aune E, Røislien J, Mathisen M, et al. The "smoker's paradox" in patients with acute coronary
syndrome: a systematic review. BMC Med 2011;9:97.
9. Rezvan F, Hashemi H, Emamian MH, et al. The prevalence and determinants of pterygium and
pinguecula in an urban population in Shahroud, Iran. Acta Med Iran 2012;50:689–96.
10. Asokan R, Venkatasubbu RS, Velumuri L, et al. Prevalence and associated factors for pterygium
and pinguecula in a South Indian population. Ophthalmic Physiol Opt 2012;32:39–44.
11. Cajucom-Uy H, Tong L, Wong TY, et al. The prevalence of and risk factors for pterygium in an
urban Malay population: the Singapore Malay Eye Study (SiMES). Br J Ophthalmol 2010;94:977–
81.
12. Shiroma H, Higa A, Sawaguchi S, et al. Prevalence and risk factors of pterygium in a southwestern
island of Japan: the Kumejima Study. Am J Ophthalmol 2009;148:766–71.
13. Luthra R, Nemesure BB, Wu SY, et al. Frequency and risk factors for pterygium in the Barbados
Eye Study. Arch Ophthalmol 2001;119:1827–32.
14. West S, Muñoz B. Prevalence of pterygium in Latinos: Proyecto VER. Br J Ophthalmol
2009;93:1287–90.
15. Marmamula S, Khanna RC, Rao GN. Population-based assessment of prevalence and risk factors
for pterygium in the South Indian state of Andhra Pradesh: the Andhra Pradesh Eye Disease Study.
Invest Ophthalmol Vis Sci 2013;54:5359–66.
16. Gazzard G, Saw SM, Farook M, et al. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors.
Br J Ophthalmol 2002;86:1341–6.
17. Wong TY, Foster PJ, Johnson GJ, et al. The prevalence and risk factors for pterygium in an adult
Chinese population in Singapore: the Tanjong Pagar survey. Am J Ophthalmol 2001;131:176–83.
18. Sun LP, Lv W, Liang YB, et al. The prevalence of and risk factors associated with pterygium in a
rural adult Chinese population: the Handan Eye Study. Ophthalmic Epidemiol 2013;20:148–54.
19. Tano T, Ono K, Hiratsuka Y, et al. Prevalence of pterygium in a population in Northern Japan: the
Locomotive Syndrome and Health Outcome in Aizu Cohort Study. Acta Ophthalmol
2013;91:e232–e236.
20. Ang M, Li X, Wong W, et al. Prevalence of and racial differences in pterygium: a multiethnic
population study in Asians. Ophthalmology 2012;119:1509–15.
21. Rim TH, Nam J, Kim EK, et al. Risk factors associated with pterygium and its subtypes in Korea:
the Korean National Health and Nutrition Examination Survey 2008-2010. Cornea 2013;32:962–
70.
22. Song E, Sun HP, Xu Y, et al. Cigarette smoking and pterygium: a propensity score matching
analysis. Optom Vis Sci 2016;93:466–70.
23. Rong SS, Peng Y, Liang YB, et al. Does cigarette smoking alter the risk of pterygium? A systematic
review and meta-analysis. Invest Ophthalmol Vis Sci 2014;55:6235–43.
24. Seong SC, Kim YY, Park SK, et al. Cohort profile: the National Health Insurance Service-National
Health Screening Cohort (NHIS-HEALS) in Korea. BMJ Open 2017;7:7:e016640.
25. Jung-Choi KH, Khang YH, Cho HJ. Hidden female smokers in Asia: a comparison of self-reported
with cotinine-verified smoking prevalence rates in representative national data from an Asian
population. Tob Control 2012;21:536–42.
26 Rim TH, Cheng CY, Kim DW, et al. A nationwide cohort study of cigarette smoking and risk of
neovascular age-related macular degeneration in East Asian men. Br J Ophthalmol 2017;101:1367–
73.
27 Rim TH, Kang MJ, Choi M, et al. The incidence and prevalence of pterygium in South Korea: A
10-year population-based Korean cohort study. PLoS One 2017;12:e0171954.
26. Nemesure B, Wu SY, Hennis A, et al. Nine-year incidence and risk factors for pterygium in the
barbados eye studies. Ophthalmology 2008;115:2153–8.